• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Paleoklimatologi dan Perubahan Suhu Global

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Paleoklimatologi dan Perubahan Suhu Global"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

RATIH DWIMEINI PURWANTO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

RATIH DWIMEINI PURWANTO. Study of Paleoclimatology and Global Temperature Changes. Under the direction of AHMAD BEY and RAHMAT HIDAYAT.

Global climate change is a change of climate patterns and intensity on a global scale as a result of changes in the energy budget components within the earth system and may be caused by both natural and antrophogenic factors. Studies of climate change requires a long data which may be reconstructed by several methods of paleoclimatology including ice cores, tree ring, coral, and pollen methods. Climate reconstruction using Ice core method requires longer data records compared with the tree ring, coral, and pollen method. The complexity of physical and chemical analysis are major constaints in utilizing ice core and coral method. On the other hand, the unven speard of tree on the earth cause limitations to the information obtained from tree ring and pollen method. Among factors consider important to the global climate change include solar constant, properties of earth surface, and atmospheric chemical compositions of greenhouse gases. Radiative forcing is an index defined by the rate of energy change per unit area of the globe as measured at the top of the atmosphere. Global climate change is indicated by increased of global average surface temperature which according to data records has increased by 0.7oC during the last century. A number of literature suggest the temperature rise was due to anthropogenic factors; however, using simplified energy balance model of the earth-atmosphere system reveals that an increase of solar constant by 1% (which may occur during the last century), while holding other factors unchanged, will result in an average global surface temperature increase of 0.6o

C which is fairly close to the value obtained from observations. It must be emphasized that climate is an extremely complex system in which various factors interact with each other in some forms of linear and non-linear feedbacks. Analysis of time series data of Jakarta Observatory which cover a period of 1965-2010 shows a slight increase of average temperature and decrease of average rainfall.

(3)

ABSTRAK

RATIH DWIMEINI PURWANTO. Kajian Paleoklimatologi dan Perubahan Suhu Global. Dibimbing oleh AHMAD BEY dan RAHMAT HIDAYAT.

Perubahan iklim global adalah perubahan pola dan intensitas iklim dalam skala global se-bagai akibat dari perubahan keseimbangan komponen energi dalam sistem bumi, dan hal ini disebabkan oleh dua faktor yaitu natural dan antopogenik. Studi perubahan iklim memerlukan data yang panjang yang dapat direkonstruksi dengan beberapa metode paleoklimatologi diantaranya metode inti es, lingkar pohon, karang, dan serbuk sari. Rekonstruksi iklim menggunakan metode inti es menghasilkan data iklim yang lebih panjang dibandingkan dengan menggunakan metode lingkar pohon, karang, dan serbuksari. Akan tetapi rumitnya analisis fisik dan kimia dalam metode karang dan inti es menjadi kendala utama, di sisi lain tidak meratanya penyebaran pohon di bumi ini menyebabkan terbatasnya informasi iklim yang dihasilkan dari metode lingkar pohon dan serbuk sari. Faktor yang dianggap penting dalam perubahan iklim global antara lain adalah konstanta matahari, properti permukaan bumi, dan komposisi gas rumah kaca di atmosfer. Radiative forcing merupakan suatu index yang didefinisikan sebagai perubahan laju energi persatuan luas yang diukur di bagian atas atmosfer. Perubahan iklim global diindikasikan dengan peningkatan rata-rata suhu permukaan global, berdasarkan rekaman data rata-rata suhu global mengalami peningkatan sebesar 0.7oC selama satu abad terakhir. Sejumlah literatur menyatakan bahwa kenaikan suhu global disebabkan oleh faktor antropogenik. Bagaimanapun dengan menggunakan model neraca energi sederhana mengungkapkan bahwa kenaikan konstanta matahari sebesar 1% (yang mungkin terjadi selama satu abad terakhir), selama faktor lain tidak mengalami perubahan, akan menghasilkan kenaikan suhu bumi sebesar 0.6oC nilai yang cukup dekat dengan hasil pengamatan. Harus ditekankan bahwa iklim merupakan sistem yang sangat kompleks dimana berbagai faktor saling berinteraksi satu sama lain dalam beberapa bentuk umpan balik linier dan non linier. Analisis deret waktu Jakarta Obsevatory pada tahun 1965-2010 menunjukan peningkatan tipis dari data suhu rata-rata dan penurunan untuk curah hujan rata-rata.

(4)

KAJIAN PALEOKLIMATOLOGI DAN PERUBAHAN SUHU GLOBAL

RATIH DWIMEINI PURWANTO

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi

:

Kajian Paleoklimatologi dan Perubahan Suhu Global

Nama

:

Ratih Dwimeini Purwanto

NRP

:

G24070025

Menyetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey

Dr. Rahmat Hidayat, S.Si, M.Si

NIP. 19510823 197603 1 002

NIP. 19740301 200003 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS

NIP. 19600305 198703 2 002

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai laporan studi pustaka yang telah dilaksanakan pada bulan Januari hingga Mei 2011 dengan judul Kajian Paleoklimatologi dan Perubahan Suhu Global. Terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey sebagai pembimbing I dan Dr. Rahmat Hidayat, S.Si, M.Si sebagai pembimbing II, yang telah banyak memberikan pengarahan, ide, ilmu, masukan dan bimbingan sampai skripsi ini terselesaikan

2. Staf TU dan Pak Pono di Departemen Geofisika dan Meteorologi untuk semua bantuan dan kebaikan yang diberikan.

3. Orang tua penulis (Dian Ibnu Hadi Purwanto, S.Ip, M.M dan Yusmaini, S.E) untuk dukungan dalam segala aspek.

4. Keluarga besar Soemaji Istajab dan Keluarga besar Hasan Basri.

5. Keluarga besar AGRIC yang menyalurkan hobi dan mengisi hari saya di IPB. 6. The Mozquitoes (Ira, Rian, Atis, Kenyo) sebagai penyalur inspirasi.

7. Teman-teman seperjuangan di Lab Met 2011( Andi dan Resa).

8. Kepada teman-teman terdekat (Rini, Rahmawati, Retno, Yoshinta, Edwina, Evie) dan seluruh teman GFM 44 atas semua kebersamaannya.

9. Keluarga Soegiwanto (Bonteka, Boneka, Gadis, Iger, Suke, Mbot, Ncop, Nda, Engkus), sebagai hiburan disela penulisan skripsi ini.

10. Serta kepada pihak-pihak yang tidak dapat dituliskan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kriktik dan saran yang membangun untuk skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

.

Bogor, Juli 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 11 Mei 1989 dari pasangan Dian Ibnu Hadi Purwanto dan Yusmaini. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dengan saudara laki-laki bernama Huda Praputra Purwanto.

Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bogor pada tahun 2007 dan selanjutnya diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB. Di tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Meteorologi dan Geofisika.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang

... 1

1.2 Tujuan

... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 1

2.1 Paleoklimatologi

... 1

2.2 Keseimbangan Energi Permukaan

... 3

2.3 Perubahan Iklim Global

... 4

2.4 Gas Rumah Kaca

... 4

2.5 Karakteristik Iklim Jakarta

... 5

III. METODE PENELITIAN ... 6

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

... 6

3.2 Bahan dan Alat

... 6

3.3 Metode

... 6

3.3.1 Studi Pustaka

... 6

3.3.1.1 Kerangka Pemikiran

... 7

3.3.2 Skenario Keseimbangan Energi Permukaan

... 7

3.3.3Analisis kecenderungan data series waktu iklim Jakarta Observatory 1965-2010.

... 8

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 8

4.1 Metode Paleoklimatologi untuk Rekonstruksi Iklim

... 8

4.1.1 Metode Inti Es (Ice Core)

... 9

4.1.2 Metode Tree Ring

... 11

4.1.3 Analisis Karang (Coral)

... 12

4.1.4 Analisis Serbuk Sari (Pollen)

... 13

4.2 Perubahan Suhu Global Sebagai Indikasi Perubahan Iklim Global Akibat Kejadian Alam (Natural)

... 15

4.3 Skenario Budget Energi untuk Menduga Perubahan Rata-rata Suhu Global.

... 17

4.4 Perubahan Suhu Global Akibat Gas Rumah Kaca

... 20

4.5 Analisis Kecenderungan Suhu dan Curah Hujan Jakarta Observatory 1965- 2010

... 23

4.5.1 Analisis Kecenderungan Suhu

... 23

4.5.2 Analisis Kecenderungan Curah Hujan

... 25

V. PENUTUP ... 27

5.1 Simpulan

... 27

5.2 Saran

... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 27

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Data iklim Jakarta (http://worldweather.wmo.int) ... 6

2. Informasi stasiun observasi ... 8

3. Sumber informasi utama paleoklimatik dari inti es (Bradley 1999) ... 9

4. Lokasi observasi inti es di dunia ( Bradley 1999) ... 10

5. Waktu, tempat dan parameter observasi karang (Bradley 1999) ... 13

6. Skenario pendugaan suhu permukaan bumi ... 19

7. Konsentrasi gas rumah kaca sebelum dan sesudah revolusi industri (IPCC 2007) ... 21

8. Komponen gas rumah kaca dan potensinya terhadap pemanasan global untuk TH (Time Horizon) 100 tahun dengan CO2 sebagai gas relatif (IPCC 2007) ... 22

9. Nilai komponen radiative forcing (IPCC 2007) ... 22

10. Nilai konstanta dan beberapa rumusan untuk menentukan nilai radiative forcing (Mhyre 1998) ... 23

11. Rata-rata suhu permukaan Jakarta per dekade ... 25

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Observasi tutupan es Dasuopu, Himalaya (Thompson 2010). ... 10

2. Bagian melintang batang pohon berkambium (Bradley 1999). ... 11

3. Hasil pengukuran densitas dengan sinar-x (Schweingruber et al. 1993). ... 12

4. Grafik perubahan suhu sebagai variabilitas iklim 420.000 tahun terakhir daerah Inti Es Antartika (NOAA 2007). ... 15

5. Mekanisme keseimbangan energi permukaan (Kiehl dan Trenberth 1997). ... 17

6. Rata- rata suhu global dari tahun 1850- 2007 (Hutton 2010). ... 20

7. Variasi suhu tahunan Jakarta Observatory (1965 -2010). ... 24

8. Variasi suhu musim hujan dan kemarau Jakarta Observatory tahun (1965- 2010). ... 24

9. Variasi curah hujan tahunan Jakarta Observatory (1965-2010). ... 25

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Halaman

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cuaca merupakan nilai sesaat dari atmosfer, serta perubahan dalam jangka pendek (1 jam sampai 24 jam) di suatu tempat tertentu di bumi ini. Cuaca yang terobservasi tercatat secara rutin akan menghasilkan seri data cuaca. Data cuaca dalam jangka yang panjang dapat digunakan untuk menentukan iklim.

