I
SEKOL INSTITUT
PAMEL
LAH PASC T PERTA
BOGO 2013
LA
CASARJA ANIAN BO
OR 3
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kompetensi Kewirausahaan dengan Keberhasilan Usaha Peternak Sapi Perah Pujon, Malang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
PAMELA. Kompetensi Kewirausahaan dengan Keberhasilan Usaha Peternak Sapi Perah Pujon, Malang. Dibimbing oleh RACHMAT PAMBUDY dan RATNA WINANDI ASMARANTAKA
Kewirausahaan merupakan sifat kreatif yang dimiliki oleh seseorang, dalam meningkatkan kekayaan, kekuasaan, dan nilai diri. Seseorang yang memiliki sifat kewirausahaan akan mampu menilai, dan memilih peluang usaha, mengumpulkan sumberdaya yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha, dan menjalankan usaha dengan memasukkan gagasan inovatif.
Peternakan sebagai salah satu subsektor usaha yang diandalkan pemerintah Republik Indonesia. Produk domestik bruto dari sektor peternakan cenderung meningkat, yaitu sekitar delapan sampai 35 persen setiap tahunnya dalam kurun waktu 2007 sampai 2012. Tenaga kerja di sektor peternakan juga meningkat tahun 2010 sampai 2011. Peningkatan tenaga kerja dan produk domestik bruto dapat dipandang sebagai suatu peluang bagi pengambil kebijakan untuk meningkatkan kompetensi atau kemampuan kewirausahaan pada sektor peternakan. Salah satu sub sektor peternakan yang bernilai strategis yaitu peternakan sapi perah, dan salah satu sentra produksi susu yaitu Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang.
Produktivitas dan kepemilikan jumlah sapi laktasi per peternak sapi perah relatif rendah. Hal tersebut membuat suatu dugaan bahwa kompetensi kewirausahaan peternak masih dalam keadaan yang rendah. Kompetensi kewirausahaan berhubungan dengan keberhasilan usaha. Studi kasus mengenai kompetensi kewirausahaan dapat dilakukan di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang dalam menjalankan usahanya, (2) hubungan lingkungan usaha, orientasi individu, dan karateristik dengan kompetensi kewirausahaan peternak di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, (3) hubungan kompetensi kewirausahaan dengan keberhasilan usaha, dan (4) merumuskan strategi yang dapat meningkatkan kompetensi kewirausahaan dan keberhasilan usaha peternak sapi perah di Kecamatan Pujon,Kabupaten Malang.
Adapun metode analisis penelitian ini dengan menggunakan structural equation
model (SEM) dengan menggunakan LISREL.
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan (1) Kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Kecamatan Pujon, berada dalam tingkat yang sedang, (2) Orientasi individu dan karakteristik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kompetensi kewirausahaan. Lingkungan usaha tidak berpengaruh signifikan dengan kompetensi kewirausahaan, (3) Kompetensi kewirausahaan memiliki pengaruh yang siginifikan terhadap keberhasilan usaha, (4) Strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi kewirausahaan dan keberhasilan usaha yaitu dengan meningkatkan orientasi individu peternak sebagai wirausaha.
PAMELA. Entrepreneurial Competencies and Business Succesful of Dairy Farmer Pujon, Malang. Supervised by RACHMAT PAMBUDY dan RATNA WINANDI ASMARANTAKA
Entrepreneurs can see, consider, and choose business opportunities well. Entrepreneurs collect all needed resources to run the business and take innovation in process. Innovation could increase the economic growth.
Livestock be one of potential sector for economic growth. Gross domestic product (GDP) of live stock is increase, about eight to 35 percent per year (2007-2012). So does the labor of livestock. Risen GDP and labor could be an oppurtunity for the policy maker to increase the entrepreneurial skills.
Dairy is one of strategic product of livestock. Pujon is the most producer of dairy roduct. Nevertheless, productivity and farm size in Pujon are at low level. It indicates that competencies of entrepreneur at low level. Competencies of entrepreneurs has a correlaton to succesful business. Therefore, this research needed to be done.
This research aims to analyze the entreprenuerial skills of dairy farmers at Pujon district, Malang regency, to analyze correlation between business environment, personal orientation, characteristic, with entrepreneurial skills of dairy farmers, to analyze relationship between entrepreneurial skills and business successful, and to formulate the strategy that can increase the competencies of entrepreneurs and business succesful of dairy farmers at Pujon district, Malang regency.
This research use structural equation model (SEM) as analyze tools. The respondents of research are 105 dairy farmers.
It can be concluded that entrepreneurial skills of respondents are at middle level. Personal orientation and characteristic generate the entrepreneurial skill significantly, but business environment does not. It has a positive relationship to successful business. Interest of dairy farmers in group activites improvement could up grade the entrepreneurial competencies, and successful business. Entrepreneurial skills has signficant correlation with business successful. The strategy to produce higher entrepreneurial skills is to increase the personal orientation. The personal orientation could be generated by risen role of dairy farmer’s group.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
PAMELA
Tesis
Sabagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Netti Tinaprilla, M.M
NIM : H451110491
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Rachmat Pambudy, MS Ketua
Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS Anggota
Diketahui oleh:
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Agribisnis
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Dr. Ir. Dahrul Syah MScAgr
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Kompetensi Kewirausahaan Peternak Sapi Perah Pujon, Malang dapat diselesaikan. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak.
Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada :
1. Dr. Ir Rachmat Pambudy, MS selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr.
Ir. Ratna Winandi, MS selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis
2. Dr. Ir. Wahyu Budi Priyatna, MS selaku dosen evaluator pada pelaksanaan
kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilakukan dengan baik.
3. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku ketua program studi Agribisnis,
dan Dr.Ir.Suharno, M.Adev selaku sekretaris program studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan.
4. Dr. Ir. Suharno, M. Adev , dan Dr. Ir Netti Tinaprilla, M.M selaku dosen
penguji yang telah memberikan pengetahuan dan arahan sehingga tesis ini dapat ditulis dengan baik.
5. Biro Perencanaan Kerjasama Luar Negeri, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, atas sponsor pendidikan yang telah diberikan oleh penulis.
6. Keluarga Bapak A. Situmorang dan Ibu A. Rajaguk-guk S.Pd, Dian
Febrina S.I.kom, Siska Situmorang S.Ked, dan Elizabeth Situmorang, atas doa, dan dukungan lainnya yang telah diberikan kepada penulis.
7. D.Sinaga S.T atas doa dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
8. Seluruh teman-teman Program Studi Magister Sains Agribisnis, khususnya
angkatan 2, atas dukungan yang diberikan kepada penulis selama menjalani pendidikan.
