• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Industri dan Industrialisasi Pedesaan

Industri dalam konteks mikro dan organisasi, industri adalah sekelompok perusahaan yang menghasilkan produk/jasa yang relatif sejenis, atau mempunyai sifat saling mengganti yang erat (Kuncoro 1997). Sedangkan industri pedesaan menurut Sajogyo dan Tambunan (1990) dalam Kuncoro (1997) adalah suatu bentuk transisi antara industri yang bersifat artisan dengan industri modern. Sayogyo dan Tambunan (1990) juga menyatakan bahwa industrialisasi pedesaan berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi. Di Indonesia, industri pedesaan cenderung dikonotasikan sebagai alat pembangunan pedesaan (dengan ukuran industri kecil dan rumah tangga), dan bukan bagian dari industri modern.

Jenis-jenis / macam industri berdasarkan jumlah tenaga kerja:1 1. Industri rumah tangga

Adalah industri yang jumlah karyawan/tenaga kerja berjumlah antara 1-4 orang.

2. Industri kecil

Adalah industri yang jumlah karyawan/tenaga kerja berjumlah antara 5-19 orang.

3. Industri sedang atau industri menengah

Adalah industri yang jumlah karyawan/tenaga kerja berjumlah antara 20-99 orang.

4. Industri besar

Adalah industri yang jumlah karyawan/tenaga kerja berjumlah antara 100 orang atau lebih. Dalam hal ini yang mampu menyerap banyak buruh untuk bekerja di pabrik adalah industri manufaktur padat tenaga kerja, yaitu industri tekstil dan produk tekstil dan industri alas kaki.

Menurut Pangestu et.al (1996) dalam Gandi (2011), industrialisasi merupakan proses interaksi antara pembangunan teknologi, spesialisasi, dan perdagangan yang pada akhirnya mendorong perubahan struktur ekonomi. Hadirnya industrialisasi menjadi suatu proses membuat desa menjadi kota. Sulasmono (1994) dalam Gandi (2011) juga mengungkapkan dalam studi penelitiannya bahwa pembangunan industri meliputi tujuh pokok, yaitu: (1) perijinan aras desa, (2) penentuan lokasi pabrik, (3) pembebasan tanah, (4) peluang kerja di pabrik, (5) peluang usaha, (6) imigrasi, dan (7) polusi.

1

Wartawarga, Gunadarma. 2009. Pengertian, definisi, macam, jenis dan penggolongan industri di Indonesia- perekonomian bisnis.[Internet]. 6.50 [diunduh 2012 Mei 6]. Tersedia pada:

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/pengertian-definisi-macam-jenis-dan- penggolongan-industri-di-indonesia-perekonomian-bisnis/

6

Ketenagakerjaan dan Kondisi Buruh Industri Pabrik

Menurut pasal 1 angka 2 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

tenaga kerja adalah: “Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri

maupun untuk masyarakat”. Sedangkan dalam pasal 1 angka 3 UU No. 13 tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud pekerja/buruh adalah: “Setiap

orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Kondisi buruh pabrik di Indonesia yang ditemukan dalam penelitian Tjandraningsih I, Herawati R, dan Suhadmadi (2010) yang dilakukan di sektor industri metal adalah: (1) praktek hubungan kerja kontrak dan outsourcing membawa efek fragmentatif, degradatif, diskriminatif dan eksploitatif terhadap buruh, (2) praktek tersebut terjadi karena perbedaan penafsiran dan berbagai pelanggaran terhadap Undang-Undang dan peraturan pelaksanaan hubungan kerja kontrak dan outsourcing di tengah semakin lemahnya kompetensi, peran dan fungsi pengawasan oleh disnakertrans di dalam kerangka otonomi daerah, (3) praktek hubungan kerja kontrak dan outsourcing memperlihatkan terjadinya pelanggaran terhadap standar inti perburuhan dalam konvensi ILO no. 87, 98, 100, 102 dan 111.

Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa praktek hubungan kerja tetap dan kontrak telah menciptakan fragmentasi atau pengelompokan buruh berdasarkan status hubungan kerja di tingkat pabrik. Dalam praktek ini di satu pabrik ada tiga kelompok buruh yakni buruh tetap, buruh kontrak dan buruh outsourcing. Pengelompokan ini pada umumnya ditandai dengan perbedaan warna seragam yang dikenakan oleh ketiga kelompok buruh tersebut dan di antara buruh outsourcing yang berasal dari perusahaan penyalur tenaga kerja yang berbeda- beda. Pengelompokan berdasarkan warna baju seragam membawa efek stratifikasi dan jarak sosial di antara buruh tetap, kontrak dan outsourcing yang berimplikasi terhadap solidaritas dan kesadaran bersama sebagai buruh.

Praktek hubungan kerja kontrak dan outsourcing membawa setidaknya tiga bentuk diskriminasi terhadap buruh: usia dan status perkawinan, upah dan hak berorganisasi.

a. Diskriminasi usia dan status perkawinan: kebijakan ikutan yang diterapkan oleh perusahaan pengguna untuk mempekerjakan buruh outsourcing adalah menerapkan batasan usia dan status perkawinan bagi buruh outsourcing yang menimbulkan efek diskriminatif. Perusahaan mensyaratkan buruh yang berusia 18-24 tahun dan berstatus lajang untuk direkrut, dengan alasan produktivitas. Memilih buruh berstatus lajang membawa efek semakin sulitnya buruh yang sudah berkeluarga untuk memperoleh pekerjaan dan berpenghasilan.

b. Diskriminasi upah: buruh kontrak dan outsourcing yang melakukan jenis pekerjaan yang sama di tempat yang sama dengan jam kerja yang sama dengan buruh tetap mendapatkan upah pokok dan upah total yang berbeda. Rata-rata upah pokok buruh kontrak 14% lebih rendah dan rata-rata upah pokok buruh outsourcing 17% lebih rendah dari buruh tetap. Rata-rata upah total buruh kontrak lebih rendah 17% dari upah buruh tetap dan rata-rata upah total buruh outsourcing 26% lebih rendah dari upah buruh tetap.

7 c. Diskriminasi hak berorganisasi: buruh kontrak dan outsourcing dilarang secara langsung maupun tidak langsung untuk bergabung dengan serikat tertentu atau dengan serikat apapun dengan kemungkinan tidak diperpanjang kontrak atau tidak dipekerjakan kembali jika bergabung dengan serikat buruh.

Kebijakan perburuhan Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan yang mendasar. Beberapa peraturan perundang-undangan di bidang perburuhan, misalnya UU Keselamatan di Tempat Kerja No. 33/1947 dan UU Kerja No. 12/1948, mengalami berbagai deviasi di tingkat pelaksanaan. Politik buruh yang murah diterapkan rejim Orde Baru sebagai insentif yang ditawarkan bagi investor asing mengeksklusi buruh dari pemenuhan hak-haknya, bahkan dari kemampuan untuk menuntut hak asasinya (Sunarijati 2007).

Persoalan perburuhan di Indonesia mengalami banyak perkembangan sejak era reformasi. Tidak seperti pekerja kelas menengah dan profesional, buruh menghadapi banyak keterbatasan untuk melakukan mobilitas vertikal maupun horisontal dalam perkembangan karir mereka. Karenanya, tidak mudah menemukan buruh yang menyikapi perkembangan informalisasi hubungan ketenagakerjaan dengan cara yang dilakukan para profesional. Bagi mereka, informalisasi mungkin benar-benar menjadi the second best setelah pekerjaan di sektor formal gagal mereka raih atau pertahankan. Informalisasi, dengan demikian, adalah jaring penyelamat dari kemungkinan yang menurut mereka 'lebih buruk', yakni tidak bekerja dan kehilangan sumber penghasilan. Buruh yang gagal masuk ke atau bertahan di sektor formal, bisa saja menganggap informalisasi hubungan ketenagakerjaan sebagai pilihan yang cukup baik meskipun berbagai hal justru tidak menguntungkan (Basjir 2003).