Iklim adalah nilai statistik atau kesimpulan dari perubahan nilai unsur-unsur cuaca dalam jangka panjang di suatu wilayah tertentu. Iklim selalu mengalami perubahan, unsur-unsur iklim memiliki ke-cenderungan naik dan turun secara nyata yang menyertai keragaman harian, musim maupun siklus. Standar deviasi iklim inter tahunan selama interval waktu lebih dari 20 tahun didefinisikan sebagai variabilitas iklim (Mahmud 2007).

Perubahan iklim merupakan perubahan pola perilaku iklim dalam kurun waktu yang panjang yang terjadi secara alamiah (NOAA 2007). Perubahan iklim saat ini diindikasikan oleh peningkatan suhu udara yang berpengaruh terhadap kondisi para-meter iklim lainnya (Avia 2007). Perubahan iklim disinyalir akibat kegiatan manusia. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa penyebab natural juga berpengaruh terhadap terjadinya perubahan iklim.

Banyak ilmuan berpendapat bahwa gas-gas rumah kaca memerangkap panas matahari sehingga menyebabkan bumi semakin panas dan akhirnya lebih panas daripada suhu normal. Sehingga terjadi kenaikan rata-rata suhu global yang dikenal sebagai pemanasan global yang merupakan indikasi perubahan iklim.

Gas rumah kaca berfungsi menyeimbangkan suhu bumi dengan memancarkan kembali sebagian radiasi matahari, sementara sebagian lagi di serap bumi. Kenaikan konsentrasi gas-gas rumah kaca tersebut dapat menyebabkan jumlah radiasi yang dipancarkan dan diserap bumi menjadi tidak seimbang.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007 menegaskan bahwa selama 8.000 tahun terakhir, dan tepat sebelum industrialisasi pada tahun 1750, konsentrasi CO2 di

atmosfer meningkat dengan hanya 20 ppm. Sedangkan konsentrasi CO2 di atmosfer pada tahun 1750 adalah 278 ppm, dan

meningkat menjadi 379 ppm pada tahun 2005.

Teori perubahan iklim akibat gas rumah kaca tidak sepenuhnya dapat diterima. Teori tersebut mengesampingkan penyebab natural yang juga berpengaruh besar terhadap perubahan iklim yang saat ini terjadi. Bahkan beberapa ilmuan berpendapat bahwa penyebab natural lebih besar pengaruhnya dibandingkan penyebab antropogenik (gas rumah kaca).

Perbedaan pendapat tersebut sampai detik ini masih menjadi isu yang sangat menarik untuk diteliti dan dikaji kebenarannya. Oleh karena itu penelitian tentang perubahan iklim semakin sering dilakukan.

Penelitian tentang perubahan iklim tersebut membutuhkan data yang sangat panjang, bahkan data sebelum masa observasi. Untuk mendapatkan data tersebut dibutuhkan pendugaan dengan mempelajari paleoklimatologi diantaranya metode ice core, tree ring, analisis karang (coral analysis) dan analisis serbuk sari (pollen analysis).

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

Mengkaji cara merekonstruksi iklim masa lalu dengan metode ice core, tree ring, analisis karang (coral analysis) dan analisis serbuk sari (pollen analysis).

Menganalisis pengaruh faktor natural dan gas rumah kaca terhadap perubahan suhu global. Menganalisis kecenderungan suhu dan curah hujan di Jakarta Observatory pada tahun 1965 sampai tahun 2010.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Paleoklimatologi
(13)

ketergantungan. Studi fenomena alam untuk mendapatkan data historis iklim adalah dasar paleoklimatologi. Catatan yang lebih rinci tentang fluktuasi iklim masa lalu lebih dapat diandalkan untuk mengindentifikasi penyebab dan mekanisme perubahan variabilitas iklim. Jadi, data iklim bumi memberikan dasar untuk pengujian hipotesis tentang penyebab perubahan iklim. Hanya ketika fluktuasi iklim masa lalu dipahami akan mungkin untuk sepenuhnya mengantisipasi atau meramalkan variasi iklim di masa depan (Bradley 1999).

Studi iklim masa lalu (paleoklimatologi) harus dimulai dengan pemahaman tentang jenis data yang tersedia dan metode yang digunakan dalam analisis tersebut. Kemudian harus memahami kesulitan yang terkait dengan setiap metode yang digunakan dan asumsi masing-masing metode. Dengan proses seperti itu, maka mungkin untuk menganalisis baris bukti yang berbeda menjadi gambaran yang komprehensif tentang fluktuasi iklim, dan menguji hipotesis tentang penyebab perubahan iklim (NOAA 2011).

Data paleo berasal dari sumber alami seperti lingkar pohon (tree ring), inti es (ice core), karang (coral), laut, sedimen, serbuk sari, dan lain-lain. Arsip cuaca tersebut menyediakan data ratusan juta tahun yang lalu (NOAA 2011).

Beberapa metode paleoklimatologi antara lain:

1. Inti es (ice core)

Es kutub yang tebal merupakan hasil dari densifikasi progresif salju yang tersimpan pada permukaan lapisan es. Transformasi salju menjadi es umumnya terjadi dalam kedalaman 100 meter dan dalam jangka waktu ribuan tahun. Hal ini tergantung pada suhu yang mempengaruhi waktu akumulasi salju menjadi es. Metode ice core dilakukan dengan menganalisis silinder es berdiameter 10 cm yang didapatkan dari pengeboran gletser (Raynoud dan Parrenin 2009).

Metode

ice core memiliki kontribusi

dalam merekonstruksi iklim masa lalu. Pada lintang dan ketinggian yang tertinggi, umumnya terdapat arsip data yang dibutuhkan. Diantaranya mengandung data rekonstruksi iklim dan iklim yang berubah secara memaksa (misalnya kosmogenik isotop dan variabilitas radiasi matahari). Selain itu data spesies di atmosfer juga tersedia di inti es. Data aerosol dan gas rumah kaca yang terkandung dalam atmosfer

juga dapat diindentifikasi dengan meng-analisis akumulasi tutupan salju ini.

Catatan inti es dikenal menghasilkan data yang lebih lama dan panjang. Potensi inti es ini gunakan untuk rekonstruksi iklim yang panjang. Kelemahan metode ini adalah terbatasnya jumlah es di dunia ini. Saat ini lokasi pengeboran inti es semakin diperluas, untuk mendapatkan beberapa catatan inti es Antartika dari es Greenland, serta di Andes, Amerika Utara, dan Asia (Steig 2008). 2. Tree Ring

Iklim dapat mempengaruhi pertumbuhan pohon yang melintasi ruang dan waktu. Pola cincin pohon menggambarkan pertumbuhan pohon disetiap tahunnya. Sebaliknya, variabilitas iklim yang juga mengiringi pertumbuhan pohon terekam dalam lingkar pertumbuhannya dan dipelajari dengan studi dendrokronologi (Buckley 2009).

Dendrokronologi saat ini masih dalam tahap ilmiah. Ada banyak masalah dalam penggunaan lingkaran pohon, terutama karena pertumbuhan lingkaran pohon dapat dipengaruhi oleh banyak hal, bukan hanya curah hujan, suhu, dan penutupan awan, tapi juga oleh angin, sifat tanah, penyakit, atau bahkan polusi. Ketidakpastian itu dapat diperkecil dengan memperbanyak sampel pohon yang dianalis dalam suatu situs atau wilayah yang sama. Ditargetkan sampel untuk suatu observasi metode tree ring ini adalah 15-20 pohon. Bahkan untuk istilah “mega sampling” dibutuhkan lebih banyak sampel pohon, bukan hanya pohon yang tertua melainkan juga pohon yang dominan dan codominan di wilayah tersebut. Akan tetapi, keterbatasan penyebaran menjadi kendala utama metode ini (Briffa dan Cook 2001).

3. Analisis Karang (Coral Analysis) Karang (coral) tumbuh dengan merekam catatan tentang informasi suhu dan komposisi air di mana mereka tinggal. Informasi tersebut terekam di dalam struktur fisik dan kimianya. Metode ini dapat berjalan dengan mengkom-binasikan perbandingan tingkat per-tumbuhan yang cepat (10-20mm/tahun), dan umur koloni karang yang biasanya lebih dari 200 tahun. Untuk saat ini, karang yang difokuskan untuk penelitian paleo-klimatologi adalah karang besar (berbentuk kubah) yang berasal dari genus Porites (Cobb et al. 2008).

