• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian Di Provinsi Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian Di Provinsi Riau"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP

KINERJA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI RIAU

DINDA JULIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian di Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

DINDA JULIA. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian di Provinsi Riau. Dibimbing oleh ALLA ASMARA dan HARIANTO.

Provinsi Riau sebagai provinsi yang memiliki PDRB tertinggi di Sumatera (BPS 2013) mengalami peningkatan PDRB dari tahun 2009 sampai 2013 dimana sektor pertanian merupakan sektor andalan yang berkontribusi besar kedua setelah pertambangan. Namun berdasarkan data Bank Indonesia (2013), diketahui bahwa pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2012 merupakan pertumbuhan terendah selama lima tahun terakhir. Dilihat dari sisi fiskal, Provinsi Riau memiliki rasio fiskal yang lebih tinggi dibandingkan nasional, tetapi trendnya mengalami penurunan (Kementerian Keuangan 2012). Perubahan kondisi fiskal yang mengalami penurunan seiring dengan adanya perlambatan pertumbuhan sektor pertanian diduga dikarenakan kebijakan fiskal yang berlaku di Provinsi Riau menyebabkan terjadinya penurunan kinerja sektor pertanian. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dan pengeluaran fiskal di Provinsi Riau, (2) menganalisis dampak perubahan penerimaan dan pengeluaran fiskal pemerintah daerah terhadap kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau, (3) merumuskan kebijakan fiskal yang tepat dilakukan untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau.

Penelitian dilakukan dengan membangun model ekonometrika sebagai sistem persamaan simultan menggunakan data time series Provinsi Riau tahun 1994-2013. Model tersebut dibagi menjadi tiga blok, yaitu penerimaan fiskal, pengeluaran fiskal, dan kinerja sektor pertanian. Model kebijakan fiskal dan kinerja sektor pertanian Provinsi Riau diestimasi dengan metode Two Stage Least Squares (2SLS). Simulasi kebijakan dilakukan pada periode 2003-2013 dan dikelompokkan menjadi enam simulasi, yaitu: (1) peningkatan DAU 5 persen (2) peningkatan dana bagi hasil pajak daerah 5 persen (3) peningkatan pengeluaran sektor pertanian 10 persen (4) peningkatan infrastruktur 5 persen (5) kombinasi kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian dan infrastruktur masing-masing sebesar 10 persen dan 5 persen (6) kombinasi kebijakan peningkatan DAU 5 persen, dana bagi hasil pajak daerah 5 persen, pengeluaran sektor pertanian 10 persen, dan infrastruktur 5 persen.

(6)

secara signifikan oleh penyerapan tenagakerja sektor non pertanian dengan pengaruh yang positif, dan pengeluaran infrastruktur juga dipengarui signifikan oleh kepadatan penduduk dengan pengaruh yang positif.

Perubahan kebijakan penerimaan dan pengeluaran fiskal berdampak positif terhadap kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau dan seluruh subsektornya dilihat dari aspek PDRB, tetapi jika dilihat dari aspek penyerapan tenagakerja, perubahan kebijakan penerimaan dan pengeluaran fiskal seluruhnya berdampak positif hanya pada subsektor perkebunan. Oleh sebab itu berdasarkan hasil simulasi diketahui bahwa kebijakan fiskal yang tepat dilakukan untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau adalah peningkatan pengeluaran sektor pertanian sebesar 10 persen. Kebijakan tersebut tidak hanya meningkatkan PDRB sektor pertanian sebesar 0.67 persen dan seluruh subsektornya, tetapi juga aspek penyerapan tenagakerja sektor pertanian sebesar 0.16 persen dimana penyerapan tenagakerja meningkat pada dua subsektor yaitu subsektor tanaman pangan sebesar 2.32 persen dan subsektor perkebunan sebesar 0.02 persen.

(7)

SUMMARY

DINDA JULIA. Fiscal Policy Impact on Agricultural Sector Performance in Riau Province. Supervised by ALLA ASMARA and HARIANTO.

Riau Province as a province that has the highest GRDP in Sumatra (BPS 2013) increased the GDP from 2009 to 2013 where agriculture is a second primary sector with great contribution after mining. However, based on data from Bank Indonesia (2013), it is known that the growth of the agricultural sector in 2012 is the lowest growth over the last five years. Judging from the fiscal side, Riau province has higher fiscal ratios than the national, but the trend has decreased. Decreasing changes of fiscal condition is in line with the slowdown in agricultural sector growth due to alleged fiscal policies that apply in the province of Riau cause performance decrease in agricultural sector. The purpose of this study was to (1) analyze the factors affecting fiscal revenues and expenditures in Riau province, (2) analyze the impact of changes in fiscal revenues and expenditures of local governments on the performance of the agricultural sector in Riau province, (3) formulate appropriate fiscal policy to improve the performance of the agricultural sector in Riau province.

The study was conducted by building an econometric model as a system of simultaneous equations using time series data of Riau Province in 1994-2013. The model was divided into three blocks, namely fiscal revenue, fiscal expenditures, and performance of the agricultural sector. The model used in fiscal policy and Riau province agricultural sector performance is estimated by Two Stage Least Squares (2SLS) method. Policy simulations conducted during the period of 2003-2013 and grouped into six simulations, namely: (1) 5 percent increase of DAU (2) 5 percent increase in local tax revenue sharing funds (3) 10 percent increase in agricultural spending (4) increase of 5 per cent in infrastructure (5) a combination of policies to improve the agricultural sector and infrastructure spending respectively by 10 percent and 5 percent (6) a combination of 5 percent DAU increase policy, the 5 percent of local tax revenue sharing funds, 10 percent of spending in agricultural sector, and 5 percent of infrastructure.

(8)

The policy changes in fiscal revenues and expenditures have a positive impact on the performance of the agricultural sector in Riau province and all sub sectors based on the GDP aspect, but from the perspective of the labor absorption aspect, the changes in fiscal revenues and expenditures policy entirely have positive impact only on the plantation subsector. Therefore, based on the simulation results, that appropriate fiscal policy to be done to improve the agricultural sector performance in Riau province is the improvement in agricultural sector expenditure by 10 percent. The policy does not only improve the agricultural sector GDP amounted to 0.67 percent and the entire sub sectors, but also agricultural labor absorption aspects by 0.16 percent where the labor absorption is increase in two sub sectors, namely the food crops percent by 2.32 and the plantation subsector percent by 0.02 percent.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP

KINERJA SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI RIAU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)
(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih adalah Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Kinerja Sektor Pertanian di Provinsi Riau.

Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Dr Alla Asmara SPt MSi, selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Harianto MS, selaku anggota komisi pembimbing yang selalu meluangkan waktu dan memberikan banyak ilmu, bimbingan, serta saran bagi penulis dalam penyusunan tesis.

2. Prof Dr Ir Sri Hartoyo MS, selaku penguji luar komisi dan Dr Meti Ekayani SHut MSc, selaku penguji wakil komisi program studi atas berbagai masukan untuk perbaikan tesis yang diberikan kepada penulis.

3. Dr Saefudin SP MSi, Dr Djaimi Bakce SP MSi, dan Heriyanto MSi yang telah bersedia memberikan motivasi, ilmu, dan bimbingan bagi penulis selama proses penyelesaian studi.

4. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas dukungan beasiswa fresh graduate pendidikan Program Magister di IPB.

5. Bapak Johan, Ibu Ina, Bapak Widi, Ibu Kokom, Bapak Erwin, Bapak Khusein, selaku staf administrasi di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah banyak membantu selama penulis menempuh pendidikan.

6. Teman-teman Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian 2013 yang telah berbagi, berdiskusi, dan belajar bersama khususnya Mba Dika, Ulfira, Nurul Iski, Khumaira, Nora, Nurma, Lela, Uni Vina, Uni Dira. Sahabat SEFTer Bogor, Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB 2013, dan Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana (HIMMPAS) 2013 yang telah berbagi kebersamaan dan semangat aktualisasi diri.

