• Tidak ada hasil yang ditemukan

Theory of Planned Behavior

Schiffman dan Kanuk (2004) menyatakan bahwa niat merupakan satu faktor internal (individual) yang memengaruhi perilaku konsumen. Salah satu teori yang membahas tentang niat berperilaku ini adalah Theory of Planned Behavior (TPB) yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen pada tahun 1985. TPB berpendapat bahwa perilaku individu didorong oleh niat perilaku. Niat berperilaku itu sendiri adalah fungsi dari sikap individu terhadap perilaku (Attitude toward Behaviour/ATB), norma subjektif (Subjective Norms/SN), dan persepsi pengendalian perilaku (Perceived Behavioral Control/PBC) seperti ditunjukkan oleh Gambar 1.

Gambar 1 Skema of Theory of Planned Behavior

Furneaux (2005) menjabarkan kembali definisi dari ketiga variabel tersebut. Sikap terhadap perilaku didefinisikan sebagai perasaan individu positif atau negatif tentang melakukan suatu perilaku. Hal ini ditentukan melalui penilaian dari keyakinan seseorang mengenai konsekuensi yang timbul dari perilaku dan evaluasi dari keinginan konsekuensi-konsekuensi. Norma subyektif didefinisikan sebagai persepsi individu tentang apakah orang penting bagi individu berpikir perilaku harus dilakukan. Kontribusi pendapat dari setiap rujukan yang diberikan dibobot dengan motivasi bahwa seorang individu harus mematuhi keinginan rujukan itu. Persepsi pengendalian perilaku didefinisikan sebagai persepsi seseorang terhadap hambatan dalam melakukan suatu perilaku. TPB memandang pengendalian/kontrol yang dimiliki seseorang terhadap perilakunya berada pada

sebuah kontinum dari perilaku yang mudah dilakukan dengan usaha dan sumber daya yang cukup.

Ketiga faktor utama yang memengaruhi niat tersebut masing-masing dibentuk oleh dua komponen. Ajzen (1991) menjabarkan bahwa sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior) dibentuk oleh:

a. Behavioral Belief (keyakinan perilaku), yaitu keyakinan bahwa perilaku akan menghasilkan suatu keluaran atau keyakinan terhadap adanya konsekuensi karena melakukan perilaku tertentu, dan

b. Outcomes Evaluation/Evaluation of the Consequency (evaluasi konsekuensi), yaitu evaluasi seseorang terhadap keluaran atau evaluasi terhadap konsekuensi dari keyakinan perilaku.

Norma subjektif (subjective norms) dibentuk oleh:

a. Normative Belief (keyakinan normatif), yaitu keyakinan terhadap orang lain (kelompok acuan atau referensi) bahwa mereka berpikir subjek seharusnya atau tidak melakukan suatu perilaku atau keyakinan normatif tentang harapan orang lain (kelompok acuan) terhadap dirinya mengenai apa yang seharusnya dilakukan, dan

b. Motivation to Comply (motivasi mematuhi), yaitu motivasi yang sejalan dengan keyakinan normatif atau motivasi yang sejalan dengan orang yang menjadi kelompok acuan.

Persepsi pengendalian perilaku (perceived behavioral control) dibentuk oleh: a. Control Belief (keyakinan pengendalian), yaitu probabilitas bahwa beberapa

faktor menunjang suatu tindakan/perilaku, dan

b. Power of Control Factor/Access to the Control Factor (kekuatan faktor pengendalian), yaitu akses subjek atau kekuatan subjek terkait faktor-faktor yang menunjang perilaku tersebut.

Kerangka konseptual yang menggambarkan penjelasan komponen-komponen pembentuk faktor yang memengaruhi niat tersebut dapat dilihat di Gambar 2.

