• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab 2 akan digambarkan mengenai usaha peternakan sapi perah, perilaku konsumsi minum susu di Indonesia, kompetensi pelaku usaha, dan pendapatan wirausahawan, sistem agribisnis sapi perah. Selain itu juga akan dibahas tentang teori kompetensi, kewirausahaan, kompetensi kewirausahaan, produktivitas, dan kerangka pemikiran operasional

Usaha Peternakan Sapi Perah

Peternakan sapi perah di Indonesia merupakan usaha keluarga di pedesaan dalam skala kecil, sedangkan usaha skala besar masih sangat terbatas. Komposisi peternak sapi perah diperkirakan terdiri dari 80 persen peternak kecil, dengan kepemilikan sapi perah kurang dari empat ekor, 17 persen peternak dengan kepemilikan sapi perah empat sampai tujuh ekor, dan tiga persen kepemilikan sapi perah lebih dari tujuh ekor (Ahmad 2011).

Berdasarkan sistem perkandangannya, pemeliharaan sapi perah di Indonesia

terbagi atas dua tipe. Tipe pertama yaitu tipe stanchion barn dan tipe kedua adalah

loose house. Stanchion barn yaitu sistem perkandangan dimana hewan diikat

sehingga gerakannya terbatas, sedangkan loose house yaitu sistem perkandangan

dimana hewan dibiarkan bergerak dengan batas-batas tertentu.

Menurut Wiryo6, jenis sapi perah yang paling cocok dan menguntungkan

untuk dibudidayakan di Indonesia adalah Frisien Holstein. Namun rata-rata produksi susu sapi di Indonesia hanya delapan kilogram per ekor per hari. Nilai tersebut masih jauh dari standar normalnya yaitu 15- 16 kilogram per ekor per hari. Penyebab rendahnya produksi susu ini dapat dijelaskan oleh Williamson dan Payne (1993). Mereka menjelaskan bahwa produksi susu yang rendah di daerah tropis (termasuk di Indonesia) disebabkan oleh interaksi dari faktor iklim, penyakit, pengembangbiakan, dan pemberian pakan. Dengan demikian manajemen kandang merupakan hal yang krusial dalam pengusahaan sapi perah.

Senada dengan itu, Noor (2012) juga mengemukakan bahwa manajemen reproduksi merupakan hal yang krusial. Oleh karena itu peternak harus mampu mengetahui tata kelola manajemen reproduksi (pola perkawinan, deteksi berahi, dan sinkronisasi berahi) secara teratur dan tepat.

Fuah, et al. (2011) meneliti mengenai teknologi produksi dan efisiensi dari

usaha ternak di Indonesia. Mereka menemukan penyebab produktifitas sapi perah yang rendah di Indonesia dikarenakan kualitas dan kuantitas pakan yang minim, keterbatasan teknologi pengolahan hasil susu dan keterampilan yang rendah dalam mengimplementasikan manajemen usaha peternakan yang relatif modern. Kelayakan usaha sapi perah di Pulau Jawa berada pada level yang rendah, dan berkorelasi positif dengan pendapatan rendah yang diterima petani. yaitu sebesar 1 521 820 per bulan, dengan rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 1.32, dan IRR sebesar 17 persen.

Rusdiana dan Sejati (2009) mengemukakan bahwa pengembangan agribisnis sapi perah dapat dilakukan dengan peningkatan skala usaha. Peningkatan skala usaha tersebut dilakukan melalui koperasi. Pemberdayaan peternak sapi perah melalui koperasi dapat dilakukan melalui penyediaan sumber bibit sapi perah betina, dan penyediaan pakan konsentrat dengan harga yang terjangkau.