7. Seluruh keluarga besar penulis, suami tercinta Akbar Nugraha atas pengertian, doa, dan semangat yang diberikan. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada orangtua tercinta Mama Musnelly (almh) atas seluruh doa, kasih sayang, dan inspirasi hingga akhir hayat, juga Papa Benhar atas seluruh doa, perhatian, dan dukungan, Ayah (alm) dan Ibu mertua, saudara tersayang Abang Harry Prima Putra dan Kakak Deni Pramita Sari atas doa, keceriaan, dan kasih sayang yang tak terhingga.

Akhir kata semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu dan semoga tesis ini bermanfaat memberikan wawasan serta pengetahuan baru bagi generasi selanjutnya.

Bogor, Mei 2016

(16)
(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN v

1 PENDAHULUAN 1

Latar belakang 1

Perumusan masalah 4

Tujuan penelitian 8

Manfaat penelitian 8

Ruang lingkup dan batasan penelitian 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 10

Kebijakan fiskal 10

Penerimaan fiskal 14

Pengeluaran fiskal 17

Kinerja sektor pertanian 18

Peran pemerintah dalam pembangunan pertanian 17

Kinerja sektor pertanian 21

Kaitan penerimaan dan pengeluaran pemerintah dengan kinerja sektor

pertanian 20

Studi terdahulu 22

Kerangka pemikiran 25

3 METODE PENELITIAN 28

Jenis dan sumber data 28

Spesifikasi model 28

Prosedur analisis 36

Validasi model 37

Simulasi kebijakan 38

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 40

Gambaran umum keragaan fiskal di Provinsi Riau 40 Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dan pengeluaran fiskal

sektor pertanian di Provinsi Riau 45

Dampak kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian Provinsi

Riau 61

Kebijakan fiskal yang tepat dilakukan di Provinsi Riau 73

5 KESIMPULAN DAN SARAN 75

Kesimpulan 75

Saran 75

DAFTAR PUSTAKA 76

LAMPIRAN 80

(18)

DAFTAR TABEL

1 PDRB atas dasar harga berlaku menurut provinsi dengan PDRB tertinggi

tahun 2008-2013 (miliar rupiah) 3

2 PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha

tahun 2009-2013 (miliar rupiah) 5

3 Pertumbuhan sektor pertanian tahun 2010-2013 (%) 5 4 Penerimaan fiskal Provinsi Riau tahun 2000-2012 (juta rupiah) 40 5 Pengeluaran fiskal Provinsi Riau tahun 2000-2012 (juta rupiah) 42 6 Hasil estimasi parameter pajak daerah di Provinsi Riau tahun 1994-2013 46 7 Hasil estimasi parameter retribusi daerah di Provinsi Riau tahun

1994-2013 47

8 Hasil estimasi parameter dana alokasi umum di Provinsi Riau tahun

1994-2013 48

9 Hasil estimasi parameter bagi hasil pajak daerah di Provinsi Riau tahun

1994-2013 49

10 Hasil estimasi parameter pengeluaran rutin gaji di Provinsi Riau tahun

1994-2013 50

11 Hasil estimasi parameter pengeluaran rutin non gaji di Provinsi Riau

tahun 1994-2013 51

12 Hasil estimasi parameter pengeluaran sektor pertanian di Provinsi Riau

tahun 1994-2013 51

13 Hasil estimasi parameter pengeluaran sektor non pertanian di Provinsi

Riau tahun 1994-2013 52

14 Hasil estimasi parameter pengeluaran infrastruktur di Provinsi Riau tahun

1994-2013 53

15 Hasil estimasi parameter PDRB subsektor tanaman pangan di Provinsi

Riau tahun 1994-2013 54

16 Hasil estimasi parameter PDRB subsektor perkebunan di Provinsi Riau

tahun 1994-2013 55

17 Hasil estimasi parameter PDRB subsektor peternakan di Provinsi Riau

tahun 1994-2013 55

18 Hasil estimasi parameter PDRB subsektor kehutanan di Provinsi Riau

tahun 1994-2013 56

19 Hasil estimasi parameter PDRB subsektor perikanan di Provinsi Riau

tahun 1994-2013 57

20 Hasil estimasi parameter penyerapan tenagakerja subsektor tanaman

pangan di Provinsi Riau tahun 1994-2013 57

21 Hasil estimasi parameter penyerapan tenagakerja subsektor perkebunan

di Provinsi Riau tahun 1994-2013 58

22 Hasil estimasi parameter penyerapan tenagakerja subsektor peternakan di

Provinsi Riau tahun 1994-2013 59

23 Hasil estimasi parameter penyerapan tenagakerja subsektor kehutanan di

Provinsi Riau tahun 1994-2013 60

24 Hasil estimasi parameter penyerapan tenagakerja subsektor perikanan di

(19)

25 Hasil validasi model dampak kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor

pertanian di Provinsi Riau 61

26 Dampak kebijakan peningkatan dana alokasi umum 5 persen terhadap penerimaan dan pengeluaran fiskal Provinsi Riau 62 27 Dampak kebijakan peningkatan dana alokasi umum 5 persen terhadap

kinerja sektor pertanian Provinsi Riau 63

28 Dampak kebijakan peningkatan dana bagi hasil pajak 5 persen terhadap penerimaan dan pengeluaran fiskal Provinsi Riau 64 29 Dampak kebijakan peningkatan dana bagi hasil pajak 5 persen terhadap

kinerja sektor pertanian Provinsi Riau 65

30 Dampak kebijakan pengeluaran sektor pertanian 10 persen 66 31 Dampak kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian 10 persen

terhadap kinerja sektor pertanian Provinsi Riau 67 32 Dampak kebijakan peningkatan infrastruktur sebesar 5 persen terhadap

penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah Provinsi Riau 68 33 Dampak kebijakan peningkatan infrastruktur sebesar 5 persen terhadap

kinerja sektor pertanian Provinsi Riau 69

34 Dampak kombinasi kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian sebesar 5 persen dan peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 5 persen terhadap penerimaan dan pengeluaran fiskal Provinsi Riau 70 35 Dampak kombinasi kebijakan peningkatan pengeluaran sektor pertanian

5 persen dan peningkatan pengeluaran infrastruktur sebesar 5 persen terhadap kinerja sektor pertanian Provinsi Riau 71 36 Dampak kombinasi kebijakan peningkatan DAU sebesar 5 persen, bagi

hasil pajak daerah sebesar 5 persen, pengeluaran sektor pertanian sebesar 10 persen, pengeluaran infrastrukur sebesar 5 persen terhadap penerimaan dan pengeluaran fiskal Provinsi Riau 72 37 Dampak kombinasi kebijakan peningkatan DAU sebesar 5 persen, bagi

hasil pajak daerah sebesar 5 persen, pengeluaran sektor pertanian sebesar 10 persen, pengeluaran infrastrukur sebesar 5 persen terhadap kinerja

sektor pertanian Provinsi Riau 72

38 Dampak simulasi kebijakan terhadap kinerja sektor pertanian di Provinsi

Riau 73

DAFTAR GAMBAR

1 Pertumbuhan pangsa sektor pertanian 4

2 Rasio PAD terhadap total pendapatan daerah Provinsi Riau 6 3 Rasio fiskal terhadap total pendapatan daerah Provinsi Riau 7 4 Pertumbuhan sektor pertanian dan rasio PAD per total pendapatan daerah

Provinsi Riau 7

5 Kerangka pemikiran penelitian 26

6 Diagram hubungan antar variabel 35

7 Persentase kontribusi sektor ekonomi terhadap PDRB Provinsi Riau

(20)

8 Perkembangan pangsa PDRB Provinsi Riau tanpa migas atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun 2008-2012 44 9 Perkembangan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau tanpa migas

atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha tahun

2008-2012 44

10 Perkembangan penyerapan tenagakerja sektor pertanian Provinsi Riau

tahun 1994-2013 45

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data dan sumber data model kebijakan fiskal dan kinerja sektor

pertanian Provinsi Riau tahun 1994-2013 81

2 Rekapitulasi persamaan dalam model kebijakan fiskal dan kinerja sektor pertanian Provinsi Riau tahun 1994-2013 86 3 Program estimasi parameter model kebijakan fiskal di Provinsi Riau

menggunakan metode 2SLS dan prosedur SYSLIN dengan Software

SAS/ETS versi 9.3 tahun 1994-2013 87

4 Hasil estimasi parameter model kebijakan fiskal provinsi riau menggunakan metode 2SLS dan prosedur SYSLIN dengan Software

SAS/ETS Versi 9.3 tahun 1994-2013 90

5 Program validasi model kebijakan fiskal Provinsi Riau menggunakan metode NEWTON dan prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS

versi 9.3 tahun 2002-2013 111

6 Hasil validasi model kebijakan fiskal provinsi riau menggunakan metode NEWTON dan prosedur SIMNLIN dengan Software SAS/ETS

versi 9.3 tahun 2002-2013 115

(21)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemerintahan suatu negara memiliki tujuan yang pada dasarnya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut dilakukan peningkatan perekonomian yang diukur dengan pendapatan nasional. Pendapatan tersebut diperlukan untuk membiayai kegiatan pembangunan dalam perekonomian.

Sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan peran sektor pertanian dalam meningkatkan produk domestik bruto maupun perolehan devisa negara, disamping karena sebagian besar penduduk Indonesia bekerja disektor pertanian. Penyediaan lapangan kerja sektor pertanian pada tahun 2012 dapat menyerap tenaga kerja sebesar 42.48 persen dari angkatan kerja nasional. Jumlah tersebut meningkat sebesar 4.75 persen dibandingkan tahun 2011 (Badan Pusat Statistik 2012). Selain itu, sektor pertanian juga memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Beberapa peran sektor pertanian yang dimaksud selain yang telah disebutkan sebelumnya adalah: (1) penyedia pangan dan pakan, (2) penyedia bahan baku industri dan sumber bio-energi, (3) pengentasan kemiskinan, dan (4) peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Sumedi dan Djauhari (2014) sektor pertanian di Indonesia sangat strategis sebagai basis ekonomi rakyat di pedesaan, menguasai hajat hidup sebagian besar penduduk, menyerap lebih dari separuh total tenaga kerja dan bahkan terbukti telah menjadi katub pengaman pada krisis ekonomi Indonesia.

Pembangunan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan distribusi pendapatan, membuka peluang dan kesempatan kerja bagi masyarakat, serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Menurut Musgrave (1989), dalam perekonomian, pemerintah memiliki peranan yang meliputi peran alokasi, peran distribusi, dan peran stabilisasi. Oleh sebab itu pemerintah memiliki wewenang dalam pelaksanaan pembangunan. Menurut Dirgantoro (2010) pemerintah dapat mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pengalokasian sumberdaya, distribusi faktor input dan hasil-hasil pembangunan serta mengatur stabilitas ekonomi. Pada tahap awal pembangunan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi diperlukan intervensi pemerintah. Intervensi tersebut dilakukan dalam bentuk pengeluaran pemerintah untuk membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum.

Kebijakan pembangunan di Indonesia pada masa orde baru yang sentralistik, dinilai mempunyai banyak kelemahan. Di antaranya, pekerjaan pembangunan bertumpu pada pemerintah pusat sehingga menimbulkan keterlambatan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, kebijakan anggaran dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat sering tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah yang beraneka ragam sehingga penyusunan program pembangunan menjadi tidak aspiratif.

(22)

agar potensi yang dimiliki daerah dapat dimanfaatkan secara maksimal. Oleh sebab itu, untuk merespon hal tersebut, pemerintah memberlakukan sistem kebijakan desentralisasi. Diantara wewenang yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah terkait dengan penyusunan alokasi anggaran daerah (fiskal). Oates (1999) menyatakan desentralisasi dilaksanakan untuk meningkatkan kemandirian daerah dan efisiensi anggaran. Lebih lanjut Bjornestad (2009) menyatakan pemberian keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan terhadap program dan pengelolaan anggaran juga akan meningkatkan efektivitas penyediaan layanan umum kepada masyarakat.

Landasan pelaksanaan desentralisasi fiskal tertuang dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 1999, tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang-Undang-Undang nomor 25 tahun 1999, tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Melalui Undang-Undang nomor 22, daerah diberikan wewenang yang luas dalam penyelenggaran pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip otonomi daerah. Penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah meliputi kewenangan untuk mengatur pembiayaan dan alokasi anggaran bagi penyelenggaraan pemerintah. Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, dituntut kemandirian daerah dalam melaksanakan pembangunan daerahnya masing-masing, baik dari segi perencanaan, pembiayaan, maupun dalam hal pelaksanaannya. Partisipatif aktif dari masyarakat dalam pembangunan tersebut secara langsung memiliki potensi untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Dengan demikian prioritas pembangunan setiap daerah lebih dititikberatkan pada konsep bottom-up planning. Konsep tersebut mengacu pada kebutuhan daerah didasarkan pada potensi dan kemampunan daerah yang bersangkutan (Saefudin 2005). Kemudian UU nomor 22 tahun 1999 direvisi menjadi UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya UU nomor 25 tahun 1999 direvisi menjadi Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. UU tersebut dibuat karena UU nomor 25 tahun 1999 yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, serta tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu diatur untuk mendukung peaksanaan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan kewenangan pemerintah pusat, desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dalam UU tersebut dilakukan perubahan terhadap formulasi DAU yang sebelumnya berasal dari alokasi dasar ditambah celah fiskal, menjadi hanya ditentukan dari celah fiskal. Formulasi celah fiskal akan lebih tepat mencerminkan kebutuhan fiskal daerah karena dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal daerah dan kapasitas fiskal daerah.

(23)

menanggapi kewenangan desentralisasi fiskal yaitu: (1) fokus pada usaha memperbesar penerimaan (revenue) melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah, serta memanfaatkan sumberdaya yang masih belum dimanfaatkan secara optimal dengan berbagai cara, salah satunya bagi hasil, dan (2) lebih berorientasi pada peningkatan efektivitas pengeluaran (expenditure) dalam rangka menstimulasi dunia usaha melalui pengembangan iklim usaha yang lebih baik dan menguntungkan bagi daerahnya.

Menurut Sumedi et al. (2013), dalam Permendagri Nomor 13 tahun 2006 disebutkan bahwa pemerintah daerah mengurusi 25 urusan wajib serta delapan urusan pilihan. Sektor pertanian menjadi salah satu urusan pilihan, bersama dengan sektor kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, kelautan dan perikanan, perdagangan, industri dan transmigrasi, yang dikelola bersama oleh pemerintah pusat dan daerah. Urusan yang ditangani bersama memerlukan koordinasi dan sinkronisasi program antara pemerintah pusat dengan daerah agar pembangunan berjalan dengan baik. Kebijakan fiskal akan berdampak pada kinerja sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi, karena kebijakan fiskal dipandang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah melalui efisiensi alokasi anggaran.

Tabel 1 memperlihatkan PDRB beberapa provinsi di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2013. Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang memiliki PDRB tinggi di Indonesia, seperti halnya Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki PDRB meningkat dari tahun ke tahun. Di Sumatera, Provinsi Riau merupakan provinsi yang memiliki PDRB terbesar, setelah itu diikuti oleh Provinsi Sumatera Utara. Hal ini disebabkan antara lain karena didukung dengan adanya pertumbuhan pada sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, dan lain-lain.

(24)

pada tahun 2012, yaitu sebesar 2.60 persen dan meningkat pada tahun 2013, yaitu sebesar 4.48 persen. Pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2012 merupakan pertumbuhan terendah selama lima tahun terakhir. Hal tersebut disebabkan terutama oleh subsektor perkebunan maupun subsektor kehutanan yang tercatat mengalami perlambatan pertumbuhan dari tahun ke tahun.

Sumber: Bank Indonesia 2011

Gambar 1 Pertumbuhan pangsa sektor pertanian

Provinsi Riau memiliki potensi sumberdaya alam yang besar. Secara teoritis, dengan diberlakukannya kebijakan fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perlu untuk diketahui bagaimana penerapan kebijakan fiskal memberikan dampak terhadap kinerja sektor pertanian dan seluruh subsektornya yang meliputi subsektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan agar diperoleh rekomendasi kebijakan yang tepat dalam rangka mengembangkan sektor pertanian di Provinsi Riau. Oleh sebab itu, penting untuk melakukan kajian tentang bagaimana dampak kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau.

