BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Morfologi
Dalam beberapa literatur, pengertian morfologi diartikan sebagai sebuah ilmu
yang mempelajari bentuk, struktur, atau proses terjadinya bentuk dari bagian,
unsur-unsur, atau elemen-elemen. Menurut Loeckx dan Vermeulen (dalam Adriana, 2007),
morfologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana setiap elemen satuan
membangun sebuah kota, bagaimana sebuah individual project berkontribusi pada
collective project.
Morfologi terdiri dari dua suka kata yaitu morf yang berarti bentuk dan logos
yang berarti ilmu. Secara sederhana morfologi kota berarti ilmu yang mempelajari
produk bentuk-bentuk fisik secara logis. Morfologi merupakan pendekatan dalam
memahami bentuk logis sebuah kota sebagai produk perubahan sosio-spatial.
Disebabkan karena setiap karakteristik sosial-spatial di setiap tempat berbeda-beda
maka istilah morfologi sangat erat kaitannya dengan istilah tipologi. Secara
sederhana, Markus Zahn memberi pengertian istilah morfologi sebagai formasi
sebuah objek bentuk kota dalam skala yang lebih luas. Morfologi biasanya digunakan
untuk skala kota dan kawasan. Sedangkan tipologi sebagai klasifikasi watak atau
Istilah tipologi lebih banyak digunakan untuk mendefinisikan bentuk elemen-elemen
kota seperti jalan, ruang terbuka hijau, bangunan dan lain sebagainya.
Menurut FDK Ching, (dalam Adriana, 2007), morfologi menyangkut kualitas
gambaran ruang, dalam konteks wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui
pola, hirarki, dan hubungan ruang satu dengan ruang lainnya. Morfologi lebih
menekankan pada pembahasan bentuk geometrik sehingga untuk memberi makna
pada ungkapan ruangnya harus dikaitkan dengan nilai ruang tertentu. Nilai ruang
dapat disebabkan oleh hirarki ruang yaitu bagian yang menunjukkan adanya derajat
kepentingan baik secara fungsional, formal maupun simbolik. Sistem tata nilai ruang
bisa tercipta dengan adanya besaran atau ukuran yang berbeda, bentuk yang unik dan
lokasi.
Menurut Tremlett, George (dalam Adriana, 2007), prinsip dari morfologi
dalam konteks lingkungan permukiman adalah menghubungkan antara proses
pertumbuhan dan pembentukan elemen-elemen fisik dengan elemen non fisik yang
melatarbelakangi perwujudan bentuk ruang.
Menurut Aldo Rossi (dalam Widiangkoso, 2002), morfologi adalah
mendeskripsikan suatu urban artefac. Pemahaman dari teori ini adalah tentang arti
morfologi yang merupakan penggambaran proses atau perkembangan artefak sejarah
yang terjadi di kawasan penelitian.
Menurut Schultz (dalam Widiangkoso, 2002), studi morfologi pada dasarnya
mengatakan bahwa sistem figurasi ruang dapat dihubungkan melalui pola, hirarki
ruang, maupun hubungan ruang yang satu dengan ruang lainnya.
Menurut A. Loeckx (dalam Widiangkoso, 2002), studi morfologi merupakan
pertalian struktural antara tipe-tipe peraturan dari koneksi, interrelasi, posisi,
pendimensian, memfungsikan dan sebagainya, yang mengatur jalinan dari tipe-tipe
yang berbeda ke dalam jaringan-jaringan organisasi.
Menurut Smailes (dalam Widiangkoso, 2002), terdapat 3 (tiga) unsur
morfologi kota yaitu, unsur penggunaan lahan (land use), pola-pola jalan (street
plan/layout), dan tipe-tipe bangunan.
Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan, secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa morfologi adalah penelusuran proses perkembangan suatu
kawasan yang berkaitan dengan artefak sejarah di lokasi penelitian yang pada
dasarnya menyangkut kualitas figurasi dalam konteks bentuk dari pembatas ruang,
dan bentuk figurasi tersebut dapat dihubungkan melalui unsur tata ruang berupa tata
guna lahan, pola-pola jalan, dan unsur tata bangunan berupa tipe-tipe bangunan.
2.2 Pengertian Kampung
Kampung, diambil dari kata Melayu, awalnya merupakan terminologi yang
dipakai untuk menjelaskan sistem permukiman pedesaan. Istilah kampung seringkali
dipakai untuk menjelaskan dikotomi antara kota dan desa. Kota diartikan dengan
modernitas/kemajuan sementara desa atau kampung diartikan dengan
seringkali dipakai untuk menjelaskan cara berpikir dan perilaku yang memalukan,
jauh dari etika priyayi, dan tidak layak disandingkan dengan budaya priyayi di
perkotaan.
Kampung, seringkali dikontraskan atau didikotomikan dengan perumahan
”gedongan” atau sekarang disebut sebagai perumahan ”real estate”. Kampung adalah
untuk mereka yang miskin, warga biasa atau wong cilik, sedangkan perumahan
”gedongan” atau ”real estate” untuk mereka yang kaya dan mapan.
Memang, secara fisik, sebagian kampung dicirikan dengan ketidakteraturan,
ketidakseragaman, ketidakmapanan, dan bahkan mungkin ketidakamanan serta
ketidaksehatan. Dalam banyak hal, kekhasan kampung justru terletak pada pola-pola
fisik yang beragam, organik, seringkali surprizing, di luar kadar kreatifitas arsitek
yang jenius sekalipun. Setiap kampung adalah unik, karena tiap kampung
merepresentasikan kekhasan sejarah, kemampuan, usaha, perjuangan, dan bahkan
jiwa merdeka warganya.
Menurut Budiharjo (1992), kampung merupakan kawasan permukiman
kumuh dengan ketersediaan sarana umum buruk atau tidak ada sama sekali, kerap
kawasan ini disebut ‘slum’ atau ‘squater’. Turner(1972) menyatakan kampung
merupakan lingkungan tradisional khas, ditandai ciri kehidupan yang terjalin dalam
ikatan kekeluargaan yang erat, yang merupakan bentuk permukiman yang unik, tidak
dapat disamakan dengan ‘slum’ dan ‘squater’ atau juga disamakan dengan
permukiman kumuh adalah dari statuskepemilikan tanah dan Nilai Ekonomi Lokasi
(NEL).
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa kampung kota
adalah suatu bentuk permukiman di wilayah perkotaan yang khasIndonesia dengan
ciri antara lain: penduduk masih membawa sifat dan prilakukehidupan pedesaan yang
terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat, kondisi fisik bangunan dan lingkungan
kurang baik dan tidak beraturan,kerapatan bangunan dan penduduk tinggi, sarana
pelayanan dasar serbakurang, seperti air bersih, saluran air limbah dan air hujan,
pembuangansampah dan lainnya.
