• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1.2 Tinjauan Pustaka

Kemiskinan merupakan salah satu masalah klasik yang selalu dihadapi oleh manusia karena melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia (Soetrisno, 2001). Soejadi (dalam Soetrisno, 2001) juga mengatakan bahwa meskipun kemiskinan adalah sesuatu yang sangat dihindari oleh masyarakat, tetapi dalam kenyataannya selalu saja kemiskinan itu menampakkan diri di banyak tempat, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Pembicaraan tentang kemiskinan kerpa dimulai dari pembahasan menyangkut arti miskin. Banyak para ahli yang telah mendefinisikan apa itu kemiskinan. Sebut saja Suparlan (1993) yang mendifinisikan kemiskinan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku di masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan Faturrahman dan Marcelinus Molo (1994) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan individu atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

Berdasarkan defenisi berapa ahli di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian para ahli melihat kemiskinan sebagai fenomena ekonomi. Hal ini paling tidak ditandai dengan adanya kondisi individu atau rumah tangga yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar baik sandang, pangan dan papan. Pandangan para ahli

9

seperti demikian tentunya tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya juga salah. Hal ini dikarenakan upaya memahami kemiskinan tidak bisa hanya dilihat dari aspek ekonomi semata melainkan juga harus dilihat dari berbagai aspek yang berhubungan dengan kemiskinan itu sendiri termasuk aspek sosialnya. John Friedman sebagaimana yang dikutip Ala (1981) menyebutkan bahwa kemiskinan adalah ketidaksamaan dan atau ketidakmampuan individu untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Sementara yang dimaksud basis kekuasaan sosial itu menurut Friedman meliputi hal-hal berikut. Pertama, penguasaan atas aset, misalnya, tanah, perumahan, peralatan dan sebagainya. Kedua, sumber keuangan, seperti pemasukan yang memadai. Ketiga, organisasi sosial bersama, seperti koperasi. Keempat, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Kelima, informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan.

Dalam memahami penyebab terjadinya kemiskinan itu sendiri di masyarakat berdasarkan studi-studi yang dilakukan oleh para peneliti dapat di kelompokkan ke dalam dua teori besar yaitu teori struktural dan teori kultural. Penyebab kemiskinan berdasarkan teori struktural beranggapan bahwa kemiskinan terjadi akibat dari ketimpangan yang terjadi antara individu maupun antara kelompok berupa ketimpangan dalam struktur sosial. Ketimpangan dalam struktur tersebut berimbas juga pada ketidakmerataan dalam mengakses ekonomi maupun politik. Hal itu membuat perbedaan yang tajam antara masyarakat yang miskin dengan masyarakat yang kaya. Upaya yang sedikit lebih jelas dalam membedah kemiskinan dapat dilihat dari publikasi yang dirangkum oleh Alfian, Mely G. Tan, dan Selo Soemardjan (1980). Dalam sebuah tulisan, mereka

10

menjelaskan bahwa kemiskinan struktural biasanya terjadi di dalam suatu masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya.

Tidak hanya itu, kemiskinan struktural ini juga terjadi akibat dari kegagalan pemerintah dalam pembangunan. Penjelasan yang bisa menjadi contoh dari pernyataan ini adalah munculnya fenomena nelayan yang menjadi semakin miskin sebagai akibat rusaknya sumberdaya perikanan yang menjadi tempat mereka menggantungkan hidup. Revolusi biru atau blue revolution di akhir tahun 1970 an dengan memberikan bantuan berupa perahu dan alat tangkap yang lebih baik dimaksudkan untuk meningkatkan produktifitas nelayan. Dalam jangka pendek, program itu memang menghasilkan peningkatan pada pendapatan nelayan. Namun, dalam jangka panjang program tersebut malah menyumbang kerusakan pada ekosistem laut. Akibat dari penggunaan teknologi penangkapan yang cnderung desktruktif, maka pada akhirnya hasil tangkap nelayan yang sebelumnya bisa memenuhi kebutuhan hidup menjadi semakin berkurang. Pada gilirannya, nelayan kembali terjebak ke dalam kemiskinan karena pendapatan sudah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Pandangan besar lain yang juga dikaitkan dengan penyebab kemiskinan yang terjadi di masyarakat yaitu teori kultural. Tokoh besar di belakang teori ini adalah Oscar Lewis yang turut mendobrak pandangan sempit pengkotakan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu antropologi. Dengan pendekatannya, antropologi masa kini berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu yang tidak hanya berfokus mempelajari masyarakat dan kebudayaan sederhana namun sudah mulai merambah pada masalah implikasi yang ditimbulkan oleh kebijakan negara

11

melalui pembangunan di perkotaan. Karya Oscar Lewis tentang Kisah Lima Keluarga di Meksiko jelas menggambarkan tentang bagaimana antropologi digunakan dalam melihat fenomena miskin di perkotaan di Meksiko yang kondisinya jauh lebih kompleks.

