• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pertanian yang Pro Beras

Sejak awal kemerdekaan, pemerintahan baru Indonesia sudah menetapkan untuk menjaga kestabilan harga beras tetap murah sebagai salah satu tujuan utama kebijakan ekonominya (Dodge dan Gemessa 2012). Pada periode berikutnya, meskipun akhirnya dianggap kurang tepat, pemerintah orde baru mengartikan stabilitas harga beras pada tingkat yang terjangkau (murah) sebagai indikator sempurna ketahanan pangan (Simatupang dan Rusastra 2004). Berdasarkan tujuan tersebut strategi pembangunan pertanian yang dipilih adalah strategi kembar dua atau twin strategi yaitu: dalam jangka pendek berupa stabilisasi harga beras pada tingkat yang terjangkau (beras murah dan stabil), sedangkan dalam jangka panjang untuk pencapaian swasembada beras mutlak.

Obsesi pemerintah yang sangat besar tersebut merupakan sumber dukungan politik yang luar biasa bagi upaya peningkatan produksi beras. Dengan kondisi seperti itu, dukungan biaya dan anggaran pemerintah pun melimpah yang bersumber dari lonjakan harga minyak pada masa itu. Secara umum, peningkatan produksi beras merupakan komitmen nasional yang meski didukung secara patriotik oleh seluruh komponen bangsa (Simatupang dan Rusastra 2004). Selama periode tersebut kebijakan perberasan nasional diarahkan untuk mencapai tiga tujuan pokok yaitu: memantapkan ketahanan pangan nasional, memacu pertumbuhan dan stabilitas ekonomi nasional, dan meningkatkan pendapatan petani. Dengan komitmen yang begitu besar maka kebijakan produksi beras dapat dilakukan secara besar-besaran. Instrumen kebijakan yang dijalankan yaitu: (1) pembangunan lahan dan irigasi; (2) Inovasi teknologi dan intensifikasi usaha tani; (3) penyediaan sarana produksi; (4) pemberian insentif; (5) pengembangan usaha jasa alat dan mesin pertanian; dan (6) pembangunan kelembagaan.

Kebijakan produksi pangan dengan instrumen tersebut di atas dikenal dengan nama program revolusi hijau. Secara sederhana pengertian revolusi hijau adalah usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Mengubah dari pertanian yang tadinya menggunakan teknologi tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi lebih maju atau modern. Penerapan revolusi hijau di Indonesia dikenal dengan panca usaha tani yang meliputi: (1) penyediaan air dalam jumlah cukup dan waktu yang tepat; (2) penggunaan benih unggul dengan potensi hasil tinggi, mempunyai ketahanan hidup yang tinggi, dan masa tumbuh yang relatif pendek; (3) penyediaan pupuk yang cukup; (4) pengendalian hama terpadu; dan (5) cara bercocok tanam yang baik (Hafsah dan Sudaryanto 2014).

Dalam rangka mendukung program revolusi hijau, pemerintah membuat banyak pembangunan infrastruktur pendukung antara lain pembangunan irigasi, pendirian pabrik pembuatan pupuk urea, dan pembangunan pusat-pusat penelitian tanaman pangan. Keseluruhan sarana dan prasarana pendukung tersebut difokuskan pada jenis tanaman padi. Tanaman padi disosialisasikan di seluruh wilayah yang dianggap cocok untuk ditanami jenis tanaman padi seperti di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Ternate, NTT, NTB, bahkan sampai ke Papua. Program transmigrasi pun digerakkan seluas-luasnya untuk mendukung perluasan lahan tanaman padi di luar Pulau Jawa. Tujuannya tidak lain untuk mendorong peningkatan produksi beras di dalam negeri. Hasilnya, tingkat pemakaian pupuk non-organik dalam pertanian Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Dalam 10 hingga 20 tahun di awal program, laju pertumbuhannya rata-rata per tahun meningkat dari sekitar 1.7% dalam dekade 1960an ke 16% selama periode tahun 1970-an sampai 1980-an. Pemakaian pupuk modern ini per hektar mengalami peningkatan dari sekitar 1.3% ke 13.6% rata-rata per tahun selama periode yang sama (Tambunan 2008).