Pembangunan perumahan/permukiman yang sedemikian pesatnya
menyebabkan banyak pertumbuhan permukiman yang tidak teratur dan terencana
dengan baik. Rumah berperan sangat penting dalam kehidupan manusia. Rumah
menjadi tempat dimana nilai-nilai sebuah keluarga berlangsung, menjadi ruang
dimana manusia mengekspresikan cara melakoni kehidupan, berkomunikasi dan
berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya. Rumah juga dijadikan alat untuk
menampilkan citra dimana nilai norma dan tradisi lebih berpengaruh dalam citra,
bentuk dan ruangnya (Rapoport, 1969).
2.3 Permukiman yang Tumbuh Secara Organik
Sebuah permukiman tercipta dan berkembang secara spontan, diatur menurut
pendapat masyarakat secara umum yang sangat dipengaruhi oleh adat istiadat,
permukiman organik, dengan karakteristik berorientasi pada alam dan mempunyai
kohesi yang kuat.
Pola sebuah kota organik merupakan perwujudan dari bentuk kota ‘unplanned
city’, yaitu kota yang tumbuh tanpa perencanaan formal, terbentuk dengan sendirinya
menurut kaidah, norma, dan kebudayaan yang berlaku di masyarakat yang
menempatinya (Spiro Kostof, 2001).
Pembentukan kota yang tidak direncanakan secara formal ini menimbulkan
ketidakteraturan bentuk kota, namun tetap harmonis dan merupakan cerminan dari
keinginan dan pemikiran masyarakat. Kota yang lahir, tumbuh dan berkembang
karena aspirasi masyarakat, dan unplanned city merupakan produk masyarakat yang
benar-benar murni dan telah disepakati.
Menurut Spiro Kostof (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan
organic pattern meliput i:
1. Topografi (the role of topography), pola kota organik selalu mengikuti
topografi yang ada, tidak merubah ataupun memodifikasinya. Keadaan
topografi yang beragam pada satu wilayah akan menyebabkan
ketidakteraturan pola kawasan, dan ketidakteraturan pola inilah yang
menjadi salah satu indikator pola kota organik.
2. Pembagian Lahan (land division), pembagian lahan dalam usaha
pemanfaatannya seringkali mengikuti keinginan masyarakat sehingga
berdampak pada terjadinya ketidakteraturan pola kawasan hingga
3. Synoecism, gejala synoecism menunjukkan suatu pola organik jika dilihat
dari dua hal yaitu terbentuknya kawasan karena keinginan dan
kesepakatan masyarakat setempat, dan terbentuknya pusat kegiatan.
4. Hukum dan Aturan Sosial (the law and social order), kaidah dan aturan
sosial yang berlaku di masyarakat yang menciptakan suatu pola tertentu.
Faktor alam dan faktor aspirasi masyarakat tersebut saling dikombinasikan
dan diinteraksikan untuk menghasilkan suatu tata ruang kota yang harmonis antara
kehidupan manusia dengan lingkungan alamnya. Perpaduan tersebut menghasilkan
bentuk yang khas, yang memiliki ciri-ciri: irregular, non geometrik (dalam skala
kecil), organik, dan fleksibel.
Sifat-sifat kawasan yang tumbuh secara organik, antara lain mempunyai
hubungan sosial masyarakat yang sangat erat, rasa kebersamaan yang tinggi,
terjalinnya hubungan yang harmonis antara manusia dan alam, dan terjadinya
kelestarian lingkungan.
Konteks perkembangan permukiman di perkotaan sebagai bagian dari
perkembangan perkotaan secara keseluruhan yang dipengaruhi oleh perkembangan
berbagai faktor seperti sosial budaya, ekonomi, politik, teknologi dan keadaan alam.
Permukiman tidak teratur (unplanned settlement) terbagi menjadi 2 (dua) tipe yaitu
tipe kampung dan tipe rumah liar, dimana perbedaan utamanya terletak pada status
legalitas baik tanah maupun bangunannya.
Aktifitas dan pola pergerakan manusia sangat mempengaruhi terbentuknya
aktifitasnya merupakan bentuk visual sebagai wadah atau tempat. Terbentuknya suatu
permukiman sangat dipengaruhi oleh aktifitas manusia di dalamnya yang meliputi
bidang politik, ekonomi, sosial budaya, agama dan faktor lain yang tak kalah
pentingnya adalah faktor alam seperti geografi, geologi, topografi, demografi dan
lain-lain.
Terbentuknya permukiman merupakan pengalaman manusia dalam
menciptakan ruang bagi kehidupan pada suatu kondisi tapak tertentu. Pada
kenyataannya, pola permukiman berkembang mengikuti kebutuhan dan aktifitas yang
terjadi pada penduduknya. Hal inilah kemudian yang akan mempengaruhi munculnya
macam-macam pola permukiman.
Pola suatu kawasan dapat sangat berbeda, karena perbedaan tekstur pola-pola
tersebut mengungkapkan perbedaan rupa kehidupan dan kegiatan masyarakat
perkotaan secara arsitektural. Maksudnya ialah dengan menggunakan analisis
pola-pola tekstur perkotaan dan menemukan perbedaan data pada pola-pola tersebut, akan
didapatkan informasi yang menunjukkan ciri khas tatanan kawasan tersebut dan
lingkungannya. Namun dalam kenyataannya, yang sering terjadi ketika menganalisis
suatu kawasan perkotaan adalah kurang jelasnya pola tempat tersebut.
Dalam penelitian mengenai morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan ini,
manfaat teori bentuk permukiman kota adalah menunjukkan bahwa tercipta dan
berkembangnya suatu permukiman karena adanya pergerakan dan aktifitas
2.4 Permukiman di Pesisir Pantai
Menurut Iwan Suprijanto (2003) secara garis besar karakteristik umum
permukiman tepi air antara lain:
a. Karena belum adanya panduan penataan permukiman yang baku, kawasan
permukiman di atas air cenderung rapat dan kumuh.
b. Tipologi bangunan menggunakan struktur dan konstruksi tradisional
konvensional seperti rumah-rumah kayu dengan struktur sederhana.
c. Karakteristik penduduk tergolong ekonomi lemah terbelakang, dengan
pendidikan yang relatif terbatas sehingga pengetahuan akan perumahan
sehat cenderung masih kurang.
d. Dampak dari kondisi diatas terjadi kecenderungan akan berbagai kebiasaan
tidak sadar lingkungan seperti: sifat mengotori dan mencemari
sumber-sumber air, mencemari lingkungan yang berpengaruh terhadap air
permukaan, dan memungkinkan penyebaran penyakit melalui pembuangan
air limbah, terbatasnya teknologi terapan untuk penanganan
masalah-masalah di atas seperti sistem pembuangan air limbah, sampah,
pengelolaan air bersih .
Kay dan Alder (1999) menyatakan “ The band of dry land adjancent ocean
space (water dan submerged land) in wich terrestrial processes and land uses
directly affect oceanic processes and uses, and vice versa”. Diartikan bahwa wilayah
wilayah perairan yang mana proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunaan
lahan masih mempengaruhi proses dan fungsi kelautan.
