• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paleoklimatologi

Lampiran 1 Tabel daftar literatur perubahan iklim global

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paleoklimatologi

Paleoklimatologi adalah studi iklim sebelum periode pengukuran instrumen. Instrumen cuaca hanya mencatat sebagian kecil dari rentang sejarah iklim bumi sehingga memberikan perspektif yang sama sekali tidak memadai untuk variasi iklim dan evolusi iklim saat ini. Sebuah perspektif tentang variabilitas iklim dapat diperoleh dari studi iklim yang tergantung pada fenomena alam, dan menggabungkan mereka kedalam struktur ukuran yang saling

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cuaca merupakan nilai sesaat dari atmosfer, serta perubahan dalam jangka pendek (1 jam sampai 24 jam) di suatu tempat tertentu di bumi ini. Cuaca yang terobservasi tercatat secara rutin akan menghasilkan seri data cuaca. Data cuaca dalam jangka yang panjang dapat digunakan untuk menentukan iklim.

Iklim adalah nilai statistik atau kesimpulan dari perubahan nilai unsur-unsur cuaca dalam jangka panjang di suatu wilayah tertentu. Iklim selalu mengalami perubahan, unsur-unsur iklim memiliki ke-cenderungan naik dan turun secara nyata yang menyertai keragaman harian, musim maupun siklus. Standar deviasi iklim inter tahunan selama interval waktu lebih dari 20 tahun didefinisikan sebagai variabilitas iklim (Mahmud 2007).

Perubahan iklim merupakan perubahan pola perilaku iklim dalam kurun waktu yang panjang yang terjadi secara alamiah (NOAA 2007). Perubahan iklim saat ini diindikasikan oleh peningkatan suhu udara yang berpengaruh terhadap kondisi para-meter iklim lainnya (Avia 2007). Perubahan iklim disinyalir akibat kegiatan manusia. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa penyebab natural juga berpengaruh terhadap terjadinya perubahan iklim.

Banyak ilmuan berpendapat bahwa gas-gas rumah kaca memerangkap panas matahari sehingga menyebabkan bumi semakin panas dan akhirnya lebih panas daripada suhu normal. Sehingga terjadi kenaikan rata-rata suhu global yang dikenal sebagai pemanasan global yang merupakan indikasi perubahan iklim.

Gas rumah kaca berfungsi menyeimbangkan suhu bumi dengan memancarkan kembali sebagian radiasi matahari, sementara sebagian lagi di serap bumi. Kenaikan konsentrasi gas-gas rumah kaca tersebut dapat menyebabkan jumlah radiasi yang dipancarkan dan diserap bumi menjadi tidak seimbang.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007 menegaskan bahwa selama 8.000 tahun terakhir, dan tepat sebelum industrialisasi pada tahun 1750, konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat dengan hanya 20 ppm. Sedangkan konsentrasi CO2 di atmosfer pada tahun 1750 adalah 278 ppm, dan

meningkat menjadi 379 ppm pada tahun 2005.

Teori perubahan iklim akibat gas rumah kaca tidak sepenuhnya dapat diterima. Teori tersebut mengesampingkan penyebab natural yang juga berpengaruh besar terhadap perubahan iklim yang saat ini terjadi. Bahkan beberapa ilmuan berpendapat bahwa penyebab natural lebih besar pengaruhnya dibandingkan penyebab antropogenik (gas rumah kaca).

Perbedaan pendapat tersebut sampai detik ini masih menjadi isu yang sangat menarik untuk diteliti dan dikaji kebenarannya. Oleh karena itu penelitian tentang perubahan iklim semakin sering dilakukan.

Penelitian tentang perubahan iklim tersebut membutuhkan data yang sangat panjang, bahkan data sebelum masa observasi. Untuk mendapatkan data tersebut dibutuhkan pendugaan dengan mempelajari paleoklimatologi diantaranya metode ice core, tree ring, analisis karang (coral analysis) dan analisis serbuk sari (pollen analysis).

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

Mengkaji cara merekonstruksi iklim masa lalu dengan metode ice core, tree ring, analisis karang (coral analysis) dan analisis serbuk sari (pollen analysis).

