102
b. Pranata sosial/ Organisasi sosial yang ada.
c. Struktur masyarakat di Kampung Nelayan
Seberang secara vertikal dan horizontal
dalam perekonomian dan sosial.
5. Strategi Adaptasi terhadap kondisi kemiskinan yang
terjadi :
a. Dalam Bidang Ekonomi
- Perikanan
-Non Perikanan
b. Dalam bidang Sosial dan Budaya
- Tokoh Masyarakat - Masyarakat Kampung
Nelayan seberang - Keluarga Nelayan
6. Alasan-alasan dalam pemilihan Kampung Nelayan
Seberang Sebagai tempat tinggal
- Masyarakat Kampung
Nelayan Seberang
- Tokoh Masyarakat
103
DAFTAR INFORMAN
No. Informan Kunci No. Informan Biasa
99
DAFTAR PUSTAKA
Ala, Andre Bayo. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan, Yogyakarta:
Liberty, 1981
Alfian, Mely G.Tan dan Selo Soemardjan (eds.). Kemiskinan Struktural; Suatu
Bunga Rampai. Malang: HIPIS , 1980
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif :Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta : Kencana, 2007
Faturrochman, Marcelius Molo. “Karakteristik Rumah Tangga Miskin”. Populasi,
Volume 5, Nomor 1, Tahun 1994.
Helmi, Arif Satria. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis.
Dipublikasikan dalam Makara, Sosial Humaniora, Vol. 16, No. 1, Juli 2012:
68-78
Kusnadi. Akar Kemiskinan Nelayan.Yogyakarta : Lkis Yogyakarta, 2008
Kusnadi. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya
Perikanan. Yogyakarta : Lkis Yogyakarta, 2002
Kusnadi. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama
Press: Bandung, 2000
Kusnadi. Polemik Kemiskinan Nelayan. Bantul: Pondok Edukasi dan Pokja
Pembaharuan, 2004
Lewis, Oscar. Kisah Lima Keluarga: Kasus-Kasus Orang Meksiko dalam
Kebudayaan Kemiskinan. Jakarta : Yayayan Obor Indonesia, 1988
Maleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif edisi Revisi. Bandung : PT. Remaja
Rosda Karya, 2013
McGlynn, Frank dan Arthur Tuden. Pendekatan Antropologi Pada Perilaku
Politik. Jakarta : UI Press, 2000
Musawwir. Analisis Masalah Kemiskinan Nelayan Tradisional Di Desa Padang
Panjang Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis S2 tidak Diterbitkan. Medan : Fakultas Pasca Sarjana USU, 2009
Sumedi, Pudjo. Ketika Nelayan Harus Sandar Dayung. Jakarta : Konphalindo,
1998
100
Scott. James. C. Moral Ekonomi Petani; Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1981
Scott. James. C. Senjatanya Orang-Orang yang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor,
2007
Soetrisno R. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan.
Yogyakarta: Philosophy Press, 2001
Suparlan, D. P. Kemiskinan di Perkotaan. Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan
Obor Indonesia: Jakarta, 1984
Zulkifli. Pemborong dan Nelayan :Studi Kasus Pola Hubungan Patron-klien pada
masyarakat Nelayan dalam Ketenagakerjaan, Kewirausahaan dan pembangunan Ekonomi Tjipto, Prijono. Jakarta : LP3ES, 1992
Sumber Lain :
http://bps.go.id diakses 15 januari 2015
http://profsyamsiah.wordpress.com/2009/04/23/49/ diakses 27 januari 2015
http://
62 BAB III
KEHIDUPAN MASYARAKAT KAMPUNG NELAYAN SEBERANG
3.1. Kampung Nelayan Seberang: Potret Sebuah Kampung Miskin
Berdasarkan tampilan fisik perkampungan yang dinarasikan pada bab
sebelumnya, adalah menjadi hal yang lumrah jika masyarakat Kampung Nelayan
Seberang diidentikkan oleh banyak kalangan termasuk oleh masyarakat kampung
itu sendiri sebagai perkampungan ”miskin”. Dari sekian banyak cara menjelaskannya, pilihan menjelaskan kondisi kemiskinan yang terjadi pada
masyarakat kampung nelayan seberang dapat dilakukan dengan meminjam
pendapat John Friedman (1979). Friedman, sebagaimana yang dikutip Ala (1981)
yang menyebutkan bahwa kemiskinan adalah ketidaksamaan dan atau
ketidakmampuan individu untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial.
Sementara yang dimaksud basis kekuasaan sosial itu menurut Friedman meliputi
hal-hal berikut. Pertama, penguasaan atas aset, misalnya, tanah, perumahan,
peralatan dan sebagainya. Kedua, sumber keuangan, seperti pemasukan yang
memadai. Ketiga, organisasi sosial bersama, seperti koperasi. Keempat, jaringan
sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan dan
keterampilan yang memadai. Kelima, informasi-informasi yang berguna untuk
kehidupan.
Berdasarkan kelima basis kekuasaan sosial yang dimaksud oleh Friendman (1979), maka kondisi kehidupan masyarakat Kampung Nelayan Seberang Medan
63 3.1.1. Kepemilikan Aset
Menilik sejarah kedatangan awal penduduk ke kampung ini, maka motif
memperbaiki hidup tampaknya merupakan hal yang menjadi tujuan. Paling tidak
kenyataan ini tergambar dari pengakuan sebagian informan saat ditanyakan
mengapa mereka pindah ke Kampung Nelayan Seberang. Sekalipun demikian,
pilihan untuk menetap di Kampung Nelayan Seberang adalah pilihan beresiko jika
dikaitkan dengan perbaikan hidup yang diidentikkan dengan kepemilikan aset
ekonomi terutama tanah.
Berdasarkan informasi yang diperoleh diketahui bahwa semua masyarakat
Kampung Nelayan Seberang yang mayoritas bekerja sebagai nelayan paham serta
mengerti bahwa memilih tinggal di Kampung Nelayan Seberang juga harus
bersedia tinggal di sana tanpa memiliki hak kepemilikan atas rumah dan tanah.
Kondisi ini terjadi karena kawasan yang menjadi pemukiman masyarakat
Kampung Nelayan Seberang adalah tanah negara yang diamanahkan kepada PT.
Pelindo I yang berwenang dalam pengelolaan pelabuhan belawan. Ini artinya
penduduk yang tinggal di Kampung Nelayan Seberang tinggal dan hidup layaknya
orang yang berstatus “penyewa”. Jika lahan yang mereka tempati diperlukan sewaktu-waktu oleh pihak pemilik lahan, dalam hal ini adalah pihak Pelabuhan
Belawan, maka masyarakat Kampung Nelayan Seberang harus bersedia dengan
sukarela untuk untuk pindah ke pemukiman baru. kondisi ini jelas menunjukkan
bahwa rumah dan tanah di Kampung Nelayan Seberang bagi masyarakat di sana
bukan merupakan aset pribadi. Tidak adanya jaminan kepemilikan atas aset tanah
dan rumah membuat keberlangsungan hidup terutama tempat tinggal bagi
64
tersebut jelas merupakan sebuah bentuk nyata dari ketidakmampuan masyarakat
Kampung Nelayan Seberang untuk mengakumulasikan basis modal sosial berupa
tanah. Hal ini paling tidak sesuai dengan petikan wawancara informan, ibu
Sarifah (34 Tahun) yang menjelaskan kondisi tersebut dengan pernyataan sebagai
berikut :
“rumah sama tanah kami disini cuma untuk hak pakai, kalau orang perum (Pelabuhan Belawan) perlu, ya kami terpaksa pindah. Aturan itu sudah diketahui semua warga. Jadi kasarnya kami Cuma numpang hidup aja di kampung ini”. (Wawancara, 20 Mei 2015)”
Merujuk pernyataan informan terebut, terlihat betul bahwa pilihan tinggal
di Kampung Nelayan Seberang adalah pilihan yang secara langsung menuntun
orang untuk bersedia menetap dengan pilihan “harus siap diusir/ pindah” kapanpun diminta oleh penguasa lahan. Atas dasar kondisi itu pulalah banyak
penduduk di Kampung Nelayan Seberang tidak pernah berfikir untuk membangun
rumah yang kondisinya “layak huni” versi orang seberang3
. Bagi sebagian
mereka dorongan untuk membangun rumah sebagaimana yang diharapkan adalah
hal yang sia-sia sebab hak milik atas tanah dan rumahnya juga tidak ada. Kondisi
inilah yang mendorong sebagian mereka memilih untuk tinggal di rumah yang
oleh sebagian orang bukan pilihan yang tepat untuk hidup. Sebagian informan
memilih untuk tidak membangun rumahnya menjadi sebuah rumah “impian”, bukan hanya karena ketiadaan biaya akan tetapi juga pemikiran bahwa
membangun rumah “impian” adalah hal yang sia-sia karena status rumah sebagai sewaan. Indikasi hal ini terlihat dari pernyataan seorang informan yang
menyatakan:
65
“Kalau mau jujur, percuma dibangun rumah besar dari beton kalau pas orang perum (Pelabuhan Belawan) butuh, mau gak mau kita harus pindah. Soalnya kita kan cuma numpang disini. Makanya saya tidak membangun rumah jadi bagus..karena percuma saja kan?apalagi biaya bangun rumah sekarang sudah mahal. Dari pada tidak makan baguslah kondisi rumah kayak gini aja. (Wawancara, 10 Mei 2015)
Penggalian atas besarnya biaya membangun rumah memang dapat
dimaklumi. Bila dahulu bahan bangunan untuk membuat rumah adalah kayu yang
berasal dari hutan sekitar tempat tinggal sehingga biaya pembangunan rumah bisa
diperkecil, namun saat ini bangunan rumah di Kampung Nelayan Seberang sudah
terbuat dari beton. Bagi mereka yang membangun rumah dari beton pilihan itu
dilakukan karena mereka juga memang ingin kelihatan rumahnya “layak” dan
secaran ekonomi mereka memiliki kemampuan membeli materialnya. Ketiadaan
hak atas tanah secara langsung juga berimbas pada tidak adanya akses masyarakat
pada modal yang disediakan oleh pranata keuangan formal.
