• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1.HIV/AIDS

2.1.1. DEFINISI HIV DAN AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Orang yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan belum membutuhkan pengobatan. Namun orang tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain bila melakukan hubungan seks beresiko dan berbagi alat suntik dengan orang lain (KPAN, 2012).

AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) merupakan sindrom dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Daili et al, 2009). HIV merupakan virus sitopatik diklasifikasikan dalam Famili retrovirus, subfamili lentivirinae, genus lentivirus. AIDS disebabkan oleh infeksi HIV manifestasi dari menurun kekebalan tubuh akibat Virus HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak dan kanker. Stadium AIDS membutuhkan pengobatan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan

jumlah virus HIV di dalam tubuh sehingga bisa sehat kembali (KPAN, 2012).

2.1.2. PATOGENESIS HIV/AIDS

Mekanisme utama infeksi HIV dimulai setelah virus masuk ke dalam tubuh pejamu. Setelah masuk ke dalam tubuh pejamu, HIV menyerang sel darah putih (limfosit Th) yang merupakan sumber kekebalan tubuh untuk menangkal berbagai penyakit infeksi. Dengan memasuki limfosit Th, virus memaksa limfosit Th untuk memperbanyak dirinya, sehingga akhirnya menyebabkan kematian limfosit Th, kematian limfosit Th itu membuat daya tahan tubuh berkurang, sehingga mudah terserang infeksi dari luar (baik virus lain, bakteri, jamur, atau parasit) sehingga hal itu menyebabkan kematian pada orang dengan HIV/AIDS. Selain menyerang limfosit Th, virus HIV juga memasuki sel tubuh yang lain, organ yang sering terkena adalah otak dan susunan saraf lainnya. Virus HIV diliputi oleh selubung protein pembungkus yang sifatnya toksik (racun) terhadap sel, khususnya sel otak serta susunan saraf pusat dan tepi lainnya, sehingga terjadilah kematian sel otak (Hidayat, 2008).

2.1.3. Manifestasi Klinis

Gejala – gejala (symptom) secara klinis pada seseorang penderita AIDS adalah diidentifikasi sulit karena symptomasi yang ditujukan pada umumnya adalah bermula dari gejala – gejala umum yang lazim didapati seperti rasa lelah dan lesu, berat badan menurun secara drastis, demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam, kurang nafsu makan, bercak-

bercak putih di lidah dan di dalam mulut, pembengkakan leher, radang paru – paru, kanker kulit. Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 3 hal antara lain tumor, infeksi oportunistik, dan manifestasi neurologi.

2.1.4. Diagnosis Klinis dan Pemeriksaan Laboraturium

Diagnosis adanya infeksi dengan HIV dapat ditegakkan dilaboraturium dengan ditemukannya antibodi yang khusus terhadap virus tersebut. Pemeriksaan untuk menemukan adanya antibodi tersebut menggunakan metode ELISA (Enzym Linked Imunosorbent Assay). Bila hasil tes ELISA positif maka dilakukan pengulangan. Jika masih tetap positif maka selanjutnya dikonfirmasi dengan test yang lebih spesifik yaitu metode Western Blott.

2.2. HIV PADA KEHAMILAN 2.2.1. DEFINISI KEHAMILAN

Kehamilan adalah suatu keadaan dimana janin dikandung di dalam tubuh wanita, yang sebelumnya diawali dengan proses pembuahan dan kemudian akan diakhiri dengan proses persalinan. Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis, akan tetapi pentingnya diagnosis kehamilan tidak dapat diabaikan (Cunningham, 2005)

2.2.2. Cara Penularan HIV pada kehamilan

Banyak penelitian membuktikan bahwa penularan HIV terjadi pada masa intrauterine dan masa intrapartum (Setiawan, 2009). Distribusi

penularan dari ibu ke bayi diperkirakan sebagian terjadi beberapa hari sebelum persalinan, dan pada saat plasenta mulai terpisah dari dinding uterus pada waktu melahirkan. Penularan diperkirakan terjadi karena bayi terpapar oleh darah dan sekresi saluran genital ibu. Suatu penelitian memberikan proporsi kemungkinan penularan HIV dari ibu ke anaknya saat dalam kandungan sebesar 23 – 30%, ketika proses persalinan 50 – 65% dan saat menyusui 12 – 20%. Di negara maju, transmisi HIV dari ibu ke fetus sebesar 15 – 25% sementara di negara berkembang sebesar 25 – 35%. Tingginya angka transmisi ini berkaitan dengan tingginya kadar virus dalam plasma ibu (Setiawan, 2009).