Berbagai program intensifikasi tersebut akhirnya memberikan hasil dengan tercapainya swasembada beras pada tahun 1984. Keberhasilan ini mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang menunjuk Indonesia sebagai contoh negara berkembang yang berhasil memenuhi kebutuhan pangannya sendiri (Hafsah dan Sudaryanto 2004). Dalam periode 1968-1984, produksi padi meningkat dengan laju rata-rata 5 persen per tahun. Pada tahun 1973 produksi padi hanya sekitar 19.32 juta ton namun pada tiga dekade berikutnya yaitu pada tahun 1983, 1993, dan 2003 berturut-turut sebesar 21.48, 39.03, dan 52.08 juta ton. Selama 4 dekade tersebut produksi padi meningkat dengan rata-rata 41.22 persen tiap dekade.

Produktivitas padi sawah Indonesia pada periode 1968 sampai 1984 adalah yang tertinggi di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Produktivitas padi di luar jawa meningkat dari hanya 2.66 ton per hektar pada Pelita II menjadi 3.29 ton per hektar pada Pelita IV atau terjadi peningkatan 13.05 persen. Sedangkan produktivitas produksi padi di Jawa sudah melebihi 5 ton per hektar atau 40 persen lebih tinggi dari produktivitas luar Jawa.

Pemerintah sangat sadar bahwa jika ingin mempertahankan kekuasaannya maka menjaga akses murah terhadap beras menjadi suatu keharusan. Tidak mengherankan jika akhirnya pada setiap periode pemerintahan selalu berusaha mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat menjaga aksesibilatas beras bagi masyarakat. Meskipun swasembada beras hanya dicapai beberapa tahun saja tetapi terbukti serangkaian kebijakan program revolusi hijau telah berhasil mempertahankan harga beras pada level yang terjangkau oleh masyarakat.

Sejak transisi demokrasi terjadi, intervensi di pasar beras menjadi kurang efektif yang menyebabkan tingginya fluktuasi harga beras domestik. Untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat berpendapatan rendah dan rawan pangan pada saat terjadi krisis ekonomi dan krisis pangan, pemerintah melaksanakan program bantuan pangan yang disebut operasi pasar khusus (OPK), yaitu pendistribusian beras murah (bersubsidi) kepada kelompok masyarakat miskin. Pada tahun 2002 program OPK diubah namanya menjadi program beras untuk keluarga miskin/raskin (Suryana dan Hermanto 2004). Melalui program ini pemerintah melaksanakan distribusi beras murah kepada rumahtangga miskin yang di desain sebagai subsidi dalam bentuk beras bagi 10 juta rumahtangga termiskin di Indonesia (Dodge dan Gemmesa 2012). Kebijakan ini seolah semakin melegitimasi keberpihakan pemerintah terhadap beras dan menjadi salah satu penyebab semakin rigidnya konsumsi pangan pokok masyarakat terhadap beras.