Menganalisis pengaruh faktor natural dan gas rumah kaca terhadap perubahan suhu global. Menganalisis kecenderungan suhu dan curah hujan di Jakarta Observatory pada tahun 1965 sampai tahun 2010.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Paleoklimatologi

Paleoklimatologi adalah studi iklim sebelum periode pengukuran instrumen. Instrumen cuaca hanya mencatat sebagian kecil dari rentang sejarah iklim bumi sehingga memberikan perspektif yang sama sekali tidak memadai untuk variasi iklim dan evolusi iklim saat ini. Sebuah perspektif tentang variabilitas iklim dapat diperoleh dari studi iklim yang tergantung pada fenomena alam, dan menggabungkan mereka kedalam struktur ukuran yang saling

ketergantungan. Studi fenomena alam untuk mendapatkan data historis iklim adalah dasar paleoklimatologi. Catatan yang lebih rinci tentang fluktuasi iklim masa lalu lebih dapat diandalkan untuk mengindentifikasi penyebab dan mekanisme perubahan variabilitas iklim. Jadi, data iklim bumi memberikan dasar untuk pengujian hipotesis tentang penyebab perubahan iklim. Hanya ketika fluktuasi iklim masa lalu dipahami akan mungkin untuk sepenuhnya mengantisipasi atau meramalkan variasi iklim di masa depan (Bradley 1999).

Studi iklim masa lalu (paleoklimatologi) harus dimulai dengan pemahaman tentang jenis data yang tersedia dan metode yang digunakan dalam analisis tersebut. Kemudian harus memahami kesulitan yang terkait dengan setiap metode yang digunakan dan asumsi masing-masing metode. Dengan proses seperti itu, maka mungkin untuk menganalisis baris bukti yang berbeda menjadi gambaran yang komprehensif tentang fluktuasi iklim, dan menguji hipotesis tentang penyebab perubahan iklim (NOAA 2011).

Data paleo berasal dari sumber alami seperti lingkar pohon (tree ring), inti es (ice core), karang (coral), laut, sedimen, serbuk sari, dan lain-lain. Arsip cuaca tersebut menyediakan data ratusan juta tahun yang lalu (NOAA 2011).

Beberapa metode paleoklimatologi antara lain:

1. Inti es (ice core)

Es kutub yang tebal merupakan hasil dari densifikasi progresif salju yang tersimpan pada permukaan lapisan es. Transformasi salju menjadi es umumnya terjadi dalam kedalaman 100 meter dan dalam jangka waktu ribuan tahun. Hal ini tergantung pada suhu yang mempengaruhi waktu akumulasi salju menjadi es. Metode ice core dilakukan dengan menganalisis silinder es berdiameter 10 cm yang didapatkan dari pengeboran gletser (Raynoud dan Parrenin 2009).

Metode

ice core memiliki kontribusi

dalam merekonstruksi iklim masa lalu. Pada lintang dan ketinggian yang tertinggi, umumnya terdapat arsip data yang dibutuhkan. Diantaranya mengandung data rekonstruksi iklim dan iklim yang berubah secara memaksa (misalnya kosmogenik isotop dan variabilitas radiasi matahari). Selain itu data spesies di atmosfer juga tersedia di inti es. Data aerosol dan gas rumah kaca yang terkandung dalam atmosfer

juga dapat diindentifikasi dengan meng-analisis akumulasi tutupan salju ini.

Catatan inti es dikenal menghasilkan data yang lebih lama dan panjang. Potensi inti es ini gunakan untuk rekonstruksi iklim yang panjang. Kelemahan metode ini adalah terbatasnya jumlah es di dunia ini. Saat ini lokasi pengeboran inti es semakin diperluas, untuk mendapatkan beberapa catatan inti es Antartika dari es Greenland, serta di Andes, Amerika Utara, dan Asia (Steig 2008). 2. Tree Ring

Iklim dapat mempengaruhi pertumbuhan pohon yang melintasi ruang dan waktu. Pola cincin pohon menggambarkan pertumbuhan pohon disetiap tahunnya. Sebaliknya, variabilitas iklim yang juga mengiringi pertumbuhan pohon terekam dalam lingkar pertumbuhannya dan dipelajari dengan studi dendrokronologi (Buckley 2009).

Dendrokronologi saat ini masih dalam tahap ilmiah. Ada banyak masalah dalam penggunaan lingkaran pohon, terutama karena pertumbuhan lingkaran pohon dapat dipengaruhi oleh banyak hal, bukan hanya curah hujan, suhu, dan penutupan awan, tapi juga oleh angin, sifat tanah, penyakit, atau bahkan polusi. Ketidakpastian itu dapat diperkecil dengan memperbanyak sampel pohon yang dianalis dalam suatu situs atau wilayah yang sama. Ditargetkan sampel untuk suatu observasi metode tree ring ini adalah 15-20 pohon. Bahkan untuk istilah “mega sampling” dibutuhkan lebih banyak sampel pohon, bukan hanya pohon yang tertua melainkan juga pohon yang dominan dan codominan di wilayah tersebut. Akan tetapi, keterbatasan penyebaran menjadi kendala utama metode ini (Briffa dan Cook 2001).