(14)

elemen-elemen lain. Menghasilkan in-formasi tentang suhu permukaan laut masa lalu, curah hujan, limpasan sungai, sirkulasi laut, dan sistim angin tropis. Sejauh ini, hanya beberapa studi yang membentang lebih dari satu abad (Bradley 1999).

4. Analisis serbuk sari (Pollen analysis) Analisis serbuk sari adalah metode untuk mengungkapkan bukti-bukti perubahan ekologi dan iklim masa lalu. Dengan menggabungkan prinsip stratigrafi dengan pengamatan aktual dari vegetasi untuk merekonstruksi vegetasi terestrial masa lalu. Perubahan Regional iklim regional biasanya tidak dapat diturunkan dari metode serbuk sari (Kneller 2009).

Butir serbuk sari yang tercuci atau tertiup angin ke danau dapat terakumulasi dalam sedimen dan memberikan catatan vegetasi masa lalu. Berbagai jenis serbuk sari dalam sedimen danau mencerminkan vegetasi yang ada di sekitar danau dan kondisi iklim yang menguntungkan bagi vegetasi tersebut (NOAA 2011).

5. Cave analysis (Speleothems)

Speleothems adalah deposit mineral yang terbentuk dari air tanah dalam gua bawah tanah. Stalagmit, stalaktit, dan bentuk lainya mengandung senyawa yang dapat merenkonstruksi penanggalan radiometrik. Selain itu ketebalan lapisan pengendapan dan catatan isotop yang terkandung di dalamnya dapat digunakan sebagai proxy iklim (NOAA 2011).

Dasar speleotherm yang diperiksa untuk mendapatkan informasi iklim adalah interval pertumbuhan yang ditentukan oleh uranium dan digunakan untuk mengidentifikasi interval iklim. Analisis oksigen digunakan untuk identifikasi suhu gua, sifat curah hujan, serta lintasan masa udara. Analisis isotop karbon diartikan sebagai perubahan vegetasi di atasnya, juga menunjukan kerapatan vegetasi. Ketebalan lapisan tahunan juga digunakan sebagai indikator jumlah curah hujan dan rata-rata suhu tahunan serta vegetasi (Fleitmann et al. 2011).

Dengan metode-metode paleoklimatologi di atas maka data iklim yang cukup panjang dapat direkonstruksi. Dengan data tersebut dapat dilakukan analisis tentang perubahan iklim global dengan lebih akurat. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa setiap metode memiliki ketidakpastian yang menyebabkan kerancuan informasi.

2.2 Keseimbangan Energi Permukaan Kenaikan suhu global dikaitkan dengan tidak seimbangnya transfer energi radiasi matahari. Radiasi matahari yang masuk sebagai gelombang pendek akan dikembalikan ke angkasa oleh bumi sebagai gelombang panjang. Jumlah radiasi matahari yang masuk ke bumi sama dengan jumlah energi yang dipancarkan bumi. Asumsi tersebut dapat digunakan untuk menghitung perubahan suhu rata-rata bumi yang diisukan terus meningkat pesat akibat radiasi gelombang panjang yang terperangkap oleh gas-gas rumah kaca.

Hubungan antara aliran energi dan iklim dapat diilustrasikan dengan cara sederhana yaitu hukum termodinamika yang menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan maupun dihancurkan, hanya dapat diubah dari satu bentuk kebentuk lainya (Oke 1987). Sistem bumi mengubah energi yang diterima dan memancarkannya kembali, ada juga yang diserap dan merubah bentuknya menjadi energi lainnya.

Menurut Kiehl dan Trenberth (1997), energi yang masuk ke bumi :

* 27.4% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer

* 20.6% diserap gas-gas di atmosfer dan awan

* 52% diserap permukaan bumi

Jumlah energi yang masuk, diubah, dan dipantulkan kembali oleh sistem bumi dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu:

a. Radiasi

Radiasi surya yang datang ke bumi, sebagian diterima oleh permukaan dan sebagian dipantulkan atau ditransmisikan kembali ke atmosfer dalam bentuk radiasi gelombang pendek maupun gelombang panjang. Jumlah radiasi netto yang diterima/diserap oleh permukaan kemudian digunakan sebagai energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke dalam tanah (soil heat flux) (G), energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (sensible heat flux)(H), energi untuk evapotranspirasi (LE), dan sisanya digunakan untuk metabolisme mahluk hidup. Hal inilah yang sering disebut sebagai konsep neraca energi permukaan

b. Jarak matahari dan bumi

(15)

jarak terjauhnya terjadi pada tanggal 5 Juli (aphelion). Perbedaan variasi jarak antara bumi dan matahari menyebabkan terjadinya perbedaan kerapatan fluks matahari (Wm-2) (Handoko 1995).

Pada jarak rata-rata antara matahari dan bumi selama satu tahun, radiasi surya yang datang tegak lurus di permukaan bumi disebut dengan solar constant. Solar constant bernilai 1367 Wm-2 ( NASA 2011). c. Albedo

Albedo adalah perbandingan jumlah radiasi yang dipantulkan dan jumlah radiasi yang diterima permukaan bumi (Avia et al. 2000). Nilai albedo dipengaruhi langsung oleh variasi penutupan lahan di permukaan bumi. Nilai albedo tertinggi berada pada lahan dengan nilai penutupan vegetasi rendah pada musim kering dan vegetasi padat pada musim basah (Subarna et al. 1998).

Vukovich (1987) melakukan penelitian tentang hubungan albedo dan suhu permukaan. Penelitian yang dilakukan di daerah Sahara, Afrika ini menghasilkan bahwa dengan penutupan rendah dan kering nilai albedo dan suhu permukaan akan tinggi dibandingkan daerah yang memiliki vegetasi tinggi dan basah. Semakin tinggi nilai albedo maka semakin besar jumlah radiasi yang dipantulkan. Hal ini akan menyebabkan turunnya suhu. Materi yang memiliki kemampuan tinggi merefleksi radiasi sinar matahari adalah es, sementara yang terendah diantaranya lautan dan hutan lebat.

d. Emisivitas

Emisivitas didefinisikan sebagai rasio daya emisi total sebuah permukaan terhadap daya emisi total dari suatu permukaan yang meradiasi secara ideal pada temperatur sama. Permukaan beradiasi ideal juga dinamakan benda hitam.

Emisivitas suatu benda bernalai antara 0 sampai 1. Benda yang memiliki warna putih sempurna (seperti cermin) memiliki emisivitas sebesar 0, dan benda yang hitam sempurna bernilai emisivitas 1.

Emisivitas bumi akan berhubungan dengan intensitas radiasi gelombang panjang. Semakin besar emisivitas semakin besar pula intensitas radiasi gelombang panjang yang diemisikan bumi ke atmosfer menuju angkasa (Sumaryati 2004).

2.3 Perubahan Iklim Global

Perubahan iklim global adalah perubahan jangka panjang data statistik cuaca global (NOAA 2007).

LAPAN (2009) mendefinisikan perubahan iklim sebagai perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu (regional). IPCC (2007) menyatakan bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka waktu yang panjang (biasanya dekade atau lebih). Selain itu juga diperjelas bahwa perubahan iklim mungkin karena proses alam internal maupun ada kekuatan eksternal. Penyebab eksternal merupakan kegiatan manusia yang terus menerus merubah komposisi atmosfer dan tata guna lahan. Penyebab internal yang merupakan faktor alam disebut juga penyebab natural dan penyebab eksternal adalah penyebab antropogenik.

Berdasarkan model-model IPCC, efek rumah kaca, khususnya pada aspek antropogeniknya, bertanggung jawab atas semua perubahan kllimatik. Sistem ini merupakan komponen yang penting bagi kelangsungan bumi terdiri dari Atmosfer,

Hidrosfer, Litosfer, Cryosfer, Biosfer, dan Noosfer (Leurox 2005).

Penyebab perubahan iklim berdasarkan IPCC:

Penyebab natural :

Fenomena El Niño-Southern Oscillation (ENSO) adalah sebuah contoh variasi internal „alami‟ pada skala cuaca tahunan. Selain itu, penyebab natural lainnya antara lain perbedaan orbital dalam radiasi dan vulkanisme (Leurox 2005).

Gas rumah kaca

Menurut IPCC (2007) penyebab ini adalah penyumbang terbesar dari pemanasan global yang terjadi sejak revolusi industri. Pemanasan global merupakan salah satu indikasi terjadinya perubahan iklim global. Pemanasan global disinyalir terjadi akibat meningkatnya gas-gas rumah kaca (CO2,

CH4, NOx, Halocarbon, O3, dll). 2.4 Gas Rumah Kaca

(16)

ditahan di atas permukaan bumi. Secara alami gas rumah kaca membuat suhu permukaan bumi berada pada titik layak huni bagi mahkluk hidup. Selain itu gas rumah kaca dalam konsentrasi tertentu juga secara alami menjaga kestabilan iklim

Gas rumah kaca juga diartikan sebagai gas yang terdapat di atmosfer yang dapat menyerap dan mengemisikan radiasi bersama dengan inframerah. Proses tersebut yang merupakan penyebab mendasar efek rumah kaca (Prather dan Ehhalt 2001)

IPCC menyimpulkan bahwa kebanyakan peningkatan suhu global rata-rata sejak pertengahan abad ke 20 disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca secara antropogenik.

