• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Inspirator: Penelit ian ini berasumsi bahw a aspek st rukt ur dan t indakan

pelaku pihak t erlibat dalam relasi sosial berkelindan ant ara sat u dengan yang lain. Karena it u kajian penyebab t erjadinya bent uk relasi sosial t ert ent u dapat digunakan kedua pendekat an t ersebut .

1. M asyarakat Sipil dalam Relasi Sosial

Ashut osh Varshney2 merupakan ahli yang berusaha mengait kan ant ara konflik dan damai dengan masyarakat sipil (civil societ y). Ia memfokuskan kajiannya pada jaringan at au ikat an int erkomunal, bukan int rakomunal. M asyarakat sipil sendiri oleh Varhsney dicirikan dengan kelompok yang ada di ant ara keluarga dan negara, ada int erkoneksi ant arindividu/ keluarga, dan bebas dari campur t angan at au koopt asi negara. Bent uk peran masyarakat sipil dilihat pada jaringan at au ikat an yang ada dalam masyarakat .

4

Ia membagi jaringan at au ikat an kew argaan t ersebut ke dalam 2 jenis yait u jaringan kew argaan asosiasional dan quot idian. Ikat an asosiasional merupakan ikat an kew argaan yang berupa akt ifit as warga yang terorganisir. Dalam hal ini Varshney3 fokus kepada aosiasi-asosiasi yang bersifat int erkomunal yait u asosiasi yang anggot anya t erdiri dari komunit as agama yang berbeda (khususnya Hindu-M uslim), misalnya asosiasi bisnis, organisasi profesi, klub-klub penyalur hobi, serikat buruh, dan part ai polit ik yang lat ar pengikut nya campuran. Ikat an quot idian berupa ikat an kew argaan dalam hidup keseharian meliput i int erakasi kehidupan yang rut in sepert i saling kunjung ant ar w arga (Hindu-M uslim ), makan bersama, t erlibat bersama dalam acara perayaan, dan bermain bersama.

Bent uk jaringan asosiasional dari Varhsney t ersebut mirip dengan konsep

cross-cut t ing affiliat ion. Dalam sosiologi biasa disebut sebagai w adah yang menjadi afiliasi dan w adah bert emunya orang-orang yang berbeda lat ar belakang karena adanya individu-individu yang berperan ganda di beberapa w adah.

Asumsi dan t esis yang diusung oleh Varshney4 adalah st ukt ur sosial masyarakat berkorelasi dengan adanya dan int ensit as konflik-damai ant aragama. M enurut nya hal ini karena ada dan t ingginya ket erlibat an w arga dalam ikat an ant aragama, dan sebaliknya lemahnya ket erlibat an dalam ikat an int raagama. Dengan kat a lain, jika kedua ikat an t ersebut (asosiasional dan quot idian) kuat maka akan t erw ujud kedamaian. Lebih lanjut , jika dilakukan perbandingan ant ara kekuat an kedua ikat an t ersebut , ikat an asosiaonal lebih kuat daripada ikat an quot idian, khususnya ket ika pihak-pihak t ert ent u (polit isi) berupaya mempolarisasi komunit as agama melalui berbagai isu dan provokasi.

2. Agensi Pelaku dalam Relasi Sosial

Isu sent ral dalam w acana t eorit ik t ent ang t indakan adalah berkisar t ent ang kebebasan t indakan manusia dalam kait annya dengan st rukt ur sosial. Dalam perspekt if konst rukt ivisme at au ideasional manusia dengan segala pot ensinya adalah makhluk pemikir, akt if, bebas, dan manipulat if yang mampu mempengaruhi lingkungan di luar dirinya. Dalam kait annya dengan agama manusia menafsirkan simbol-sim bol agama sesuai kepent ingannya. Karena it u pula realit as it u bersifat

5

subyekt if yait u t erlet ak dalam ide, simbol-simbol dan makna yang dikonst ruk masing- masing kelompok agama.

Blumer menegaskan melalui konsep self indicat ion-nya bahw a manusia (dalam bert indak) merupakan akt or sadar yang reflekt if, ia menyat ukan obyek-obyek yang diket ahuinya melalui proses komunikasi yang sedang berjalan, ket ika ia menget ahuinya, kemudian menilai, memberi makna dan memut uskan unt uk bert indak.5 Lebih jauh Blumer mengemukakan 3 prem is int eraksinisme simbolik yait u: (i) t indakan manusia dalam menghadapi sesuat u at au manusia lain t idak (hanya) sebagai respon t erhadap st imulus, dengan kat a lain t idak sekedar dit ent ukan oleh st rukt ur at au sit uasi obyekt if, namun berasal dari dalam diri akt or yait u menafsirkan dan memkanai sesuat u secara subyekt if oleh aktor. (2) makna-makna adalah produk sosial yang muncul selama int eraksi. Art inya, pemaknaan t ersebut berasal dari int eraksi seseorang dengan orang lain. M anusia belajar cara melihat dunia dari orang lain. (3) akt or-akt or sosial memberikan makna t erhadap sit uasi, orang lain, dan sesuat u melalui proses int erpret asi.6

