FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN NIAT IBU HAMIL UNTUK MEMANFAATKAN LAYANAN VCT (VOLUNTARY
COUNSELING AND TESTING) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CIPUTAT TAHUN KOTA TANGERANG SELATAN PROVINSI BANTEN
TAHUN 2014
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh :
AYU WULAN SARI NIM : 1110101000045
PEMINATAN PROMOSI KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juni 2014
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, Juli 2014
Ayu Wulansari, NIM : 1110101000045
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN NIAT IBU
HAMIL UNTUK MEMANFAATKAN LAYANAN VCT (Voluntary
Counseling and Testing) Di WILAYAH KERJA PUSKESMAS CIPUTAT, KOTA TANGERANG SELATAN PROVINSI BANTEN TAHUN 2014 xvii + 155 halaman, 20 tabel, 3 bagan, 4 lampiran
ABSTRAK
Saat ini di Indonesia terjadi peningkatan prevalensi HIV/AIDS pada ibu rumah tangga, disusul dengan tingginya prevalensi HIV pada anak. HIV/AIDS telah mengurangi harapan hidup selama lebih dari 20 tahun yang menyebabkan terhambatnya perkembangan ekonomi dan memperburuk kemiskinan rumah tangga. Selain itu, HIV/AIDS menyebabkan kehilangan produktivitas yang lebih besar dibandingkan penyakit lainnya, dan mendorong 6 juta keluarga lagi ke jurang kemiskinan . Oleh karena itu, dilakukannya upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak melalui program Voluntary Counseling and Testing khususnya pada kelompok ibu hamil.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Tahun 2014. Penelitian ini menggunakan desain studi crosssectional dengan sampel penelitiannya adalah 76 ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Ciputat yang dipilih secara acak dengan metode cluster random sampling. Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah umur, status pekerjaan, tingkat pendidikan, pengetahuan tentang VCT, sikap, norma subyektif, dan persepsi kontrol perilaku yang dihubungkan dengan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT. Variabel tersebut diukur dengan menggunakan kuesioner yang diolah sampai bivariat dengan menggunakan uji chi-square.
Hasil penelitian menujukkan 50% ibu hamil memiliki niat untuk memanfaatkan layanan VCT dan berdasarkan uji bivariat ditemukan bahwa variabel pengetahuan, sikap, norma subyektif dan persepsi kontrol perilaku berhubungan secara signifikan dengan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT.
Dengan demikian disarankan kepada Puskesmas Ciputat untuk mengoptimalkan sosialisasi kesehatan melalui kerjasama dengan instansi kesehatan swasta, kader, dan kelurahan dengan melakukan penyuluhan mengenai layanan VCT, untuk meningkatkan niat ibu hamil dalam memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat.
ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM Undergraduate, July 2014
Ayu Wulan Sari, NIM: 1110101000045
FACTORS RELATED WITH MATERNAL INTENTION TO UTILIZE THE SERVICES OF VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING IN THE REGION OF CIPUTAT HEALTH CENTER, SOUTH TANGERANG IN 2014
xvii + 155 pages, 20 tables, 4 figures, 4 attachments ABSTRACT
Nowadays in Indonesia, there is an increase in the prevalence of HIV/AIDS among housewife, followed by the high prevalence of HIV in children. HIV/AIDS has reduced life expectancy for over than 20 years that cause hampered the economic development and aggravate of households. Other than that, the HIV/AIDS cause loss of productivity larger than any other disease, and 6 million families pushed back into poverty again. Therefore, made efforts prevention of HIV transmission from mother to children through a program of voluntary counseling and testing, especially on the group of pregnant woman.
This research aims to determine the factor of related to maternal intention to utilize VCT service in the region of Ciputat Health Center in 2014. This research used a cross-sectional study design with sample of this research was 76 pregnant women in the region of Ciputat Health Center randomly selected by the method of cluster random sampling. Variables examined in this study were age, employment status, education level, knowledge of VCT, attitude, subjective norm, and perception of behavioral control were related with maternal intention to utilize VCT services. These variables were measured using a questionnaire that processed by bivariate test using chi-square test.
The results showed 50% of pregnant women have the intention to utilize VCT services and based on bivariate tests found that variables of knowledge, attitude, subjective norm, and perception of behavioral control were significantly related with maternal intention to utilize VCT services.
Thereby it is suggested to Ciputat Health Center to optimize health socialization through cooperation with private health instance, cadres, and village chief to conduct information about VCT service, to increase maternal intention to utilize VCT service in the region of Ciputat Health Center.
PENYATAAN PERSETUJUAN
JUDUL SKRIPSI
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN NIAT IBU
HAMIL UNTUK MEMANFAATKAN LAYANAN VCT (Voluntary
Counseling and Testing) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS CIPUTAT
KOTA TANGERANG SELATAN PROVINSI BANTEN TAHUN 2014
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Ciputat, 11 Juli 2014
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Ciputat, 11 Juli 2014
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ayu Wulan Sari
Tempat, tanggal lahir
: Palembang, 27 Juli 1991
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Sedap Malam No. 80 Kelurahan Pisangan Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan 15419
Agama : Islam
Status Pernikahan : Lajang
Nomor Handphone : +62 85269051331 atau +6289624632662
Email : ayu.wulansari80@yahoo.com
RIWAYAT PENDIDIKAN
2010-Sekarang S1-Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2006-2009 Madrasah Aliyah Negeri 3 Palembang
2003-2006 SMP Negeri 52 Palembang
LEMBAR PERSEMBAHAN
Kebahagiaan yang selalu kalian berikan Kasih sayang yang berlimpah setiap harinya Doa terbaik yang selalu kalian panjatkan
Jika itu motivasi yang kalian berikan untukku
Dengan skripsi ini caraku membalas semuanya. Tiada kata yang pernah bisa kusampaikan pada
kalian,
namun selalu kan ku kenang kasih sayang yang tak pernah berujung itu………….
I dedicate this work to
“My belove parents, My Family, and My Honey”
Whose untiring care and endles love have constantly
surrounded me and been a powerfull source of inspiration of which this is a partial reflection.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji serta syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada penulis sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang bejudul Faktor–Faktor Yang Berhubungan Dengan Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan Layanan VCT
(Voluntary Counseling And Testing Hiv) Di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten Tahun 2014.
Adapun skripsi ini penulis buat untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. DR. (HC) dr. MK Tadjudin, Sp. And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Raihana Nadra Alkaff, M.MA selaku penanggung jawab peminatan promosi kesehatan serta dosen pembimbing skripsi yang telah banyak membantu penulis dari awal sampai akhir penulisan skripsi ini.
3. Ibu Ratri Ciptaningtyas, S.sn. Kes selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak membantu penulis dari awal sampai akhir penulisan skripsi ini.
5. Bapak/Ibu dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat dan semoga dapat diaplikasikan dalam kehidupan penulis.
6. Dr. Derly, Bidan Popy, Bidan Rahma dan segenap staff, serta ibu kader Puskesmas Ciputat terima kasih telah mau berbagi ilmu dan pengalaman selama berinteraksi ketika penulis melakukan pengumpulan data.
7. Keluarga tercinta, khususnya buat mama dan papa serta kakak dan adik tersayang yang selalu memberikan motivasi dan do‟a dari awal kuliah sampai penyusunan skripsi ini.
