• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Fiskal

Kebijakan Fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah. Mankiw (2003) mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai “The government’s choice regarding levels of spending and taxation”. Pemerintah memiliki keleluasaan untuk memilih tingkat pengeluaran maupun tingkat pajak yang diberlakukan. Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) yang diberlakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Menurut Darsono (2008), kebijakan fiskal atau kebijakan anggaran memiliki tiga fungsi, yaitu (1) fungsi alokasi (allocation function), (2) fungsi distribusi (distribution function), dan (3) fungsi stabilisasi (stabilization function). Fungsi alokasi berkaitan dengan penyediaan barang sosial atau proses penggunaan sumberdaya keseluruhan yang dibagi diantara barang privat dan barang sosial serta kombinasi barang sosial yang dipilih. Fungsi distribusi berkaitan dengan pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan merata dikalangan masyarakat, dimana fungsi ini terkait dengan kesetaraan atau pemerataan distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi adalah salah satu fungsi kebijakan fiskal untuk mempertahankan tingkat pekerjaan yang tinggi (high employment), stabilitas tingkat harga-harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sesuai. Fungsi-fungsi tersebut seluruhnya berpengaruh pada neraca perdagangan dan pembayaran. Pada prinsipnya kebijakan tersebut mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah.

Menurut Putong (2008), tujuan kebijakan fiskal adalah untuk: (1) mencegah pengangguran dan meningkatkan kesempatan kerja, (2) stabilitas harga, (3) mengatur laju investasi, (4) mendorong investasi sosial secara optimal, (5) menanggulangi inflasi, (6) meningkatkan stabilitas ekonomi ditengah ketidakstabilan internasional, dan (7) meningkatkan dan mendistribusikan pendapatan nasional.

Adapun instrument dari kebijakan fiskal adalah pajak, pengeluaran pemerintah, dan pembayaran transfer (transfer payment), artinya dalam melaksanakan kebijakan fiskal maka variabel-variabel tersebut yang diubah besarannya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai pembuat kebijakan. Apabila pembuat kebijakan ingin menciptakan stabilitas harga, maka kebijakan fiskal akan diusahakan menjadi kontraktif, dimana pengeluaran pemerintah (G) akan diturunkan atau pajak (T) dinaikkan sehingga permintaan agregat dalam perekonomian akan turun dan hal ini mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga. Sebaliknya, jika pembuat kebijakan ingin meningkatkan tingkat pengerjaan (employment) dalam rangka mengurangi tingkat pengangguran, maka kebijakan fiskal diusahakan ekspansif, dimana pengeluaran pemerintah akan dinaikkan atau pajak diturunkan sehingga permintaan agregat dalam perekonomian meningkat dan terjadi ekspansi dalam perekonomian (Saefudin, 2005).

Menurut Pujianto (2014), jenis kebijakan fiskal berdasarkan sisi perbandingan antara jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran dalam ilmu ekonomi dibagi menjadi 4 (empat) jenis, yaitu: Pertama, kebijakan anggaran

seimbang, yaitu kebijakan anggaran yang menyusun jumlah pengeluaran sama besar dengan jumlah penerimaan. Hal tersebut berarti jumlah pengeluaran yang disusun pemerintah tidak boleh melebihi jumlah penerimaan yang diperoleh sehingga tidak perlu melakukan pinjaman. Namun, dimasa depresi ekonomi, pemerintah sebaiknya tidak menggunakan kebijakan anggaran seimbang karena dapat mengakibatkan keadaan ekonomi yang semakin memburuk. Oleh sebab itu, pada masa depresi, sebaiknya pemerintah menggunakan kebijakan anggaran defisit karena ketika terjadi depresi pendapatan negara jumlahnya sangat rendah. Hal ini mengharuskan negara mendapatkan sejumlah pinjaman yang berfungsi untuk memperbaiki perekonomian.

Kedua, kebijakan anggaran surplus, yaitu kebijakan anggaran dengan cara menyusun jumlah pengeluaran lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penerimaan. Kebijakan ini digunakan pemerintah untuk mencegah inflasi (kenaikan harga akibat terlalu banyak jumlah uang yang beredar). Dengan memperkecil jumlah pengeluaran/ belanja negara, diharapkan jumlah permintaan terhadap barang dan jasa tidak mengalami peningkatan yang drastis. Akibatnya harga barang dan jasa juga tidak akan mengalami kenaikan harga yang tinggi sehingga inflasi dapat dicegah.

