• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Kebijakan Perberasan Terhadap Pola Diversifikasi Pangan Pokok Dan Ketahanan Pangan Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Kebijakan Perberasan Terhadap Pola Diversifikasi Pangan Pokok Dan Ketahanan Pangan Nasional"

Copied!
246
0
0

Teks penuh

(1)

PANGAN NASIONAL

EDI SETIAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Dampak Kebijakan Perberasan terhadap Diversifikasi Pangan Pokok dan Ketahanan Pangan Nasional adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari disertasi saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 29 Desember 2016

(4)
(5)

RINGKASAN

EDI SETIAWAN. Dampak Kebijakan Perberasan terhadap Pola Diversifikasi Pangan Pokok dan Ketahanan Pangan Nasional. Dibimbing oleh SRI HARTOYO, BONAR M.

SINAGA dan MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL.

Sebagai salah satu dari lima negara dengan penduduk terbesar di dunia, Indonesia mempunyai tantangan cukup besar dalam pemenuhan konsumsi pangan penduduknya. Masalah ketahanan pangan terkait penyediaan dan akses pangan menjadi agenda penting dalam setiap program pembangunan pertanian. Dengan berbagai kebijakan perberasan yang diterapkan membawa Indonesia pernah meraih swasembada beras, namun prestasi ini membawa dampak lain yaitu semakin tingginya ketergantungan konsumsi pangan penduduk terhadap beras. Berbagai program diversifikasi pangan tidak mampu menahan laju konsumsi beras sehingga kondisi ini dapat menjadi ancaman baru bagi kondisi ketahanan pangan nasional.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan kondisi diversifikasi pangan pokok periode yang lalu dan meramalkan perkembangan diversifikasi pangan pokok pada masa yang akan datang, menganalisis keterkaitan kebijakan perberasan dan program swasembada beras dengan kegagalan program diversifikasi pangan pokok, meramalkan dampak penerapan kebijakan perberasan pada masa yang akan datang terhadap kondisi diversifikasi pangan pokok, dan merumuskan kebijakan alternatif terbaik yang dapat meningkatkan kondisi diversifikasi pangan pokok dan ketahanan pangan nasional. Pangan pokok yang dianalisis dibatasi pada empat pangan pokok utama yaitu beras, jagung, ubi kayu dan terigu dan digunakan data tingkat nasional tahun 1980-2013. Penelitian ini menggunakan model persamaan simultan terdiri dari 22 Persamaan struktural dan 34 persamaan identitas yang diestimasi dengan menggunakan metode Two Stage Least Square (2SLS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diversifikasi produksi dan konsumsi empat pangan pokok selama kurun waktu 4 dekade terakhir semakin memburuk yang ditandai oleh kesenjangan yang tinggi antara padi dengan jagung, ubi kayu dan terigu. Produksi beras mendominasi produksi pangan pokok dan kecenderungannya semakin meningkat setiap tahunnya dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3.22 persen. Konsumsi beras juga mempunyai kecenderungan meningkat jauh di atas komoditas lainnya terutama setelah tahun 2006.

Berdasarkan hasil simulasi kebijakan perberasan pada model ekonomi pangan pokok Indonesia diketahui bahwa dari berbagai alternatif kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tidak ada satupun yang dapat memenuhi tujuan keempat indikator ketahanan pangan. Penerapan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas jagung dan ubi kayu merupakan pilihan yang dapat dipilih untuk meningkatkan semua indikator ketahanan pangan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan yang memberikan dukungan berlebihan terhadap komoditas beras dengan tujuan swasembada beras berdampak negatif terhadap diversifikasi baik konsumsi maupun produksi. Kebijakan yang terkait pembatasan impor dan pengenaan tariff yang tinggi atas impor beras memberikan dampak yang positif terhadap diversifikasi konsumsi dan indikator swasembada beras. Semua kebijakan yang dilakukan yang bertujuan untuk meningkatkan diversifikasi produksi pangan pokok akan berdampak positif juga terhadap indeks diversifikasi konsumsi tetapi tidak berlaku sebaliknya.

(6)

kondisi diversifikasi pangan pokok baik produksi maupun konsumsi masih sangat sulit untuk tercapai. Ketahanan pangan nasional masih akan tergantung kepada pencapaian swasembada beras dengan segala kebijakan pendukungnya. Selama 8 tahun ke depan, trade off antara kebijakan yang ingin memperkuat ketahanan pangan melalui swasembada beras dengan kebijakan penguatan ketahanan pangan melalui diversifikasi konsumsi masih akan terjadi. Berdasarkan hasil simulasi historis ada satu pilihan alternatif kebijakan yang dapat memperkuat diversifikasi konsumsi sekaligus pencapaian swasembada beras yaitu alternatif kebijakan penurunan kuota impor sebesar 10 persen.

Pada masa yang akan datang, jika pemerintah tetap ingin mempertahankan ketahanan pangan yang dibangun berdasarkan swasembada beras maka pilihan kebijakan pengurangan subsidi pupuk dan benih yang diantisipasi dengan peningkatan dan perbaikan infrastruktur irigasi dapat menjadi kebijakan alternatif, sedangkan jika pemerintah ingin fokus terhadap upaya-upaya pencapaian diversifikasi pangan baik produksi maupun konsumsi maka pilihan kebijakan pengurangan subsidi pupuk yang diantisipasi dengan menaikkan harga pembelian pemerintah dapat menjadi alternatif. Temuan menarik yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah adalah bahwa ketika diversifikasi produksi berhasil dicapai maka diversifikasi konsumsi juga akan tercapai, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Temuan ini menjelaskan bahwa diversifikasi konsumsi dapat dicapai tanpa melalui diversifikasi produksi tetapi bisa melalui kebijakan langsung terhadap penawaran beras yaitu impor.

Dari berbagai alternatif kebijakan yang disimulasikan, kebijakan pelarangan impor atau pembatasan impor pada level tertentu adalah pilihan kebijakan yang dapat diambil agar dapat memaksa masyarakat mendiversifikasikan konsumsi pangan pokok mereka dan mengurangi ketergantungan akan beras. Kebijakan ini juga sekaligus dapat memperkuat kemandirian pangan beras dan memuluskan jalan untuk pencapaian swasembada beras.

Pemerintah sebaiknya memutuskan untuk membangun ketahanan pangan nasional dengan orientasi jangka pendek melalui pencapaian swasembada beras atau berorientasi jangka panjang dengan melakukan diversifikasi produksi dan konsumsi pangan pokok. Peningkatan produktivitas jagung dan ubi kayu sebaiknya segera dilakukan mengingat dampaknya positif terhadap diversifikasi dan ketahanan pangan. Kebijakan pengurangan subsidi pupuk belum saatnya untuk dilakukan jika pemerintah masih tetap mentargetkan untuk mencapai swasembada beras karena berbagai kombinasi kebijakan yang dilakukan menunjukkan indikator ketahanan pangan yang memburuk dan kesejahteraan baik produsen maupun konsumen menjadi turun.

(7)

SUMMARY

EDI SETIAWAN. Impact of Rice Policy on Staple Food Diversification and National Food Security. Supervised by SRI HARTOYO, BONAR M. SINAGA and MANUNTUN

PARULIAN HUTAGAOL.

As one of the five most highly populated countries in the world, Indonesia still faces a big problem in fulfilling the consumption needs of its people. The issues related to food security become important to be included in the agricultural development planning program. The implementation of rice policy resulted in achieving self sufficiency, however it has also created a high dependency of rice consumption. Various program implementation of food diversification has not been able to reduce the rice consumption, thus high rice consumption could become a threat for national food security.

This study aims to describe the development of staple food diversification in past period and to predict the development of staple food diversification in the future, to analize the interconection between rice policy implemented and self sufficiency program with the failure of staple food diversification, to predict the impact of rice policy on staple food diversification, and also to formulate a specific policy to improve the condition of food diversification and national food security. This study analyses on four main staple foods: rice, maize, cassava and wheat using national series data of period 1980-2013. The Simultaneous Equations Model consisting of 22 structural equations and 34 identity equations were estimated using Two Stage Least Square method.

The result confirms that during the last four decades, historic data of staple food production and consumption showed that there is a huge gap in the production and consumption of rice and other staple foods. Rice has dominated staple food production and it tends to increase over time with annual growth of about 3.22 percent. Moreover, rice consumption also tends to increase higher than any other commodity consumption particularly after year 2006.

Based on the model, various rice policy implemented could not satisfy four objectives of food security. Implementation of technology for improving maize and cassava could satisfy all of food security indicators. Simulation result shows that the exaggerated rice policy in order to achieve self-sufficient condition is contrary to the diversification program of production and consumption. Import quota and high tariff policy on rice gives positive impact on consumption diversification and also rice self-sufficiency indicator. All policies aimed to increase diversification of staple food production will also give a positive impact on consumption diversification, but not vice versa. Import quota and high tariff policy on rice will only give positive impact on the consumption diversification.