Bogor, September 2013
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 7
Tujuan Penelitian 10
Manfaat Penelitian 10
Ruang Lingkup Penelitian 11
Hipotesis 11
TINJAUAN PUSTAKA 11
Usaha Peternakan Sapi Perah 12
Perilaku Konsumsi Minum Susu di Indonesia 13
Kompetensi Pelaku Usaha dan Pendapatan Wirausaha 14
Sistem Agribisnis Sapi Perah 15
Kompetensi 19
Kewirausahaan dan Inovasi 21
Kompetensi Kewirausahaan 22
Produktivitas 23
Kerangka Operasional 24
METODE PENELITIAN 26
Lokasi, Waktu, dan Pengambilan Responden Penelitian 26
Data dan Instrumentasi 26
Metode Pengumpulan Data 26
Metode Pengolahan dan Analisis Data 26
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 32
Gambaran Umum Kecamatan Pujon 32
Gambaran Umum Koperasi Sapi Perah SAE Pujon 33
Gambaran Umum Manajemen Usaha Ternak Sapi Perah 34
KEWIRAUSAHAAN PETERNAK 38
Gambaran Umum Lingkungan Usaha Menurut Peternak 38
Gambaran Umum Orientasi Individu Peternak 40
Gambaran Umum Karakteristik Peternak 41
SIMPULAN DAN SARAN 56
Simpulan 56
Saran 57
DAFTAR PUSTAKA 57
LAMPIRAN 61
DAFTAR TABEL
1 Produk domestik bruto sektor peternakan Indonesia tahun
2007-2012 (atas dasar harga konstan 2000) 2
2 Komposisi pendidikan tenaga kerja sektor peternakan nasional
tahun 2010-2011 2
3 Ketersediaan susu dalam negeri tahun 2007-2010 3
4 Inflasi nasional pada tahun 2007-2010 4
5 Perbandingan kualitas susu menurut CODEX dan rata-rata
kualitas susu di Indonesia 4
6 Produktivitas sapi perah di Indonesia dan beberapa negara
ASEAN lainnya 6
7 Jumlah ternak sapi perah, jumlah desa, dan jumlah peternak
terbanyak di Indonesia 7
8 Produksi susu sapi Jawa Timur 2009-2010 8
9 Produktivitas susu sapi perah di Kecamatan Pujon 2007 dan
2011 8
10 Persyaratan Mutu Susu Segar 17
11 Variabel penelitian 27
12 Variabel laten eksogen dan variabel endogen 28
13 Kesesuaian model SEM 30
14 Skala Pengukuran Kompetensi 32
15 Mata pencaharian penduduk di Kecamatan Pujon 33
16 Perkembangan Koperasi SAE Pujon tahun 2006-2011 34
17 Biaya investasi usaha sapi perah tiga ekor 36
18 Jadual kegiatan harian peternak responden 36
19 Biaya operasional tahunan peternak responden skala tiga ekor 37
20 Harga output peternak responden 38
21 Persepsi peternak mengenai lingkungan usaha yang dihadapi 40
22 Orientasi individu peternak 40
23 Rata-rata nilai bidang kompetensi 43
24 Komposisi peternak berdasarkan produktivitas 44
25 Nilai rata-rata dan simpangan baku produktivitas peternak 45
26 Komposisi peternak berdasarkan kepemilikan jumlah sapi
29 Nilai muatan faktor dan t-hitung pada variabel indikator model
respesifikasi 52
30 Nilai CR dan VE model resifikasi 52
31 Uji kecocokan keseluruhan model respesifikasi 53
32 Muatan faktor variabel laten eksogen 53
33 Muatan faktor variabel laten endogen 55
34 Muatan faktor hubungan antar variabel laten 55
DAFTAR GAMBAR
1 Harga susu murni di tingkat peternak Asia, Amerika, Eropa, dan
Australia tahun 2010 – 2012 (Rp/Liter) 5
2 Sistem agribisnis 15
3 Kerangka pemikiran operasional 25
4 Hubungan variabel indikator dan variabel laten 27
5 Diagram lintas SEM 31
6 Komposisi peternak berdasarkan usia memasuki wirausaha 41
7 Komposisi peternak berdasarkan tingkat pendidikan 42
8 Standardized solution model awal 47
9 T-hitung model awal 48
10 Standardized solution model resifikasi 50
11 T-hitung model resifikasi 51
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner Penelitian 61
2 Input Kuesioner Lingkungan Usaha 68
3 Input Kuesioner Orientasi terhadap Kelompok Peternak 71
4 Input Kuesioner Orientasi terhadap Resiko 73
5 Input Kuesioner Kompetensi Kewirausahaan 76
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kewirausahaan merupakan sifat kreatif yang dimiliki oleh seseorang, dalam meningkatkan kekayaan, kekuasaan, dan nilai diri (Sutanto 2002). Seseorang yang memiliki sifat kewirausahaan akan mampu melihat, menilai, dan memilih peluang usaha, mengumpulkan sumberdaya yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha, dan menjalankan usaha dengan memasukkan gagasan inovatif, agar aktivitas usaha yang dilakukan dapat menghasilkan keuntungan .
Anderson dan Smith (2007) mengemukakan bahwa motif keuntungan yang dimiliki oleh seorang wirausahawan yaitu menjadi pusat dari kekayaan pribadinya dan juga kesejahteraan sosial. Motif keuntungan berupa menjadi pusat kekayaan pribadinya yaitu merupakan motif yang dimana seorang wirausahawan ingin menambahkan keuntungan dari kegiatan usaha yang dilakukannya, sedangkan motif keuntungan berupa kesejahteraan sosial merupakan motif seorang wirausahawan sebagai makhluk sosial. Dengan demikian, kewirausahaan dapat dipandang sebagai suatu interaksi antara wirausahawan dengan komunitasnya pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
Wirausahawan merupakan aset suatu bangsa untuk dapat mendukung pertumbuhan ekonomi negara. Wirausahawan bertindak sebagai agen perubahan,
membawa ide–ide untuk pasar dan merangsang pertumbuhan karena adanya
kecenderungan untuk berinovasi. Casson et al. (2006) menjelaskan bahwa
terdapat lima bentuk inovasi, yaitu (1) pengenalan produk baru, (2) metode produksi baru, (3) membuka pasar baru, (4) menemukan bahan baku baru, dan (5) membawa organisasi baru ke dalam suatu industri. Dengan demikian, inovasi memegang prinsip keterbaruan yang diharapkan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Selain dipengaruhi oleh tingkat inovasi, pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi utama yang diandalkan oleh pemerintah negara tersebut. Kegiatan ekonomi utama yang diandalkan oleh pemerintah suatu negara atau wilayah tertentu akan memberikan insentif bagi wirausahawan. Peraturan Presiden No.32 Tahun 2011 menyatakan bahwa pembangunan ekonomi
Indonesia pada tahun 2011 – 2015 berfokus pada delapan program utama, yakni
(1) pertanian, (2) pertambangan, (3) energi, (4) industri, (5) kelautan, (6) pariwisata, (7) telematika, dan (8) pengembangan kawasan strategis.
Pertanian sebagai salah satu fokus utama perekonomian Republik Indonesia merupakan pertanian dalam arti luas. Pertanian yang dimaksudkan terdiri dari sembilan kegiatan ekonomi utama. Kesembilan kegiatan ekonomi utama yang diandalkan pemerintah Republik Indonesia dalam konteks pertanian, yaitu (1) pertanian pangan, (2) makanan dan minuman, (3) perikanan, (4) peternakan, (5) perkayuan, (6) kelapa sawit, (7) karet, (8) kakao, dan (9) agrowisata.
Peternakan sebagai sektor usaha yang dijadikan kegiatan ekonomi utama yang diandalkan pemerintah Republik Indonesia, yaitu dikarenakan produk domestik bruto dari sektor peternakan cenderung meningkat, yaitu sekitar delapan
sampai 35 persen setiap tahunnya. Peningkatan produk domestik bruto sektor
Tabel 1 Produk domestik bruto sektor peternakan Indonesia tahun 2007-
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian
Pertanian (2012)
Peranan sektor peternakan dalam produk domestik bruto, tentunya tidak dapat terlepas dari peranan tenaga kerja yang bekerja dalam sektor tersebut. Berdasarkan Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), jumlah tenaga kerja dari tahun 2010 hingga 2011 di sektor peternakan menunjukkan tren yang meningkat.
Tabel 2 Komposisi pendidikan tenaga kerja sektor peternakan nasional tahun 2010-2011
Tingkat Pendidikan
2010 2011
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Tidak Sekolah 1 318.00 15.45 1 362.00 15.43
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (2012)
Peningkatan jumlah tenaga kerja sektor peternakan dapat dipandang sebagai suatu indikasi bahwa produksi produk peternakan meningkat. Produksi yang meningkat mengindikasikan bahwa konsumsi produk peternakan semakin meningkat. Produk peternakan yang memiliki nilai strategis diantaranya yaitu susu (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011). Ketersediaan susu dalam negeri dan produksi susu dalam negeri dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Ketersediaan susu dalam negeri dan penggunaan susu dalam negeri tahun 2007- 2010
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011)
Berdasarkan Tabel 3 dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut. Sekitar 10 persen dari produksi susu dalam negeri, digunakan kembali sebagai pakan ternak. Susu sebagai pakan ternak digunakan untuk memperbaiki kualitas ransum dan meningkatkan proses pencernaan dan penyerapan zat nutrisi ransum. Sebagian besar ketersediaan susu dalam negeri masih didominasi oleh susu impor.
Produksi susu dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 20 – 25 persen
ketersediaan susu dalam negeri pada tahun 2007 sampai 2010.
Tabel 4. Inflasi nasional pada tahun 2007-2010
Tahun Nilai Inflasi
2007 5.61
2008 11.06
2009 2.78
2010 6.96
Sumber : Bank Indonesia (2011)
Permintaan produk peternakan yang semakin meningkat, kenaikan produksi susu dalam negeri dan peningkatan jumlah tenaga kerja sektor peternakan dapat dipandang sebagai suatu peluang untuk dapat meningkatkan agribisnis peternakan. Akan tetapi, kewirausahaan peternak relatif rendah. Hal tersebut salah satunya dapat dilihat dari kualitas susu yang masih rendah, dan posisi rebut tawar peternak yang relatif lemah (Firman 2010). Oleh sebab itu, perlu dikembangkan lagi kewirausahaan peternak.
