• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hipertensi dan Prahipertensi

Menurut The Seventh Report on Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII), hipertensi adalah tekanan darah sistolik atau/dan tekanan darah diastolik yang tinggi (Chobanian et al 2003).

Tabel 1 Kategori tekanan darah orang dewasa 18 tahun atau lebih

Kategori Sistolik

(mmHg)

Diastolik (mmHg)

Tata Laksana

Normal < 120 dan < 80 Modifikasi Gaya Hidup

Prahipertensi 120-139 atau 80-89 Modifikasi Gaya Hidup

Hipertensi Stage 1 140-159 atau 90-99 Modifikasi Gaya Hidup+Obat

Hipertensi Stage 2 ≥ 160 atau ≥ 100 Modifikasi Gaya Hidup+Obat

Hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu: (1) hipertensi esensial dan (2) hipertensi sekunder. Hipertensi esensial atau hipertensi primer adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi ini besarannya 95 persen dari total kasus hipertensi. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi seperti genetik, lingkungan, peningkatan natrium, kegemukan, merokok, alkohol, dan lain-lain. Hipertensi sekunder adalah hipertensi renal, terdapat pada 5 persen dari kasus hipertensi. Penyebab spesifiknya seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hiperaldosteronisme, kehamilan, dan lain- lain (Tara & Soetrisno 1998).

Sejak tahun 2003, JNC VII memperkenalkan klasifikasi baru pada kategori hipertensi yaitu prahipertensi (sistolik 120-139 mmHg atau 80-89 mmHg untuk diastolik). Meskipun belum disebut hipertensi namun bila seseorang telah memiliki tekanan darah dalam kategori prahipertensi telah memerlukan perhatian yang intensif, sebab pada penelitian kelompok Framingham ditemukan bahwa penyakit kardiovaskular banyak ditemukan pada mereka dengan prahipertensi (Chobanian et al 2003; Dishman, Washburn, Heath 2004). Selain itu bagi penderita prahipertensi akan menjadi hipertensi dimasa akan datang bila tidak segera diberi perhatian untuk mengubah gaya hidupnya yang tidak sehat agar tekanan darah turun atau tetap stabil (Chobanian et al 2003). Berdasarkan data epidemiologi yang dilaporkan oleh NHANES pada tahun 2003-2004 disebutkan prevalensi prahipertensi di USA adalah 31-35 persen (Kwok, Bernard, Yu, Chu,

Karen 2007), sedangkan di Malaysia sebesar 37 persen (Appel et al 2003; Chia 2008). Liszka dkk menemukan hubungan bermakna antara prahipertensi dengan peningkatan risiko terjadinya kardiovaskular {RR= 1.79 (95% CI 1.40-2.24)} sebelum disesuaikan dan setelah disesuaikan dengan faktor risiko lainnya tetap konsisten yaitu RR= 1.32 (95% CI 1.05-1.65). Penelitian ini dilakukan selama 18 tahun untuk melihat terjadinya penyakit kardiovaskular dan beberapa penyakit degeneratif lainnya pada subjek penelitian yang memiliki tekanan darah normal (<120/80 mmHg) dan prahipertensi. Pada 93 persen subjek penelitian ditemukan memiliki minimal satu faktor risiko kardiovaskular (Liszka, Mainous, King, Everett, Egan 2005).

Chia (2008) menyatakan 85 persen penderita prahipertensi memiliki minimal satu atau lebih faktor risiko kardiovaskular. Beberapa penelitian lainnya menemukan telah terjadi pembesaran dinding ventrikel kiri, indeks tahanan perifer total lebih tinggi, dan tekanan nadi yang lebih tinggi pada remaja dan dewasa muda yang prahipertensi dibandingkan yang memiliki tekanan darah normal. Qureshi dkk, menemukan prahipertensi berkaitan dengan meningkatnya risiko terjadinya infark miokard (MI) dan penyakit arteri koroner (CAD) (Qureshi, Suri, Kirmani, Divani, Mohammad 2005). Zhang dkk menemukan prevalensi prahipertensi pada bukan penderita diabetes adalah 48.2 persen sedangkan pada penderita diabetes lebih tinggi 59.4 persen. Selain itu ditemukan penderita diabetes memiliki gaya hidup kurang aktif sehingga peneliti menganjurkan pentingnya intervensi melakukan gaya hidup sehat yaitu olahraga bagi penderita diabetes, terutama bila ditemukan bersama prahipertensi atau hipertensi (Zhang et al 2006).