2.2.3. Penatalaksanaan HIV pada Kehamilan

Untuk mengurangi resiko penularan dari ibu ke bayi maka penanganan pencegahan infeksi bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV sebaiknya dimulai sejak saat bayi di dalam kandungan. Ibu yang sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil, perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui jumlah virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+, dan genotype virus. Juga perlu diketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat anti retrovirus (ARV) atau belum. Data tersebut kemudian dapat digunakan sebagai bahan informasi kepada ibu tentang resiko penularan terhadap pasangan seks, bayi, serta cara pencegahannya (Setiawan, 2009). 2.2.4. PencegahanHIV

Upaya pencegahan HIV/AIDS hanya dapat efektif bila dilaksanakan dengan komitmen seluruh lapisan masyarakat dan komitmen

politik yang tinggi untuk mencegah dan atau mengurangi perilaku risiko tinggi terhadap penuluran HIV. Adapun upaya pencegahan meliputi :

1. Abstinence – Tidak berhubungan seks (selibat) 2. Be Faithful – Selalu setia pada pasangan

3.Condom – Gunakan kondom disetiap hubungan seks berisiko 4. Drugs – Jauhi narkoba

2.3. VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (VCT) 2.3.1. Definisi Konseling dalam VCT

Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS (Depkes, 2008).

Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai VCT (Voluntary Conseling and Testing) adalah proses konseling pra testing, konseling post testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat rahasia dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status HIV yang penting untuk pencegahan dan perawatannya (Anastasya, 2010). Menurut haruddin dkk (2007), VCT juga merupakan salah satu model untuk memberikan informasi secara menyeluruh dan dukungan untuk mengubah perilaku berisiko serta mencegah penularan HIV/AIDS. Kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan

perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS (Depkes, 2006).

Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis contohnya meyakinkan bahwa terjamin kerahasiaanya, informasi dan pengetahuan HIV dan AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV dan AIDS.

1. Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik, dan ART.

2. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV/AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku beresiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.

3. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan, segera setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi, dan risiko.

Di dalam VCT ada dua kegiatan utama yakni konseling dan tes HIV. Konseling dilakukan oleh seorang konselor khusus yang telah dilatih untuk memberikan konseling VCT. Tidak semua konselor bisa dan oleh memberikan konseling VCT. Oleh karena itu, seorang konselor VCT adalah orang yang telah mendapat pelatihan khusus dengan standar pelatihan nasional. Konseling dalam rangka VCT utamanya dilakukan sebelum dan sesudah tes HIV.

Konseling setelah tes HIV dapat dibedakan menjadi dua yakni konseling untuk hasil tes positif dan konseling untuk hasil tes negatif. Namum demikian sebenarnya masih banyak jenis konseling lain yang sebenarnya perlu diberikan kepada pasien berkaitan dengan hasil VCT yang positif seperti konseling pencegahan, konseling kepatuhan berobat, konseling keluarga, konseling berkelanjutan, konseling menghadapi kematian, dan konseling untuk masalah psikiatris yang menyertai klien/keluarga dengan HIV dan AIDS.

2.3.2. Tujuan Voluntary Counseling and Testing (VCT)

a. Mendorong orang sehat, tanpa keluhan / asimtomatik untuk mengetahui tentang HIV, sehingga mereka dapat mengurangi kemungkinan tertular HIV.

b. Merupakan sebuah strategi kesehatan masyarakat yang efektif, karena mereka dapat mengetahui status HIV mereka, sehingga tidak melalukan hal-hal yang dapat ikut menyebarkan virus HIV bila mereka masih berisiko sebagai penyebar HIV.

c. Mendorong seseorang yang sudah ODHA ( Orang Dengan HIV/AIDS) untuk mengubah pendirian yang sangat merugikan seperti: ODHA merupakan penyakit keturunan atau penyakit kutukan, atau HIV/AIDS merupakan vonis kematian.

d. Memberi informasi tentang HIV/AIDS, tes, pencegahan dan pengobatan ODHA.

e. Mengenali perilaku atau kegiatan yang menjadi sarana yang memudahkan penularan HIV.

f. Memberikan dukungan moril untuk mengubah prilaku ke arah yang lebih sehat dan aman dari infeksi HIV.