Dalam kont eks penelit ian ini ket ika melihat relasi akt or-akt or/ kelompok bukan sekedar melihat t indakan mereka sebagai t anggapan langsung t erhadap rangsangan dari luar. Walaupun m isalnya pihak-pihak yang t erlibat dalam t indakan keagamaan t ersebut t erlibat dalam sebuah kat a, t indakan, obyek (baik obyek fisik, sosial maupun abst rak sepert i perat uran di bidang keagamaan dan hak-hak sipil), sit uasi dan perist iw a yang sama, namun mereka (dapat ) mendefinisikan dan menafsirkan secara beragam yang kemudian melahirkan t indakan sosial yang berbeda pula. Perbedaan t afsir dan pemaknaan it u dim ungkinkan karena masing-masing pihak yang t erlibat dalam persaingan keagamaan mempunyai pengalaman berbeda, nilai-nilai agama dan keyakinan yang berbeda. Perbedaan t indakan subyekt if it u juga dapat t erjadi karena adanya perbedaan st at us dan peranan t iap akt or, baik di lingkungan kelompoknya (agama-kepercayaan-inst it usi negara) maupun perbedaan st at us dan peran kelas sosial-ekonomi-polit ik dalam masyarakat set empat.

3. Posisi Agen dan Struktur

Proses adanya konflik dan damai menyirat kan adanya t arik menarik ant ara agensi dan st rukt ur. Dalam kait an ini, Bourdieu m elihat individu sebagai sosok kreat if dan dalam relasi sosialnya dapat mempengaruhi dan sekaligus dipengaruhi st rukt ur

6

yang ada. Art inya, para pelaku, individu t ermasuk kelompok, adalah sosok akt if yang bebas, meskipun mereka juga dibat asi oleh habit us-habit us lain yang menjadi st rukt ur.7

Dalam kont eks ini Aheam (2001) ket ika melihat kait an habit us-nya Bourdieu dengan agensi menyimpulkan bahw a kerangka pikir Bourdieu selain memungkinkan t ransformasi sosial yang berasal dari t indakan yang dilahirkan dari habit us, juga memberikan kemungkinan adanya resist ensi.8 Hal ini mengandaikan bahw a ekspresi kebebasan bert indak pelaku bukan hanya berupa resist ensi namun juga berupa akomodasi. Simpulan sepert i ini dapat dipaham i dari pandangannya t ent ang habit us yang dianggap sebagai ‘kapasit as unt uk melahirkan produk t anpa akhir’ (an endless t o engender product ).

M enurut Aheam, konsep keagenan Bourdieu selain memberikan ruang gerak bagi t indakan agensi juga t idak menafikan st ruktur, sekali lagi ada relasi t imbal balik ant ara t indakan agen dengan st rukt ur. Hal ini menurut nya karena Bourdieu, menekankan disposisi-disposisi pelaku, dan karena habit us berada dalam lingkungan fisik dengan segala t indakan para pelaku, baik yang mew ujud secara mental maupun fisik, sehingga habit us dapat dit erapkan dalam sit uasi baru unt uk memperkuat kondisi yang sudah ada.9

Set urut dengan hal ini, Abu Lughod mencat at bahw a dalam st rukt ur yang t impang secara gender, dalam perist iw a keseharian, banyak dit emukan gejala resist ensi dari perempuan. M enurut nya proses dominasi selain beroperasi melalui pengonst ruksian, pembelengguan dan pemaknaan emosi individu perempuan, juga adanya resist ensi sebagai hasil dari relasi kuasa ant arpihak,10 hal ini sekaligus menunjukkan bahw a relasi kuasa dapat menghasilkan beragam bent uk dan aspek. Pandangan Abu Lughod ini sesuai dengan pandangan (sebagian) t eori feminis. Dalam hal ini Aheam mencat at bahw a dalam t eori feminis, yang dinamakannya dengan pendekat an ‘agensi sebagai sinonim dengan resist ensi,’ (agency as a synonym for resist ence) memandang bahw a agensi merupakan sosok yang akt if w alaupun berada dalam st rukt ur sosial yang t idak set ara, karena individu juga melakukan resist ensi.11

Pandangan Bourdieu dan kaum feminis memiliki kemiripan dalam hal adanya persent uhan ant ara agen dan st rukt ur. Pandangan sepert i ini berbeda dengan pandangan yang melihat t indakan agen t idak ada kait annya dengan st rukt ur sepert i

7

dalam t eori ‘agensi sebagai sinonim dengan kebebasan’ (‘agency as synonym for free w ill). Set urut dengan Aheam, t eori agensi yang menjadi pandangan t eori t indakan

(act ion t heory) ini memandang bahw a agensi membut uhkan prasyarat keadaan ment al dalam diri individu, misalnya niat kesadaran diri, t it ik pandang yang rasional, dan pengendalian niat . Teori agensi ini menafikan unsur sosial budaya yang melingkupi t indakan manusia.