Salah satu kelemahan dalam agribisnis sapi perah yaitu kualitas susu sapi perah di Indonesia termasuk ke dalam kualitas rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai rata-rata kualitas susu di Indonesia yang masih berada di bawah standar CODEX (Tabel 5). Lemak susu, protein, dan bakteri susu di Indonesia masih lebih tinggi daripada standar CODEX. Perbandingan standar susu menurut CODEX dan rata-rata kualitas susu di Indonesia selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Perbandingan kualitas susu menurut CODEX dan rata-rata kualitas susu di Indonesia
Parameter Satuan Syarat standar
CODEX
Rata-rata kualitas susu di Indonesia
Berat Jenis Kg/L 1.028 1.025
Protein Persen 2.700 3.500
Lemak Persen 3.000 4.250
Bakteri Susu Per mL 1 000 000.000 3 000 000.000
Sumber : Nurdin (2011)
Sumber : CLAL1 ,dan Seputar Indonesia2
Gambar 1 Harga susu murni di tingkat peternak Asia, Amerika, Eropa, dan Australia Tahun 2010-2012 (Rp / Liter)
Berdasarkan Gambar 1, harga susu murni di tingkat peternak tertinggi di Asia, Amerika, Eropa, dan Australia pada tahun 2010 sampai 2012 yaitu Jepang, dengan nilai berturut-turut sebesar Rp 9 031, 10 244, dan 10 216. Harga susu murni rata-rata internasional di tingkat peternak pada tahun 2010, 2011, dan 2012, secara berturut-turut yaitu Rp 4 179, 4 887, dan 4 637. Harga susu murni di tingkat peternak di Indonesia pada tahun 2010 sampai 2012 berkisar Rp 3 400 sampai 3 500. Dengan demikian harga susu murni di tingkat peternak di Indonesia pada tahun 2010 sampai 2012 lebih rendah bila dibandingkan dengan harga susu murni rata-rata internasional di tingkat peternak.
Harga susu di dalam negeri yang rendah dapat dijadikan suatu keunggulan kompetitif bagi Indonesia dalam perdagangan internasional, dengan asumsi kualitas yang relatif sama. Harga di dalam negeri yang murah, sedangkan harga internasional relatif tinggi merupakan suatu peluang yang dapat dimanfaatkan oleh peternak dalam meningkatkan produksi dan kualitas susu yang dihasilkan. Selain harga susu domestik yang lebih rendah daripada harga internasional, terdapat satu peluang yang dapat dimanfaatkan oleh peternak sapi perah sebagai seorang wirausahawan. Peluang tersebut adalah terdapat banyak produk olahan yang dapat dihasilkan dari susu, seperti yoghurt, kerupuk susu, dodol susu, sampo, pelembap kulit, dan sabun. Pemanfaatan peluang dari tersedianya jenis produk olahan yang relatif banyak dapat dilakukan baik dengan memproduksi produk olahan, atau meningkatkan pemasaran.
Seorang wirausahawan mampu melakukan efisiensi atau meningkatkan produktivitas. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan mencari sumber bahan input yang lebih murah harganya namun tidak mengurangi kepuasan konsumen, atau meningkatkan nilai produk yang dihasilkan dengan tujuan
1
CLAL. Dairy World Trade http://www.clal.it [diakses 23 Agustus 2012]
2
meningkatkan kepuasan konsumen. Semakin tinggi kemampuan atau kompetensi kewirausahaan seseorang, akan semakin meningkatkan produktivitas dari usaha yang dilakukan (Salman dan Badr 2011)
Produktivitas sapi perah di Indonesia relatif rendah bila dibandingkan dengan produktivitas sapi perah di beberapa negara ASEN. Hal tersebut
dikarenakan beberapa hal, salah satunya adalah kenaikan harga pakan3 . Kenaikan
harga pakan yang tidak diimbangi dengan kenaikan harga susu segar menyebabkan peternak mengambil tindakan yang dapat mengurangi produktivitas usahanya, misalnya mencari input lain yang relatif lebih rendah nilai nutrisi, dan ataupun mengurangi jumlah pakan yang diberikan kepada sapi. Gambaran mengenai produktivitas sapi perah di Indonesia dan beberapa negara lainnya di ASEAN dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Produktivitas sapi perah di Indonesia dan beberapa negara ASEAN lainnya
Negara Produktivitas ( Kiloliter / Tahun / Ekor )
1970 1985 2004
Berdasarkan Tabel 6, produktivitas sapi perah di Indonesia pada tahun 2004 relatif masih rendah, yaitu sekitar dua kiloliter per tahun per ekor. Nilai tersebut berada di bawah nilai rata-rata produktifitas sapi perah negara-negara di ASEAN yaitu sekitar tiga kiloliter per tahun per ekor. Produktivitas berkaitan dengan teknologi yang digunakan. Teknologi yang digunakan peternak sapi di masing-masing negara relatif berbeda-beda. Hal tersebut terlihat dari nilai simpangan baku yang besar yaitu sekitar empat kilo liter per tahun per ekor.
Peternakan sapi perah di Indonesia, sebagian besar berada di wilayah Jawa Timur. Populasi sapi perah terbesar juga berada di Jawa Timur. Ketersediaan tenaga kerja di sektor peternakan pun relatif banyak di wilayah Jawa Timur. Selain Jawa Timur, sentra peternakan sapi perah lainnya yaitu Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Gambaran mengenai jumlah ternak sapi perah, jumlah desa, dan jumlah peternak terbanyak di Indonesia pada tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 7.
3
Dinas Koperasi Jawa Timur. Pemberdayaan Peternakan Sapi Perah Rakyat.
Tabel 7 Jumlah ternak sapi perah, jumlah desa, dan jumlah peternak
Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011)
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah di Indonesia (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011). Produksi susu sapi di Jawa Timur memberikan kontribusi terhadap produksi susu sapi
nasional sebesar 52 persen4. Selain produksi yang tinggi, jumlah ternak sapi
perah, jumlah desa, dan jumlah peternak sapi perah di Jawa Timur termasuk besar (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011). Oleh karena itu, kewirausahaan peternak sapi perah di Provinsi Jawa Timur menjadi menarik untuk diteliti. Hal tersebut dikarenakan dengan semakin tersedianya tenaga kerja yang semakin banyak, produksi susu sapi yang tinggi, merupakan suatu peluang untuk meningkatkan kewirausahaan.
Perumusan Masalah
Kabupaten Malang menjadi penghasil susu sapi terbesar di Jawa Timur. Produksi susu sapi di Kabupaten Malang yaitu sebanyak 31.5 persen pada tahun 2009, dan 34.8 persen pada tahun 2010 dari total produksi susu sapi Jawa Timur. Produksi susu sapi di Kabupaten Malang pada tahun 2009 yaitu sebesar 145.7 Juta Kilogram, dan pada tahun 2010 yaitu sebesar 174.2 Juta Kilogram. Daerah penghasil susu sapi terbesar kedua, ketiga, dan keempat di wilayah Jawa Timur berturut-turut yaitu Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Tulung Agung, dan Kabupaten Blitar.
Produksi susu di Kabupaten Pasuruan yaitu sebesar 24.2 persen pada tahun 2009, dan 21.9 persen pada tahun 2010. Produksi susu di Kabupaten Tulung Agung yaitu senilai 12.7 persen pada tahun 2009, dan 10.9 persen pada tahun 2010. Produksi susu di Kabupaten Blitar yaitu sebanyak 9.2 persen pada tahun 2009 dan 8.3 persen pada tahun 2010.
Secara umum, peningkatan produksi susu sapi di Jawa Timur dari tahun 2009 sampai tahun 2010 yaitu senilai 8.3 persen. Peningkatan produksi susu sapi tersebut yaitu dari 461.8 Juta Kilogram pada tahun 2009, menjadi 500.6 Juta Kilogram., Perkembangan produksi susu sapi di Jawa Timur pada tahun 2009 sampai tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 8.
