BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesejahteraan
2.1.1 Pengertian Kesejahteraan
Menurut definisinya kesejahteraan sosial dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan, kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan atau pelayanan dan kesejahteraan sosial sebagai ilmu (Suud, 2006).
Menurut Suharto (2006:3) kesejahteraan sosial juga termasuk sebagai suatu proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas
kehidupan melalui pemberian pelayanan sosial dan tunjangan sosial. 2.1.2 Indikator Kesejahteraan
Kehidupan yang didambakan oleh semua manusia di dunia ini adalah kesejahteraan. Kesejahteraan meliputi seluruh bidang kehidupan manusia. Mulai dari ekonomi, sosial, budaya, iptek, hankamnas, dan lain sebagainya.
Bidang-bidang kehidupan tersebut meliputi jumlah dan jangkauan pelayanannya. Pemerintah memiliki kewajiban utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
rakyatnya. Sehingga perlu memperhatikan indikator kesejahteraan itu. Adapun indikator tersebut diantaranya adalah : (a) Jumlah dan pemerataan pendapatan; (b) pendidikan yang semakin mudah untuk dijangkau; (c) kualitas kesehatan yang
2.2 Konsep Kemiskinan
Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau kelompok orang tidak
mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembang kehidupan yang bermatabat (Bappenas, 2004). Hak-hak dasar antara lain (a) terpenuhinya kebutuhan pangan, (b) kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, (c) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, (d) hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. (Badan Pusat Statistik).
Menurut teori konservatif, kemiskinan berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin. Seseorang menjadi miskin bukan hanya karena masalah
mental atau tiadanya kesempatan untuk sejahtera, tetapi juga karena adanya prespektif masyarakat yang menyisihkan dan memiskinkan orang.
Menurut Edi Suharto, tipologi kemiskinan dapat dikategorikan pada empat dimensi utama, yakni kemiskinan absolut, kemiskinan relative, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural.
Pertama, kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi
kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, dll. Penentuan kemiskinan absolut ini biasanya diukur melalui “batas kemiskinan” atau “garis kemiskinan” (poverty line), baik yang berupa indikator
tunggal maupun komposit, seperti nutrisi, kalori, beras, pendapatan, pengeluaran, kebutuhan dasar, atau kombinasi beberapa indikator. Untuk mempermudah
(pendapatan atau pengeluaran). Dengan demikian, seseorang atau sekelompok orang yang kemampuan ekonominya berada dibawah garis kemiskinan
dikategorikan sebagai miskin secara absolut.
Kedua, kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu atau kelompok dibandingkan dengan “kondisi umum” suatu masyarakat. Jika
batas kemiskinan misalnya Rp. 30.000 perkapita per bulan, seseorang yang memiliki pendapatan Rp. 75.000 perbulan secara absolut tidak miskin, tetapi jika
pendapatan rata-rata masyarakat setempat adalah Rp. 100.000, maka relatif orang tersebut dikatakan miskin.
Ketiga, kemiskinan kultural mengacu pada sikap, gaya hidup, nilai orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan denga etos kemajuan (modernisasi). Sikap malas, tidak memiliki kebutuhan berprestasi
(needs for achievement), fatalis, berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha adalah beberapa karakteristik yang menandai kemiskinan kultural.
Keempat, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur politik, sosial, maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau sekelompok orang untuk
menjangkau sumber-sumber penghidupan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Proses dan praktik monopoli, oligopoli dalam bidang ekonomi misalnya, melahirkan mata rantai “pemiskinan” yang sulit dipatahkan. Sekuat apapun
motivasi dan kerja keras seseorang, dalam kondisi struktural demikian, tidak akan mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinannya, karena aset yang ada serta
orang tertentu. Para petani tidak memiliki tanah sendiri atau hanya memiliki sedikit tanah, para nelayan yang tidak memiliki perahu, para pekerja yang tidak
terampil (unskilled labour), termasuk kedalam mereka yang berada dalam kemiskinan struktural.
Indikator kemiskinan yang ditetapkan menurut Badan Pusat Statistik
adalah kemampuan seseorang dalam memenuhi khususnya kebutuhan pangan minimal sebesar 2.100 kalori/hari/orang atau sekitar Rp. 35.000 per kapita per
bulan kemudian kemampuan memenuhi basic needs atau kebutuhan dasar seperti pakaian, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, rasa aman, partisipasi sosial politik, dll. Idnikator dari BPS ini juga dipandang masih terlalu rendah
karena pendapatan sebesar itu tentunya hanya “cukup” untk memenuhi kebutuhan “sangat dasar”. Dengan batas kemiskinan yang rendah ini, sangat dimaklumi jika
banyak penduduk yang sebenarnya masih dalam kategori miskin, misalnya pendapatan Rp. 36.000 per kapita per bulan terangkat menjadi kelompok “tidak miskin” atau “agak miskin” (nearly poor).