Based on forecasting for the period of 2017-2025, it shows that by 2025 the diversification of staple food production and consumption is difficult to be achieved. Indonesia food security would highly depend on rice self sufficiency and all the supporting policies. For the next eight years, there would be a trade off between food self sufficiency program and staple food diversification program. Based on forecasting model, there is one alternative policy that could create both consumption diversification and rice self sufficiency simultaneously, that is a reduction of import quota policy by 10 percent.

(8)

Government would like to achieve food diversification, both production and consumption diversification, then the best policies would be a reduction in fertilizer subsidy while increasing government purchasing price. The interesting result is that when production diversification could be achieved, the consumptions diversification follows, but not vice versa. This finding explains that consumption diversification could be achieved without achieving production diversification. It also could be achieved by direct policy on supply side, which is rice import.

From alternative policies simulated both in historical period and forecasting period, the policy of rice import ban in certain level could become the best policy. This policy could force the population to diversify their staple food consumption and reduce their consumption on rice. This policy could also strenghten the rice independence and create pathway to rice self sufficiency.

Finally, the government should decide to build the national food security in short term, by achieving rice self sufficiency, and in the long term, by diversifying production and consumption of staple food. Improving of maize and cassava productivity should be implemented in the short time as those program would improve the condition of diversification and food security. The reducing pesticide subsidy has to be implemented gradually and it is not to be implemented in the short time if the government aims to achieve rice self sufficiency. This because the rice policies combination would worsen food security indicator, hence it reduces both producer and consumer welfare.

(9)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)

EDI SETIAWAN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2016

DAMPAK KEBIJAKAN PERBERASAN TERHADAP POLA

DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK DAN KETAHANAN PANGAN

(11)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Harianto, MS;

Staf pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

2. Dr. Adi Lumaksono, MA;

Deputi Bidang Statistik Produksi, Badan Pusat Statistik.

Komisi Promosi Luar pada Sidang Promosi Terbuka: 3. Dr. Ir. Harianto, MS;

Staf pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

4. Dr. Adi Lumaksono, MA;

(12)
(13)

Judul Disertasi : Dampak kebijakan Perberasan terhadap Diversifikasi Pangan Pokok dan Ketahanan Pangan Nasional

Nama Mahasiswa : Edi Setiawan

NIM : H363110091

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Disetujui oleh: Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS Ketua

Prof Dr Ir Bonar M Sinaga, MA Prof Dr Manuntun Parulian Hutagaol, MS

Anggota Anggota

Diketahui oleh:

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Ujian Tertutup: 20 Desember 2016

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas kasih dan limpahan rahmat-Nya sehingga disertasi ini berhasil penulis selesaikan. Disertasi ini

berjudul “Dampak kebijakan Perberasan terhadap Pola Diversifikasi Pangan Pokok dan Ketahanan Pangan Nasional”. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih dan memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian disertasi ini, di antaranya:

1. Jajaran pimpinan Badan Pusat Statistik, yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk belajar di Institut Pertanian Bogor.

2. Istri, Ratih Widayanti dan anak tersayang Bramandhito Javas Nararya atas pengertian dan kesetiaan mendampingi selama proses penyelesaian belajar, serta dorongan semangat dan doa dari orang tua penulis ibu Eni Haryanto dan bapak/Ibu mertua penulis Bambang Irawan/Lucia AS Sandy.

3. Komisi pembimbing yang luar biasa, Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS; Prof Dr Ir Bonar M. Sinaga, MA; dan Prof Dr Ir Manuntun Parulian Hutagaol atas bimbingan, masukan, arahan, dan semangat luar biasa yang diberikan.

4. Penguji luar komisi dan komisi promosi Dr Ir Harianto, MS dan Dr Adi Lumaksono, MA serta perwakilan program studi Dr. Meti Ekayani yang telah memberikan banyak masukan untuk perbaikan disertasi ini.

5. Sekolah pasca sarjana IPB beserta jajarannya yang telah membantu memfasilitasi studi penulis.

6. Sekretariat program studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan staf yang selalu memberikan pelayanan selama proses studi.

7. Rekan-rekan mahasiswa Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian khususnya program Doktor angkatan 2011.

8. Dan banyak pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut berkontribusi dalam penyelesaian penelitian ini.

Akhirnya penulis sampaikan tidak ada disertasi yang sempurna, namun penulis berharap semoga disertasi ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi penelitian-penelitian lain yang sejenis dan bermanfaat bagi orang banyak.

Bogor, 29 Desember 2016

Penulis,

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xix

DAFTAR GAMBAR xxi

DAFTAR LAMPIRAN xxii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Permasalahan 2

Tujuan 6

Ruang Lingkup dan Keterbatasan 6

Kebaruan Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Kebijakan Pertanian yang Pro Beras 7

Rigiditas konsumsi beras 9

Tantangan dan hambatan kebijakan perberasan 11

Konsep dan Pengukuran Diversifikasi Pangan 14

3 KERANGKA PEMIKIRAN 16

Dampak Subsidi Input Terhadap Biaya Produksi dan Permintaan Input 17 Keputusan Produksi Petani Padi dan Dampaknya terhadap Produksi

Komoditas Pangan Pokok Lain

18

Dampak peningkatan produksi padi terhadap pasar beras dan nonberas 19

Dampak kebijakan harga output 19

Dampak kebijakan impor beras 20

Respon perubahan harga terhadap permintaan dan pola konsumsi pangan pokok konsumen

20

Hipotesis Penelitian 20

4 METODE PENELITIAN 22

Data dan Sumber Data 22

Konsep dan Pengukuran Variabel 22

Perumusan Model Diversifikasi Pangan Pokok Indonesia 23

Identifikasi dan Pendugaan Model 31

Identifikasi Model 31

Pendugaan Model 31

Validasi Model 32

Simulasi Model 34

5 GAMBARAN PERKEMBANGAN KINERJA EKONOMI DAN

DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK 34

Perkembangan Luas Areal Panen Pangan Pokok 34

(18)

Perkembangan Produksi Pangan Pokok 39

Perkembangan Konsumsi Pangan Pokok 41

Perkembangan Harga Pangan Pokok 43

Perkembangan Indeks Diversifikasi Pangan Pokok 46

6 HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI PANGAN POKOK INDONESIA 47

Kinerja Ekonomi Beras 48

Kinerja Ekonomi Jagung 54

Kinerja Ekonomi Ubi kayu 58

Kinerja Ekonomi Terigu 62

7 ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN PERBERASAN 67

Hasil Validasi Model 67

Evaluasi Dampak Kebijakan Perberasan Periode Tahun 2008-2013 terhadap Diversifikasi Pangan Pokok dan Ketahanan Pangan

69

Dampak perubahan harga pupuk, harga benih dan Harga Pembelian Pemerintah

69

Dampak kebijakan perdagangan beras 74

Dampak kombinasi kebijakan perberasan 79

Dampak peningkatan produktivitas jagung dan ubi kayu 85

Ramalan Dampak Kebijakan Perberasan Periode Tahun 2017-2025 terhadap Diversifikasi Pangan Pokok dan Ketahanan Pangan

88

Hasil Peramalan Tanpa Perubahan Kebijakan 88

Hasil Simulasi Ramalan Dampak Kebijakan Perberasan Tahun 2017-2025 (HPP) dan luas lahan irigasi terhadap diversifikasi dan ketahanan pangan

94

Hasil ramalan dampak perubahan tarif dan kuota impor terhadap diversifikasi dan ketahanan pangan

96

Ramalan dampak kombinasi kebijakan terhadap diversifikasi dan ketahanan pangan

99

Ramalan dampak kombinasi kebijakan perubahan harga pupuk dan perubahan kuota impor terhadap diversifikasi dan ketahanan pangan

102

Ramalan dampak peningkatan produktivitas jagung dan ubi kayu terhadap diversifikasi dan ketahanan pangan

103

(19)

DAFTAR TABEL

1 Rangkuman perkembangan pola konsumsi pangan pokok di Indonesia tahun 1954 –2012

3

2 Distribusi provinsi berdasarkan tingkat konsumsi beras Tahun 2012 4

3 Pembagian blok persamaan model ekonomi pangan pokok 24

4 Daftar variabel endogen berdasarkan urutan abjad 29

5 Daftar variabel eksogen berdasarkan urutan abjad 30

6 Daftar faktor konversi yang digunakan 30

7 Perkembangan rata-rata dan pertumbuhan luas areal padi, jagung, dan ubi kayu di Indonesia tahun 1970-2015

36

8 Perkembangan rata-rata dan pertumbuhan produktivitas padi, jagung, dan ubi kayu di Indonesia tahun 1970-2015

37

9 Perkembangan rata-rata dan pertumbuhan produksi padi, jagung, dan ubi kayu di Indonesia tahun 1970-2015

40

10 Perkembangan rata-rata dan pertumbuhan konsumsi padi, jagung, dan ubi kayu di Indonesia tahun 1980-2015

42

11 Perkembangan rata-rata dan pertumbuhan harga padi, jagung, dan ubi kayu di Indonesia tahun 1980-2015

44

12 Hasil pendugaan parameter persamaan luas areal panen padi 49

13 Hasil pendugaan parameter persamaan impor beras 50

14 Hasil pendugaan parameter persamaan konsumsi beras rumahtangga 51

15 Hasil pendugaan parameter persamaan harga padi 52

16 Hasil pendugaan parameter persamaan harga beras domestik 53

17 Hasil pendugaan parameter persamaan harga impor beras 53

18 Hasil pendugaan parameter persamaan luas areal panen jagung 54

19 Hasil pendugaan parameter persamaan impor jagung 55

20 Hasil pendugaan parameter persamaan konsumsi jagung rumahtangga 56 21 Hasil pendugaan parameter persamaan harga produsen jagung 57