3. Analisis Karang (Coral Analysis) Karang (coral) tumbuh dengan merekam catatan tentang informasi suhu dan komposisi air di mana mereka tinggal. Informasi tersebut terekam di dalam struktur fisik dan kimianya. Metode ini dapat berjalan dengan mengkom-binasikan perbandingan tingkat per-tumbuhan yang cepat (10-20mm/tahun), dan umur koloni karang yang biasanya lebih dari 200 tahun. Untuk saat ini, karang yang difokuskan untuk penelitian paleo-klimatologi adalah karang besar (berbentuk kubah) yang berasal dari genus Porites (Cobb et al. 2008).

Penelitian terutama terfokus pada catatan pertumbuhan karang, isotop yang terkandung dalam karang, dan catatan

elemen-elemen lain. Menghasilkan in-formasi tentang suhu permukaan laut masa lalu, curah hujan, limpasan sungai, sirkulasi laut, dan sistim angin tropis. Sejauh ini, hanya beberapa studi yang membentang lebih dari satu abad (Bradley 1999).

4. Analisis serbuk sari (Pollen analysis) Analisis serbuk sari adalah metode untuk mengungkapkan bukti-bukti perubahan ekologi dan iklim masa lalu. Dengan menggabungkan prinsip stratigrafi dengan pengamatan aktual dari vegetasi untuk merekonstruksi vegetasi terestrial masa lalu. Perubahan Regional iklim regional biasanya tidak dapat diturunkan dari metode serbuk sari (Kneller 2009).

Butir serbuk sari yang tercuci atau tertiup angin ke danau dapat terakumulasi dalam sedimen dan memberikan catatan vegetasi masa lalu. Berbagai jenis serbuk sari dalam sedimen danau mencerminkan vegetasi yang ada di sekitar danau dan kondisi iklim yang menguntungkan bagi vegetasi tersebut (NOAA 2011).

5. Cave analysis (Speleothems)

Speleothems adalah deposit mineral yang terbentuk dari air tanah dalam gua bawah tanah. Stalagmit, stalaktit, dan bentuk lainya mengandung senyawa yang dapat merenkonstruksi penanggalan radiometrik. Selain itu ketebalan lapisan pengendapan dan catatan isotop yang terkandung di dalamnya dapat digunakan sebagai proxy iklim (NOAA 2011).

Dasar speleotherm yang diperiksa untuk mendapatkan informasi iklim adalah interval pertumbuhan yang ditentukan oleh uranium dan digunakan untuk mengidentifikasi interval iklim. Analisis oksigen digunakan untuk identifikasi suhu gua, sifat curah hujan, serta lintasan masa udara. Analisis isotop karbon diartikan sebagai perubahan vegetasi di atasnya, juga menunjukan kerapatan vegetasi. Ketebalan lapisan tahunan juga digunakan sebagai indikator jumlah curah hujan dan rata-rata suhu tahunan serta vegetasi (Fleitmann et al. 2011).

Dengan metode-metode paleoklimatologi di atas maka data iklim yang cukup panjang dapat direkonstruksi. Dengan data tersebut dapat dilakukan analisis tentang perubahan iklim global dengan lebih akurat. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa setiap metode memiliki ketidakpastian yang menyebabkan kerancuan informasi.

2.2 Keseimbangan Energi Permukaan Kenaikan suhu global dikaitkan dengan tidak seimbangnya transfer energi radiasi matahari. Radiasi matahari yang masuk sebagai gelombang pendek akan dikembalikan ke angkasa oleh bumi sebagai gelombang panjang. Jumlah radiasi matahari yang masuk ke bumi sama dengan jumlah energi yang dipancarkan bumi. Asumsi tersebut dapat digunakan untuk menghitung perubahan suhu rata-rata bumi yang diisukan terus meningkat pesat akibat radiasi gelombang panjang yang terperangkap oleh gas-gas rumah kaca.