Persentase prahipertensi menjadi hipertensi ditemukan bervariasi, yaitu: 19 persen dan 27 persen prahipertensi akan menjadi hipertensi dalam waktu 4 tahun, sedangkan penelitian lain menemukan 40 persen prahipertensi menjadi hipertensi dalam waktu 2 tahun (Chia 2008; Qureshi, Suri, Kirmani, Divani, Mohammad 2005; Julius et al 2006).

Berdasarkan berbagai temuan ini, banyak ahli menganjurkan perlunya dilakukan intervensi pada prahipertensi, seperti perubahan gaya hidup tidak sehat atau pemberian obat antihipertensi. Meskipun demikian pada JNC VII (2003)

dinyatakan bahwa penatalaksanaan untuk prahipertensi adalah modifikasi gaya hidup tidak sehat, belum ada untuk pemberian obat antihipertensi bagi prahipertensi kecuali untuk kasus dengan penyakit lain yang mengharuskan adanya pemberian obat (Chobanian et al 2003).

Epidemiologi Hipertensi

Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES) yang dilakukan dari tahun 2003 hingga 2004 menyebutkan bahwa prevalensi hipertensi di USA 28.7 persen, berarti ±65 juta orang dewasa dari seluruh penduduk Amerika mengidap hipertensi. Hal ini menunjukkan peningkatan yang substansial dibandingkan sebelumnya. Prevalensi antara tahun 1988 hingga 1994 yaitu 50 juta orang dewasa atau kurang lebih 24.5 persen populasi menderita hipertensi (Kaplan 2006; Whelton et al 2002; Dishman, Washburn, Heath 2004). Penyakit hipertensi dikenal sebagai pembunuh diam- diam (silent killer) sebab sering tidak terdeteksi atau tidak ada keluhan atau gejala hingga timbul komplikasi serius yang merusak jantung, ginjal, otak dan organ lainnya. Kurang lebih 35 persen penderita hipertensi tidak menyadari atau mengetahui bahwa mereka menderita penyakit hipertensi (Ong, Cheung, Man, Lau, Lam 2007).

Sekitar 20 persen penduduk dunia meninggal akibat penyakit jantung terutama akibat aterosklerotik dan berkaitan dengan hipertensi arterial. Penyakit ini tidak hanya menjadi penyebab 50 persen kematian di negara maju namun juga menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol di negara-negara yang sedang berkembang, yang menempati posisi ke-3 atau kurang lebih 16 persen penyebab kematian dari seluruh kematian. Pada beberapa negara seperti Argentina, Chile, Cuba, Mauritius, Singapura, Sri Lanka, Trinidad, Tobago dan Uruguay, hipertensi menjadi penyebab pertama kematian. Sementara banyak negara berkembang lainnya secara epidemiologis sedang berada dimasa transisi dan menghadapi beban ganda yaitu masalah penyakit-penyakit menular (communicable disease) dan tidak menular (non-communicable disease) (Lloyd- Jones & Levy 2007).

Akibat penyakit hipertensi maupun sebagai akibat dari komplikasi penyakit ini (stroke, penyakit ginjal, atau kegagalan jantung) dapat memberi dampak nyata

pada penderita, keluarga, atau komunitasnya. Hal ini merupakan dampak dari keharusan mengonsumsi obat-obatan seumur hidup, penderita hipertensi meninggal usia muda, serta adanya disabilitas menetap yang akan meningkatkan ketergantungan pada orang lain.