3.1.2. Sumber Keuangan
Sebagaimana dijelaskan pada banyak literatur, mata pencaharian sebagai
nelayan yang masuk dalam pola mata pencaharian ekstraktif adalah jenis sumber
penghidupan yang diliputi dnegan kondisi ketidakpastian. Menjadikan usaha
menangkap ikan sebagai satu-satunya sumber keuangan sudah pasti berimbas
pada minimnya kemungkinan untuk menabung. Saat ini saja, sebagian informan
yang bermata pencaharian sebagai nelayan sudah mengeluhkan bahwa uang yang
diperoleh dari mencari ikan dengan besaran yang tidak menentu amatlah sulit
dijadikan pegangan setiap harinya. Sifat pengeloalan sumberdaya perikanan yang
cenderung ekstratif terebut, maka adakalanya hasil yang diperoleh nelayan banyak
namun tidak sedikit pula hasil tangkapan yang diperoleh tidak mencukupi. Saat
66
mencukupi untuk hidup dan pada sesekali waktu mereka juga kerap pulang
dengan tangan hampa tanpa mendapatkan sedikitpun hasil tangkapan. Pola musim
dan iklim yang mempengaruhi arus migrasi ikan di laut jelas merupakan hal yang
kendalianya ada di luar diri nelayan. Uraian tentang bagaimana sulitnya hidup
sebagai nelayan di Kampung Nelayan Seberang diungkapkan oleh seorang
informan sebagai berikut:
“Menjadi nelayan saat ini tidak seenak dulu. Kalau dulu kita mencari ikan tidak perlu lama-lama. Cukup setengah hari, bisa dapat hasil yang banyak. Kalau sekarang, cari ikan seharian pun belum tentu dapat banyak. Mungkin karena jumlah nelayannya sudah banyak dan kondisi lingkungan udah rusak, tidak macam dulu lagi. Kehidupan kayak ginilah yang membuat sebagian orang di kampung ini sulit berubah. Pendapatan dari laut tidak menjanjikan lagi. Mau ganti kerjaan sekarang butuh ijazah, kami disini cuma tamat SD, mana ada yang mau terima, jadi ya macam ini lah hidup kami dek. ” (wawancara, 8 Juni 2015)
Minimnya pendapatan saat musim paceklik bagi nelayan adalah kondisi
yang tidak bisa diubah. Bagi mereka tetap mencari ikan di musim paceklik adalah
pilihan yang masuk akal untuk memperolah uang. Ketika penghasilan tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, para nelayan biasanya
meminjam uang kepada tetangga atau kerabat yang memiliki kelebihan uang.
Selain itu, toke yang menjadi penampung hasil tangkapan nelayan juga sering kali
menjadi sasaran empuk untuk meminjam uang dan bayarannya dicicil dari hasil
tangkapan yang setiap harinya diberikan kepada toke. Pada kondisi tertentu, tidak
jarang pula ada nelayan yang tidak membayar kembali utangnya sama sekali.
Toke yang juga merupakan warga dari kampung nelayan seberang terpaksa
memaklumi hal tersebut karena mereka tahu kondisi yang dirasakan oleh para
nelayan. Seperti pengakuan salah seorang toke yang bernama aseng (32 tahun)
67
”kalau lagi pasang mati orang-orang sini gak bisa melaut, jadi ngutang dulu sama aku ato toke yang lain. Bayarnya dipotong dari hasil tangkapan yang distor. Tapi ada juga yang gak bayar. Soalnya mang gak ada,, jadi harus gimana lagi?? Terpaksa diikhlaskan aja, karna memang kondisinya macam itu”.(wawancara pada tanggal 10 juni 2015)
Merujuk pada hasil pengamatan dan wawancara, diketahui bahwa istri
para nelayan memiliki berperan ekonomi yang cukup signifikan. Para isteri
memiliki peran sebagai pengatur keuangan di dalam rumah tangga. Peran tersebut
mengharuskan mereka menggunakan segala upaya yang ada termasuk terjun
langsung ikut mencari penghasilan tambahan guna mencukupi kebutuhan
sehari-hari. Pekerjaan-pekerjaan yang digeluti oleh para istri nelayan di kampung
nelayan seberang tergambar jelas dari hasil observasi yang dilakukan. Pengamatan
atas aktivitas para isteri memperlihatkan bahwa dalam rangka membantu
keuangan keluarga, ada isteri yang membuka warung kecil yang menjual
makanan-makanan ringan, ada yang beternak/ mengembala kambing, dan ada
yang membuat terasi yang dijual pada masyarakat kampung nelayan. Tidak hanya
itu, ada pula isteri yang bekerja sebagai tukang potong kepala udang, serta ada
yang ikut terjun langsung ke laut untuk ikut bersama suami mencari ikan.
Kondisi keuangan yang sulit dipertegas dengan kenyataan bahwa akses
penduduk Kampung Nelayan Seberang ke pranata keuangan formal berupa bank
menjadi tidak mungkin terjadi. Berdasarkan pemahaman penduduk, dengan pola
matapencaharian yang tidak jelas pendapatanya, serta tidak adanya aset berupa
tanah/ rumah yang bisa diagunkan, maka tidak mungkin ada bank yang mau
memberi pinjaman kepada masyarakat.
Merujuk pada kondisi keuangan yang dideskripsikan di atas, maka
68
kondisi kemikiskinan yang ditandai dengan ketikamampuan menguasai aset sosial
berupa keuangan terlihat di Kampung Nelayan Seberang. Gambaran ini juga
menjadi indikator bahwa secara tidak langsung, kondisi yang ditampilkan oleh
masyarakat di Kampung Nelayan Seberang berdasarkan hasil pengumpulan data
memang identik dengan kondisi miskin.
3.1.3. Organisasi Sosial
Aset sosial lainnya menurut Friedman, adalah organisasi sosial. Sebagai
makhluk sosial yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, maka kemampuan
berkelompok adalah ciri lain yang juga menonjol dari kehidupan manusia.
Kemampuan hidup berkelompok ini tentunya didasarkan pada kondisi dimana
manusia menyadari bahwa dengan berkelompok hidunya akan lebih terjadi.
Jaminan ini muncul sebab dengan berkelompok hal-hal terkait dengan pemenuhan
kebutuhan hidup yang tidak bisa dipenuhi secara sendiri akan bisa dipenuhi oleh
orang lain. Kesadaran itu pula yang mendorong manusia untuk membentuk
organisai sosial. Guna memahami organisasi sosial ada baiknya kita meminjam
pendapat Soekanto (1986) yang menyatakan bahwa organisasi sosial adalah suatu
kelompok yang sengaja dibentuk atau dibuatkan struktur, yang mengatur hubungan satu sama lain dari sejumlah orang untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Sebuah struktur ini terdiri atas: (1) suatu rangkaian status-status atau kedudukan para anggotanya; (2) peranan-peranan yang berkaitan dengan
status-status itu; dan (3) unsur-unsur kebudayaan seperti nilai, norma, dan model yang
mempertahankan, membenarkan, dan mengagungkan struktur. Tidak hanya itu,
organisasi sosial atau pranata sosial dalam ilmu antropologi dan sosiologi
69
masyarakat itu untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi (Koentjaraningrat,
2002 :163). Merujuk pada ide ini, maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya
organisasi sosial di Kampung Nelayan Seberang Sudah ada. Namun demikian,
berdasarkan fungsinya, dapat dipahami bahwa kehadiran organisasi sosial sebagai
wadah dalam mendukung upaya pemenuhan hidup tidak semuanya bisa berjalan.