Hubungan antara aliran energi dan iklim dapat diilustrasikan dengan cara sederhana yaitu hukum termodinamika yang menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan maupun dihancurkan, hanya dapat diubah dari satu bentuk kebentuk lainya (Oke 1987). Sistem bumi mengubah energi yang diterima dan memancarkannya kembali, ada juga yang diserap dan merubah bentuknya menjadi energi lainnya.

Menurut Kiehl dan Trenberth (1997), energi yang masuk ke bumi :

* 27.4% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer

* 20.6% diserap gas-gas di atmosfer dan awan

* 52% diserap permukaan bumi

Jumlah energi yang masuk, diubah, dan dipantulkan kembali oleh sistem bumi dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu:

a. Radiasi

Radiasi surya yang datang ke bumi, sebagian diterima oleh permukaan dan sebagian dipantulkan atau ditransmisikan kembali ke atmosfer dalam bentuk radiasi gelombang pendek maupun gelombang panjang. Jumlah radiasi netto yang diterima/diserap oleh permukaan kemudian digunakan sebagai energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke dalam tanah (soil heat flux) (G), energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (sensible heat flux)(H), energi untuk evapotranspirasi (LE), dan sisanya digunakan untuk metabolisme mahluk hidup. Hal inilah yang sering disebut sebagai konsep neraca energi permukaan

b. Jarak matahari dan bumi

Jarak berpengaruh terhadap variasi penerimaan energi radiasi matahari di permukaan bumi. Bumi mengelilingi matahari dengan lintasan yang berbentuk elips. Jarak terdekat antara matahari terjadi pada tanggal 3- 5 Januari (perihelion), dan

jarak terjauhnya terjadi pada tanggal 5 Juli (aphelion). Perbedaan variasi jarak antara bumi dan matahari menyebabkan terjadinya perbedaan kerapatan fluks matahari (Wm-2) (Handoko 1995).

Pada jarak rata-rata antara matahari dan bumi selama satu tahun, radiasi surya yang datang tegak lurus di permukaan bumi disebut dengan solar constant. Solar constant bernilai 1367 Wm-2 ( NASA 2011). c. Albedo

Albedo adalah perbandingan jumlah radiasi yang dipantulkan dan jumlah radiasi yang diterima permukaan bumi (Avia et al. 2000). Nilai albedo dipengaruhi langsung oleh variasi penutupan lahan di permukaan bumi. Nilai albedo tertinggi berada pada lahan dengan nilai penutupan vegetasi rendah pada musim kering dan vegetasi padat pada musim basah (Subarna et al. 1998).

Vukovich (1987) melakukan penelitian tentang hubungan albedo dan suhu permukaan. Penelitian yang dilakukan di daerah Sahara, Afrika ini menghasilkan bahwa dengan penutupan rendah dan kering nilai albedo dan suhu permukaan akan tinggi dibandingkan daerah yang memiliki vegetasi tinggi dan basah. Semakin tinggi nilai albedo maka semakin besar jumlah radiasi yang dipantulkan. Hal ini akan menyebabkan turunnya suhu. Materi yang memiliki kemampuan tinggi merefleksi radiasi sinar matahari adalah es, sementara yang terendah diantaranya lautan dan hutan lebat.

d. Emisivitas

Emisivitas didefinisikan sebagai rasio daya emisi total sebuah permukaan terhadap daya emisi total dari suatu permukaan yang meradiasi secara ideal pada temperatur sama. Permukaan beradiasi ideal juga dinamakan benda hitam.

Emisivitas suatu benda bernalai antara 0 sampai 1. Benda yang memiliki warna putih sempurna (seperti cermin) memiliki emisivitas sebesar 0, dan benda yang hitam sempurna bernilai emisivitas 1.

Emisivitas bumi akan berhubungan dengan intensitas radiasi gelombang panjang. Semakin besar emisivitas semakin besar pula intensitas radiasi gelombang panjang yang diemisikan bumi ke atmosfer menuju angkasa (Sumaryati 2004).

2.3 Perubahan Iklim Global

Perubahan iklim global adalah perubahan jangka panjang data statistik cuaca global (NOAA 2007).

LAPAN (2009) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu (regional). IPCC (2007) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih). Selain itu juga diperjelas bahwa perubahan iklim mungkin karena proses alam internal maupun ada kekuatan eksternal. Penyebab eksternal merupakan kegiatan manusia yang terus menerus merubah komposisi atmosfer dan tata guna lahan. Penyebab internal yang merupakan faktor alam disebut juga penyebab natural dan penyebab eksternal adalah penyebab antropogenik.