Pada studi epidemiologi ditemukan adanya perbedaan bermakna secara geografi pada kejadian hipertensi arterial dan komplikasinya di antara satu negara dengan negara lain maupun di dalam masing-masing negara. Kondisi ini diduga sebagai akibat interaksi faktor gizi dan lingkungan, bersama dengan kerentanan individual, dan predisposisi genetik terhadap terjadinya hipertensi arterial. Di masyarakat, sekitar 95 persen penyebab hipertensi yang tidak diketahui disebut sebagai hipertensi esensial dan hanya 5 persen yang diketahui penyebabnya dan dikenal sebagai hipertensi sekunder (Silverthorn 2004). Dari data epidemiologis diketahui bahwa ada beberapa faktor yang memainkan peran penting di dalam perkembangan, evolusi, dan prognosis dari hipertensi arterial. Beberapa faktor tidak dapat diubah atau dimodifikasi (non-modifiable), yaitu: umur, jenis kelamin, etnik, dan herediter sedangkan faktor lainnya adalah yang dapat diubah (modifiable) seperti berat badan, konsumsi garam, alkohol, penggunaan kontrasepsi, obat penahan sodium, gaya hidup sedenteri atau kurang/tidak aktif, dan faktor psikologis (Kusmana 2003; Chobanian et al 2003; Antezanna 2000).

Menurut The National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES) pada tahun 2003-2004 penyakit hipertensi di Amerika ditemukan pada 30 persen orang kulit hitam, 23 persen orang kulit putih, dan 23 persen orang Amerika-Meksiko. Penyakit hipertensi lebih banyak ditemukan pada kelompok orang kulit hitam, usia menengah dan usia tua, orang yang gemuk (obes), peminum berat, wanita yang minum obat kontrasepsi, penderita diabetes, asam urat, ginjal dan orang yang keluarganya mempunyai riwayat menderita hipertensi. Umumnya peningkatan tekanan darah terjadi sesuai dengan peningkatan usia seseorang. Hipertensi lebih sering terjadi pada pria hingga usia 59 tahun, tetapi pada usia ≥60 tahun lebih sering dijumpai pada wanita. Saat ini jumlah orang dewasa ≥60 tahun sangat meningkat, diduga 30 tahun kemudian akan meningkat secara bermakna. Dengan demikian jumlah penderita hipertensi akan makin meningkat pula. Secara demografi, di Amerika prevalensi penyakit hipertensi

lebih tinggi pada mereka yang berpendidikan kurang dan pada kelompok sosial ekonomi rendah. Juga ada daerah tertentu di Amerika yang menunjukkan penduduknya cenderung mempunyai tekanan darah tinggi, baik kulit putih maupun yang berkulit hitam (Lloyd- Jones & Levy 2007).

Pada beberapa penelitian di Indonesia ditemukan prevalensi hipertensi bervariasi di berbagai daerah. Pada tahun 1981–2008 berkisar antara 0.65 persen di lembah Baliem Irian Jaya hingga 41.60 persen di Jakarta (Kusmana 2008; Depkes RI 2007; Basuki, Soemarko, Amri, Ibrahim 2001). Sedangkan dari penelitian di beberapa Instansi di Jakarta dan daerah lain tahun 2006 hingga tahun 2007, prevalensi hipertensi ditemukan berkisar antara 27.5 persen hingga 33.0 persen (Irwin 2007; Kanam, Basuki, Nainggolan 2008), sementara untuk prevalensi prahipertensi adalah 32.0 persen (Depkes 2008). Pada laporan Riskesdas 2007 ditemukan prevalensi hipertensi di Propinsi Riau 34.0 persen lebih tinggi dari prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 32.0 persen (Depkes 2008).

Meskipun penelitian epidemiologi hipertensi telah cukup banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia namun ketidakseragaman metode penelitian dan jumlah subjek penelitian yang kecil akibat dilakukan secara terpisah-pisah menyebabkan sulit untuk menarik kesimpulan mengenai gambaran penyakit hipertensi yang sebenarnya di Indonesia.