2.3 Pengertian Nelayan dan Penggolongan Nelayan
Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya
tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya (imron 2003)
Adapun menurut Pasal 1Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan (LNRI No. 97 tahun 1964, TLN No. 2690),
penggarap. Nelayan pemilik ialah orang atau badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas sesuatu kapal atau perahu yang dipergunakan alam usaha
penangkapan ikan dan alat-alat penangkapan ikan. Nelayan penggarap ialah semua orang yang sebagai kesatuan dengan menyediakan tenaganya turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut.
Sesungguhnya, nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi pemilikan alat tangkap, nelayan dapat di
bedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang berkerja dengan alat tangkap milik orang lain. Sebaliknya, nelayan juragan adalah nelayan yang
memiliki alat tangkap yang di oprasikan oleh orang lain. Ada pun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan sendiri, dan dalam
pengoprasiannya tidak melibatkan orang lain.
Menurut Ensiklopedi Indonesia (1990) yang dikatakan nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara
langsung (seperti penebar dan pemakai jaring) maupun secara tidak langsung (sepeti juru mudi perahu layar, nahkoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal,
juru masak kapal penangkap ikan), sebagai mata pencaharian.
Merujuk kepada definisi tersebut, rumah tangga yang kegiatan utamanya bukan menangkap ikan, tatapi menggunakan ikan sebagai bahan proses produksi
bukan dikategorikan sebagai rumah tangga nelayan. Dengan demikian, para pedagang ikan sekalipun hidup ditepi pantai juga tidak tergolong kepada kategori
nelayan memanfaatkan wilaya pesisir sebagai tempat bekerja, sedangkan petani tambak mengelola ikan dan produk perikanan lainnya (elfrindi, 2022).
2.4 Konteks Masyarakat Nelayan
Kehidupan nelayan khususnya dan masyarakat desa pantai umumnya sangat memperihatinkan. Selama ini mereka adalah nelayan tradisional yang
memakai perahu motor dan alat-alat yang sangat sederhana. Di samping itu, nelayan sumatra utara pada hakikatnya adalah buruh nelayan yang tidak memiliki
alat produksi. Untuk meningkatkan pendapatan dan kemakmuran keluarga nelayan,baik nelayan tradisional maupun buruh nelayan haruslah diberi kesempatan untuk memiliki sarana dan peralatan penangkapan yang modern dan
efektif.
Menurut Kusnadi (2003) ada dua sebab yang menyebabkan kemiskinan
nelayan, yaitu sebab yang bersifat internal dan bersifat eksternal. Kedua sebab tersebut saling berinteraksi dan melengkapi. Sebab kemiskina yang bersifat internal berkaitan erat dengan kondisi internal sumber daya manusia nelayan dan
aktivitas kerja mereka. Sebab-sebab internal ini mencakup masalah : (1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan, (2) keterbatasan kemampuan
modal usaha dan teknologi penangkapan, (3) hubungan kerja (pemilik perahunelayan buruh) dalam organisasi penangkapan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan buruh, (4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha
Adapun penyebab kemiskinan nelayan dan terhambatnya pembangunan pada daerah pantai (dahuri dkk,2001) sebagai berikut.
a) Desa pantai pada umumnya terisolasi
b) Sarana pelayanan dasar termasuk prasarana fisik masih terbatas.
c) Kondisi lingkungan kurang terpelihara sehingga kurang memenuhi
persyaratan kesehatan
d) Air bersih dan sanitasi jauh dari mencakupi
e) Keadaan perumahan umumnya masih jauh dari layak huni
f) Keterampilan yang dimiliki penduduk umumnya terbatas pada masalah penangkapan ikan sehingga kurang mendukung diversifikasi kegiatan
g) Pendapat penduduk rendah karena teknologi yang dimiliki tidak mendukung penangkapan ikan dalam skala besar
h) Peralatan yang dimiliki terbatas pada perahu dayung dan jala saja sehingga hasil tangkapannya pun kecil/sedikit
i) Permasalahan modal karena langkanya lembaga keunangan/kredit yang
melayani atau berada di desa-desa pantai mempersulit usaha pengembangan
j) Waktu dan tenaga yang tersita untuk kegiatan penangkapan ikan cukup besar sehingga kurang mempunyai kesempatan untuk mencari usaha tambahan maupun memperhatikan keluarga (sore pergi ke laut, pagi pagi
kembali mendarat, siang hari dipakai isitirahat mengembalikan tenaga dan menyiapkan diri beserta alat-alat kerja untuk menghadapi tugas ke laut
k) Kurang pengetahuan tentang pengelola kehidupan ikan maupun siklus hidup biota laut, sehingga pencarian tempat-tepat ikan berkumpul,
jenis-jenis ikan dan lain-lain hanya berdasarkan pengalaman dan instink saja. Selanjutnya Mulyadi (2007) mengatakan bahwa sesungguhnya, ada dua hal utama yang terkandung dalam kemiskinan, yaitu kerentanan dan
ketidakberdayaan. Dengan kerentanan yang dialami, orang miskin akan mengalami kesulitan untuk menghadapi situasi darurat. Ini dapat dilihat pada
nelayan perorangan misalnya, mengalami kesulitan untuk membeli bahan bakar untuk keperluan melaut. Hal ini disebabkan sebelumnya tidak dapat digunakan untuk keperluan yang mendesak. Hal yang sama juga dialami oleh nelayan buruh,
mereka merasa tidak berdaya dihadapan para juragan yang telah mempekerjakannya, meskipun bagi hasil yang diterimanya dirasakan tidak adil.