Berdasarkan model-model IPCC, efek rumah kaca, khususnya pada aspek antropogeniknya, bertanggung jawab atas semua perubahan kllimatik. Sistem ini merupakan komponen yang penting bagi kelangsungan bumi terdiri dari Atmosfer,

Hidrosfer, Litosfer, Cryosfer, Biosfer, dan Noosfer (Leurox 2005).

Penyebab perubahan iklim berdasarkan IPCC:

Penyebab natural :

Fenomena El Niño-Southern Oscillation (ENSO) adalah sebuah contoh variasi internal „alami‟ pada skala cuaca tahunan. Selain itu, penyebab natural lainnya antara lain perbedaan orbital dalam radiasi dan vulkanisme (Leurox 2005).

Gas rumah kaca

Menurut IPCC (2007) penyebab ini adalah penyumbang terbesar dari pemanasan global yang terjadi sejak revolusi industri. Pemanasan global merupakan salah satu indikasi terjadinya perubahan iklim global. Pemanasan global disinyalir terjadi akibat meningkatnya gas-gas rumah kaca (CO2, CH4, NOx, Halocarbon, O3, dll).

2.4 Gas Rumah Kaca

Gas rumah kaca adalah salah satu kelompok gas dalam atmosfer yang dapat menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat. Sistem kerjanya adalah dengan mengembalikan pantulan sinar matahari dari permukaan bumi agar tetap berada dalam sistem atmosfer bumi (LAPAN 2009). Gas- gas ini memungkinkan panas matahari

ditahan di atas permukaan bumi. Secara alami gas rumah kaca membuat suhu permukaan bumi berada pada titik layak huni bagi mahkluk hidup. Selain itu gas rumah kaca dalam konsentrasi tertentu juga secara alami menjaga kestabilan iklim

Gas rumah kaca juga diartikan sebagai gas yang terdapat di atmosfer yang dapat menyerap dan mengemisikan radiasi bersama dengan inframerah. Proses tersebut yang merupakan penyebab mendasar efek rumah kaca (Prather dan Ehhalt 2001)

IPCC menyimpulkan bahwa kebanyakan peningkatan suhu global rata-rata sejak pertengahan abad ke 20 disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca secara antropogenik.

Berdasarkan Protokol Kyoto, yang diklasifikasikan sebagai Gas Rumah Kaca adalah: metan (CH4), nitrat oksida (N2O), hidroflorokarbon (HFCs), perflorokarbon (PFCs), sulfurheksaflouride (SF6) , serta gas-gas yang terdapat pada Protokol Montreal yang telah disempurnakan yaitu: kloroflorokarbon (CFCs), hidrikloro-florokarbon (HCFCs), dan juga halon.

Pada penyempurnaan Protokol Montreal, gas-gas yang dibahas secara fokus adalah perubahan ozon (O3) yang terdapat pada wilayah troposfer. Uap air (H2O) yang terdapat pada wilayah stratosfer juga perlu dibahas, tetapi H2O yang terdapat pada lapisan troposfer yang merupakan bagian dari siklus hidrologi dan diperhitungkan dalam model iklim yang tidak didiskusikan.

Gas lain yang termasuk gas rumah kaca yang reaktif terhadap gas lainnya yaitu karbon monoksida (CO), hidrogen (H2), dan volatile organic compound (VOC) (IPCC 2001).

Gas rumah kaca yang terdapat di atmosfer berasal dari dua sumber yaitu sumber alami dan sumber antropogenik. Dalam studi beberapa penelitian inti es gas kelas dua yang merupakan gas sintetik diantaranya : HFCs, PFCs, SF6, CFCs, dan halons tidak ada diatmosfer sebelum abad 20, hal ini mengindikasikan bahwa gas tersebut muncul secara antropogenik setelah abad 20 (Butler et al. 1999).

Sedangkan gas CH4, NOx, CO2, O3, dan beberapa gas lainnya sudah ada sacara alami di atmosfer dan konsentrasinya semakin meningkat seiring dengan berkembangnya industri.

Karbon dioksida meningkat di atmosfer melalui pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas alam, dan batu bara), sampah

padat, pohon-pohon, dan produk-produk kayu, dan merupakan hasil dari reaksi kimia lainnya (seperti industri semen). Karbon dioksida juga dapat lepas dari atmosfer (atau mengalami sequestrasi) pada saat diserap oleh tumbuhan sebagai bagian dari siklus karbon biologis.