4 Bappeda Jawa Timur. Jatim Berkontribusi Terhadap Susu Nasional Sebesar 52 Persen.
Tabel 8 Produksi susu sapi di Jawa Timur 2009-2010
Sumber : Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur5
Kecamatan terbesar penghasil susu di Kabupaten Malang yaitu kecamatan Pujon. Hasil produksi kecamatan Pujon yaitu sekitar 35 persen pada tahun 2009 dari total produksi di Kabupaten Malang (Pemerintah Kabupaten Malang Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2010). Berdasarkan mata pencaharian, sebagian besar (63 persen) penduduk di Kecamatan Pujon merupakan peternak sapi perah, dan tergabung dalam koperasi peternakan dan pemerahan air susu sapi rakyat SAE Pujon. Produktivitas peternak sapi perah di Kecamatan Pujon pada tahun 2011 yaitu sekitar 1 578 liter per ekor per tahun (Tabel 9), dengan laju pertumbuhan produktivitas dua persen per tahun . Nilai tersebut berada dibawah rata-rata produktivitas nasional yaitu 3 000 liter per ekor per tahun (Setiadi dan Sobahi, 2008).
Tabel 9. Produktivitas susu sapi perah di Kecamatan Pujon 2007 dan 2011
Tahun
Sumber : Koperasi Peternakan dan Pemerahan Air Susu Sapi Rakyat SAE Pujon (2012)
Harga susu rata-rata di tingkat peternak di Pujon pada tahun 2011 adalah Rp 3 100 (Pemerintah Kabupaten Malang Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan 2012). Nilai tersebut berada dibawah harga susu rata-rata di tingkat peternak nasional yaitu Rp 3 400 sampai Rp 3 500 ( Gambar 1). Harga susu yang rendah dapat mengindikasikan kualitas susu yang rendah.
5
Rata-rata kepemilikan sapi laktasi di Pujon pun rendah yaitu tiga ekor per peternak (Koperasi Peternakan dan Pemerahan Air Susu Sapi Rakyat SAE Pujon 2012). Nilai tersebut masih di bawah kriteria kepemilikan sapi laktasi yang dapat mencapai kelayakan usaha secara ekonomi yaitu tujuh ekor per peternak (Setiadi dan Sobahi 2008).
Produktivitas dan kepemilikan sapi laktasi yang rendah dapat membuat suatu dugaan bahwa kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah di Pujon
rendah. Pertanyaan penelitian yang menarik untuk dikaji adalah Bagaimana
kompetensi kewirausahaan peternak sapi perah? Kompetensi apa yang rendah, sedang, dan tinggi? Mengapa kompetensi tersebut rendah, sedang ataupun tinggi?
Kompetensi kewirausahaan dapat dipengaruhi oleh tiga hal. Ketiga hal tersebut yaitu (1) orientasi individu (Hofstede 1991), (2) karakteristik individu
(Chamorro 2005), (3) lingkungan usaha (Bloodgood et al. 1995).
Orientasi individu merupakan cara pandang seseorang terhadap suatu obyek yang dapat membedakan seseorang dengan orang lainnya (Hofstede 1991). Orientasi individu dalam kewirausahaan dapat dilihat dari dua hal yaitu (1) orientasi individu atau kolektif, dan (2) orientasi memperhitungkan resiko atau menghindai resiko. Berdasarkan hal tersebut, maka orientasi peternak dapat dilihat juga kedalam dua hal. Hal pertama dalam penilaian orientasi peternak yaitu sikap petermak terhadap adanya kelembagaan kelompok peternak, apakah peternak menyukai pertemuan-pertemuan dengan kelompok peternak, atau sebaliknya, apakah peternak kurang menyukai pertemuan-pertemuan dengan kelompok peternak. Semakin tinggi intensitas peternak mengikuti pertemuan dengan kelompok diharapkan semakin banyak informasi yang akan diperoleh peternak. Dengan demikian, semakin tinggi intensitas peternak mengikuti peternak diduga akan semakin tinggi tingkat kompetensi peternak. Hal kedua dalam penilaian orientasi peternak yaitu sikap peternak terhadap resiko, apakah peternak menghindari resiko, atau sebaliknya memperhitungkan resiko. Semakin memperhitungkan resiko diduga semakin tinggi tingkat kompetensi peternak. Sikap peternak terhadap resiko menjadi menarik untuk dipelajari karena adanya resiko dari sifat susu yang tidak tahan lama.
Karakteristik dapat dilihat dari usia ketika memasuki wirausaha, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, dan pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin lama pengalaman kerja, dan semakin banyak pelatihan yang telah diikuti peternak diduga akan semakin tinggi tingkat kompetensi kewirausahaan peternak. Hal tersebut dikarenakan (1) tingkat pendidikan yang lebih tinggi, kemampuan seseorang dalam menerima inovasi pun akan semakin tinggi, dan (2) semakin lama pengalaman kerja, dan semakin banyak pelatihan, semakin banyak wawasan yang diperoleh peternak.
Kondisi lingkungan usaha dapat dipandang ke dalam dua sisi (Bloodgood et
al. 1995). Sisi pertama yaitu kondisi lingkungan usaha berdasarkan tingkat
persaingan; apakah kondisi lingkungan usaha tersebut relatif tidak bersaing atau bersaing. Sisi kedua yaitu kondisi lingkungan usaha berdasarkan kestabilan; apakah kondisi lingkungan bisnis tersebut cenderung stabil atau dinamis.
Lingkungan usaha yang relatif dinamis, misalnya harga susu yang relatif berfluktuatif akan menciptakan kompetensi dan keberhasilan usaha yang tinggi..
Kondisi lingkungan usaha peternakan sapi perah diduga relatif tidak bersaing. Hal tersebut dikarenakan peternak memiliki rasa kekeluargaan dan keterbukaan yang relatif tinggi. Lingkungan usaha peternakan sapi perah diduga relatif stabil. Hal tersebut dikarenakan harga susu yang relatif tetap.
Kompetensi kewirausahaan selanjutnya akan mempengaruhi secara langsung tingkat keberhasilan usaha (Bird 1995). Salah satu indikator keberhasilan usaha adalah produktivitas, dan pendapatan (Bird 1995). Pendapatan peternak berkorelasi positif dengan kepemilikan sapi perah (Firman 2010). Dengan demikian indikator keberhasilan peternak sebagai wirausahawan dapat
dilihat dari produktivitas dan kepemilikan jumlah sapi perah. Bagaimanakah
hubungan dari kompetensi kewirausahaan terhadap keberhasilan usaha peternak? Setelah mengetahui faktor yang kompetensi kewirausahaan dan
keberhasilan usaha, pertanyaan penelitian selanjutnya adalah bagaimana strategi
dalam meningkatkan kompetensi kewirausahaan dan keberhasilan usaha peternak?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah :
1. Menganalisis kompetensi kewirausahan peternak sapi perah di Kecamatan
Pujon, Kabupaten Malang dalam menjalankan usahanya.
2. Menganalisis hubungan lingkungan usaha, orientasi individu, dan
karakteristik dengan kompetensi kewirausahaan peternak di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang.
3. Menganalisis hubungan kompetensi kewirausahaan dengan keberhasilan
usaha
4. Merumuskan strategi yang dapat meningkatkan kompetensi kewirausahaan
dan keberhasilan usaha peternak sapi perah di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian adalah :
1. Sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan, khususnya Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Malang.
2. Sebagai bahan masukan bagi koperasi SAE Pujon sebagai koperasi yang
menaungi sebagian besar peternak sapi perah di Kabupaten Malang
3. Sebagai bahan informasi bagi kalangan akademisi dan peneliti mengenai
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada lingkup bahasan penelitian ini adalah menilai kompetensi kewirausahaan peternak dan keberhasilan usaha. Keberhasilan usaha yang dimaksudkan dalam penelitian ini diproyeksikan melalui jumlah produktivitas susu sapi perah, dan kepemilikan jumlah sapi laktasi. Kompetensi kewirausahaan dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu lingkungan usaha, orientasi individu, dan karakteristik peternak. Aspek kompetensi yang dinilai dalam penelitian ini meliputi tiga aspek, yaitu strategik, manajemen teknis, dan kepemimpinan. Lingkup penelitian ini dilaksanakan pada peternak di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur sebagai studi kasus. Hasil penelitian ini tidak dapat menyimpulkan kondisi di wilayah lain.
Hipotesis
Adapun hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
1. Ho : Tidak terdapat hubungan signifikan antara lingkungan usaha dengan
kompetensi kewirausahaan.
H1 : Terdapat hubungan signifikan antara lingkungan usaha dengan kompetensi kewirausahaan.
2. Ho : Tidak terdapat hubungan signifikan antara orientasi individu dengan
kompetensi kewirausahaan.
H1 : Terdapat hubungan signifikan antara orientasi individu dengan komptensi kewirausahaan.