Menurut Suprijanto (2003) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan
antaradaratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik
kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti
pasangsurut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah
pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi
di daratseperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena
kegiatanmanusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Dari pengertian-pengertian diatas dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwawilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan tempat
percampuranantara daratan dan lautan, hal ini berpengaruh terhadap kondisi fisik
dimana padaumumnya daerah yang berada di sekitar laut memiliki kontur yang relatif
datar.
Adanya kondisi seperti ini sangat mendukung bagi wilayah pesisir dijadikan
daerahyang potensial dalam pengembangan wilayah keseluruhan. Hal ini menunjukan
garisbatas nyata wilayah pesisir tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis
khayalanyang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Di daerah pesisir
yanglandai dengan sungai besar, garis batas ini dapat berada jauh dari garis
pantai.Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan langsung berbatasan dengan
1. Karakteristik Fisik Lingkungan.
a. Secara topografi, merupakan pertemuan antara darat dan air, dataran landai,
serta sering terjadi erosi, abrasi dan sedimentasi yang bisa menyebabkan
pendangkalan badan perairan. Topografi tanah dapat dibedakan atas 3
(tiga) kategori, yaitu:
1. Daerah perbukitan dengan kemiringan dataran 20 - 60 % (di darat);
2. Daerah relatif datar/kemiringan 0 - 20 % (di darat, termasuk daerah
pasang surut);
3. Daerah rawa atau di atas air.
b. Secara hidrologi merupakan daerah pasang surut, mempunyai air tanah
tinggi, terdapat tekanan air laut terhadap air tanah, serta merupakan daerah
retensi sehingga run-off air rendah.
c. Secara geologi, sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas, tanah
lunak, serta rawan bencana tsunami.
d. Secara penggunaan lahan memiliki hubungan intensif antara air dan elemen
kota.
e. Secara klimatologi memiliki dinamika iklim, cuaca, angin, suhu dan
kelembaban tinggi.
f. Pergeseran fungsi badan perairan laut sebagai akibat kegiatan di sekitarnya
2. Karakteristik Perumahan dan Permukiman.
a. Sejarah awal keberadaan lingkungan perumahan/permukiman di kota
pantai dapat dibedakan atas 2 (dua) kronologis, yaitu:
1. Perkembangan yang dimulai oleh kedatangan sekelompok etnis tertentu
di suatu lokasi di pantai, yang kemudian menetap dan berkembang
secara turun-temurun membentuk suatu klan/komunitas tertentu serta
cenderung bersifat sangat homogen, tertutup dan mengembangkan
tradisi dan nilai-nilai tertentu, yang pada akhirnya merupakan karakter
dan ciri khas permukiman tersebut.
2. Perkembangan sebagai daerah alternatif permukiman, karena
peningkatan arus urbanisasi, yang berakibat menjadi kawasan liar dan
kumuh perkotaan.
b. Tahapan perkembangan kawasan perumahan/permukiman di kota pantai
adalah:
1. Tahap awal ditandai oleh dominasi pelayanan kawasan perairan sebagai
sumber air untuk keperluan hidup masyarakat. Kota masih berupa suatu
kelompok permukiman di pantai dan di atas air.
2. Ketika kota membutuhkan komunikasi dengan lokasi lainnya
(kepentingan perdagangan) maka kawasan perairan merupakan
prasarana transportasi, dan dapat diduga perkembangan fisik kota yang
3. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan semakin kompleksnya
kegiatan fungsional, sehingga intensitas kegiatan di sekitar perairan
makin tinggi. Jaringan jalan raya menawarkan lebih banyak kesempatan
mengembangkan kegiatan. Walaupun begitu, jenis fungsi perairan tidak
berarti mengalami penurunan, bahkan mengalami peningkatan (makin
beragam).
c. Kawasan permukiman di atas air cenderung rapat (kepadatan bangunan
tinggi dan jarak antar bangunan rapat) dan kumuh (tidak teratur, kotor, dll).
Dominasi kawasan perumahan/permukiman nelayan, yang umumnya
kumuh dan belum tertata.
d. Pola perumahan dipengaruhi oleh keadaan topografi, dibedakan atas 3
(tiga), yaitu:
1. Daerah perbukitan cenderung mengikuti kontur tanah;
2. Daerah relatif datar cenderung memiliki pola relatif teratur, yaitu pola
Grid atau Linear dengan tata letak bangunan berada di kiri-kanan jalan
atau linear sejajar dengan (mengikuti) garis tepi pantai;
3. Daerah atas air pada umumnya cenderung memiliki pola cluster, yang
tidak teratur dan organik. Pada daerah-daerah yang telah ditata
umumnya menggunakan pola grid atau linear sejajar garis badan
perairan.
e. Orientasi bangunan semula umumnya menghadap perairan sesuai orientasi
darat semakin meningkat (bahkan lebih dominan), maka orientasi
bangunan cenderung menghadap ke arah darat dan lebih
mempertimbangkan aspek fungsional dan aksesibilitas.
f. Secara arsitektural, bangunan pada permukiman di kota pantai dibedakan
atas:
1. Bangunan di atas tanah;
2. Bangunan panggung di darat;
3. Bangunan panggung di atas air;
4. Bangunan rakit di atas air (pernah ada dan saat ini sudah jarang
dijumpai);
Arsitektural bangunan dibuat dengan kaidah tradisional maupun modern,
sesuai dengan latar belakang budaya dan suku/etnis masing-masing.
g. Tipologi bangunan menggunakan struktur dan konstruksi sederhana,
tradisional dan konvensional, yang kurang memperhitungkan pengaruh
angin, tsunami, gempa, dll.
h. Sering terjadinya kebakaran karena kelalaian, penggunaan bahan/peralatan
berbahaya dan mudah terbakar, serta belum tersedianya sarana dan
pedoman penanggulangan kebakaran, khususnya untuk perumahan di atas
air.
Kawasan pesisir rentan dengan berbagai permasalahan. Adapun permasalahan
1. Permasalahan Fisik Lingkungan.
a. Adanya abrasi dan akresi menyebabkan pengikisan dan sedimentasi
sehingga garis pantai sering berubah, yang mengganggu aktivitas yang
sedang maupun akan berlangsung. Sedimentasi mengakibatkan
pendangkalan sehingga transportasi air terganggu.
b. Muka air tanah tinggi dan merupakan fungsi retensi menyebabkan sering
terjadi genangan banjir, run-off rendah, lingkungan korosif, serta tingginya
intrusi air laut ke air tanah. Arus pasang surut menimbulkan masalah
pendaratan kapal.
c. Secara geologis, kawasan tersebut rawan bencana tsunami serta muka tanah
turun.
d. Tata guna lahan dan pembangunan fisik yang tidak sesuai karakteristik area
pantai akibat adanya kompetisi lokasi yang berhadapan dengan air. Hal ini
mengakibatkan konflik kepentingan antara kawasan konservasi dan
komersial.
e. Dilihat dari kondisi klimatologinya, kawasan tersebut mempunyai
dinamika iklim, cuaca, angin, dan suhu, serta mempunyai kelembaban
tinggi.
f. Pergeseran fungsi tepi laut/pantai mengakibatkan timbulnya:
1. Gejala erosi tanah yang terus meningkat sehingga terjadi pedangkalan
perairan.