Berdasarkan Protokol Kyoto, yang diklasifikasikan sebagai Gas Rumah Kaca adalah: metan (CH4), nitrat oksida (N2O),

hidroflorokarbon (HFCs), perflorokarbon (PFCs), sulfurheksaflouride (SF6) , serta

gas-gas yang terdapat pada Protokol Montreal yang telah disempurnakan yaitu: kloroflorokarbon (CFCs), hidrikloro-florokarbon (HCFCs), dan juga halon.

Pada penyempurnaan Protokol Montreal, gas-gas yang dibahas secara fokus adalah perubahan ozon (O3) yang terdapat pada

wilayah troposfer. Uap air (H2O) yang

terdapat pada wilayah stratosfer juga perlu dibahas, tetapi H2O yang terdapat pada

lapisan troposfer yang merupakan bagian dari siklus hidrologi dan diperhitungkan dalam model iklim yang tidak didiskusikan.

Gas lain yang termasuk gas rumah kaca yang reaktif terhadap gas lainnya yaitu karbon monoksida (CO), hidrogen (H2), dan

volatile organic compound (VOC) (IPCC 2001).

Gas rumah kaca yang terdapat di atmosfer berasal dari dua sumber yaitu sumber alami dan sumber antropogenik. Dalam studi beberapa penelitian inti es gas kelas dua yang merupakan gas sintetik diantaranya : HFCs, PFCs, SF6, CFCs, dan halons tidak ada diatmosfer sebelum abad 20, hal ini mengindikasikan bahwa gas tersebut muncul secara antropogenik setelah abad 20 (Butler et al. 1999).

Sedangkan gas CH4, NOx, CO2, O3, dan beberapa gas lainnya sudah ada sacara alami di atmosfer dan konsentrasinya semakin meningkat seiring dengan berkembangnya industri.

Karbon dioksida meningkat di atmosfer melalui pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas alam, dan batu bara), sampah

padat, pohon-pohon, dan produk-produk kayu, dan merupakan hasil dari reaksi kimia lainnya (seperti industri semen). Karbon dioksida juga dapat lepas dari atmosfer (atau mengalami sequestrasi) pada saat diserap oleh tumbuhan sebagai bagian dari siklus karbon biologis.

Metana (CH4). Metana diemisikan

selama produksi dan pengangkutan batubara, gas dan minyak alam. Emisi metana juga merupakan hasil dari peternakan dan kegiatan pertanian lainnya dan oleh pembusukan sampah organik di pembuangan sampah padat skala besar (kota).

Nitrat oksida (N2O). Nitrat oksida

diemisikan selama berlangsung aktivitas pertanian dan industri, serta selama kombusi bahan bakar dan sampah padat.

Flourinated gas, Hidroflorokarbon, perflorokarbon dan sulfur heksaflorida adalah gas-gas rumah kaca yang sangat kuat yang sintetis, diemisikan dari sejumlah proses-proses industri.

Kelompok gas ini digunakan untuk subtitusi ozone-depleting substances (seperti CFCs, HCFCs, dan halons). Gas-gas ini secara tipikal diemisikan dalam kuantitas yang lebih kecil, tetapi karena gas-gas tersebut merupakan gas-gas rumah kaca yang kuat, maka disebut sebagai High Global Warming Potential Gases (LAPAN 2009).

2.5 Karakteristik Iklim Jakarta

(17)

Tabel 1 Data iklim Jakarta (http:// worldweather. wmo.int )

Bulan Suhu rata-rata oC Curah Hujan

Bulanan (mm)

Rata-rata Hari Hujan

(hari) Suhu Minimun Suhu Maximum

Jan 24.2 29.9 384.7 26

Feb 24.3 30.3 309.8 20

Mar 25.2 31.5 100.3 15

Apr 25.1 32.5 257.8 18

May 25.4 32.5 133.4 13

Jun 24.8 31.4 83.1 17

Jul 25.1 32.3 30.8 5

Aug 24.9 32.0 34.2 24

Sep 25.5 33.0 29.0 6

Oct 25.5 32.7 33.1 9

Nov 24.9 31.3 175.0 22

Dec 24.9 32.0 84.0 12

Tabel di atas merupakan tabel rata-rata suhu dan curah hujan bulanan DKI Jakarta yang diunduh dari web resmi WMO (World Meteorological Organisation). Nilai suhu merupakan nilai rata-rata observasi suhu bulanan tahun 1994-1999. Nilai curah hujan dan jumlah hari hujan merupakan nilai rata-rata observasi bulanan tahun 1930-1960.

Jakarta memiliki enam stasiun cuaca yang terletak di ketinggian, lintang dan bujur yang berbeda. Bandara Internasional Soekarno-Hatta memiliki dua stasiun yang masing-masing terletak pada 6.15oLS, 106.7oBT dan 6.11oLS, 106.65oBT dengan ketinggan 8 mdpl. Bandara Halim Perdana Kusuma memiliki satu stasiun klimatologi yang terletak pada 6.25oLS dan 106.9oBT, dengan ketinggian 30 mdpl. Pelabuhan Tanjung Priuk memiliki sebuah stasiun yang terletak pada 6.1oLS dan 106.86oBT dengan ketinggian 2 mdpl. Dua stasiun lainya berada di tengah kota Jakarta yaitu Stasiun Klimatologi Kemayoran (6.15oLU, 106.86oBT) dan Stasiun Klimatologi Jakarta Observatory (6.18oLS, 106.83oBT) dengan ketinggian yang sama pada masing-masing stasiun yaitu 8 mdpl.

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Studi pustaka ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2011

bertempat di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB.

3.2 Bahan dan Alat

Alat yang digunakan pada studi pustaka ini adalah seperangkat komputer dengan perangkat lunak Microsoft Office 2007. Bahan yang digunakan antara lain: data iklim bulanan (suhu dan curah hujan) stasiun Jakarta Observatory tahun 1965-2010, serta buku, jurnal, dan artikel yang menjadi sumber studi pustaka.

3.3 Metode

3.3.1 Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan dengan menentukan tema alur pemikiran bahasan yang akan dikaji, kemudian mengumpulkan literatur baik berupa buku maupun jurnal-jurnal yang berkaitan. Setelah dibuat garis besar tiap literatur kajian dan dirasa cukup untuk dikaji, maka jurnal dan buku yang telah dikumpulkan kemudian diklasifikasi sesuai subtema kajian yaitu :

a.paleoklimatologi,

b.perubahan iklim global, dan

c.analisis kecenderungan data series waktu iklim.

(18)

Paleoklimatologi dibagi menjadi dua bagian yaitu ice core, tree ring, coral, dan pollen analysis. Kemudian kajian iklim global dibagi lagi menjadi perubahan iklim yang diakibatkan penyebab natural, dan perubahan iklim karena peningkatan gas rumah kaca. Selain itu terdapat skenario keseimbangan energi permukaan, dan analisis data series waktu iklim.

3.3.1.1 Kerangka Pemikiran

Perubahan iklim global merupakan perubahan pola perilaku iklim bumi secara keseluruhan di bumi ini. Salah satu indikasi perubahan iklim global adalah perubahan suhu global. Perubahan iklim juga merupakan hasil analisis data iklim yang panjang, semakin panjang data maka informasi perubahan iklim akan semakin banyak dan akurat. Dengan menggunakan beberapa metode paleoklimatologi untuk merekonstruksi iklim masa lalu, maka perubahan iklim dapat dianalisis. Perubahan iklim dapat disebabkan semua kejadian yang secara alamiah terjadi (natural), dan juga akibat campur tangan manusia (antropogenik) yang dikaitkan dengan meningkatnya gas rumah kaca semenjak revolusi industri.

Mekanisme terjadinya perubahan iklim global tidak lebih banyak dibahas dibandingkan dengan dampaknya. Untuk mengetahui bagaimana suatu keadaan disebut dengan perubahan iklim maka sangat penting untuk membahas mekanismenya. Beberapa parameter juga dikemukakan untuk mengukur perubahan iklim yang terjadi sampai saat ini antara lain radiative forcing dan global warming potential. Paramater iklim yang paling peka terhadap perubahan iklim adalah suhu. Oleh karena itu perubahan iklim lebih diindikasikan oleh perubahan suhu global. Beberapa penelitian juga menyebutkan tentang kaitain erat perubahan suhu global dan perubahan iklim global.

Keseimbangan energi permukaan dapat menjadi model untuk menentukan suhu global yang akan terjadi jika beberapa parameter di dalamnya berubah. Hal ini juga dilakukan beberapa ilmuan lain untuk membuat skenario suhu global dengan berbagai asumsi. Selain itu analisis data series waktu merupakan analisis yang dilakukan untuk melengkapi kajian pustakanya.

3.3.2 Skenario Keseimbangan Energi Permukaan

Dengan menggunakan model sederhana tentang keseimbangan energi seperti di bawah ini:

E in = E out S(1-α) R2 = 4 R2 T4 S(1-α) = 4 T4………….(1)

S = Fluks radiasi matahari di puncak atmosfer (Wm-2) α = Albedo

= Emisivitas

= Suhu permukaan (K)

= Tetapan Stevan-Boltzman (5.7 x 10-8 Wm-2 K-4)

Model ini digunakan untuk menguji skenario dari beberapa literatur yang diperoleh, dan membuat skenario sederhana merubah nilai parameter-parameter di atas.

Skenario Normal

Merupakan keadaan dimana bumi diasumsikan dengan nilai solar constant normal (1367 Wm-2), albedo rata-rata normal (0.3), dan nilai emisivitas dianggap 1. Skenario ini akan menghasilkan suhu normal bumi tanpa atmosfer sebagai pembanding skenario lainnya (Oke 1978).