22 Hasil pendugaan parameter persamaan harga konsumen jagung 58

23 Hasil pendugaan parameter persamaan harga impor jagung 58

24 Hasil pendugaan parameter persamaan luas areal panen ubi kayu 59

25 Hasil pendugaan parameter persamaan konsumsi ubi kayu rumahtangga 60

26 Hasil pendugaan parameter persamaan harga ubi kayu 61

27 Hasil pendugaan parameter persamaan harga konsumen ubi kayu 62

28 Hasil pendugaan parameter persamaan Impor gandum 63

29 Hasil pendugaan parameter persamaan harga impor gandum 64

(20)

31 Hasil pendugaan parameter persamaan Konsumsi terigu rumahtangga 65

32 Hasil pendugaan parameter persamaan harga produsen terigu 66

33 Hasil pendugaan parameter persamaan harga konsumen terigu 66

34 Hasil validasi model ekonomi pangan pokok Indonesia 68

35 Dampak perubahan harga pupuk dan Harga Pembelian Pemerintah terhadap diversifikasi dan kemandirian pangan pokok di Indonesia simulasi tahun 2008-2013

70

36 Dampak perubahan harga benih dan luas areal irigasi terhadap diversifikasi dan kemandirian pangan pokok di Indonesia simulasi tahun 2008-2013

72

37 Dampak perubahan tarif impor beras terhadap diversifikasi dan kemandirian pangan pokok di Indonesia simulasi tahun 2008-2013

75

38 Dampak perubahan kuota impor beras dan nilai tukar terhadap diversifikasi dan kemandirian pangan pokok di Indonesia simulasi tahun 2008-2013

78

39 Dampak kombinasi perubahan harga pupuk, benih dan Harga Pembelian Pemerintah terhadap diversifikasi dan kemandirian pangan pokok di Indonesia simulasi tahun 2008-2013.

81

40 Dampak kombinasi perubahan harga pupuk, benih, Harga Pembelian Pemerintah dan kuota impor terhadap diversifikasi dan kemandirian pangan pokok di Indonesia simulasi tahun 2008-2013.

83

41 Dampak perubahan produktivitas jagung, ubi kayu dan luas areal irigasi terhadap diversifikasi dan kemandirian pangan pokok di Indonesia simulasi tahun 2008-2013.

86

42 Ringkasan hasil simulasi historis terhadap berbagai perubahan kebijakan 87

43 Hasil peramalan indikator kinerja ekonomi beras tahun 2017-2025 89 44 Hasil peramalan indikator kinerja ekonomi jagung tahun 2017-2025 89 45 Hasil peramalan indikator kinerja ekonomi ubi kayu tahun 2017-2025 90 46 Hasil peramalan indikator kinerja ekonomi terigu tahun 2017-2025 90 47 Ramalan dampak perubahan harga pupuk terhadap diversifikasi dan

kemandirian pangan pokok tahun 2017-2025

92

48 Ramalan dampak perubahan harga pembelian pemerintah dan luas lahan irigasi terhadap diversifikasi dan kemandirian pangan pokok tahun 2017-2025

95

49 Ramalan dampak perubahan kuota dan tarif impor beras terhadap diversifikasi dan kemandirian pangan pokok tahun 2017-2025

98

50 Ramalan dampak kombinasi kebijakan harga pupuk, Harga Pembelian Pemerintah, dan luas areal irigasi

101

51 Ramalan dampak kebijakan harga pupuk dan perubahan kuota impor terhadap diversifikasi dan kemandirian pangan pokok

103

52 Ramalan dampak perubahan produktivitas jagung, ubi kayu dan luas areal irigasi terhadap diversifikasi dan kemandirian pangan pokok

105

(21)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka teori dampak kebijakan perberasan terhadap diversifikasi pangan pokok

18

2 Perkembangan luas areal panen padi, jagung, dan ubi kayu di Indonesia tahun 1970-2015

35

3 Perkembangan produktivitas padi, jagung, dan ubi kayu di Indonesia tahun 1970-2015

37

4 Perkembangan produksi padi, jagung, dan ubi kayu di Indonesia tahun 1970-2015

39

5 Perkembangan konsumsi padi, jagung, dan ubi kayu di Indonesia tahun 1970-2015

42

6 Perkembangan harga riil padi, jagung, dan ubi kayu di Indonesia tahun 1970-2015

44

7 Perkembangan indeks diversifikasi produksi di Indonesia tahun 1980-2015 46 8 Perkembangan indeks diversifikasi konsumsi di Indonesia tahun 1980-2015 47 9 Peramalan indeks diversifikasi dan kemandirian pangan 2017-2025 88 10 Diagram pilihan simulasi kebijakan berdasarkan tujuan kebijakan pangan

yang ingin dicapai menurut hasil simulasi historis

108

11 Diagram pilihan simulasi kebijakan berdasarkan tujuan kebijakan pangan yang ingin dicapai

109

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data yang digunakan pada model ekonomi pangan pokok menurut variabel tahun 1980-2013

118

2 Program estimasi model ekonomi pangan pokok Indonesia 124

3 Hasil estimasi model ekonomi pangan pokok Indonesia 149

4 Program validasi model ekonomi pangan pokok Indonesia 158

5 Hasil validasi model ekonomi pangan pokok Indonesia 163

6 Program simulasi historis model ekonomi pangan pokok Indonesia 173

7 Hasil simulasi historis model ekonomi pangan pokok Indonesia 178

8 Program simulasi peramalan model ekonomi pangan pokok Indonesia 206

9 Hasil simulasi peramalan model ekonomi pangan pokok Indonesia 217

(22)
(23)
(24)

Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat esensial karena pangan mengandung sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air) yang dibutuhkan manusia untuk dapat mempertahankan hidupnya. Pangan juga dapat dipandang sebagai syarat kecukupan bagi setiap manusia untuk mencapai tingkat kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupannya (BKP 2014). Mengingat arti penting tersebut maka hak atas pangan merupakan bagian penting dari hak asasi manusia yang harus dipenuhi seperti tertuang dalam tiga kesepakatan internasional berikut: (1) Universal Declaration of Human Right (1948) dan The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966) yang menyebutkan bahwa “everyone should have an adequate standard of living, including adequate food, cloothing, and housing and that the fundamental right to freedom from hunger and malnutrition”; (2) Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996 yang ditandatangani oleh 112 kepala negara atau penjabat tinggi dari 186 negara peserta, yang memberikan penekanan pada hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup, dan perlunya aksi bersama antar negara untuk mengurangi kelaparan; dan (3) sejak tahun 1980, Hari Pangan Sedunia diperingati setiap tanggal 16 Oktober yang menekankan pentingnya pemenuhan hak atas pangan dan pada tahun 2016 tema internasional hari pangan sedunia adalah "Climate is Changing, Food and Agriculture must too" sedangkan tema nasionalnya adalah "Membangun Kedaulatan Pangan di Era Perubahan Iklim".

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk yang besar dan wilayah yang sangat luas, tentunya ketahanan pangan harus menjadi agenda penting dalam pembangunan ekonominya. Hasil evaluasi indeks ketahanan pangan global yang dilakukan oleh economist intellegence unit pada tahun 2012 menempatkan Indonesia di posisi ke 5 dari 7 negara ASEAN (Kementerian Perdagangan 2013). Posisi ketahahan pangan Indonesia tersebut berada di bawah Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dari negara - negara tetangga dalam hal memberikan jaminan ketersediaan dan aksesibilitas pangan bagi penduduknya.

Penyelenggaraan urusan pangan di Indonesia diatur melalui Undang - Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 pengganti Undang - Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 yang dibangun berlandaskan kedaulatan dan kemandirian pangan. Undang-undang tersebut menjelaskan untuk memenuhi ketahanan pangan nasional diperlukan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Berdasarkan undang - undang tersebut jelas ketersediaan dan diversifikasi pangan merupakan pilar penting dalam mewujudkan ketahanan pangan utamanya dalam upaya meningkatkan, memanfaatkan dan menyediakan pangan ke arah yang semakin beragam, bergizi seimbang, dan aman.

(25)

usaha penting bagi pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, material, dan spiritual. Sayangnya pelaksanaan Inpres tersebut nampaknya belum memberikan hasil seperti yang diharapkan. Pada kenyataannya perubahan menuju kearah penganekaragaman pangan belum menunjukkan hasil hingga akhirnya dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 Tahun 2009 tentang kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal yang diikuti dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.140/10/2009 tentang gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis sumberdaya lokal yang salah satu sasarannya menurunkan konsumsi beras 1.5% per tahun.