Rumusan matematis dari kerangka konseptual tersebut dalam ilmu perilaku konsumen dijabarkan oleh Sumarwan (2011) sebagai berikut:

BI = ATB (w1) + SN (w2) + PBC (w3) dimana ATB = ∑ bi · ei

SN = ∑ ri · mi PBC = ∑ pi · ci dengan

BI = niat konsumen untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku ATB = sikap konsumen terhadap perilaku tertentu

SN = norma subjektif

PBC = persepsi konsumen terhadap pengendalian perilaku

w1, w2, w3 = bobot yang memengaruhi ATB, SN, dan PBC terhadap BI bi = keyakinan perilaku

ei = evaluasi konsekuensi ri = keyakinan normatif mi = motivasi mematuhi pi = keyakinan pengendalian c = kekuatan faktor pengendalian.

Keyakinan Perilaku Evaluasi Konsekuensi Sikap terhadap Perilaku Keyakinan Normatif Motivasi Mematuhi Keyakinan Pengendalian Kekuatan Faktor Pengendalian Norma Subjektif Persepsi Pengendalian Perilaku Niat Berperilaku Perilaku

Kristianto (2011) menekankan bahwa perhatian utama pada Theory of Planned Behavior adalah pada minat atau niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku dari suatu sikap maupun variabel lainnya. Kristianto menambahkan beberapa hal yang perlu diperhatikan pada variabel niat, yaitu niat dianggap sebagai “penangkap” antara faktor motivasional yang memiliki dampak pada suatu perilaku, niat menunjukkan seberapa besar seseorang berani mencoba, niat juga menunjukkan seberapa banyak upaya yang direncanakan seseorang untuk melakukan suatu perilaku, dan niat adalah yang paling dekat berhubungan dengan perilaku selanjutnya.

Pengukuran variabel-variabel dalam TPB dapat dilakukan dalam berbagai cara. Penelitian Chen (2009) mengenai perilaku konsumen online mengukur TPB dengan menggunakan skala Likert 7 poin. Niat, sikap terhadap perilaku, dan norma subjektif diukur dengan dua item pertanyaan sedangkan persepsi pengendalian perilaku hanya diukur oleh satu item pertanyaan. Penelitian yang dilakukan dengan online survey dan melibatkan 288 mahasiswa tersebut menunjukkan bahwa hanya norma subjektif yang tidak berpengaruh terhadap pembentukan niat.

Penelitian lainnya adalah penelitian Ma (2007) mengenai perilaku pembelian pada pameran non pangan. Pengukuran komponen-komponen TPB dalam penelitian tersebut juga dilakukan dengan menggunakan skala Likert 7 poin. Niat diukur dengan dua item pernyataan, sikap terhadap perilaku diukur dengan 10 pernyataan, norma subjektif dengan tiga pasang pernyataan, dan persepsi pengendalian perilaku dengan empat pasang pernyataan. Pengolahan data yang dilakukan dengan analisis SEM menunjukkan bahwa sikap terhadap perilaku dan norma subjektif merupakan prediktor penting bagi niat.

Motivasi Konsumen

Menurut Schiffman dan Kanuk (2004), motivasi adalah kekuatan yang mendorong seseorang yang membuatnya bertindak. Handoko (2001) dalam Akbar (2010) mengatakan bahwa motivasi adalah suatu keadaan dalam pribadi yang mendorong individu untuk melakukan keinginan tertentu guna mencapai tujuan.

Dengan adanya motivasi pada diri seseorang akan menunjukkan suatu perilaku yang diarahkan pada suatu tujuan untuk mencapai sasaran kepuasan.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi muncul karena kebutuhan atau keinginan yang dirasakan oleh konsumen. Kebutuhan atau keinginan sendiri muncul karena konsumen merasakan ketidaknyamanan (state of tension) antara yang seharusnya dirasakan dan yang sesungguhnya dirasakan. Kebutuhan atau keinginan yang dirasakan tersebut mendorong seseorang untuk melakukan tindakan pemenuhan.

Motivasi yang ada pada seseorang (konsumen) akan mewujudkan suatu tingkah laku yang diarahkan pada tujuan mencapai sasaran kepuasan. Jadi motivasi bukanlah sesuatu yang dapat diamati, tetapi adalah hal yang dapat disimpulkan. Tiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang itu didorong oleh sesuatu kekuatan dalam diri orang tersebut, kekuatan pendorong inilah yang disebut motivasi (Akbar 2010). Dengan adanya motivasi pada diri seseorang akan menunjukkan suatu perilaku yang diarahkan pada suatu tujuan untuk mencapai sasaran kepuasan.