3. Pertentangan kepentingan.
4. Meningkatnya pencemaran air berakibat pada penurunan hasil perikanan.
5. Potensi perairan sebagai objek wisata sukar dimanfaatkan karena
kecenderungan menurunnya estetika lingkungan.
6. Terjadi kecenderungan kenaikan muka air laut sebagai bagian dari
pemanasan global (global warming) dan dampak pembangunan pada
kawasan tepi laut/pantai secara tidak berwawasan lingkungan.
7. Potensi perairan sebagai sumber air bersih penduduk menjadi tidak
ekonomis lagi karena membutuhkan biaya tinggi untuk proses
penjernihannya.
2. Permasalahan Perumahan dan Permukiman.
a. Sebagian besar perumahan nelayan dan perumahan di atas air belum
memenuhi standar persyaratan kesehatan, kenyamanan, keamanan,
ketertiban, keindahan dan berwawasan lingkungan.
b. Kondisi lingkungan perairan kurang mendukung, sehingga perlu
penyelesaian sistem struktur tepat guna pada kondisi perairan, khususnya
di daerah pasang surut.
c. Kecenderungan pengembangan kawasan pemukiman, terutama di atas air
akan bersaing dengan lajunya pengembangan wilayah pelabuhan.
d. Belum adanya pengaturan perencanaan, pelaksanaan, juga pengawasan dan
pemeliharaan kawasan perumahan di pantai, terutama perumahan di atas
e. Belum maksimalnya teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan
ini, baik dari aspek fisik bangunan, maupun teknologi sistem
pendukungnya. Alternatif-alternatif teknologi yang dapat diterapkan
umumnya relatif modern dan cenderung memakan biaya tidak murah,
sehingga menjadi tidak efektif, mengingat daya jangkau relatif terbatas.
Perlu beberapa teknologi murah dan tepat guna.
f. Tidak didukung penyediaan material berkualitas yang cukup (jumlah
semakin terbatas dan relatif semakin mahal).
3. Permasalahan Status Hukum (Legalitas) Kawasan
a. Meskipun eksitensi fisik diakui, namun pengakuan dan dukungan secara
hukum masih terkesan ragu-ragu, yang mungkin disebabkan oleh beberapa
faktor:
1. Pengertian sempadan pantai masuk dalam kelompok kawasan lindung.
2. Pengertian permukiman: bagian lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik berupa kawasan pedesaan maupun perkotaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
3. Pengertian persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan,
pemilikan dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau hunian
untuk membangun, hanya dapat terwujud di atas sebidang tanah yang
b. Karena kawasan di atas air tumbuh tanpa aturan yang jelas dengan
sendirinya status hukumnya menjadi tidak jelas.
c. Belum memungkinkan menjadikan bangunan/sarana dan prasarana sebagai
jaminan/agunan kredit, khususnya pada lembaga-lembaga
keuangan/perbankan yang ada.
Kawasan pesisir pantai juga mempunyai potensi, antara lain:
1. Merupakan dataran subur dan sebagian besar memiliki sumber daya
mineral.
2. Muka air tanah tinggi sehingga memiliki cukup banyak ketersediaan air.
3. Keunggulan lokasi kawasan yang mempunyai akses langsung ke air
mengakibatkan percepatan pengembangan kawasan.
4. Merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah penyediaan
perumahan sebagai akibat kekurangan/kesulitan lahan baru (semakin
mahal, dan terbatas).
5. Adanya perumahan di pinggiran air dan/atau di atas air merupakan potensi
wisata yang dapat dikembangkan.
2.5Morfologi Perkampungan Kawasan Pesisir
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hassan (2001), secara umum jenis
perkampungan nelayan yang berada di kawasan pesisir yang terbentuk merupakan
yang lainnya yang dipengaruhi oleh rupa bentuk geografi masing-masing. Corak
permukiman ini dapat diklasifikasikan dalam 6 (enam) bentuk, yaitu:
2.5.1 Morfologi Arah Daratan
Morfologi arah daratan ini merupakan perkembangan permukiman kampung
nelayan yang paling umum. Kebanyakan kampung nelayan terbentuk berdasarkan
morfologi ini. Pada awalnya, tumpuan penempatan perumahan yang dibangun
berkembang dari pinggiran sungai ke arah daratan seperti terlihgat pada Gambar 2.1.
Awalnya, rumah-rumah dibangun di pinggiran sepanjang muara sungai karena
kawasan tersebut sangat tepat bagi masyarakat yang ingin mendirikan rumah
sekaligus bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Posisi ini juga
paling strategis untuk membangun dermaga sebagai tempat pendaratan perahu para
nelayan. Rumah-rumah dibangun dengan teknik pertukangan sederhana, dan menjadi
sangat rapat antara satu dengan yang lainnya, karena masing-masing rumah ingin
mempunyai akses langsung terhadap tempat pendaratan perahu mereka.
Apabila kawasan pesisir mulai penuh, konsentrasi morfologi tersebut
bertumpu ke arah daratan. Secara tidak langsung, lapisan kedua bangunan yang
dibangun berdasarkan garis topografi lapisan pertama rumah-rumah yang sudah lebih
dahulu terbentuk. Biasanya, sebuah jalan besar dibangun sebagai akses utama untuk
penduduk kampung tersebut, yang tidak berpeluang membangun rumah mereka di
tepi sungai, sehingga dapat terhubung dengan titian pendaratan perahu mereka. Jalan
utama ini juga merupakan faktor penting dalam pembentukan lapisan perumahan
yang pertama, maka semakin berkurang tumpuan rumah-rumah itu dibangun
berdasarkan topografi pinggiran sungai tersebut. Rumah-rumah pada lapisan
selanjutnya ini, lebih bertumpu pada jalan utama kampung tersebut. Hal ini terjadi
dikarenakan jalan utama tersebut juga menjadi kawasan pasar dan warung-warung
yang menjual kebutuhan sehari-hari penduduk kampung tersebut. Pada proses
perkembangannya, morfologi kampung tersebut berbentuk piramid, dimana
penempatan rumah-rumah di sekitar tepi sungai lebih lebar daripada penempatan
rumah-rumah di ujung jalan utama. Pertemuan dermaga dengan jalan utama menjadi
jalur sirkulasi utama sebagai akses pengangkutan barang-barang untuk dipasarkan.
Pada tingkat akhir perkembangan morfologi tersebut, rumah-rumah dibangun
pada tapak kawasan yang masih kosong. Beberapa kawasan digunakan sebagai lokasi
pendirian industri kecil karena selain menangkap ikan di laut, para nelayan yang
dibantu keahlian anggota keluarganya juga menjalankan pembuatan kerupuk, roti,
terasi, ikan kering, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan hasil tangkapan
mereka. Jalan-jalan sekunder juga terbentuk sebagai akses alternatif bagi penduduk
kampung yang bersangkutan. Jalur sirkulasi ini juga terbentuk mengikuti topografi
dan dibangun menuju jalan utama. Jalan-jalan kecil lainnya juga dibangun ke arah
dermaga-dermaga nelayan supaya para nelayan yang tinggal di lapisan dalam dapat
Gambar 2.1 Morfologi Arah Daratan
2.5.2 Morfologi Arah Air
Morfologi ini terjadi apabila desakan untuk menampung kepadatan unit rumah
menjadi semakin tinggi disebabkan bertambahnya jumlah penduduk kampung.