Pada Kasus di masyarakat Kampung Nelayan Seberang, berdasarkan
pengamatan dan hasil wawancara diketahui bahwa keberadaan pola yang
pengaturan hubungan antar individu di sana yang kemudian mengatur antara
sekelompok orang dengan orang lainnya memiliki perbedaan. Pada tingkat yang
lebih nyata, pola pemukiman yang terbangun berdasarkan suku bangsa
penghuninya, adalah wujud yang menjadikan kehadiran organisasi sosial di
Kampung Nelayan Seberang menjadi terlihat. Namun demikian, penggunaan
organisasi sosial pada konteks kemiskinan sebagaimana dilihat Friedman harus
dilihat dalam kerangka kemandirian. Ini artinya kehadiran organisasi sosial harus
dilihat sebagai upaya untuk membangun kemandirian hidup anggota organisasi
tersebut. Pada sisi inilah dapat dinyatakan bahwa kemandirian ekonomi
masyarakat Kampung Nelayan Seberang yang dilihat dengan menggunakan
pandangan fungsi organisasi sosial menjadi belum terwujud.
Pengamatan yang dilakukan di Kampung Nelayan Seberang terlihat jelas
bahwa warga memiliki berbagai organisasi sosial sebagai wadah untuk saling
berinteraksi yang dipersatukan karena adanya kesadaran yang sama dalam
berkelompok. Organisasi sosial yang dapat dijumpai di Kampung Nelayan
Seberang diantaranya adalah organisasi sosial yang berbentuk kelompok seperti
70
kelompok swadaya masyarakat, kelompok arisan hingga yang berbentuk
perkumpulan seperti Organisasi kepemudaan dan serikat nelayan.
Dengan melihat fungsi dan kedudukan organisasi sosial tersebut,
terungkap bahwa secara langsung setiap organisasi sosial memang dapat
dikatakan berfungsi. Hanya saja, fungsi setiap organisasi sosial tersebut tidak
secara otomatis mampu mengatasi kesulitan hidup masyarakat terutama yang
berkenaan dengan kebutuhan ekonomi. Pada bagian ini, keberadaan aset sosial
dasar yang disampaikan oleh Friedman di Kampung Nelayan Seberang memang
sudah ada, namun pemaksimalan fungsi dari organisasi sosial tersebut yang belum
berjalan dengan baik. Integrasi fungsi dari organisasi sosial yang ada tidak
sepenuhnya bisa membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar
mereka. Indikasi dari belum berjalannya fungsi dari setiap organisasi sosial yang
ada jelas terekam dari hasil wawancara seorang informan yang menyatakan,
sebagai berikut:
“Kita disini ini memang sudah punya banyak organisasi (sosial) kemasyarakatan. Yang paling terlihat berfungsi ya STM (Serikat Tolong Menolong), kalau organisasi sosial lain dibilang ada ya ada, tapi kalau ditanya apa fungsinya yang jelas belum terlihat. Lagipun sering kali organisasi itu hanya aktif kalau ada bantuan saja biasanya. Macam manalah kita mau mengaktifkan organisasi sosial, orang makan saja masih susah masyarakat di sini. Tapi memang pada kondisi tertentu organisasi sosial yang ada juga berfungsi terutama saat hari-hari besar, biasanya kelihatan la itu aktivitas. Tapi kalau mau dibilang, organisasi sosial yang ada tidak bisa membantu kesulitan ekonomi kita di kampung ini” (wawancara, 25 Mei 2015)
.
Merujuk pada hasil wawancara di atas terlihat jelas bahwa secara
struktural kehadiran organisasi sosial telah terlihat di Kampung Nelayan
Seberang. Namun demikian secara fungsional, keberadaan organisasi sosial
71
Berdasarkan hal ini pulalah kemudian dapat disimpulkan bahwa keberadaan
organisasi sosial yang belum disertai dengan fungsi optimalnya untuk mengatasi
kesulitan hidup menjadikan kondisi masyarakat Kampung Nelayan Seberang
adalah masuk dalam kategori miskin
3.1.4. Jaringan Sosial
Jaringan sosial merupakan suatu penghubung individu dalam
kelompoknya maupun penghubung individu dengan kelompok lain. Masyarakat
Kampung Nelayan Seberang selain berinteraksi dengan sesama warga di
Kampung Nelayan Seberang, juga berinteraksi dengan warga lain di luar
Kampung Nelayan Seberang. Dengan adanya interaksi ini maka dapat terjalin
sebuah hubungan yang saling menguntungkan keduanya terutama ketika
keduanya memiliki latar belakang yang berbeda yang tentunya banyak
mendapatkan pengetahuan baru dari hubungan itu. Contoh nyata dari salah
seorang warga di Kampung Nelayan Seberang yang berhasil menjadi toke4
kepiting yang menampung kepiting hasil tangkapan warga Kampung Nelayan
Seberang yang dijual kembali dengan harga tinggi pada agen besar yang ada di
Kota Medan. Warga Kampung Nelayan Seberang keturunan Tionghoa-jawa yang
dipanggil Aseng ini pada mulanya tidak berniat menjadi seorang Nelayan seperti
ayahnya. Dia memilih untuk bekerja di luar Kampung Nelayan Seberang dan
bekerja di sektor industri sebagai buruh pabrik. Pergaulannya selama bekerja
mempertemukan dia salah seorang teman yang menjadi pemasok kepiting kepada
agen-agen besar. Penghasilan cukup besar yang didapatkan oleh temannya
4
72
tersebut memotivasinya untuk terjun dalam bisnis pemasok kepiting dari
Kampung Nelayan Seberang. Berkat kegigihannya, saat ini ia menjadi salah satu
toke (agen) dari Kampung Nelayan Seberang yang termasuk berhasil dengan
pekerjaannya. Apa yang dapat dilihat dari kasus ini adalah bahwa jaringan sosial
yang dimanfaatkan secara ebnar untuk mendukung pencapaian tujuan yang ada.
Hal lainnya yang kiranya dapat dijelaskan dari contoh keberhasilan toke
Aseng adalah bahwa semakin banyak jaringan yang dimiliki seorang individu
maka akan semakin banyak pengatahuan yang didapat serta akan membuka
peluang-peluang baru dalam memperoleh pekerjaan. Namun kondisi masyarakat
Kampung Nelayan Seberang yang sebagian besar warganya bermata pencaharian
sebagai nelayan mengharuskan mereka menghabiskan mayoritas waktunya hanya
di Kampung Nelayan Seberang. Hal ini dikarenakan rutinitas sebagai seorang
nelayan untuk melaut dan memperbaiki kapal maupun alat tangkap tidak bisa
mereka tinggalkan. Upaya mempersiapkan keberhasilan melaut merupakan
aktivitas utama yang dilakukan oleh penduduk laki-laki disana. Hal ini tentunya
terjadi karena tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hasil tangkapan dari
melaut merupakan sumber penghasilan utama. Dampak yang dirasakan dari
rutinitas ini tentunya menghambat nelayan untuk menjalin hubungan dengan
dunia luar yang mengakibatkan tertutupnya berbagai akses pengetahuan serta
peluang-peluang kerja untuk anggota keluarga nelayan. Keterbatasn akses dengan
masyarakat lain juga terlihat nyata dari ungkan informan sebagi berikut ini:
73
juga. Sudah bisa buak sekali makan itu 6000. Kalau kita bawa kapal sendiri jadi tambah pula kerjaan kita. Jadi agak susahnya kita orang tua di kampung ini kalau berhuungan sama orang luar. Tapi lain kalau orang luar yang datang kesini yaa!. Lagian kalaupun kita bangun bisnis disini agak susah juganya berkembang. Bank tidak mau kasi pinjam sebab tempat usaha kita juga tidak jelas.”. (wawancara, 25 Mei 2015)
Wawancara di atas pada dasarnya memperlihatkan banyak informasi.
Salah satu hal penting yang diungkap oleh hasil wawancara di atas adalah motif
masyarakat untuk membangun jaringan sosial yang menjamin dia untuk lebih
mudah memenuhi kebutuhan hidup secara ekonomi tidak muncul. Apa yang
terjadi pada jaringan sosial yang dimiliki oleh kelmpok penduduk yang berusia tua
pada dasarnya tidaklah semuanya pasif. Dari beberapa wawancara juga diketahui
bahwa ada tokoh masyarakat di kampung ini yang memiliki koneksi politik dan
bisnis dengan tokoh politik dan atau pedagang besar di Medan. Hanya saja,
koneksi yang ada tersebut tetap tidak bisa secara maksimal dipergunakan untuk
mengatasi kesulitan dasar. Selama ini, koneksi sosial yang dimiliki oleh orang
tertentu di masyarakat yang menjadikan kampung ini “banjir” bantuan. Namun
tetap saja bantuan yang diterima cenderung bersifat sebagai bantuan charity
(sumbangan) dan tidak tepat sasaran. Artinya tidak menyentuh dasar persoalan di
Kampung Nelayan Seberang.