Sement ara it u, Foucault12 memandang t idak ada sesuat u yang dapat dianggap sebagai agensi. Hal ini karena kuasa it u ada di mana-mana, bukan karena ia meliput i segalanya, namun karena berasal dari mana-mana. Walaupun ia dioperasikan dengan maksud dan t ujuan t ert ent u, hal it u bukan berart i kuasa berasal dari pilihan dan keput usan individu. Dengan pandangan sepert i ini, Aheam menyebut nya dengan t eori absence of agency (ket iadaan agensi). M eskipun begit u pent ing dicat at bahw a pengikut Foucault , sepert i O’Hara, menegaskan bahw a Foucault t idak pernah menafikan peran agensi. Hal ini set idaknya didasarkan at as pandangan Foucault bahw a kuasa bukan suat u subst ansi namun sebuah relasi yang dinamis sehingga memberi kemungkinan pada t indakan agensi.

Kajian Terdahulu: Kajian ini berkait an dengan relasi ant ar kelompok,

khususnya int rakomunal muslim. Kajian dan hasil penelit ian berkait an dengan relasi at au int eraksi ant arkelompok Islam sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh ahli at au penelit i. Salehuddin13 misalnya, memfokuskan diri kepada relasi ant ara kelompok Islam Tauhid, NU dan M uhammadiyah di lereng pegunungan selat an Yogyakart a (Gunung Sari). Ia menemukan, perbedaan paham agama dan posisi t erhadap t radisi lokal berpengaruh t erhadap int eraksi sosial keagamaan masyarakat . Dua hal t ersebut (paham agama dan posisi t erhadap t radisi lokal) menyebabkan adanya persaingan dan t erjadinya sekat -sekat int eraksi at au komunikasi ant arkelompok.

Sement ara it u, Abidin14 yang menelit i relasi ant ar kelompok Islam di Lombok Barat Nusa Tenggara Barat , khususnya ant ara kelompok Salafi dengan kelom pok Islam mapan at au mainst ream (Abidin menyebut nya dengan non-Salafi). Relasi ant ara kedua kelompok (pinggiran dan mapan) berupa konflik. Konflik t erjadi karena misiologi (dakw ah) eksklusif kelompok Salafi yang menyalahkan kelompok lain dan kurang menghargai perbedaan pendapat . Selain juga karena fakt or kebijakan polit ik pemerint ah yang dianggap merugikan kepent ingan salah sat u pihak.

8

Penelit ian t ent ang relasi ant arkelompok Islam juga dilakukan Syaukani15 dalam kasus konflik Sunni dan Syiah di Bondow oso Jaw a Timur. Secara khusus Syaukani mengkaji t ent ang kasus-kasus dan penyebab resist ensi masyarakat (Islam Sunni) t erhadap kelom pok Syiah (Ikat an Jamaah Ahlul Bait Indonesia at au IJABI). Ia menemukan, resist ensi kelompok Islam mapan yang berbent uk t indakan kekerasan disebabkan akumulasi ket idaksenangannya t erhadap kelompok Syiah, eksklusifit as dan berkembangnya st ereot if t erhadap kelom pok Syiah, kurangnya mediasi sert a keberpihakan M UI dan Depart emen Agama.

Beberapa kajian t ersebut ada relevansinya dengan penelit ian ini, khususnya dalam kait annya dengan subyek penelit iannya yait u kelompok Islam mapan dan sempalan, sert a dalam aspek relasi. M eskipun begit u penelit ian t ersebut belum memanfaat kan isu masyarakat sipil dan t indakan keagenan pelaku dalam proses bent uk relasi int rakom unal muslim.

Penelit ian Ismail16 t idak melihat posisi masyarakat sipil dalam kait annya dengan konflik. Adapun penelit ian ini, dengan mengadapt asi beberapa pandangan Varshney aw al mengait kannya dengan isu masyarakat sipil, selain aspek keagenan pelaku. Bedanya, Varshney mengkaji konflik ant ar et nik/ agama dengan fokus kepada ikat an at au jaringan int erkomunal (asosiasi yang menghimpun berbagai kom unit as yang berbeda) di India, sement ara penelit ian ini mengkaji relasi sosial int ern umat beragama, khususnya yang melibat kan kelompok sempalan, dan selain melihat ikat an int erkomunal penelit ian ini juga melihat ikat an int rakom unal dari individu-individu muslim yang berbeda paham agamanya, t ermasuk t indakan-t indakan yang bernilai keagenan dari pelaku. Dengan kat a lain penelit ian fokus kepada relasi int ern umat Islam, meskipun dalam kasus Ahmadiyah sebagian umat Islam menganggapnya bukan muslim, namun secara emik mereka dianggap muslim karena mereka mengident ifikasi dirinya sebagai muslim. Selain it u Varshney nampak lebih menekankan aspek st rukt ur daripada keagenan pelaku. Penelit ian ini juga menjadikan beberapa kelompok sempalan int ern umat Islam sebagai kesat uan kajian, baik yang diberi st ereot ip sesat maupun yang diragukan kebenaran secara formal maupun publik.