Suparlan (1988) dalam kata pengantar buku karangan Oscar edisi Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa Oscar tidak melihat kemiskinan sebagai masalah ekonomi, yaitu tidak dikuasainya sumber-sumber produksi dan distribusi benda-benda dan jasa ekonomi oleh orang miskin; tidak juga melihat adanya ketergantungan antar negara atau antar satuan produksi dan antar masyarakat; dan juga tidak melihatnya sebagai pertentangan kelas, sebagaimana yang dikembangkan ilmuan sosial Marxis. Akan tetapi Oscar melihat kemiskinan sebagai cara hidup atau kebudayaan dan unit sasarnya adalah mikro, yaitu keluarga. Keluarga dilihat sebagai kesatuan sosial terkecil dan sebagai pranata sosial pendukung kebudayaan kemiskinan. Kemiskinan menjadi lestari di dalam masyarakat yang berkebudayaan kemiskinan karena pola-pola sosialisasi yang sebagian besar berlaku dalam keluarga. Pola-pola sosialisasi yang berlandaskan pada kebudayaannya yang berfungsi sebagai mekanisme adaptif terhadap lingkungan kemiskinan yang dihadapi sehari-hari. Lebih lanjut, Oscar Lewis juga mengungkapkan bahwa munculnya kebudayaan yang berpotensi mendorong pelestarian kemiskinan hanya akan terjadi dalam masyarakat yang berkarakteristik sebagai berikut:

Sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk keuntungan

12

Upah buruh rendah

Tak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah

Sistem keluarga bilateral lebih menonjol

Kuatnya seperangkat nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal dan sikap hemat, serta ada anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi/memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya. (dalam Suparlan, 1984)

Kedua teori besar tentang penyebab kemiskinan tentunya dapat digunakan untuk memahami kemiskinan di masyarakat Indonesia seperti yang terjadi pada nelayan. Hal ini dikarenakan nelayan secara umum merupakan lapisan sosial paling miskin dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya (Kusnadi, 2008). Dalam banyak kajian yang dilakukan selalu terungkap bahwa kehidupan nelayan di Indonesia identik dengan masalah kemiskinan. Hal ini paling tidak dapat dlihat dari beberapa kajian yang pernah dilakukan oleh berbagai peneliti dari disiplin ilmu yang berbeda. Kajian Musawwir (2009) tentang kemiskinan nelayan tradisional yang ada di Desa Padang Panjang Aceh Barat. Dalam kajianya, Musawwir menemukan kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional disebabkan oleh tiga faktor yaitu; faktor sumberdaya manusia nelayan, faktor ekonomi dan faktor kelembagaan. Lebih lanjut Musawwir menjelaskan rendahnya kualitas sumber daya manusia ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan, tidak dimilikinya keterampilan alternatif dan kurangnya pekerjaan alternatif

13

(sampingan) oleh nelayan. Lemahnya ekonomi nelayan ditandai dengan tidak dimilikinya aset-aset produksi seperti modal, tanah dan teknologi yang modern oleh nelayan. Sedangkan lemahnya peranan kelembagaan ditandai dengan masih lemahnya peranan lembaga yang ada dalam meningkatkan ekonomi nelayan tradisional di Desa Padang Panjang. Hal ini terlihat dari aktivitas koperasi yang ada hanya bergerak di bidang usaha simpan pinjam semata tanpa bisa mengembangkan fungsinya sebagai lembaga yang bisa membantu nelayan untuk memasarkan hasil tangkapan laut dan produk olahannya.