3.1.5. Informasi
Keberadaan jaringan sosial yang terbatas yang dimiliki oleh masyarakat di
Kampung Nelayan Seberang, menjadikan akses informasi dari dunia luar juga
terbatas. Minimnya informasi yang teresebar setiap hari begitu dirasakan oleh
sebagian besar masyarakat. Pengalaman itu juga dirasakan oleh peneliti saat
beberapa hari tinggal di kampung tersebut. Saluran informasi yang paling umum
74
paling banyak ditonton oleh masyarakat adalah acara hiburan dan sinetron semata.
Memang benar beberapa orang penduduk juga biasa menonton tayangan berita,
namun sifatnya adalah tidak rutin.
Pola prilaku yang belum menempatkan informasi sebagai nilai dapat
dimaklumi sebagai perwujudan dari konsekuensi mata pencaharian yang dipilih.
Mengingat nelayan adalah mata pencaharian utama, makan aktivitas utama
mereka juga behubungan dengan persiapan untuk terus melaut. Karenanya
kegiatan memperbaiki kapal serta peralatan tangkap ketika tidak melaut adalah hal
yang paling umum terlihat. Dengan kata lain, kehidupan para nelayan sebagian
besar dihabiskan untuk berbagai kegiatan yang juga berhubungan dengan mata
pencaharian mereka sebagai nelayan. Keberadaan informasi seperti bagaimana
pengelolaan keuangan dalam rumah tangga tidak menjadi sangat berharga bagi
para nelayan.
Minimnya akses informasi yang terjadi di Kampung Nelayan Seberang
pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor. Akses transportasi yang terbatas,
minimnya motif untuk memperkaya informasi serta jebakan rutinitas adalah
sekumpulan faktor yang ikut mempengaruhi kondisi dimana masyarakat menjadi
sangat kurang menghargai informasi. Implikasi dari minimnya penguasaan
masyarakat atas informasi adalah ketidakmampuan memanfaatkan peluang dan
kesempatan. Tidak hanya itu, dari dorongan untuk mengubah kehidupan sebagai
bagian dari nilai diri menjadi tidak muncul. Pola demikian itu begitu terlihat di
Kampung Nelayan Seberang. Rasa puas atas kondisi yang ada sekalipun di saat
yang bersamaan ada rasa tidak puas, namun ketidaktersediaan informasi membuat
75
Berdasarkan kelima elemen sosial yang menjadi indikator kemiskinan
yang diajukan oleh Friedman, maka dapatlah dinyatakan bahwa secara kualitas
tampilan yang dimunculkan oleh kondisi sosial masyarakat Kampung Nelayan
Seberang adalah benar sesuai dengan gambaran kondisi miskin. Tampilan luar ini
sekalipun belum sepenuhnya benar tapi secara tidak langsung penyebutan bahwa
Kampung Nelayan Sebarang sebagai kampung miskin tidak bisa dibantah.
Berdasarkan hasil penggalian data dan informasi yang diperoleh selama di
lapangan terlihat dengan jelas bahwa akan sulit menghapuskan citra miskin dari
kehidupan masyarakat di Kampung Nelayan Seberang. Sebutan sebagai kampung
miskin berdasarkan indikator yang telah diuraikan ternyata juga oleh sebagian
informan dianggap hal yang biasa. Bagi mereka, predikat sebagai kampung
miskin adalah hal tidak bisa ditolak. Pengakuan ini paling tidak terungkap dari
hasil wawancara yang diungkapkan oleh seorang informan sebagai berikut:
“Kayakmanala mau dibilang, memang hidup banyak orang di kampung ini sulit. Selama ini, kampung kami memang dianggap miskin. Jadinya kami banyak dapat bantuan. Kalau dulu orang malu bilang dia miskin, kalau di kampung ini orang berani terang-terangan dan tidak lagi malu bilang miskin. Mungkin biar dapat bantuan.” (Wawancara, 25 Mei 2015)
Apa yang diungkapan oleh petikan wawancara di atas memang bisa saja
bersifat subjektif. Namun demikian kondisi itu tetap memperlihatkan bahwa
gambaran miskin adalah gambaran yang tidak bisa dilepaskan ketika orang
berkunjung ke Kampung Nelayan Seberang. Melalui pembahasan di atas terlihat
dengan jeals bahwa kemiskinan seakan-akan hal yang biasa bagi masyarakat
kampung itu. Menggunakan ide basis sosial versi Friedman, terlihat bahwa ketiadaan
hak kepemilikan atas aset berupa rumah dan tanah, penghasilan yang tidak menentu
76
jaringan sosial dan informasi akibat dari mata pencaharian utama sebagai nelayan
yang mengharuskan para nelayan membangun sebuah mekanisme bertahan hidup.
3.2. Motif dan Alasan Masyarakat untuk tinggal di Kampung Nelayan Seberang
Berdasarkan hasil wawancara serta observasi yang diperoleh selama
melakukan penelitian di kampung nelayan, terdapat berbagai motif dan alasan
masyarakat untuk tinggal di kampung nelayan seberang yang dapat dibagi
kedalam dua kategori yaitu pertama, motif dan alasan memilih tinggal di
Kampung nelayan Seberang oleh generasi awal dan Kedua, motif dan alasan
memilih tetap tinggal atau bahkan memilih pindah ke Kampung Nelayan
Seberang oleh generasi sesudah yang lebih muda. Bila dibngaun dalam suah
renatangan waktu, hal yang ingi diungkapkan pada bagian ini adalah menggali
motif dan alasan bagi mereka yang memilih tinggal di Kampung Nelayan
Seberang sejak kampung berdiri hingga tahun 1990-an. Sedangkan bagian
berikutnya adalah mencoba menggali motif dan alasan mereka yang memilih tetap
tinggal serta memilih pindah ke Kampung Nelayan Seberang Setelah tahun
1990-an. Dipilihnya tahun 1990-an adalah karena beberapa tahun sebelun tahun 1990
hingga tahun 1994 terjadi pembukaan lahan pertambakan udang besar-besaran di
sekitar Kampung Nelayan Seberang. Sedangkan sesudahnya terjadi kelesuan
bisnis sehingga ada sebagian orang yang memilih keluar namun tidak sedikit juga
yang memilih tetap tinggal atau bahkan sesudah periode runtuhnya era tambak
77
3.2.1. Motif dan Alasan Tinggal di Kampung Nelayan Seberang Periode sejak berdiri hingga era tahun 1990-an
Seperti yang dapat dilihat pada sejarah dari berdirinya kampung nelayan
yang telah disampaikan sebelumnya, Kampung Nelayan Seberang begitu
mempesona dan memiliki daya tarik bagi para nelayan. Hal inilah yang
melatarbelakangi motif dan alasan nelayan untuk tinggal dan menetap di wilayah
Kampung Nelayan Seberang yang akan dijabarkan dari beberapa motif dan alasan
sebagai berikut :
1) Kaya akan sumberdaya perikanan.
Kampung nelayan seberang merupakan salah satu tempat yang memiliki
sumber daya perikanan yang kaya. Hal ini berdasarkan pengakuan dari Masni
(42 Tahun) salah seorang warga kampung nelayan seberang yang bekerja
sebagai nelayan semenjak remaja.
“dahulu pas masih remaja, saya ikut dengan orang tua melaut di daerah kampung nelayan seberang ini, dulu belum ada rumah. Ikan, udang sama kepiting disini banyak, makanya banyak yang jauh-jauh datang kesini buat nyari ikan, udang sama kepiting”
(wawancara tanggal 27 Mei 2015).
Kekayaan sumber daya perikanan yang dimiliki oleh lokasi yang saat ini
bernama kampung nelayan seberang itu tidak terlepas dari kehadiran
tumbuhan mangrove yang tumbuh di sekitar lokasi. Tumbuhan mangrove
pada dasarnya berfungsi sebagai penahan gelombang laut untuk mengurangi
abrasi yang terjadi. Namun tumbuhan mangrove juga berfungsi sebagai
tempat perkembangbiakan biota laut seperti ikan, udang, dan kepiting.
Lokasi yang berada di muara sungai Batang Serai yang berbatasan langsung
78
semakin beragam mulai dari sumberdaya perikanan air tawar dan air payau di
aliran sungai Batang Serai hingga sumberdaya perikanan air asin dari laut
belawan.