Perlindungan Tenaga Kerja

Salah satu hal yang penting dalam perburuhan adalah perlindungan terhadap tenaga kerja. Menurut Uwiyono (1995) dalam Harlina I (1999), perlindungan perburuhan ini memiliki pengertian yang sangat luas, yaitu:

a. Perlindungan sosial, yang mencakup ketentuan-ketentuan hukum di bidang kesehatan kerja;

b. Perlindungan ekonomis, yang mencakup ketentuan-ketentuan hukum di bidang jaminan sosial dan pengupahan;

c. Perlindungan teknis, yang mencakup ketentuan-ketentuan hukum di bidang keselamatan kerja.

Cakupan perlindungan yang luas ini tidak mudah untuk diwujudkan. Masalah perlindungan tenaga kerja masih banyak dihadapi oleh pekerja perempuan. Masalah perlindungan yang dihadapi pekerja perempuan pada umumnya mencakup hal-hal berikut ini.2

1) Jam kerja yang terlalu panjang dan melelahkan yang disertai dengan kewajiban kerja lembur, menjadikan masalah yang cukup serius.

2) Keharusan bekerja pada malam hari yang akhirnya mengganggu pekerja perempuan dalam menjalankan peran domestiknya.

2

Indah Harlina. 1999. Perlindungan terhadap Pekerja Perempuan dan Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Gender. [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.

8

3) Lingkungan kerja yang buruk yang telah mengakibatkan gangguan kesehatan baik fisik maupun psikologis.

4) Terjadi pelanggaran terhadap hak-hak perempuan seperti hak untuk memperoleh cuti melahirkan, menyusui, dan haid.

5) Penyediaan fasilitas yang tidak memadai seperti sanitasi, air minum, kantin ataupun tempat istirahat.

6) Timbulnya gangguan kesehatan akibat polusi udara, debu, ataupun bahan- bahan kimia yang ada di tempat kerja.

Menurut Sabdoadi (1999) dalam Noegroho (2009), kesehatan kerja adalah usaha untuk menciptakan keadaan lingkungan kerja yang aman dan sehat bebas dari bahaya kecelakaan. Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berhubungan dengan mesin, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, tempat kerja dan kondisi lingkungannya.

Kesejahteraan Buruh

Menurut pasal 1 angka 31 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kesejahteraan pekerja/buruh adalah: “Suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi

produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.”

Menurut Hasibuan dalam Indrawati R (2011), kesejahteraan adalah balas jasa lengkap (materi dan nonmateri) yang diberikan oleh pihak perusahaan berdasarkan kebijaksanaan. Tujuannya adalah untuk mempertahankan dan memperbaiki kondisi fisik dan mental karyawan agar produktifitasnya meningkat. Kesejahteraan dapat dipandang sebagai uang bantuan lebih lanjut kepada karyawan. Terutama pembayarannya kepada mereka yang sakit, uang bantuan untuk tabungan karyawan, pembagian berupa saham, asuransi, perawatan dirumah sakit, dan pensiun.

Pasal 99 angka 1 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa:

“Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja”. Pada pasal 100 angka 1 UU No. 13 tahun 2003 menyebutkan bahwa: “Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya,

pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan”. Sedangkan pada pasal 101 angka 1 menyebutkan bahwa: “Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh,

dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan”.

Konsep Gender dan Jenis Kelamin

Laki-laki dan perempuan adalah dua jenis individu yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari perspektif gender maupun perspektif jenis kelamin (seks). Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya, dan adat istiadat dari kelompok masyarakat. Sedangkan jenis kelamin adalah perbedaan organ biologis khususnya reproduksi antara laki-laki dan perempuan (Supiandi 2008).

9 Dalam Woman’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat, sedangkan menurut Fakih, Gender

adalah ”suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang

dikonstruksi secara sosial maupun kultural”. Sementara Oakley berpendapat

“gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang social constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan, melainkan diciptakan oleh baik kaum laki-laki maupun perempuan melalui proses

sosial dan budaya yang panjang”3 .

Trisakti Handayani dan Sugiarti menjelaskan konsep seks atau jenis kelamin sebagai berikut:

Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks berarti perbedaan laki- laki dan perempuan sebagai makhluk yang secara kodrati memiliki fungsi- fungsi organisme yang berbeda. Dalam arti perbedaan jenis kelamin, seks mengandung pengertian laki-laki dan perempuan terpisah secara biologis (Handayani dan Sugiarti 2008:4).