Tidak jauh berbeda dengan apa yang dikaji oleh Musawwir, Alfian Helmi dan Arif Satria (2012) yang mengkaji kondisi masyarakat nelayan di Desa Pulau Panjang, Kalimantan Selatan juga memperlihatkan hal yang relatif sama. Nelayan di daerah tersebut digambarkan melakukan berbagai upaya adaptasi untuk bertahan hidup akibat perubahan ekologis yang terjadi di lingkungan mereka (laut dan pesisir). Perubahan ekologis yang terjadi di Desa Pulau Panjang meliputi dua aspek. Pertama, perubahan ekosistem mangrove. Kedua, perubahan ekosistem terumbu karang. Munculnya pelabuhan khusus akibat adanya perkembangan tambang batu bara, pembukaan tambak udang, penebangan liar, dan pendirian bangunan di kawasan pesisir yang telah menyebabkan terjadinya kerusakan di ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang. Kerusakan itu mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman ikan di Desa Pulau Panjang, yang berimbas pada hilangnya mata pencaharian masyarakat, serta menurunnya kesempatan berusaha. Kondisi ini tentunya berdampak pada penurunan pendapatan bagi nelayan yang semakin lama semakin kecil untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

14

Kemiskinan yang selalu menjadi kajian setiap kali membahas kehidupan nelayan tentunya menggambarkan betapa sulitnya kehidupan para nelayan di berbagai tempat di Indonesia. Kondisi ekonomi nelayan saat ini sangat jauh berbeda dengan ekonomi nelayan beberapa puluh tahun yang lalu. Dahulu, melimpahnya sumberdaya perikanan yang ada di perairan Indonesia menjadikan nelayan bisa hidup dengan menyandarkan diri pada hasil tangkapannya. Narasi tentang perubahan kehidupan ekonomi nelayan dapat dilihat dari publikasi Pudjo Sumedi (1988) tentang nelayan di Desa Kirwodono. Disebutkan bahwa Desa Kirwodono hingga akhir 1960-an dalah desa nelayan terbesar dan makmur di wilayah Merakngigel, Jawa Timur. Para nelayan masih ingat, cukup dengan tiga jam berlayar dari pantai mereka sudah dapat menangkap ikan seperti tongkol, lemuru dan kembung yang harga jualnya baik. Namun keadaan itu berubah pada awal tahun 1970-an dengan kedatangan perahu mesin dengan pukat cincin di Merakngigel yang lebih menjanjikan mendapatkan banyak tangkapan. Sehingga tenaga kerja dari Desa Kirwodono beralih profesi dengan menjadi tenaga kerja di perahu mesin milik para pengusaha Cina itu. Akibatnya perahu yang digerakkan dengan layar yang biasa mereka gunakan sebelum berpindah ke perahu mesin ditinggalkan sejalan dengan robohnya usaha nelayan di Kirwodono.

Lebih lanjut Pujo Sumedi menjelaskan seiring dengan robohnya usaha nelayan di Kirdowono berdampak pada kehidupan mereka yang semakin lama semakin miskin. Untuk mengatasi kemiskinan itu, para nelayan di Kirdowono melakukan berbagai upaya dalam mempertahankan hidupnya. Seperti memobilisasi anggota keluarga untuk bekerja, membentuk hubungan patron-klien sebagai jaminan bagi nelayan dikala musim paceklik datang, bahkan sampai

15

mendatangi dukun ataupun menziarahi kuburan para wali yang diyakini memiliki kekuatan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar perahu dan pelayaran mereka mendapatkan hasil maksimal. Upaya-upaya yang dilakukan nelayan di kirdowono dengan kondisi perubahan ekonomi masyarakat menjadi miskin tersebut merupakan upaya adaptasi dalam mempertahankan hidup mereka.

Adaptasi dan perubahan itu sendiri merupakan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan bagi makhluk hidup. Artinya ketika adanya perubahan, maka di situlah mahkluk hidup akan melakukan adaptasi sebagai bentuk penyesuaian dengan perubahan kondisi-kondisi yang ada. Dalam sebuah tulisan, Alland pernah mengungkapkan pengertian tentang adaptasi. Pengertian yang relatif sama dengan pemikiran Alland juga diungkapkan oleh Barlett. Secara ringkas keduanya menyatakan bahwa adaptasi merupakan suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya guna mengantisipasi perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial (dalam Helmi dan Satria : 2012). Selain itu, adaptasi berkaitan dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan tertentu dan kemudian membangun suatu strategi serta keputusan tertentu untuk menghadapi keadaan-keadaan selanjutnya seperti kondisi kemiskinan yang dialami oleh para nelayan.