Perumusan Masalah

Provinsi Riau memiliki potensi sumberdaya alam yang besar. Sektor pertanian masih menguasai pangsa terbesar dalam perekonomian setelah sektor pertambangan. Berdasarkan data olahan Bank Indonesia pada tahun 2010 pangsa sektor pertanian terhadap perekonomian adalah sebesar 58.60 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa struktur perekonomian Provinsi Riau sebagian besar adalah karena dorongan sektor pertanian berupa komoditas barang mentah maupun hasil bumi dibandingkan produk olahan manufaktur. Namun menurut data Bank Indonesia, pertumbuhan sektor pertanian di Provinsi Riau pada triwulan IV tahun 2012 tercatat sebesar 1.21 persen dan merupakan pertumbuhan terendah selama lima tahun terakhir. Rendahnya pertunbuhan sektor pertanian tersebut diikuti dengan rendahnya pertumbuhan subsektor perkebunan, kehutanan, dan perikanan.

(25)

Kondisi pertumbuhan sektor pertanian yang fluktuatif dan cenderung menurun tersebut mengindikasikan adanya penurunan kinerja sektor pertanian Provinsi Riau.

Tabel 2 memperlihatkan perkembangan kontribusi sektor pertanian dan subsektor dibidang pertanian berdasarkan PDRB lima tahun terakhir. Subsektor perkebunan merupakan subsektor yang memiliki pangsa terbesar dalam sektor pertanian di Provinsi Riau, yakni sebesar 49.22 persen. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa PDRB sektor pertanian dan seluruh subsektornya meningkat dari tahun ke tahun. Namun peningkatan PDRB tersebut tidak diiringi dengan peningkatan laju pertumbuhan sektor pertanian.

Tabel 2 PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha tahun 2009-2013 (miliar rupiah)

Lapangan Usaha 2009 2010 2011 2012 2013 1. Sektor Pertanian 16 071 16 693 17 414 17 867 18 667

a. Tanaman Pangan 1 837 1 895 1 986 2 010 2 020

b. Tanaman Perkebunan 6 440 6 920 7 556 7 925 8 628

c Peternakan dan hasil-hasilnya 867 913 977 1 044 1 123

d. Kehutanan 5 301 5 240 5 038 4 900 4 826

e. Perikanan 1 627 1 726 1 857 1 988 2 070

2. Sektor Lainnya 77 715 81 043 85 252 88 432 90 406

PDRB 93 786 97 736 102 666 106 299 109 073

PDRB Non Migas 45 392 48 645 52 420 56 542 60 007

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) 2014

Tabel 3 memperlihatkan pertumbuhan sektor pertanian serta subsektornya. Sektor pertanian mengalami trend pertumbuhan yang menurun signifikan pada tahun 2012. Subsektor tanaman pangan mengalami perlambatan pertumbuhan sampai tahun 2013 dengan angka terendah selama lima tahun terakhir yaitu sebesar 1.21 persen pada tahun 2012 dan 0.49 persen pada tahun 2013. Hal ini berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor pertanian di Provinsi Riau karena subsektor tanaman pangan merupakan subsektor ketiga yang memiliki PDRB tertinggi dari kelima subsektor pertanian.

Tabel 3 Pertumbuhan sektor pertanian tahun 2010-2013 (%)

Lapangan Usaha 2010 2011 2012 2013

Sektor Pertanian 3.87 4.32 2.60 4.48

a. Tanaman Pangan 3.16 4.80 1.21 0.49

b. Tanaman Perkebunan 7.45 9.19 4.88 8.87

c Peternakan dan hasil-hasilnya 5.31 7.01 6.86 7.57

d. Kehutanan -1.15 -3.85 -2.74 -1.51

e. Perikanan 6.08 7.59 7.05 4.12

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) (diolah) 2014

(26)

Selanjutnya mengalami perlambatan yang signifikan yakni sebesar 4.88 persen pada tahun 2012 dan 8.87 persen pada tahun 2013. Pertumbuhan subsektor perkebunan pada tahun 2012 merupakan pertumbuhan terendah selama lima tahun terakhir, kemudian meningkat pada tahun 2013, namun dengan peningkatan yang tidak lebih besar dari tahun 2011. Sebagai subsektor dengan pangsa terbesar dalam sektor pertanian di Provinsi Riau, maka perubahan pada subsektor perkebunan, baik itu berupa peningkatan maupun penurunan, dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan sektor pertanian Provinsi Riau.

Subsektor peternakan mengalami peningkatan laju pertumbuhan pada tahun 2011 dari tahun sebelumnya, namun kemudian mengalami perlambatan pada tahun 2012. Begitu pula pada subsektor perikanan yang mengalami perlambatan dari tahun ke tahun. Di sisi lain, sub sektor kehutanan yang juga memiliki pangsa relatif besar yaitu 33.02 persen, tercatat mengalami kontraksi sebesar 0.10 persen pada triwulan I-2010 dan seterusnya mengalami perlambatan hingga tahun 2013. Sejak semester II-2008, kondisi pertumbuhan sub sektor kehutanan di Provinsi Riau cenderung menunjukkan trend menurun sehubungan dengan adanya pengawasan yang sangat ketat oleh Pemerintah Provinsi Riau dan Departemen Kehutanan terkait dengan undang-undang penebangan kayu ilegal (illegal logging). Perlambatan pertumbuhan sektor pertanian menunjukkan penurunan kinerja sektor pertanian Provinsi Riau.

Sumber: Kementerian Keuangan 2012

Gambar 2 Rasio PAD terhadap total pendapatan daerah Provinsi Riau

(27)

2009 sampai dengan 2011 seiring dengan terjadinya perlambatan pertumbuhan sektor pertanian di Provinsi Riau. Hal ini menunjukkan PAD Provinsi Riau belum dapat dikatakan berhasil dalam membiayai sektor pertanian terlihat dari melambatnya pertumbuhan sektor pertanian Provinsi Riau selama tahun tersebut.

Sumber: Kementerian Keuangan 2012

Gambar 3 Rasio fiskal terhadap total pendapatan daerah Provinsi Riau

(28)

Berdasarkan hal tersebut, kondisi fiskal di Provinsi Riau diketahui mengalami perubahan dan cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun terlihat dari Gambar 4. Kondisi tersebut seiring dengan adanya perubahan pertumbuhan sektor pertanian sebagai gambaran kinerja sektor pertanian yang cenderung mengalami perlambatan. Diduga kebijakan fiskal yang berlaku di Provinsi Riau menyebabkan terjadinya penurunan kinerja sektor pertanian terlihat dari perlambatan pertumbuhan sektor pertanian. Oleh sebab itu, kebijakan alokasi anggaran yang dialirkan untuk sektor pertanian merupakan hal penting yang perlu diperhatikan agar tepat sasaran dan mampu meningkatkan kinerja sektor pertanian di provinsi Riau. Permasalahan penelitian yang akan diteliti adalah tentang bagaimana pengaruh dan dampak adanya kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh kebijakan fiskal terhadap kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau. Secara khusus penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan dan pengeluaran fiskal di Provinsi Riau.

2. Menganalisis dampak perubahan penerimaan dan pengeluaran fiskal Pemerintah Daerah terhadap kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau.

3. Merumuskan kebijakan fiskal yang tepat dilakukan dalam rangka meningkatakan kinerja sektor pertanian di Provinsi Riau.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yaitu: 1. Bagi pemerintah dan instansi terkait, hasil penelitian diharapkan dapat

menjadi masukan dalam proses perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan tentang fiskal khususnya dampaknya terhadap kinerja sektor pertanian.

2. Bagi akademisi, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

(29)

diteliti adalah subsektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan sesuai dengan ketersediaan data.