Jika ditelaah dari arah yang berbeda, keberhasilan program diversifikasi pangan justru akan semakin memuluskan jalan bagi keberhasilan program swasembada beras. Tercapainya diversifikasi akan mengurangi permintaan beras penduduk karena penduduk akan mengkompensasinya dengan meningkatkan permintaan akan pangan pokok penggantinya seperti jagung, ubi kayu dan sagu. Berkurangnya permintaan beras tentunya akan membuat kondisi swasembada beras lebih mudah dicapai. Ketersediaan pangan alternatif beras dengan harga yang terjangkau oleh daya beli dan didukung oleh teknologi penyimpanan yang baik dapat meningkatkan konsumsinya, sehingga dapat dikatakan keberhasilan program diversifikasi pangan pokok menjadi langkah awal menuju tercapainya swasembada beras dan terwujudnya ketahanan pangan nasional.

Permasalahan

Sejak awal kemerdekaan ketahanan pangan nasional sudah menjadi salah satu tujuan utama pembangunan ekonomi dan saat itu beras sudah menjadi konsumsi pangan utama penduduk (Bappenas 2013). Peran starategis tersebut menyebabkan ketahanan pangan diartikan secara sempit sebagai kondisi tercukupinya beras bagi masyarakat. Untuk mencapai tingkat ketahanan pangan tersebut pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mencapai swasembada beras dan tetap menjaga harga beras pada tingkat yang terjangkau oleh masyarakat (Timmer 2004). Harga beras yang murah menjadi indikator sempurna bagi ketahanan pangan sehingga berbagai kebijakan pangan yang dibuat terfokus hanya pada satu komoditas yaitu beras.

Swasembada beras menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan di setiap era pemerintahan dan obsesi besar pemerintah tersebut pada akhirnya dapat dicapai pada tahun 1984, dimana Indonesia mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negeri tanpa perlu melakukan impor (Kumalasari 2013; Hanani N et al. 2012; Sumaryanto 2009) Keberhasilan tersebut pada satu sisi merupakan suatu pencapaian besar pemerintah, bahkan mendapat pengakuan dari dunia internasional, tetapi pada sisi lain merupakan ancaman baru bagi ketahanan pangan nasional yang ditandai dengan semakin tingginya ketergantungan konsumsi pangan penduduk terhadap beras dan ditinggalkannya konsumsi pangan lainnya seperti jagung, ubi kayu dan sagu. Kondisi ini terjadi hampir di setiap daerah dan semua kelompok sosial ekonomi. Ketergantungan terhadap beras juga dialami oleh daerah-daerah yang pada awalnya memiliki bahan makanan pokok selain beras (Ariani dan Pitono 2013).

(26)

diharapkan akan mampu mendorong daya serap pasar terhadap produksi pangan non-beras, sehingga akan dapat meningkatkan minat petani untuk mengembangkan komoditas pangan non-beras, khususnya pangan-pangan lokal yang sudah terbiasa dikonsumsi masyarakat seperti jagung, ubi kayu, dan sagu.

Berbagai upaya terkait diversifikasi yang dilakukan pemerintah ternyata sulit dicapai. Dukungan yang berlebihan terhadap beras telah menjadi penyebab belum tercapainya program diversifikasi pangan karena pada dasarnya program diversifikasi merupakan program yang tidak sejalan dengan program swasembada beras. Kedua program ini menjadi sangat sulit untuk diterapkan secara bersama. Kebijakan terkait swasembada beras terlalu mendominasi kebijakan pangan yang dijalankan oleh pemerintah. Dalam kabinet kerja yang sedang berjalan swasembada beras masih menjadi target pembangunan pertanian melalui upaya khusus (UPSUS) peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai.

Masyarakat terus dimanjakan dengan harga beras yang murah dengan akses yang mudah sehingga laju konsumsi beras tidak mampu lagi dibendung. Saat ini beras telah menjadi pangan tunggal bagi konsumsi pangan pokok penduduk yang ditandai dengan tingginya (97 persen) penduduk yang tergantung kepada beras (Ariani dan Pitono 2013, Santoso 2015). Konsumsi per kapita beras pernah mencapai 139 kg per kapita per tahun. Meskipun kemudian turun menjadi 120 kg per kapita per tahun tetapi masih lebih tinggi dari yang ditargetkan yakni 90 kg per kapita per tahun. Jika dibanding dengan Malaysia dan Thailand yang hanya berkisar 65 kg – 70 kg per kapita per tahun dan standar FAO yang hanya sekitar 60 kg - 65 kg per kapita per tahun (Suryana 2005) target konsumsi beras Indonesia masih jauh berada di atasnya.

Sebagai perbandingan, pada tahun 1950-an walaupun beras sudah menjadi pangan pokok (54 persen dari pangsa konsumsi pangan pokok), namun peran pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian masih besar (ubi kayu 22 persen, jagung 19 persen). Sebagai hasil dari dominasi kebijakan perberasan, pada tahun 1980-an konsumsi beras sudah mencapai 80 persen sedangkan ubi kayu dan jagung masing-masing hanya 10 persen dan 7 persen saja (Ariani dan Pitono 2013).

Tabel 1 Rangkuman perkembangan pola konsumsi pangan pokok di Indonesia tahun1954 –2012

Tahun Pola Konsumsi Pangan Pokok (%)

1954 Beras (54), ubi kayu (22), jagung (19), lain-lain (5). 1987 Beras (80), ubi kayu (10), jagung (7), lain-lain (3). 1999 Beras (86), ubi kayu (5), jagung (2), lain-lain (7).

2010 Pangsa pangan selain beras dan terigu dalam pola konsumsi pangan pokok nyaris hilang, beras (97)

Sumber : Ariani dan Pitono 2013.

(27)

Tabel 2 Distribusi provinsi berdasarkan tingkat konsumsi beras tahun 2012

Konsumsi beras (kg/kap) Provinsi Jumlah Provinsi

>110 Bali, NTB, Sulbar 3

100-109 Aceh, Sumut, Sumbar,

Bengkulu, Banten, NTT, Kalbar, Sulut, Sulsel, Sultra

10

90-99 Riau, Jambi, Sumsel,

Babel, Lampung, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Kalteng, Kalsel, Gorontalo

12

80-89 Kep. Riau, DKI, Kaltim, Maluku, Papua Barat

5

<80 Malut, Papua 2

Sumber : Ariani dan Pitono 2013

Keberpihakan pemerintah terhadap beras semakin nyata yang ditunjukkan dengan dikeluarkannya kebijakan beras untuk rakyat miskin (RASKIN) pasca terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998. Kebijakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas akses masyarakat miskin terhadap beras ini semakin memperburuk kondisi diversifikasi konsumsi pangan pokok. Bahkan pasca krisis ekonomi terjadi pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk tidak lagi membatasi impor beras dengan alasan untuk menjaga keamanan stok beras nasional.

Berbagai kebijakan terkait beras menyebabkan peran beras dalam konsumsi pangan pokok penduduk semakin nyata dan sulit dibendung lagi. Dukungan pemerintah dengan segala kebijakannya telah melegitimasi kondisi tersebut. Terkait ketahanan pangan kondisi ini seharusnya menjadi sinyal buruk bagi pemerintah terutama jika dikaitkan dengan permasalahan peningkatan produksi beras yang semakin sulit. Dari sisi produksi, jika dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang berkembang akhir-akhir ini seperti: perubahan iklim yang menyebabkan banjir dan kekeringan, bergesernya waktu musim kering dan basah, penurunan kesuburan lahan, tingginya laju konversi lahan sawah ke penggunaan lain di luar produksi pertanian, dan tingginya kompetisi lahan sebagai bahan baku bio energi harusnya sudah menjadi suatu tanda bahwa resiko kegagalan produksi beras di Indonesia semakin tinggi (Krisnamurthi 2004).

Risiko tersebut akan semakin tinggi mengingat kemampuan finansial pemerintah dalam melakukan rehabilitasi dan perluasan jaringan irigasi semakin berkurang. Jika kondisi seperti ini dibiarkan bukan tidak mungkin suatu saat produksi beras nasional akan berada jauh di bawah tingkat yang ditargetkan dan Indonesia akan mengalami kekurangan beras dalam jumlah yang sangat besar. Kondisi ini akan semakin memperparah ketahanan pangan nasional dan mengancam terjadinya kelaparan terutama bagi kelompok penduduk berpendapatan rendah.

(28)

Diversifikasi produksi pangan juga dapat dipandang sebagai upaya mempertahankan ketahanan pangan penduduk dalam mengatasi ancaman terhadap fluktuasi harga beras. Dengan diversifikasi produksi ketika harga beras naik masyarakat masih mempunyai akses terhadap komoditas lain seperti jagung dan ubi. Hal ini didukung oleh fakta bahwa pada dasarnya selera penduduk Indonesia tidak benar-benar kaku terhadap nasi terbukti kita mempunyai sejarah mampu mendiversifikasikan konsumsi pangan pokok dan sampai saat ini masih ada penduduk di beberapa daerah yang mengkonsumsi jagung, ubi kayu dan sagu. Pada pembahasan sebelumnya, telah ditunjukkan bahwa secara historis penduduk Indonesia secara turun-temurun sudah mengkonsumsi pangan pokok selain beras seperti ubi kayu, jagung, dan sagu, dan ada juga masyarakat yang mengkombinasikan makanan antara jagung dengan beras.

