• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

TINJAUAN PUSTAKA

Kepatuhan

Menurut Hartono (2006) kepatuhan adalah perubahan sikap dan tingkah- laku seseorang untuk mengikuti permintaan atau perintah orang lain. Seseorang dikatakan patuh terhadap orang lain apabila orang tersebut dapat: (1) mempercayai (belief), (2) menerima (accept), dan (3) melakukan (act) sesuatu atas permintaan atau perintah orang lain. “Belief” dan “accept” merupakan dimensi kepatuhan yang terkait aspek tingkah-laku patuh seseorang.

McKendry (2009) menjelaskan bahwa kepatuhan merupakan kecenderungan dan kerelaan seseorang untuk memenuhi dan menerima permintaan, baik yang berasal dari seorang pemimpin atau yang bersifat mutlak sebagai sebuah tata tertib atau perintah. Ada dua macam istilah kepatuhan yaitu kepatuhan baik yang biasa disebut kepatuhan bermanfaat dan kepatuhan yang kurang baik atau merusak.

Kepatuhan bermanfaat ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari seperti seorang anak yang patuh kepada orangtua dan guru atau karyawan yang harus secara rutin menjalankan instruksi yang diberikan oleh pemimpin atau bos mereka. Sedangkan kepatuhan yang kurang baik atau kepatuhan yang merusak terlihat pada suatu kelompok yang mempengaruhi orang lain serta perilaku orang tersebut. Selain itu, jika ada seseorang yang patuh kepada orang lain dengan tujuan untuk menyakiti orang tersebut yang sebenarnya tidak ingin ia sakiti ketika berada dibawah suatu ancaman maka hal itu bisa dikatakan sebagai kepatuhan yang merusak.

Hartono (2006) menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara kepatuhan dan kemandirian dalam tradisi pesantren meskipun hanya pada tingkat sedang atau dapat juga dikatakan bukan suatu hubungan yang saling tergantung karena hanya menggambarkan fakta yang memang demikian adanya. Kepatuhan dalam kehidupan pesantren merupakan suatu kecenderungan untuk memenuhi dan mengikuti semua aturan berdasarkan kesadaran diri santri atas manfaat yang akan diperoleh kelak. Para santri diharapkan melakukan semua kegiatan tanpa adanya tekanan akan hukuman, baik yang bersifat fisik seperti hukuman wajib piket kebersihan maupun psikologis seperti skorsing dan dikeluarkan dari pesantren.

Harrison (2009) menjelaskan cara-cara yang dapat dilakukan untuk mencegah kepatuhan yang merusak :

1. Memberikan dukungan atas perselisihan atau perbedaan di depan umum Banyak sekali individu yang memiliki kelemahan dalam mengutarakan pendapat karena tidak yakin bahwa orang lain memiliki pendapat yang sama dengan dirinya. Jika seseorang dalam suatu forum diberi dukungan untuk mengutarakan pendapat tanpa tekanan akan adanya tindakan balasan terhadap tindakannya tersebut maka ada banyak anggota lain yang akan ikut mengutarakan pendapat mereka. Jika sudah banyak anggota, dalam forum, yang mengutarakan perhatian-perhatian mereka, maka cara tersebut akan mengurangi kekuatan suatu forum atau kelompok dalam menarik anggota untuk sekedar mengikuti tanpa adanya pemahaman dan penjelasan (Baron & Byrne 2004, diacu dalam Harrison 2009).

2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang bahaya kepatuhan yang merusak

Pengetahuan terbukti dapat menjadikan individu memiliki cara dalam melawan tekanan buruk yang berasal dari lingkungan sekitar (Osherow 2004, diacu dalam Harrison 2009). Ketakutan akan hukuman, biasanya membuat individu merasakan efek psikologis yang ternyata dapat menguatkan hubungannya dengan suatu kelompok tertentu. Pada umumnya individu, yang termasuk dalam kelompok tertentu, sungguh dibatasi pengetahuannya terlebih yang berasal dari luar sehingga individu semakin kesulitan dalam membuat keputusan-keputusan yang bijaksana (Osherow 2004, diacu dalam Harrison 2009). Mendidik masyarakat dengan baik sebelum mereka menjadi korban dari lingkungan yang tidak baik adalah kunci dalam menghindari kepatuhan yang merusak.