Tabel 2 Prevalensi hipertensi pada beberapa lokasi di Indonesia

Lokasi Prevalensi Hipertensi (%)

Lembah Baliem (1981) 0.6 Ungaran (1978) 1.8 Makasar (1984) 11.3 Sulawesi Utara (1982) 11.8 Talang (1981) 17.8 Silunkang (1977) 19.4 Jakarta (Monica 1990) 14.6 Jakarta (Monica 2000) 19.8 Cijeruk Bogor (2000) 13.5 Cijeruk Bogor (2001) 22.7 Cijeruk Bogor (2002) 20.8 Cijeruk Bogor (2003) 20.6 Jakarta ( 2008 ) 41.6

Faktor Risiko Hipertensi

Faktor risiko hipertensi adalah faktor-faktor yang bila ada atau saling berinteraksi satu sama lain akan dapat mencetuskan penyakit hipertensi (Mayet& Hughes 2003). Gabungan beberapa faktor cukup bermakna untuk digunakan dalam memprediksi kemungkinan terjadinya hipertensi (Seeley, Stephens, Tate 2007). Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi atau diubah seperti usia, jenis kelamin, etnik, dan genetik (faktor keturunan) (Kusmana 2003; Brum, Da Silva, Moreira 2000). Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah berat badan, jumlah garam yang dikonsumsi, alkohol, aktivitas fisik termasuk olahraga, faktor psikososial, sosio-ekonomi, kontrasepsi hormonal, dan kondisi epidemiologi (Brum, Da Silva, Moreira 2000).

Usia

Tekanan darah sistolik dan diastolik rata-rata serta prevalensi hipertensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia pada kebanyakan populasi, baik di negara sedang berkembang maupun yang sudah maju. Namun pada beberapa populasi yang terisolasi hubungan ini tidak terlihat. Bila dibandingkan lebih detail menurut NHANES (2003–2004) prevalensi hipertensi di USA sebesar 7.3 persen pada kelompok usia 18–39 tahun dan 32.6 persen pada kelompok usia 40–59 tahun (Kaplan 2006).

Jenis Kelamin (Gender)

Laki-laki cenderung lebih mudah menderita hipertensi dibandingkan dengan perempuan pada usia muda dan menengah. Namun pada usia lebih tua (lebih dari 50-55 tahun), akan terjadi hal yang sebaliknya yaitu wanita akan lebih banyak menderita hipertensi akibat menopause. Sedangkan pada usia 40–59 tahun ditemukan lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan (Chobanian et al 2003). Namun berbeda dengan yang didapatkan oleh Kaplan, yaitu tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan (Kaplan 2006).

Pengaruh perlatihan terhadap penurunan tekanan darah tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dapat terjadi pada subjek laki-laki maupun perempuan, dengan penurunan sama besar. (MacDonald 2002).

Genetik/Herediti

Meskipun belum dapat dijelaskan secara tepat namun penderita hipertensi biasanya mempunyai riwayat penyakit hipertensi di dalam keluarga dan lebih berat bila kedua orang tua menderita hipertensi. Faktor genetik berperan cukup besar pada terjadinya hipertensi. Dari analisis pola tekanan darah dalam keluarga disimpulkan bahwa faktor genetik berperan sebesar 30-50 persen dalam kejadian hipertensi, sedangkan faktor lingkungan hanya berperan 10-30 persen (Franco, Cahoun, Oparil 2007; Zamani, Williams, Lilly 2007).

Aktivitas Fisik dan Olahraga

Terdapat hubungan yang negatif antara aktivitas fisik dengan tekanan darah. Orang-orang yang tidak aktif (sedentary) dan tidak bugar akan mempunyai risiko menderita hipertensi lebih besar 20–50 persen dibandingkan dengan orang yang aktif dan bugar (Dishman, Washburn, Heath 2004).

Konsumsi Makanan

Konsumsi makanan yang tinggi lemak jenuh serta kurang buah dan sayuran merupakan salah satu penyebab tingginya penderita hipertensi di perkotaan. Konsumsi kalium, magnesium, kalsium, lemak tidak jenuh, serat, pola makan vegetarian, dan pola makan DASH berhubungan terbalik dengan tekanan darah.

Semakin meningkat konsumsinya, maka tekanan darah akan turun (Appel et al

2006).