Pengukuran motivasi dapat dilakukan dalam beberapa cara. Penelitian Tokuyama (2009) mengenai motivasi konsumen berpartisipasi dan menonton olahraga tenis dan sepakbola mengukur motivasi dalam 12 dimensi dengan menggunakan skala Likert 7 poin. Dimensi-dimensi tersebut dirangking berdasarkan mean dan diregresikan dengan variabel dependennya (komitmen untuk bermain dan menonton) dalam bentuk skor.

Penelitian lainnya adalah penelitian Susantyo (2001) mengenai motivasi petani berusaha tani di dalam kawasan hutan. Pengukuran motivasi dalam penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan pertanyaan skala dikotomi (Ya-Tidak) kemudian diakumulasikan. Korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara motivasi dengan aktivitas berusaha tani dan dengan karakteristik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa motivasi berhubungan dengan pendidikan petani, pengalaman berusaha tani, kebutuhan tumah tangga, kemudahan pemasaran, intensitas penyuluhan, dan aktivitas berusaha tani.

Persepsi Konsumen

Menurut Schiffman dan Kanuk (2004), persepsi merupakan suatu proses yang membuat seseorang untuk memilih, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan rangsangan-rangsangan yang diterima menjadi suatu gambaran yang berarti dan lengkap tentang dunianya. Mereka mengemukakan bahwa dalam keadaan yang sama, persepsi seseorang terhadap suatu produk dapat berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh adanya proses seleksi terhadap berbagai stimulus yang ada sangat bergantung pada individu masing-masing orang. Pada hakekatnya persepsi akan berhubungan dengan perilaku seseorang dalam mengambil keputusan terhadap apa yang dikehendaki. Sumarwan (2011) menjelaskan bahwa konsumen seringkali memutuskan pembelian suatu produk berdasarkan persepsinya pada produk tersebut. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengetahui perilaku konsumen adalah dengan menganalisis persepsi konsumen terhadap produk. Dengan persepsi konsumen kita dapat mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi kekuatan, kelemahan, kesempatan, ataupun ancaman bagi produk.

Di dalam mempelajari persepsi, ada dua hal yang penting menurut Sumarwan (2011), yaitu:

1. The absolute threshold yaitu suatu tingkatan terendah dimana seseorang dapat merasakan adanya sensasi atau nilai minimum dari suatu rangsangan agar dapat diterima secara sadar.

2. The defferent threshold atau just noticeable different yaitu perbedaan minimum yang dapat dideteksi diantara dua rangsangan yang muncul secara bersamaan.

Hubungan antar persepsi dan perilaku dapat dilihat dari pendapat Siagian (2006), diacu dalam Akbar (2010) bahwa persepsi dapat diungkapkan sebagai proses melalui mengenal lingkungannya. Interpretasi seseorang mengenai lingkungan tersebut akan sangat berpengaruh pada perilaku yang pada akhirnya menentukan faktor faktor yang dipandang sebagai motivasional (dorongan untuk melakukan sesuatu). Singkatnya, motif menggiatkan perilaku orang dan persepsi

menentukan arah perilakunya. Karena itu kita harus mengetahui unsur-unsur yang memengaruhi atau membentuk persepsi seseorang.

Persepsi tidak hanya tergantung pada sifat-sifat rangsangan fisik, tapi juga pada pengalaman dan sikap sekarang dari individu. Pengalaman dapat diperoleh dari semua perbuatannya di masa lampau atau dapat pula dipelajari, sebab dengan belajar seseorang akan dapat memperoleh pengalaman. Hasil dari pengalaman yang berbeda-beda, akan membentuk suatu pandangan yang berbeda sehingga menciptakan proses pengamatan dalam perilaku pembelian yang berbeda pula.