Ketiga, kebijakan anggaran defisit, yaitu kebijakan anggaran yang dilakukan dengan cara menyusun jumlah pengeluaran lebih besar dibandingkan jumlah penerimaan. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya defisit anggaran. Biasanya kebijakan anggaran defisit diberlakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kondisi depresi ekonomi maupun untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Keempat, kebijakan anggaran dinamis, yaitu kebijakan anggaran yang dilakukan dengan cara terus menambah jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran sehingga semakin lama jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran akan bertambah. Anggaran yang bersifat dinamis sangat diperlukan. Hal ini disebabkan semakin hari terjadi banyak kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan yang harus dibiayai pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terhadap daerahnya yang membutuhkan dana semakin besar.

Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu implementasi dari paradigma hubungan pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU No.22 dan UU No.25 tahun 1999 antara lain ditandai dengan dialokasikannya Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah. Di sisi fiskal, UU No.33 tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang menjadi sumber DAU. Perubahan kebijakan desentralisasi fiskal itu sendiri merupakan cerminan dari kebutuhan fiskal yang terus membesar di tingkat

daerah, praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah.

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal, yang meliputi aspek penerimaan dan pengeluaran. Desentralisasi fiskal dapat dikaitkan dengan tugas dan fungsi Pemerintahan Daerah sebagai penyedia barang dan jasa pelayanan kepada masyarakat. Penyerahan kewenangan di bidang fiskal pada dasarnya merupakan salah satu inti dari desentralisasi. Agar Pemerintah Daerah dapat melaksanakan fungsi yang didesentralisasikan secara efektif, maka Pemerintah Daerah harus memiliki sumber penerimaan yang memadai, baik penerimaan yang digali dari daerahnya sendiri maupun yang ditransfer dari pusat, dan Pemerintah Daerah harus juga memiliki kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang pengeluaran (JICA 2002).

Menurut Litvack J (2009), desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek- aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization), dan fiskal (fiskal decentralization).

Mello dan Barenstrein (2001) menyatakan bahwa tingginya ketergantungan pada dana transfer ternyata berhubungan negatif terhadap pembangunan. Temuan kajiannya menunjukkan bahwa perilaku pengeluaran pemerintah daerah dipengaruhi secara signifikan oleh sumber pendanaannya. Pemeritah daerah akan lebih berhati-hati menggunakan dana yang berasal dari masyarakatnya dibandingkan dana yang berasal dari transfer pemerintah pusat. Artinya pemerintah daerah cenderung lebih boros menggunakan dana transfer dibandingkan dana pendapatan daerah. Untuk menjelaskan hal tersebut, Bradford dan Oates (1971) telah menyatakan bahwa alokasi anggaran transfer pusat ke daerah identik dengan anggaran pendapatan daerah sehingga diprediksi bahwa pemerintah daerah memiliki propensity to spend yang sama terhadap kedua jenis anggaran tersebut. Namun hal ini tidak sejalan dengan temuan Mello dan Barenstrein (2001) yang secara implisit dapat diketahui bahwa transfer pusat memiliki prospensity to spend lebih besar dibandingkan pendapatan daerah.

Davoodi dan Zou (1998) menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif secara signifikan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi pada negara-negara berkembang. Hasil penelitian tersebut berlawanan dengan teori dimana adanya kebijakan desentralisasi fiskal seharusnya mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, Iimi (2005) melakukan penelitian terkait hubungan negatif yang terjadi antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat beberapa

alasan yang menyebabkan temuan penelitian sebelumnya tidak sesuai dengan teori. Pertama, desentralisasi merupakan fenomena yang kompleks untuk ditangkap melalui variabel dan data empiris pada tingkat agregat, karena meliputi banyak dimensi, antara lain politik, fiskal, dan administrasi. Desentralisasi fiskal juga menyangkut dua sisi, yaitu pengeluaran, terutama dalam rangka penyediaan layanan publik dan pendapatan, yaitu pengelolaan sumber-sumber penerimaan daerah, terutama pajak. Kedua, bahwa pemerintah daerah memiliki permasalahan terkait dengan kapasitas dalam perencanaan dan implementasi program pembangunan, utamanya terkait dengan kemampuan dan pengalaman sumberdaya manusia. Ketiga, bahwa secara teori, diasumsikan bahwa penduduk secara bebas berpindah antar daerah, karena perbedaan layanan publik, sehingga menimbulkan persaingan antara pemerintah daerah untuk menyediakan layanan publik yang baik, merupakan asumsi yang tidak masuk akal, karena mobilitas penduduk relatif mahal, dan terdapat ikatan emosional dengan wilayah asal, sehingga pemerintah daerah dapat berperilaku tidak responsif terhadap preferensi masyarakat setempat.