Rigiditas konsumsi beras

Beras telah menjadi sumber kalori utama bagi sebagian besar (98 persen) masyarakat di Indonesia (Santoso 2015; Ariani 2012). Kontribusi beras dalam konsumsi padi-padian penduduk sebesar 80.6 persen dari total konsumsi kalori 1236 kkal/kapita/hari (BKP 2014). Hal senada juga dinyatakan dalam penelitian yang dilakukan Kementan (2005) bahwa beras tetap menjadi komoditas strategis dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional. Sebagai bahan pangan utama di Indonesia, beras dibutuhkan oleh lebih dari 90 persen penduduk. Dalam penelitiannya mengenai ketahanan pangan dan stabilisasi harga beras di Indonesia, Dodge dan Gemmesa (2012) menunjukkan bahwa hampir setengah dari kalori yang di konsumsi oleh penduduk berasal dari beras. Kondisi ini terjadi hampir di setiap daerah dan semua kelompok sosial ekonomi. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa berdasarkan data Susenas hanya 1.5 persen dari penduduk Indonesia yang tidak mengkonsumsi beras selama seminggu terakhir dari periode survey. Lebih jauh ditunjukkan bahwa ketika harga beras naik hampir seluruh penduduk (98,5 persen) akan menjadi lebih miskin dan asupan kalori mereka terganggu. Sampai seberapa besar gangguan tersebut tergantung kepada sejauh mana keinginan mereka untuk mensubstitusi konsumsi beras dengan komoditas pangan lain ketika harga beras naik.

Santoso (2015) dalam penelitiannya mengenai pengaruh pupuk terhadap produksi padi juga mengungkapkan bahwa beras telah menjadi bahan makanan pokok

mayoritas penduduk Indonesia. Ketergantungan terhadap beras juga dialami oleh daerah-daerah yang pada awalnya memiliki bahan makanan pokok selain beras seperti masyarakat Papua dan Maluku yang semula memiliki bahan makanan sagu dan umbi- umbian, masyarakat Nusa Tenggara Timur, Madura dan Jawa bagian Selatan mengkonsumsi jagung dan ubi kayu.

Sejalan dengan Santoso (2015), Ariani (2010) dengan menggunakan data Susenas menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan pokok di Indonesia telah beralih menjadi pola pangan tunggal yakni beras. Lebih lanjut penelitian ini juga menunjukkan bahwa untuk golongan penduduk berendapatan rendah masih di temui pola pangan pokok yang menggunakan pangan lokal lain seperti jagung, ubi kayu dan sagu.

Jamal et al. (2014) mengungkapkan bahwa konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia tahun 1971 hanya sekitar 105 kg/tahun sedangkan tahun 2004 tingkat konsumsi beras per kapita di Indonesia rata-rata mencapai sekitar 128 kg/tahun. Sebagai perbandingan, pada saat yang sama konsumsi beras per kapita di Thailand, sebagai salah satu produsen utama beras dunia, hanya 79 kg/tahun dan Malaysia hanya 63 kg/tahun. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Akhmad (2014) yang menyatakan bahwa konsumsi beras masyarakat Indonesia sebesar 139.5 kg/kapita/tahun. Angka ini lebih dari dua kali lipat dari angka konsumsi beras dunia yang hanya 60 kg/kapita/tahun.

Dalam penelitiannya mengenai model optimasi surplus beras, Rejekiningrum (2013) mengungkap fakta bahwa pada tahun 2012 konsumsi beras penduduk Indonesia mencapai 102 kg/kapita/tahun. Konsumsi ini hampir dua kali lipat konsumsi beras dunia yang hanya 60 kg/kapita/tahun dan merupakan yang tertinggi di Asia. Sebagai pembanding, konsumsi beras di korea hanya 40 kg/kapita/tahun, Jepang 50 kg/kapita/tahun, Malaysia 80 kg/kapita/tahun, Thailand 70 kg/kapita/tahun.

Selain konsumsi per kapitanya yang meningkat, cakupan wilayah konsumsi eksklusif beras juga bertambah. Pada tahun 1979 hanya ada 3 provinsi yang penduduknya eksklusif mengkonsumsi beras, tetapi pada tahun 1996 meningkat menjadi 11 provinsi dan pada saat ini dapat dikatakan semua provinsi di Indonesia penduduknya eksklusif mengkonsumsi beras (Saliem et al, 2005 dalam Jamal et al, 2008).