Sehingga para penduduk mulai membangun dermaga yang lebih panjang ke arah
sungai, ke arah lokasi yang lebih dalam, dan penempatan rumah-rumah kemudian
berada di sepanjang dermaga tersebut seperti terlihat pada Gambar 2.2. Topografi
juga merupakan faktor yang sangat penting yang mempengaruhi terbentuknya
morfologi ini. Gradien sungai tidak terlalu besar dari tepian sungai sampai ke ujung
dermaga yang dibangun tersebut. Rumah-rumah nelayan yang didirikan di atas air
dan ke arah sungai seperti ini biasanya terdapat di kawasan sungai berukuran kecil.
Oleh sebab itu gradien dasar sungainya sangat kecil dan cukup dalam sehingga sangat
sesuai digunakan sebagai tempat pendaratan perahu-perahu nelayan. Kelandaiannya
memungkinkan pembangunan tiang-tiang di dasar sungai dan tiang-tiang ini cukup
kuat untuk menyokong beban pelataran yang dibangun. Pelataran ini biasanya
memiliki ketinggian 2.5 hingga 5 meter dari dasar sungai. Pelataran yang dibangun
ini merupakan sumber utama pembentukan rumah-rumah yang berikutnya dibangun
di sepanjang pelataran tersebut. Dermaga yang dibangun ini menjadi tolak ukur bagi
penduduk dalam mendirikan rumahnya. Jika dermaga tersebut tidak roboh, berarti itu
menunjukkan rumah-rumah juga dapat dibangun sampai jarak tersebut. Hal ini
dikarenakan bahan yang digunakan sebagai tiang adalah kayu, yang berasal dari
Walau bagaimanapun, bahan bangunan tersebut mempunyai batasan, dimana
bahan tersebut tidak dapat digunakan sebagai tiang rumah dan dermaga apabila dasar
sungainya sangat dalam. Hal ini karena pohon bakau yang digunakan sebagai bahan
bangunan berukuran kecil, berbeda dengan pepohonan hutan tropis. Pohon-pohon ini
rata-rata hanya memiliki panjang 12 meter, dengan diameter 0.25 sampai 1 meter,
sehingga panjang dan tebal kayu yang dihasilkan juga terbatas. Sehingga kekuatan
untuk menopang konstruksi bangunan maupun dermaga relatif kecil.
Seperti perkampungan nelayan lain, faktor topografi juga sangat
mempengaruhi morfologi pembentukan jenis kampung nelayan ini. Kampung ini
biasanya dikelilingi oleh hutan bakau yang tanahnya berawa, sehingga kurang sesuai
untuk penempatan perkampungan nelayan dan pendaratan perahu-perahu nelayan.
Hal ini dikarenakan struktur konstruksi pada tanah berawa membutuhkan teknik
pertukangan yang cukup sulit. Pendaratan perahu-perahu nelayan pada daerah berawa
ini juga akan sangat mengalami kesulitan.
Pembangunan yang pesat dan perkembangan kawasan bandar juga merupakan
faktor penting mengapa kampung bercorak seperti ini terbentuk. Sebagian besar
bandar terletak di muara-muara sungai karena kawasan tersebut sesuai untuk
ditempatkan sebagai pelabuhan. Di samping itu, bentuk asal topografi di muara
sungai itu juga sangat sesuai untuk digunakan sebagai tempat pendaratan
2.5.3 Morfologi Selari (Sejajar dengan garis pantai)
Yang dimaksud dengan morfologi selari yaitu perkembangan permukiman
yang sejajar dengan topografi tebing sungai. Para nelayan tidak membangun rumah
mereka ke arah daratan karena topografi kawasan tersebut tidak memungkinkan
pembangunan perumahan dengan cara sederhana. Salah satunya dikarenakan kawasan
ke arah daratan merupakan kawasan rawa yang sangat sulit untuk dibangun.
Penyebab lainnya dikarenakan kawasan tersebut adalah kawasan yang sangat curam
dan berbukit. Oleh sebab itu, mereka membangun rumah di sepanjang pinggiran
sungai.
Pada awalnya, sekelompok nelayan membangun rumahnya di tepi muara
sungai. Hal ini terjadi karena kecenderungan para nelayan yang ingin dekat dengan
sumber mata pencahariannya. Seperti apa yang berlaku dalam Morfologi Arah
Daratan, kawasan di tebing sungai merupakan kawasan yang paling berharga dan
strategis. Kawasan yang dapat digunakan untuk penempatan perumahan ke arah
daratan sangat terbatas. Kawasan tepian sungai ini cukup luas, namun memanjang.
Sungai merupakan satu-satunya akses jalur transportasi dan komunikasi
kampung tersebut ke kampung-kampung lainnya. Hal ini dikarenakan kampung
tersebut tidak mempunyai jalan yang dapat menghubungkannya melalui daratan
karena kawasan sekitarnya berbukit bakau, dan juga dikelilingi oleh hutan bakau dan
rawa. Oleh sebab itu, peranan sungai sangatlah penting. Setiap orang yang ingin
menuju ke perkampungan nelayan ini haruslah menggunakan perahu nelayan untuk
Dalam Morfologi Selari, semua rumah berorientasi kepada sungai.
Dermaga-dermaga kecil dibangun di hadapan masing-masing rumah, dan saling berhubungan
dengan dermaga-dermaga lainnya, sehingga membentuk suatu jalur bagi penduduk
kampung tersebut untuk berlalu lalang. Biasanya, dermaga ini dibangun secara
bergotong royong, yaitu kerjasama seluruh penduduk kampung. Di sebagian
kampung lain, jalur sirkulasi umum dibangun di belakang rumah dan
dermaga-dermaga pribadi dibangun di depan rumah. Pembuatan dermaga-dermaga dan jalur sirkulasi
dipengaruhi oleh faktor geografi di kawasan tersebut seperti kedangkalan sungai dan
gradient daratan yang bersangkutan. Berdasarkan faktor ini, penduduk kampung
mengambil keputusan bahwasannya jalur sirkulasi juga perlu dibangun di depan
rumah. Rumah-rumah yang dibangun selalu mengikuti topografi sungai yang
biasanya berbentuk melengkung dan memanjang sejajar dengan garis pantai seperti
terlihat pada Gambar 2.3.
Apabila tapak kawasan yang dapat dibangun di sekitar tebing sungai sudah
habis digunakan, maka perkembangan perumahan selanjutnya berada di belakang
rumah-rumah lapisan pertama yang sudah ada. Orientasi bangunan pada lapisan
kedua ini disesuaikan dengan jalur sirkulasi kampung yang dibuat oleh penduduk.