Kemandirian

Kemandirian dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah autonomy yaitu satu kemampuan individu untuk beradaptasi dengan lingkungan atau kemampuan untuk menguasai konflik internal dan perasaan yang berkaitan dengan ketergantungan, rasa malu, rasa bersalah dan dapat melepaskan diri dari ikatan dan kehidupan orangtuanya (Frank et al. 1988). Sedangkan menurut Monks (2001) diacu dalam Musdalifah (2007) menjelaskan bahwa kemandirian merupakan perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau

masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain.

Harter (1999) diacu dalam Zimmer-Gembeck (2001) menyatakan bahwa rata-rata laki-laki dan perempuan memiliki tingkat kesulitan yang sama dalam mengeluarkan pendapat ketika mereka berada di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Pada kenyataannya, remaja laki-laki mempunyai cara yang berbeda dengan remaja perempuan ketika mengeluarkan pendapat tentang apa yang dipikirkan dan ketika berinteraksi dengan berbagai orang seperti teman, orangtua ataupun guru. Remaja perempuan memiliki kepercayaan yang rendah ketika harus mengekspresikan pendapat didepan khalayak banyak dibanding laki-laki, meskipun perempuan terbukti memiliki kualitas hubungan yang lebih baik dibanding laki-laki.

Steinberg (2001) menjelaskan bahwa kemandirian terbagi menjadi tiga dimensi yaitu :

1. Kemandirian emosi (emotional autonomy)

Dimensi kemandirian yang berhubungan dengan perubahan kedekatan atau keterikatan hubungan emosional antara anak dengan orangtua. Remaja berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan kekanak-kanakan dengan orang tua.

Hubungan antara orangtua dan anak akan mengalami perubahan dengan sangat cepat, terutama sekali pada saat anak memasuki usia remaja dimana pada usia ini anak sudah dapat mengurus dirinya sendiri, sehingga waktu yang diluangkan orang tua untuk anak remajanya akan semakin berkurang disamping menyusul semakin tingginya kemandirian emosi remaja, meskipun tidak dapat diputuskan secara sempurna (Berk 1994; Rice 1996).

Kemandirian emosi harus dicapai oleh para remaja dengan melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang lain, belajar mengontrol diri sendiri dan mengidentifikasi orang tua sebagai teman yang dapat dipercaya, bukan lagi sebagai model (Beyers & Goosens 1999).

Indikator kemandirian emosi pada remaja dapat dilihat dari beberapa karakteristik yaitu : (1) remaja tidak begitu saja datang kepada orang tua jika mendapat kesulitan, kesedihan, kekecewaan dan kekhawatiran ataupun meminta bantuan; (2) remaja tidak lagi memandang orang tua sebagai orang yang mengetahui dan menguasai segalanya; (3) remaja pada umumnya memiliki kekuatan emosi yang hebat untuk dapat menyelesaikan berbagai

permasalahan di luar keluarga dan dalam kenyataannya remaja merasa lebih dekat dengan teman dibanding orangtua; dan (4) remaja memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orangtua, baik sebagai orang tua sesungguhnya maupun sebagai teman dalam mendiskusikan berbagai hal (Steinberg 2001).

Steinberg (2001) menyatakan bahwa ada empat komponen kemandirian emosi antara lain :

a. Suatu tingkat dimana remaja memiliki kemampuan untuk tidak terlalu mengidealkan (“de-idealized”) orang tua

b. Suatu tingkat dimana remaja memiliki kemampuan untuk memandang orang tua sebagai orang dewasa atau orang lain pada umumnya (parent as people)

c. Suatu tingkat dimana remaja memiliki sikap no dependency artinya remaja lebih bersandar kepada kemampuan sendiri daripada meminta bantuan kepada orang tua

d. Suatu tingkat dimana remaja menampilkan perilaku bertanggung jawab dalam hubungannya dengan orang tua (individuated)