Yunasaf, et al. (2008) mengemukakan keberdayaan peternak sapi perah

adalah tingkat berkembangnya potensi peternak dalam perannya sebagai manajer usahatani, pemelihara ternak, dan individu yang otonom. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Yunasaf, et al.(2008) keberdayaan peternak sapi

perah di Bandung rata-rata rendah. Para peternak umumnya belum dapat

6 Kementerian Pertanian. Budidaya Sapi Perah. http://epetani.deptan.go.id/budidaya/budidaya-sapi-perah-106

menunjukkan keberdayaannya, terutama dalam perannya sebagai manajer dan sebagai individu yang otonom. Idealnya sebagai seorang manajer, peternak dapat melakukan suatu usaha agar usaha yang dilakukannya semakin berkembang. Akan tetapi, pada kenyataannya, kondisi usaha ternak sapi perah yang dilakukan oleh peternak relatif stabil atau tidak berubah. Belum berkembangnya potensi peternak sapi perah di Jawa Barat dalam perannya sebagai manajer dapat terlihat dalam tiga hal. Pertama yaitu masih rendahnya perincian terhadap tujuan usaha yang dilakukan peternak. Kedua yaitu masih rendahnya penyusunan prioritas pengembangan usaha. Ketiga yaitu masih rendahnya tingkat pengembangan usaha.

Perilaku Konsumsi Minum Susu di Indonesia

Pada sub bab ini akan dibahas mengenai perilaku konsumsi susu sapi perah di Indonesia. Ginting (2000) menemukan bahwa sebagian besar (82 persen) responden dalam penelitiannya menyatakan alasan mengkonsumsi susu yaitu untuk menjaga kesehatan, dan hanya sebelas persen yang mengkonsumi susu karena kebiasaan. Hal tersebut berarti bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai mengenal gizi yang terkandung di dalam susu. Sebagian besar, usia masyarakat yang mengkonsumsi susu yaitu anggota keluarga yang berusia 15-20 tahun dan 40-50 tahun. Konsumen susu cenderung tidak memiliki loyalitas merek yang tinggi. Hal tersebut merupakan informasi yang penting bagi produsen dalam segmentasi dan pemosisian produk susu yang dihasilkan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan susu sapi perah yaitu harga, jumlah penduduk, jumlah anggota keluarga, selera, tempat tinggal (pedesaan atau perkotaan), pengeluaran rumah tangga dan pendapatan (Sinaulan 1994; Ginting

2000; Ahmad et al. 2008). Elastisitas pendapatan, elastisitas harga produk susu,

dan elastisitas pengeluaran rumah tangga bersifat inelastis (Ginting 2000; Ahmad

et.al. 2008). Ketiga indikator elastisitas tersebut mengindikasikan bahwa produk susu di Indonesia dianggap oleh konsumen sebagai barang normal, dan merupakan barang kebutuhan sehari-hari.

Ahmad et al. (2008) mengemukakan susu yang paling dominan dikonsumsi

oleh penduduk Indonesia yaitu susu kental manis sebanyak 70.4 persen. Konsumsi susu cair sebesar 20.9 persen, dan 8.7 persen susu bubuk. Sebagian besar konsumen susu sapi perah merupakan masyarakat perkotaan. Hal tersebut disebabkan oleh daya beli masyarakat perkotaan dan tingkat pendidikan masyarakat perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pedesaan.

Kompetensi Pelaku Usaha dan Pendapatan Wirausahawan

Pembahasan pada sub bab ini akan diawali dengan tinjauan pustaka mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi kewirausahaan.

Selanjutnya yaitu tinjauan pustaka mengenai kompetensi kewirausahaan, dan yang terakhir adalah tinjauan pustaka mengenai pendapatan wirausahawan.

Kustiari (2012) meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi pembudidaya dalam mengelola usaha budidaya rumput laut polikultur di perairan Pantai Utara Pulau Jawa. Berdasarkan hasil penelitiannya, kompetensi pembudidaya dipengaruhi secara nyata oleh peubah efektivitas penyuluhan, dengan nilai koefisien paling tinggi, dan kemudian berturut-turut diikuti oleh karakteristik individu dan proses belajar budidaya.

