• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini bukanlah penelitian yang baru melainkan lanjutan dari penelitian-penelitian sebelumnya. Adapun penelitian sebelumnya ialah sebagai berikut.

Penulis menemukan skripsi yang ditulis oleh Ilham “Penafsiran ayat-ayat perumpamaan, menurut M.Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah” Skripsi, Yogyakarta: Jurusan Qur‟an Hadits Universitas Islam Negeri Sunan Yogyakarta. Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa penelitian M. Quraish Shihab memandang perumpamaan yang terdapat dalam al-Qur‟an tidak sama dengan peribahasa dan tidak hanya sekadar “mempersamakan” satu hal dengan satu hal yang lain tetapi juga mempersiapkan dengan beberapa hal yang saling berkaitan. Perumpamaan lebih menekankan pada keadaan atau sifat yang menakjubkan, menarik perhatian dan bernilai keindahan.

Arif Nur Safri, Tamtsīl Himar (perumpamaan keledai) dalam al-Qur‟an (telaah atas tafsir al-Kasyaf karya Zamakhsari), Skripsi, Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam skripsi ini penulis (Arif Nur Safri) ingin mengetahui perumpamaan keledai dalam al-Qur‟an dengan penafsiran al-Zamakhsari, melihat bahwa perumpamaan keledai cenderung berkonotasi negatif, bahkan orang arab merasa jijik dengan perumpamaan keledai itu, Secara intelektual atau intelegensi, keledai bukanlah jenis hewan yang bodoh dan dungu ketika dibandingkan dengan hewan lainnya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa keledai adalah hewan yang pintar dan cerdas dan memiliki kelebihan dan keistimewaan dibanding dengan hewan lainnya. Ternyata perumpamaan konotasi negatif terhadap keledai sangat berkaitan erat dengan situasi sosial dan budaya Arab dimana al-Qur‟an diturunkan. Tamtsīl himar juga selalu berkaitan dengan situasi dan kondisi tertentu.

11

Alfin Khairuddin Fu‟ad, berjudul “Amsal Dalam al-Qur‟an (Studi Atas Pemikiran Muhammad Husain al-Tabataba‟i Dalam Kitab al-Mizan fi Tafsir al-Qur‟an”. Skripsi, Yogyakarta: Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi ini mencoba membahas pemikiran al-Tabataba‟i dalam memaknai amsal dalam al-Qur‟an secara keseluruhan. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa fokus penafsiran Tabataba‟i atas amtsal menghasilkan tiga bentuk berdasarkan kedudukannya, sebagai berikut, yang pertama amsal sebagai hal, yaitu bujukan dan ancaman Allah pada manusia dengan menyebutkan kebaikan dan atau keburukan.

Kedua amsal sebagai sifat, yaitu relevan untuk menyampaikan sebuah petunjuk dan bimbingan Allah bagi kemaslahatan umat manusia di dunia maupun di akhirat.

Abdul Halim. Penelitiannya dalam bentuk skripsi yang berjudul

“efektivitas penerapan Metode Amtsal (perumpumaan) dalam peningkatan siswa pada mata pelajaran Akidah Akhlak Madrasah Ibtidaiyah Negeri Sleman”. Skripsi ini ditulis pada tahun 2013 yang diajukan kepada program studi pendidikan agama islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memaparkan penerapan metode amtsal sebagai salah satu metode pembelajaran dalam al-Qur‟an dapat dijadikan metode dalam membuat materi pembelajaran lebih konkret efektif.

M Ali, menulis artikel berjudul “Fungsi perumpamaan dalam al-Qur‟an”

(Jurnal Tarbawiyah Volume 10 Nomor 2 Edisi Juli-Desember 2013) mengkaji al-Qur‟an dengan kesimpulan bahwa tamsil (membuat permisalan, perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna dalam bentuk yang hidup ataupun yang mati dengan cara menyerupakan sesuatu yang gaib dan yang nyata, yang abstrak dan yang konkrit dan dengan menganalogikan sesuatu dengan hal yang serupa. Betapa banyak makna yang baik, dijadikan lebih indah, menarik dan mempesona oleh tamsil.

Ahmad Zamroni, dalam skripsinya berjudul Pemahaman Perumpamaan Harun Yahya Terhadap al-ankabut ayat 41 tentang laba-laba yang ditulis pada tahun 2015 diajukan pada Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang.

Dalam penelitian ini penulis memfokuskan tentang pemahaman Harun Yahya terhadap bala-bala dengan pendekatan ilmu teknologi sains modern.

Arif Nur Safri. Di dalamnya membahas panjang lebar tentang tamṡīl himar dengan menitikberatkan pada penafsiran Zamakhsyari dalam kitab al-Kasyaf dengan bermuara pada pandangan orang Arab yang menganggap pada orang yang diumpamakan pada keledai itu amat dungu dan bodoh. Tulisannya juga berusaha untuk mengupas sisi positif dari keledai yang dalam al-Quran lebih banyak terkesan negatifnya dengan memaparkan manfaat keledai bagi kehidupan sehari-hari.