Pujiasmanto (2014) dalam orasi ilmiahnya meyatakan bahwa masalah kelangkaan pangan di Indonesia (utamanya beras) sebenanya tidak perlu terjadi mengingat dahulu banyak masyarakat di daerah-daerah tertentu tidak semua mengkonsumsi beras. Makanan utama setiap daerah berbeda-beda. Kondisi tersebut berubah total setelah pemerintah dengan swasembada berasnya secara tidak langsung telah memaksa masyarakat yang biasa tidak mengkonsumsi beras menjadi mengkonsumsi beras sehingga terjadi lonjakan kebutuhan beras nasional yang pada akhirnya memaksa Indonesia untuk mengimpor beras. Padahal jika setiap daerah tetap bertahan dengan makanan utama masing-masing maka tidak akan muncul kelangkaan dan impor beras. Efek lainpun muncul akibat perubahan pola makan masyarakat yaitu keberagaman komoditi pertanian yang menjadi unggulan setiap daerah di Indonesia terlenyapkan demi program swasembada beras.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Lantarsih et al. (2011) dalam penelitiannya mengenai sistem ketahanana pangan nasional yang menyatakan bahwa tidak dipungkiri lagi bahwa beras menjadi makanan pokok utama dan cenderung tunggal di berbagai daerah di Indonesia termasuk daerah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok bukan beras. Jika sebelumnya masyarakat Papua dan Maluku

mengkonsumsi sagu dan umbi-umbian, sebagian masyarakat Nusa Tenggara Timur, Madura dan Jawa Bagian selatan mengkonsumsi jagung dan ketela namun mereka sudah terintroduksi oleh beras sebagai makanan pokok. Ariani (2010) juga menunjukkan bahwa masyarakat yang semula mempunyai pola konsumsi jagung seperti masyarakat NTT serta sagu di Papua dan Maluku juga sudah beralih ke beras.

Tantangan dan hambatan kebijakan perberasan

Gencarnya kebijakan perberasan yang dilakukan oleh pemerintah ternyata hanya memberikan keberhasilan sesaat jika dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mencapainya. Swasembada beras tidak dapat diwujudkan secara berkelanjutan tetapi hanya dapat dicapai pada tahun 1969 sd 1984 (Kumalasari et al. 2013). Penelitian lain menyebutkan bahwa swasembada beras ternyata hanya dapat dipertahankan sampai tahun 1993. Mulai tahun 1994, impor beras Indonesia kembali meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 dengan volume sekitar 5.8 juta ton. Kondisi ini disebabkan oleh perlambatan laju pertumbuhan produksi padi sebagai akibat pelandaian pertumbuhan hasil (produktivitas).

Balitbangtan melalui bukunya Ekonomi Padi dan Beras Indonesia mengingatkan bahwa dukungan yang berlebihan terhadap upaya peningkatan produksi padi dapat menjadi kendala bagi upaya diversifikasi pangan khususnya dan pertanian pada umumnya. Pendekatan komoditas dalam hal ini padi tidak cukup memadai dalam memacu pertumbuhan sektor pertanian secara berkelanjutan mengingat sudah menghadang tantangan yang harus di hadapi ke depan dan konsekuensi dari kebijakan yang salah tersebut.

Badan Ketahanan Pangan melalui pedoman pelaksanaan program kerja dan anggarannya telah mengidentifikasi berbagai tantangan produksi padi yang akan dihadapi ke depan baik dari aspek penyediaan (supply side), maupun dari aspek konsumsi (demand side). Dari aspek penyediaan dapat diidentifikasi berdasarkan sifatnya apakah on farm atau off farm. Tantangan on farm antara lain akan dipaparkan berikut. Pertama, semakin terbatasnya ketersediaan lahan pertanian pangan karena alih fungsi lahan pertanian pangan ke non pangan dan yang lebih parah lagi yaitu alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian. Kementerian Pertanian (2008) membuat hitungan mengenai dampak konversi lahan terhadap produksi padi dan beras nasional. Jika setiap hektar sawah yang ditanami padi produktivitasnya rata-rata 6 ton gabah kering giling (GKG) sekali panen, maka paling tidak dalam setahun (dengan normal dua kali panen) produksi GKG nasional akan mengalami pengurangan sebesar 484.000 ton. Sedangkan perhitungan BPN: jika rata-rata produktivitas per hektar 4.61 ton GKG, dalam setahun produksi GKG nasional berkurang 507.100 ton, atau setara 329.615 ton beras, akibat konversi sawah. Dengan demikian, sepanjang tahun 1999 sampai 2002, Indonesia kehilangan potensi produksi beras nasional sekitar 1.31 juta ton dari dampak konversi lahan sawah.