(30)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kebijakan Fiskal

Kebijakan Fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah. Mankiw (2003) mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai “The government’s choice regarding levels of spending and taxation”. Pemerintah memiliki keleluasaan untuk memilih tingkat pengeluaran maupun tingkat pajak yang diberlakukan. Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran (budgetary policy) yang diberlakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Menurut Darsono (2008), kebijakan fiskal atau kebijakan anggaran memiliki tiga fungsi, yaitu (1) fungsi alokasi (allocation function), (2) fungsi distribusi (distribution function), dan (3) fungsi stabilisasi (stabilization function). Fungsi alokasi berkaitan dengan penyediaan barang sosial atau proses penggunaan sumberdaya keseluruhan yang dibagi diantara barang privat dan barang sosial serta kombinasi barang sosial yang dipilih. Fungsi distribusi berkaitan dengan pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil dan merata dikalangan masyarakat, dimana fungsi ini terkait dengan kesetaraan atau pemerataan distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi adalah salah satu fungsi kebijakan fiskal untuk mempertahankan tingkat pekerjaan yang tinggi (high employment), stabilitas tingkat harga-harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sesuai. Fungsi-fungsi tersebut seluruhnya berpengaruh pada neraca perdagangan dan pembayaran. Pada prinsipnya kebijakan tersebut mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah.

Menurut Putong (2008), tujuan kebijakan fiskal adalah untuk: (1) mencegah pengangguran dan meningkatkan kesempatan kerja, (2) stabilitas harga, (3) mengatur laju investasi, (4) mendorong investasi sosial secara optimal, (5) menanggulangi inflasi, (6) meningkatkan stabilitas ekonomi ditengah ketidakstabilan internasional, dan (7) meningkatkan dan mendistribusikan pendapatan nasional.

Adapun instrument dari kebijakan fiskal adalah pajak, pengeluaran pemerintah, dan pembayaran transfer (transfer payment), artinya dalam melaksanakan kebijakan fiskal maka variabel-variabel tersebut yang diubah besarannya sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai pembuat kebijakan. Apabila pembuat kebijakan ingin menciptakan stabilitas harga, maka kebijakan fiskal akan diusahakan menjadi kontraktif, dimana pengeluaran pemerintah (G) akan diturunkan atau pajak (T) dinaikkan sehingga permintaan agregat dalam perekonomian akan turun dan hal ini mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga. Sebaliknya, jika pembuat kebijakan ingin meningkatkan tingkat pengerjaan (employment) dalam rangka mengurangi tingkat pengangguran, maka kebijakan fiskal diusahakan ekspansif, dimana pengeluaran pemerintah akan dinaikkan atau pajak diturunkan sehingga permintaan agregat dalam perekonomian meningkat dan terjadi ekspansi dalam perekonomian (Saefudin, 2005).

(31)

seimbang, yaitu kebijakan anggaran yang menyusun jumlah pengeluaran sama besar dengan jumlah penerimaan. Hal tersebut berarti jumlah pengeluaran yang disusun pemerintah tidak boleh melebihi jumlah penerimaan yang diperoleh sehingga tidak perlu melakukan pinjaman. Namun, dimasa depresi ekonomi, pemerintah sebaiknya tidak menggunakan kebijakan anggaran seimbang karena dapat mengakibatkan keadaan ekonomi yang semakin memburuk. Oleh sebab itu, pada masa depresi, sebaiknya pemerintah menggunakan kebijakan anggaran defisit karena ketika terjadi depresi pendapatan negara jumlahnya sangat rendah. Hal ini mengharuskan negara mendapatkan sejumlah pinjaman yang berfungsi untuk memperbaiki perekonomian.

Kedua, kebijakan anggaran surplus, yaitu kebijakan anggaran dengan cara menyusun jumlah pengeluaran lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penerimaan. Kebijakan ini digunakan pemerintah untuk mencegah inflasi (kenaikan harga akibat terlalu banyak jumlah uang yang beredar). Dengan memperkecil jumlah pengeluaran/ belanja negara, diharapkan jumlah permintaan terhadap barang dan jasa tidak mengalami peningkatan yang drastis. Akibatnya harga barang dan jasa juga tidak akan mengalami kenaikan harga yang tinggi sehingga inflasi dapat dicegah.

Ketiga, kebijakan anggaran defisit, yaitu kebijakan anggaran yang dilakukan dengan cara menyusun jumlah pengeluaran lebih besar dibandingkan jumlah penerimaan. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya defisit anggaran. Biasanya kebijakan anggaran defisit diberlakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kondisi depresi ekonomi maupun untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Keempat, kebijakan anggaran dinamis, yaitu kebijakan anggaran yang dilakukan dengan cara terus menambah jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran sehingga semakin lama jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran akan bertambah. Anggaran yang bersifat dinamis sangat diperlukan. Hal ini disebabkan semakin hari terjadi banyak kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan yang harus dibiayai pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terhadap daerahnya yang membutuhkan dana semakin besar.

Desentralisasi Fiskal

(32)

daerah, praktek soft budget constraint dari sisi pemerintah pusat yang juga disebabkan oleh lambatnya reformasi pajak daerah.

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal, yang meliputi aspek penerimaan dan pengeluaran. Desentralisasi fiskal dapat dikaitkan dengan tugas dan fungsi Pemerintahan Daerah sebagai penyedia barang dan jasa pelayanan kepada masyarakat. Penyerahan kewenangan di bidang fiskal pada dasarnya merupakan salah satu inti dari desentralisasi. Agar Pemerintah Daerah dapat melaksanakan fungsi yang didesentralisasikan secara efektif, maka Pemerintah Daerah harus memiliki sumber penerimaan yang memadai, baik penerimaan yang digali dari daerahnya sendiri maupun yang ditransfer dari pusat, dan Pemerintah Daerah harus juga memiliki kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang pengeluaran (JICA 2002).

Menurut Litvack J (2009), desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization), dan fiskal (fiskal decentralization).

Mello dan Barenstrein (2001) menyatakan bahwa tingginya ketergantungan pada dana transfer ternyata berhubungan negatif terhadap pembangunan. Temuan kajiannya menunjukkan bahwa perilaku pengeluaran pemerintah daerah dipengaruhi secara signifikan oleh sumber pendanaannya. Pemeritah daerah akan lebih berhati-hati menggunakan dana yang berasal dari masyarakatnya dibandingkan dana yang berasal dari transfer pemerintah pusat. Artinya pemerintah daerah cenderung lebih boros menggunakan dana transfer dibandingkan dana pendapatan daerah. Untuk menjelaskan hal tersebut, Bradford dan Oates (1971) telah menyatakan bahwa alokasi anggaran transfer pusat ke daerah identik dengan anggaran pendapatan daerah sehingga diprediksi bahwa pemerintah daerah memiliki propensity to spend yang sama terhadap kedua jenis anggaran tersebut. Namun hal ini tidak sejalan dengan temuan Mello dan Barenstrein (2001) yang secara implisit dapat diketahui bahwa transfer pusat memiliki prospensity to spend lebih besar dibandingkan pendapatan daerah.

(33)

alasan yang menyebabkan temuan penelitian sebelumnya tidak sesuai dengan teori. Pertama, desentralisasi merupakan fenomena yang kompleks untuk ditangkap melalui variabel dan data empiris pada tingkat agregat, karena meliputi banyak dimensi, antara lain politik, fiskal, dan administrasi. Desentralisasi fiskal juga menyangkut dua sisi, yaitu pengeluaran, terutama dalam rangka penyediaan layanan publik dan pendapatan, yaitu pengelolaan sumber-sumber penerimaan daerah, terutama pajak. Kedua, bahwa pemerintah daerah memiliki permasalahan terkait dengan kapasitas dalam perencanaan dan implementasi program pembangunan, utamanya terkait dengan kemampuan dan pengalaman sumberdaya manusia. Ketiga, bahwa secara teori, diasumsikan bahwa penduduk secara bebas berpindah antar daerah, karena perbedaan layanan publik, sehingga menimbulkan persaingan antara pemerintah daerah untuk menyediakan layanan publik yang baik, merupakan asumsi yang tidak masuk akal, karena mobilitas penduduk relatif mahal, dan terdapat ikatan emosional dengan wilayah asal, sehingga pemerintah daerah dapat berperilaku tidak responsif terhadap preferensi masyarakat setempat.