2) Kemudahan akses dalam pengambilan sumberdaya
Kemudahan akses untuk mengambil sumberdaya perikanan di kampung
nelayan seberang yang dapat dijangkau dengan dengan perlengkapan dan
peralatan yang sederhana yaitu penggunaan perahu berukuran kecil dan
alat-alat tangkap seperti bubu kepiting, alat-alat pancing, jala maupun pukat. Hal ini
tentunya memberikan daya tarik yang lebih bagi nelayan dibandingkan
dengan mengambil sumberdaya yang ada di tengah laut yang membutuhkan
modal besar serta perlengkapan dan peralatan yang lebih canggih seperti
penggunaan sonar dan sebagainya. Daya tarik atas kemudahan akses dalam
pengambilan sumberdaya perikanan di kampung nelayan seberang ternyata
juga diaminkan oleh warga kampung nelayan seberang, pak Arifin (54
Tahun) yang mengatakan:
“dimana enak cari makan, disitu kita diam (tinggal)”. (wawancara tanggal 4 juni 2015)
3.2.2. Motif dan Alasan Tinggal di Kampung Nelayan Seberang Sesudah era 1990-an hingga saat ini
Kampung Nelayan Seberang yang semakin tahun semakin bertambah
jumlah penduduknya yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, tentunya
berdampak pada berkurangnya jumlah ikan yang diperoleh masing-masing
nelayan. Kondisi ini sebagai akibat dari ketidakseimbangan jumlah nelayan yang
79
sejarahnya merupakan puncak dari migrasi penduduk ke kampung nelayan.
Banyak penduduk pendatang yang pindah ke kampung nelayan yang motif dan
alasannya tentu berbeda dengan kondisi generasi pertama yang masuk dan
mendirikan kampung nelayan. Motif dan alasan banyaknya sumberdaya serta
akses dalam mengambilnya bukan lah menjadi alasan bagi penduduk pendatang
untuk tinggal di Kampung Nelayan Seberang. Beberapa motif dan alasan
penduduk untuk tinggal dan menetap di Kampung Nelayan Seberang akan
dijabarkan ke dalam hal-hal sebagai berikut :
1) Harga tanah yang murah
Seiring dengan alih fungsi hutan mangrove menjadi wilayah pemukiman di
kampung nelayan seberang yang dimulai sejak tahun 1950-an, menyebabkan
terjadinya arus migrasi penduduk ke kampung nelayan seberang. Salah satu
alasan masyarakat untuk pindah dan menetap di kampung nelayan seberang
yaitu harga tanah yang murah. Seperti pengakuan pak mispar (73 Tahun) yang
mulai menetap di kampung nelayan seberang sejak tahun 1979 :
“bapak pindah kesini karna harga tanahnya murah, waktu itu cuma 200 ribu per Rante (400 m2)”(wawancara tanggal 18 mei 2015)
Harga tanah yang begitu murah ini disebabkan tidak adanya hak milik atas
tanah yang dibeli oleh masyarakat di kampung nelayan seberang. Karena
tanah yang dibeli hanya merupakan hak pakai bagi masyarakat yang ingin
tinggal di kampung nelayan seberang yang sepenuhnya merupakan hak milik
dari otoritas pelabuhan belawan. Sehingga apabila sewaktu-waktu dibutuhkan
oleh pihak yang bersangkutan, maka masyarakat yang memiliki tanah atas
dasar hak pakai tersebut harus merelakan tanah mereka untuk diambil oleh
80
2) Banyaknya bantuan-bantuan yang diterima oleh masyarakat
Banyaknya bantuan yang didapat oleh masyarakat yang tinggal di Kampung
nelayan seberang menjadi daya tarik juga bagi masyarakat luar untuk tinggal
dan menetap. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan
selama penelitian, bantuan yang diperoleh warga kampung nelayan seberang
berupa bantuan pangan seperti beras raskin yang didapat oleh seluruh warga
yang tinggal di kampung nelayan seberang tanpa terkecuali. Selain itu,
bantuan fasilitas umum juga didapat oleh warga kampung nelayan seberang
berupa bantuan pembangunan sekolah, rumah ibadah, sumur bor, jalan beton,
kamar mandi umum dan lain sebagainya.
3) Sulitnya ekonomi di tempat tinggal sebelumnya.
Warga kampung nelayan seberang sebagian besar merupakan warga
pendatang dari berbagai daerah mulai dari warga di sekitar lokasi hingga
warga yang jauh dari kampung nelayan seperti warga dari pulau jawa dan
warga aceh. Berbagai latar belakang pekerjaan yang digeluti warga pendatang
sama sekali tidak terkait dengan pekerjaan mereka sekarang sebagai nelayan.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan selama penelitian, mata
pencaharian penduduk pendatang di tempat tinggal mereka sebelumnya seperti
petani, buruh pabrik, tukang ojek dan buruh bangunan. Namun ada juga yang
berlatarbelakang sebagai nelayan maupun ABK(Anak Buah Kapal) yang
mencari ikan di laut tengah. Migrasi yang dilakukan oleh warga pendatang ini
tidak terlepas dari sulitnya kondisi ekonomi yang menghimpit mereka di
81
berasal dari Desa Karang Gading Kabupaten Langkat yang juga sebelumnya
berprofesi sebagai nelayan :
”Di sana (tempat tinggal sebelumnya) susah buat cari makan.. harus ke tengah laut kira-kira 2 jam dari tepi (pinggir pantai)..banyak modal yang keluar.. itu pun hasilnya tak tentu.. kadang ada kadang tak ada” (Wawancara tanggal 4 Juni 2015)
Berbeda lagi halnya dengan yang disampaikan Putra (32 tahun) yang tinggal di Kecamatan Medan Marelan dan berprofesi sebagai tukang ojek :
“di sana(tempat tinggal sebelumnya) udah gak bisa lagi cuma ngojek aja, gak cukup buat biaya hidup.. apalagi macam abang yang udah berkeluarga, anak pun sekolah. jadinya mocok-mocok lah (Kerjaan serabutan) biar cukup.” (wawancara Tanggal 5 juni 2015)
Kondisi sulitnya ekonomi inilah yang mendorong para pendatang untuk
tinggal di kampung nelayan seberang sebagai upaya untuk melanjutkan hidup
dan menghindari sulitnya kehidupan di tempat tinggal sebelumnya.
4) Ingin mencari peruntungan
Dalam mengatasi kesulitan hidup, setiap individu akan melakukan berbagai
upaya untuk mengatasinya termasuk adanya keinginan untuk mencoba
peruntungan di wilayah yang baru. Hal ini juga yang terjadi terhadap
pendatang yang ada di kampung nelayan seberang. Namun mencari
peruntungan disini bukanlah tanpa dasar dan perhitungan. Karena ada rujukan
yang menjadi pedoman mereka untuk tinggal di kampung nelayan seberang
berdasarkan pengalaman keluarga, kerabat maupun orang yang pernah tinggal
bersama mereka dalam satu desa yang sukses menjalankan hidupnya di
kampung nelayan. Sesuai dengan pengakuan Ajmiah (43 Tahun) yang
bermigrasi dari Propinsi Aceh tepatnya dari Banda Aceh menuju ke kampung
82
“kami disini(kampung nelayan seberang) karna ada abang yang bilang kalau enak tinggal disini (kampung nelayan seberang), jadi kami pindah lah sekeluarga kesini.” (wawancara tanggal 5 juni 2015)
Adanya pengalaman dari orang-orang terdekat inilah yang memunculkan
keinginan untuk mencoba peruntungan hidup di kampung nelayan seberang
ini. Sehingga semakin banyaknya informasi dari mulut ke mulut itu tersebar,
maka semakin banyak pula para pendatang untuk mencoba peruntungan di
kampung nelayan seberang. Hal ini juga yang menyebabkan warga pendatang
83 BAB IV
STRATEGI ADAPTASI DALAM BERTAHAN HIDUP DI KAMPUNG NELAYAN SEBERANG
Kondisi kemiskinan yang terjadi di Kampung Nelayan Seberang
menyebabkan adanya berbagai bentuk pola dan strategi adaptasi yang dilakukan
oleh setiap keluarga nelayan. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan
keberlangsungan hidup keluarga di Kampung Nelayan Seberang. Ada dua jenis
pola dan strategi adaptasi bertahan hidup yang dilakukan oleh keluarga nelayan di
Kampung Nelayan Seberang. Pertama, pola dan strategi adaptasi dalam bidang
ekonomi. Kedua pola dan strategi adaptasi dalam bidang sosial budaya.
4.1 Pola dan Strategi Adaptasi dalam Bidang Ekonomi
Pola dan strategi adaptasi dalam bidang ekonomi merupakan kegiatan
yang berhubungan dengan aktifitas yang menghasilkan nilai ekonomis berupa
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Aktifitas ini tentunya berhubungan
dengan aktifitas pekerjaan sebagai nelayan dan kegiatan sehari-hari yang
dilakukan untuk menghasilkan pendapatan. Aktifitas-aktifitas tersebut dapat
dirangkum ke dalam dua hal yaitu sebagai berikut :
4.1.1 Aktivitas Ekstraksi (Mengambil Langsung Dari Alam)
Aktifitas ekstraksi merupakan kegiatan yang dilakukan dengan mengambil
sumberdaya langsung dari alam seperti halnya nelayan. Pada dasarnya, kerja
nelayan merupakan kegiatan ekonomi primitif yaitu kegiatan ekonomi berburu
dan meramu (Plasson, 1989 dalam Pujo Sumedi, 1998). Menurut Pujo Sumedi,
84
dan meramu pada dasarnya merupakan kegiatan yang sama, yaitu kegiatan yang
bertumpu pada ekstraksi sumberdaya alam. Seperti itu juga halnya dengan nelayan
yang ada di Kampung Nelayan Seberang yang mengambil sumberdaya langsung
berupa ikan, udang, kepiting dan lainnya dari laut tanpa adanya ikut campur
dalam pertumbuhan dan reproduksi sumberdaya tersebut.