Asupan Garam

Melalui penelitian eksperimental maupun observasional, terlihat bahwa asupan garam yang melebihi kebutuhan fisiologis (5–7 g/hari) memiliki hubungan dengan tekanan darah yang tinggi. Komunitas dengan asupan garam rendah (< 3-4 g/hari) mempunyai tekanan darah yang rendah pula (Kaplan 2006).

Berat Badan Lebih

Dari berbagai penelitian baik melalui survei maupun studi longitudinal, ditemukan hubungan yang langsung, kuat, dan konsisten antara berat badan dan tekanan darah, baik pada masyarakat dengan kebudayaan yang modern/maju maupun belum maju, juga pada anak-anak maupun dewasa. Setiap kenaikan berat badan 10 persen akan diikuti peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 6.5 mmHg. Penurunan 5-10 kg berat badan akan menurunkan tekanan darah bahkan

mencegah terjadinya hipertensi. Diduga penurunan sensitivitas insulin (biasa ditemukan pada orang obes dan kurang aktif), sebagai pencetus terjadinya hipertensi dan komplikasinya (Kaplan 2006).

Komplikasi dan Dampak Hipertensi

Hipertensi sendiri seringkali tidak memberikan gejala. Keluhan sakit kepala, lelah, dan pusing sering dianggap sebagai hipertensi, namun keluhan seperti ini tidak lebih sering ditemukan pada penderita hipertensi dibanding orang yang tidak menderita hipertensi. Biasanya penyakit hipertensi diketahui saat penderita melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau akibat komplikasi penyakit ini misalnya infark miokard, gagal jantung kongestif, stroke hemorhagik atau trombotik, hipertensi enselopati dan gagal ginjal (McPhee, Lingappa, Ganong 2003). Hipertensi memberikan beban yang berat pada jantung dan pembuluh darah. Pada hipertensi beban jantung meningkat sebab harus memompa darah melawan tahanan perifer total yang tinggi, sedangkan pembuluh darah rusak akibat adanya tekanan internal yang tinggi, terutama bila dinding pembuluh darah melemah akibat terjadi proses degenerasi ateroskelerosis pada dinding pembuluh darah. Komplikasi hipertensi adalah kegagalan jantung kongestif yang disebabkan oleh ketidakmampuan jantung memompa darah secara terus menerus melawan tekanan darah arteri yang tinggi, stroke akibat pecah pembuluh darah otak, dan serangan jantung akibat pembuluh darah koroner pecah. Dapat pula terjadi perdarahan spontan yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah kecil, diseluruh tubuh namun tidak cukup serius misalnya pecah pembuluh darah di hidung (Silverthorn 2004; Sherwood 2004; Fox 2006).

Komplikasi hipertensi yang serius lainnya adalah kegagalan ginjal yang disebabkan oleh gangguan progresif dari aliran darah melalui pembuluh darah ginjal yang rusak. Kerusakan retina akibat hipertensi dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang progresif disebut hipertensi retinopati. Kelainan yang dijumpai pada awalnya adalah penyempitan arteriol pada pemeriksaan funduskopi. Pada hipertensi yang sangat berat ditemukan perdarahan retina dan

eksudat bersama dengan pembengkakan saraf mata (edema papil). Hipertensi

biasanya tanpa keluhan hingga timbul komplikasi akibat tidak cukupnya aliran darah ke organ terganggu. Pemompaan melawan peningkatan tahanan perifer

yang berkepanjangan akan mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri yang dapat dideteksi dengan ekhokardiografi sedangkan pembesaran jantung dapat dideteksi melalui pemeriksaan fisik (Wang, Alexander, Staford 2007; McPhee, Lingappa, Ganong 2003).

Penatalaksanaan Prahipertensi secara Nonfarmakologik Aktivitas Fisik dan/atau Olahraga

Olahraga teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan darah. Banyak teori yang telah dikemukakan dan diteliti oleh para ahli mengenai manfaat olahraga bagi penderita hipertensi. Keuntungan berolahraga adalah selain dapat mengendalikan tekanan darah, juga dapat menurunkan berat badan, mengontrol kadar glukosa darah penderita DM memberi rasa bahagia dan santai akibat dilepaskannya hormon endorfin saat berolahraga dan lain-lain (Barclay 2009).