Muatip,et al. (2008) meneliti mengenai kompetensi kewirausahaan peternak

sapi perah di kabupaten Bandung, Jawa Barat. Berdasarkan hasil penelitian

Muatip, et al. (2008), kompetensi kewirausahaan dipengaruhi oleh tingkat latar

belakang pendidikan dan jumlah anggota keluarga, keterbatasan fasilitas, informasi, dan kebijakan pemerintah.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kustiari (2012), dan

Muatip, et al. (2008) dapat dilihat adanya suatu kesamaan mengenai faktor yang

mempengaruhi kompetensi pelaku usaha, yaitu karakteristik individu, dan peranan pemerintah.

Peranan pemerintah berupa kebijakan yang mendukung kewirausahaan

diteliti oleh Hall, et al (2012). Hall, et al (2012) menemukan bahwa kebijakan

kewirausahaan yang mendukung inovasi lokal akan meningkatkan partisipasi sosial dan peningkatan pendapatan yang produktif. Selain itu, inovasi lokal akan menyediakan peluang bagi wirausahawan dalam mengembangkan usaha, dan sumberdaya pengetahuan yang produktif, dan menyediakan kestabilan kelembagaan.

Kompetensi kewirausahaan yang paling penting dimiliki oleh

wirausahawan, ditemukan oleh Wu (2009) berbeda menurut skala usaha. Wu

(2009) mengemukakan bahwa kompetensi dalam membangun bakat (building a

mechanism for talent development), merupakan kompetensi yang paling penting ketika memulai usaha kecil, sedangkan pada usaha besar, kompetensi dalam pemahaman membuat solusi yang bijak merupakan kompetensi yang penting.

Kompetensi kewirausahaan memiliki hubungan yang positif dengan skala pengusahaan yang dilakukan oleh peternak sapi perah di Belanda (Bergevoet, 2005). Semakin tinggi skala pengusahaan semakin tinggi pula tingkat kompetensi peternak sapi perah. Dengan demikian hal yang dapat dilakukan unruk meningkatkan kompetensi peternak sapi perah di Belanda adalah dengan meningkatkan peran kelompok peternak

Kegunaan dari penelitian mengenai kompetensi kewirausahaan yaitu untuk mengurutkan kompetensi kewirausahaan berdasarkan tingkat kepentingan yang dirasakan oleh wirausahawan . Kompetensi dalam pembuatan keputusan juga merupakan kompetensi penting yang harus dimiliki seorang wirausahawan, seperti

apa yang ditemukan oleh Izquierdo, et al. (2005).

Swindall (2010) menemukan bahwa faktor usia, jenis kelamin, warna kulit, dan pendidikan mempengaruhi pendapatan di California Selatan. Hal tersebut juga

senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bosma, et al. (2000) yang

menunjukkan bahwa sumberdaya manusia lah yang merupakan faktor penting dalam menentukan kelangsungan hidup usaha baik dari sisi waktu maupun dari

manusia, sumberdaya modal, sumberdaya sosial, dan fokus pada bisnis sebagai variabel bebas dalam penelitiannya.

Penelitian lainnya yang turut mempengaruhi pendapatan wirausahawan adalah penelitian yang dilakukan oleh Suliyati (2009). Suliyati (2009) menemukan bahwa faktor pribadi dan faktor modal memiliki bobot yang sama dalam peningkatan pendapatan wirausahawan.

Sistem Agribisnis Sapi Perah

Sistem agribisnis sapi perah merupakan rangkaian kegiatan yang saling berkaitan dari subsistem agribisnis hulu, usahatani, pengolahan, dan pemasaran, serta subsistem jasa dan penunjang. Karena saling keterkaitannya, dapat pula dikatakan bahwa apabila terjadi ketidakefisienan dalam suatu subsistem dalam komoditas tersebut, maka akan mempengaruhi subsistem lainnya. Itulah pentingnya penggambaran suatu sistem agribisnis dilihat dari masing-masing subsistem. Keterkaitan antar subistem agribisnis dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.