Desentralisasi Fiskal dalam Sektor Pertanian Daerah

Sejak tahun 2001 diberlakukan otonomi daerah sehingga pengelolaan pembangunan berubah dari sebelumnya bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Dengan adanya perubahan tersebut menyebabkan peran pemerintah pusat dan daerah ikut mengalami perubahan. Pada masa sentralisasi, pemerintah pusat memiliki peran dalam perencanaan, penetapan program hingga implementasi dan pemerintah daerah hanya sebagai pelaksana. Sementara ketika beralih menjadi desentralisasi, pemerintah pusat hanya berwenang dalam menetapkan arah dan kebijakan strategis pembangunan pertanian dalam tingkat nasional, sementara pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menentukan arah dan program pembanunan pertanian daerah sesuai dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki daerahnya. Dengan begitu peran pemerintah pusat yang sebelumnya adalah sebagai komando dalam pelaksanaan program berubah menjadi peran koordinatif, monitoring, dan evaluasi.

Perubahan pengelolaan pemerintahan yang menyeluruh tersebut menyebabkan perubahan kebijakan pengelolaan pembangunan pertanian kearah desentralisasi. Tidak tercapainya tujuan pembangunan pada masa pemerintahan sentralistik mendorong perubahan mendasar dengan memberikan wewenang sebesar-besarnya kepada pemerintah daerah untuk menentukan arah pembangunan daerahnya. Oates (1999) menyatakan secara konseptual, tuntutan desentralisasi pembangunan memiliki landasan yang kuat, dimana dengan berlakunya sistem desentralisasi diharapkan akan meningkatkan kemandirian daerah dan efisiensi anggaran fiskal. Selain itu, Bjornestad (2009) menyatakan bahwa pemberian keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan terhadap program dan pengelolaan anggaran juga akan meningkatkan efektivitas penyediaan layanan umum kepada masyarakat. Desentralisasi fiskal juga akan meningkatkan efisiensi pembiayaan, akuntabilitas penggunaan anggaran, dan dapat lebih memberi ruang kepada masyarakat untuk ikut terlibat dalam perumusan kebijakan serta peningkatan layanan publik. Lebih jauh menurut Sumedi dan Djauhari (2014) kebijkaan desentralisasi fiskal diharapkan mampu menurunkan angka kemiskinan.

Implementasi otonomi daerah yang diikuti dengan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia sebenarnya dikarenakan masalah politik dan kegagalan pemerintah pusat untuk menciptakan kesejahteraan secara lebih berkeadilan, dibandingkan oleh justifikasi ekonomi dan kesiapan yang matang. Desentralisasi fiskal dilaksanakan mulai Januari tahun 2001. Setelah lebih dari 10 tahun pelaksanaan, banyak pihak yang mempertanyakan hasil dari kebijakan desentralisasi fiskal dalam mendorong kinerja perekonomian. Setelah merujuk pada berbagai kajian dainyatakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan beberapa tahun ini belum mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat (Aziz 2009).

Desentralisasi fiskal untuk sektor pertanian merupakan perubahan kebijakan pengelolaan pembangunan pertanian dari sentralistik menjadi desentralisasi, atau diserahkan kepada pemerintah daerah sehingga perubahan tersebut diharapkan mampu memanfaatkan potensi sumber daya pertanian daerah untuk dikembangkan. Dengan begitu, baik daerah maupun nasional akan terjadi peningkatan kinerja sektor pertanian (Sumedi dan Djauhari 2014).

Kebijakan fiskal daerah memberikan peluang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk menggali potensi daerah, sedangkan dari sisi pengeluaran diharapkan mampu mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat (Koswara 2001). Eksternalitasnya diharapkan merangsang pertumbuhan investasi swasta dan perkembangan perekonomian daerah sehingga pada akhirnya meningkatkan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi (Smoke 1996).