Skenario 1

Perubahan suhu bumi dengan asumsi nilai solar constant naik 1 % , dan parameter lainnya dianggap konstan (Leurox 2005).

Skenario 2

Perubahan suhu bumi dengan asumsi albedo bumi turun 0.9% , dan parameter lainya dianggap konstan. Perubahan suhu yang dihasilkan dari Skenario 2 mewakili perubahan albedo yang mengalami perubahan sebesar 0,0027 sejak tahun 2000-2004 (NASA 2011).

Skenario 3

Perubahan suhu bumi dengan asumsi albedo bumi naik sebesar 6% , dan parameter lainya dianggap konstan. Perubahan suhu yang dihasilkan dari Skenario 3 mewakili pernyataan Leurox (2005) mengenai perubahan albedo yang dialami pasca meletusnya Gunung Agung di Bali (1963).

Skenario 4

(19)

Skenario 5

Perubahan suhu bumi dengan asumsi nilai emisivitas berubah akibat pengurangan lahan seluruh lahan vegetasi menjadi lahan non vegetasi. Dengan asumsi awal luas lautan 70 %, lahan vegetasi 10%, dan lahan non vegetasi 20%. Kemudian dihitung perubahan suhu ketika lahan vegetasi berubah seluruhnya menjadi lahan non vegetasi dengan persentase lautan 70 % dan lahan non vegetasi 30% . Masing- masing nilai albedo penutupan lahan berbeda, untuk lautan sebesar 0.98, untuk lahan vegetasi sebesar 0.95, dan lahan non vegetasi sebesar 0.92 (Weng 2001).

Nilai-nilai dasar parameter tersebut diperoleh dari web resmi NASA. Sedangkan perubahan terhadap beberapa parameter diperoleh dari beberapa literatur yang berbeda.

3.3.3 Analisis kecenderungan data series waktu iklim Jakarta Observatory 1965-2010.

Sebelum melakukan analisis kecenderungan terlebih dahulu dilakukan pengumpulan data iklim (suhu dan curah hujan) bulanan selama 55 tahun.

Sebanyak 80% data historis suhu didapatkan dari data observasi BMKG yang terangkum sebagai data series waktu suhu bulanan, untuk melengkapi keterbatasan data suhu maka sebagian lagi didapat dari web www.tutiempo.net yang merupakan data satelit yang berasal dari Spanyol.

Data presipitasi juga mengalami kendala yang sama yaitu keterbatasan data untuk

data dari tahun 1965-1985 diperoleh dari kumpulan data statistik iklim ASEAN, kemudian data sisa dari tahun 1976-2010 diperoleh dari data BMKG yang didapat di perpustakaan Departemen Geofisika dan Meteorologi dan web yang sama untuk melengkapi data tersebut.

Analisis ini membagi data iklim menjadi empat periode. Periode data iklim dalam analisis ini terdiri dari tiga periode dasawarsa yaitu:

a.Periode I (1965-1974), b.Periode II (1975-1984), c.Periode III(1985-1994), dan d.Periode IV(1995-2010) dengan

panjang data adalah 15 tahun. Selain itu dalam satu tahun data dibagi dua musim yaitu:

a.DJF (Musim Hujan): Desember, Januari, Februari.

b.JJA (Musim Kemarau): Juni, Juli, Agustus.

Analisis data ini menguji kecenderungan naik atau turun dari kedua parameter dengan empat periode dan dua musim yang telah disebutkan di atas.

Tabel 2 Informasi stasiun observasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Metode Paleoklimatologi untuk

Rekonstruksi Iklim

Paleoklimatologi adalah studi tentang iklim sebelum periode instrumentasi. Data dari instrumen meteorologi terbatas pada masa observasi, hal ini menyebabkan terbatasnya informasi iklim. Informasi paleoklimatologi sangat penting untuk memberikan dasar bagi pengujian hipotesis penyebab terjadinya perubahan iklim. Berbagai macam cara untuk mendapatkan informasi iklim masa lampau, diantaranya adalah metode lingkar pohon atau tree ring, metode inti es (ice core), analisis sedimen, analisis karang, dan masih banyak metode lainya untuk merekonstruksi iklim di masa

lampau. Kajian ini mengkaji tentang empat metode paleoklimatologi yaitu metode inti es (ice core), metode dendrokronologi (tree ring), metode analisis karang (coral), dan analisis serbuk sari (pollen)

Metode ice core biasa diobservasi di daerah dengan penutupan es yang tebal. Sedangkan untuk metode dendrokronologi menggunakan pohon yang berumur cukup tua untuk mengetahui kejadian cuaca yang terekam pada lingkar pohonnya. Metode analisis karang menggunakan terumbu karang yang dijadikan tempat tinggal bagi ganggang sehingga dapat terekam berbagai unsur kimia untuk merekonstruksi iklim masa lalu. Analisis serbuk sari menggunakan endapan serbuk sari yang terdapat pada lapisan sedimen danau, sungai, laut dan daratan. Informasi yang didapat Nama

Stasiun

Ketinggian Bujur Lintang Deret Waktu Jakarta

Obs

(20)

dari keempat metode ini juga dapat dihubungkan dengan fenomena yang terjadi pada masa itu.

4.1.1 Metode Inti Es (Ice Core)

Gletser merupakan perekam terbaik yang paling cepat merespon perubahan iklim natural maupun antropogenik. Analisis ice core merupakan analisis bagian dari gletser yang dibor dan memberikan 3 jenis informasi dari masa lalu maupun perubahan iklim saat ini:

- Informasi temperatur dan presipitasi sebagai data iklim yang terekam dalam tiap lapisan es.

- Informasi percepatan hilangnya gletser itu sendiri.

- Informasi flora dan fauna kuno yang pernah hidup di tepian gletser (Thompson 2010).

Salju yang jatuh menggambarkan informasi yang unik, bukan hanya presipitasi dan temperatur, tapi juga komposisi atmosfer (partikulat larut atau tidak larut), letusan gunung berapi, bahkan variasi pergerakan matahari di masa lalu (Bradley 1999).

Informasi suhu pada saat musim panas didapatkan dari lapisan es gelap yang

meleleh, sedangkan suhu pada musim dingin dengan salju turun setiap harinya didapatkan dari kuantitas isotop oksigen yang terkandung dalam es tersebut. Informasi kelembaban didapatkan dari kandungan isotop hirdrogen atau deuterium (Tabel 3). Semua analisis yang dilakukan pada lapisan es tertentu menghasilkan output parameter yang saling berhubungan seperti yang terlihat pada Tabel 3.

Informasi suhu dari inti es dapat diketahui dari isotop oksigen, hidrogen, dan konstituen air serta karbon dioksida yang terkandung dalam lapisan es tersebut. Aktivitas vulkanik dapat dideteksi dengan menganalisis konduktivitas serta kandungan sulfat yang tidak mengandung air laut.

Kekeruhan atmosfer dapat diketahui dengan menganalisis ECM (Elektrical Conductivity Measure) , kandungan mikropertikel, dan jejak elemen. Ukuran partikel yang terkandung dalan inti es manggambarkan kecepatan angin pada masa itu. Selain itu aktivitas tatasurya di indikasikan dengan kandungan isotop berelelium yang merupakan isotop radioaktif.

Tabel 3 Sumber informasi utama paleoklimatik dari inti es (Bradley 1999)

Parameter Analisis

Suhu Musim panas Hari turun salju Kelembaban

Akumulasi masalalu (net) Aktivitas vulkanic Turbiditas troposfer Kecepatan angin

Komposisi atmosfer: jangka panjang akibat ulah manusia

Sirkulasi atmosfer Aktivitas tatasurya

Melt layers D, δ18

O

Deuterium excess (d) Seasonal signals, 10Be Conductivity, nss. SO4

ECM, microparticle content, trace elements Particle size,

Concentration

CO2, CH4, N2O content,

Glaciochemistry (major ions),

10

(21)

Gambar 1 Observasi tutupan es Dasuopu, Himalaya (Thompson 2010).

Observasi pada gambar di atas dilakukan pada tahun 1997. Kedalaman es yang berhasil dibor adalah 168m dari permukaan. Kemudian es tersebut mulai dianalisis unsur fisik dan kimianya. Observasi ice core ini juga memiliki kelemahan. Rumitnya analisis kimia dan fisik es serta berkurangnya tutupan es akhir-akhir ini menyebabkan

objek observasi semakin berkurang. Data yang didapatkan dari observasi ini terbatas hanya bagian bumi yang memiliki lapisan es yang cukup tebal untuk diobservasi. Berikut berbeberapa lokasi observasi inti es di dunia bersumber dari buku Paleoclimatologi Second Edition.

Tabel 4 Lokasi observasi inti es di dunia ( Bradley 1999)

Pengeboran Lokasi Kedalaman max (m)

Camp Century GISP2 (Summit) GRIP

Dye-3 Renland Agassiz Devon Barnes Penny Byrd

J9 (Ross ice shelf) Dome C

Vostok Law Dome Taylor Dome Dome Fuji Dunde Guliya Huascaran Sajama Dasuopu

N.W. Greenland C. Greenland C. Greenland S. Greenland E. Greenland N. EUesmere Island Devon Island Baffin Island Baffin Island West Antarctica West Antarctica East Antarctica East Antarctica East Antarctica East Antarctica East Antarctica Western China Western China Peru

Bolivia Western China

1387 3053

3029 2037 324 338 299 334 2164

(22)

Informasi iklim yang terekam dalam setiap batang es yang dibor memiliki indikator dan parameter analisis yang sama. Es yang sudah dibor akan dimasukan dalam brangkas es untuk selanjutnya terus dilakukan analisis kimia yang berkelanjutan tentang parameter-parameter iklim.