Data Tabel 2 juga menunjukkan bahwa provinsi-provinsi yang masih melakukan diversifikasi konsumsi antara beras dengan pangan pokok lainnya merupakan provinsi-provinsi termiskin yang penduduknya mempunyai keterbatasan daya beli. Berdasarkan fakta tersebut diketahui bahwa substitusi antara beras dengan pangan pokok lainnya dapat dan mungkin terjadi pada saat akses mereka terhadap beras semakin sulit. Dengan kata lain dapat dikatakan substitusi dapat terjadi pada masyarakat dengan keterbatasan pendapatan dan daya beli.

Bukti lainnya menunjukkan saat krisis ekonomi terjadi konsumsi beras sempat mengalami penurunan sekitar 6 persen dan konsumsi terigu serta pangan olahannya turun sekitar 52 persen, sebaliknya konsumsi jagung dan ubi kayu sedikit meningkat. Selama proses pemulihan ekonomi tahun 2002 sampai 2007 konsumsi beras terus turun sedangkan konsumsi ubi kayu meningkat hingga 16.6 persen (DKP 2009). Fakta ini semakin menunjukkan bahwa ketergantungan pola konsumsi pangan pokok penduduk terhadap beras sebenarnya bukan hanya disebabkan oleh selera makan mereka yang sulit berubah tetapi lebih disebabkan oleh tingginya faktor subsidi pada komoditas tersebut yang membuat harganya menjadi murah.

Berdasarkan permasalahan yang telah diungkapkan di atas jelas kebijakan pangan yang memberikan dukungan berlebihan terhadap beras selama ini telah menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap beras dan menjadi kendala bagi upaya-upaya diversifikasi pangan. Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang salah arah jika tujuannya untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional karena kebijakan tersebut dibangun atas sistem ketahanan pangan yang rapuh dan mempunyai tingkat stabilitas ketahanan yang tidak berkelanjutan.

Indonesia harus mampu dan segera mengurangi laju konsumsi beras penduduknya jika ingin mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan. Paradigma ketahanan pangan yang dibangun atas dasar pencapaian swasembada beras harus dihentikan dan diganti dengan paradigma baru yaitu ketahanan pangan yang dibangun berdasarkan diversifikasi pangan. Dalam kaitannya dengan pencapaian swasembada beras, paradigma ketahanan pangan yang baru ini bukan merupakan pilihan yang bersebrangan dengan swasembada beras tetapi justru menjadi pilihan yang dapat mempercepat target pencapaian swasembada beras. Ketika ketahanan pangan dibangun atas dasar diversifikasi maka konsumsi beras domestik mampu dikurangi sehingga stok beras bertambah dan bukan tidak mungkin suatu saat Indonesia akan menjadi negara pengekspor beras di dunia.

(29)

1. Bagaimana perkembangan kondisi diversifikasi pangan pokok periode yang lalu dan ramalan perkembangan diversifikasi pangan pokok pada masa yang akan datang?

2. Bagaimana keterkaitan kebijakan perberasan dan program swasembada beras dengan program diversifikasi pangan pokok?

3. Bagaimana dampak penerapan kebijakan perberasan pada masa yang akan datang terhadap kondisi diversifikasi pangan pokok?

4. Kebijakan alternatif apa yang dapat meningkatkan kondisi diversifikasi pangan pokok dan ketahanan pangan nasional?

Tujuan

Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis perkembangan kondisi diversifikasi pangan pokok periode yang lalu dan meramalkan perkembangan diversifikasi pangan pokok pada masa yang akan datang.

2. Menganalisis keterkaitan kebijakan perberasan dan program swasembada beras dengan program diversifikasi pangan pokok.

3. Meramalkan dampak penerapan kebijakan perberasan pada masa yang akan datang terhadap kondisi diversifikasi pangan pokok

4. Merumuskan kebijakan alternatif terbaik yang dapat meningkatkan kondisi diversifikasi pangan pokok dan ketahanan pangan nasional

Ruang Lingkup dan Keterbatasan

1. Ketahanan pangan pokok yang dimaksud dalam penelitian ini diukur dari empat indikator yaitu diversifikasi konsumsi, diversifikasi produksi, surplus beras, dan kemandirian pangan.

2. Diversifikasi pangan dalam penelitian ini dibatasi pada diversifikasi produksi dan diversifikasi konsumsi pangan pokok saja yakni diversifikasi pangan yang diarahkan pada ketidakbergantungan hanya pada satu jenis pangan tertentu saja yaitu beras.

3. Jenis pangan pokok yang dijadikan obyek penelitian hanya dibatasi pada komoditi beras, jagung, ubi kayu dan terigu.

4. Diversifikasi konsumsi pangan pokok diukur hanya dalam perspektif ekonomi tetapi tidak memasukan keterbandingan aspek gizi dan kesehatan.

5. Surplus beras diukur dengan selisih antara produksi beras domestik ditambah stok dengan konsumsi beras domestik dan dijadikan indikator kondisi swasembada beras.

6. Ruang lingkup pembahasan difokuskan pada diversifikasi konsumsi pangan pokok penduduk tingkat nasional dan tidak membedakan antar wilayah.

(30)

sistem recall untuk konsumsi seminggu yang lalu bukan menggunakan sistem kalender dimana pendataannya dilakukan harian.

8. Akses terhadap pangan, rawan pangan, dan rendahnya kualitas gizi pangan tidak dijadikan fokus dalam penelitian ini.

9. Meskipun menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan, selera dan budaya tidak diikutsertakan kedalam analisis.

10.Penelitian ini tidak dapat menggambarkan pola diversifikasi beras dengan komoditas sumber protein dan serat seperti daging, ikan, dan sayur.

Kebaruan Penelitian

Penelitian tentang diversifikasi sudah banyak dilakukan terutama penelitian-penelitian terkait diversifikasi konsumsi di Indonesia. Sayangnya, penelitian-penelitian-penelitian-penelitian tersebut masih dilakukan secara parsial, terbatas pada diversifikasi dari sisi konsumsi saja atau diversifikasi dari sisi produksi saja. Penelitian ini mencoba untuk menggabungkan kedua diversifikasi tersebut dalam suatu model persamaan simultan yang disebut model ekonomi pangan pokok. Keunggulan dari model seperti ini adalah simulasi kebijakan yang dilakukan pada sisi produksi mampu menjelaskan dampaknya juga terhadap konsumsi pangan pokok, begitupun sebaliknya. Keunggulan lainnya, model ini mampu menjadikan harga sebagai penghubung antar komoditas yang di analisis sehingga ketika dilakukan simulasi perubahan kebijakan pada satu komoditas dapat menjelaskan perubahan pada komoditas lain.

Dalam model ekonomi pangan pokok ini, diversifikasi baik produksi maupun konsumsi diukur dalam suatu indeks yang disebut indeks keragaman makanan (FDI) sehingga untuk setiap perubahan kebijakan perberasan yang disimulasikan langsung dapat diketahui dampaknya terhadap status diversifikasinya. Simulasi kebijakan yang dilakukan pada sisi produksi mampu menjelaskan dampaknya juga terhadap perubahan konsumsi pangan pokok.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kebijakan Pertanian yang Pro Beras

(31)

Obsesi pemerintah yang sangat besar tersebut merupakan sumber dukungan politik yang luar biasa bagi upaya peningkatan produksi beras. Dengan kondisi seperti itu, dukungan biaya dan anggaran pemerintah pun melimpah yang bersumber dari lonjakan harga minyak pada masa itu. Secara umum, peningkatan produksi beras merupakan komitmen nasional yang meski didukung secara patriotik oleh seluruh komponen bangsa (Simatupang dan Rusastra 2004). Selama periode tersebut kebijakan perberasan nasional diarahkan untuk mencapai tiga tujuan pokok yaitu: memantapkan ketahanan pangan nasional, memacu pertumbuhan dan stabilitas ekonomi nasional, dan meningkatkan pendapatan petani. Dengan komitmen yang begitu besar maka kebijakan produksi beras dapat dilakukan secara besar-besaran. Instrumen kebijakan yang dijalankan yaitu: (1) pembangunan lahan dan irigasi; (2) Inovasi teknologi dan intensifikasi usaha tani; (3) penyediaan sarana produksi; (4) pemberian insentif; (5) pengembangan usaha jasa alat dan mesin pertanian; dan (6) pembangunan kelembagaan.