8. Andy Agusta Triwardana terima kasih untuk motivasinya, bantuannya dan do‟anya dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
9. Sahabat seperjuangan Santri Jadi Dokter 2010 (Bayu, Zata, Harun, Rosi, Rusti, Ana, Rendy), Sahabat-sahabatku di Prodi Kesehatan Masyarakat angkatan 2010 (Fitria, Fitri), Sahabat terbaikku Promkes 2010 terima kasih atas kebersamaan yang telah kita lalui dua tahun ini semoga kebersamaan ini selalu terjaga.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih kurang dari sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Ciputat, Juli 2014
DAFTAR ISI 1.6. Ruang Lingkup Penelitian………..…...
2.1.4. Diagnosis Klinis dan Pemeriksaan Laboraturium………
2.2. HIV Pada Kehamilan………
2.2.1. Definisi Kehamilan………
2.4.2. Sikap………...
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN………….
3.1. Kerangka Konsep………...
3.2. Definisi Operasional………... 3.3. Hipotesis Penelitian……….. BAB IV METODELOGI PENELITIAN………
4.1. Desain Penelitian………..
4.2. Lokasi Penelitian………... 4.3. Populasi dan Sampel Penelitian………... 4.3.1. Populasi Penelitian……… 4.3.2. Sampel Penelitian………... 4.3.2.1. Jumlah Sampel………...
4.4. Metode Pengumpulan Data……….
4.5. Pengumpulan Data………..
4.6. Instrumen Penelitian………
4.5.1. Uji Validitas dan Reabilitas………... 4.6. Pengolahan Data dan Analisis Data………..
4.6.1. Analisis Data……….. BAB V HASIL PENELITIAN……… 5.1. Univariat………... 5.1.1. Umur Ibu Hami Untuk Memanfaatkan Layanan VCT……….. 5.1.2. Pendidikan Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan Layanan VCT………… 5.1.3. Status Pekerjaan Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan Layanan VCT…… 5.1.4. Pengetahuan Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan Layanan VCT……... 5.1.5. Sikap Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan Layanan VCT………. 5.1.6. Norma Subyektif Ibu hamil Untuk Memanfaatkan Layanan VCT…... 5.1.7. Persepsi Kontrol Diri Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan Layanan VCT 5.1.8. Niat Ibu Hamil Untuk Memanfaatkan Layanan VCT………... 5.2. Bivariat………... 5.2.1. Hubungan Umur dengan Niat……… 5.2.2. Hubungan Pendidikan dengan Niat……….. 5.2.3. Hubungan Status Pekerjaan dengan Niat……….. 5.2.4. Hubungan Pengetahuan dengan Niat……….……… 5.2.5. Hubungan Sikap dengan Niat……… 5.2.6. Hubungan Norma Subyektif dengan Niat………. 5.2.7. Hubungan Persepsi Kontrol Diri dengan Niat……….. BAB VI PEMBAHASAN………... 6.1. Keterbatasan Penelitian……… 6.2. Hasil Penelitian...……….…….
6.2.1. Gambaran Umur Responden……….……. 6.2.2. Gambaran Pendidikan Responden………
6.2.3. Gambaran Status Pekerjaan Responden……… 6.2.4. Gambaran Pengetahuan Responden………..…… 6.2.5. Gambaran Sikap Responden………. 6.2.6. Gambaran Norma Subyektif Responden………... 6.2.7. Gambaran Persepsi Kontrol Diri Responden……… 6.2.8. Gambaran Niat Responden……… 6.3. Hubungan Antara Faktor Penyebab Dengan Niat………
DAFTAR TABEL Frekuensi Status Pekerjaan Ibu Hamil
Frekuensi Pengetahuan Ibu Hamil Frekuensi Sikap Ibu Hamil Frekuensi Norma Subyektif Ibu Hamil Frekuensi Persepsi Control Diri Ibu Hamil
Frekuens Niat Ibu Hamil
Hubungan Umur Dengan Niat Ibu Hamil Hubungan Pendidikan Dengan Niat Ibu Hamil Hubungan Status Pekerjaan Dengan Niat Ibu Hamil
Hubungan Pengetahuan Dengan Niat Ibu Hamil Hubungan Sikap Dengan Niat Ibu Hamil Hubungan Norma Subyektif Dengan Niat Ibu Hamil Hubungan Persepsi Control Diri Dengan Niat Ibu Hamil
DAFTAR BAGAN
Nomor Judul Halaman
DAFTAR SINGKATAN
AIDS : Aqciured Immunodeficiency syndrome ANC : Antenatal Care
ARV : Anti Retrovirus
ELISA : Enzyme Linked Imunosorbent Assay HIV : Human Immunodeficiency Virus IMS : Infeksi Menular Seksual
KIE : Komunikasi Informasi Edukasi ODHA : Orang Dengan Hiv/Aids
PMTCT : Prevention Of Mother To Child Transmition TB : Tuberculosis
TPB : Theory Planned Behavior TRA : Theory Reaction Action UNAIDS : United Nations
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kuisioner Penelitian 2. Ouput Penelitian
3. Izin Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi penyebab kematian peringkat atas dengan angka kematian (mortalitas) dan angka kejadian penyakit (morbiditas) yang tinggi serta membutuhkan diagnosis dan terapi yang cukup lama (WHO, 2006). HIV merupakan virus yang menyerang sel darah putih (limfosit) di dalam tubuh yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan Aqciured Immunodeficiency Syndrome (AIDS).
Sejak dilaporkan pertama kali pada tahun 1981 di Amerika Serikat, penyebaran HIV/AIDS di seluruh dunia termasuk Indonesia berkembang sangat pesat. Kasus ini telah mengakibatkan kematian 25 juta orang serta menginfeksi lebih dari 40 juta orang lainnya. Berdasarkan laporan global, pada tahun 2012 jumlah penderita HIV mencapai 35,3 juta orang (Global Report UNAIDS, 2013).
Penyakit dan Lingkungan Kemenkes, di Tangerang Selatan jumlah kasus HIV/AIDS terdata 99 kasus (Kemenkes, 2013).
Di Indonesia persentase kumulatif HIV paling banyak ditemukan kasus pada kelompok umur 25-49 tahun (73,4%). Dan pada kasus AIDS yang paling banyak terdeteksi yaitu pada kelompok umur 30-39 tahun (39,5%). Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa kelompok umur yang paling berisiko terhadap penularan HIV dan kejadian AIDS adalah kelompok umur produktif yaitu rentan umur 20-39 tahun (Kemenkes, 2013). Saat ini ibu rumah tangga merupakan salah satu kelompok yang sangat rentan HIV/AIDS. Secara global, di dunia setiap harinya sekitar 2000 anak usia 15 tahun ke bawah terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke bayinya. Sementara itu, sekitar 1.400 anak – anak usia 15 tahun meninggal akibat AIDS (WHO, 2011).
Dari data tersebut terlihat bahwa Indonesia telah memasuki populasi umum dimana masyarakat umum mulai terjangkit. Hal ini terlihat dari peningkatan kasus HIV/AIDS di Indonesia tidak hanya terjadi pada kelompok beresiko tinggi, namun kini kasus HIV/AIDS meningkat setiap tahunnya pada kelompok populasi rendah seperti ibu rumah tangga (Dame, 2011). Tingginya jumlah kasus HIV/AIDS berdampak terhadap populasi umum, seperti ibu hamil sehingga meningkatkan resiko penularan HIV dari Ibu ke bayi.
Kementrian Kesehatan RI memperkirakan jika di Indonesia setiap tahunnya terdapat 9.000 ibu hamil positif HIV yang melahirkan bayi, berarti akan lahir sekitar 3.000 bayi dengan HIV positif tiap tahun (Kemenkes, 2013). HIV/AIDS telah mengurangi harapan hidup selama lebih dari 20 tahun yang menyebabkan terhambatnya perkembangan ekonomi dan memperburuk kemiskinan rumah tangga. Selain itu, HIV/AIDS menyebabkan kehilangan produktivitas yang lebih besar dibandingkan penyakit lainnya, dan mendorong 6 juta keluarga lagi ke jurang kemiskinan sampai tahun 2015 (Komisi AIDS di Asia, 2008).