Kedalaman paling dalam yang pernah diobservasi berada di Vostok antartika timur. Inti es ini merekam informasi iklim selama 420.000 tahun yang kemudian dijadikan objek dan rujukan untuk penelitian perubahan iklim dunia (NOAA 2007). 4.1.2 Metode Tree Ring

Dendrokronologi adalah studi tentang perubahan iklim sebagaimana dicatat oleh cincin pertumbuhan pohon. Setiap tahun, pohon menambahkan lapisan pertumbuhan antara kayu tua dan kulit. Lapisan ini, atau cincin tidak hanya merekam kadar air tanah, melainkan juga merekam kejadian selama pertumbuhan. Lapisan yang lebih lebar merupakan rekaman musim hujan. Sedangkan lapisan yang lebih sempit merekam musim kering.

Informasi iklim pada cincin pohon sangat bervariasi bukan hanya suhu dan kelambaban tapi juga keadaan radiasi pada masa itu. Dalam kondisi tertentu pohon dapat tumbuh hingga ribuan tahun misalnya pinus bristlecone.

Metode ini juga memiliki kelemahan. Pohon yang tumbuh di iklim sedang hanya

akan mencatat bagaimana musim panas dan musim tanam, sehingga musim dingin seekstrim apapun kurang tergambarkan dengan baik. Pohon di daerah tropis yang tumbuh setiap tahunnya tidak dapat menunjukkan dengan jelas cincin pertumbuhannya. Selain itu, tidak semua tempat di bumi ini ditumbuhi pohon (misalnya daerah kutub), sehingga penelitian tentang lingkar pohon ini sangat terbatas pada ruang dan waktu tertentu. Pohon tertua yang sudah diobservasi berumur 9000 tahun dari jenis pinus bristlecone (Gou et al. 2006).

Bagian batang dari pohon berkambium yang biasanya banyak terdapat di daerah tropis menggambarkan banyak informasi iklim dari cincin pertumbuhannya. Cincin pohon (Gambar 2) merupakan bagian lapisan sel tebal (latewood) yang dipisahkan oleh lapisan sel tipis (earlywood).

Ketebalan lapisan antara earlywood dan latewood merupakan sumber informasi yang sangat berharga. Densitas lapisan tersebut dikaitkan dengan suhu dan kemudian dikaitkan dengan musim. Kerapatan yang tinggi sangat erat kaitannya dengan bulan April sampai Agustus di daerah hutan boreal Alaska sampai Labrador. Musim dingin menyebabkan terjadinya nilai densitas lebih minimum (D'Arrigo et al. 2009).

Gambar 2 Bagian melintang batang pohon berkambium (Bradley 1999). Kulit kayu

Kambium

Lapisan cincin palsu

Lapisan cincin tahunan

Latewood

Earlywood

Bintik Pembuluh

(23)

Gambar 3 Hasil pengukuran densitas dengan sinar-x (Schweingruber et al. 1993).

Kerapatan lapisan lingkar pohon juga dapat diukur dengan sinar x (Gambar 3) untuk mendapatkan hasil yang akurat. Penanggalan dengan metode ini juga sangat penting. Metode ini dilakukan untuk mengetahui secara tepat usia cincin yang terdapat pada pohon tersebut menggunakan pohon pembanding yang seumur (Bradley 1999).

4.1.3 Analisis Karang (Coral)

Istilah karang (coral) umumnya digunakan untuk terumbu karang yang berasal dari ordo Scleractinia. Karang dari ordo tersebut memiliki kerangka kapur yang sejati (keras). Satu individu karang disebut polip yang memiliki ukuran yang bervariasi, mulai dari 1mm-5000mm (Cobb et al. 2008).

Untuk studi iklim masa lalu karang yang penting untuk diobservasi merupakan bangunan terumbu karang yang besar dan hidup saling ketergantungan (simbiotik) dengan alga uniseluler (zooxanthellae). Karang yang melakukan hubungan simbiotik dengan zooxanhellae disebut karang hermatypic.

Gagang menghasilkan karbohidrat dengan proses fotosintesis. Proses tersebut

membutuhkan sinar matahari. Dengan demikian karang hermatypic tumbuh paling dalam hanya 20m dari permukaan laut, dengan tingkat kekeruhan air yang kecil. Sebagian besar carbon organik diserap gangang untuk fotosintesis, dan menyediakan makanan bagi karang untuk terus tumbuh. Sementara itu karang memberikan perlindungan terhadap alga.

Pertumbuhan karang sangat dipengaruhi oleh suhu (maximum pada 20oC). karena itulah karang tumbuh disekitar lintang 30o utara dan 30o selatan. Ketika suhu turun ke 18oC, tingkat klasifikasi pertumbuhan karang berkurang dan akan mati pada suhu yang lebih rendah (Bradley 1999).

Sampel untuk analisis biasanya dibor di bagian yang menggambarkan pertumbuhan karang. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal dilakukan pengambilan sampel yang rutin (6-10 kali per tahun). Penelitian karang berfokus pada catatan lingkungan pada masa pertumbuhannya. Selain itu dicatat pula kandungan beberapa unsur kimia yang menggambarkan beberapa parameter seperti yang tertera pada tabel di bawah ini.

Stru

k

tu

r

k

ay

u

Ker

ap

atan

(

g

/cm

)

1

.0

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0

Karapatan maksimum

Lebar cincin

Lebar earlywood

Lebar latewood

(24)

Tabel 5 Waktu, tempa t dan parameter observasi karang (Bradley 1999)

Wilayah Lintang Bujur Panjang

Rekaman Parameter Indikator dari:

Bermuda 32o LU 65oBB 1180-1986 Lapisan pertumbuhan

SST (Sea Surface Temperature) dan

upwelling

Pulau Cebu,

Philippina 10

o

LU 124oBT 1860-1980

18

O

13

C SST , curah hujan, perawanan

Teluk Chiriqui, Panama

8oLU 82oBB 1707-1984

18

O

Curah hujan

Karang Tarawa, Karibati

1oLU 172oBT 1893-1989

18

O

Curah Hujan

Pulau Isabella, Kepulauan Galapagos

0.4oLS 91oBB 1587-1953

18

O

SST

Espiritu Santo,

Vanuatu 15

o

LS 167oBT 1806-1979

18

O

13

C

SST , curah hujan, perawanan

Great Barrier, Terumbu karang

Australia

22oLS 153oBT 1635-1957 Δ14 C Upwelling

New Caledonia 22oLS 166oBT 1655-1990

18

O

SST

Tingkat pertumbuhan karang bergantung pada suhu permukaan laut dan nutrisi yang terkandung pada air laut. Nutrisi tersebut banyak didapatkan dari proses fotosintesis yang dipengaruhi oleh radiasi dan keawanan. Waktu rekonstruksi karang yang terpanjang adalah 800 tahun yang berhasil diobservasi di Bermuda. Pada observasi tersebut diketahui bahwa tingkat pertumbuhan koral berbanding terbalik dengan SST, sebagai contoh air upwelling yang dingin membawa banyak nutrisi dan menyebabkan meningkatnya pertumbuhan karang.

Kondisi terdingin yang dialami dari 1470-1710 dan sejak 1760 sampai akhir abad kesembilan belas, diikuti oleh pemanasan di abad kedua puluh. Hal ini mirip dengan perkiraan musim panas belahan bumi utara (Bradley 1999).

Isotop oksigen diketahui menujukan korelasi terhadap suhu ketika mengalami pengendapan karbonat secara biologis. Berkurangnya konsentrasi 18O sebesar 0,22% menyebabkan kenaikan suhu sebesar 1oC (Gribin 1978). Dengan meningkatnya suhu permukaan laut maka penguapan semakin meningkat. Sehingga jumlah curah hujan juga akan mengalami peningkatan.

13

C (isotop karbon) mengindikasikan perawanan pada masanya. Nilai 13C tersebut dipengaruhi oleh fotosintesis gangang yang terdapat pada karang. Semakin tinggi konsentasi 13C pada karang maka semakin tinggi tingkat fotosintesis. Konsentrasi 13C berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini menunjukan bahwa 13C peka terhadap cahaya, dan dapat mengindikasikan perawanan pada masa itu (Gribbin 1978). Selain itu parameter lainya yang dianalisis adalah Δ14C yang saat ini diindikasikan kepada siklus samudra yaitu upwelling.

Analisis yang rumit dan keterbatasan objek hanya pada lintang tertentu menyebabkan metode ini lebih jarang dilakukan dibandingkan metode ice core dan tree ring. Berkurangnya jumlah terumbu karang menjadi kendala utama dalam penelitian ini.

4.1.4 Analisis Serbuk Sari (Pollen)

(25)

arah dan kecepatan angin, berat dan bentuk serbuk sari, serta ketinggian dan kekuatan sumber serbuk sari dan spora.

Analisis serbuk sari (pollen analysis) merupakan metode yang paling penting dalam rekonstruksi flora, vegetasi, dan lingkungan masa lampau, karena serbuk sari yang sangat awet atau tahan terhadap kerusakan. Selain itu serbuk sari dihasilkan dalam jumlah yang sangat banyak dan tersebar secara lebih luas dan merata dibandingkan dengan makrofosil. Kelebihan lainya adalah serbuk sari dapat diperoleh dari sedimen dalam jumlah yang sangat banyak sehingga memungkinkan untuk diuji secara kuantitatif / statistik.