Kebijakan produksi pangan dengan instrumen tersebut di atas dikenal dengan nama program revolusi hijau. Secara sederhana pengertian revolusi hijau adalah usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Mengubah dari pertanian yang tadinya menggunakan teknologi tradisional menjadi pertanian yang menggunakan teknologi lebih maju atau modern. Penerapan revolusi hijau di Indonesia dikenal dengan panca usaha tani yang meliputi: (1) penyediaan air dalam jumlah cukup dan waktu yang tepat; (2) penggunaan benih unggul dengan potensi hasil tinggi, mempunyai ketahanan hidup yang tinggi, dan masa tumbuh yang relatif pendek; (3) penyediaan pupuk yang cukup; (4) pengendalian hama terpadu; dan (5) cara bercocok tanam yang baik (Hafsah dan Sudaryanto 2014).

Dalam rangka mendukung program revolusi hijau, pemerintah membuat banyak pembangunan infrastruktur pendukung antara lain pembangunan irigasi, pendirian pabrik pembuatan pupuk urea, dan pembangunan pusat-pusat penelitian tanaman pangan. Keseluruhan sarana dan prasarana pendukung tersebut difokuskan pada jenis tanaman padi. Tanaman padi disosialisasikan di seluruh wilayah yang dianggap cocok untuk ditanami jenis tanaman padi seperti di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Ternate, NTT, NTB, bahkan sampai ke Papua. Program transmigrasi pun digerakkan seluas-luasnya untuk mendukung perluasan lahan tanaman padi di luar Pulau Jawa. Tujuannya tidak lain untuk mendorong peningkatan produksi beras di dalam negeri. Hasilnya, tingkat pemakaian pupuk non-organik dalam pertanian Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. Dalam 10 hingga 20 tahun di awal program, laju pertumbuhannya rata-rata per tahun meningkat dari sekitar 1.7% dalam dekade 1960an ke 16% selama periode tahun 1970-an sampai 1980-an. Pemakaian pupuk modern ini per hektar mengalami peningkatan dari sekitar 1.3% ke 13.6% rata-rata per tahun selama periode yang sama (Tambunan 2008).

(32)

Produktivitas padi sawah Indonesia pada periode 1968 sampai 1984 adalah yang tertinggi di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Produktivitas padi di luar jawa meningkat dari hanya 2.66 ton per hektar pada Pelita II menjadi 3.29 ton per hektar pada Pelita IV atau terjadi peningkatan 13.05 persen. Sedangkan produktivitas produksi padi di Jawa sudah melebihi 5 ton per hektar atau 40 persen lebih tinggi dari produktivitas luar Jawa.

Pemerintah sangat sadar bahwa jika ingin mempertahankan kekuasaannya maka menjaga akses murah terhadap beras menjadi suatu keharusan. Tidak mengherankan jika akhirnya pada setiap periode pemerintahan selalu berusaha mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat menjaga aksesibilatas beras bagi masyarakat. Meskipun swasembada beras hanya dicapai beberapa tahun saja tetapi terbukti serangkaian kebijakan program revolusi hijau telah berhasil mempertahankan harga beras pada level yang terjangkau oleh masyarakat.

Sejak transisi demokrasi terjadi, intervensi di pasar beras menjadi kurang efektif yang menyebabkan tingginya fluktuasi harga beras domestik. Untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat berpendapatan rendah dan rawan pangan pada saat terjadi krisis ekonomi dan krisis pangan, pemerintah melaksanakan program bantuan pangan yang disebut operasi pasar khusus (OPK), yaitu pendistribusian beras murah (bersubsidi) kepada kelompok masyarakat miskin. Pada tahun 2002 program OPK diubah namanya menjadi program beras untuk keluarga miskin/raskin (Suryana dan Hermanto 2004). Melalui program ini pemerintah melaksanakan distribusi beras murah kepada rumahtangga miskin yang di desain sebagai subsidi dalam bentuk beras bagi 10 juta rumahtangga termiskin di Indonesia (Dodge dan Gemmesa 2012). Kebijakan ini seolah semakin melegitimasi keberpihakan pemerintah terhadap beras dan menjadi salah satu penyebab semakin rigidnya konsumsi pangan pokok masyarakat terhadap beras.

Rigiditas konsumsi beras

Beras telah menjadi sumber kalori utama bagi sebagian besar (98 persen) masyarakat di Indonesia (Santoso 2015; Ariani 2012). Kontribusi beras dalam konsumsi padi-padian penduduk sebesar 80.6 persen dari total konsumsi kalori 1236 kkal/kapita/hari (BKP 2014). Hal senada juga dinyatakan dalam penelitian yang dilakukan Kementan (2005) bahwa beras tetap menjadi komoditas strategis dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional. Sebagai bahan pangan utama di Indonesia, beras dibutuhkan oleh lebih dari 90 persen penduduk. Dalam penelitiannya mengenai ketahanan pangan dan stabilisasi harga beras di Indonesia, Dodge dan Gemmesa (2012) menunjukkan bahwa hampir setengah dari kalori yang di konsumsi oleh penduduk berasal dari beras. Kondisi ini terjadi hampir di setiap daerah dan semua kelompok sosial ekonomi. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa berdasarkan data Susenas hanya 1.5 persen dari penduduk Indonesia yang tidak mengkonsumsi beras selama seminggu terakhir dari periode survey. Lebih jauh ditunjukkan bahwa ketika harga beras naik hampir seluruh penduduk (98,5 persen) akan menjadi lebih miskin dan asupan kalori mereka terganggu. Sampai seberapa besar gangguan tersebut tergantung kepada sejauh mana keinginan mereka untuk mensubstitusi konsumsi beras dengan komoditas pangan lain ketika harga beras naik.

(33)

mayoritas penduduk Indonesia. Ketergantungan terhadap beras juga dialami oleh daerah-daerah yang pada awalnya memiliki bahan makanan pokok selain beras seperti masyarakat Papua dan Maluku yang semula memiliki bahan makanan sagu dan umbi-umbian, masyarakat Nusa Tenggara Timur, Madura dan Jawa bagian Selatan mengkonsumsi jagung dan ubi kayu.

Sejalan dengan Santoso (2015), Ariani (2010) dengan menggunakan data Susenas menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan pokok di Indonesia telah beralih menjadi pola pangan tunggal yakni beras. Lebih lanjut penelitian ini juga menunjukkan bahwa untuk golongan penduduk berendapatan rendah masih di temui pola pangan pokok yang menggunakan pangan lokal lain seperti jagung, ubi kayu dan sagu.

Jamal et al. (2014) mengungkapkan bahwa konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia tahun 1971 hanya sekitar 105 kg/tahun sedangkan tahun 2004 tingkat konsumsi beras per kapita di Indonesia rata-rata mencapai sekitar 128 kg/tahun. Sebagai perbandingan, pada saat yang sama konsumsi beras per kapita di Thailand, sebagai salah satu produsen utama beras dunia, hanya 79 kg/tahun dan Malaysia hanya 63 kg/tahun. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Akhmad (2014) yang menyatakan bahwa konsumsi beras masyarakat Indonesia sebesar 139.5 kg/kapita/tahun. Angka ini lebih dari dua kali lipat dari angka konsumsi beras dunia yang hanya 60 kg/kapita/tahun.

Dalam penelitiannya mengenai model optimasi surplus beras, Rejekiningrum (2013) mengungkap fakta bahwa pada tahun 2012 konsumsi beras penduduk Indonesia mencapai 102 kg/kapita/tahun. Konsumsi ini hampir dua kali lipat konsumsi beras dunia yang hanya 60 kg/kapita/tahun dan merupakan yang tertinggi di Asia. Sebagai pembanding, konsumsi beras di korea hanya 40 kg/kapita/tahun, Jepang 50 kg/kapita/tahun, Malaysia 80 kg/kapita/tahun, Thailand 70 kg/kapita/tahun.

Selain konsumsi per kapitanya yang meningkat, cakupan wilayah konsumsi eksklusif beras juga bertambah. Pada tahun 1979 hanya ada 3 provinsi yang penduduknya eksklusif mengkonsumsi beras, tetapi pada tahun 1996 meningkat menjadi 11 provinsi dan pada saat ini dapat dikatakan semua provinsi di Indonesia penduduknya eksklusif mengkonsumsi beras (Saliem et al, 2005 dalam Jamal et al, 2008).

Pujiasmanto (2014) dalam orasi ilmiahnya meyatakan bahwa masalah kelangkaan pangan di Indonesia (utamanya beras) sebenanya tidak perlu terjadi mengingat dahulu banyak masyarakat di daerah-daerah tertentu tidak semua mengkonsumsi beras. Makanan utama setiap daerah berbeda-beda. Kondisi tersebut berubah total setelah pemerintah dengan swasembada berasnya secara tidak langsung telah memaksa masyarakat yang biasa tidak mengkonsumsi beras menjadi mengkonsumsi beras sehingga terjadi lonjakan kebutuhan beras nasional yang pada akhirnya memaksa Indonesia untuk mengimpor beras. Padahal jika setiap daerah tetap bertahan dengan makanan utama masing-masing maka tidak akan muncul kelangkaan dan impor beras. Efek lainpun muncul akibat perubahan pola makan masyarakat yaitu keberagaman komoditi pertanian yang menjadi unggulan setiap daerah di Indonesia terlenyapkan demi program swasembada beras.