3. Ho : Tidak terdapat hubungan signifikan antara karakteristik dengan
kompetensi kewirausahaan.
H1 : Terdapat hubungan signifikan antara sikap terhadap karakteristik dengan kompetensi kewirausahaan.
4. Ho : Tidak terdapat hubungan signifikan antara kompetensi kewirausahaan
dengan keberhasilan usaha.
H1 : Terdapat hubungan signifikan antara sikap terhadap resiko terhadap orientasi individu
Kriteria keputusan yaitu terima Ho jika T Hitung < ± 1.96. Sebaliknya,
terima H1, jika T Hitung ≥ 1.96 (Wijayanto 2008).
2 TINJAUAN PUSTAKA
Usaha Peternakan Sapi Perah
Peternakan sapi perah di Indonesia merupakan usaha keluarga di pedesaan dalam skala kecil, sedangkan usaha skala besar masih sangat terbatas. Komposisi peternak sapi perah diperkirakan terdiri dari 80 persen peternak kecil, dengan kepemilikan sapi perah kurang dari empat ekor, 17 persen peternak dengan kepemilikan sapi perah empat sampai tujuh ekor, dan tiga persen kepemilikan sapi perah lebih dari tujuh ekor (Ahmad 2011).
Berdasarkan sistem perkandangannya, pemeliharaan sapi perah di Indonesia
terbagi atas dua tipe. Tipe pertama yaitu tipe stanchion barn dan tipe kedua adalah
loose house. Stanchion barn yaitu sistem perkandangan dimana hewan diikat
sehingga gerakannya terbatas, sedangkan loose house yaitu sistem perkandangan
dimana hewan dibiarkan bergerak dengan batas-batas tertentu.
Menurut Wiryo6, jenis sapi perah yang paling cocok dan menguntungkan
untuk dibudidayakan di Indonesia adalah Frisien Holstein. Namun rata-rata produksi susu sapi di Indonesia hanya delapan kilogram per ekor per hari. Nilai tersebut masih jauh dari standar normalnya yaitu 15- 16 kilogram per ekor per hari. Penyebab rendahnya produksi susu ini dapat dijelaskan oleh Williamson dan Payne (1993). Mereka menjelaskan bahwa produksi susu yang rendah di daerah tropis (termasuk di Indonesia) disebabkan oleh interaksi dari faktor iklim, penyakit, pengembangbiakan, dan pemberian pakan. Dengan demikian manajemen kandang merupakan hal yang krusial dalam pengusahaan sapi perah.
Senada dengan itu, Noor (2012) juga mengemukakan bahwa manajemen reproduksi merupakan hal yang krusial. Oleh karena itu peternak harus mampu mengetahui tata kelola manajemen reproduksi (pola perkawinan, deteksi berahi, dan sinkronisasi berahi) secara teratur dan tepat.
Fuah, et al. (2011) meneliti mengenai teknologi produksi dan efisiensi dari
usaha ternak di Indonesia. Mereka menemukan penyebab produktifitas sapi perah yang rendah di Indonesia dikarenakan kualitas dan kuantitas pakan yang minim, keterbatasan teknologi pengolahan hasil susu dan keterampilan yang rendah dalam mengimplementasikan manajemen usaha peternakan yang relatif modern. Kelayakan usaha sapi perah di Pulau Jawa berada pada level yang rendah, dan berkorelasi positif dengan pendapatan rendah yang diterima petani. yaitu sebesar 1 521 820 per bulan, dengan rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 1.32, dan IRR sebesar 17 persen.
Rusdiana dan Sejati (2009) mengemukakan bahwa pengembangan agribisnis sapi perah dapat dilakukan dengan peningkatan skala usaha. Peningkatan skala usaha tersebut dilakukan melalui koperasi. Pemberdayaan peternak sapi perah melalui koperasi dapat dilakukan melalui penyediaan sumber bibit sapi perah betina, dan penyediaan pakan konsentrat dengan harga yang terjangkau.
Yunasaf, et al. (2008) mengemukakan keberdayaan peternak sapi perah
adalah tingkat berkembangnya potensi peternak dalam perannya sebagai manajer usahatani, pemelihara ternak, dan individu yang otonom. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Yunasaf, et al.(2008) keberdayaan peternak sapi
perah di Bandung rata-rata rendah. Para peternak umumnya belum dapat
6 Kementerian Pertanian. Budidaya Sapi Perah. http://epetani.deptan.go.id/budidaya/budidaya-sapi-perah-106
menunjukkan keberdayaannya, terutama dalam perannya sebagai manajer dan sebagai individu yang otonom. Idealnya sebagai seorang manajer, peternak dapat melakukan suatu usaha agar usaha yang dilakukannya semakin berkembang. Akan tetapi, pada kenyataannya, kondisi usaha ternak sapi perah yang dilakukan oleh peternak relatif stabil atau tidak berubah. Belum berkembangnya potensi peternak sapi perah di Jawa Barat dalam perannya sebagai manajer dapat terlihat dalam tiga hal. Pertama yaitu masih rendahnya perincian terhadap tujuan usaha yang dilakukan peternak. Kedua yaitu masih rendahnya penyusunan prioritas pengembangan usaha. Ketiga yaitu masih rendahnya tingkat pengembangan usaha.
Perilaku Konsumsi Minum Susu di Indonesia
Pada sub bab ini akan dibahas mengenai perilaku konsumsi susu sapi perah di Indonesia. Ginting (2000) menemukan bahwa sebagian besar (82 persen) responden dalam penelitiannya menyatakan alasan mengkonsumsi susu yaitu untuk menjaga kesehatan, dan hanya sebelas persen yang mengkonsumi susu karena kebiasaan. Hal tersebut berarti bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai mengenal gizi yang terkandung di dalam susu. Sebagian besar, usia masyarakat yang mengkonsumsi susu yaitu anggota keluarga yang berusia 15-20 tahun dan 40-50 tahun. Konsumen susu cenderung tidak memiliki loyalitas merek yang tinggi. Hal tersebut merupakan informasi yang penting bagi produsen dalam segmentasi dan pemosisian produk susu yang dihasilkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan susu sapi perah yaitu harga, jumlah penduduk, jumlah anggota keluarga, selera, tempat tinggal (pedesaan atau perkotaan), pengeluaran rumah tangga dan pendapatan (Sinaulan 1994; Ginting
2000; Ahmad et al. 2008). Elastisitas pendapatan, elastisitas harga produk susu,
dan elastisitas pengeluaran rumah tangga bersifat inelastis (Ginting 2000; Ahmad
et.al. 2008). Ketiga indikator elastisitas tersebut mengindikasikan bahwa produk susu di Indonesia dianggap oleh konsumen sebagai barang normal, dan merupakan barang kebutuhan sehari-hari.
Ahmad et al. (2008) mengemukakan susu yang paling dominan dikonsumsi
oleh penduduk Indonesia yaitu susu kental manis sebanyak 70.4 persen. Konsumsi susu cair sebesar 20.9 persen, dan 8.7 persen susu bubuk. Sebagian besar konsumen susu sapi perah merupakan masyarakat perkotaan. Hal tersebut disebabkan oleh daya beli masyarakat perkotaan dan tingkat pendidikan masyarakat perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pedesaan.
Kompetensi Pelaku Usaha dan Pendapatan Wirausahawan
Selanjutnya yaitu tinjauan pustaka mengenai kompetensi kewirausahaan, dan yang terakhir adalah tinjauan pustaka mengenai pendapatan wirausahawan.
Kustiari (2012) meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi pembudidaya dalam mengelola usaha budidaya rumput laut polikultur di perairan Pantai Utara Pulau Jawa. Berdasarkan hasil penelitiannya, kompetensi pembudidaya dipengaruhi secara nyata oleh peubah efektivitas penyuluhan, dengan nilai koefisien paling tinggi, dan kemudian berturut-turut diikuti oleh karakteristik individu dan proses belajar budidaya.
Muatip,et al. (2008) meneliti mengenai kompetensi kewirausahaan peternak
sapi perah di kabupaten Bandung, Jawa Barat. Berdasarkan hasil penelitian
Muatip, et al. (2008), kompetensi kewirausahaan dipengaruhi oleh tingkat latar
belakang pendidikan dan jumlah anggota keluarga, keterbatasan fasilitas, informasi, dan kebijakan pemerintah.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kustiari (2012), dan
Muatip, et al. (2008) dapat dilihat adanya suatu kesamaan mengenai faktor yang
mempengaruhi kompetensi pelaku usaha, yaitu karakteristik individu, dan peranan pemerintah.