Desentralisasi Fiskal dalam Sektor Pertanian Daerah

Sejak tahun 2001 diberlakukan otonomi daerah sehingga pengelolaan pembangunan berubah dari sebelumnya bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Dengan adanya perubahan tersebut menyebabkan peran pemerintah pusat dan daerah ikut mengalami perubahan. Pada masa sentralisasi, pemerintah pusat memiliki peran dalam perencanaan, penetapan program hingga implementasi dan pemerintah daerah hanya sebagai pelaksana. Sementara ketika beralih menjadi desentralisasi, pemerintah pusat hanya berwenang dalam menetapkan arah dan kebijakan strategis pembangunan pertanian dalam tingkat nasional, sementara pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menentukan arah dan program pembanunan pertanian daerah sesuai dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki daerahnya. Dengan begitu peran pemerintah pusat yang sebelumnya adalah sebagai komando dalam pelaksanaan program berubah menjadi peran koordinatif, monitoring, dan evaluasi.

(34)

Implementasi otonomi daerah yang diikuti dengan kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia sebenarnya dikarenakan masalah politik dan kegagalan pemerintah pusat untuk menciptakan kesejahteraan secara lebih berkeadilan, dibandingkan oleh justifikasi ekonomi dan kesiapan yang matang. Desentralisasi fiskal dilaksanakan mulai Januari tahun 2001. Setelah lebih dari 10 tahun pelaksanaan, banyak pihak yang mempertanyakan hasil dari kebijakan desentralisasi fiskal dalam mendorong kinerja perekonomian. Setelah merujuk pada berbagai kajian dainyatakan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan beberapa tahun ini belum mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat (Aziz 2009).

Desentralisasi fiskal untuk sektor pertanian merupakan perubahan kebijakan pengelolaan pembangunan pertanian dari sentralistik menjadi desentralisasi, atau diserahkan kepada pemerintah daerah sehingga perubahan tersebut diharapkan mampu memanfaatkan potensi sumber daya pertanian daerah untuk dikembangkan. Dengan begitu, baik daerah maupun nasional akan terjadi peningkatan kinerja sektor pertanian (Sumedi dan Djauhari 2014).

Kebijakan fiskal daerah memberikan peluang yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk menggali potensi daerah, sedangkan dari sisi pengeluaran diharapkan mampu mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat (Koswara 2001). Eksternalitasnya diharapkan merangsang pertumbuhan investasi swasta dan perkembangan perekonomian daerah sehingga pada akhirnya meningkatkan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi (Smoke 1996).

Penelitian yang dilakukan Situmorang, et al (2010) menunjukkan bahwa kebijakan non fiskal memberikan dampak yang lebih baik bagi peningkatan ketahanan pangan Provinsi Sumatera Utara dibandingkan pemberlakuan kebijakan fiskal. Adanya kebijakan fiskal seperti meningkatkan pengeluaran sektor pertanian justru menurunkan ketahanan pangan dan menaikkan kemiskinan. Hal ini karena harga jual pangan di Provinsi Sumatera Utara mengalami peningkatan sehingga kemampuan penduduk untuk mengkonsumsi atau mengakses pangan mengalami penurunan. Pemerintah daerah melakukan intervensi pasar, khususnya beras, dalam bentuk harga dasar dan harga atap. Namun usaha tersebut belum efektif untuk meredam kenaikan harga beras. Temuan berbeda dengan kajian Rindayanti (2007) yang menganalisis keterkaitan kebijakan fiskal dengan kinerja sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan fiskal berupa peningkatan pengeluaran sektor pertanian berdampak pada peningkatan perekonomian daerah dalam hal ini peningkatan kinerja ketahanan pangan.

Penerimaan Fiskal

(35)

mendukung penyelenggaraan otonomi daerah meliputi Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

PAD merupakan pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah (Sidik, 2002). UU No. 34 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjelaskan bahwa PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, laba badan usaha daerah, dan lain-lain PAD yang sah. Secara matematis, pendapatan asli daerah dirumuskan sebagai berikut:

PAD = f (T, R, LBUD) Keterangan:

PAD = pendapatan asli daerah T = pajak daerah

R = retribusi daerah

LBUD = laba badan usaha daerah

Pajak daerah menurut Siahaan (2005) adalah pembayaran wajib yang dikenakan berdasarkan undang-undang yang tidak dapat dihindari bagai yang berkewajiban dan bagi yang tidak membayar dapat dilakukan paksaan sehingga akan terjamin bahwa kas daerah selalu berisi dana pajak. Dalam kajian ini, pajak daerah merupakan pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah provinsi dan terdiri dari: (1) pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, (2) bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, (3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan (4) pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

Selanjutnya retribusi daerah menurut Siahaan (2005) adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada pemerintah daerah atas jasa tertentu yang diberikan oleh pemerintah bagi penduduk daerah tersebut. Menurut UU No. 34 tahun 2004, retribusi tersebut terdiri dari: (1) retribusi jasa umum seperti pelayanan kesehatan, pelayanan kebersihan, retribusi parker di tepi jalan umum, dan retribusi pelayanan pemakaman, (2) retribusi jasa usaha seperti penyewaan asset yang dimiliki oleh oemerintah daerah, penyediaan tempat penginapan, usaha bengkel kendaraan, dan penjualan bibit pertanian, (3) retribusi perizinan tertentu yaitu retribusi atas kegiatan pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, penggunaan sumber daya alam, guna melindungi kepentiangan umum dan menjaga kelestarian lingkungan seperti izin mendirikan bangunan dan izin penggunaan tanah.

Dana Bagi Hasil Penerimaan Daerah

(36)

kepada daerah diatur dalam PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan PP 84 Tahun 2001.

Selanjutnya UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Pengahsilan (PPh) menyebutkan bahwa sejak tahun anggaran 2001 daerah memperoleh bagi hasil dari PPh perorangan. Hal ini dilakukan karena terdapat daerah-daerah yang sedikit sumber daya alamnya namun berkontribusi besar bagi negara sehingga diberlakukan PPh perorangan sebagai kompensasi. Adanya sistem bagi hasil tersebut akan menimbulkan ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antara daerah. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam besar, demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari pajak (Astuti dan Joko, 2005).

Nilai bagi hasil pajak daerah ditentukan oleh aktivitas ekonomi. Semakin tinggi pendapatan asli daerah yang diantaranya terdiri dari pajak daerah dan retribusi, maka semakin besar nilai bagi hasil pajak daerah. Pemungutan pajak dilakukan oleh pemerintah daerah dan hasilnya dibagi dengan pemerintah pusat (Gandhi 1995). Berdasarkan hal tersebut fungsi dari dana bagi hasil adalah

DAU ditentukan oleh pemerintah pusat dengan pertimbangan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah. Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2011 dinyatakan bahwa kebutuhan fiskal dapat diketahui dari jumlah penduduk, luas wilayah, pengeluaran, dan PDRB, sedangkan kapasitas fiskal dapat diketahui dari pendapatan asli daerah, dana bagi hasil pajak dan sumberdaya alam. Semakin besar celah fiskal yang merupakan selisih dari kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal, maka semakin besar DAU yang diberikan untuk daerah. Secara matematis dituliskan sebagai berikut:

(37)

bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal needs) dan potensi daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada (Saefudin 2005).

Dana Alokasi Khusus

Berdasarkan Nota Keuangan dan RAPBN tahun 2011, Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dimana kebutuhan tersebut merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional. Alokasi DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sesuai dengan UU No. 34 tahun 2004 yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah: (1) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/ prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, saluran drainase primer, dan (2) kebutuhan yang merupakan komitmen/ prioritas nasional. Konsep DAK di Indonesia mencakup alokasi dana untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi yang sumber pembiayaannya ditetapkan sebesar 40 persen dari penerimaan dana reboisasi dalam APBN yang diberikan kepada daerah penghasil.