Analisis serbuk sari dapat digunakan untuk melacak sejarah kelompok dan jenis (spesies) tumbuhan serta habitatnya. Analisis serbuk sari juga dapat menentukan umur relatif batuan atau sedimen. Inti dari analisis serbuk sari untuk paleoklimatologi adalah untuk memperlajari sejarah iklim, dan pengaruh manusia terhadap lingkungan (Kneller 2009).

Serbuk sari dan spora adalah dasar dari sebuah aspek penting dari rekonstruksi iklim bumi. Sebuah studi khusus untuk mempelajari serbuksari dan spora biasa disebut dengan palinologi. Serbuk sari yang tersebar di danau, laut dan mengendap dalam sedimen memberikan catatan perubahan vegetasi masa lalu yang mungkin terjadi karena perubahan iklim. Metode ini merupakan metode pelengkap paling penting untuk melengkapi hasil dari metode lainya (Bradley 1999).

Tahap yang dilakukan pada metode ini adalah mengklasifikasi morfologi, deskripsi morfologi serbuk sari, serta menentukan taksonomi. Sehingga dapat diketahui habitat serta iklim yang medukung per-tumbuhannya. Serta dapat diketahui jenis tumbuhan yang tumbuh pada masa itu. Kemudian bagaimana tumbuhan tersebut bertahan hidup (NOAA 2011).

Perbedaan dalam produktivitas dan tingkat penyebaran serbuk sari menimbulkan masalah yang signifikan untuk rekonstruksi komposisi vegetasi karena kelimpahan relatif serbuk sari tidak dapat langsung diinterpretasikan dalam hal kelimpahan spesies di daerah tersebut. Maka sangat penting untuk mengetahui hubungan antara frekuensi tanaman di daerah itu dan jumlah hujan serbuk sari yang terjadi. Sebagai contoh, komunitas vegetasi terdiri dari 10% pinus, maple 35%, dan beech 65%

dapat diwakili dengan jumlah serbuk sari yang kurang lebih sama persentasenya (Bradley 1999).

Penentuan iklim dengan analisis serbuksari juga dapat dilakukan secara kuantitatif. Dengan menggunakan persamaan sederhana ini:

Cm = Tm. Pm………(2)

Cm merupakan iklim modern, Pm hujan serbuk sari modern, dan Tm merupakan keofisien fungsional (fungsi transfer) yang diperoleh dari hubungan antara serbuk sari dan iklim (Bradley 1999). Persamaan sederhana tersebut berkembang dengan melalui penelitian lebih lanjut dan ditransformasi menjadi:

July Tmean (°C) = 17.76 +1.73(Quercus)0.25 + 0.09(Juniperus)+ 0.51(Tsuga)-0.41(Pinus)0.25 -0.12(Acer)-0.04 (Fagus)………..(3)

Persamaan 3 menggunakan pensentase serbuk sari dan baru dilakukan penelitian di Amerika Serikat dan New England oleh Bartlein dan Webbs pada tahun 1985. Sementara keofisien dari tiap jenis tumbuhan didapatkan dari korelasi antara suhu bulan Juli disuatu wilayah tertentu (varibel lingkungan) , dan nilai persentase penyebaran serbuk sari suatu spesies tertentu di daerah tersebut. Persamaan diatas memiliki R2 sebesar 0.77. Variabel yang mempengaruhi suhu rata-ratabualn Juli adalah persentase subgenus Quercus (pohon Oak), Juniperus, Tsuga (cemara), Pinus, Acer (maple), Fagus. Hasil dari penelitian terbut adalah suhu di bulan Juli di wilayah Amerika Utara hingga Kanada lebih hangat 1-2oC dibandingkan suhu saat ini. Penelitian yang dilakukan di wilayah Eropa Tengah sampai Eropa Selatan menghasilkan suhu bulan Juli yang lebih hangat 4oC dibandingkan suhu saat ini (Bradley 1999).

(26)

4.2 Perubahan Suhu Global Sebagai Indikasi Perubahan Iklim Global Akibat Kejadian Alam (Natural) Perubahan iklim merupakan perubahan pada komponen iklim yaitu suhu, curah hujan, kelembaban, evaporasi, arah dan kecepatan angin, dan perawanan (BMKG 2011). Perubahan iklim global adalah perubahan pola iklim pada skala global dan dalam kurun waktu yang panjang (NOAA 2007). Sedangkan perubahan iklim (lokal/regional) adalah perubahan pada pola dan intensitas unsur iklim (biasanya terhadap rata-rata 30 tahun) di suatu daerah tertentu.

Perubahan iklim lokal/regional merupakan bagian dari perubahan iklim global. Apabila terjadi perubahan intensitas unsur iklim selama 30 tahun pada suatu wilayah tertentu belum cukup untuk dipublikasikan sebagai perubahan iklim global. Kenaikan rata-rata suhu global selama dua abad terakhir dinyatakan sebagai indikasi perubahan iklim global. Suhu akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Penyataan tersebut didukung dengan data perubahan suhu selama dua abad terakhir . Akan tetapi data tersebut belum cukup untuk membuktikan bahwa telah terjadi perubahan iklim dengan suhu yang akan terus meningkat akibat aktivitas manusia. Faktor natural justu mempengaruhi setiap perubahan iklim di bumi.

Perubahan iklim global dianalisis dengan rekaman data iklim global yang sangat

panjang, bahkan sebelum parameter iklim dapat diobservasi menggunakan instrument iklim seperti saat ini. Sebagai contoh, Gambar 4 merupakan rekaman data iklim sejak 420.000 tahun terakhir. Data ini berhasil direkonstruksi dengan menggunakan metode ice core yang diobservasi di Vostok, Antartika.

Rekaman data perubahan suhu yang terlihat (Gambar 4) merupakan variabilitas iklim. Gambar tersebut menunjukan fluktuasi perubahan suhu yang berulang dalam jangka waktu tertentu (ribuan abad). Kenaikan suhu yang terjadi dalam beberapa abad diikuti dengan penurunan suhu pada abad-abad selanjutnya dengan pola yang hampir sama.

Terdapat empat peningkatan suhu yang cukup signifikan dan kemudian mencapai titik puncak yang diikuti dengan penurunan suhu. Hal ini menunjukan dalam jangka waktu yang sangat panjang suhu tidak hanya terus mengalami peningkatan akan tetapi juga mengalami penurunan. Oleh karena itu perubahan iklim yang terjadi dalam jangka waktu yang sangat panjang dalam skala global, tidak dapat disimpulkan hanya diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca sejak revolusi industri. Sedangkan revolusi industri baru terjadi sekitar tiga abad terakhir.

Kecenderungan suhu selama abad tersebut juga tidak semuanya mengalami peningkatan seiring meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca. Terdapat periode dimana suhu cenderung turun yang juga diakibatkan oleh penyebab natural.

Gambar 4 Grafik perubahan suhu sebagai variabilitas iklim 420.000 tahun terakhir daerah Inti Es Antartika (NOAA 2007).

Tahun

Per

u

b

ah

an

-12 4

2

0

-2

-4

-6 -8

-10

(27)

Ocean Circulation

Samudra merupakan bagian terluas dari permukaan bumi. Samudra menyumbangkan sebagian besar H2O yang terdapat di

atmosfer. Beberapa fenomena sirkulasi samudra seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan sebuah contoh variasi internal atau alami pada skala cuaca tahunan (Leurox 2005). Gray (2009) menyatakan, MOC (Meredional Overtuning Circulation) merupakan penyebab primer perubahan iklim. MOC merupakan hasil dari penyatuan THC (Thermohalin Circulation) dan SAS (Surrounding Antartica Subsidence). Gray lebih menitik beratkan konsentrasi H2O dibandingkan CO2 sebagai

penyebab utama kenaikan suhu global. Karena pada kenyataannya, CO2 hanya

meningkatkan 0.1-0.20C dari 0.740C kenaikan suhu bumi saat ini.

Perbedaan orbital dalam radiasi Parameter orbital mempengaruhi radiasi berubah secara konstan dengan perbedaan pada jarak Bumi-Matahari dan inklinasi pada ekliptik dan orientasi pada poros polar angkasa, yang menentukan radiasi yang diterima bumi. Pergerakan dan perubahan orbit bumi menyebabkan perbedaan radiasi yang diterima bumi (Leurox 2005).

Hal ini dijelaskan dalam Teori Milankovich. Dalam teorinya, beliau memaparkan mengenai tiga hal yang dialami oleh bumi sehingga menghasilkan perubahan iklim akibat perbedaan intensitas radiasi matahari di permukaan bumi. Pertama, Eksentrisitas yaitu perubahan bentuk dari orbit imajiner bumi yang mengelilingi matahari. Bentuk orbit tidak bulat, tetapi memiliki nilai eksentrisitas, sehinggal bentuknya menjadi sedikit elips dan tidak bulat sempurna. Nilai eksentrisitas suatu orbit berada diantara 0 (bulat sempurna) hingga 1 (parabola yang tidak memiliki ujung). Saat ini nilai eksentrisitas bumi adalah 0.0167, sementara ribuan tahun yang lalu nilainya 0.0034 hingga 0.058. Nilai eksentrisitas itu akan terus berubah membentuk suatu siklus yang bervariasi dalam 413,000 tahun (Berger et al. 2006). Akibat dari bentuk orbit bumi yang seperti itu, muncul istilah perihelion dan aphelion. Ketika matahari berada dalam titik atau jarak terdekat dengan bumi disebut perihelion, dimana bumi menerima radiasi paling tinggi dari matahari sehingga suhu menjadi lebih panas. Titik terjauhnya disebut aphelion, dimana bumi menerima radiasi matahari

terendah sehingga mengalami penurunan suhu.