Keterbatasan pemilikan aset adalah ciri umum masyarakat nelayan yang miskin, hal ini tergambar dari kondisi rumah. Rumah nelayan terleteak dipantai, dipinggir jalan kampung umumnya merupakan bangunan non permanen atau semi
permanen, berdinding bambu, berlantai tanah, ventilasi rumah kurang baik sehingga sehari-hari bau anyir ikan menyengan dan meskipun siang hari, didalam
rumah cukup gelap, sementara juru mudi atau juragan jauh lebih baik berbentuk permanen (Siswanto, 2008).
2.5 Pengertian Pendapatan, Pendidikan dan Kesehatan 2.5.1 Pengertian Pendapatan
Pengertian pendapatan menurut Ilmu Ekonomi adalah nilai maksimum
keadaan yang sama pada akhir periode seperti keadaan semula. Pengertian pendapatan menurut Ilmu Ekonomi menitikberatkan pada total kuantitatif
pengeluaran terhadap konsumsi selama satu periode. Dengan kata lain, pengertian pendapatan menurut Ilmu Ekonomi adalah jumlah harta kekayaan awal periode ditambah keseluruhan hasil yang diperoleh selama satu periode, bukan hanya yang
dikonsumsi. Pengertian pendapatan menurut Ilmu Ekonomi menutup kemungkinan perubahan lebih dari total kekayaan badan usaha pada awal periode
dan menekankan pada jumlah nilai statis pada akhir periode. Secara sederhana, pengertian pendapatan menurut Ilmu Ekonomi adalah jumlah kekayaan awal periode ditambah perubahan penilaian yang bukan diakibatkan perubahan modal
dan utang.
2.5.2 Pengertian Pendidikan
Menurut Mahmud Yunus pendidikan adalah suatu usaha dengan sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantuanak yang bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, jasmani dan akhlak sehingga secara perlahan
bisa mengantarkan anak kepada tujuan dan cita-citanya yang paling tinggi. Agar memperoleh kehidupan yang bahagia dan apa yang dilakukannya dapat
bermanfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya. Sedangkan menurut UU SISDIKNAS No.20 tahun 2003 pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadr dan terencana untuk mewujudkan suasana
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
keterampilan yang diperlukan oleh dirinya sendiri dan masyarakat. Menurut Todaro (1998:476) bahwa pendidikan memiliki pengaruh positif terhadap promosi
pertumbuhan ekonomi. Bahwasannya tersedianya tenaga-tenaga kerja terampil dan terdidik sebagai syarat penting berlangsungnya pembangunan ekonomi secara berkesinambungan sama sekali tidak perlu diragukan
2.5.3 Pengertian Kesehatan
Pengertian sehat menurut WHO adalah “Health is a state of complete
physical, mental and social well-being and not merely the absence of diseases or infirmity”. Sehat adalah kondisi normal seseorang yang merupakan hak hidupnya. Sehat berhubungan dengan hukum alam yang mengatur tubuh, jiwa, dan
lingkungan berupa udara segar, sinar matahari, santai, kebersihan serta pikiran, kebiasaan dan gaya hidup yang baik.Selama beberapa dekade terakhir, pengertian
sehat masih dipertentangkan oleh para ahli dan belum ada kata sepakat dari para ahli kesehatan maupun tokoh masyarakat dunia.AkhirnyaWorld Health Organization (WHO)membuat defenisi universal yang menyatakan bahwa pengertian sehat adalah suatu keadaan kondisi fisik, mental, dan kesejahteraan sosial yang merupakan satu kesatuan dan bukan hanya bebas dari penyakit atau
kecacatan.