Sumber : Saragih (2010)

Gambar 2 Sistem agribisnis

Subsistem Agribisnis Hulu

Secara garis besar, industri yang termasuk kedalam subsistem agribisnis hulu yaitu industri pakan, industri peralatan dan mesin, dan industri pembibitan sapi perah (Firman 2010). Lebih lanjut Firman dan Tawaf (2008) mengemukakan subsektor agribisnis hulu memiliki empat manfaat. Empat manfaat tersebut yaitu (1) Menyokong kegiatan subsistem produksi atau budidaya dan subsistem pengolahan; (2) Secara makro ekonomi, subsistem ini mampu memberikan nilai kontribusi pendapatan terhadap perekonomian; (3) Keberadaan subsistem ini berdampak pada penyediaan lapangan kerja; (4) Membantu meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal yang akan dimanfaatkan oleh subsistem lainnya.

Pembahasan selanjutnya yaitu penjabaran dari aktivitas usaha yang dilakukan pada industri pakan, industri peralatan mesin, dan industri pembibitan sapi perah. Pembahasan akan dimulai secara berurutan dari aktivitas usaha yang dilakukan pada industri pakan, peralatan dan mesin, dan pembibitan sapi perah.

Subsistem Agribisnis Hulu Subsistem Usahatani Subsistem Pengolahan Subsistem Pemasaran

Subsistem Jasa dan

Pakan sapi perah terdiri dari dua yaitu pakan utama (hijauan, dan

konsentrat), dan pakan tambahan7. Pakan hijauan yaitu makanan yang berupa

bagian dari tanaman (biasanya daun dan batang) yang kaya akan selulosa dan biasa dikonsumsi ternak. Permasalahan yang terjadi di dalam industri pakan hijauan yaitu ketersediaan hijauan terutama hijauan berkualitas tinggi semakin terbatas sehingga harga pakan hijauan semakin meningkat. Permasalahan serupa pun dialami dalam industri pakan konsentrat. Relatif masih terbatasnya sumber pakan yang dapat diidentifikasi dan ketersediaannya terbatas sehingga belum mampu diproduksi dalam jumlah besar menjadi permasalahan dalam industri pakan konsentrat (Firman 2010).

Peralatan dan mesin dalam kegiatan usaha peternakan sapi perah merupakan sarana penunjang usahatani peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan (2007) mengemukakan sebelas permasalahan yang terdapat di dalam industri peralatan dan mesin peternakan. Kesebelas permasalahan tersebut diantaranya (1) Sistem standardisasi dan pengujian serta penerapan dari penggunaan peralatan dan mesin peternakan yang masih rendah; (2) Kualitas peralatan dan mesin yang belum terjamin, (3) Belum banyaknya pabrikan atau bengkel yang membuat peralatan dan mesin peternakan; dan (4) Sebagian alat dan mesin peternakan masih impor.

Kondisi industri pembibitan sapi perah dapat digambarkan sebagai berikut. Industri pembibitan merupakan suatu upaya dalam meningkatkan jumlah dan kualitas genetik dalam jumlah yang besar. Teknologi yang digunakan dalam industri pembibitan sapi perah di Indonesia secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu inseminasi buatan dan embrio transfer.

Kelemahan dalam industri pembibitan sapi perah di Indonesia yaitu tingkat keberhasilan yang masih rendah. Salah satu contoh daerah yang mengalami tingkat keberhasilan inseminasi buatan yang rendah yaitu kabupaten Malang, yaitu sekitar 30 persen (Pemerintah Kabupaten Malang Dinas Peternakan, Kelautan, dan Perikanan, 2008).

Subsistem Usahatani

Alur proses pada subsistem usaha tani terdiri dari beberapa tahap, mulai dari tahap penyiapan sarana dan peralatan kandang, pembibitan, pemeliharaan, dan panen. Pada usahatani sapi perah terdapat dua sistem pemeliharaan, yaitu sistem perkandangan dan sistem merumput. Sistem perkandangan merupakan sistem pemeliharaan yang digunakan oleh sebagian besar peternak sapi perah di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan pada umumnya biaya pengusahaan secara sistem perkandangan relatif lebih murah bila dibandingkan dengan sitem merumput.