Pengukuran persepsi dapat dilakukan dalam beberapa cara. Penelitian Nuh (2004) mengenai penggunaan merek dan leaflet sebagai media promosi terhadap persepsi konsumen tentang citra produk mengukur persepsi dalam 3 dimensi dengan menggunakan skala Likert 5 poin. Dimensi-dimensi tersebut terdiri dari beberapa pernyataan yang jumlahnya berbeda antar dimensi kemudian dimasukkan ke dalam pengolahan data dalam bentuk skor per dimensi. Penelitian lainnya adalah penelitian Drewnoski (2010) mengenai persepsi konsumen terhadap klaim nutrisi. Pengukuran persepsi dalam penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan skala semantik diferensial 9 kategori kemudian diakumulasikan. Analisis conjoint digunakan untuk mengetahui pengaruh klaim terhadap persepsi kesehatan.

Pestisida Organik

Pestisida secara harfiah berarti pembunuh hama, berasal dari kata pest dan sida. Pest meliputi hama penyakit secara luas, sedangkan sida berasal dari kata “caedo” yang berarti membunuh (Girsang 2009). Pestisida menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk :

a. memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian;

b. memberantas rerumputan;

d. mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk;

e. memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak;

f. memberantas atau mencegah hama-hama air;

g. memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan; dan

h. memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah, atau air (Prasojo 1984; Deptan 2011).

Pestisida terbagi menjadi enam jenis berdasarkan jenis binatang maupun tanaman yang akan dilawan. Prasojo (1984) menjabarkan keenam jenis pestisida tersebut adalah:

1. bakterisida, yang mematikan bakteri atau virus penyebab penyakit tanaman;

2. fungisida, yang mematikan jenis-jenis cendawan/jamur penyebab penyakit tanaman;

3. herbisida, yang mematikan tumbuhan pengganggu seperti rumput- rumputan, enceng gondok, dan sebagainya;

4. nematisida, yang mematikan bangsa nematode (cacing) perusak tanaman;

5. insektisida, yang mematikan bangsa insekta (serangga) hama tanaman; dan

6. rodentisida, yang mematikan jenis binatang rodentia (tikus).

Banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh pestisida kimia. Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia menurut lembaga Lestari Mandiri (Lesman 2011) antara lain hama menjadi kebal (resisten), peledakan hama baru (resurjensi), penumpukan residu bahan kimia di dalam hasil panen, terbunuhnya musuh alami, pencemaran lingkungan oleh residu bahan kimia, dan kecelakaan bagi pengguna. Prasojo (1984) menyatakan bahwa pestisida kimia dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, mematikan binatang-binatang yang

sebenarnya bukan hama tanaman, bahkan mematikan manusia. Hal ini dikonfrontasikan dengan banyak keuntungan dan manfaat yang diperoleh dari penggunaan pestisida organik. Keuntungan-keuntungan dan manfaat-manfaat tersebut dijabarkan sebagai berikut oleh Isnan (2011):

1. pestisida organik murah dan mudah dibuat sendiri oleh petani 3. pestisida organik relatif aman terhadap lingkungan

4. pestisida organik tidak menyebabkan keracunan pada tanaman 5. pestisida organik sulit menimbulkan kekebalan terhadap hama

6. pestisida organik kompatibel digabung dengan cara pengendalian yang lain

7. pestisida organik menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia.

Pestisida organik memiliki beberapa fungsi, antara lain repelan, yaitu menolak kehadiran serangga; antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot; merusak perkembangan telur, larva, dan pupa; menghambat reproduksi serangga betina; racun syaraf; mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga; atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga; dan mengendalikan pertumbuhan jamur/bakteri (Lesman 2011).

Pestisida organik meliputi dua jenis yaitu pestisida nabati dan pestisida hayati. Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tanaman atau tumbuhan. Sedangkan pestisida hayati adalah pestisida yang bahan dasarnya dari mikroorganisme. Pestisida nabati dapat dibuat sendiri oleh kelompok petani maupun perorangan dengan teknologi sederhana. Namun, seiring dengan berkembangnya minat terhadap pestisida organik, saat ini sudah banyak perusahaan pestisida yang menyediakan pestisida organik yang dijual bebas seperti halnya pestisida kimia. Pestisida tersebut dibuat dengan teknologi tinggi dan dikerjakan dalam skala industri (Sudarmo 2005).

Dokumen terkait