Nelayan di Kampung Nelayan Seberang dapat dikatakan sebagai nelayan
tradisonal karena peralatan yang digunakan bersifat tradisional. Hal ini
dikarenakan kondisi ekonomi dengan modal kecil yang tidak memungkinkan
nelayan untuk membeli kapal berukuran besar beserta peralatan tangkap
berteknologi tinggi seperti yang dimiliki oleh pengusaha-pengusaha besar dengan
modal yang besar pula. Hal ini tentunya sangat berpengaruh dengan jumlah dan
nilai jual ikan hasil tangkapan dibandingkan dengan kapal motor besar dengan
teknologi modern yang beroperasi di laut tengah untuk menangkap ikan yang
bernilai jual tinggi seperti Tuna, Cakalang, Kembung dan sebagainya. Untuk
memperoleh penghasilan lebih, sebagian nelayan menggunakan beberapa jenis
alat tangkap untuk melakukan kegiatan melaut. Selain untuk memperoleh hasil
tangkapan yang lebih banyak, hal ini juga dilakukan nelayan untuk mengantisipasi
cuaca yang tidak menentu seperti yang diungkapkan oleh Pak Usman (52 Tahun) :
“kalau lagi pasang besar kita pakai ambai, kalau lagi pasang mati kita jala udang atau pasang bubu, tapi kalau pancing kita bisa pakai buat pasang besar atau pasang mati...jadi penghasilan tiap harinya tetap ada” (wawancara tanggal 4 Juni 2015)
Namun, tidak semua nelayan yang bisa menggunakan beberapa jenis alat
tangkap yang ada di kampung nelayan sekaligus. Hal ini dikarenakan keterbatasan
kemampuan, baik modal untuk membeli alat tangkap maupun kemampuan dalam
85 4.1.2 Aktifitas Produksi
Dalam ilmu ekonomi, aktifitas produksi merupakan kegiatan yang
bertujuan untuk menghasilkan atau menambah nilai guna suatu barang sehingga
memberikan nilai jual untuk memperoleh pendapatan. Warga kampung nelayan
seberang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan yang dalam
penghasilannya diliputi ketidakpastian untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Kondisi ini direspon warga kampung nelayan seberang dengan
bermunculannya berbagai aktifitas produksi untuk memperoleh penghasilan
tambahan yaitu sebagai berikut :
Beternak hewan seperti kambing, ayam, dan bebek. Aktifitas ini dilakukan
sebagian besar oleh para istri dan anak-anak yang tidak ikut melaut. Ayam
dan bebek merupakan milik sendiri (nelayan), sedangkan kambing yang
diternakkan di Kampung Nelayan merupakan milik para toke atau juragan
kapal dan para istri dan anak-anak nelayan yang tidak ikut melaut menjadi
pengembalanya. Upah yang didapat untuk beternak kambing bukan berupa
uang melainkan adanya sistem bagi hasil berupa anak yang dilahirkan dari
kambing yang diternakkan dimana adanya pembagian sama rata kepada
pemilik kambing dan pengembala. Namun ketika anak kambing yang
dilahirkan berjumlah ganjil, maka pembagian hasil tergantung kesepakatan
antara pemilik dan pengembala. Ada yang menjual anak kambing dan uang
hasil jualan dibagi sama rata dan ada juga pengembala mendapatkan porsi
lebih banyak dibandingkan pemilik untuk kelahiran pertama dan kelahiran
anak kambing berikutnya porsi pemilik lebih banyak dibandingkan dengan
86
besar keluarga nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak
dan membutuhkan banyak uang berupa perbaikan atas kapal serta peralatan
tangkap, biaya pendidikan, biaya ketika sakit dan perbaikan rumah.
Penambahan nilai jual dari hasil tangkapan melaut. Hasil tangkapan yang
diperoleh nelayan di kampung nelayan seberang sebagian besar dijual dalam
keadaan segar tanpa diolah terlebih dahulu. Namun ada sebagian kecil
keluarga nelayan yang mengolah hasil tangkapan sebelum dijual kepada toke
yang juga merupakan warga kampung nelayan sendiri. Hasil pengolahan
yang dilakukan oleh warga kampung nelayan seberang yang ditemukan
selama melakukan penelitian adalah sebagai berikut :
1) Belacan (Terasi), merupakan hasil olahan dari udang/ ikan yang difermentasikan. Terasi atau di kampung nelayan seberang yang dikenal
dengan nama belacan ini terbuat dari udang yang berukuran kecil dari
hasil tangkapan nelayan. Pengolahan terasi di kampung nelayan seberang
diolah dengan cara sederhana tanpa menggunakan alat-alat modern. Dari
setiap terasi yang dibentuk seperti lingkaran itu dijual dengan harga Rp.
500/ satu lingkaran. Terasi yang sudah jadi kemudian dijual di
warung-warung kecil yang tersebar di Kampung Nelayan Seberang.
2) Ikan Asin, merupakan salah satu produk dari nelayan untuk memberikan nilai tambah terhadap ikan serta pengawetan ikan sehingga masih bisa
dikonsumsi untuk waktu yang relative lebih lama dibandingkan dengan
ikan segar. Sama halnya seperti terasi, ikan asin juga diolah dengan
menggunakan metode-metode sederhana. Ikan yang diasinkan merupakan
87
pasaran namun rasanya enak untuk dijadikan ikan asin. Produksi ikan asin
di kampung nelayan seberang tergantung pada permintaan toke yang akan
menampung hasil tangkapan nelayan. Ketika toke membutuhkan ikan
asin, maka disaat itu ikan asin diproduksi oleh rumah tangga nelayan.
Selain itu, produksi ikan asin ini juga digunakan keluarga nelayan untuk
memenuhi kebutuhan lauk untuk mengurangi pengeluaran agar
penghasilan yang didapat bisa digunakan untuk keperluan lain. Seperti
ungkapan dari Sarifah (34 Tahun) sebagai berikut :
“Ikan asin yang kami buat untuk pengganti lauk biar boleh (dapat) hemat sikit, jadi duitnya bisa untuk anak sekolah” (wawancara tanggal 4 Juni 2015)
3) Udang Kering, merupakan udang yang berukuran kecil yang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan yang kepalanya dipotong kemudian direbus
dan dijemur sebelum dijual kepasaran. Selain menjadikan udang lebih
tahan lama, hal ini juga bertujuan untuk menambah nilai jual dari udang
itu sendiri. Selain itu, adanya udang kering di kampung nelayan seberang
ini membuka peluang kerja bagi para istri nelayan maupun anak
perempuan yang tidak ikut melaut untuk memperoleh penghasilan
tambahan keluarga. Pekerjaannya itu berupa memotong kepala udang
dengan upah Rp. 2.500/ kg. Dalam sehari tak kurang 10 kg udang didapat
dari hasil pemotongan kepalanya sehingga istri dan anak-anak perempuan
nelayan mendapatkan upah tak kurang dari Rp.25.000/ hari. Dengan upah
ini tentunya akan sangat membantu untuk mencukupi kebutuhan keluarga
88
4.2 Pola dan Strategi Adaptasi Dalam Bidang Sosial Budaya
Selain di bidang ekonomi, pola dan strategi adaptasi juga diterapkan oleh
keluarga nelayan dalam bidang sosial budaya yang dibagi ke dalam dua bagian
sebagai berikut :
4.2.1 Bentuk Sistem Sosial Kemasyarakatan yang Ada
Warga kampung nelayan seberang memiliki latar belakang budaya yang
berbeda-beda dan nilai yang berbeda-beda pula. Terdapat beberapa etnis/suku
yang ada di kampung nelayan seberang meliputi : Etnis Melayu, Jawa, Banjar,
Aceh, Batak, Mandailing, Karo, Minang dan Etnis Sunda. Namun kesamaan
tempat tinggal, mata pencaharian serta agama yang dimiliki oleh warga kampung
nelayan seberang memberikan kesempatan bagi warga untuk berinteraksi lebih
intens (sering) antar warga di kampung nelayan seberang mengenai
kehidupannya. Kesamaan nasib dalam interaksi yang melibatkan banyak individu
ini kemudian memainkan perannya dalam membentuk strategi adapatasi bertahan
hidup dengan memanfaatkan sistem sosial yang terbentuk di masyarakat
Kampung Nelayan Seberang. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di
lokasi studi terdapat beberapa bentuk strategi yang dihasilkan dari
interaksi-intraksi yang terjadi dalam sistem sosial masyarakat kampung nelayan seberang
yaitu sebagai berikut :
1. Hubungan Sosial Horizontal
Hubungan sosial yang terjadi di kampung nelayan seberang awalnya
berdasarkan pada hubungan kekeluargaan. Namun seiring dengan
berkembangnya kampung nelayan seberang sebagai wilayah pemukiman,
89
berbeda untuk tinggal dan menetap di Kampung nelayan seberang.