Selain konversi lahan dan distribusinya yang pincang, tingginya laju degradasi lahan juga merupakan masalah serius yang dapat menurunkan sumber daya air untuk pertanian. Hasil penghitungan dari kementerian pertanian menunjukkan bahwa luas lahan kritis meningkat hingga 2,8 juta ha rata-rata per tahun (Tambunan, 2008). Semakin banyak lahan yang kritis, semakin berkurang suplai air irigasi. Hal ini disebabkan kerusakan fungsi daerah tangkapan air, untuk memberikan suplai air yang seimbang, baik pada musim kemarau maupun hujan. Saat ini, menurutnya, dari 62

waduk besar dan kecil di seluruh Jawa, hanya 3 yang volume airnya melebihi ambang batas.

Hal lainnya menyangkut lahan adalah mengenai kesuburan lahan. Tambunan (2008) melihat bahwa masalah kesuburan atau kejenuhan tingkat produktivitas lahan (levelling off) pertanian di Indonesia semakin serius. Ada suatu korelasi positif antara tingkat kesuburan lahan dan tingkat produktivitas pertanian. Data menunjukkan bahwa tingkat produktivitas atau pertumbuhannya terus menurun. Produksi beras nasional selama tahun 1950 sampai 1959 rata-rata mencapai 3.7% per tahun, tahun 1960 sampai 1969 4.6%, tahun 1970 sampai 1979 3.6%, dan tahun 1980 sampai 1990 mencapai rata- rata 4.3%. Selama tahun 1991sampai 2000 pertumbuhannya tercatat hanya 1.4%, dan dalam 6 tahun terakhir pertumbuhan rata-rata hanya 1.5%. Jadi, menurutnya, sejak tahun 1992 telah terjadi gejala levelling off produksi padi dengan kenaikan rata-rata produksi hanya 1.4%. Kondisi ini disebabkan terkurasnya tingkat kesuburan lahan.

Tantangan produksi lainnya adalah dampak langsung dari pemanasan global terhadap pertanian di Indonesia yakni penurunan produktivitas dan tingkat produksi sebagai akibat terganggunya siklus air karena perubahan pola hujan dan meningkatnya frekuensi anomali cuaca ekstrim yang mengakibatkan pergeseran waktu, musim, dan pola tanam (Nurdin 2011). Hal ini sudah beberapa kali dialami oleh Indonesia dengan El Nino dan La Nina. El Nino selama periode 1997 sampai 1998 mengganggu secara serius panen di berbagai wilayah di tanah air. Bencana ini melanda Sumatera Selatan, Kalimantan, Jawa dan Indonesia bagian timar. Daerah-daerah ini mengalami kekeringan yang sangat parah di luar musim kemarau. Musim hujan mundur dari September menjadi November. Tanah di banyak tempat di wilayah-wilayah yang terkena dampak El Nino tersebut banyak yang retak-retak seperti umum dijumpai di wilayah sangat kering di Afrika Sub-Sahara. Kekeringan di wilayah-wilayah tersebut berdampak pada 426.000 hektar tanaman padi dan mengakibatkan gagal panen di sebagian wilayah Jawa Barat, Jawa Timar, dan sejumlah wilayah lumbung padi lainnya. Selain padi, kekeringan tersebut juga berpengaruh negatif terhadap tanaman-tanaman lainnya seperti kopi, coklat, dan karet di berbagai daerah.