2. Kemandirian perilaku (behavioral autonomy)

Kemandirian perilaku merupakan dimensi kemandirian dalam bentuk fungsi individu yang aktif dan nyata, dimana individu memiliki kebebasan untuk berbuat dan bertindak tanpa harus bergantung pada orang lain (Sprinthal & Collins 1995). Steinberg (2001) menjelaskan individu yang mandiri secara perilaku memiliki kemampuan untuk membuat suatu keputusan sendiri dan dapat melaksanakan keputusannya tersebut. Ada tiga karakteristik remaja yang memiliki kemandirian perilaku yaitu : (1) Memiliki kemampuan mengambil keputusan; (2) Memiliki kekuatan terhadap pengaruh pihak lain; dan (3) Memiliki rasa percaya diri (self-reliance).

3. Kemandirian nilai (values autonomy)

Individu telah memiliki seperangkat prinsip tentang benar dan salah serta penting dan tidak penting dalam memandang sesuatu yang dilihat dari sisi nilai (Sprinthall & Collins 1995). Perkembangan kemandirian nilai membawa perubahan pada konsep remaja tentang moral, ideologi, politik dan agama. Steinberg (2001) juga menjelaskan terdapat tiga perubahan kemandirian nilai pada remaja yaitu : (a) keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak (abstract belief); (b) keyakinan akan nilai-nilai semakin mengarah kepada yang bersifat

prinsip (principle belief); dan (c) keyakinan akan nilai-nilai semakin terbentuk dalam diri remaja sendiri, bukan hanya dalam sistem nilai yang diajarkan oleh orang tua melainkan juga orang dewasa disekitarnya (independent belief). Dari ketiga dimensi kemandirian di atas, kemandirian nilailah yang paling kompleks karena terjadi melalui proses internal yang biasanya tidak disadari dan umumnya berkembang paling akhir serta paling sulit dicapai (Karma 2002).

Moore (1987) dan Smolak (1993) menjelaskan kemandirian sebagai ketidaktergantungan (independence) yang terdiri dari 4 bentuk yaitu :

1. Ketidaktergantungan secara fungsional (functional independence) yaitu kemampuan seorang remaja untuk mengatur dan mengarahkan diri sendiri tanpa bantuan dari ayah dan ibu

2. Ketidaktergantungan dalam sikap (attitudinal independence) artinya remaja mampu menjadi diri yang unik yaitu memiliki keyakinan, nilai-nilai dan pendapat sendiri

3. Ketidaktergantungan dalam hal emosi (emotional independence) artinya seseorang bebas dari kebutuhan yang berlebihan akan penerimaan, keakraban dan dukungan emosi dari orangtua

4. Ketidaktergantungan konfliktual (conflictual independence) artinya bebas dari rasa bersalah dan cemas yang berlebihan.

Ali dan Asrori (2009) menyatakan bahwa ada sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian remaja yaitu:

1. Gen atau keturunan orangtua

Orangtua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun, ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian orangtua yang menurun kepada anak melainkan sifat orangtua yang muncul berdasarkan cara orangtua dalam mendidik anak.

2. Pola asuh orangtua

Cara orangtua mengasuh atau mendidik anak akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak remaja. Orangtua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarga akan dapat mendorong kelancaran perkembangan bagi seorang anak.

3. Sistem pendidikan di sekolah

Proses pendidikan yang dapat memperlancar perkembangan kemandirian remaja adalah proses yang lebih menekankan pentingnya penghargaan

terhadap potensi anak, pemberian reward, dan penciptaan kompetisi yang positif.

4. Sistem kehidupan di masyarakat

Sistem kehidupan yang dapat merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian remaja adalah lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hierarkis.

Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence merupakan suatu kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan- perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan (Goleman 1999).

Emosi ternyata banyak mempengaruhi fungsi-fungsi psikis seperti pengamatan, tanggapan, pemikiran, dan kehendak. Seseorang akan mampu melakukan pengamatan atau pemikiran dengan baik jika disertai dengan emosi yang baik pula. Seseorang juga akan memberikan tanggapan yang positif terhadap suatu objek manakala disertai dengan emosi yang positif pula. Sebaliknya, seseorang akan melakukan pengamatan atau tanggapan negatif terhadap suatu objek, jika disertai oleh emosi yang negatif terhadap objek tersebut (Ali & Asrori 2009).

Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya (Fitri 2008).

Model six seconds yang dijelaskan oleh Hastuti (2008) menyebutkan bahwa ada sebelas indikator yang dapat digunakan untuk melihat tingkat EQ seorang anak yaitu (1) memiliki kemampuan mengekspresikan emosi dan

memahami emosi orang lain; (2) kemampuan mengelola emosi; (3) kemampuan memberikan empati pada orang lain; (4) bersikap mandiri; (5) mudah beradaptasi dengan beragam situasi dan kondisi; (6) disukai lingkungannya; (7) memiliki orientasi untuk mencari solusi; (8) mudah berteman dan berbagi; (9) bersikap gigih; (10) bersikap penolong; dan (11) menghormati orang lain.

Lima dasar kecakapan emosi dan sosial (Goleman 1999) :

1. Kesadaran diri : mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri; memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat

2. Pengaturan diri : menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi

3. Motivasi : menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi 4. Empati : merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami

perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang

5. Keterampilan sosial : menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar; menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim.

Menurut Goleman (2007) IQ hanya menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan kesuksesan dalam hidup seseorang sedangkan sisanya yaitu 80 persen diperoleh dari EQ. Ia juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosional seseorang dapat dilihat dari kemampuan dalam memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.

Daengsari (2009) menjelaskan bahwa pada dasarnya, perkembangan emosi dipengaruhi perkembangan beberapa aspek seperti fisik-motorik, kognitif,

maupun sosial. Sifat bawaan atau temperamen anak, serta pola asuh dan lingkungan sosial tempat anak dibesarkan juga berpengaruh terhadap perkembangan emosinya.

Hasil penelitian Ktyal dan Awasthi (2005) menjelaskan bahwa 61.33 persen remaja laki-laki dan 64.00 persen perempuan memiliki kecerdasan emosional yang termasuk kategori baik. Hal ini dikarenakan perempuan cenderung lebih emosi dan lebih ingin mengenal baik dalam suatu hubungan dibanding laki-laki sehingga perempuan diharuskan memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Selain itu, ada fakta yang juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk mengatur dan mengekspresikan emosi yang dimiliki sebagai kemampaun sosial.

Tapia (1999) dan Dunn (2002) diacu dalam Katyal dan Awasthi (2005) menyatakan bahwa perempuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding laki-laki dalam hal empati, tanggung jawab sosial, dan hubungan interpersonal. Perempuan juga lebih sensitif terhadap hubungan dengan orangtua, teman, dan saudara kandung.

Pola asuh

Hastuti (2008) menjelaskan gaya pengasuhan adalah cara berinteraksi orangtua-anak yang paling menonjol dan dominan dalam berhubungan dengan anak. Gaya pengasuhan terbagi menjadi dua yaitu gaya pelatihan emosi dan gaya pendisiplinan. Gaya pelatihan emosi terdiri atas :

1. Coaching(pelatih emosi)

Gaya ini merupakan cara terbaik untuk mengajarkan anak-anak tentang apa yang mereka rasakan dan bagaimana mengatasi perasaan tersebut dengan cara yang positif (Gottman 2004). Ciri-ciri orangtua atau pengasuh yang menerapkan gaya pengasuhan pelatih emosi menurut Gottman dan De Claire (1997) adalah :

a. Orangtua menghargai emosi negatif anak sebagai sebuah kesempatan untuk semakin akrab

b. Orangtua sabar dan bersedia menghabiskankan waktu bersama anak yang sedang sedih, marah dan takut

d. Orangtua sadar dan peka terhadap keadaan emosi anak bahkan bila emosi tersebut tidak terlalu kelihatan

e. Orangtua tidak merasa bingung ataupun cemas menghadapi ungkapan emosi anak serta mengetahui apa yang perlu dilakukan untuk menghadapi emosi tersebut