Sehingga hal ini memunculkan hubungan baru seperti hubungan kekerabatan
(etnis yang sama) dan juga hubungan tetangga atas dasar tempat tinggal
yang sama.
Seiring berjalannya waktu, interaksi yang dilakukan secara intens
(sering) antar individu di masyarakat kampung nelayan seberang
membentuk status ekonomi dan sosial yang tingkatnya berbeda-beda bagi
tiap rumah tangga. Hubungan antar rumah tangga yang memiliki status
sosial dan ekonomi yang sama disebut dengan hubungan horizontal. Dengan
adanya kesamaan status sosial dan ekonomi menyebabkan hubungan yang
terjalin akan sangat kuat. Sehingga dengan memanfaatkan hubungan
horizontal ini keluarga nelayan di kampung nelayan dapat saling membantu
ketika tetangga maupun kerabatnya membutuhkan bantuan.
2. Hubungan Sosial Vertikal (Relasi Patron-Klien).
Relasi patron-klien merupakan hubungan timbal balik antara
orang-orang yang memiliki status dan kekuasaan yang tidak sama dengan
memberikan keuntungan terhadap keduanya. Relasi patron-klien ini timbul
sebagai bentuk adanya interaksi sosial yang bersifat vertikal yang di dalam
masyarakat kampung nelayan seberang sendiri terjadi antara toke dan
juragan perahu dengan nelayan. Toke dan juragan perahu dianggap memiliki
status lebih tinggi atas dasar kondisi ekonomi mereka yang lebih memadai
dibandingkan dengan nelayan yang menjual hasil tangkapan kepada toke
90
Toke yang bersatus sebagai patron, mendapatkan keuntungan berupa
hasil tangkapan nelayan yang didapat dengan harga yang lebih murah dari
harga pasaran. Juragan perahu yang juga berstatus sebagai patron
mendapatkan keuntungan dari bagi hasil tangkapan yang di dapat nelayan
dengan kapal dan alat tangkap yang dipinjamkan kepada nelayan.
Sedangkan nelayan yang berstatus sebagai klien mendapatkan jaminan
bantuan ketika kondisi ekonomi sedang sulit dan juga kapal serta peralatan
tangkap untuk mencari penghasilan sebagai nelayan. Selain itu, kehadiran
toke di kampung nelayan seberang sangat membantu nelayan untuk menjual ikan dengan cepat kerena toke juga merupakan warga kampung nelayan
seberang. Sehingga nelayan mendapatkan waktu yang lebih efisien untuk
menangkap ikan dibandingkan dengan menjual sendiri di pasar. Seperti
pengakuan pak Safaruddin (57 Tahun) :
“..karena ada toke yang nampung ikan disini, nelayan sini tak perlu repot-repot jual di pajak (Pasar)..soalnya sama saja, ongkos kesana udah berapa,, harusnya waktu bisa dipakai buat nyari ikan jadinya habis buat jual ikan”(wawancara tanggal 20 mei 2015)
Toke dan juragan perahu di kampung nelayan seberang yang juga
merupakan peduduk setempat, membuat hubungan yang terjalin begitu kuat
karena tinggal di lokasi yang sama yang setiap harinya dapat saling
berintraksi. Kondisi ini memberikan daya tawar yang kuat bagi toke yang
merupakan penduduk setempat dibandingkan dengan toke dari daerah lain
untuk menampung hasil tangkapan nelayan.
3. Kelompok Arisan (Jula-Jula)
Salah satu strategi adaptasi bertahan hidup dalam bidang sosial
91
yang melibatkan istri-istri nelayan. Kelompok arisan merupakan sebuah
pranata tradisional yang lahir dari interaksi yang terjadi antar warga kampung
nelayan. Lahirnya kelompok arisan merupakan sebuah respon positif dari
kondisi sulitnya ekonomi nelayan. Selain untuk mempererat hubungan sosial
antar warga, fungsi utama kelompok arisan ini adalah untuk mengatasi
ketidakpastian ekonomi yang terjadi di keluarga nelayan.
4.2.2 Bentuk dan Pola Preferensi Tempat Tinggal
Kampung nelayan seberang merupakan sebuah wilayah yang unik yang
memiliki dua wilayah administrasi dalam satu kawasan tanpa adanya batasan yang
jelas antar kedua wilayah admnistrasi tersebut. Hal ini tentu memberikan pilihan
bagi warga di kampung nelayan seberang yang sebagian besar merupakan
pendatang dari berbagai daerah untuk memilih wilayah administrasi yang mereka
inginkan. Tentunya pilihan-pilihan yang diambil oleh warga kampung nelayan
seberang yang tinggal disana penuh dengan pertimbangan. Hal ini merupakan
bentuk strategi adaptasi bertahan hidup yang dilakukan oleh warga kampung
nelayan seberang. Dari hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan selama
melakukan penelitian di kampung nelayan seberang didapat sebuah fakta yang
menarik dimana kota medan merupakan pilihan terbanyak yang dipilih warga
kampung nelayan seberang untuk menjadi wilayah administrasi mereka. Artinya,
warga yang memilih kota medan sebagai wilayah administrasi terdaftar sebagai
warga kota medan yang dapat dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Tanda
92
Banyaknya warga kampung nelayan seberang yang memilih kota medan
sebagai wilayah administrasi dibandingkan dengan kabupaten deli serdang diakui
oleh kepala dusun palu kurau kab. Deli serdang yaitu pak hermansyah (34 Tahun):
”Warga palu kurau (Kab. Deli Serdang) di sini (kampung nelayan seberang) cuma sekitar 40-an KK (kepala keluarga), lainnya sekitar 700-an KK orang medan semua. Sebenarnya banyak juga orang dari deli serdang sama langkat disini (Kampung Nelayan Seberang), tapi banyak yang pindah KK”.(wawancara tanggal 20 Mei 2015)
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan selama penelitian, terdapat
dua alasan yang dapat disimpulkan dibalik pemilihan kota medan sebagai wilayah
administrasi yaitu sebagai berikut :
Pertama, Kota Medan merupakan wilayah terdekat dari kampung nelayan
seberang dibandingkan dengan wilayah kabupaten deli serdang maupun
kabupaten langkat tepatnya mencakup wilayah administrasi Medan Belawan.
Sehingga cukup menggunakan alat transportasi berupa kapal motor yang
hanya sekitar 5 menit untuk sampai di wilayah Medan Belawan.
Kedua, banyaknya berbagai jenis bantuan yang didapat dari kota medan
sebagai ibukota provinsi Sumatera Utara baik bantuan dalam hal pendidikan,
kesehatan, maupun bantuan berupa sembako dan lain sebagainya. Tentunya
sebagai ibukota provinsi, Kota Medan mendapatkan lebih banyak perhatian
baik dari segi pendanaan APBD yang mendapat porsi yang lebih besar
93 BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kampung nelayan seberang merupakan suatu wilayah yang unik karena
secara administratif berada di wilayah administrasi Kabupaten Deli Serdang.
Namun berdasarkan fakta di lapangan, sebagian besar masyarakat yang tinggal di
kampung nelayan secara legal formal terdaftar sebagai penduduk Kota Medan.
Legalitas mereka ditandai dengan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk yang
dikeluarkan oleh pemerintah Kota Medan. Hanya sebagian kecil masyarakat yang
merupakan warga yang berasal dari Kabupaten Deli Serdang yang ditandai
dengan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk yang dikeluarkan oleh pemerintahan
Kabupaten Deli Serdang. Dengan adanya kepemilikan Kartu Tanda Penduduk
yang berbeda antar masyarakat yang tinggal di Kampung Nelayan Seberang
menjadikan wilayah ini terbagi ke dalam dua wilayah administrasi yaitu wilayah
administrasi Kabupaten Deli Serdang dan wilayah administrasi Kota Medan. Hal
ini dibuktikan dengan adanya dusun empat belas dari Desa Palu Kurau Kecamatan
Hamparan Perak yang termasuk wilayah administrasi Kabupaten Deli Serdang
dan Lingkungan XII Kelurahan Belawan I yang termasuk wilayah administrasi
dari Kota Medan yang tepatnya termasuk dalam Kecamatan Medan Belawan.