Peranan pemerintah berupa kebijakan yang mendukung kewirausahaan
diteliti oleh Hall, et al (2012). Hall, et al (2012) menemukan bahwa kebijakan
kewirausahaan yang mendukung inovasi lokal akan meningkatkan partisipasi sosial dan peningkatan pendapatan yang produktif. Selain itu, inovasi lokal akan menyediakan peluang bagi wirausahawan dalam mengembangkan usaha, dan sumberdaya pengetahuan yang produktif, dan menyediakan kestabilan kelembagaan.
Kompetensi kewirausahaan yang paling penting dimiliki oleh
wirausahawan, ditemukan oleh Wu (2009) berbeda menurut skala usaha. Wu
(2009) mengemukakan bahwa kompetensi dalam membangun bakat (building a
mechanism for talent development), merupakan kompetensi yang paling penting ketika memulai usaha kecil, sedangkan pada usaha besar, kompetensi dalam pemahaman membuat solusi yang bijak merupakan kompetensi yang penting.
Kompetensi kewirausahaan memiliki hubungan yang positif dengan skala pengusahaan yang dilakukan oleh peternak sapi perah di Belanda (Bergevoet, 2005). Semakin tinggi skala pengusahaan semakin tinggi pula tingkat kompetensi peternak sapi perah. Dengan demikian hal yang dapat dilakukan unruk meningkatkan kompetensi peternak sapi perah di Belanda adalah dengan meningkatkan peran kelompok peternak
Kegunaan dari penelitian mengenai kompetensi kewirausahaan yaitu untuk mengurutkan kompetensi kewirausahaan berdasarkan tingkat kepentingan yang dirasakan oleh wirausahawan . Kompetensi dalam pembuatan keputusan juga merupakan kompetensi penting yang harus dimiliki seorang wirausahawan, seperti
apa yang ditemukan oleh Izquierdo, et al. (2005).
Swindall (2010) menemukan bahwa faktor usia, jenis kelamin, warna kulit, dan pendidikan mempengaruhi pendapatan di California Selatan. Hal tersebut juga
senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bosma, et al. (2000) yang
menunjukkan bahwa sumberdaya manusia lah yang merupakan faktor penting dalam menentukan kelangsungan hidup usaha baik dari sisi waktu maupun dari
manusia, sumberdaya modal, sumberdaya sosial, dan fokus pada bisnis sebagai variabel bebas dalam penelitiannya.
Penelitian lainnya yang turut mempengaruhi pendapatan wirausahawan adalah penelitian yang dilakukan oleh Suliyati (2009). Suliyati (2009) menemukan bahwa faktor pribadi dan faktor modal memiliki bobot yang sama dalam peningkatan pendapatan wirausahawan.
Sistem Agribisnis Sapi Perah
Sistem agribisnis sapi perah merupakan rangkaian kegiatan yang saling berkaitan dari subsistem agribisnis hulu, usahatani, pengolahan, dan pemasaran, serta subsistem jasa dan penunjang. Karena saling keterkaitannya, dapat pula dikatakan bahwa apabila terjadi ketidakefisienan dalam suatu subsistem dalam komoditas tersebut, maka akan mempengaruhi subsistem lainnya. Itulah pentingnya penggambaran suatu sistem agribisnis dilihat dari masing-masing subsistem. Keterkaitan antar subistem agribisnis dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.
Secara garis besar, industri yang termasuk kedalam subsistem agribisnis hulu yaitu industri pakan, industri peralatan dan mesin, dan industri pembibitan sapi perah (Firman 2010). Lebih lanjut Firman dan Tawaf (2008) mengemukakan subsektor agribisnis hulu memiliki empat manfaat. Empat manfaat tersebut yaitu (1) Menyokong kegiatan subsistem produksi atau budidaya dan subsistem pengolahan; (2) Secara makro ekonomi, subsistem ini mampu memberikan nilai kontribusi pendapatan terhadap perekonomian; (3) Keberadaan subsistem ini berdampak pada penyediaan lapangan kerja; (4) Membantu meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal yang akan dimanfaatkan oleh subsistem lainnya.
Pembahasan selanjutnya yaitu penjabaran dari aktivitas usaha yang dilakukan pada industri pakan, industri peralatan mesin, dan industri pembibitan sapi perah. Pembahasan akan dimulai secara berurutan dari aktivitas usaha yang dilakukan pada industri pakan, peralatan dan mesin, dan pembibitan sapi perah.
Pakan sapi perah terdiri dari dua yaitu pakan utama (hijauan, dan
konsentrat), dan pakan tambahan7. Pakan hijauan yaitu makanan yang berupa
bagian dari tanaman (biasanya daun dan batang) yang kaya akan selulosa dan biasa dikonsumsi ternak. Permasalahan yang terjadi di dalam industri pakan hijauan yaitu ketersediaan hijauan terutama hijauan berkualitas tinggi semakin terbatas sehingga harga pakan hijauan semakin meningkat. Permasalahan serupa pun dialami dalam industri pakan konsentrat. Relatif masih terbatasnya sumber pakan yang dapat diidentifikasi dan ketersediaannya terbatas sehingga belum mampu diproduksi dalam jumlah besar menjadi permasalahan dalam industri pakan konsentrat (Firman 2010).
Peralatan dan mesin dalam kegiatan usaha peternakan sapi perah merupakan sarana penunjang usahatani peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan (2007) mengemukakan sebelas permasalahan yang terdapat di dalam industri peralatan dan mesin peternakan. Kesebelas permasalahan tersebut diantaranya (1) Sistem standardisasi dan pengujian serta penerapan dari penggunaan peralatan dan mesin peternakan yang masih rendah; (2) Kualitas peralatan dan mesin yang belum terjamin, (3) Belum banyaknya pabrikan atau bengkel yang membuat peralatan dan mesin peternakan; dan (4) Sebagian alat dan mesin peternakan masih impor.
Kondisi industri pembibitan sapi perah dapat digambarkan sebagai berikut. Industri pembibitan merupakan suatu upaya dalam meningkatkan jumlah dan kualitas genetik dalam jumlah yang besar. Teknologi yang digunakan dalam industri pembibitan sapi perah di Indonesia secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu inseminasi buatan dan embrio transfer.
Kelemahan dalam industri pembibitan sapi perah di Indonesia yaitu tingkat keberhasilan yang masih rendah. Salah satu contoh daerah yang mengalami tingkat keberhasilan inseminasi buatan yang rendah yaitu kabupaten Malang, yaitu sekitar 30 persen (Pemerintah Kabupaten Malang Dinas Peternakan, Kelautan, dan Perikanan, 2008).
Subsistem Usahatani
Alur proses pada subsistem usaha tani terdiri dari beberapa tahap, mulai dari tahap penyiapan sarana dan peralatan kandang, pembibitan, pemeliharaan, dan panen. Pada usahatani sapi perah terdapat dua sistem pemeliharaan, yaitu sistem perkandangan dan sistem merumput. Sistem perkandangan merupakan sistem pemeliharaan yang digunakan oleh sebagian besar peternak sapi perah di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan pada umumnya biaya pengusahaan secara sistem perkandangan relatif lebih murah bila dibandingkan dengan sitem merumput.
Manajemen reproduksi sapi perah sangat penting bagi pengusahaan sapi perah. Firman (2010) mengemukakan bahwa kerugian ekonomi akibat tidak
efisiennya pengelolaan sapi perah di Amerika Serikat dapat mencapai US $ 2,5 –
3,0 per ekor per hari jika calving interval-nya melebihi 100 hari.
Terdapat empat permasalahan yang terdapat di dalam subsistem usahatani sapi perah. Keempat permasalahan pada subsistem usahatani yaitu (1) peternak sapi tidak terdorong meningkatkan kualitas susu melalui peningkatan pakan dan
7 Kementerian Pertanian. Pakan untuk ternak sapi potong.
teknologi karena kecilnya pendapaan yang diperoleh peternak8, (2) rendahnya pendapatan peternak disebabkan oleh skala usaha dan kemampuan berproduksi susu yang rendah, harga penjualan susu relatif murah, dan biaya produksi yang tinggi (Rusdiana dan Sejati 2009), (3) Produktivitas petani yang rendah (Yusdja 2005), dan (4) Peternak kesulitan mendapatkan pakan hijauan dan konsentrat teutama karena kesulitan daya beli, dan lahan bebas yang semakin sempit (Yusdja 2005).