Demikian seterusnya, lapisan-lapisan perumahan terbentuk seiring dengan
pertambahan penduduk kampung. Orientasi bangunan kemudian mengikuti
2.5.4 Morfologi Atas Air
Sejumlah perkampungan nelayan dibangun di atas muara-muara sungai dan
terpisah dari daratan seperti terlihat pada Gambar 2.4. Pasang surut air merupakan
faktor yang berperan sangat penting dalam pembentukan morfologi ini. Apabila suatu
kawasan berada bertepatan dengan posisi bulan, maka akan terjadi air pasang di
kawasan tersebut, akibat adanya gravitasi bulan yang mempengaruhi permukaan laut
tersebut. Begitu juga sebaliknya, apabila posisi bulan tidak tepat berada pada kawasan
tersebut, maka air laut akan surut, permukaan air laut di lokasi tersebut akan turun.
Apabila terjadi hal seperti ini, sejumlah kawasan di muara-muara tidak tenggelam
oleh air sungai.
Kawasan tersebut menjadi tumpuan utama oleh para nelayan untuk
membangun kawasan permukiman dan lokasi pendaratan perahunya. Jenis kampung
ini timbul apabila tukang-tukang bangunan sudah memiliki kemampuan yang cukup
baik yang menyebabkan mereka mampu membangun dermaga dan rumah-rumah
yang dengan tiang-tiang yang panjang. Pada awal terbentuknya kampung tersebut,
sekelompok nelayan mendirikan rumah di kawasan yang dangkal dan sesuai sebagai
tempat pendaratan perahu-perahu kecil mereka. Mereka mengetahui bahwa kawasan
ini cukup baik dibangun berdasarkan pengalaman dan mereka melihat kawasan ini
timbul dan tenggelam apabila air pasang-surut terjadi. Kampung ini biasanya berada
di kawasan yang terlindung secara langsung dari laut lepas. Sebagian besar terletak
di selat-selat kecil yang berhubungan dengan muara-muara sungai. Di depan
kedudukan mereka dari angina kencang dan ombak besar yang dapat merobohkan
dermaga dan rumah-rumah di kampung mereka.
Pada awal pembangunan perkampungan ini, para nelayan membangun
rumah-rumah di tapak yang menurut mereka sesuai dan cukup aman ditempati. Tapak ini
mereka pilih berdasarkan penglihatan mereka pada saat terjadinya pasang dan surut
air. Masyarakat nelayan merupakan golongan yang sangat peka terhadap segala hal
yang berkaitan dengan laut dan cuaca. Hal ini juga dikarenkan faktor-faktor tersebut
begitu berpengaruh terhadap mata pencaharian mereka. Dari penelitian yang
dilakukan, para nelayan membangun rumah-rumah mereka di kawasan muara pada
saat air surut. Oleh sebab itu topografi kawasan muara sangat mempengaruhi bentuk
penempatannya. Permukiman ini kemudian berkembang di sekitar kawasan tanah
yang timbul pada apabila air surut. Para nelayan membangun dermaga-dermaga
sampai ke kawasan yang cukup dalam untuk pendaratan perahu-perahu mereka.
Seperti juga halnya perkampungan yang terbentuk secara Morfologi Arah Air
dan Selari, sungai juga merupakan satu-satu nya jalur transportasi bagi penduduk
kampung tersebut. Tidak terdapat jalur lintas dari arah daratan yang dapat digunakan
karena kawasan tersebut dikelilingi oleh hutan bakau dan tanah berbukit bakau.
Biasanya pusat perniagaan terpusat di salah satu sudut kampung, yang biasanya
merupakan kawasan yang pertama kali dibangun. Pusat perniagaan ini merupakan
tempat pendaratan para nelayan untuk memasarkan hasil tangkapan mereka, dan juga
2.5.5 Morfologi Muka Muara
Perkembangan morfologi ini berada di sepanjang permukaan muara sungai di
atas tanah rawa berlumpur yang menjadi semakin tinggi karena sungai membawa
hasil pengikisan tanah, lumpur dan pasir, dan membawanya di muka muara (Gambar
2.5). Apabila ketinggian tanah berlumpur ini mencapai satu tahap, ia menjadi
kawasan yang sesuai untuk ditempati. Sungai-sungai ini biasanya tidak lebar dan
kecil. Tingkat kederasan airnya juga tidak terlalu kuat dan hal ini memungkinkan
pembangunan rumah-rumah nelayan di kedua belah tepi sungai. Perkembangannya
biasanya bertumpu ke arah delta-delta sungai apabila sebagian besar rumah dibangun
ke arah daratan bila permukaan muara sungai telah dipenuhi dengan permukiman.
Gambar 2.5 Morfologi Muka Muara
2.5.6 Morfologi Gabungan
Morfologi ini merupakan gabungan dari beberapa jenis morfologi yang telah
dikemukakan sebelumnya. Beberapa kampung nelayan terbentuk berdasarkan
Morfologi Arah Daratan dan Morfologi Arah Air karena topografi kawasan tersebut
sesuai dengan kedua jenis morfologi tesebut. Karena adanya kampung nelayan yang
terbentuk berdasarkan morfologi gabungan ini, bentuk penempatan mereka sangat
kompleks dan sulit ditentukan bentuk kampung tersebut jika dilihat sekilas. Hal ini
terjadi karena kawasannya sangat terbatas dan adanya desakan untuk pembangunan
rumah-rumah berikutnya untuk menampung jumlah penduduk yang terus bertambah.
2.6 Pola Sirkulasi Permukiman
Sirkulasi dapat diartikan sebagai suatu tali yang mengikat ruang-ruang suatu
bangunan atau deretan ruang-ruang dalam maupun luar menjadi saling berhubungan.
Kampung yang pada awalnya berangkat dari pengertian ‘desa’ merupakan sebuah
wilayah yang pada umumnya berpola hunian dengan bentuk sirkulasi yang tidak
teratur (irregular pattern).Keadaan ini berlanjut sesuai dengan budaya pembagian
lahan (tanah keluarga) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Secara umum konfigurasi alur gerak sirkulasi yang ada berupa konfigurasi
linear, griddan bersifat network. Konfigurasi linearumumnya terjadi di bagian akses
utama pencapaian ke kampung tersebut, konfigurasi gridumumnya terjadi di pusat
kampung, serta pola network yang biasanya terbentuk di wilayah perbatasan antara
Pola linear yang terjadi pada suatu kampung umumnya terbentuk karena
status kepemilikan lahan yang bukan merupakan tanah keluarga. Jadi merupakan hak
milik pribadi (perorangan), tidak ada kecenderungan untuk mempertahankan tanah
tersebut agar dimiliki oleh anggota keluarga yang sama, meskipun sebagaian besar
penduduk di wilayah tersebut berasal dari satu keturunan keluarga yang sama.