Resiko penularan HIV dari ibu ke bayi berkisar 24 – 25%. Namun, resiko ini dapat diturunkan menjadi 1-2% dengan tindakan intervensi bagi ibu hamil HIV positif, yaitu melalui layanan konseling dan tes HIV sukarela, pemberian obat antiretroviral, persalinan sectio caesaria, serta pemberian susu formula untuk bayi (Depkes, 2008). Oleh karena itu, untuk meminimalisir resiko penularan HIV, WHO mengembangkan program penanggulangan HIV/AIDS berupa Guideline on HIV infection and AIDS in Prison Geneva dan juga HIV testing and Counseling in
telah mengembangkan upaya pencegahan HIV melalui pelayanan Voluntary Counselling and testing atau yang dikenal dengan singkatan VCT (WHO, 2007).
Berdasarkan kebijakan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS pasal 17 disebutkan bahwa semua ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilannya diharuskan mengikuti pemeriksaan diagnostis HIV dengan tes dan konseling (VCT) sebagai upaya pencegahan dan penularah HIV dari ibu ke anak yang di kandungnya (Kemenkes, 2013).
Konseling dan tes sukarela atau Voluntary Counseling and Testing (VCT) merupakan pintu masuk (entry point) untuk membantu masyarakat mendapatkan akses ke semua pelayanan, baik informasi, edukasi, terapi dan dukungan psikososial (Depkes, 2008). Dengan terbukanya akses, maka kebutuhan akan informasi yang tepat dan akurat akan tercapai, sehingga proses berpikir dan perilaku dapat diarahkan menjadi lebih sehat. Pelayanan VCT dapat digunakan untuk mengubah perilaku berisiko, memberikan informasi yang benar tentang pencegahan dan penularan HIV, seperti penggunaan kondom, tidak berbagi alat suntik, pengetahuan tentang IMS (infeksi menular seksual) dan lain-lain (Kemenkes, 2006).
ke klinik VCT. Akan tetapi, hal ini tidak sebanding dengan estimasi populasi berisiko HIV/AIDS tahun 2012 di Provinsi Banten yaitu, 20.000 orang (Kemenkes, 2012).
Kota Tangerang Selatan, terdapat dua instansi pemerintah yang menyediakan layanan VCT yaitu Puskesmas Jombang dan Puskesmas Ciputat. Berdasarkan laporan tahunan Kementerian Kesehatan tahun 2013, dari 98 orang yang memanfaatkan layanan VCT, dinyatakan 17 orang yang terdeteksi HIV positif yang berasal dari populasi beresiko di Puskesmas Ciputat. Dari uraian data tersebut terlihat bahwa Puskesmas Ciputat termasuk satu – satunya Puskesmas di Tangerang Selatan yang aktif menjaring infeksi HIV melalui layanan VCT.
Namun, hasil wawancara peneliti dengan bidan di Puskesmas Ciputat, selama ini pemeriksaan VCT masih didominasi oleh kelompok populasi kunci, terdiri dari wanita pekerja seks (WPS) yang sebelumnya telah melakukan terapi metadon. Artinya, pelayanan tes VCT hanya dilakukan oleh sejumlah kecil kelompok, belum secara umum dimanfaatkan oleh masyarakat luas sekitar Ciputat. Layanan VCT di Puskesmas Ciputat sudah beroperasi dari tahun 2010, namun terdapat hambatan dalam peningkatan layanan VCT. Hambatan tersebut berupa rendahnya jumlah kunjungan masyarakat umum yang memanfaatkan layanan VCT.
belum diterima oleh masyarakat setempat, khususnya ibu rumah tangga. Faktor tersebut dilatarbelakangi oleh minimnya sosialisasi dari petugas kesehatan tentang keberadaan layanan VCT dikarenakan keterbatasan SDM di Puskesmas Ciputat.
Dari hasil penelitian terdahulu yang dilakukan Ermarini (2013) terlihat bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam pemanfaatan layanan VCT yaitu keyakinan seseorang dengan pemanfaatan layanan VCT, motivasi atau dukungan dari LSM dan petugas kesehatan serta akses ke layanan VCT. Berdasarkan hasil analisis multivariat terdapat dua variabel yang paling berhubungan dengan pemanfaatan layanan VCT yaitu usia dan pengetahuan terkait VCT, yaitu tentang manfaat VCT dan tahapan dalam layanan VCT.
Menurut Kementerian Kesehatan, di tahun 2010 sebanyak 6 persen penduduk usia di atas 15 tahun yang mengetahui tentang layanan VCT. Kelompok dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi memiliki informasi yang lebih baik tentang pelayanan VCT maupun penanggulangan HIV dibandingkan dengan kelompok ekonomi rendah.
Hal di atas didukung oleh penelitian yang dilakukan Abebe (2006), melaporkan bahwa responden yang memiliki persepsi kerentanan yang tinggi menyatakan niatnya untuk melakukan VCT dari pada mereka yang memiliki persepsi kerentanan yang rendah (48,9%). Terlihat dari jumlah responden dengan persepsi yang tinggi terhadap keparahan HIV/AIDS menyatakan niatnya untuk VCT sebanyak (52,6%) orang.
terhadap pengujian, mobilisasi masyarakat, dan peningkatan kualitas dan kuantitas VCT. Dari penelitian Nguyen (2007) dalam Wati (2013) beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang memanfaatkan layanan VCT yaitu informasi mengenai keberadaan layanan VCT. Oleh karena itu, hasil penelitian ini menekankan pentingnya peran pembangunan jaringan dengan rumah sakit, lembaga swadya masyarakat, serta masyarakat perkotaan dan pedesaan dalam menyebarluaskan informasi terkait VCT.
Dari hasil studi pendahuluan bahwa pemanfaatan layanan VCT oleh kelompok ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat rendah < 26,7%. Hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan rendah ibu hamil terkait manfaat layanan VCT sebanyak 66,7%. Dari uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan faktor – faktor yang berhubungan dengan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT di Puskesmas Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2014.
1.2. Rumusan masalah
Peningkatan kasus AIDS pada Ibu Rumah Tangga kemudian disusul dengan terjadinya peningkatan prevalensi HIV pada anak menjadi perhatian khusus bagi tenaga kesehatan dan pemerintah. Untuk menghindari terjadinya peningkatan kasus HIV dari ibu ke anak, kelompok ibu hamil dianjurkan melakukan konseling dan testing HIV secara periodik untuk mengetahui status HIV dirinya.
Kemudian disusul dengan rendahnya pengetahuan yang dimiliki oleh kelompok ibu hamil. Hal ini didukung oleh faktor informasi mengenai layanan VCT yang belum diterima oleh masyarakat umum khususnya ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat. Faktor tersebut dilatarbelakangi oleh minimnya sosialisasi dari petugas kesehatan tentang keberadaan layanan VCT dan bagaimana cara mengaksesnya.
Selain itu, praktik pelayanan kesehatan dan ketersediaan sumber daya dalam pelayanan VCT juga mempengaruhi tindakan ibu hamil dalam melakukan VCT. oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT diwilayah kerja Puskesmas Ciputat Tangerang Selatan tahun 2014.
1.3. Pertanyaan penelitian
1. Bagiamana gambaran karakteristik ibu hamil (Umur, pendidikan dan status
pekerjaan ) terhadap layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat ?
2. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu hamil terhadap layanan VCT di Wilayah
Kerja Puskesmas Ciputat ?