Penelitian yang dilakukan Situmorang, et al (2010) menunjukkan bahwa kebijakan non fiskal memberikan dampak yang lebih baik bagi peningkatan ketahanan pangan Provinsi Sumatera Utara dibandingkan pemberlakuan kebijakan fiskal. Adanya kebijakan fiskal seperti meningkatkan pengeluaran sektor pertanian justru menurunkan ketahanan pangan dan menaikkan kemiskinan. Hal ini karena harga jual pangan di Provinsi Sumatera Utara mengalami peningkatan sehingga kemampuan penduduk untuk mengkonsumsi atau mengakses pangan mengalami penurunan. Pemerintah daerah melakukan intervensi pasar, khususnya beras, dalam bentuk harga dasar dan harga atap. Namun usaha tersebut belum efektif untuk meredam kenaikan harga beras. Temuan berbeda dengan kajian Rindayanti (2007) yang menganalisis keterkaitan kebijakan fiskal dengan kinerja sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan fiskal berupa peningkatan pengeluaran sektor pertanian berdampak pada peningkatan perekonomian daerah dalam hal ini peningkatan kinerja ketahanan pangan.

Penerimaan Fiskal

Kebijakan fiskal dalam hal penerimaan pemerintah merupakan suatu cara untuk mengukur mobilisasi sumber dana. Dalam kegiatan yang terpusat pada daerah, pengelolaan anggaran sepenuhnya merupakan wewenang daerah. Penerimaan daerah adalah semua penerimaan uang melalui kas umum daerah yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011). Penyediaan sumber-sumber pendanaan untuk

mendukung penyelenggaraan otonomi daerah meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

PAD merupakan pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah (Sidik, 2002). UU No. 34 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjelaskan bahwa PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, laba badan usaha daerah, dan lain-lain PAD yang sah. Secara matematis, pendapatan asli daerah dirumuskan sebagai berikut:

PAD = f (T, R, LBUD) Keterangan:

PAD = pendapatan asli daerah T = pajak daerah

R = retribusi daerah

LBUD = laba badan usaha daerah

Pajak daerah menurut Siahaan (2005) adalah pembayaran wajib yang dikenakan berdasarkan undang-undang yang tidak dapat dihindari bagai yang berkewajiban dan bagi yang tidak membayar dapat dilakukan paksaan sehingga akan terjamin bahwa kas daerah selalu berisi dana pajak. Dalam kajian ini, pajak daerah merupakan pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah provinsi dan terdiri dari: (1) pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, (2) bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, (3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan (4) pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

Selanjutnya retribusi daerah menurut Siahaan (2005) adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada pemerintah daerah atas jasa tertentu yang diberikan oleh pemerintah bagi penduduk daerah tersebut. Menurut UU No. 34 tahun 2004, retribusi tersebut terdiri dari: (1) retribusi jasa umum seperti pelayanan kesehatan, pelayanan kebersihan, retribusi parker di tepi jalan umum, dan retribusi pelayanan pemakaman, (2) retribusi jasa usaha seperti penyewaan asset yang dimiliki oleh oemerintah daerah, penyediaan tempat penginapan, usaha bengkel kendaraan, dan penjualan bibit pertanian, (3) retribusi perizinan tertentu yaitu retribusi atas kegiatan pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, penggunaan sumber daya alam, guna melindungi kepentiangan umum dan menjaga kelestarian lingkungan seperti izin mendirikan bangunan dan izin penggunaan tanah.

Dana Bagi Hasil Penerimaan Daerah

Dalam rangka mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak (sumber daya alam) antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil. Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan. Bagi hasil penerimaan tersebut

kepada daerah diatur dalam PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan PP 84 Tahun 2001.

Selanjutnya UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Pengahsilan (PPh) menyebutkan bahwa sejak tahun anggaran 2001 daerah memperoleh bagi hasil dari PPh perorangan. Hal ini dilakukan karena terdapat daerah-daerah yang sedikit sumber daya alamnya namun berkontribusi besar bagi negara sehingga diberlakukan PPh perorangan sebagai kompensasi. Adanya sistem bagi hasil tersebut akan menimbulkan ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antara daerah. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam besar, demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari pajak (Astuti dan Joko, 2005).