Subsistem Pengolahan
Subsistem pengolahan merupakan tindak lanjut dari kegiatan pemanenan pada subsistem usahatani yang dapat memberi nilai tambah dan meningkatkan daya simpan suatu produk. Industri pengolahan susu masih tergantung pada impor
sebesar 61.5 persen sampai 70 persen (Asmarantaka et al, 2013). Adapun produk
olahan susu di Indonesia antara lain susu pasteurisasi, susu ultra high temperature
(UHT), yoghurt, susu bubuk, susu kental manis, es krim, dan keju.
Susu bubuk, susu kental, manis, dan es krim sebagian besar diproduksi oleh IPS. Hanya sekitar 29 persen susu dalam negeri yang diserap oleh IPS untuk
diolah menjadi susu bubuk9. Sisanya, yaitu sekitar 71 persen diperoleh dari impor.
Dengan demikian, permasalahan yang terjadi pada subsistem pengolahan yaitu IPS kekurangan pasokan susu dalam negeri yang dinilai IPS kurang memenuhi standar. Persyaratan mutu susu segar dapat dilihat dalam Tabel 10.
Tabel 10 Persyaratan mutu susu segar
No Karakteristik Syarat Satuan
1 Kadar lemak minimum 3.0 Persen
3. Streprococcus Grup B 0.0 Persen
6 Cemaran logam maksimum
1. Timbal (Pb) 0.3 ppm
2. Seng (Zn) 0.5 ppm
3. Merkuri (Hg) 0.5 ppm
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1998)
Subsistem Pemasaran
Subsistem pemasaran menyangkut kegiatan distribusi dari produsen ke konsumen, baik untuk ekspor yang ditetapkan berdasarkan standar suatu negara
8
Kabar Bisnis. Pacu Persusuan, RI Impor Sapi Perah. www.kabarbisnis.com/read/2830445 [Agustus 2012]
9
maupun pasar lokal. Oleh karena itu subsistem ini juga dipengaruhi oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan subsistem jasa dan pendukung.
Firman (2010) mengemukakan bahwa struktur pasar monopoli merupakan pasar yang terjadi di pasar komoditas susu sapi perah. Hal tersebut dikarenakan produsen yang menghasilkan susu relatif banyak, yaitu peternak, sedangkan lebih dari 80 persen susu sapi dari peternak dijual ke IPS yang sedikit jumlahnya.
Peternak sapi perah relatif memiliki daya tawar menawar yang rendah terhadap IPS. IPS merupakan pasar utama bagi sebagian besar peternak sapi perah. Namun, IPS memiliki suatu standar yang relatif tinggi. Oleh karena itu diperlukan suatu lembaga yang dapat menjadi fasilitator bagi peternak maupun IPS.
Lembaga fasilitator tersebut dapat berbentuk koperasi. Koperasi persusuan berperan memfasilitasi kebutuhan input yang berkualitas bagi pengusahaan sapi perah yang diusahakan peternak, mendampingi peternak dalam usahatani yang diusahakan peternak, dan memperjuangkan harga jual susu kepada IPS yang dapat meningkatkan kesejahteraan peternak.
Akan tetapi, daya tawar menawar antar koperasi dan IPS juga relatif rendah. Hal tersebut disebabkan oleh IPS memiliki banyak pilihan sumber pasokan dari luar negeri, jika harga di dalam negeri dinilai terlalu mahal. Salah satu solusi untuk mengantisipasi kecenderungan pasar oligopsoni ini adalah dengan menciptakan pasar baru bagi peternak, dan meningkatkan kewirausahaan peternak dan kewirausahaan koperasi.
Subsistem Penunjang
Subsistem penunjang merupakan subsistem yang memfasilitasi dan mendukung subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem pengolahan, dan subsistem pemasaran, agar komoditas sapi perah dapat berkembang dengan baik. Komponen-komponen dari subsistem ini antara lain lembaga keuangan dan perbankan, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga pemerintah, lembaga koperasi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pelelangan, lembaga penjaminan dan resiko, lembaga penyuluhan, lembaga standardisasi nasional, lembaga profesi (Firman 2010).
Pemerintah memberikan perlindungan kepada peternak rakyat berupa pemberlakuan tarifikasi impor susu yaitu sebesar lima persen. Selain itu, dukungan yang diberikan pemerintah terhadap peternak rakyat yaitu pembinaan sumber daya manusia kepada peternak, program pembibitan, dan tidak memungut pajak susu segar (Firman 2010).
Indonesia memiliki sekitar empat balai benih dan perbibitan yang menyediakan sumber benih (semen dan embrio beku) dan bibit betina sapi perah unggul. Balai tersebut yaitu Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari, Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang, Balai Embrio Transfer (BET) Cipelang, dan Balai Besar Perbibitan Ternak Unggulan (BBPTU) Sapi Perah Baturraden.
Lembaga penelitian dan pengembangan diantaranya yaitu perguruan tinggi. Hasil penelitian dan pengembangan diharapkan dapat membantu peternak dalam meningkatkan produktivitas, menemukan suatu sistem penyaluran bantuan modal tepat guna, dan menemukan produk olahan lainnya dari susu sapi perah yang dapat dimanfaatkan oleh industri olahan dan pemasar.
Permasalahan pada subsistem penunjang yaitu kurang terintegrasinya seluruh pihak yang di dalam subsistem penunjang. Salah satu contoh kurang terintegrasinya subsistem penunjang yaitu pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.011/2009 menetapkan susu dan produk olahan susu impor dikenakan bea impor hanya sebesar lima persen. Di sisi lain Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) menilai bea impor tersebut terlalu rendah untuk melindungi peternak sapi perah lokal.
Kompetensi
Kompetensi menurut Parker (2010)10 adalah merupakan penggabungan dari
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu penugasan dengan hasil yang berhasil. Pengetahuan berhubungan erat dengan kemampuan pemahaman dan keakraban suatu topik tertentu dalam pemikiran seseorang. Keterampilan merupakan suatu kemampuan dan kesediaan seseorang dalam mengerjakan suatu aktivitas. Dengan demikian, kompetensi menurut Parker dipengaruhi oleh karakteristik individu, sejauh mana seseorang tersebut mampu memahami suatu pengetahuan dan mampu serta bersedia untuk mengerjakan suatu aktivitas berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
Kompetensi bermanfaat atau membantu dalam membangun keterampilan yang akan meningkatkan produktivitas, menyediakan suatu model yang konsisten yang akan menjelaskan persyaratan pekerjaan dan suatu standar hasil, dan membangun keselarasan antara nilai-nilai organisasi dan strategi organisasi (Parker 2010). Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan sesuatu yang sangat penting dalam suatu organisasi, baik organisasi bisnis maupun organisasi nirlaba.
Selain Parker, Spencer dalam Moeherino (2009) memberikan definisi kompetensi yaitu karakteristik yang mendasari seseorang berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya atau karakteristik individu yang memiliki hubungan kausal atau sebagai sebab akibat dengan kriteria yang dijadikan acuan, efektif, atau berkinerja prima atau sebagai sebab akibat di tempat kerja atau pada situasi tersebut.
Makna yang terkandung dalam definisi kompetensi yang dikemukakan oleh Spencer itu yaitu sebagai berikut
1. Karakteristik dasar kompetensi. Karakteristik dasar kompetensi adalah bagian
dari kepribadian yang melekat pada seseorang serta mempunyai perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan tugas atau pekerjaan.
2. Hubungan kausal. Hubungan kausal berarti kompetensi dapat menyebabkan
atau digunakan untuk memprediksi kinerja seseorang, artinya jika mempunyai kompetensi yang tinggi, maka akan mempunyai kinerja yang tinggi pula.
10
Parker. Competency Modelling.
3. Kriteria. Kriteria merupakan acuan., ukuran yang terstandar, yang dapat memprediksikan seseorang dapat bekerja dengan baik. Kriteria dapat berupa keterampilan yang terstandar.
Berdasarkan kedua definisi tersebut, baik Spencer maupun Parker, sama –
sama menilai kompetensi sebagai suatu dimensi yang terletak pada kepribadian seseorang. Kepribadian seseorang tersebut selanjutnya akan menentukan keberhasilan akan pekerjaan yang dilakukan oleh orang tersebut. Hal senada pun dikemukakan oleh McClelland dalam Moeherino (2009).
Beda hal nya dengan Armstrong. Armstrong dalam Moeherino (2009) tidak menilai kompetensi sebagai suatu dimensi yang terletak pada kepribadian seseorang, melainkan menilai kompetensi sebagai suatu tindakan dari suatu penugasan. Tindakan tersebut dikerjakan oleh seseorang untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau penugasan.