Olahraga dinamis menggunakan ekstremitas atas akan lebih besar menurunkan tekanan darah dibandingkan ekstremitas bawah. Beberapa tahun yang lalu olahraga dianggap sulit dilaksanakan dan tidak memberi hasil seperti yang diharapkan, namun setelah berbagai uji coba dilakukan dengan disain dan metode yang lebih tepat didapatkan hasil yang sangat baik dan cukup bermakna

baik secara statistik maupun secara klinis. Oleh karena itu WHO dan The

International Society of Hypertension (1993) melakukan perubahan terhadap panduan terapi bagi hipertensi ringan dengan memasukkan untuk pertama kalinya olahraga sebagai salah satu penanganan non farmakologik untuk menurunkan tekanan darah, meskipun mekanisme yang mendasarinya masih kurang dimengerti dan diperdebatkan. Hal yang sama makin ditekankan lagi pada laporan JNC VII, (2003). Olahraga yang dianjurkan adalah terutama olahraga aerobik (jalan, bersepeda, senam, dll), dengan frekuensi minimal 3 kali/minggu, intensitas 40–70 persen (ringan–sedang), durasi minimal 40 menit.

Beberapa faktor diduga mendasari mekanisme terjadinya penurunan tekanan darah setelah melakukan latihan olahraga untuk masa tertentu, yaitu CO meningkat, preload meningkat, stroke volume meningkat sehingga denyut jantung menurun, aktivitas parasimpatis yang meningkat, tahanan perifer yang menurun, volume darah turun, zat lokal meningkat. Meningkatnya prostaglandin E, dopamin dan taurin dan menurunnya kadar substans mirip quabain endogen,

berkurangnya efek vasokonstriksi akibat menurunnya norepinefrin, yang menyebabkan turunnya denyut jantung dan terjadi vasodilatasi, selanjutnya tekanan darah akan turun.

Gambar 1 Mekanisme antihipertensi yang mungkin terjadi oleh olahraga/latihan fisik (Franco, Cahoun, Oparil 2007)

Olahraga pada Penderita Prahipertensi Aspek Keamanan

Bahaya utama berlatih olahraga pada penderita prahipertensi, seperti halnya pada orang sehat adalah cedera atau mati mendadak. Untuk mengurangi cedera perlatihan dapat dilakukan dengan memperhatikan petunjuk baku pencegahan cedera sebelum melakukan kegiatan berolahraga seperti pemilihan sepatu yang sesuai dengan jenis perlatihan. Walaupun angka kejadian mati mendadak selama melakukan kegiatan perlatihan berolahraga sangat kecil, ada tiga hal utama yang harus diperhatikan untuk menghindari atau mengurangi risiko tersebut. Sebelum melakukan kegiatan perlatihan sebaiknya dilakukan evaluasi oleh dokter, berupa uji latih jantung (treadmill) dengan monitor elektrokardiografi terutama pada wanita diatas usia 40 tahun, laki-laki di atas usia 50 tahun, dan semua penderita yang mempunyai faktor risiko penyakit jantung koroner. Uji latih jantung

bertujuan untuk menilai respons tekanan darah, perubahan aktivitas listrik jantung, dan sekaligus menilai tingkat kesegaran. Berdasarkan hasil uji latih ini, program pelatihan dapat diberikan secara akurat. Penderita prahipertensi tanpa faktor risiko kardiovaskuler, dapat melakukan olahraga dengan intensitas ringan sampai sedang. Uji latih jantung dengan monitor elektrokardiografi tidak merupakan keharusan pada penderita prahipertensi asalkan perlatihan dilakukan secara bertahap dengan petunjuk dan pengawasan ketat. Penderita harus mengetahui hal-hal penting untuk keselamatan dalam melakukan olahraga termasuk gejala atau keluhan awal dari komplikasi jantung, seperti kelelahan yang berlebihan, sakit kepala, pucat, berdebar-debar, keringat dingin, sesak napas, dan nyeri dada. Apabila timbul gejala tersebut, perlatihan sebaiknya dihentikan dan untuk selanjutnya intensitas perlatihan dikurangi. Semua penderita yang diketahui menderita penyakit, sebelum melakukan kegiatan perlatihan harus berkonsultasi secara intensif dengan dokter. Perlatihan diberikan dengan intensitas rendah dan dilakukan di bawah pengawasan dokter.