3. Bagaimana gambaran sikap ibu hamil terhadap layanan VCT di Wilayah Kerja
Puskesmas Ciputat ?
4. Bagaimana gambaran norma subyektif ibu hamil terhadap layanan VCT di
Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat ?
5. Bagaimana gambaran persepsi kontrol diri ibu hamil terhadap layanan VCT di
Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat ?
6. Bagaimana gambaran niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT di
7. Adakah hubungan antara karakteristik ibu hamil (Umur, pendidikan dan status
pekerjaan ) terhadap niatnya untuk memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja
Puskesmas Ciputat ?
8. Adakah hubungan antara sikap ibu hamil terhadap niatnya untuk memanfaatkan
layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat ?
9. Adakah hubungan antara norma subyektif ibu hamil terhadap niatnya untuk
memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat ?
10.Adakah hubungan antara persepsi ibu hamil terhadap niatnya untuk
memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat ?
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan niat Ibu
hamil untuk memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
Tahun 2014.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran karakteristik ibu hamil (Umur, pendidikan,dan status
pekerjaan ) terhadap layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat.
2. Diketahuinya gambaran pengetahuan ibu hamil terhadap layanan VCT di
Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat.
3. Diketahuinya gambaran sikap ibu hamil terhadap layanan VCT di Wilayah Kerja
Puskesmas Ciputat.
4. Diketahuinya gambaran norma subyektif ibu hamil terhadap layanan VCT di
Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
5. Diketahuinya gambaran persepsi kontrol diri ibu hamil terhadap layanan VCT di
6. Diketahuinya gambaran niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT di
Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
7. Diketahuinya hubungan antara karakteristik ibu hamil (Umur, pendidikan dan
status pekerjaan) dengan niat ibu hamil untuk memanfaatkan layanan VCT di
Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
8. Diketahuinya hubungan antara sikap ibu hamil terhadap niatnya untuk
memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
9. Diketahuinya hubungan antara norma subyektif ibu hamil terhadap niatnya
untuk memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
10.Diketahuinya hubungan antara persepsi ibu hamil terhadap niatnya untuk
memanfaatkan layanan VCT di Wilayah Kerja Puskesmas Ciputat
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah : 1.5.1. Bagi Masyarakat Umum
Penelitian ini dapat memberikan informasi yang lebih luas kepada
masyarakat umum mengenai keberadaan klinik VCT dan layanannya serta
prosedur untuk mengaksesnya sehingga masyarakat dapat memanfaatkan
layanan klinik VCT.
1.5.2. Bagi Pusat KesehatanMasyarakat
1.5.2.1. Manajemen
1.5.2.2. Petugas Kesehatan
Sebagai salah satu sumber informasi dalam melakukan perencanaan
kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Wilayah Kerja
Puskesmas Ciputat, khususnya pencegahan dan penanggulangan penularan HIV
dari ibu ke anak yang saat ini mengalami peningkatan.
1.5.3. Bagi Dinas Kesehatan
Sebagai masukan dalam menindaklanjuti pengembangan sosialisasi
program pencegahan penularan HIV dan AIDS dari Ibu ke anak. Selain itu,
sebagai masukan dalam meningkatkan upaya kerjasama yang baik guna
meningkatkan efektifitas program layanan VCT di Kota Tangerang Selatan.
1.5.4. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Diperolehnya ilmu pengetahuan baru terkait aplikasi promosi kesehatan di lingkungan masyarakat khusunya pada program pencegahan penularan HIV dan AIDS dari ibu ke anak, serta terciptanya kerjasama yang menguntungkan dan bermanfaat dengan institusi lain.
1.5.5. Bagi Peneliti
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti lain yang akan
melakukan penelitian terkait pemanfaatan layanan VCT.
b. Dapat mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan terkait perilaku kesehatan
yang telah didapatkan di perkuliahan.
c. Melatih pola pikir sistematis dalam menghadapi masalah-masalah
khusunya dalam bidang Kesehatan.
1.6. Ruang lingkup penelitian
Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang
kerja Puskesmas Ciputat Tangerang Selatan Provinsi Banten tahun 2014. Penelitian
ini dilakukan oleh Mahasiswi Promosi kesehatan Program Studi Kesehatan
Masyarakat angkatan 2010 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
bulan Januari sampai dengan Juni 2014. Populasi penelitian ini adalah semua ibu
hamil di wilayah kerja Puskesmas Ciputat Tangerang Selatan. Penelitian ini dilakukan
diwilayah kerja Puskesmas Ciputat dengan alasan Puskesmas Ciputat merupakan
Puskesmas yang memiliki layanan VCT di Kota Tangerang Selatan dan sosialisasi VCT
oleh petugas kesehatan belum berjalan optimal. Penelitian ini dilakukan dengan
metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan survei cross sectional. Data ini
didapat dari data primer dan sekunder yaitu melalui kuisioner dan data kunjungan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.HIV/AIDS
2.1.1. DEFINISI HIV DAN AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Orang yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan belum membutuhkan pengobatan. Namun orang tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain bila melakukan hubungan seks beresiko dan berbagi alat suntik dengan orang lain (KPAN, 2012).
jumlah virus HIV di dalam tubuh sehingga bisa sehat kembali (KPAN, 2012).
2.1.2. PATOGENESIS HIV/AIDS
Mekanisme utama infeksi HIV dimulai setelah virus masuk ke dalam tubuh pejamu. Setelah masuk ke dalam tubuh pejamu, HIV menyerang sel darah putih (limfosit Th) yang merupakan sumber kekebalan tubuh untuk menangkal berbagai penyakit infeksi. Dengan memasuki limfosit Th, virus memaksa limfosit Th untuk memperbanyak dirinya, sehingga akhirnya menyebabkan kematian limfosit Th, kematian limfosit Th itu membuat daya tahan tubuh berkurang, sehingga mudah terserang infeksi dari luar (baik virus lain, bakteri, jamur, atau parasit) sehingga hal itu menyebabkan kematian pada orang dengan HIV/AIDS. Selain menyerang limfosit Th, virus HIV juga memasuki sel tubuh yang lain, organ yang sering terkena adalah otak dan susunan saraf lainnya. Virus HIV diliputi oleh selubung protein pembungkus yang sifatnya toksik (racun) terhadap sel, khususnya sel otak serta susunan saraf pusat dan tepi lainnya, sehingga terjadilah kematian sel otak (Hidayat, 2008).
2.1.3. Manifestasi Klinis
bercak putih di lidah dan di dalam mulut, pembengkakan leher, radang paru – paru, kanker kulit. Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 3 hal antara lain tumor, infeksi oportunistik, dan manifestasi neurologi.
2.1.4. Diagnosis Klinis dan Pemeriksaan Laboraturium
Diagnosis adanya infeksi dengan HIV dapat ditegakkan dilaboraturium dengan ditemukannya antibodi yang khusus terhadap virus tersebut. Pemeriksaan untuk menemukan adanya antibodi tersebut menggunakan metode ELISA (Enzym Linked Imunosorbent Assay). Bila hasil tes ELISA positif maka dilakukan pengulangan. Jika masih tetap positif maka selanjutnya dikonfirmasi dengan test yang lebih spesifik yaitu metode Western Blott.