Santosa (2012) dalam penelitiannya mengenai dampak anomali iklim mengungkapkan bahwa perubahan iklim curah hujan akan meningkat sebesar 2 sampai 3% per tahun dan musim hujan akan lebih singkat, dan kedua perubahan ini akan menambah risiko banjir. Tambahan curah hujan ini ada positifnya, tetapi juga ada negatifnya. Positifnya, pasokan air irigási tentu akan bertambah. Negatifnya, aliran air yang sangat deras juga bisa mengurangi masa guna reservoir dan saluran irigási, dan mempercepat proses erosi tanah. Sebagai akibatnya, kesuburan dan produktivitas tanah, terutama di dataran tinggi, juga akan turun, persis seperti akibat kekeringan yang berkepanjangan.Penurunan tingkat kesuburan tanah ini akan mengurangi hasil panen tanaman di dataran tinggi.

Selain tantangan-tantangan di atas, hambatan yang akan dihadapi oleh perberasan nasional terkait daya serap industri dan pasca panen antara lain: (1) tidak berkembangnya industri pengolahan dan penciptaan nilai tambah produk primer pertanian; (2) tidak berkembangnya sektor jasa penunjang pertanian; (3) belum memadainya prasarana dan sarana transportasi baik darat dan terlebih antar pulau, sehingga meningkatkan biaya distribusi pangan; (4) buruknya infrastruktur yang menghubungkan sentra produksi dengan kota; (5) buruknya kelembagaan pasar dan tingginya biaya transaksi; (6) lokasi sentra produksi bahan pangan masih terpusat di beberapa wilayah. Sedangkan dari sisi penyelenggara negara tantangannya adalah

bahwa cadangan pangan pemerintah masih terbatas (hanya beras dan dikelola oleh pemerintah pusat), sementara cadangan pemerintah daerah dan masyarakat belum berkembang, termasuk belum optimalnya pemanfaatan dan pengelolaan lumbung pangan masyarakat.

Tantangan dari aspek permintaan antara lain: (1) peningkatan populasi penduduk global khususnya di kawasan Asia dan di antaranya 75% berada di negara berkembang; (2) laju pertumbuhan penduduk rata-rata di Indonesia sebesar 1.38% per tahun, dengan jumlah penduduk tahun 2013 mencapai 248.82 juta jiwa; (3) meningkatnya rata-rata pendapatan per kapita di negara Asia sehingga meningkatkan permintaan pangan dari segi kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan; (4) perubahan struktur demografis dan urbanisasi; (5) peningkatan kebutuhan bahan pangan sebagai sumber energi, pakan, dan kegunaan industri (penyebab volatilitas harga pangan); (6) ketergantungan konsumsi pada salah satu jenis bahan pangan (beras) sangat tinggi, dan belum optimalnya pemanfaatan pangan lokal untuk konsumsi pangan harian; dan (7) rendahnya kualitas dan kuantitas pola konsumsi pangan penduduk, karena pengetahuan, budaya dan kebiasaan makan masyarakat kurang mendukung konsumsi pangan yang Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman (B2SA).