Kualifikasi Kompetensi
Kualifikasi kompetensi merupakan hasil dari ilmu pengetahuan (science),
pengetahuan (knowledge), pengetahuan praktis (knowhow), dan keterampilan
(skills) (Kementerian Pendidikan Nasional 2010). Kualifikasi kompetensi menggambarkan seberapa besar pengaruh ilmu pengetahuan, pengetahuan, pengetahuan praktis, dan keterampilan dalam proses pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan.
Kementerian Pendidikan Nasional (2010) mendefinisikan ilmu pengetahuan, pengetahuan, pengetahuan praktis, dan keterampilan sebagai berikut. Ilmu pengetahuan adalah suatu sistem berbasis metodologi ilmiah untuk membangun pengetahuan melalui hasil-hasil penelitian. Pengetahuan adalah pemahaman tentang fakta dan informasi yang diperoleh seseorang melalui pengalaman atau pendidikan. Pengetahuan praktis merupakan pemahaman tentang metodologi dan keterampilan teknis yang diperoleh seseorang melalui pengalaman atau pendidikan. Keterampilan adalah kemampuan psikomotorik yang dicapai melalui pelatihan terukur dilandasi oleh pengetahuan dan pengetahuan praktis yang dimiliki seseorang. Semakin tinggi bagian peranan ilmu pengetahuan, maka kualifikasi kompetensi tersebut semakin teoritis kualifikasi kompetensi yang dimiliki oleh profesi tersebut. Sebaliknya semakin tinggi bagian keterampilan, maka kualifikasi kompetensi tersebut semakin praktisi kualifikasi kompetensi yang dimiliki oleh profesi tersebut.
Kewirausahaan dan Inovasi
Kewirausahaan atau entrepreneurship berasal dari bahasa Perancis yang
diterjemahkan secara harfiah adalah perantara. Secara lebih luas kewirausahaan didefinisikan sebagai proses penciptaan sesuatu.
Ciri-ciri seorang wirausahawan yaitu (1) kreatif dan inovatif, (2) berambisi tinggi, (3) Energetic, (4) Percaya diri, (5) Pandai dan senang bergaul, (6) Bekerja keras dan berpandangan ke depan, (7) Berani menghadapi resiko, (8) banyak inisiatif dan bertanggungjawab, (9) Senang mandiri dan bebas, dan (10) bersikap optimis (Sutanto 2002). Senada dengan Sutanto (2002), Mutis (2005) juga mengemukakan bahwa inti pokok atau ciri seorang wirausahawan yaitu adalah kreatif dan inovatif. Kreatif adalah kemampuan untuk membawa sesuatu yang baru ke dalam kehidupan, dan inovatif adalah suatu karakter yang dapat membuat suatu inovasi. Inovasi tercipta karena adanya daya kreativitas yang tinggi..
Peran kewirausahaan dalam pertumbuhan ekonomi tidak hanya dinilai dari bertambahnya pendapatan per kapita, tetapi juga dinilai dari adanya suatu perubahan dalam struktur bisnis dan komunitas. Perubahan ini tidak hanya dilihat dari pertumbuhan dan meningkatnya ouput, tetapi juga pada inovasi yang melibatkan lebih banyak golongan dapat berperan aktif di dalam bisnis (Hisrich dan Peters, 1992).
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai inovasi yang merupakan suatu ciri unik kewirausahaan selain kreatif. Secara spesifik, inovasi yang sistematis berarti memantau tujuh sumber peluang inovasi. Ketujuh sumber itu inovasi itu
adalah (1) The Unexpected (Sukses, kegagalan, dan kejadian yang tidak diduga),
(2) Ketidakselarasan, (3) Kebutuhan Proses, (4) Perubahan dalam Struktur Pasar yang Tidak Disadari, (5) Demografi, (6) Perubahan dalam persepsi, dan (7) Pengetahuan Baru (Drucker 1985).
Lebih lanjut Drucker (1985) juga memaparkan prinsip inovasi. Prinsip inovasi terdiri dari tiga hal penting yaitu keharusan, larangan, dan persyaratan. Adapun keharusan, larangan, dan persyaratan dapat diuraikan sebagai berikut.
Keharusan dalam prinsip inovasi yaitu (1) Inovasi yang mempunyai tujuan dan sistematis, dimulai dari menganalisis peluang, (2) Inovasi bersifat konseptual dan perceptual, oleh karena itu perly banyak melihat dan mendengarkan, (3) Agar efektif sebuah inovasi harus difokuskan, (4) dimulai dari hal yang kecil, dan (5) diarahkan kepada kepemimpinan.
Inovasi dapat dibagi dalam dua mode yang saling melengkapi (Tidd dan Bessant 2009). Yang pertama 'melakukan apa yang kita lakukan tapi lebih baik' (do better) – sebuah 'kesetimbangan' di mana inovasi dapat terjadi atau dengan kata lain 'praktik yang baik' kita dapat beroperasi. Hal ini kontras dengan inovasi
dalam istilah 'lakukan yang berbeda' (do different) dimana aturan permainan telah
bergeser (karena teknologi utama, pasar atau pergeseran politik, misalnya) dan dalam mengelola inovasi jauh lebih banyak proses eksplorasi dan evolusi bersama dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi.
Di bawah kondisi „do different‟, organisasi masih perlu mencari sinyal
pemicu–perbedaannya adalah bahwa mereka membutuhkan eksplorasi di
tempat-tempat yang lebih sedikit jauh dan mengamati sekeliling untuk mengambil sinyal yang lemah lebih awal untuk bergerak. Mereka masih perlu membuat pilihan
informasi yang tidak jelas dan tidak lengkap dan pengambilan keputusan yang
dilibatkan demikian akan jauh lebih berisiko–dianjurkan untuk toleransi yang
lebih tinggi dari kegagalan dan belajar cepat. Pelaksanaannya akan membutuhkan
tingkat fleksibilitas yang jauh lebih tinggi di sekitar proyek – pemantauan serta
tinjauan mungkin perlu dilakukan terhadap kriteria yang lebih fleksibel dibandingkan dengan yang dapat diterapkan oleh jenis inovasi „do better'.
Kompetensi Kewirausahaan
Seorang wirausahawan adalah seseorang yang mampu mengembangkan ide bisnis yang dimilikinya dan menjadikannya nyata. Kesuksesan wirausahawan tidak hanya terletak pada mengidentifikasi peluang, tetapi juga pada pemahaman yang mendalam mengenai bisnis yang diusahakan dan lingkungan bisnis yang senantiasa berkembang. Seorang wirausahawan dapat mengetahui celah pasar, dan memperkenalkan produk baik jasa maupun barang baru yang dapat memenuhi celah pasar tersebut.
Terdapat sebelas kompetensi kewirausahaan menurut Wickam (2004). Kesebelas kompetensi tersebut yaitu (1) strategik, (2) perencanaan, (3) pemasaran, (4) pengelolaan keuangan, (5) manajemen teknis, (6) manajemen waktu, (7) kepemimpinan, (8) memotivasi orang lain, (9) pendelegasian, (10) berkomunikasi,
dan (11) negosiasi. Bath et al. (1978) memaparkan mengenai kompetensi
manajemen teknis yang dimiliki oleh peternak sapi perah. Kompetensi manajemen teknis sapi perah tersebut melingkupi kemampuan merencanakan, memasarkan, mengelola keuangan, manajemen waktu, dan manajemen tenaga kerja. Oleh karena itu, kompetensi dalam penelitian ini dibagi ke dalam tiga bidang, yaitu :
1. Strategik
Kompetensi strategik yaitu kemampuan untuk mempertimbangkan bisnis secara keseluruhan, memahami bagaimana lingkungan bisnis yang berubah, dan bagaimana mengorganisasikan perubahan lingkungan bisnis tersebut kedalam usaha yang dikerjakan, dan membuat produk baik jasa maupun barang yang sesuai dengan kebutuhan konsumen, dan lebih baik dari pesaing.
2. Manajemen Teknis
Kompetensi manajemen teknis yaitu kemampuan untuk mengorganisasikan usaha secara teknis. Ruang lingkup manajemen teknis yang harus dimiliki
oleh peternak menurut Bath, et al (1978) diantaranya pencatatan data
produksi, kemampuan memerah sapi, manajemen pakan, manajemen waktu, manajemen tenaga kerja, dan manajemen kandang.
3. Kepemimpinan