(34)

mengkonsumsi sagu dan umbi-umbian, sebagian masyarakat Nusa Tenggara Timur, Madura dan Jawa Bagian selatan mengkonsumsi jagung dan ketela namun mereka sudah terintroduksi oleh beras sebagai makanan pokok. Ariani (2010) juga menunjukkan bahwa masyarakat yang semula mempunyai pola konsumsi jagung seperti masyarakat NTT serta sagu di Papua dan Maluku juga sudah beralih ke beras.

Tantangan dan hambatan kebijakan perberasan

Gencarnya kebijakan perberasan yang dilakukan oleh pemerintah ternyata hanya memberikan keberhasilan sesaat jika dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mencapainya. Swasembada beras tidak dapat diwujudkan secara berkelanjutan tetapi hanya dapat dicapai pada tahun 1969 sd 1984 (Kumalasari et al. 2013). Penelitian lain menyebutkan bahwa swasembada beras ternyata hanya dapat dipertahankan sampai tahun 1993. Mulai tahun 1994, impor beras Indonesia kembali meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 dengan volume sekitar 5.8 juta ton. Kondisi ini disebabkan oleh perlambatan laju pertumbuhan produksi padi sebagai akibat pelandaian pertumbuhan hasil (produktivitas).

Balitbangtan melalui bukunya Ekonomi Padi dan Beras Indonesia mengingatkan bahwa dukungan yang berlebihan terhadap upaya peningkatan produksi padi dapat menjadi kendala bagi upaya diversifikasi pangan khususnya dan pertanian pada umumnya. Pendekatan komoditas dalam hal ini padi tidak cukup memadai dalam memacu pertumbuhan sektor pertanian secara berkelanjutan mengingat sudah menghadang tantangan yang harus di hadapi ke depan dan konsekuensi dari kebijakan yang salah tersebut.

Badan Ketahanan Pangan melalui pedoman pelaksanaan program kerja dan anggarannya telah mengidentifikasi berbagai tantangan produksi padi yang akan dihadapi ke depan baik dari aspek penyediaan (supply side), maupun dari aspek konsumsi (demand side). Dari aspek penyediaan dapat diidentifikasi berdasarkan sifatnya apakah on farm atau off farm. Tantangan on farm antara lain akan dipaparkan berikut. Pertama, semakin terbatasnya ketersediaan lahan pertanian pangan karena alih fungsi lahan pertanian pangan ke non pangan dan yang lebih parah lagi yaitu alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian. Kementerian Pertanian (2008) membuat hitungan mengenai dampak konversi lahan terhadap produksi padi dan beras nasional. Jika setiap hektar sawah yang ditanami padi produktivitasnya rata-rata 6 ton gabah kering giling (GKG) sekali panen, maka paling tidak dalam setahun (dengan normal dua kali panen) produksi GKG nasional akan mengalami pengurangan sebesar 484.000 ton. Sedangkan perhitungan BPN: jika rata-rata produktivitas per hektar 4.61 ton GKG, dalam setahun produksi GKG nasional berkurang 507.100 ton, atau setara 329.615 ton beras, akibat konversi sawah. Dengan demikian, sepanjang tahun 1999 sampai 2002, Indonesia kehilangan potensi produksi beras nasional sekitar 1.31 juta ton dari dampak konversi lahan sawah.

(35)

waduk besar dan kecil di seluruh Jawa, hanya 3 yang volume airnya melebihi ambang batas.

Hal lainnya menyangkut lahan adalah mengenai kesuburan lahan. Tambunan (2008) melihat bahwa masalah kesuburan atau kejenuhan tingkat produktivitas lahan (levelling off) pertanian di Indonesia semakin serius. Ada suatu korelasi positif antara tingkat kesuburan lahan dan tingkat produktivitas pertanian. Data menunjukkan bahwa tingkat produktivitas atau pertumbuhannya terus menurun. Produksi beras nasional selama tahun 1950 sampai 1959 rata-rata mencapai 3.7% per tahun, tahun 1960 sampai 1969 4.6%, tahun 1970 sampai 1979 3.6%, dan tahun 1980 sampai 1990 mencapai rata-rata 4.3%. Selama tahun 1991sampai 2000 pertumbuhannya tercatat hanya 1.4%, dan dalam 6 tahun terakhir pertumbuhan rata-rata hanya 1.5%. Jadi, menurutnya, sejak tahun 1992 telah terjadi gejala levelling off produksi padi dengan kenaikan rata-rata produksi hanya 1.4%. Kondisi ini disebabkan terkurasnya tingkat kesuburan lahan.

Tantangan produksi lainnya adalah dampak langsung dari pemanasan global terhadap pertanian di Indonesia yakni penurunan produktivitas dan tingkat produksi sebagai akibat terganggunya siklus air karena perubahan pola hujan dan meningkatnya frekuensi anomali cuaca ekstrim yang mengakibatkan pergeseran waktu, musim, dan pola tanam (Nurdin 2011). Hal ini sudah beberapa kali dialami oleh Indonesia dengan El Nino dan La Nina. El Nino selama periode 1997 sampai 1998 mengganggu secara serius panen di berbagai wilayah di tanah air. Bencana ini melanda Sumatera Selatan, Kalimantan, Jawa dan Indonesia bagian timar. Daerah-daerah ini mengalami kekeringan yang sangat parah di luar musim kemarau. Musim hujan mundur dari September menjadi November. Tanah di banyak tempat di wilayah-wilayah yang terkena dampak El Nino tersebut banyak yang retak-retak seperti umum dijumpai di wilayah sangat kering di Afrika Sub-Sahara. Kekeringan di wilayah-wilayah tersebut berdampak pada 426.000 hektar tanaman padi dan mengakibatkan gagal panen di sebagian wilayah Jawa Barat, Jawa Timar, dan sejumlah wilayah lumbung padi lainnya. Selain padi, kekeringan tersebut juga berpengaruh negatif terhadap tanaman-tanaman lainnya seperti kopi, coklat, dan karet di berbagai daerah.

Santosa (2012) dalam penelitiannya mengenai dampak anomali iklim mengungkapkan bahwa perubahan iklim curah hujan akan meningkat sebesar 2 sampai 3% per tahun dan musim hujan akan lebih singkat, dan kedua perubahan ini akan menambah risiko banjir. Tambahan curah hujan ini ada positifnya, tetapi juga ada negatifnya. Positifnya, pasokan air irigási tentu akan bertambah. Negatifnya, aliran air yang sangat deras juga bisa mengurangi masa guna reservoir dan saluran irigási, dan mempercepat proses erosi tanah. Sebagai akibatnya, kesuburan dan produktivitas tanah, terutama di dataran tinggi, juga akan turun, persis seperti akibat kekeringan yang berkepanjangan.Penurunan tingkat kesuburan tanah ini akan mengurangi hasil panen tanaman di dataran tinggi.

(36)

bahwa cadangan pangan pemerintah masih terbatas (hanya beras dan dikelola oleh pemerintah pusat), sementara cadangan pemerintah daerah dan masyarakat belum berkembang, termasuk belum optimalnya pemanfaatan dan pengelolaan lumbung pangan masyarakat.

Tantangan dari aspek permintaan antara lain: (1) peningkatan populasi penduduk global khususnya di kawasan Asia dan di antaranya 75% berada di negara berkembang; (2) laju pertumbuhan penduduk rata-rata di Indonesia sebesar 1.38% per tahun, dengan jumlah penduduk tahun 2013 mencapai 248.82 juta jiwa; (3) meningkatnya rata-rata pendapatan per kapita di negara Asia sehingga meningkatkan permintaan pangan dari segi kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan; (4) perubahan struktur demografis dan urbanisasi; (5) peningkatan kebutuhan bahan pangan sebagai sumber energi, pakan, dan kegunaan industri (penyebab volatilitas harga pangan); (6) ketergantungan konsumsi pada salah satu jenis bahan pangan (beras) sangat tinggi, dan belum optimalnya pemanfaatan pangan lokal untuk konsumsi pangan harian; dan (7) rendahnya kualitas dan kuantitas pola konsumsi pangan penduduk, karena pengetahuan, budaya dan kebiasaan makan masyarakat kurang mendukung konsumsi pangan yang Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman (B2SA).

Memang patut diakui berkat komitmen politik yang tinggi, konsisten dan berkelanjutan, dan didukung oleh anggaran yang besar, program peningkatan produksi beras nasional berhasil secara kuantitatif sehingga status Indonesia berubah dari importir beras menjadi swasembada beras pada tahun 1984. Namun jika dilihat dari perspektif pengadaan pangan berkelanjutan, kebijakan yang dilakukan tersebut masih belum berhasil dengan alasan berikut : pertama, walaupun dengan ongkos besar, waktu yang dibutuhkan untuk meraih swasembada beras ternyata sangat lama (lebih dari 25 tahun) dan hanya bisa dipertahankan selama lima tahun saja. Disamping itu, peningkatan derajat swasembada beras diikuti dengan peningkatan defisit bahan pangan lain (jagung). Kedua, kebijakan yang berorientasi pada peningkatan produksi beras nasional telah menyebabkan petani terperangkap dalam kemiskinan dan tidak kondusif bagi pemantapan ketahanan pangan keluarga di pedesaan dan petani gurem pada khususnya. Kebijakan tersebut hanya fokus pada petani sawah, tetapi mengabaikan petani yang hidup di lahan kering dan bahan makanan pokoknya bukan beras. Ketiga, intensifikasi dan penurunan kualitas irigasi telah membuat usaha tani pangan rentan terhadap serangan hama dan perubahan iklim sehingga produksi pangan tidak stabil. Keempat, kebijakan produksi beras telah menyebabkan overekstensifikasi penggunaan lahan dan overintensifikasi penggunaan pupuk dan pestisida sehingga menimbulkan efek negatif terhadap kualitas lingkungan hidup. Masalah overintensifikasi penggunaan pupuk juga diungkapkan oleh penelitian Tinaprilla (2012), Suryani (2015) dan Junaedi (2016).