Memang patut diakui berkat komitmen politik yang tinggi, konsisten dan berkelanjutan, dan didukung oleh anggaran yang besar, program peningkatan produksi beras nasional berhasil secara kuantitatif sehingga status Indonesia berubah dari importir beras menjadi swasembada beras pada tahun 1984. Namun jika dilihat dari perspektif pengadaan pangan berkelanjutan, kebijakan yang dilakukan tersebut masih belum berhasil dengan alasan berikut : pertama, walaupun dengan ongkos besar, waktu yang dibutuhkan untuk meraih swasembada beras ternyata sangat lama (lebih dari 25 tahun) dan hanya bisa dipertahankan selama lima tahun saja. Disamping itu, peningkatan derajat swasembada beras diikuti dengan peningkatan defisit bahan pangan lain (jagung). Kedua, kebijakan yang berorientasi pada peningkatan produksi beras nasional telah menyebabkan petani terperangkap dalam kemiskinan dan tidak kondusif bagi pemantapan ketahanan pangan keluarga di pedesaan dan petani gurem pada khususnya. Kebijakan tersebut hanya fokus pada petani sawah, tetapi mengabaikan petani yang hidup di lahan kering dan bahan makanan pokoknya bukan beras. Ketiga, intensifikasi dan penurunan kualitas irigasi telah membuat usaha tani pangan rentan terhadap serangan hama dan perubahan iklim sehingga produksi pangan tidak stabil. Keempat, kebijakan produksi beras telah menyebabkan overekstensifikasi penggunaan lahan dan overintensifikasi penggunaan pupuk dan pestisida sehingga menimbulkan efek negatif terhadap kualitas lingkungan hidup. Masalah overintensifikasi penggunaan pupuk juga diungkapkan oleh penelitian Tinaprilla (2012), Suryani (2015) dan Junaedi (2016).

Sumaryanto (2009) mengidentifikasi bahwa ancaman perberasan dari sisi produksi antara lain: (1) pertumbuhan produksi padi sangat ditentukan oleh ketersediaan air irigasi yang cukup, padahal air irigasi semakin langka; (2) laju konversi lahan sawah ke non sawah sulit dikendalikan; (3) kemampuan untuk melakukan perluasan lahan sawah (new construction) sangat terbatas dan lahan yang secara teknis-sosial-ekonomis layak dijadikan sawah semakin berkurang.

Berdasarkan review sebelumnya, selain berdampak positif, program revolusi hijau juga menjadi penyebab dari terjadinya penurunan keanekaragaman hayati. Diversifikasi baik produksi maupun konsumsi pangan pokok menunjukkan kecenderungan yang memburuk. Berdasarkan hasil perhitungan Sumaryanto (2009)

jika sasaran diversifikasi tidak tercapai (pola konsumsi beras tidak berubah) rata-rata pertumbuhan produksi beras yang diperlukan sekitar 8 sampai 10 persen per tahun. Sebaliknya jika diversifikasi konsumsi mencapai sasarannya maka rata-rata produksi beras yang diperlukan hanya sekitar 4 sampai 5 persen per tahun.

Padahal dari sisi potensi, peluang untuk meningkatkan produktivitas usaha tani pangan nonberas masih terbuka karena senjang antara produktivitas aktual dengan potensialnya masih cukup tinggi. Contoh kongkrit pada komoditas jagung dimana tanpa dukungan infrastruktur dan kebijakan harga seperti yang diterapkan kepada beras perkembangan luas panen dan produktivitas jagung cukup tinggi. Dengan kebijakan yang lebih kondusif, hal yang sama sangat mungkin terjadi pada komoditas ubi kayu.

Untuk jangka panjang, upaya pengurangan ketergantungan terhadap beras harus diawali dengan penetapan komoditas alternatif secara jelas, sehingga kebijakan pengembangan komoditas alternatif dapat dilakukan secara proporsional. Sejalan dengan upaya ini, diversifikasi produksi merupakan jalan bagi peningkatan pendapatan rumah tangga. Kebijakan harga harus dapat mendukung diversifikasi konsumsi dan produksi. Pengambangan bahan pangan yang dapat disimpan lama seperti tepung layak dipertimbangkan (Jamal et al. 2008).

Andai saja, program diversifikasi pangan yang telah diperkenalkan lama tersebut bisa dilaksanakan dengan serius, maka Indonesia tidak perlu lagi harus mengeluarkan lebih banyak uang hanya untuk mewujudkan program swasembada beras yang belum tentu akan tercapai setiap tahunnya dan ketahanan pangan nasional menjadi lebih mudah dijaga kestabilannya karena tidak hanya tergantung pada beras saja.

Dokumen terkait