Manajemen reproduksi sapi perah sangat penting bagi pengusahaan sapi perah. Firman (2010) mengemukakan bahwa kerugian ekonomi akibat tidak

efisiennya pengelolaan sapi perah di Amerika Serikat dapat mencapai US $ 2,5 –

3,0 per ekor per hari jika calving interval-nya melebihi 100 hari.

Terdapat empat permasalahan yang terdapat di dalam subsistem usahatani sapi perah. Keempat permasalahan pada subsistem usahatani yaitu (1) peternak sapi tidak terdorong meningkatkan kualitas susu melalui peningkatan pakan dan

7 Kementerian Pertanian. Pakan untuk ternak sapi potong.

http://sumbar.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=198:-pakan-untuk- ternak-sapi-potong-&catid=1:info-teknologi [November 2012]

teknologi karena kecilnya pendapaan yang diperoleh peternak8, (2) rendahnya pendapatan peternak disebabkan oleh skala usaha dan kemampuan berproduksi susu yang rendah, harga penjualan susu relatif murah, dan biaya produksi yang tinggi (Rusdiana dan Sejati 2009), (3) Produktivitas petani yang rendah (Yusdja 2005), dan (4) Peternak kesulitan mendapatkan pakan hijauan dan konsentrat teutama karena kesulitan daya beli, dan lahan bebas yang semakin sempit (Yusdja 2005).

Subsistem Pengolahan

Subsistem pengolahan merupakan tindak lanjut dari kegiatan pemanenan pada subsistem usahatani yang dapat memberi nilai tambah dan meningkatkan daya simpan suatu produk. Industri pengolahan susu masih tergantung pada impor

sebesar 61.5 persen sampai 70 persen (Asmarantaka et al, 2013). Adapun produk

olahan susu di Indonesia antara lain susu pasteurisasi, susu ultra high temperature

(UHT), yoghurt, susu bubuk, susu kental manis, es krim, dan keju.

Susu bubuk, susu kental, manis, dan es krim sebagian besar diproduksi oleh IPS. Hanya sekitar 29 persen susu dalam negeri yang diserap oleh IPS untuk

diolah menjadi susu bubuk9. Sisanya, yaitu sekitar 71 persen diperoleh dari impor.

Dengan demikian, permasalahan yang terjadi pada subsistem pengolahan yaitu IPS kekurangan pasokan susu dalam negeri yang dinilai IPS kurang memenuhi standar. Persyaratan mutu susu segar dapat dilihat dalam Tabel 10.

Tabel 10 Persyaratan mutu susu segar

No Karakteristik Syarat Satuan

1 Kadar lemak minimum 3.0 Persen

2 Kadar bahan kering tanpa lemak

minimum

8.0 Persen

3 Kadar protein minimum 2.7 Persen

4 Uji katalase maksimum 3.0 cc

5 Cemaran mikroba maksimum

1. Salmonella 0.0 Persen

2. E. Colli (Patogen) 0.0 Persen

3. Streprococcus Grup B 0.0 Persen

6 Cemaran logam maksimum

1. Timbal (Pb) 0.3 ppm

2. Seng (Zn) 0.5 ppm

3. Merkuri (Hg) 0.5 ppm

Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1998) Subsistem Pemasaran

Subsistem pemasaran menyangkut kegiatan distribusi dari produsen ke konsumen, baik untuk ekspor yang ditetapkan berdasarkan standar suatu negara

8

Kabar Bisnis. Pacu Persusuan, RI Impor Sapi Perah. www.kabarbisnis.com/read/2830445 [Agustus 2012]

9

Kementerian Perindustrian. Hasil Pengolahan Susu di Indonesia www.kemenperin.go.id/download/214 [Desember, 2012]

maupun pasar lokal. Oleh karena itu subsistem ini juga dipengaruhi oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan subsistem jasa dan pendukung.