2.2. HIV PADA KEHAMILAN
2.2.1. DEFINISI KEHAMILAN
Kehamilan adalah suatu keadaan dimana janin dikandung di dalam tubuh wanita, yang sebelumnya diawali dengan proses pembuahan dan kemudian akan diakhiri dengan proses persalinan. Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis, akan tetapi pentingnya diagnosis kehamilan tidak dapat diabaikan (Cunningham, 2005)
2.2.2. Cara Penularan HIV pada kehamilan
penularan dari ibu ke bayi diperkirakan sebagian terjadi beberapa hari sebelum persalinan, dan pada saat plasenta mulai terpisah dari dinding uterus pada waktu melahirkan. Penularan diperkirakan terjadi karena bayi terpapar oleh darah dan sekresi saluran genital ibu. Suatu penelitian memberikan proporsi kemungkinan penularan HIV dari ibu ke anaknya saat dalam kandungan sebesar 23 – 30%, ketika proses persalinan 50 – 65% dan saat menyusui 12 – 20%. Di negara maju, transmisi HIV dari ibu ke fetus sebesar 15 – 25% sementara di negara berkembang sebesar 25 – 35%. Tingginya angka transmisi ini berkaitan dengan tingginya kadar virus dalam plasma ibu (Setiawan, 2009).
2.2.3. Penatalaksanaan HIV pada Kehamilan
Untuk mengurangi resiko penularan dari ibu ke bayi maka penanganan pencegahan infeksi bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV sebaiknya dimulai sejak saat bayi di dalam kandungan. Ibu yang sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil, perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui jumlah virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+, dan genotype virus. Juga perlu diketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat anti retrovirus (ARV) atau belum. Data tersebut kemudian dapat digunakan sebagai bahan informasi kepada ibu tentang resiko penularan terhadap pasangan seks, bayi, serta cara pencegahannya (Setiawan, 2009).
2.2.4. PencegahanHIV
politik yang tinggi untuk mencegah dan atau mengurangi perilaku risiko tinggi terhadap penuluran HIV. Adapun upaya pencegahan meliputi :
1. Abstinence – Tidak berhubungan seks (selibat)
2. Be Faithful – Selalu setia pada pasangan
3.Condom – Gunakan kondom disetiap hubungan seks berisiko
4. Drugs – Jauhi narkoba
2.3. VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING (VCT)
2.3.1. Definisi Konseling dalam VCT
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS (Depkes, 2008).
perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS (Depkes, 2006).
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis contohnya meyakinkan bahwa terjamin kerahasiaanya, informasi dan pengetahuan HIV dan AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV dan AIDS.
1. Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada
saat mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan
memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan
HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk konseling,
dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik,
dan ART.
2. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk
memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan
bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko
infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV/AIDS, mempelajari status
dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku
beresiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna
3. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan,
segera setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi,
dan risiko.
Di dalam VCT ada dua kegiatan utama yakni konseling dan tes HIV. Konseling dilakukan oleh seorang konselor khusus yang telah dilatih untuk memberikan konseling VCT. Tidak semua konselor bisa dan oleh memberikan konseling VCT. Oleh karena itu, seorang konselor VCT adalah orang yang telah mendapat pelatihan khusus dengan standar pelatihan nasional. Konseling dalam rangka VCT utamanya dilakukan sebelum dan sesudah tes HIV.
Konseling setelah tes HIV dapat dibedakan menjadi dua yakni konseling untuk hasil tes positif dan konseling untuk hasil tes negatif. Namum demikian sebenarnya masih banyak jenis konseling lain yang sebenarnya perlu diberikan kepada pasien berkaitan dengan hasil VCT yang positif seperti konseling pencegahan, konseling kepatuhan berobat, konseling keluarga, konseling berkelanjutan, konseling menghadapi kematian, dan konseling untuk masalah psikiatris yang menyertai klien/keluarga dengan HIV dan AIDS.
2.3.2. Tujuan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
a. Mendorong orang sehat, tanpa keluhan / asimtomatik untuk
mengetahui tentang HIV, sehingga mereka dapat mengurangi
b. Merupakan sebuah strategi kesehatan masyarakat yang efektif,
karena mereka dapat mengetahui status HIV mereka, sehingga tidak
melalukan hal-hal yang dapat ikut menyebarkan virus HIV bila
mereka masih berisiko sebagai penyebar HIV.
c. Mendorong seseorang yang sudah ODHA ( Orang Dengan HIV/AIDS)
untuk mengubah pendirian yang sangat merugikan seperti: ODHA
merupakan penyakit keturunan atau penyakit kutukan, atau
HIV/AIDS merupakan vonis kematian.
d. Memberi informasi tentang HIV/AIDS, tes, pencegahan dan
pengobatan ODHA.
e. Mengenali perilaku atau kegiatan yang menjadi sarana yang
memudahkan penularan HIV.
f. Memberikan dukungan moril untuk mengubah prilaku ke arah yang
lebih sehat dan aman dari infeksi HIV.
Tujuan dari VCT ini merupakan suatu langkah awal yang penting menuju program pelayanan HIV/AIDS lainnya yaitu pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak, pencegahan dan manajemen klinis penyakit – penyakit yang berhubungan dengan HIV, pengendalian penyakit TBC (tuberculosis) serta dukungan psikologis dan hukum (Anastasya, 2010).
2.3.3. Peran Voluntary Counselling and Testing (VCT)
a. Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat
klien mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan
HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk konseling,
dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik, dan
ART.
b. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk
memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan
bantuan konselor terlatih,menggali dan memahami diri akan risiko
infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV dan AIDS, mempelajari status
dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku
berisiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna
mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.
c. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan,
segera setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi,
dan risiko.
VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV dan AIDS, mempelajari status dirinya, mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penularan infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.
VCT merupakan kegiatan konseling bersifat sukarela dan kerahasiaan, yang dilakukan sebelum dan sesudah tes darah untuk HIV di laboratoruim. Test HIV dilakukan setelah klien terlebih dahulu memahami dan menandatangani informed consent yaitu surat persetujuan setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar. VCT merupakan hal penting karena :
1. Merupakan pintu masuk ke seluruh layanan HIV dan AIDS
2. Menawarkan keuntungan, baik bagi yang hasil tesnya positif
maupun negatif, dengan fokus pada pemberian dukungan atas
kebutuhan klien seperti perubahan perilaku, dukungan mental,
dukungan terapi ARV, pemahaman faktual dan terkini atas HIV dan
AIDS.
3. Mengurangi stigma masyarakat.
4. Merupakan pendekatan menyeluruh: kesehatan fisik dan mental.
5. Memudahkan akses ke berbagai pelayanan yang dibutuhkan klien
Meskipun VCT adalah sukarela namun utamanya diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah terinfeksi HIV atau AIDS, dan keluarganya, atau semua orang yang mencari pertolongan karena merasa telah melakukan, tindakan berisiko di masa lalu dan merencanakan perubahan di masa depannya, dan mereka yang tidak mencari pertolongan namun berisiko tinggi.
2.3.4. Prinsip Pelayanan VCT
Menurut pedoman VCT yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2008, prinsip pelayanan konseling VCT adalah :
1. Sukarela Dalam Melaksanakan Testing HIV
Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien,
tanpa paksaan, dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukannya
testing terletak ditangan klien, kecuali testing HIV pada darah donor di
unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ tubuh dan sel. Testing
dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk
testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja
seksual,penasun, rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia, dan
asuransi kesehatan.
2. Saling Mempercayai Dan Terjamin Konfidensialitas
Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan
martabat semua klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus
dijaga kerahasiaanya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak
informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat
dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus
klien selanjutnya dengan seijin klien, informasi kasus dari klien dapat
diketahui.
3. Mempertahankan Hubungan Relasi Konselor-Klien Yang Efektif
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil
testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk
mengurangi perilaku beresiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan
perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan
hasil testing positif.
4. Testing Merupakan Salah Satu Komponen Dari VCT
WHO dan Departeman Kesehatan RI telah memberikan
pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV.
Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing
oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yang disetujui oleh klien
(Depkes, 2008).
Begitu pula yang diutarakan dalam artikel internet dari situs perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi dalam pelayanan VCT, yakni VCT harus dilakukan dengan :
a. Sukarela, tanpa paksaan
b. Kerahasiaan terjamin : proses dan hasil tes rahasia dalam arti hanya
diketahui dokter/konselor dan klien
d. VCT tidak boleh dilakukan tanpa adanya konseling atau dilakukan
secara diam – diam
e. Harus ada persetujuan dari pasien dalam bentuk penandatanga a
Le bar Persetujua informed consent)
Sasaran Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT) bukan hanya pasien penderita HIV/AIDS saja, tetapi semua masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri tentang HIV agar dapat mencegah dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan kepada orang lain. Masyarakat yang datang ke pelayanan VCT disebut dengan klien. Di klinik VCT, klien dapat bersama dengan konselor mendiskusikan hal – hal yang terkait dengan informasi akurat dan lengkap tentang HIV/AIDS, perilaku beresiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negatif atau positif.
2.3.5. Struktur Organisasi
Struktur organisasi pelayanan VCT menurut pedoman pelayanan VCT Depkes RI tahun 2008 terdiri dari :
1. Kepala Klinik VCT
Kepala klinik VCT adalah seorang yang memiliki keahlian manajerial
dan program terkait dengan pengembangan layanan VCT dan
penanganan program perawatan, dukungan dan pengobatan
HIV/AIDS. Kepala klinik VCT bertanggung jawab terhadap Direktur
Utama atau Direktur Pelayanan. Kepala klinik VCT mengelola seluruh
terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan institusi
pelayanan lain yang berkaitan dengan HIV.
2. Sekretaris / Administrasi
Petugas administrasi atau sekretaris adalah seorang yang memiliki
keahlian di bidang administrasi dan berlatarbelakang minimal
setingkat SLTA.
3. Koordinasi Pelayanan Medis
Koordinator pelayanan medis adalah seorang dokter yang
bertanggung jawab secara teknis medis dalam penyelenggaraan
layanan VCT. Koordinator pelayanan medis bertanggungjawab
langsung kepada kepala klinik VCT.
4. Koordinator Pelayanan Non Medis
Koordinator pelayanan non medis adalah seorang yang mampu
mengembangkan program perawatan, dukungan dan pengobatan
HIV/AIDS terkait psikologis, sosial, dan hukum. Koordinator pelayan
non medis minimal sarjana kesehatan/non kesehatan yang
berlatarbelakang pendidikan sarjana psikologis atau sarjana ilmu
sosial yang sudah terlatih VCT. Secara administrasi bertanggung
jawab terhadap kepala unit VCT.
5. Konselor
Konselor VCT yang berasal dari tenaga kesehatan atau non
kesehatan yang telah mengikuti pelatihan VCT. Tenaga konselor VCT
minimal dua orang dan tingkat pendidikan konselor VCT adalah
klien perhari terbagi antara klien konseling pra testing dan klien
konseling pasca testing.
Beberapa hal yang harus diperhatikan seorang konselor :
a. Jika konselor VCT bukan seorang dokter tidak diperbolehkan
melakukan tindakan medik.
b. Tidak melakukan tugas sebagai pengambil darah klien.
c. Tidak memaksa klien untuk melakukan testing HIV
d. Jika konselor VCT berhalangan melaksanakan Pasca konseling
dapat dilimpahkan ke konselor VCT lain dengan persetujuan
klien.
Kualifikasi dasar seorang konselor VCT adalah :
a. Berlatar belakang kesehatan atau non kesehatan yang mengerti
tentang HIV/AIDS secara menyeluruh, yaitu yang berkaitan
dengan gangguan kesehatan fisik dan mental.
b. Telah mengikuti pelatihan sesuai dengan standar modul
pelatihan konseling dan testing sukarela HIV yang diterbitkan
oleh Departemen Kesehatan RI tahun 2000.
6. Petugas Penanganan Kasus
Petugas penanganan kasus yang berasal dari tenaga on kesehatan
yang telah mengikuti pelatihan managemen kasus. minimal
pendidikan tenaga petugas penanganan kasus adalah SLTA. Seorang
petugas penanganan kasus menangani 20 orang klien dalam satu
kali periode penanganan.
Petugas laboraturium minimal seorang petugas pengambil darah
yang berlatarbelakang perawat. Petugas laboraturium atu teknisi
telah mengikuti pelatihan tentang teknik memproses testing HIV
dengan cara ELISA, testing cepat, dan mengikuti algoritma testing
yang diadopsi dari WHO.
2.3.6. Model Pelayanan VCT
Pelayanan VCT dapat dikembangkan diberbagai layanan terkait yang dibutuhkan, misalnya klinik IMS, klinik TB, ART, dan sebagainya. Lokasi layanan VCT hendaknya perl petunjuk atau tanda yang jelas hingga mudah diakses dan mudah diketahui oleh klien VCT. Nama klinik cukup mudah dan dimengerti sesuai dengan etika dan budaya setempat dimana pemberian nama tidak mengundang stigma dan diskriminasi.
Layanan VCT dapat diimplementasikan dalam berbagai setting, dan sangat bergantung pada kondisi dan situasi daerah setempat, kebutuhan masyarakat dan profil klien, seperti individual atau pasangan, perempuan atau laki – laki, dewasa atau anak muda.
Model layanan VCT terdiri dari :
1. Mobile VCT (Penjangkaun Dan Keliling)
Layanan konseling dan testing HIV/AIDS sukarela model
penjangkaun dan keliling (mobile VCT) dapat dilaksanakan oleh LSM
atau layanan kesehatan yang langsung mengunjungi sasaran kelompok
masyarakat yang memiliki perilaku berisiko atau berisiko tertular
penelitian atas kelompok masyarakat di wilayah tersebut dan survey
tentang layanan kesehatan dan layanan dukungan lainnya di daerah
setempat.
2. Statis VCT (Klinik VCT Tetap)
Pusat konseling dan testing HIV/AIDS Sukarela teintegrasi dalam
sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, artinya bertempat dan
menjadi bagian dari layanan kesehatan yang telah ada. Sarana
kesehatan dan sarana kesehatan lainnya harus memiliki kemampuan
memenuhi kebutuhan masyarakat akan konseling dan testing HIV/AIDS,
layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan terkait
dengan HIV/AIDS.
2.3.7. Sasaran Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela (VCT)
Masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri akan status HIV agar dapat mencegah dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan kepada orang lain. Masyarakat yang datang ke pelayanan VCT disebut dengan klien. Sebuatan klien dan bukan pasien merupakan salah satu pemberdayaan dimana klien akan berperan aktif didalam proses konseling. Tanggung jawab klien dalam konseling adalah bersama mendiskusikan hal – hal yang terkait dengan informasi akurat dan lengkap tentang HIV/AIDS. Perilaku berisiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil negatif atau positif (Depkes, 2006).
2.3.8. Ketersediaan Sarana Dan Prasarana
Keterbatasan sarana dan prasarana akan sangat berpengaruh dalam proses konseling dan testing HIV secara sukarela. VCT adalah pelayanan yang mengutamakan kenyamanan dan kerahasiaan orang yang melakukan VCT oleh karena itu sarana yang tersedia harus betul – betul dapat menjamin kerahasiaan dan kenyamanan. Menurut Kepmenkes RI Nomor:1507/Menkes/SK/X/2005 bahwa sarana dan prasarana yang harus tersedia di layanan VCT adalah :
1. Papan nama / petunjuk
Papan petunjuk lokasi dipasang secara jelas sehingga
memudahkan akses klien ke klinik VCT, demikian juga di depan
ruang klinik VCT dipasang papan bertuliskan pelayanan VCT.