Metana (CH4). Metana diemisikan selama produksi dan pengangkutan batubara, gas dan minyak alam. Emisi metana juga merupakan hasil dari peternakan dan kegiatan pertanian lainnya dan oleh pembusukan sampah organik di pembuangan sampah padat skala besar (kota).

Nitrat oksida (N2O). Nitrat oksida diemisikan selama berlangsung aktivitas pertanian dan industri, serta selama kombusi bahan bakar dan sampah padat.

Flourinated gas, Hidroflorokarbon, perflorokarbon dan sulfur heksaflorida adalah gas-gas rumah kaca yang sangat kuat yang sintetis, diemisikan dari sejumlah proses-proses industri.

Kelompok gas ini digunakan untuk subtitusi ozone-depleting substances (seperti CFCs, HCFCs, dan halons). Gas-gas ini secara tipikal diemisikan dalam kuantitas yang lebih kecil, tetapi karena gas-gas tersebut merupakan gas-gas rumah kaca yang kuat, maka disebut sebagai High Global Warming Potential Gases (LAPAN 2009).

2.5 Karakteristik Iklim Jakarta

Jakarta berlokasi di sebelah utara Pulau Jawa, di muara sungai Ciliwung, Teluk Jakarta. Jakarta terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 mdpl. Jakarta memiliki suhu udara yang panas dan kering atau beriklim tropis. Terletak di bagian barat Indonesia, Jakarta mengalami puncak musim penghujan pada bulan Januari dan Februari dengan rata-rata curah hujan 350 milimeter dengan suhu rata-rata 27 °C. Curah hujan antara bulan Januari dan awal Februari sangat tinggi, pada saat itulah Jakarta dilanda banjir setiap tahunnya, dan puncak musim kemarau pada bulan Agustus (Tuner 1997). Rata-rata curah hujan bulan Agustus yang terlihat di Tabel 1 adalah 34.2 milimeter. Bulan September dan awal Oktober adalah hari-hari yang sangat panas di Jakata, suhu udara rata-rata pada bulan September adalah 33 °C. Suhu rata-rata tahunan yang tecatat pada Tabel 1 berkisar antara 24.2°-33 °C.

Tabel 1 Data iklim Jakarta (http:// worldweather. wmo.int )

Bulan Suhu rata-rata oC Curah Hujan

Bulanan (mm)

Rata-rata Hari Hujan

(hari) Suhu Minimun Suhu Maximum

Jan 24.2 29.9 384.7 26 Feb 24.3 30.3 309.8 20 Mar 25.2 31.5 100.3 15 Apr 25.1 32.5 257.8 18 May 25.4 32.5 133.4 13 Jun 24.8 31.4 83.1 17 Jul 25.1 32.3 30.8 5 Aug 24.9 32.0 34.2 24 Sep 25.5 33.0 29.0 6 Oct 25.5 32.7 33.1 9 Nov 24.9 31.3 175.0 22 Dec 24.9 32.0 84.0 12

Tabel di atas merupakan tabel rata-rata suhu dan curah hujan bulanan DKI Jakarta yang diunduh dari web resmi WMO (World Meteorological Organisation). Nilai suhu merupakan nilai rata-rata observasi suhu bulanan tahun 1994-1999. Nilai curah hujan dan jumlah hari hujan merupakan nilai rata-rata observasi bulanan tahun 1930-1960.

Jakarta memiliki enam stasiun cuaca yang terletak di ketinggian, lintang dan bujur yang berbeda. Bandara Internasional Soekarno-Hatta memiliki dua stasiun yang masing-masing terletak pada 6.15oLS, 106.7oBT dan 6.11oLS, 106.65oBT dengan ketinggan 8 mdpl. Bandara Halim Perdana Kusuma memiliki satu stasiun klimatologi yang terletak pada 6.25oLS dan 106.9oBT, dengan ketinggian 30 mdpl. Pelabuhan Tanjung Priuk memiliki sebuah stasiun yang terletak pada 6.1oLS dan 106.86oBT dengan ketinggian 2 mdpl. Dua stasiun lainya berada di tengah kota Jakarta yaitu Stasiun Klimatologi Kemayoran (6.15oLU, 106.86oBT) dan Stasiun Klimatologi Jakarta Observatory (6.18oLS, 106.83oBT) dengan ketinggian yang sama pada masing-masing stasiun yaitu 8 mdpl.

III. METODE PENELITIAN