f. Orangtua menghormati emosi yang dialami anak

g. Orangtua tidak meremehkan perasaan atau emosi negatif anak h. Orangtua tidak memerintahkan apa yang harus dirasakan oleh anak

i. Orangtua tidak merasa bahwa ia harus menyelesaikan segala masalah bagi anak

j. Orangtua menggunakan saat emosi anak sebagai saat mendengarkan anak, berempati dengan kata-kata yang menyejukkan dan penuh kemesraan, menolong anak memberikan nama pada emosi yang dirasakannya, memberikan petunjuk untuk mengatur emosi, menentukan batas dan mengajarkan cara mengungkapkan emosi yang dapat diterima orang lain dan mengajarkan keterampilan untuk menyelesaikan masalah. Akibat dari penerapan pola asuh pelatih emosi terhadap anak-anak antara lain mereka belajar mempercayai perasaan-perasaan mereka, mengatur emosi- emosi mereka sendiri, dan menyelesaikan masalah-masalahnya. Selain itu, mereka juga mempunyai harga diri yang tinggi, dapat belajar dengan baik, dan bergaul dengan orang lain secara baik-baik.

2. Dismissing parenting style(gaya pengabai emosi)

Menurut Gottman (2004) para orangtua, pengasuh dan guru meyakini bahwa cara terbaik untuk mengatasi emosi seorang anak adalah dengan mengatakan kalimat “sudah lupakan saja” kepada anak. Mereka cenderung tidak peduli terhadap apa yang dirasakan oleh seorang anak karena mereka menganggap bahwa perasaan itu tidak penting atau mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap anak mereka. Mereka sering merasa tidak nyaman jika anak-anak sedih atau marah. Mereka sangat yakin bahwa emosi negatif merupakan sesuatu yang berbahaya atau tidak penting, dan sebaiknya dihindari.

Ciri-ciri orangtua atau pengasuh dengan pengasuhan perilaku pengabai emosi menurut Gottman dan De Claire (1997) yaitu :

a. Orangtua memperlakukan perasaan-perasaan anak sebagai hal yang tidak penting

b. Orangtua melepaskan diri atau mengabaikan perasaan-perasaan anak c. Orangtua menginginkan agar emosi-emosi negatif anak hilang dengan

cepat

d. Orangtua menggunakan pengalih perhatian untuk menutup emosi anak e. Orangtua memperlihatkan sedikit minat pada apa yang ingin disampaikan

oleh anak

f. Orangtua barangkali tidak mempunyai kesadaran akan emosi-emosinya sendiri dan orang lain

g. Orangtua merasa tidak nyaman, penuh rasa takut, cemas, terganggu, sakit hati, atau kewalahan dengan emosi-emosi anak

h. Orangtua takut lepas kendali secara emosional

i. Orangtua memusatkan perhatian lebih pada bagaimana mengatasi emosi- emosi dan bukan pada makna emosi itu sendiri

j. Orangtua berpendapat bahwa emosi-emosi itu merugikan atau beracun k. Orangtua berpendapat bahwa jika memusatkan perhatian pada emosi

negatif maka hanya akan memperburuk keadaan

l. Orangtua tidak mengetahui dengan pasti bagaimana atau apa yang harus dilakukan untuk menghadapi emosi anak

m. Orangtua percaya bahwa emosi negatif berarti bahwa seorang anak tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik

n. Orangtua berpendapat emosi negatif anak secara buruk mencerminkan orangtua mereka

o. Orangtua menganggap kecil perasaan-perasaan anak dan meremehkan peristiwa yang menimbulkan emosi tersebut

p. Orangtua tidak menyelesaikan masalah bersama dengan anak melainkan membiarkannya karena seiring berjalannya waktu maka sebagian besar masalah akan selesai dengan sendirinya

3. Disapproving style(gaya tidak menyetujui)

Menurut Gottman (2004) gaya tidak menyetujui menganggap bahwa kemarahan dan tangisan seorang anak hanyalah karena menginginkan perhatian dari orangtua, pengasuh atau guru. Sikap penolakan dari orangtua, pengasuh dan guru menjelaskan bahwa emosi merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima sehingga mereka mencoba untuk memahami emosi anak dengan mendisiplinkan atau menghukum anak terkait dengan apa yang mereka rasakan.