2. Jam Kerja Layanan
Jam kerja layanan konseling dan testing terintegrasi
dalam jam kerja institusi pelayanan kesehatan setempat.
Dibutuhkan jumlah konselor yang cukup agar layanan dapat
dilakukan sehingga klien tidak harus menunggu terlalu lama.
Layanan konseling penjangkauan dilakukan atas kesanggupan
jam kerja para penjangkauan dan ketersediaan waktu klien.
Sebaiknya tersedia jam kerja pada pagi hari maupun sore hari
sehingga mempermudah akses klien yang bekerja maupun
bersekolah. Di fasilitas kesehatan dengan keterbatasan sumber
daya, maka konseling dan testing tidak dapat dilakukan setiap
jam kerja pelayanan kesehatan lain yang terkait konseling dan
testing seperti KIA, TB, IMS, dan PENASUN.
3. Ruang Tunggu
Ruang tunggu layanan konseling seharusnya dilengkapi
dengan materi komunikasi, Infoemasi dan Edukasi (KIE) : Poster,
Leaflet, brosur yang berisi bahan pengetahuan tentang HIV dan
AIDS, Infeksi Menular Seksual (IMS), Keluarga Berencana,
Ante-natal Care (ANC), tuberculosa (TB), hepatitis, penyalahgunaan
napza, perilaku sehat, nutrisi, pencegahan penularan dan seks
aman; Informasi prosedur konseling dan testing; Kotak Saran;
Tempat sampah, tisu dan persedian air minum; Bila mungkin
sediakan TV, video dan mainan anak; Buku catatan resepsionis
untuk perjanjian klien kalau mungkin komputer untuk mencatat
data; Meja dan kursi yang nyaman dan kalender.
4. Ruang konseling dilengkapi dengan :
Tempat duduk bai klien dan konselor; Buku catatan
perjanjian klien dan catatan harian, formulir informed consent;
catatan medis klien; formulir pra dan pasca testing; buku
rujukan; formulir rujukan; kalender dan alat tulis; kondom dan
alat peraga penis; jika memungkinkan alat peraga reproduksi
perempuan; alat peraga lainnya misalnya gambar berbagai
Buku resep gizi seimbang; Tisu; Air minum; Kartu rujukan;
Lemari arsip atau lemari dokumen yang dapat dikunci.
5. Ruang pengambilan darah dilengkapi dengan :
Jarum dan speril steril; Tabung dan botol tempat
penyimpanan darah; Stiker kode; Kapas alkohol; Cairan
desinfektan; Sarung tangan karet; Apron plastik; Sabun dan
tempat cuci tangan dengan air mengalir; Tempat sampah
barang terinfeksi; barang tidak terinfeksi dan barang tajam;
petunjuk pajanan okupasional dan alur permintaan pertolongan
pasca pajanan okupasional.
6. Ruang petugas kesehatan dan petugas non kesehatan
dilengkapi dengan :
Meja dan kursi; tempat pemeriksaan fisik; stetoskop
dan tensi meter; kondom dan alat peraga penggunaanya;
KIE HIV dan AIDS serta infeksi oppurtunistik; blangko resep;
Alat timbangan berat badan.
7. Ruang Laboraturium dilengkapi dengan :
Reagen untuk testing dan peralatannya; sarung tangan
karet; Jas laboraturium; Lemari pendingin; Alat sentrifusi; Ruang
penyimpanan testing kit; Buku – buku register; Cap tanda positif
atau negatif; Pedoman testing HIV; Pedoman pajanan okupasi;
Lemari untuk menyimpan arsip yang dapat dikunci.
harus menjaga kerahasiaan, ruangan tertutup dan suara tidak dapat didengar dari ruangan lain, satu alur dengan pintu masuk dan keluar yang berbeda, akses mudah dan cukup pencahayaan agar proses konseling dan edukasi menggunakan alat peraga dapat dengan jelas dilakukan.
Ruang konseling harus nyaman, terjaga kerahasiaanya, dan terpisah dari ruang tunggu dan ruang pengambilan darah. Terdapat pintu masuk dan pintu keluar bagi klien yang berlainan yang letaknya sedemikian rupa sehingga klien yang selesai konseling dan klien berikutnya yang akan konseling tidak saling bertemu.
2.3.8.2. Konselor untuk VCT
Konselor VCT yang berasal dari tenaga kesehatan atau non kesehatan yang tealh mengikuti pelatihan VCT. Tenaga Konselor VCT minimal dua orang dan tingkat pendidikan konselor VCT adalah SLTA. Seorang konselor sebaiknya menangani untuk 5-8 orang klien perhari terbagi antara klien konseling pra testing dan klien konseling pasca testing. Tugas konselor VCT :
a. Mengisi kelengkapan pengisian formulir klien,
pendokumentasian dan pencatatan konseling klien dan
menimpannya agar terjaga kerahasiaannya.
c. Membuat jejaring eksternal dengan layanan pencegahan dan
dukungan di masyarakat dan jejaring internal dengan berbagai
bagian rumah sakit yang terkait.
d. Memberikan informasi HIV/AIDS yang relevan dan akurat,
sehingga klien merasa berdaya untuk membuat pilihan untuk
melaksanakan testing atau tidak. Bila klien setuju melakukan
testing, konselor perlu mendapat jaminan bahwa klien betul
menyetujui melalui penandatanganan informed consent tertulis.
e. Menjaga bahwa informasi yang disampaikan klien kepadanya
adalah bersifat pribadi dan rahasia. Selama konseling pasca
testing konselor harus memberikan informasi lebih lanjut
seperti, dukungan pskososial dan rujukan. Informasi ini
diberikan baik kepada klien dengan HIV positif maupun negatif.
f. Pelayanan khusus diberikan kepada kelompok perempuan dan
mereka yang dipinggirkan, sebab mereka sangat rawan
terhadap tindakan kekerasan dan diskriminasi.
Beberapa hal yang harus diperhatikan seorang konselor :
a. Jika konselor VCT bukan seorang dokter tidak diperolehkan
melakukan tindakan medik.
b. Tidak melakukan tugas sebagai pengambil darah klien.
c. Tidak memaksa klien untuk melakukan testing HIV.
d. Jika konselor VCT berhalangan melaksanakan pasca konseling dapat
dilimpahkan ke konselor VCT lain dengan persetujuan klien.
a. Berlatar belakang kesehatan non kesehatan yang mengerti tantang
HIV/AIDS secara menyeluruh, yaitu yang berkaitan dengan
gangguan kesehatan fisik dan mental.
b. Telah mengikuti pelatihan sesuai dengan standar modul pelatihan
konseling dan testing sukarela HIV yang diterbitkan oleh
Departemen Kesehatan RI tahun 2000.
2.3.9. Tahapan Pelayanan VCT
2.3.9.1. Konseling Pra Testing
Alur pelaksanaan VCT dan ketrampilan melakukan konseling pra testing dan konseling pasca testing perlu memperhatikan tahapan berkut ini :
a. Penerimaan klien
- Informasikan kepada klien tentang pelayanan tanpa nama (anonimus) sehingga nama tidak dinyatakan.