Pada bagian pusat kampung, biasanya konfigurasi sirkulasi yang ada berpola
grid.Pola yang terdiri dari dua buah jalan atau lebih yang sejajar dan saling
berpotongan pada jarak yang relatif sama dan menciptakan suatu wilayah berbentuk
bujursangkar atau kawasan-kawasan ruang segi empat.
Selain itu terdapat sirkulasi yang terbentuk dengan pola network. Suatu
bentuk jaringan yang terdiri dari beberapa jalan yang menghubungkan titik-titik
tertentu di dalam ruang, bahkan sering ditemukan adanya jalan-jalan yang berakhir
dengan ruang. Selain ditempati oleh penduduk yang menempati rumah-rumah sewa,
sirkulasi yang berpola seperti itu menunjukkan pula suatu bentuk komunitas
masyarakat yang memiliki kekerabatan khusus, baik berada dalam satu keluarga besar
atau kelompok kelompok tertentu. Biasanya kelompok yang sama berdasarkan mata
pencaharian.
Sirkulasi yang terbentuk pada suatu permukiman berfungsi sebagai elemen
pengikatyang menghubungkan suatu tempat atau lingkungan dengan tempat atau
lingkungan lainnya. Bagi suatu lingkungan permukiman sirkulasi sangat menentukan
aksesibilitas dari lingkungan tersebut ke dalam maupun ke luar. Disamping itu pola
tersebut.Didalam sutau lingkungan permukiman, jalan/sirkulasi dapat terbentuk oleh
tatanan massanya.
Beberapa bagian sirkulasi yang memiliki potensi bagi perbaikan/penataan
kampung serta memberikan karakteristik pada suatu kota antara lain wilayah yang
menjadi:
1. Ruang-ruang terbuka sebagai ruang pemersatu antara keluarga. Ruang
tersebut menggambarkan suatu strategic space atau compound space.
Strategic space merupakan pusat dari sistem jalan masuk dan
perkembangan suatu kawasan yang bersifat publik dan merupakan titik
berkumpulnya sistem-sistem sirkulasi dari segala arah. CompoundSpace
dianalogikan sebagai suatu bentuk cangkokan ruang terbuka pada sebuah
elemen jalan.
2. Pola sirkulasi yang bersifat linear. Pada pola tersebut terbentuk sebagai
penghubung antara ruang satu dengan ruang lainnya sebagai poin-poin
utama dalam sekumpulan massa bangunan dalam satu koloni keluarga.
3. Pola sirkulasi yang terbentuk secara alamiah karena adanya sistem
pengkaplingan tanah-tanah keluarga. Pola-pola sirkulasi yang terbentuk
umumnya berpola irregular.
Menurut Fernandez (2011), terdapat beberapa tipe pola sirkulasi pada
1. Garis grid teratur
Suatu permukiman dengan jalan-jalan paralel dan transversal dimensi yang
hampir seragam, dalam bentuk grid atau kotak-kotak, yang terletak di
daerah yang datar. Pola seperti ini banyak ditemui pada dataran Amerika
Latin, terlihat pada Gambar 2.6.
2. Garis grid tidak teratur
Konfigurasi fisik dan spasial bentuk grid yang tidak beraturan ini sering
dijumpai pada lahan yang berbatu dan juga tanah datar. Pada pola ini
terlihat pola grid yang nyata namun tidak beraturan arah, seperti terlihat
pada Gambar 2.7 berikut ini.
Gambar 2.6
3. Pola yang disesuaikan dengan topografi lahan
Suatu permukiman kumuh yang menyesuaikan dengan kondisi topografi
lahannya, dimana jalur sirkulasi berkembang tanpa adanya perencanaan.
Jalan dan koridor yang terbentuk berdasarkan kebutuhan penduduk
setempat. Merupakan jalur sirkulasi yang sempit dan berliku-liku
membentuk jaringan yang kompleks yang timbul di antara dinding-dinding
rumah, terlihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.7
Permukiman Kumuh Dos de Mayo, Lima - Peru Sumber :Fernandez, 2011
Gambar 2.8
4. Pola dengan koridor pusat
Permukiman dengan koridor pusat adalah lingkungan yang walaupun
memiliki banyak cabang sirkulasi, namun semuanya berkumpul menuju
koridor pusat, yang memberikan kesan fokus aksial utama. Pada Gambar
2.9, dapat kita lihat suatu permukiman dengan pola koridor pusat. Pada
gambar terlihat suatu akses utama yang menjadi koridor pusat permukiman.
5. Pola radial
Bentuk radial pada permukiman kumuh merupakan sesuatu yang
ditetapkan, meskipun dalam kenyataannya jalan dibuat secara acak, namun
telah diperoleh konfigurasi fisik dengan aspek radial. Pada Gambar 2.10,
terlihat pola radial pada permukiman kumuh Vila Natal di Brazil. Gambar 2.9
6. Sirkulasi panggung
Sirkulasi seperti ini terdapat pada lahan berkontur dengan kemiringan yang
cukup curam. Dimana jalan akses utama dikembangkan sejajar dengan
kontur tanah, terlihat pada Gambar 2.11 berikut. Gambar 2.10
Permukiman Kumuh Vila Natal, Salvador de Bahia - Brazil Sumber :Fernandez, 2011
Gambar 2.11
2.7 Figure Ground sebagai Pendekatan Penelitian Morfologi
Roger Trancik dalam bukunya Finding Lost Space menekankan bagaimana
mencapai suatu integrasi elemen-elemen suatu kawasan, dalam bentuk integrasi antar
bangunan dalam satu kesatuan ruang secara tiga dimensional dan integrasi terhadap
pengguna atau manusianya dan untuk menciptakan suatu rancangan spasial perlu
memahami tentang karakteristik suatu kawasan yang menjadi ciri khas dari kawasan
itu, sehingga ruang akan bermakna sebagai tempat (place) bagi masyarakat yang
menggunakannya.
Ruang secara morfologis banyak tercipta karena suatu keadaan yang tidak
terstruktur, ketidak jelasan hirarki, tidak memberikan integrasi kepada
bangunan-bangunan, yang terbentuk dari massa bangunan (solid) dan ruang terbuka (void). Hal
ini menciptakan the lost space (ruang yang hilang), dimana bangunan-bangunan
berdiri sendiri, sehingga tercipta ketidakharmonisan antar bangunan sehingga sering
tidak tercipta rasa pada ruang tersebut, tercipta kawasan yang kurang diminati, tidak
aman dan tidak terawat.
Roger Trancik dalam bukunya Finding Lost Space mengemukakan tipe
integrasi arsitektur dan ruang kota dalam tiga teori, yaitu: Figure Ground Theory,
Linkage Theory, dan Place Theory. Namun, dalam penelitian ini, yang digunakan
adalah pendekatan figure ground.
Pendekatan figure ground adalah suatu bentuk usaha untukmemanipulasi atau
pengubahanpola geometris dan juga merupakan bentuk analisa hubunganantara massa
bangunan dengan ruang terbuka.