Tujuan dari VCT ini merupakan suatu langkah awal yang penting menuju program pelayanan HIV/AIDS lainnya yaitu pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak, pencegahan dan manajemen klinis penyakit – penyakit yang berhubungan dengan HIV, pengendalian penyakit TBC (tuberculosis) serta dukungan psikologis dan hukum (Anastasya, 2010).

2.3.3. Peran Voluntary Counselling and Testing (VCT)

a. Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat klien mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan

HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik, dan ART.

b. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih,menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV dan AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.

c. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan, segera setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi, dan risiko.

Konseling dan tes HIV sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV dan AIDS berkelanjutan. Program VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk pencegahan primer melalui konseling dan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) seperti pemahaman HIV, pencegahan penularan dari ibu ke anak (Prevention of Mother To Child Transmission – PMTCT) dan akses terapi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis (TBC) dan infeksi menular seksual.

VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV dan AIDS, mempelajari status dirinya, mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penularan infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.

VCT merupakan kegiatan konseling bersifat sukarela dan kerahasiaan, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah untuk HIV di laboratoruim. Test HIV dilakukan setelah klien terlebih dahulu memahami dan menandatangani informed consent yaitu surat persetujuan setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar. VCT merupakan hal penting karena :

1. Merupakan pintu masuk ke seluruh layanan HIV dan AIDS

2. Menawarkan keuntungan, baik bagi yang hasil tesnya positif maupun negatif, dengan fokus pada pemberian dukungan atas kebutuhan klien seperti perubahan perilaku, dukungan mental, dukungan terapi ARV, pemahaman faktual dan terkini atas HIV dan AIDS.

3. Mengurangi stigma masyarakat.

4. Merupakan pendekatan menyeluruh: kesehatan fisik dan mental. 5. Memudahkan akses ke berbagai pelayanan yang dibutuhkan klien

Meskipun VCT adalah sukarela namun utamanya diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah terinfeksi HIV atau AIDS, dan keluarganya, atau semua orang yang mencari pertolongan karena merasa telah melakukan, tindakan berisiko di masa lalu dan merencanakan perubahan di masa depannya, dan mereka yang tidak mencari pertolongan namun berisiko tinggi.

2.3.4. Prinsip Pelayanan VCT

Menurut pedoman VCT yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2008, prinsip pelayanan konseling VCT adalah :

1. Sukarela Dalam Melaksanakan Testing HIV

Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan, dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukannya testing terletak ditangan klien, kecuali testing HIV pada darah donor di unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ tubuh dan sel. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual,penasun, rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia, dan asuransi kesehatan.

2. Saling Mempercayai Dan Terjamin Konfidensialitas

Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaanya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks kunjungan klien. Semua

informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien, informasi kasus dari klien dapat diketahui.

3. Mempertahankan Hubungan Relasi Konselor-Klien Yang Efektif Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku beresiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.

4. Testing Merupakan Salah Satu Komponen Dari VCT

WHO dan Departeman Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yang disetujui oleh klien (Depkes, 2008).

Begitu pula yang diutarakan dalam artikel internet dari situs perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam pelayanan VCT, yakni VCT harus dilakukan dengan :

a. Sukarela, tanpa paksaan

b. Kerahasiaan terjamin : proses dan hasil tes rahasia dalam arti hanya diketahui dokter/konselor dan klien

d. VCT tidak boleh dilakukan tanpa adanya konseling atau dilakukan secara diam – diam

e. Harus ada persetujuan dari pasien dalam bentuk penandatanga a Le bar Persetujua informed consent)

Sasaran Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT) bukan hanya pasien penderita HIV/AIDS saja, tetapi semua masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri tentang HIV agar dapat mencegah dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan kepada orang lain. Masyarakat yang datang ke pelayanan VCT disebut dengan klien. Di klinik VCT, klien dapat bersama dengan konselor mendiskusikan hal – hal yang terkait dengan informasi akurat dan lengkap tentang HIV/AIDS, perilaku beresiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negatif atau positif.