- Pastikan klien datang tepat waktu dan usahakan tidak menunggu
- Jelaskan tentang prosedur VCT
- Buat catatan rekam medik klien dan pastikan setiap klien mempunyai nomor kodenya sendiri.
meminimalkan kesalahan, kode harus diperiksa ulang oleh konselor dan perawat/pengambil darah. Tanggung jawab klien dalam konseling adalah sebagai berikut :
- Bersama konselor mendiskusikan hal – hal yang terkait dengan informasi akurat dan lengkap tentang HIV/AIDS,
perilaku beresiko, testing HIV dan pertimbangan yang
terkait dengan hasil negatif atau positif
- Sesudah melakukan konseling lanjutan, diharapkan dapat melindungi dirinya sendiri dan keluarganya dari
penyebaran infeksi, dengn cara mengunakan berbagai
informasi dan alat preverensi yang tersedia bagi
mereka.
- Untuk klien dengan HIV positif memberitahu pasangan atau keluarganya akan status HIV dirinya dan
merencanakan kehidupan lebih lanjut.
b. Konseling pra testing HIV/AIDS
- Periksa ulang nomor kode klien dalam formulir. - Perkenalan dan arahan.
- Membangun kepercayaan klien pada konselor yang merupakan dasar utama bagi terjaganya kerahasiaan
sehingga terjalin hubungan baik dan terbina sikap saling
memahami.
- Penilaian risiko untuk membantu klien mengetahui faktor risiko dan menyiapkan diri untuk pemeriksaaan
darah
- Memberikan pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang
cara menyesuaikan diri dengan status HIV.
- Di dalam konseling pra testing seorang konselor VCT harus dapat membuat keseimbangan antara pemberian
informasi, penilaian risiko dan merespon kebutuhan
emosi klien.
- Konselor VCT melakukan penilaian sistem dukungan. - Klien memberikan persetujuan tertulisnya (Informed
consent) sebelum dilakukan testing HIV/AIDS.
2.3.9.2. Informed Consent
a. Semua klien sebelum menjalani testing HIV harus memberikan
persetujuan tertulisnya. Aspek penting didalam persetujuan
tertulis itu adalah sebagai berikut :
- Klien telah diberi penjelasan cukup tentang risiko dan dampak sebagai akibat dari tindakannya dan klien
menyetujuinya.
- Klien mempunyai kemampuan menangkap pengertian dan mampu menyatakan persetujuannya (secara
intelektual dan psikiatris).
memahami informasi maka tugas konselor untuk
berlaku jujur dan obyektif dalam menyampaikan
informasi sehingga klien memahami dengan benar dan
dapat menyatakan persetujuannya.
b. Batasan Umur Untuk Dapat Menyatakan Persetujuan Testing
HIV.
Umur anak untuk dapat menyatakan persetujuan pemeriksaan ketika anak telah dapat berkembang pikiran abstarak dan logikanya, yakni pada umur 12 tahun. Secara hukum seseorang dianggap dewasa ketika seorang laki – laki berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun atau pernah menikah. Antara umur 12 tahun sampai usia dewasa secara hukum, persetujuan dapat dilakukan dengan persetujuan orang tua.
2.3.9.3. Testing HIV dalam VCT
Prinsip testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaanya. Testing diimaksud untuk menegakkan diagnosis. Terdapat serangkaian testing yang berbeda – beda karena perbedaan prinsipp metoda yang digunakan. Testing yang digunakan adalah testing serologis untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum atau plasma. Spesimen adalah darah klien yang diambil secara intervena, plasma atau serumnya. Pada saat ini belum digunakan spesiemen lain seperti saliva, urin, dan spot darah kering. Penggunaan metode testing cepat (rapid testing) memungkinkan klien medapatkan hasil testing pada hari yang sama. Tujuan testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan diagnosis, pengamanan darah donor (skrining), untuk surveilans, dan untuk penelitian. Hasil testing yang disampaikan kepada klien adalah benar milik klien. Petugas laboraturium harus menjaga mutu dan konfidensialitas. Hindari terjadinya kesalahan, baik teknis (tehnical error) dan admisintratif (administratif error). Petugas laboraturium (perawat) (mengambil) darah setelah klien mnejalani konseling par testing.
Bagi pengambil darah dan teknisi laboraturium harus memperhatikan hal – hal sebagai berikut :
a. Sebelum testing harus didahului dengan konseling dan
b. Hasil testing HIV harus dierifikasi oleh dokter patologi klinis
atau dokter terlatih atau dokter penanggung jawab
laboraturium.
c. Hasil diberikan kepada konselor dalam amplop tertutup.
d. Dalam laporan pemeriksaan hanya ditulis nomor atau kode
pengenal.
e. Jangan memberi tanda berbeda yang mencolok terhadap
hasil yang psotif dan negatif.
f. Meskipun spesimen berasal dari sarana kesehatan lainnya
yang berbeda, tetap harus dipastikan bahwa klien telah
menerima konseling dan menandatangani informed
consent.
2.3.9.4. Konseling Pasca Testing
Konseling pasca testing membantu klien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil testing. Konselor mempersiapkan klien untuk menerima hasil testing, memberikan hasil testing. Konselor mempersiapkan klien untuk menerima hasil testing, memberikan hasil testing, dan menyediakan informasi selanjutnya. Konselor mengajak klien mendiskusikan startegi untuk menurunkan penuluran HIV. Kunci utama dalam menyampaikan hasil testing adalah sebagai berikut :
a. Periksa ulang seluruh hasil klien catatan medik. Lakukan hal ini
sebelum bertemu klien, untuk memastikan kebenarannya.
b. Sampaikan hasil hanya kepada klien secara tatap muka.
d. Seorang konselor tak diperkenankan memberikan hasil pada
klien atau lainnya secara verbal dan non verbal selagi berada di
ruang tunggu.
e. Hasil testing tertulis.
2.4. TEORI PERILAKU BERENCANA (Theory Of Planned Behavior)
Theory of Planned Behaviour (TPB) ini adalah pengembangan dari Theory of Reasoned Action (1975) dan keduanya dikemukakan oleh Icek Ajzen. Menurut Theory of Reasoned Action (TRA), seseorang akan berperilaku tertentu yang didasari oleh niat melakukan perilaku tersebut. Niat perilaku ini dipengaruhi oleh norma subyektif dan sikap terhadap perilaku tersebut. Sikap individu terhadap suatu perilaku ini berasal dari keyakinan individu terhadap perilaku tersebut, sedangkan norma subyektif berasal dari keyakinan normatif.
Sama dengan TRA, Theory Of Planned Behaviour ini berasal dari asumsi bahwa manusia akan berperilaku berdasarkan akal sehat mereka, manusia menyerap informasi dan baik secara implisit ataupun eksplisit, manusia akan mempertimbangkan implikasi dari perbuatan mereka. Dalam TPB, niat dan perilaku memiliki 3 determinan, yaitu faktor personal, faktor pengaruh sosial dan faktor isu kontrol (Ajzen, 2005).
Faktor personal adalah sikap individu terhadap perilaku tertentu. Sikap ini dipengaruhi oleh pandangan individu baik secara negatif maupun positif terkait melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu. Faktor pengaruh sosial yang mempengaruhi niat seseorang adalah pertimbangan dan persepsi individu tersebut terhadap tekanan sosial untuk melakukan perilaku tertentu. Hal ini disebutkan sebagai norma subyektif. Faktor terakhir yang mempengaruhi niat seseorang adalah kemampuan individu untuk melakukan perilaku tersebut. Oleh karena itu, faktor ini disebut sebagai persepsi kemampuan mengontrol. Secara general, seseorang berniat melakukan suatu perilaku apabila mereka memiliki pandangan positif terkait perilaku tersebut, menerima tekanan sosial untuk melakukan perilaku tersebut dan mempercayai mereka mempunyai kesempatan dan bisa melakukan perilaku tersebut (Ajzen, 1991).