Gender dan Pembangunan

Sebagai salah satu program pembangunan, terdapat variasi interpretasi Peningkatan Peranan Wanita (P2W) dan perkembangannya dari waktu ke waktu. Seperti dipaparkan oleh Prof. DR. Moeljarto Tjokrowinoto salah satu pakar dan staf ahli Menteri Negara UPW (Kantor Menteri Negara UPW, 1993) dalam Indrizal E (1996) yang intinya sebagai berikut:

1. P2W sebagai wanita dalam pembangunan (women in development)

Pandangan ini tidak menaruh perhatian pada upaya mempertanyakan mengapa wanita kurang mendapat manfaat dari upaya dan strategi pembangunan, melainkan pada bagaimana dapat mengintegrasikan wanita dalam berbagai bidang pembangunan tanpa banyak mempersoalkan sumber- sumber yang menyebabkan mengapa kedudukan wanita bersifat inferior, sekunder dan subordinasi terhadap pria.

2. P2W sebagai wanita dan pembangunan (woman and development)

Wawasan ini berpandangan bahwa posisi wanita akan lebih baik apabila struktur internasional menjadi lebih adil, dan perubahan struktural menjadi satu-satunya alternatif P2W.

3. P2W sebagai gender dan pembangunan (gender and development)

Wawasan ini pada saat ini dijadikan acuan P2W dalam pembangunan nasional Indonesia, lebih sebagai strategic interest dari practical needs, yang ditujukan untuk mengubah hubungan yang eksploitatif atau merugikan salah satunya yang menempatkan wanita pada posisi inferior dan sekunder dibandingan pria menjadi hubungan yang seimbang, selaras dan serasi serta mitra sejajar.

3

10

Pengarusutamaan Gender (PUG), Keadilan dan Kesetaraan Gender

Pengarusutamaan gender diamanatkan melalui Instruksi Presiden/INPRES Pengarusutamaan Gender No. 9/2000, yang mengharuskan semua instansi pemerintah di tingkat nasional dan daerah, untuk mengarusutamakan gender ke dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi seluruh kebijakan dan program. Kementrian dan lembaga di tingkat nasional dan lokal harus mengatasi persoalan ketidaksetaraan gender dan menghapuskan diskriminasi gender. Peraturan Menteri Dalam Negeri/Kepmendagri No. 15/2008 berisi pedoman untuk pelaksanaan pengarusutamaan gender di tingkat provinsi dan kabupaten (Kemmeneg PP & PA 2011).

Syukrie (2003) Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Tanggal 19 Desember 2000 menjelaskan konsep kesetaraan gender sebagai berikut:

“Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.”

UU No. 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (CEDAW) dijelaskan bahwa kesetaraan dan keadilan antara Perempuan dan Laki-laki (gender equality and equity), persamaan hak dan kesempatan serta perlakukan adil di segala bidang dalam semua kegiatan meskipun diakui adanya perbedaan: 4

a. Perbedaan biologi/kodrati antara perempuan dan laki-laki.

b. Perbedaan perlakuan terhadap perempuan berdasarkan gender dengan akibat dimana perempuan dirugikan:

1) Perempuan sebagai subordinasi laki-Iaki baik dalam keluarga maupun masyarakat.

2) Pembatasan kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk tumbuh berkembang secara optimal, menyeluruh dan terpadu

3) Peluang untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil pembangunan.

c. Perbedaan kondisi dan posisi perempuan terhadap laki-Iaki dimana perempuan berada dalam kondisi dan posisi yang lemah karena sejak semula sudah dipolakan adanya diskriminasi dalam budaya adat atau karena lingkungan keluarga, masyarakat yang tidak mendukung adanya kesetaraan dan kemandirian perempuan.

d. Prinsip dasar dari Konvensi Wanita yang dibuat yaitu: 1) Prinsip persamaan substantif

2) Prinsip nondiskriminasi 3) Prinsip kewajiban negara 4

Erna Sofyan Syukrie. 2003. Pemberdayaan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan.