Pemanasan dan Pendinginan

Selain aspek keamanan, aspek pemanasan dan pendinginan mempunyai arti yang sangat penting terhadap penderita prahipertensi sebelum dan sesudah mengikuti program perlatihan. Pemanasan sangat efektif dalam mencegah terjadinya cedera pada otot karena peningkatan temperatur tubuh dan otot terjadi secara bertahap. Keadaan ini akan meningkatkan aktivitas enzim dan metabolisme yang berhubungan dengan energi. Keuntungan lain pemanasan adalah mencegah penumpukan asam laktat dalam darah dan timbulnya kelelahan dini. Selain itu dengan pemanasan akan terjadi peningkatan bertahap kebutuhan metabolisme sejalan dengan peningkatan kinerja kardio respirasi. Aliran darah koroner dan konsumsi oksigen tubuh akan meningkat secara bertahap sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya iskemia myokard.

Ada dua komponen yang harus dilakukan dalam melakukan pemanasan, yaitu berlatih aerobik secara bertahap ditingkatan intensitasnya seperti berjalan mulai dengan intensitas rendah dan berlatih kelenturan fleksibiliti sesuai dengan aktivitas yang akan dilakukan.

secara bertahap diturunkan dan diikuti dengan peregangan pada otot-otot yang aktif selama latihan. Maksud pendinginan adalah untuk menurunkan kerja jantung dan keseluruhan metabolisme yang meningkat selama melakukan kegiatan berlatih secara perlahan-lahan. Selain itu, pendinginan akan menurunkan secara bertahap konsentrasi dari hormon-horman yang meningkat saat berlatih, mencegah pengumpulan darah dalam vena, dan memastikan tersedianya aliran darah untuk otot rangka, jantung dan otak. Pencegahan pengumpulan darah akan mengurangi kekakuan otot, rasa sakit dan pusing setelah berlatih. Penghentian kegiatan berlatih secara mendadak tanpa pendinginan dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung karena konsentrasi hormon-hormon yang meningkat selama berlatih masih tinggi. Lama pendinginan bergantung pada intensitas dan lama waktu berlatih. Misalnya lama waktu berlatih sekitar 30–40 menit dengan intensitas 70 persen denyut jantung maksimal diperlukan pendinginan sekitar 5-10 menit.

Jenis Perlatihan

Untuk mendapatkan kesegaran jasmani yang adekuat, jenis pelatihan harus sesuai dengan manfaat yang diharapkan. Jenis perlatihan ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan, antara lain minat, waktu yang tersedia, perlengkapan, dan fasilitas. Jenis perlatihan yang menggunakan otot-otot besar pada pinggul dan kaki secara ritmis dan berkesinambungan sangat bermanfaat untuk kesegaran kardiovaskuler. Delapan belas jenis perlatihan yang disarankan pada penderita prahipertensi adalah perlatihan aerobik, seperti berjalan cepat, jogging, berlari, bersepeda, dan berenang. Berjalan cepat adalah berlatih aerobik yang dinamis dan ritmis yang menggunakan otot-otot besar sehingga memberikan manfaat beragam dan efek samping minimal (Silverthorn 2004). Gerakannya mudah dilakukan, yaitu melangkahkan salah satu kaki ke depan kemudian diikuti kaki yang lain secara bergantian. Salah satu kaki selalu berpijak pada permukaan tanah dengan benturan ringan sehingga risiko cedera pada kaki dan sendi sangat kecil. Olahraga ini mudah karena setiap orang dapat melakukannya dan tidak memerlukan keahlian khusus. Berjalan cepat ini murah karena tidak banyak peralatan yang diperlukan, kecuali sepatu, dan dapat dilakukan dimana saja. Berjalan cepat

Dokumen terkait