Penduduk kampung nelayan seberang moyoritas berprofesi sebagai
nelayan tradisional. Hal ini tidak terlepas dari lokasi kampung nelayan yang
berada di muara sungai batang serai yang juga berbatasan langsung dengan laut
94
Medan. Kondisi penghasilan nelayan yang diliputi ketidakpastian menyebabkan
tidak terpenuhinya kebutuhan hidup rumah tangga nelayan. Sehingga hal ini
disikapi dengan melakukan berbagai adaptasi untuk mempertahankan hidup
Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah
yang diwujudkan dalam dua pertanyaan. Pertama, Bagaimana kondisi sistem
sosial dan budaya masyarakat di Kampung Nelayan Seberang dikaitkan dengan
kondisi kemiskinan yang ada. Kedua, Bagaimana bentuk-bentuk strategi adaptasi
yang dilakukan oleh keluarga nelayan dalam menghadapi perubahan hidup terkait
dengan pilihan mereka untuk tinggal dan menetap di Kampung Nelayan Seberang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemiskinan yang terjadi di
kampung nelayan merupakan akibat dari ketidakmampuan individu nelayan dalam
mengakumulasi basis kekuasaan sosial yang ada di masyarakat. Basis kekuasaan
sosial itu berupa : pertama, kekuasaan atas aset berupa tanah yang bukan
merupakan hak milik akan tetapi hanya berupa hak pakai yang sewaktu-waktu
dapat diminta kembali oleh pemiliknya yang dalam hal ini yaitu Pelabuhan
Belawan. Sehingga hal tersebut menyebabkan ketidakpastian tempat tinggal di
masa mendatang. Kedua, sumber keuangan yang tidak menentu dari hasil melaut
yang penuh ketidakpastian. Hal ini menyebabkan nelayan terlilit hutang kepada
toke-toke yang menampung hasil tangkapan mereka yang hanya dapat dibayar
dari hasil tangkapan berikutnya. Ketiga, organisasi sosial masyarakat seperti
kelompok arisan yang tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan oleh nelayan karena
hasil pengumpulan uang dari kelompok arisan ini bertujuan sebagai pengeluaran
yang mendesak seperti perbaikan perahu, biaya pengobatan, perbaikan rumah.
95
yang harus dipenuhi setiap harinya. Keempat, jaringan sosial nelayan untuk
memperoleh pekerjaan lain, keterampilan dan pengetahuan baru hanya terbatas di
lingkungan masyarakat nelayan kampung nelayan seberang. Hal ini sebagai akibat
ketergantungan yang tinggi terhadap kehidupan melaut sebagai mata pencaharian
utama yang tentunya membatasi nelayan untuk mendapatkan penghasilan baru
selain dari penghasilan sebagai nelayan. Kelima, akses informasi yang juga
terbatas bagi nelayan di kampung nelayan seberang. Sama halnya dengan
keterbatasan jaringan sosial, akses informasi juga diakibatkan ketergantungan
yang tinggi terhadap kehidupan melaut sebagai mata pencaharian utama yang juga
tentunya membatasi nelayan untuk mendapatkan informasi baru yang berguna
dalam kehidupannya. Dari keseluruhan basis sosial yang telah dijelaskan di atas
dapat dilihat bagaimana kondisi nelayan di Kampung Nelayan Seberang yang
dapat dikategorikan miskin karena keterbatasan berbagai aspek dari basis sosial
yang ada di Kampung Nelayan Seberang. Mulai dari tidak adanya aset berupa
rumah dan tanah yang menjadi jaminan hidup di masa mendatang, penghasilan
yang tidak menentu, hingga dampak kekurangan akses jaringan sosial dan
informasi akibat dari mata pencaharian utama sebagai nelayan yang
mengharuskan para nelayan menghabiskan waktu untuk kegiatan melaut dan
memperbaiki kapal serta alat tangkap yang mereka miliki sebagai modal hidup
untuk mencari nafkah.
Selain itu, hasil penelitian ini juga telah menjawab pertanyaa kedua dari
rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian yaitu Bagaimana bentuk-bentuk
strategi adaptasi yang dilakukan oleh keluarga nelayan dalam menghadapi
96
Kampung Nelayan Seberang. Strategi adaptasi yang dilakukan nelayan dapat
dibagi menjadi dua bidang yaitu strategi adaptasi di bidang ekonomi, strategi
adaptasi di bidang sosial dan budaya.
Di bidang ekonomi, strategi adaptasi dalam bertahan hidup yang dilakukan
nelayan berupa aktifitas ektraksi dan aktifitas produksi. Pertama, aktifitas ektraksi
adalah mengambil sumberdaya langsung dari alam tanpa adanya ikut campur
dalam perkembangan yang terjadi di alam. Seperti itu juga halnya dengan nelayan
yang ada di Kampung Nelayan Seberang yang mengambil sumberdaya langsung
berupa ikan, udang, kepiting dan lainnya dari laut tanpa adanya ikut campur
dalam pertumbuhan dan reproduksi sumberdaya tersebut. Dalam aktifitas ektraksi
ini nelayan menggunakan setiap waktunya untuk melaut sebagai bentuk mengatasi
penghasilan yang diliputi ketidakpastian. Selain itu, penggunaan berbagai alat
tangkap serta penggunaanya di waktu-waktu yang tepat merupakan bentuk strategi
yang dilakukan nelayan untuk memperoleh hasil yang lebih banyak. Kedua,
aktifitas produksi yang bertujuan untuk menghasilkan atau menambah nilai jual
dari suatu barang. Aktifitas produksi ini merupakan bentuk adaptasi keluarga
nelayan untuk menambah penghasilan dalam memenuhi kebutuhan akibat dari
pengahasilan melaut yang tidak menentu. Aktifitas produksi yang dilakukan
keluarga nelayan berupa : beternak serta membuat terasi,ikan asin dan udang
kering sebagai produksi untuk menambah nilai jual dari hasil melaut.
Di bidang sosial dan budaya, bentuk strategi yang diterapkan oleh
masyarakat dengan memanfaatkan hubungan sosial di masyarakat baik hubungan
vertikal maupun horizontal serta memanfaatkan organisasi sosial yang ada seperti
97
serta untuk mengatasi ketidakpastian ekonomi yang terjadi di keluarga nelayan.
Pemilihan kampung nelayan seberang sebagai tempat tinggal walaupun diliputi
ketidakpastian akan jaminan di masa depan juga merupakan sebuah strategi
bertahan hidup bagi masyarakat kampung nelayan seberang. Selain itu, dengan
adanya dua wilayah administrasi di kampung nelayan seberang yaitu wilayah
administrasi Kabupaten Deli Serdang dan wilayah administrasi Kota Medan,
memberikan pilihan bagi warga kampung nelayan yang sebagian besar merupakan
pendatang untuk memilih wilayah administrasi yang diinginkan. Dan sebagian
besar warga memilih kota medan sebagai wilayah administrasi. Hal ini karena
lokasi kampung nelayan seberang yang lebih dekat dengan kota medan
dibandingkan dengan kabupaten deli serdang sehingga memudahkan masyarakat
dalam pengurusan administrasi kependudukan. Namun, alasan yang utama
pemilihan kota medan sebagai wilayah administrasi adalah karena banyaknya
bantuan yang diterima dari berbagai pihak baik pemkot maupun pihak swasta
sebagai faktor dari kota medan sebagai ibukota provinsi yang tentunya
mendapatkan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan kabupaten deli
serdang.
5.2. Saran
Kemiskinan yang terjadi pada nelayan di kampung nelayan seberang
merupakan akumulasi dari berbagai penyebab yang ada di kehidupan nelayan
terutama ketidakpastian penghasilan dari hasil tangkapan nelayan serta
ketidakmampuan nelayan dalam mengakumulasi basis kekuasaan sosial yang ada
di masyarakat . Hal ini tentunya perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai
98
untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Sehingga kehidupan nelayan
tradisional di Indonesia khususnya di kampung nelayan seberang dapat keluar dari
jerata kemiskinan yang melanda mereka.
Selain itu, kampung nelayan seberang merupakan kawasan milik
Pelabuhan Belawan yang sewaktu-waktu jika dibutuhkan, masyarakat di kampung
nelayan seberang harus pindah dari lokasi tersebut. Hal ini terjadi karena
pembiaran yang dilakukan oleh otoritas pelabuhan maupun negara dalam hal ini
pemerintahan Kabupaten Deli Serdang dan Pemerintah Kota Medan sehingga
kampung nelayan seberang yang pada awalnya merupakan hutan mangrove
beralih fungsi menjadi pemukiman. Jika penggusuran terjadi di kampung nelayan
seberang, maka pihak-pihak yang berwenang harus memikirkan mulai dari
sekarang relokasi tempat tinggal bagi masyarakat nelayan yang terkena dampak