Pengeluaran Fiskal

Pengeluaran fiskal pemerintah dikelompokkan menjadi pengeluaran rutin dan pembangunan pada era orde baru. Pengeluaran pembangunan dimaksudkan sebagai belanja pemerintah daerah yang digunakan untuk pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan dan bersifat tidak mengikat (discretionary expenditure). Sementara pengeluaran rutin dimaksudkan sebagai belanja pemerintah daerah yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan administrasi pemerintahan, bantuan sosial, bunga dan subsidi dan bersifat mengikat (non-discretionary expenditure) (Departemen Keuangan 2010).

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, pengeluaran pemerintah terdiri dari belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja langsung merupakan pengeluaran yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan, sedangkan belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Dalam kajian ini, pengeluaran pemerintah daerah dikelompokkan berdasarkan klasifikasi era orde baru, yaitu pengeluaran rutin yang meliputi pengeluaran gaji dan pengeluaran non gaji, dan pengeluaran pembangunan yang meliputi pengeluaran sektor pertanian, pengeluaran sektor non pertanian, dan pengeluaran infrastruktur.

(38)

provinsi, pengujian Hukum Wagner untuk kasus pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan terbukti. Kedua jenis pengeluaran pemerintah daerah tersebut secara signifikan dipengaruhi oleh variasi dalam PDRB, artinya pengeluaran rutin dan pembangunan akan meningkat ketika terjadi peningkatan pada variabel PDRB, PAD, maupun total penerimaan daerah sebagai hasil aktivitas ekonomi daerah.

Hanani (2000) mengidentifikasi bahwa besaran pengeluaran rutin pemerintah tergantung pada jumlah penduduk dan total pengeluaran pemerintah, sedangkan pengeluaran pembangunan dinyatakan sebagai sisa pengeluaran untuk pengeluaran rutin termasuk cicilan hutang pemerintah. Brodjonegoro (2001) menyatakan bahwa pengeluaran rutin dipengaruhi oleh PDRB dan pengeluaran rutin tahun sebelumnya, sedangkan pengeluaran pembangunan dinyatakan sebagai fungsi dari total penerimaan daerah. Secara matematis pengeluaran pemerintah daerah dapat dituliskan sebagai berikut:

Y = f (PAD, DAU, POP) Keterangan:

Y = pengeluaran rutin daerah PAD = pendapatan asli daerah DAU = dana alokasi umum POP = jumlah penduduk

Kinerja Sektor Pertanian

Sektor pertanian memiliki peranan yang penting dalam perekonomian nasional, terutama perekonomian rakyat. Adanya ketidakmampuan untuk menyediakan pangan sendiri dan mengandalkan impor telah menyulitkan perekonomian. Sektor pertanian tidak saja berkontribusi pada devisa negara tetapi juga merupakan sumber kehidupan bagi sebagian besar penduduk Indonesia khususnya yang tinggal di pedesaan. Pertumbuhan sektor pertanian akan dipengaruhi oleh sektor lain, demikian juga pembangunan pertanian akan mempengaruhi pembangunan sektor lainnya (Asnawi 2005).

Pada penelitian ini indikator kinerja sektor pertanian meliputi variabel PDRB sektor pertanian dan penyerapan tenagakerja sektor pertanian. Sektor pertanian didisagregasi menjadi 5 (lima) subsektor yaitu: (1) tanaman pangan, (2) perkebunan, (3) peternakan, (4) kehutanan, dan (5) perikanan. Disagregasi bertujuan untuk mengetahui potensi masing-masing subsektor agar dapat dikembangkan dalam rangka peningkatan kinerja sektor pertanian.

Model dalam penelitian ini mengacu pada model ekonomi regional yang terdiri dari 3 (tiga) blok, yaitu: (1) blok penerimaan fiskal, (2) blok pengeluaran fiskal, dan (3) blok kinerja sektor pertanian. Ketiga blok tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi dalam suatu kerangka sistem perekonomian.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

(39)

untuk mengetahui tingkat produk yang dihasilkan oleh seluruh faktor produksi, besarnya laju pertumbuhan ekonomi dan struktur perekonomian pada suatu periode disuatu daerah tertentu. (BPS Provinsi Riau 2014)

PDRB merupakan nilai produksi barang-barang hasil pertanian yang diproduksi dalam suatu wilayah pada jangka waktu tertentu. Dalam teori pertumbuhan ekonomi terdapat fungsi Cobb-Douglas yang menjelaskan bahwa pendapatan dipengaruhi oleh stok modal dan banyaknya tenagakerja. Pendapatan dalam kajian ini adalah PDRB sektor pertanian dimana perubahannya dipengaruhi oleh pengeluaran sektor pertanian, investasi sebagai salah satu sumber stok modal, dan penyerapan tenagakerja.

Budiyanto (2014) menjelaskan bahwa output pertanian ditentukan oleh faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi pertanian. Output pertanian merupakan fungsi dari luas lahan, kapital, tenagakerja, dan teknologi. Semakian luas lahan pertanian, semakin banyak kapital dan tenagakerja, serta semakin maju teknologi, akan menyebabkan peningkatan output pertanian. Berdasarkan hal tersebut, jika pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian ditambahkan (pengeluaran pemerintah untuk penyediaan barang publik sehingga dapat meningkatkan produktivitas marginal input privat) akan menyebabkan output pertanian meningkat. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

Y = f (A, K, L, T, G) Keterangan:

Y = output pertanian A = luas lahan K = kapital L = tenagakerja T = teknologi

G = pengeluaran pemerintah daerah untuk sektor pertanian

Penyerapan Tenagakerja

Konsep penyerapan tenaga kerja sektoral dapat diketahui dengan pendekatan teori alokasi tenaga kerja dalam perekonomian. Pada umumnya teori ini berkembang mengikuti teori ekonomi Neo Klasik, teori ekonomi Keynes, dan teori ekonomi Harris-Todaro. Menurut Todaro (1994) penyerapan tenagakerja merupakan banyaknya orang yang bekerja pada berbagai sektor perekonomian diantaranya sektor pertanian. Penyerapan tenagakerja dapat dilihat dari sisi penerimaan dan penawaran tenagakerja.

Teori permintaan tenagakerja menjelaskan bahwa suatu perusahaan akan menggunakan jumlah tenagakerja optimal untuk mencapai tujuan laba maksimal. Tenagakerja optimal dicapai ketika nilai produk fisik marginal (value of marginal physical product) tenagakerja sama dengan upah tenagakerja, dimana upah merupakan biaya marginal bagi satu tenagakerja. Oleh sebab itu, perusahaan akan menyesuaikan jumlah tenagakerja yang digunakan sesuai dengan upah. Ketika upah meningkat, perusahaan akan mengurangi penggunaan jumlah tenagakerja (Branson, 1989).

(40)

penawaran tenagakerja adalah fungsi yang menggambarkan hubungan antara tingkat upah dengan jumlah tenagakerja yang ditawarkan. Semakin tinggi tingkat upah maka akan semakin tinggi jumlah penawaran tenagakerja, sesuai dengan hasil penelitian Megasari et.al (2006). Dalam kajian ini, penyerapan tenagakerja merujuk pada penawaran tenagakerja.

Variabel pertumbuhan ekonomi juga mempengaruhi penyerapan tenagakerja. Hal ini sesuai dengan temuan Khafidh (2013) yang menyatakan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan peningkatan penyerapan tenagakerja. Selain itu, menurut Sudarsono (1990) terdapat hubungan antara nilai produksi dengan penyerapan tenagakerja. Peningkatan permintaan konsumen terhadap hasil produksi suatu perusahaan akan mendorong perusahaan untuk menambah kapasitas produksinya. Untuk itu perusahaan akan menarik minat tenagakerja melalui peningkatan upah sehingga terjadi peningkatan penyerapan tenagakerja.

Kaitan Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah dengan Kinerja Sektor Pertanian

Pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian dapat dialokasikan untuk irigasi, penelitian dan pengembangan, penyuluhan, pembangunan jalan pedesaan, dan subsidi input pertanian. Hasil kajian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian berdampak positif terhadap pertumbuhan output di Indonesia, sedangkan subsidi input pertanian seperti pupuk dan benih berdampak negatif (World Bank 2009).