Kesehatan bersifat menyeluruh dan mengandung empat aspek. Perwujudan dari masing-masing aspek tersebut dalam kesehatan seseorang antara
a) kesehatan fisik, terwujud apabila seseorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tamoak sakit. Semua
organ tubuh berfungdi normal tau tidak mengalami gangguan.
b) kesehatan mental (jiwa), mencakup 3 komponen yakni pikiran, emosional,, dan spiritual.
c)kesehatan sosial, terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agamaatau
kepercayaan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan menghargai.
d) kesehatan dari aspek ekonomi, terlihat bila seseorang (dewasa) produktif,
dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Bagi
mereka yang belum dewasa (siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan) dengan sendirinya btasan ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan
yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya berprestasi bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan sosial, keagamaan, atau pelayanan kemasyarakatan
lainnya bagi usia lanjut.
2.6 Hubungan Antara Tingkat Pendapatan, Pendidikan, dan Kesehatan Terhadap Kesejahteraan
Prabawa (1998) mengungkapkan bahwa setinggi apapun tingkat pendapatan yang diperoleh seorang kepala keluarga dalam rumah tangganya, pada
Besarnya pendapatan perkapita selain ditentukan oleh total pendapatan yang diterima, juga oleh seluruh anggota keluarga yang menjadi tanggungan dari kepala
keluarga yang bersangkutan. Tidak semua anggota keluarga dalam rumah tangga bekerja produktif sehingga menjadi beban tanggungan. Banyaknya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per kapita dan
besarnya konsumsi keluarga. Oleh karena itu, jumlah anggota keluarga atau besar keluarga akan memberi dorongan bagi rumah tangga bersangkutan untuk lebih
banyak menggali sumber pendapatan lainnya.
Pendidikan juga berpengaruh terhadap kesejahteraan,hasil penelitian Megawangi (1994) membuktikan bahwa tingkat pendapatan dan pendidikan suami
berhubungan nyata positif dengan kebiasaan merencanakan anggaran biaya. Dengan demikian, kemampuan melihat ke depan dengan mengadakan
perencanaan biaya dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi penduduk, dan semakin banyak anggota rumah tangga cenderung semakin sulit merencanakan biaya. Rumah tangga yang dikepalai oleh seseorang dengan pendidikan rendah
cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh mereka yang berpendidikan tinggi. Adapun dampak yang ditimbulkan dari
rendahnya tingkat pendidikan terhadap pembangunan adalah:
1. Rendahnya penguasaan teknologi maju, sehingga harus mendatangkan tenaga ahli dari negara maju. Keadaan ini sungguh ironis, di mana keadaan jumlah
2. Rendahnya tingkat pendidikan mengakibatkan sulitnya masyarakat menerima hal-hal yang baru. Hal ini nampak dengan ketidakmampuan masyarakat
merawat hasil pembangunan secara benar, sehingga banyak fasilitas umum yang rusak karena ketidakmampuan masyarakat memperlakukan secara tepat.
Selain pendidikan dan pendapatan, kesehatan juga memiliki hubungan
terhadap kesejahteraan. Karena jika keluarga tersebut memiliki kesehatan yang baik maka pengeluaran untuk biaya pengobatan akan sedikit dibandingkan dengan
keluarga yang memiliki kesehatan yang buruk. 2.7 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 2.8 Penelitian Terdahulu
Dari penelitian yang dilakukan oleh Dennis Andersen Hutagalung dengan judul skripsi Analisis Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan di Kota Sibolga
menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di Kota Sibolga pada umumnya Kesejahteraan
Masyarakat (Y)
Tingkat Pendapatan (X1)
Tingkat Pendidikan (X2)
Tingkat Kesehatan (X3)
memiliki tingkat kesejahteraan yang tergolong rendah atau miskin. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat pendapatan yang masih rendah dan pengeluaran
rumah tangga yang cukup besar serta kondisi perumahan yang belum layak.
Pada penelitian yang kedua oleh Eko Sugiharto dengan judul Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Desa Benua Baru Hilir Berdasarkan Indikator
Badan Pusat Statistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Badan Pusat Statistik indikator bahwa 15% responden diklasifikasikan keluarga dengan tingkat
kesejahteraan yang tinggi dan 85% diklasifikasikan keluarga dengan tingkat kesejahteraan menengah.
2.9 Hipotesis
Menurut Sugiyono (2011:70), hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah
dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena, jawaban yang diberikan melalui hipotesis baru didasarkan teori, dan belum menggunakan fakta. Hipotesis memungkinkan kita menghubungkan teori dengan
pengamatan, atau pengamatan dengan teori. Hipotesis mengemukakan pernyataan tentang harapan peneliti mengenai hubungan-hubungan antara variabel-variabel
dalam persoalaan. Oleh sebab itu rumusan masalah penelitian ini biasanya disusun dalam kalimat pernyataan.
Dugaan sementara dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
2. Terdapat pengaruh positif tingkat pendidikan terhadap kesejahteraan masyarakat.
3. Terdapat pengaruh positif tingkat kesehatan terhadap kesejahteraan masyarakat.