Kedua adalah Obliquity, kemiringan bumi ketika berotasi. Kemiringan itu bervariasi dalam kurun waktu 40,000 tahun, dan bergerser antara 22,1o hingga 24,5o. Jika kemiringan bumi bertambah maka musim panas akan lebih panas dan musim dingin akan lebih dingin. Sebaliknya, jika terjadi pengurangan kemiringan berarti musim panas akan menjadi lebih dingin dan musim dingin akan menjadi lebih panas. Saat ini kemiringan bumi berkurang, sehingga suhu bumi menjadi semakin panas. Kemiringan bumi saat ini adalah 23,5o, dan saat ini sedang setengah jalan bergerak menuju nilai minimumnya, yaitu 22.1 o (A k c a m 2004). William (2003) menyatakan kemiringan bumi sebesar 23.5 o suhu rata-rata bumi adalah 15oC.

Ketiga adalah Presisi, yaitu perubahan arah rotasi karena bergesernya sumbu bumi. Siklus ini bervariasi selama 19,000-23,000 tahun. Matahari dan bulan sangat berpengaruh terhadap perubahan ini. Dampak perubahan arah rotasi bumi ini bisa mengubah waktu perihelion yang jatuh pada bulan Januari dan aphelion yang jatuh bulan Juli. Hal ini akan meningkatkan kontras musim pada salah satu belahan bumi, sedangkan pada bagian lainnya mangalami penurunan. Sebagai contoh saat posisi bumi sangat dekat dengan matahari musim dingin akan lebih panas dan sebaliknya. Dampak lain yang juga terjadi adalah perubahan utara dan selatan bumi sehingga suhu Kutub Utara meningkat (Breger 2006).

Perbedaan aktivitas tata surya Tata surya mengalami aktivitas yang terjadi sebagai siklus. Misalnya siklus titik matahari (sunspot) maksimun dan minimum (11 tahun sekali) akan menyebabkan berubahnya solar constant yang sampai ke permukaan atmosfer bumi. Kemunculan sunspot tidak hanya berguna dalam menentukan periode rotasi matahari, tapi juga untuk menentukan tingkat aktivitas matahari. Jika jumlah sunspot di permukaan matahari banyak, berarti aktivitas matahari tinggi, dan begitu juga sebaliknya (LAPAN 2010). Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan iklim bumi dari nilai solar constant yang dipancarkan matahari.

(28)

menurunnya nilai solar constant . Namun, margin sekitar bintik matahari lebih terang dan lebih panas dari rata-rata, secara keseluruhan bintik matahari meningkatkan nilai solar constant. Bintik matahari minimum yang telah diamati terjadi sekitar tahun 1645-1715. Hal ini bertepatan dengan periode pendinginan yang dikenal sebagai Little Ice Age (Lean dan Rind 1994).

Vulkanisme

Gunung berapi, baik yang masih aktif maupun yang tidak, adalah sumber gas yang berkelanjutan. Gunung api juga melemparkan hal berikut ke atmosfer:

Uap air

Komponen sulfur (kebanyakan sulfur dioksida, SO2)

Karbon dioksida , 35-65% dari CO2

diperlukan untuk menyeimbangkan kekurangan dari sistem lautan-atmosfir, dan

Klorin (36 juta ton dalam setahun tanpa erupsi utama).

Gunung Erebus, di Antartika, dalam erupsi yang berkelanjutan sejak 1972 telah memancarkan lebih dari 1000 ton klorin per hari (370,000 dalam setahun). Hal ini menjadi kontributor utama dalam mereduksi ozon di atas Kutub Selatan (Leurox 2005).

Selain Klorin komponen di atas dapat terakumulasi di atmosfer dan menjadi payung tebal yang menyebabkan panas bumi terperangkap dibawahnya. Selain itu radisi matahari akan terhalang oleh payung tersebut sehingga permukaan bumi yang ditutupi oleh komponen vulkanik tersebut akan menerima radiasi matahari yang lebih rendah.

Pengaruh dari radiasi tata surya telah diukur sejak erupsi dari Krakatau (Sumatra, Indonesia) pada 1883. Aerosol dari erupsi ini mengurangi radiasi tata surya secara langsung 20-30% dalam beberapa bulan. Ledakan Gunung Agung (Bali, Indonesia) pada 1963, yang kemudian disebut „erupsi

abad ini’ karena kuantitas abunya yang mencapai stratosfer, membawa 24% reduksi pada radiasi langsung. Akan tetapi pengaruh persebaran pengganti membawanya turun sebesar hanya 6% dari total radiasi; butuh 13 tahun untuk debu vulkanik terdispersi (Leurox 2005).

4.3 Skenario Budget Energi untuk Menduga Perubahan Rata-rata Suhu Global.

Cuaca di bumi sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari. Radiasi matahari yang mencapai bumi mencapai 342 Wm-2. Sekitar 30% dari radiasi tersebut direfeleksikan kembali ke angkasa luar karena adanya awan dan permukaan bumi. Permukaan bumi akan menyerap radiasi matahari sebesar 168 Wm

-2

, sedangkan atmosfer menyerap 67 Wm-2 (Kiehl dan Trenberth 1997).

Radiasi matahari yang diserap permukaan bumi akan dipancarkan kembali oleh bumi sebagai radiasi gelombang panjang. Sebesar 390 Wm-2 yang dipancarkan permukaan bumi tidak semuanya dipancarkan secara langsung. Gas rumah kaca menyebabkan 324 Wm-2 energi yang dipancarkan kembali dipantulkan ke permukaan bumi (Kiehl dan Trenberth 1997).

Gambar 5 Mekanisme keseimbangan energi permukaan (Kiehl dan Trenberth 1997).

(29)

Atmosfer mempunyai beberapa lapisan gas, termasuk gas rumah kaca dan awan yang akan mengemisikan kembali sebagian radiasi inframerah yang diterima ke permukaan bumi. Dengan adanya lapisan ini maka panas yang ada di permukaan bumi akan bertahan. Untuk jangka panjang akan terjadi keseimbangan antara radiasi yang masuk dan yang keluar sehingga suhu di bumi mencapai nilai tertentu (Sugiyono 2009).

Tanpa atmosfer dan gas rumah kaca yang terdapat di dalamnya maka bumi secara teoritis akan memiliki suhu permukaan sebesar -180C (Oke 1978). Hal ini dapat dihitung menggunakan model sederhana budget energi permukaan (persamaan 1) yaitu:

S(1-

α) =

4

T4

1367Wm-2(1-0.3) = 4.1.5,7x10-8 Wm-2.T4 T ≈255K

T≈ -18oC

Suhu yang dihasilkan sebesar -18oC untuk keadaan tanpa atmosfer dengan nilai solar constant (1367Wm-2), emisivitas (1), dan albedo normal (0.3). Nilai suhu permukaan bumi yang dihasilkan adalah nilai suhu ketika bumi tidak memiliki atmosfer. Bumi, selain memiliki atmosfer juga memiliki inti radioaktif yang menghasilkan panas sebesar 87 Wm-2 (Hutton 2010).

Lautan merupakan 70% bagian dari bumi yang menyumbangkan begitu banyak H2O

dan beberapa gas lain dari sirkulasi yang terjadi baik di atas maupun di dalamanya. Gas-gas tersebut secara alami menghalangi sebagian panas keluar dari bumi. Hal tersebut menyebabkan suhu observasi bumi lebih hangat 33 oC dari suhu yang di dapat dari persamaan di atas. Suhu rata-rata permukaan bumi yang terukur adalah 15oC (Leurox 2005).

Salah satu penyebab natural perubahan iklim adalah aktivitas tatasurya. Hal ini dapat menyebabkan perubahan nilai solar constant. Peningkatan nilai solar constant sebesar 1% akan me

Gambar

Tabel 1 Data iklim Jakarta (http://worldweather.wmo.int)
Tabel 2 Informasi stasiun observasi
Tabel  4 Lokasi observasi inti es di dunia ( Bradley 1999)
Gambar 2 Bagian melintang batang pohon berkambium (Bradley 1999).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karena ada gas rumah kaca di atmosfer, di antaranya karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitro oksida (N2O), sebagian panas tetap ada di atmosfer sehingga Bumi menjadi hangat pada

Pada kolektor surya plat datar, radiasi matahari yang datang akan diteruskan oleh kaca sehingga dapat diserap oleh plat absorber panas yang dihasilkan oleh absorber

Pada kolektor surya plat datar, radiasi matahari yang datang akan diteruskan oleh kaca sehingga dapat diserap oleh plat absorber panas yang dihasilkan oleh

Atmosfer semakin penuh dengan gas-gas rumah kaca ini dan ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak pantulan panas Matahari dari Bumi.. Dampak pemanasan gelobal

1) Efek rumah kaca yang terjadi di permukaan bumi adalah proses tertahannya/terserapnya sinar infra merah dari matahari yang dipantulkan kembali oleh bumi oleh gas

Karena temperatur rata-rata tahunan Bumi secara keseluruhan konstan, artinya Bumi tidak bertambah panas atau bertambah dingin, maka 65 % dari radiasi Matahari yang diserap atmosfer

Pada malam hari penurunan suhu muka bumi akan bertambah lagi, panas yang diterima melalui radiasi muka bumi akan bertambah lagi, panas yang diterima melalui radiasi dari matahari

Sebagian panas sinar matahari yang dipantulkan itu akan diserap oleh gas-gas di atmosfer yang menyelimuti bumi disebut gas rumah kaca seperti : uap air, karbon-dioksida / CO2 dan metana