2.3.5. Struktur Organisasi

Struktur organisasi pelayanan VCT menurut pedoman pelayanan VCT Depkes RI tahun 2008 terdiri dari :

1. Kepala Klinik VCT

Kepala klinik VCT adalah seorang yang memiliki keahlian manajerial dan program terkait dengan pengembangan layanan VCT dan penanganan program perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS. Kepala klinik VCT bertanggung jawab terhadap Direktur Utama atau Direktur Pelayanan. Kepala klinik VCT mengelola seluruh pelaksanaan kegiatan didalam/diluar unit, serta bertanggung jawab

terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan institusi pelayanan lain yang berkaitan dengan HIV.

2. Sekretaris / Administrasi

Petugas administrasi atau sekretaris adalah seorang yang memiliki keahlian di bidang administrasi dan berlatarbelakang minimal setingkat SLTA.

3. Koordinasi Pelayanan Medis

Koordinator pelayanan medis adalah seorang dokter yang bertanggung jawab secara teknis medis dalam penyelenggaraan layanan VCT. Koordinator pelayanan medis bertanggungjawab langsung kepada kepala klinik VCT.

4. Koordinator Pelayanan Non Medis

Koordinator pelayanan non medis adalah seorang yang mampu mengembangkan program perawatan, dukungan dan pengobatan HIV/AIDS terkait psikologis, sosial, dan hukum. Koordinator pelayan non medis minimal sarjana kesehatan/non kesehatan yang berlatarbelakang pendidikan sarjana psikologis atau sarjana ilmu sosial yang sudah terlatih VCT. Secara administrasi bertanggung jawab terhadap kepala unit VCT.

5. Konselor

Konselor VCT yang berasal dari tenaga kesehatan atau non kesehatan yang telah mengikuti pelatihan VCT. Tenaga konselor VCT minimal dua orang dan tingkat pendidikan konselor VCT adalah SLTA. Seorang konselor sebaiknya menangani untuk 5 – 8 orang

klien perhari terbagi antara klien konseling pra testing dan klien konseling pasca testing.

Beberapa hal yang harus diperhatikan seorang konselor :

a. Jika konselor VCT bukan seorang dokter tidak diperbolehkan melakukan tindakan medik.

b. Tidak melakukan tugas sebagai pengambil darah klien. c. Tidak memaksa klien untuk melakukan testing HIV

d. Jika konselor VCT berhalangan melaksanakan Pasca konseling dapat dilimpahkan ke konselor VCT lain dengan persetujuan klien.

Kualifikasi dasar seorang konselor VCT adalah :

a. Berlatar belakang kesehatan atau non kesehatan yang mengerti tentang HIV/AIDS secara menyeluruh, yaitu yang berkaitan dengan gangguan kesehatan fisik dan mental.

b. Telah mengikuti pelatihan sesuai dengan standar modul pelatihan konseling dan testing sukarela HIV yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2000.

6. Petugas Penanganan Kasus

Petugas penanganan kasus yang berasal dari tenaga on kesehatan yang telah mengikuti pelatihan managemen kasus. minimal pendidikan tenaga petugas penanganan kasus adalah SLTA. Seorang petugas penanganan kasus menangani 20 orang klien dalam satu kali periode penanganan.

Petugas laboraturium minimal seorang petugas pengambil darah yang berlatarbelakang perawat. Petugas laboraturium atu teknisi telah mengikuti pelatihan tentang teknik memproses testing HIV dengan cara ELISA, testing cepat, dan mengikuti algoritma testing yang diadopsi dari WHO.