Sumaryanto (2009) mengidentifikasi bahwa ancaman perberasan dari sisi produksi antara lain: (1) pertumbuhan produksi padi sangat ditentukan oleh ketersediaan air irigasi yang cukup, padahal air irigasi semakin langka; (2) laju konversi lahan sawah ke non sawah sulit dikendalikan; (3) kemampuan untuk melakukan perluasan lahan sawah (new construction) sangat terbatas dan lahan yang secara teknis-sosial-ekonomis layak dijadikan sawah semakin berkurang.

(37)

jika sasaran diversifikasi tidak tercapai (pola konsumsi beras tidak berubah) rata-rata pertumbuhan produksi beras yang diperlukan sekitar 8 sampai 10 persen per tahun. Sebaliknya jika diversifikasi konsumsi mencapai sasarannya maka rata-rata produksi beras yang diperlukan hanya sekitar 4 sampai 5 persen per tahun.

Padahal dari sisi potensi, peluang untuk meningkatkan produktivitas usaha tani pangan nonberas masih terbuka karena senjang antara produktivitas aktual dengan potensialnya masih cukup tinggi. Contoh kongkrit pada komoditas jagung dimana tanpa dukungan infrastruktur dan kebijakan harga seperti yang diterapkan kepada beras perkembangan luas panen dan produktivitas jagung cukup tinggi. Dengan kebijakan yang lebih kondusif, hal yang sama sangat mungkin terjadi pada komoditas ubi kayu.

Untuk jangka panjang, upaya pengurangan ketergantungan terhadap beras harus diawali dengan penetapan komoditas alternatif secara jelas, sehingga kebijakan pengembangan komoditas alternatif dapat dilakukan secara proporsional. Sejalan dengan upaya ini, diversifikasi produksi merupakan jalan bagi peningkatan pendapatan rumah tangga. Kebijakan harga harus dapat mendukung diversifikasi konsumsi dan produksi. Pengambangan bahan pangan yang dapat disimpan lama seperti tepung layak dipertimbangkan (Jamal et al. 2008).

Andai saja, program diversifikasi pangan yang telah diperkenalkan lama tersebut bisa dilaksanakan dengan serius, maka Indonesia tidak perlu lagi harus mengeluarkan lebih banyak uang hanya untuk mewujudkan program swasembada beras yang belum tentu akan tercapai setiap tahunnya dan ketahanan pangan nasional menjadi lebih mudah dijaga kestabilannya karena tidak hanya tergantung pada beras saja.

Konsep dan Pengukuran Diversifikasi

Konsep diversifikasi bukan suatu hal baru dalam istilah kebijakan pembangunan pertanian. Shome (2009) menggolongkan diversifikasi menjadi tiga kategori besar: (1) perpindahan tenaga kerja dari kegiatan pertanian ke non-pertanian, disebut diversifikasi tenaga kerja, (2) perpindahan ke tanaman yang lebih menguntungkan, disebut diversifikasi tanaman, (3) menggunakan sumberdaya bermacam-macam sebagai pelengkap kegiatan, disebut diversifikasi sumberdaya. Dalam penelitiannya Shome melihat diversifikasi hanya dari sisi produksi. Shome meyakini bahwa diversifikasi produksi dapat digunakan sebagai instrumen penting bagi ketahanan pangan dan gizi, peningkatan pendapatan, pengentasan kemiskinan, penciptaan tenaga kerja, efisiensi penggunaan sumberdaya, pembangunan pertanian berkelanjutan, dan peningkatan manajemen lingkungan dan ekologi.

(38)

dan (3) indeks tersebut harus berubah langsung terhadap ketidaksamaan dari produk (Doan 2013).

Diversifikasi dapat diukur dengan sejumlah alat ukur statistik diantaranya: Index of maximum proportions, Herfindahl-Hirschman Index, Simpson Diversity Index, Ogive Index dan Entrophy Index. Masing-masing index mempunyai keunggulan dan keterbatasan dalam hal data yang digunakan, tingkat kerumitan, kemudahan penghitungan dan interpretasinya (Bhattacharyya 2008; Kumar et al. 2012). Bhattacharyya sendiri memilih Simpson Diversity Index dalam penelitiannya dengan pertimbangan tujuan dari penelitiannya mengukur tingkat diversifikasi yang lebih luas. Pengukuran Simpson Diversity Index menggunakan rumusan ∑ dimana pi adalah proporsi area komoditas tanaman ke-i terhadap total area tanam. DI berada diantara 0 dan 1. Jika terdapat spesialisasi maka nilai DI akan mendekati 0. Dengan kata lain untuk ∑ maka terjadi spesialisasi lengkap.

Doan (2013) menyatakan bahwa beberapa studi empiris mengenai diversifikasi konsumsi pangan mengambil jalan pintas dan mengaplikasikan indeks diversifikasi yang biasanya digunakan dalam bidang industri untuk mengukur keragaman konsumsi pangan. Dua indeks yang paling umum digunakan adalah Berry Index yang diperkenalkan oleh Berry dan Entropy Index oleh Jacquemin dan Berry.

Berry Index (BI) atau dikenal juga dengan Simpson Index didefinisikan sebagai BI=1-∑ dimana n adalah jumlah total komoditas yang dikonsumsi, dan si adalah share dari komoditas ke i terhadap konsumsi total. Dalam konteks konsumsi pangan, si dapat diukur dalam bentuk pengeluaran, berat, banyaknya porsi, atau frekuensi konsumsi. Nilai indeks dibatasi antara 0 dan 1-1/n, dimana 0 mengindikasikan hanya satu komoditas yang dikonsumsi dan 1-1/n mengindikasikan masing-masing komoditas dikonsumsi dengan proporsi yang sama.

Entrophy Index (EI) dirumuskan sebagai ⁄ , dimana si merupakan share komoditas ke i dalam total produksi/konsumsi. Nilai indeks ini akan sama dengan 0 ketika hanya satu komoditas saja yang diproduksi/konsumsi dan mencapai maksimum ln(n) jika semua komoditas yang diproduksi/konsumsi mempunyai porsi yang sama. Nilai EI tidak dibatasi oleh batas atas yang konstan. EI juga memberikan bobot yang lebih besar terhadap share yang lebih kecil dimana share tersebut dibobotkan dengan sendirinya. Hal tersebut membuat indeks ini lebih sensitif terhadap perbedaan produksi/konsumsi dengan jumlah yang sedikit. Acharya (2011) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi diversifikasi tanaman menggunakan Composite Entrophy Index (CEI) dengan rumusan

[∑ ] { } dimana N merupakan jumlah total tanaman dan pi

adalah proporsi rata-rata tanaman ke-i terhadap total area tanam.

Gambar

Gambar 1 Kerangka teori dampak kebijakan perberasan terhadap diversifikasi
Tabel 3  Lanjutan
Tabel 4 berikut.
Tabel 4 Lanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Implikasi dalam penelitian ini adalah pelatihan pembuatan Aerogenerator Sederhana yang diberikan kepada peserta didik kelas VIII B MTs Madani Alauddin Paopao ini memberikan dampak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase tutupan karang hidup, kelimpahan ikan karang yang berasosiasi dengan terumbu karang, mengetahui faktor lingkungan yang

Di mana spektrum-spektrum komparatif tidak tersedia, pengetahuan ke struktur polimer bisa diperoleh melalui pertimbangan yang wajar terhadap pita- pita absorpsi gugus fungsional,

Hyundai M obil Indonesia, dengan metode Balanced Scorecard yang dilakukan pada Divisi TI tersebut.. Hasil dari pengukuran, yang ditampilkan dalam sebuah Digital Dashboard,

para mahasiswa tidak lepas dari membuat makalah, laporan-laporan, maupun menyelesaikan tugas akhir yang berupa skripsi ataupun laporan akhir lain yang semuanya

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas perlindungan-Nya diberi kesehatan lahir dan batin, sehingga kita dapat meningkatkan/menyajikan data dan

Dalam Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2009 menyatakan bahwa dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani,

12 Terselenggaranya Layanan Dukungan Manajemen Satker 01 Jumlah Penerbitan Dokumen Keimigrasian Bagi Orang Asing Indikator Kinerja Kegiatan. 01 Jumlah Penerbitan Dokumen