Nilai bagi hasil pajak daerah ditentukan oleh aktivitas ekonomi. Semakin tinggi pendapatan asli daerah yang diantaranya terdiri dari pajak daerah dan retribusi, maka semakin besar nilai bagi hasil pajak daerah. Pemungutan pajak dilakukan oleh pemerintah daerah dan hasilnya dibagi dengan pemerintah pusat (Gandhi 1995). Berdasarkan hal tersebut fungsi dari dana bagi hasil adalah sebagai berikut:

DBH = f (PAD, G) Keterangan:

DBH = dana bagi hasil PAD = pendapatan daerah

G = pengeluaran sektor ekonomi Dana Alokasi Umum

DAU ditentukan oleh pemerintah pusat dengan pertimbangan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah. Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2011 dinyatakan bahwa kebutuhan fiskal dapat diketahui dari jumlah penduduk, luas wilayah, pengeluaran, dan PDRB, sedangkan kapasitas fiskal dapat diketahui dari pendapatan asli daerah, dana bagi hasil pajak dan sumberdaya alam. Semakin besar celah fiskal yang merupakan selisih dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal, maka semakin besar DAU yang diberikan untuk daerah. Secara matematis dituliskan sebagai berikut:

DAU = f (POP, Lwil, G, Y) Keterangan:

DAU = dana alokasi umum POP = jumlah penduduk Lwil = luas wilayah

G = pengeluaran pemerintah daerah Y = Produk Domestik Regional Bruto

Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat dan daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25 persen dari penerimaan dalam negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya. Sesuai dengan UU No. 34 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah

bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada (Saefudin 2005).

Dana Alokasi Khusus

Berdasarkan Nota Keuangan dan RAPBN tahun 2011, Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dimana kebutuhan tersebut merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional. Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sesuai dengan UU No. 34 tahun 2004 yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah: (1) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/ prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, saluran drainase primer, dan (2) kebutuhan yang merupakan komitmen/ prioritas nasional. Konsep DAK di Indonesia mencakup alokasi dana untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi yang sumber pembiayaannya ditetapkan sebesar 40 persen dari penerimaan dana reboisasi dalam APBN yang diberikan kepada daerah penghasil.

Pengeluaran Fiskal

Pengeluaran fiskal pemerintah dikelompokkan menjadi pengeluaran rutin dan pembangunan pada era orde baru. Pengeluaran pembangunan dimaksudkan sebagai belanja pemerintah daerah yang digunakan untuk pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan dan bersifat tidak mengikat (discretionary expenditure). Sementara pengeluaran rutin dimaksudkan sebagai belanja pemerintah daerah yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan administrasi pemerintahan, bantuan sosial, bunga dan subsidi dan bersifat mengikat (non- discretionary expenditure) (Departemen Keuangan 2010).

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, pengeluaran pemerintah terdiri dari belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja langsung merupakan pengeluaran yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, sedangkan belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Dalam kajian ini, pengeluaran pemerintah daerah dikelompokkan berdasarkan klasifikasi era orde baru, yaitu pengeluaran rutin yang meliputi pengeluaran gaji dan pengeluaran non gaji, dan pengeluaran pembangunan yang meliputi pengeluaran sektor pertanian, pengeluaran sektor non pertanian, dan pengeluaran infrastruktur.

Salah satu interpretasi dari Wagner’s Law adalah peningkatan aktivitas ekonomi akan menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah. Aktivitas ekonomi daerah dalam hal ini adalah PDRB. Hal ini sejalan dengan temuan Sukartini dan Saleh (2012) yang menyatakan bahwa pada level pemerintah

provinsi, pengujian Hukum Wagner untuk kasus pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan terbukti. Kedua jenis pengeluaran pemerintah daerah tersebut secara signifikan dipengaruhi oleh variasi dalam PDRB, artinya pengeluaran rutin dan pembangunan akan meningkat ketika terjadi peningkatan pada variabel PDRB, PAD, maupun total penerimaan daerah sebagai hasil aktivitas ekonomi daerah.

Hanani (2000) mengidentifikasi bahwa besaran pengeluaran rutin pemerintah tergantung pada jumlah penduduk dan total pengeluaran pemerintah, sedangkan pengeluaran pembangunan dinyatakan sebagai sisa pengeluaran untuk pengeluaran rutin termasuk cicilan hutang pemerintah. Brodjonegoro (2001) menyatakan bahwa pengeluaran rutin dipengaruhi oleh PDRB dan pengeluaran

Dokumen terkait