2.3.6. Model Pelayanan VCT

Pelayanan VCT dapat dikembangkan diberbagai layanan terkait yang dibutuhkan, misalnya klinik IMS, klinik TB, ART, dan sebagainya. Lokasi layanan VCT hendaknya perl petunjuk atau tanda yang jelas hingga mudah diakses dan mudah diketahui oleh klien VCT. Nama klinik cukup mudah dan dimengerti sesuai dengan etika dan budaya setempat dimana pemberian nama tidak mengundang stigma dan diskriminasi.

Layanan VCT dapat diimplementasikan dalam berbagai setting, dan sangat bergantung pada kondisi dan situasi daerah setempat, kebutuhan masyarakat dan profil klien, seperti individual atau pasangan, perempuan atau laki – laki, dewasa atau anak muda.

Model layanan VCT terdiri dari : 1. Mobile VCT (Penjangkaun Dan Keliling)

Layanan konseling dan testing HIV/AIDS sukarela model penjangkaun dan keliling (mobile VCT) dapat dilaksanakan oleh LSM atau layanan kesehatan yang langsung mengunjungi sasaran kelompok masyarakat yang memiliki perilaku berisiko atau berisiko tertular HIV/AIDS di wilayah tertentu. Layanan ini diawali dengan survey atau

penelitian atas kelompok masyarakat di wilayah tersebut dan survey tentang layanan kesehatan dan layanan dukungan lainnya di daerah setempat.

2. Statis VCT (Klinik VCT Tetap)

Pusat konseling dan testing HIV/AIDS Sukarela teintegrasi dalam sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, artinya bertempat dan menjadi bagian dari layanan kesehatan yang telah ada. Sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya harus memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan konseling dan testing HIV/AIDS, layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan terkait dengan HIV/AIDS.

2.3.7. Sasaran Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT)

Masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri akan status HIV agar dapat mencegah dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan kepada orang lain. Masyarakat yang datang ke pelayanan VCT disebut dengan klien. Sebuatan klien dan bukan pasien merupakan salah satu pemberdayaan dimana klien akan berperan aktif didalam proses konseling. Tanggung jawab klien dalam konseling adalah bersama mendiskusikan hal – hal yang terkait dengan informasi akurat dan lengkap tentang HIV/AIDS. Perilaku berisiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negatif atau positif (Depkes, 2006).

2.3.8. Ketersediaan Sarana Dan Prasarana 2.3.8.1. Klinik Konseling VCT

Keterbatasan sarana dan prasarana akan sangat berpengaruh dalam proses konseling dan testing HIV secara sukarela. VCT adalah pelayanan yang mengutamakan kenyamanan dan kerahasiaan orang yang melakukan VCT oleh karena itu sarana yang tersedia harus betul – betul dapat menjamin kerahasiaan dan kenyamanan. Menurut Kepmenkes RI Nomor:1507/Menkes/SK/X/2005 bahwa sarana dan prasarana yang harus tersedia di layanan VCT adalah :

1. Papan nama / petunjuk

Papan petunjuk lokasi dipasang secara jelas sehingga memudahkan akses klien ke klinik VCT, demikian juga di depan ruang klinik VCT dipasang papan bertuliskan pelayanan VCT. 2. Jam Kerja Layanan

Jam kerja layanan konseling dan testing terintegrasi dalam jam kerja institusi pelayanan kesehatan setempat. Dibutuhkan jumlah konselor yang cukup agar layanan dapat dilakukan sehingga klien tidak harus menunggu terlalu lama. Layanan konseling penjangkauan dilakukan atas kesanggupan jam kerja para penjangkauan dan ketersediaan waktu klien. Sebaiknya tersedia jam kerja pada pagi hari maupun sore hari sehingga mempermudah akses klien yang bekerja maupun bersekolah. Di fasilitas kesehatan dengan keterbatasan sumber daya, maka konseling dan testing tidak dapat dilakukan setiap hari kerja. Oleh karena itu, jam kerja VCT disesuaikan dengan

jam kerja pelayanan kesehatan lain yang terkait konseling dan testing seperti KIA, TB, IMS, dan PENASUN.

3. Ruang Tunggu

Ruang tunggu layanan konseling seharusnya dilengkapi

Dokumen terkait