Fugli (2004) mengidentifikasi faktor penentu pertumbuhan pertanian di Indonesia dari tahun 1960-an sampai tahun 2000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 1970-an sampai tahun 1980 produktivitas pertanian meningkat namun selanjutnya sejak awal tahun 1990-an sampai tahun 2000 cenderung flat. Sebagian besar pertumbuhan sektor pertanian ditentukan oleh peningkatan penggunaan input. Penggunaan input sangat erat kaitannya dengan alokasi aanggaran fiskal yang meliputi penerimaan dan pengeluaran sehingga penggunaan input yang efektif dan efisien berhubungan dengan alokasi anggaran.

Apabila pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian ditambahkan sehingga meningkatkan produktivitas input, maka diharapkan output pertanian meningkat dan selanjutnya terjadi peningkatan laju. Sementara apabila pengeluaran pemerintah dialokasikan untuk subsidi input privat, maka dapat berdapak negatif terhadap output dalam hal ini PDRB dan pertumbuhan. Hal ini terjadi karena subsidi input privat hanya menggambarkan suatu transfer sumberdaya dengan tidak berdampak pada konsumsi input tersebut sehingga walaupun subsidi meningkatkan penggunaan input, dampaknya terhadap produktivitas bisa menjadi negatif. Hal ini sesuai dengan temuan World Bank (2009) yang menunjukkan bahwa subsidi input berupa pupuk, dimana penggunaannya ketika ditambahkan sampai pada suatu titik tidak memberikan dampak terhadap produktivitas bahkan dapat memberikan dampak negatif karena adanya diminishing returns terhadap penggunaan puput tersebut.

(41)

insektisida, traktor, dan lain-lain yang dipasok oleh sektor lain (menciptakan peluang investasi). Keterkaitan ini disebut sebagai keterkaitan ke belakang (backward linkage). Namun di pihak lain, sektor pertanian meningkatkan penawaran output untuk sektor-sektor lain (industri pertanian juga menciptakan peluang investasi), di samping ada yang digunakan sendiri oleh sektor pertanian. Keterkaitan ini disebut sebagai keterkaitan ke depan (forward linkage). Jadi kedua keterkaitan tersebut dikenal sebagai keterkaitan antar industri (inter-industry linkage) yang mengarah ke belakang dan ke depan (Budiyanto 2014).

Ada juga efek keterkaitan ketenagakerjaan (employment linkage effect) dan efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income generation linkage effect) yang terjadi dengan meningkatnya penyediaan kesempatan kerja dan pendapatan sektor pertanian dengan adanya pembangunan sektor pertanian. Peningkatan penyediaan kesempatan kerja dan pendapatan sektor pertanian tersebut selanjutnya dapat meningkatkan permintaan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan oleh sektor lain sehingga terjadi peningkatan produksi sektor non pertanian.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Priyarsono (2011), terdapat keterkaitan penciptaan pendapatan dalam suatu perekonomian. Tiap Rp 1 miliar injeksi untuk subsektor tanaman pangan akan meningkatkan output bruto bagi perekonomian Indonesia sebesar Rp 7.1539 miliar, meningkatkan pendapatan sektor lainnya sebesar Rp 4.6521 miliar, memberikan nilai tambah sebesar Rp 2.3087 miliar, dan meningkatkan pendapatan rumahtangga sebesar Rp 1.9849 miliar.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan ukuran dasar dari kinerja perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Nilai PDRB suatu daerah merupakan keseluruhan nilai sektor ekonomi daerah tersebut yang meliputi sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik gas dan air bersih, konstruksi dan bangunan, perdagangan hotel dan restoran, pengangkutan dan telekomunikasi, bank dan jasa keuangan lainnya, serta jasa-jasa dan lainnya.

Sektor pertanian merupakan sektor yang efektif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan output (Budiyanto 2014). Secara matematis fungsi PDRB sektor pertanian dituliskan sebagai berikut:

(42)

masing-masing negara (Liu, Hsu, dan Younis, 2008). Kajian ini mengadopsi pendapat Keynes yang memperlakukan pengeluaran pemerintah sebagai faktor exogenous, sehingga dapat diketahui dampak pengeluaran pemerintah terhadap kinerja sektor pertanian dalam hal ini aspek PDRB sektor pertanian. Pengeluaran pemerintah yang meningkat akan menyebabkan peningkatan pada PDRB sektor pertanian, sebaliknya jika peningkatan pengeluaran pemerintah menyebabkan PDRB sektor pertanian menurun maka pengeluaran pemerintah berdampak negatif terhadap kinerja sektor pertanian dilihat dari aspek PDRB sektor pertanian.

Jika pengeluaran pemerintah untuk belanja modal sektor pertanian semakin meningkat artinya terjadi aktivitas ekonomi yang mendorong pertumbuhan ekonomi, maka kebutuhan tenagakerja juga semakin besar. Dengan demikian, dalam kajian ini penyerapan tenagakerja sektor pertanian daerah ditentukan oleh beberapa faktor yang secara matematis dituliskan sebagai berikut:

L = f (UPSP, Y, G)

Terkait tentang kinerja sektor pertanian, terdapat penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal daerah dan ketahanan pangan di Provinsi Jawa Barat yang dilakukan oleh Rindayati et.al tahun 2007, menggunakan data panel tahun 1995-2005 dengan analisis deskriptif dan simultan, metode 2SLS. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pendapatan sektor pertanian signifikan dipengaruhi positif oleh produksi gabah, tenaga kerja sektor pertanian, lag pendapatan sektor pertanian. Faktor-faktor yang mempengaruhi tenaga kerja sektor pertanian adalah angkatan kerja dan upah sektor pertanian. Angkatan kerja yang meningkat diikuti oleh penyerapan tenaga kerja sektor pertanian yang semakin besar, sedangkan upah merupakan insentif bagi tenaga kerja sehingga semakin besar tingkat upah maka akan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang terlibat pada sektor pertanian. Apabila pengeluaran sektor pertanian ditingkatkan maka akan terjadi peningkatan PDRB sektor pertanian maupun non pertanian, dan selanjutnya peningkatan tersebut juga meningkatkan pendapatan per kapita. Peningkatan pengeluaran sektor pertanian berdampak pada peningkatan kinerja perekonomian daerah, peningkatan kinerja ketahanan pangan, penurunan kemiskinan, dan peningkatan kinerja fiskal daerah. Peningkatan upah sektor pertanaian berdampak pada penyerapan tenaga kerja sektor pertanian.

Gambar

Tabel  2 PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha
Gambar 3  Rasio fiskal terhadap total pendapatan daerah Provinsi Riau   Gambar 3 memperlihatkan rasio fiskal terhadap total pendapatan daerah dimana rasio ini mengukur tingkat kemampuan daerah dalam mendanai program prioritas daerah tersebut
Gambar 5  Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 6  Diagram hubungan antar variabel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada Rencana Kegiatan Harian (RKH) dari pertemuan pertama, kedua dan ketiga dengan tema binatang mengalami kemajuan yang pesat. Dengan demikian maka dapat ditarik

Pemberlakuan tarif pajak progresif bagi kendaraan kedua ini karena diasumikan bahwa wajib pajak yang memiliki kendaraan bermotor lebih dari satu maka dapat dikategorikan

55 Alimentarius, bahan tambahan makanan didefinisikan sebagai bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komposisi khas makanan,

Tahanan lateral acuan dari suatu sambungan yang menggunakan paku baja, pasak, atau sekrup satu irisan yang dibebani secara tegak lurus terhadap sumbu alat pengencang dan

Berdasarkan uraian tersebut, maka hubungan aspek kekuasaan dengan aspek fisik kota dan sosial ekonomi, serta interaksi antara kedua aspek yang disebut terakhir, merupakan pola

Pada sektor rumah tangga mengalami peningkatan pertumbuhan energi listrik dengan persentase pertumbuhan rata-rata mencapai 1,736 % pertahunnya hingga 10 tahun

Ada pula penelitian lainnya yakni penelitian yang dilakukan oleh Kurniati pada tahun 2013 yang berjudul “Kepuasan Pasien Rawat Inap Lontara Kelas III terhadap Pelayanan Kesehatan

Metode muhawarah adalah metode yang melakukan kegiatan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Arab yang diwajibkan pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di