[Internet]. 0.03 [diunduh 2012 Maret 8]. Tersedia pada:

http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnhttp://www.lfip.org/english/pdf/bali-

11

Isu-isu Ketidakadilan Gender

Isu-isu ketidakadilan gender yang ditimbulkan oleh adanya asumsi gender menurut Fakih (1996) adalah sebagai berikut:

Pertama, terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan. Marjinalisasi yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. Kedua, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin yang umumnya pada kaum perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa menganggap penting kaum perempuan. Anggapan tersebut karena perempuan toh nantinya akan ke dapur, mengapa harus sekolah tinggi-tinggi, adalah bentuk subordinasi yang dimaksudkan. Ketiga adalah pelabelan negatif (stereotype) terhadap jenis kelamin tertentu, terutama terhadap kaum perempuan. Akibat dari stereotype itu adalah terjadinya diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya. Keempat, kekerasan

(violence) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan karena

perbedaan gender. Kekerasan di sini mulai dari kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan dan penciptaan ketergantungan. Banyak sekali kekerasan terjadi pada perempuan yang ditimbulkan oleh adanya stereotype gender. Kelima, karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama.

Alat Analisis Gender

Terdapat dua macam teknik analisis gender yang dijelaskan oleh Qoriah dan Sumarti (2008) yaitu:

a. Teknik Analisis Harvard

Teknik ini digunakan untuk melihat suatu profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender dalam proyek pembangunan yang menyatakan perlunya tiga komponen interpelasi satu sama lain. Overholt et.al (1986) menyatakan komponen tersebut adalah:

1) Profil Aktivitas, didasarkan pada pembagian kerja gender (siapa mengerjakan apa, di dalam rumah tangga dan masyarakat). Aktivitas dikelompokkan menjadi tiga, yaitu produktif, reproduktif, dan sosial. 2) Profil Akses, didasarkan pada siapa yang mempunyai akses terhadap

sumber daya, hal-hal yang diperoleh laki-laki dan perempuan, serta apa yang dinikmati laki-laki dan apa yang dinikmati perempuan.

3) Profil Kontrol, didasarkan pada pengambilan keputusan terhadap sumber daya dan manfaat.

b. Teknik Analisis Moser

Teknik ini digunakan untuk menilai, mengevaluasi, merumuskan usulan dalam tingkat kebijaksanaan program dan proyek yang lebih peka gender dengan menggunakan pendekatan terhadap persoalan perempuan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui apakah suatu program telah mempertimbangkan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis bagi laki-laki dan perempuan.

12

Kebutuhan praktis merupakan kebutuhan yang berhubungan dengan keadaan hidup yang tidak memuaskan. Kebutuhan ini dapat segera diidentifikasi karena langsung dirasakan. Kebutuhan praktis dapat dipenuhi dalam waktu relatif pendek. Sedangkan kebutuhan strategis merupakan kebutuhan yang berkaitan dengan peranan dan kedudukan individu di masyarakat. Hal ini juga menyangkut akses dan kontrol terhadap sumber daya dan kesempatan untuk memilih dan menentukan cara hidup. Berbeda dengan kebutuhan praktis, kebutuhan strategis tidak dapat langsung diidentifikasi dan untuk memenuhinya memerlukan waktu yang panjang.

Gender dalam Perburuhan di Sektor Industri

Kaum perempuan dalam masyarakat industri diupayakan untuk terlibat di dalam kegiatan ekonomi, namun masih banyak warisan agraris dipertahankan di dalamnya. Partisipasi perempuan masih dihargai lebih rendah daripada laki-laki diakibatkan pola publik yang domestik masih dipertahankan. Laki-laki mendominasi industri hulu yang produktivitasnya lebih tinggi, sementara perempuan terlibat dalam industru hilir, yang menangani proses akhir dari sebuah produk, yang upah produktivitasnya lebih rendah. Tegasnya, dalam masyarakat industri, pembagian kerja secara seksual, cenderung dipertahankan. Pola relasi masih berlangsung tidak seimbang, dan dengan demikian status dan kedudukan perempuan masih lemah (Khotimah 2009).