Dalam ranah ilmu sosial sendiri, ada banyak ahli yang menawarkan upaya penjelasan tentang bagaimana proses adaptasi itu terjadi dengan menggunakan beragam presektif. Salah satu ide yang tampaknya bisa diadopsi dalam melihat strategi adaptasi nelayan sebagai fokus dari penelitian ini adalah ide James C. Scott. Salah satu tulisan Scott dalam bukunya Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara (1981), Scott mencoba mengulas tentang

16

bagaimana petani beradaptasi dengan kemiskinan yang terjadi dalam kehidupannya. Melalui teorinya tentang “etika subsistensi” Scott mencoba mengatakan bahwa segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari penguasa mereka lebih didasarkan pada prinsip bahwa mereka (petani) memilih memproduksinya berdasarkan sumberdaya yang mereka miliki. Pandangan seperti

inilah disebut-nya sebagai “moral ekonomi”, yang membimbing mereka sebagai

warga desa dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif dan hubungan sosial saat menghadapi tekanan-tekanan struktural dari hubungan kekuasaan baru yang mencengkam.

Dalam karyanya tersebut Scott juga melihat munculnya struktur sosial masyarakat sebagai bentuk adaptasi petani dalam bertahan hidup berupa hubungan patron-klien antara petani penyewa lahan dan petani pemilik lahan. Kelompok petani yang tidak memiliki lahan, memiliki kecenderungan untuk lebih suka menyewa lahan kepada petani pemilik tanah daripada menjadi buruh tani dan hanya menjual tenaganya ke para tuan tanah. Secara terselubung, pilihan mereka yang lebih suka menyewa tanah telah memberikan keuntungan secara tidak langsung yaitu, kedekatan. Hubungan petani penyewa yang terasa lebih dekat dengan mereka para pemilik lahan. Dalam konteks dimana pemilik lahan menjadi tempat untuk mengamankan tingkat kebutuhan dasar mereka ketika terjadi masa-masa sulit atau gagal panen. Ini ditampilkan dalam kondisi saat panen tidak berhasil, maka patron yang dalam hal ini pemilik lahan akan bersedia membantu petani penyewa dengan terlebih dahulu memberikan pinjaman. Dalam analisanya,

17

Scott menjelaskan bahwa kondisi hubungan yang seperti inilah kemudian menciptakan sebuah sistem hubungan normatif tentang makna keadilan.

Pergulatan lanjutan tentang bagaimana petani merespon kondisi sosial yang dihadapinya- dalam hal ini kemiskinan- dapat pula dilihat dari karya Scott lainnya. Pada buku Senjata orang-orang kalah, Scott memaparkan bahwa demi tetap terjaminnya moral ekonomi petani yang di dalamnya terkandung etika subsisten, mereka meresponnya dengan berbagai cara bahkan dengan diam dan menghindar sebagai bentuk perlawanan. Hal ini disadari atas dasar resiko besar yang akan ditanggung oleh para petani jika melakukan perlawanan secara frontal. Sehingga mereka memilih perlawanan yang secara kasat mata bukan merupakan sebuah perlawanan, akan tetapi lebih kepada bentuk kepasrahan yang mereka lakukan dalam diam dan menghindar. Lebih lanjut Scott membuktikan bahwa apa yang disebut sebagai „kepasrahan dalam diam dan menghindar” bukanlah benar-benar kepasrahan, melainkan sebagai bentuk aksi perlawanan yang telah

diimplementasikannya dari „bentuk-bentuk perjuangan kelas gaya Brechtian‟

(Brechtian modes of resistance). Dalam penjelasannya mengenai bentuk perjuangan kelas gaya Brechtian, perlawanan kaum tani dianggap sebagai senjata-senjata biasa yang dimiliki kelompok-kelompok yang relatif tanpa kekuatan. Secara tanpa disadari, perlawanan dengan diam terwujud dengan tindakan menghambat, berpura-pura, pura-pura menurut, pura-pura tidak tahu, memfitnah, pembakaran, sabotase, dan sebagainya.

Penggunaan ide Scott dalam buku Moral Ekonomi Petani dan Senjatanya Orang Kalah untuk melihat kehidupan komunitas nelayan di Kampung Nelayan Seberang terlihat jelas benang merahnya. Pilihan penduduk Kampung Nelayan

Dokumen terkait