Firman (2010) mengemukakan bahwa struktur pasar monopoli merupakan pasar yang terjadi di pasar komoditas susu sapi perah. Hal tersebut dikarenakan produsen yang menghasilkan susu relatif banyak, yaitu peternak, sedangkan lebih dari 80 persen susu sapi dari peternak dijual ke IPS yang sedikit jumlahnya.

Peternak sapi perah relatif memiliki daya tawar menawar yang rendah terhadap IPS. IPS merupakan pasar utama bagi sebagian besar peternak sapi perah. Namun, IPS memiliki suatu standar yang relatif tinggi. Oleh karena itu diperlukan suatu lembaga yang dapat menjadi fasilitator bagi peternak maupun IPS.

Lembaga fasilitator tersebut dapat berbentuk koperasi. Koperasi persusuan berperan memfasilitasi kebutuhan input yang berkualitas bagi pengusahaan sapi perah yang diusahakan peternak, mendampingi peternak dalam usahatani yang diusahakan peternak, dan memperjuangkan harga jual susu kepada IPS yang dapat meningkatkan kesejahteraan peternak.

Akan tetapi, daya tawar menawar antar koperasi dan IPS juga relatif rendah. Hal tersebut disebabkan oleh IPS memiliki banyak pilihan sumber pasokan dari luar negeri, jika harga di dalam negeri dinilai terlalu mahal. Salah satu solusi untuk mengantisipasi kecenderungan pasar oligopsoni ini adalah dengan menciptakan pasar baru bagi peternak, dan meningkatkan kewirausahaan peternak dan kewirausahaan koperasi.

Subsistem Penunjang

Subsistem penunjang merupakan subsistem yang memfasilitasi dan mendukung subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem pengolahan, dan subsistem pemasaran, agar komoditas sapi perah dapat berkembang dengan baik. Komponen-komponen dari subsistem ini antara lain lembaga keuangan dan perbankan, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga pemerintah, lembaga koperasi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pelelangan, lembaga penjaminan dan resiko, lembaga penyuluhan, lembaga standardisasi nasional, lembaga profesi (Firman 2010).

Pemerintah memberikan perlindungan kepada peternak rakyat berupa pemberlakuan tarifikasi impor susu yaitu sebesar lima persen. Selain itu, dukungan yang diberikan pemerintah terhadap peternak rakyat yaitu pembinaan sumber daya manusia kepada peternak, program pembibitan, dan tidak memungut pajak susu segar (Firman 2010).

Indonesia memiliki sekitar empat balai benih dan perbibitan yang menyediakan sumber benih (semen dan embrio beku) dan bibit betina sapi perah unggul. Balai tersebut yaitu Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari, Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang, Balai Embrio Transfer (BET) Cipelang, dan Balai Besar Perbibitan Ternak Unggulan (BBPTU) Sapi Perah Baturraden.

Lembaga keuangan atau perbankan merupakan salah satu kelembagaan yang berperan dalam pemberian bantuan modal, baik kepada industri hulu, petani maupun kelompok tani, pemasar, maupun pengolah. Pemerintah juga melibatkan peran lembaga keuangan atau perbankan dalam penyaluran modal tersebut.

Lembaga penelitian dan pengembangan diantaranya yaitu perguruan tinggi. Hasil penelitian dan pengembangan diharapkan dapat membantu peternak dalam meningkatkan produktivitas, menemukan suatu sistem penyaluran bantuan modal tepat guna, dan menemukan produk olahan lainnya dari susu sapi perah yang dapat dimanfaatkan oleh industri olahan dan pemasar.