Ciri dari orangtua atau pengasuh dengan gaya pengasuhan tidak menyetujui :

a. Orangtua memeragakan banyak tingkah laku orangtua yang meremehkan tetapi dengan cara yang lebih negatif

b. Orangtua menilai dan mengecam ungkapan emosional anak

c. Orangtua terlampau sadar akan perlunya menentukan batas-batas terhadap anak-anak mereka

d. Orangtua menekankan kepatuhan terhadap pedoman-pedoman ang baik atau tingkah laku yang baik

e. Orangtua menghardik, menertibkan, atau menghukum anak karena mengungkapkan emosi, entah anak itu nakal atau tidak

f. Orangtua percaya bahwa ungkapan emosi negatif harus dibatasi waktunya g. Orangtua berpendapat bahwa emosi negatif harus dikendalikan

h. Orangtua berpendapat bahwa emosi negatif mencerminkan perangai buruk i. Orangtua berpendapat bahwa anak menggunakan emosi negatif untuk

memanfaatkan orangtua; kepercayaan ini menghasilkan perebutan kekuasaan

j. Orangtua berpendapat bahwa emosi membuat orang lemah; anak-anak harus melawan emosinya supaya dapat bertahan hidup

k. Orangtua berpendapat bahwa emosi negatif tidak produktif dan merupakan pemborosan waktu

l. Orangtua menganggap emosi negatif (terutama kesedihan) sebagai sebuah komoditas yang tidak boleh diboroskan

m. Orangtua memprihatinkan ketaatan anak terhadap orangtua atau guru Akibat dari penerapan pola asuh mengabaikan dan tidak menyetujui terhadap anak antara lain mereka belajar bahwa perasaan-perasaan yang mereka rasa keliru, tidak tepat, atau tidak sah. Hal ini dikarenakan menurut pemahaman mereka bahwa “dari sananya” ada sesuatu yang salah dengan mereka karena cara mereka dan mereka menghadapi kesulitan untuk mengatur emosi-emosi mereka sendiri.

4. Gaya pengasuhan Laissez-faire

Menurut Gottman (2004) gaya Laissez-fairemerupakan suatu kebebasan bagi seorang anak dalam mengekspresikan apa yang mereka rasa, baik kebahagiaan, kemarahan atau kesedihan. Akan tetapi Laissez-faire tidak memberikan batasan terhadap kebebasan tersebut dan hanya ada sedikit

bimbingan agar anak dapat memahami bahwa emosi mereka baik dan tidak diajarkan bagaimana mengatasi emosi tersebut. Sedangkan menurut Gottman dan De Claire (1997) ciri-ciri orangtua atau pengasuh dengan gaya pengasuhan laissez-faireantara lain :

a. Orangtua dengan bebas menerima semua ungkapan emosi anak

b. Orangtua menawarkan hiburan kepada anak yang sedang mengalami kesedihan dan perasaan negatif lainnya

c. Orangtua tidak mampu mengajarkan cara mengenal emosi

d. Orangtua sedikit memberikan arahan tentang tingkah laku tertentu

e. Orangtua tidak menentukan batasan sehingga terlalu mudah memberikan ijin

f. Orangtua tidak dapat membantu anak dalam menyelesaikan masalah ataupun meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah

g. Orangtua percaya bahwa hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk emosi- emosi negatif selain bertahan dari emosi tersebut

h. Orangtua berpendapat bahwa mengelola emosi negatif merupakan masalah ilmu hidrolika; lepaskanlah emosi, maka masalahnya akan selesai Akibat dari penerapan pola asuh Laissez-Faire terhadap anak antara lain mereka tidak belajar cara mengatur emosi mereka sendiri; mereka menghadapi kesulitan untuk berkonsentrasi, menjalin persahabatan, dan bergaul dengan anak lain.

Pondok Pesantren

Kata pesantren, secara etimologis, berasal dari kata pesantrian yang