Terdapat bentuk-bentuk pembedaan terhadap buruh perempuan yaitu: upah yang diterima buruh perempuan biasanya relatif lebih kecil dari buruh laki-laki. ITUC (International Trade Union of Confederation) mencatat bahwa buruh perempuan biasanya memperoleh upah 12-60% lebih kecil dibanding yang diterima rekan lelakinya. Kebanyakan pengusaha berkeras untuk menerapkan status lajang pada buruh perempuan sehingga seringkali tunjangan sosial/keluarga yang diperolehnya lebih kecil dari buruh laki-laki. Kebijakan penghitungan pajak penghasilan bagi buruh perempuan juga didasarkan pada status lajang, sehingga jumlah potongannya lebih besar dibanding buruh lelaki (Tambunan 2007).

Selain itu, dijelaskan pula dalam Tambunan (2007) bahwa diskriminasi juga terjadi pada area maternitas. Kebanyakan buruh perempuan tidak memperoleh perlindungan maternitas, meskipun UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 telah menjamin perlindungan tersebut (di antaranya 2 hari cuti haid/bulan dan cuti melahirkan), karena dalam prakteknya ada banyak pelanggaran. PHK menjadi momok ketika mereka menuntut cuti melahirkan, atau pada tataran yang lebih ringan, diberikan cuti tanpa upah. Pada sektor jasa dan pelayanan, para perempuan muda dipaksa untuk menandatangani pernyataan tidak akan menikah dan memiliki anak dalam jangka waktu tertentu. Tes kehamilan pada proses rekrutmen juga kerap terjadi. Hal tersebut merugikan bagi buruh perempuan di industri.

Buruh perempuan banyak dipilih oleh pengusaha dengan alasan bahwa budaya patriarkhi telah memposisikan perempuan sebagai warga negara kelas dua yang hanya bekerja pada sektor domestik. Nilai patriarkhi disini termasuk mengatur perilaku perempuan, bahwa perempuan yang baik adalah yang menurut pada orang tua dan keluarga. Hasil kerja perempuan yang berkualitas serta tidak terlalu menuntut haknya, membuat pengusaha tidak perlu memberikan upah yang

13 layak bagi perempuan, karena perempuan pada konsep patriarkhi bukan sebagai pencari nafkah utama. Pengusaha lebih mempekerjakan perempuan daripada laki- laki karena lebih mudah untuk dieksploitasi. Buruh perempuan yang telah menikah serikali diperlakukan oleh para pengusaha sebagai lajang meskipun mereka telah berkeluarga dan memiliki anak. Ironisnya, dalam banyak kasus, suami mereka seringkali tidak bekerja atau memiliki pekerjaan yang tidak tetap. Status lajang membuat buruh perempuan yang sudah berkeluarga tidak mendapat tunjangan melahirkan serta potongan pajak yang lebih besar dari buruh laki-laki, yang diakui sebagai kepala keluarga (Sunarijati 2007).

Standing (1999) dalam Tambunan (2007) menyebutkan feminisasi kerja yang dipelopori oleh kebijakan flexible labour market sesungguhnya dipicu oleh konsep efisiensi modal. Perempuan biasanya target utama untuk dipekerjakan pada sektor upah murah, untuk jenis pekerjaan survival yang dapat dikerjakan secara fleksibel, sederhana, dan rutin-manual. Menurut Bouthillier (2003) dalam Tambunan (2007) kebanyakan dari mereka bekerja secara terselubung, atau dalam sistem kerja casual atau outsourcing. Mereka digolongkan sebagai buruh yang bekerja pada sektor informal, mendapat bayaran lebih rendah, walau biasanya memiliki beban lebih besar dari lelaki karena selain bertanggung jawab pada urusan domestik rumah tangga juga diharapkan berkontribusi pada keuangan keluarga.

Data resmi dari Depnakertrans RI tahun 2007 menyatakan dari 160 juta angkatan kerja di Indonesia, hanya 98 juta orang yang bekerja, dan 36 juta diantaranya bekerja di sektor formal, sisanya bekerja di sektor informal. Bekerja di sektor informal dapat disebut juga sebagai setengah pengangguran (termasuk dalam golongan ini adalah buruh casual-bekerja dan diupah jika ada pekerjaan, outsourcing, dan kontrak). Data menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja pada sektor formal hanya berjumlah 11.3 juta orang, sisanya mendominasi wilayah setengah pengangguran (8.5 juta), yang 23% lebih banyak dari buruh