Permasalahan pada subsistem penunjang yaitu kurang terintegrasinya seluruh pihak yang di dalam subsistem penunjang. Salah satu contoh kurang terintegrasinya subsistem penunjang yaitu pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.011/2009 menetapkan susu dan produk olahan susu impor dikenakan bea impor hanya sebesar lima persen. Di sisi lain Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) menilai bea impor tersebut terlalu rendah untuk melindungi peternak sapi perah lokal.

Kompetensi

Kompetensi menurut Parker (2010)10 adalah merupakan penggabungan dari

pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu penugasan dengan hasil yang berhasil. Pengetahuan berhubungan erat dengan kemampuan pemahaman dan keakraban suatu topik tertentu dalam pemikiran seseorang. Keterampilan merupakan suatu kemampuan dan kesediaan seseorang dalam mengerjakan suatu aktivitas. Dengan demikian, kompetensi menurut Parker dipengaruhi oleh karakteristik individu, sejauh mana seseorang tersebut mampu memahami suatu pengetahuan dan mampu serta bersedia untuk mengerjakan suatu aktivitas berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.

Kompetensi bermanfaat atau membantu dalam membangun keterampilan yang akan meningkatkan produktivitas, menyediakan suatu model yang konsisten yang akan menjelaskan persyaratan pekerjaan dan suatu standar hasil, dan membangun keselarasan antara nilai-nilai organisasi dan strategi organisasi (Parker 2010). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan sesuatu yang sangat penting dalam suatu organisasi, baik organisasi bisnis maupun organisasi nirlaba.

Selain Parker, Spencer dalam Moeherino (2009) memberikan definisi kompetensi yaitu karakteristik yang mendasari seseorang berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya atau karakteristik individu yang memiliki hubungan kausal atau sebagai sebab akibat dengan kriteria yang dijadikan acuan, efektif, atau berkinerja prima atau sebagai sebab akibat di tempat kerja atau pada situasi tersebut.

Makna yang terkandung dalam definisi kompetensi yang dikemukakan oleh Spencer itu yaitu sebagai berikut

1. Karakteristik dasar kompetensi. Karakteristik dasar kompetensi adalah bagian

dari kepribadian yang melekat pada seseorang serta mempunyai perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan tugas atau pekerjaan.

2. Hubungan kausal. Hubungan kausal berarti kompetensi dapat menyebabkan

atau digunakan untuk memprediksi kinerja seseorang, artinya jika mempunyai kompetensi yang tinggi, maka akan mempunyai kinerja yang tinggi pula.

10

Parker. Competency Modelling.

3. Kriteria. Kriteria merupakan acuan., ukuran yang terstandar, yang dapat memprediksikan seseorang dapat bekerja dengan baik. Kriteria dapat berupa keterampilan yang terstandar.

Berdasarkan kedua definisi tersebut, baik Spencer maupun Parker, sama –

sama menilai kompetensi sebagai suatu dimensi yang terletak pada kepribadian seseorang. Kepribadian seseorang tersebut selanjutnya akan menentukan keberhasilan akan pekerjaan yang dilakukan oleh orang tersebut. Hal senada pun dikemukakan oleh McClelland dalam Moeherino (2009).

Beda hal nya dengan Armstrong. Armstrong dalam Moeherino (2009) tidak menilai kompetensi sebagai suatu dimensi yang terletak pada kepribadian seseorang, melainkan menilai kompetensi sebagai suatu tindakan dari suatu penugasan. Tindakan tersebut dikerjakan oleh seseorang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau penugasan.

Kualifikasi Kompetensi

Kualifikasi kompetensi merupakan hasil dari ilmu pengetahuan (science),

pengetahuan (knowledge), pengetahuan praktis (knowhow), dan keterampilan

(skills) (Kementerian Pendidikan Nasional 2010). Kualifikasi kompetensi menggambarkan seberapa besar pengaruh ilmu pengetahuan, pengetahuan, pengetahuan praktis, dan keterampilan dalam proses pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan.

Kementerian Pendidikan Nasional (2010) mendefinisikan ilmu pengetahuan,

Dokumen terkait