Merupakan sebuah integrasi yang kuat antara massa bangunan dan ruang
sehingga membentuk kesatuan antara solid dan void dalam urban design. Solid
merupakan unsur massive (massa bangunan) yang berfungsi sebagai wadah manusia
dalam beraktifitas, memberikan volume objek pada jalan dan tapak.
Tipe urban solid terdiri dari:
1. Massa bangunan, monumen.
2. Persil lahan blok hunian yang ditonjolkan.
3. Edges yang berupa bangunan.
Sedangkan Void merupakan ruang terbuka dalam sebuah kawasan. Elemen
void sendiri terbagi atas internal voiddan eksternal void.Internal void merupakan
ruang terbuka dalam lingkup bangunan, yang sifatnya privat untuk pemilik bangunan,
dan kualitasnya dipengaruhi oleh fasade bangunan. Eksternal void merupakan ruang
terbuka diluar lingkup bangunan.
Beberapa kawasan dapat dirasakan mempunyai pola yang mengarahpada pola
lama dan atau pola baru harus ada sehingga sebuahtempat dapat dimunculkan
polanya.Pola-pola tersebut selalu dapat menggambarkan suatu kesesuaian antara
organisasi ruang fisik dan organisasi ruang sosial.Pemakaian analisis figure ground
sangat membantu dalampembahasan pola-pola tekstural sebuah tempat.
Figure adalah istilah untuk massa yang dibangun (biasanya
di luar massa itu (biasanyaditunjukkan dengan warna putih). Kadang-kadang sebuah
figure ground juga digambarkan dengan warnasebaliknya supaya dapat
mengekspresikan efek tertentu.
Ada enam pola kawasan secara tekstural (Gambar 2.12):
1. Grid
2. Angular
3. Kurvilinear
4. Radial konsentris
5. Aksial
6. Organis
Dengan membuat figure ground plan dapat diketahui antara lain pola/tipologi,
konfigurasi solid dan void yang merupakan sifat elemental kawasan atau pattern
kawasan penelitian.
2.8 Pola Perkampungan Tepi Air di Kota Banjarmasin
Perkampungan yang ada di tepi air dapat kita lihat di kota Banjarmasin,
dimana kota ini secara geologis dibentuk oleh endapan alluvial dari Sungai Barito dan
Sungai Martapura. Bentang alam kota yang relatif landai ini menyebabkan
terbentuknya kawasan lahan rawa.
Untuk pertumbuhan kota Banjarmasin, permukiman penduduk pada awalnya
terkonsentrasi pada tepian sungai, terutama daerah aliran Sungai Barito dan anak
sungainya. Di wilayah tersebut banyak terdapat kantong permukiman sampai
berdirinya pusat kerajaan (Saleh, 1981; Atmojo, 2002 dalam Dahliani, 2012).
Permukiman penduduk memanjang di tepian sungai membentuk pola linier dengan
aliran sungai sebagai poros. Rumah-rumah dibangun menghadap sungai, dan di depan
rumah biasanya terdapat derrmaga yang dipakai untuk tempat menyandarkan atau
mengikat alat transportasi berupa perahu (Daud, 1997 dalam Dahliani, 2012).
Pola permukiman seperti ini sangat memperhatikan keseimbangan ekosistem,
karena masih mempertimbangkan sungai sebagai potensi alam. Tetapi pada
perkembangan permukiman berikutnya, mulai tumbuh rumah-rumah di bagian
belakang dan samping rumah utama (lapis pertama). Hal ini disebabkan karena sistem
dengan anaknya walaupun anak sudah menikah dan mempunyai keluarga, maka
dibuatlah rumah di bagian samping atau di bagian belakang rumah utama untuk
anak-anak dan keluarganya seperti terlihat pada Gambar 2.13. Penduduk awal yang
bermukim di kampung tersebut, biasanya memiliki tapak perumahan yang cukup
luas, dimana mereka sudah memikirkan untuk menyediakan tapak perumahan bagi
keturunannya kelak.
Arsitektur rumah tradisional yang berlokasi di tepian sungai menggunakan
konstruksi rumah panggung dari bahan kayu ulin dan pancangan kayu galam,
dikarenakan struktur tanah pada lokasi ini yang merupakan tanah berawa (Huzairin,
2004 dalam Dahliani, 2012). Material yang digunakan untuk membangun
rumah-rumah mereka biasanya merupakan bahan-bahan yang dihasilkan dari lokasi
setempat. Tradisi ini berlanjut sampai ke daerah daratan yang berair dan berawa
menyesuaikan dengan kondisi geomorfologis kota Banjarmasin. Sehingga di bagian
bawah bangunan masih terdapat ruang-ruang untuk area resapan dan penampungan
air. Pondasi pada rumah tradisional ini juga merupakan wujud fisik kebudayaan
masyarakat yang hidup di lingkungan lahan rawa yang menyesuaikan dengan tapak
permukimannya. Hal ini merupakan kearifan lokal untuk mengatasi permasalahan
Dari teori yang dikemukakan, dapat diambil variabel penelitian yang nantinya
dijadikan sebagai guideline sehingga penelitian yang dilakukan memiliki fokus yang
jelas. Variabel-variabel penelitian ini ditarik dari teori-teori yang digunakan,
disesuaikan dengan data-data yang ingin diperoleh, serta metoda apa yang akan
digunakan untuk memperoleh data-data yang diinginkan. Kesimpulan dari teori-teori
yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.1
berikut ini.
Gambar 2.13
Tabel 2.1 Teori dan Variabel Penelitian
Teori Variabel Data yang Diperoleh
Topografi - Peta Kampung Nelayan
-Melalui foto satelit digambar ulang
-Melalui foto satelit digambar ulang yang ada pada peta Kampung
Teori Variabel Data yang sosial yang berlaku di masyarakat dan aturan apa saja yang berlaku pada
existing dengan cara penambahan,
Massa bangunan - Blok-blok massa bangunan yang
Teori Variabel Data yang
-Melalui foto satelit digambar ulang
Pola-pola jalan - Peta Kampung Nelayan
Tipologi bangunan - Bentuk-bentuk bangunan secara
Penelitian morfologi Kampung Nelayan Belawan Medan ini nantinya akan
menghasilkan suatu penemuan mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
perkembangannya, apakah kampung nelayan ini merupakan suatu bentuk
permukiman yang tumbuh secara organik yang dipengaruhi oleh faktor geografi
kawasannya. Apakah pembagian lahan di kawasan tersebut dalam usaha
pemanfaatannya berdasarkan pada keinginan masyarakatnya, sehingga menyebabkan
terbentuknya pola yang tidak beraturan. Penelitian ini juga akan membahas apakah
kesepakatan masyarakat dan adanya pusat kegiatan baru yang diciptakan cukup
berpengaruh terhadap arah perkembangan morfologi kampung tersebut. Demikian
juga halnya dengan hukum dan aturan sosial dalam masyarakat apakah
mempengaruhi masyarakat dalam menentukan dimana mereka akan tinggal.
Dari hasil penelitian juga nantinya dapat dihasilkan bentukan dari morfologi
kampung nelayan Belawan Medan ini termasuk pada jenis morfologi yang bagaimana