Lilis Suryani, membahas mengenai perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah yang diumpamakan seperti anjing yang menjulurkan lidahnya. Dalam penelitiannya penulis hanya terfokus pada maksud dari tamṡīl tersebut yang terkandung dalam surat al-A‟raf ayat 175-178 yang diteliti dengan menggunakan metode tahlili serta mengupas pendapat-pendapat mufassir terkait tafsiran ayat tersebut. Penulis juga mengemukakan hikmah dari tamṡīl tersebut yang bisa dijadikan pembelajaran bagi manusia tentang pentingnya bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan dan cara menggunakan nikmat tersebut agar tidak kufur nikmat.

Sutino dengan judul “Cerita Semut Dalam Al-Qur‟an Surat Al-Naml Ayat 17-19 (Telaah Nilai-Nilai Pendidikan Krakter Dalam Tafsir al-Misbah dan al-Azhar)”. Di dalam tafsir al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab, cerita semut dalam al-Qur‟an surat al-Naml ayat 17-19 tersebut mengandung nilai karakter berupa disiplin, kerja keras, kreatif, religius, dan peduli sosial.

Sedangkan di dalam tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Karim Amarullah

13

(HAMKA), cerita semut tersebut mengandung nilai karakter berupa disiplin, kreatif, peduli sosial, dan religius.

15 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG AMṠĀL BA‘ŪḌAH DALAM AL-QUR’AN

A. Pengertian Amṡāl

Kata amṡāl merupakan bentuk jamak dari kata maṡala secara bahasa mempunyai arti yang cukup beragam sesuai dengan bentuk pola atau wazan kata tersebut. Diantaranya maṡala yang berarti menyerupai, mencontohkan, menggambarkan. Tamṡīl yang berarti tergambar.12 Kata maṡal atau perumpamaan dalam kamus Lisa>n ‘Arāb dan Qāmūs al-Muḥīṭ{, mempunyai berbagai macam-macam makna. Kata yang terdiri dari huruf mim, tsa dan Lam seperti yang dikemukakan oleh Ibn Fāris mempunyai makna etimologis yaitu “membandingkan sesuatu dengan sesuatu hażā miṡlu haża.13

Secara etimologi kata maṡāl, mīṡāl dan māṡil memiliki arti yang serupa dengan kata syabah, syibah dan syabih. Kata mas|al juga dipergunakan untuk menunjukkan arti keadaan, sifat dan kisah yang mengagumkan. Sedangkan kata amṡāl secara terminologi, sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain, Ibn al-Qayyim berpendapat bahwa amṡāl menyerupakan sesuatu hal dengan hal yang lainnya, dan mendekatkan sesuatu yang bersifat abstrak dengan sifat indrawi. Menurut ahli yang lain, yakni Abu Sulaiman mengemukakan bahwa amṡāl itu adalah menyamakan suatu keadaan dengan keadaan yang lain.14

Sedangkan menurut istilah ada beberapa sebagian pendapat yaitu:

12Ani Jailanidan Hasbiyalla, “Kajian Amtsal dan Qasam dalam al-Qur‟an”, Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, vol. 19, No. 02, Desember 2019, 16-26.

13 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya:

Pustaka Progresif, 1997), 1309.

14 Ani Jailanidan Hasbiyalla, “Kajian Amtsal dan Qasam dalam al-Qur‟an”, Jurnal Islamika: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 18.

1. Menurut istilah ulama ahli Adab, amṡāl adalah ucapan yang banyak menyamakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan sesuatu yang dituju.

2. Menurut istilah para ulama ahli Bayān, amṡāl adalah suatu ungkapan majaz15 yang disamakan dengan asalnya karena adanya persamaan yang dalam ilmu balaghah disebut tasybih.

3. Menurut ulama ahli Tafsir amṡāl adalah menampakkan pengertian yang abstrak dalam ungkapan yang indah, singkat dan menarik, yang mengena dalam jiwa, baik dengan bentuk tasybih maupun majaz mursal (ungkapan bebas). Didalam buku

“Ulumul Qur‟an” Ahmad Syadalli dan Ahmad Rofi‟i menjelaskan bahwa ahli Balaghah mensyaratkan tamṡīl itu harus memenuhi beberapa ketentuan yaitu: bentuk kalimatnya yang ringkas, isi maknanya cukup mengena dipahami dengan tepat, perumpamaannya baik dan penyampaiannya atau kina>yah-nya harus indah. Adapun untuk rukun amṡāl (tasybih) ada empat macam yaitu:

a. Al-Musyabbah (sesuatu yang diserupakan).

b. Al-Musyabbah bih (sesuatu yang diserupai oleh musyabbah).

c. Wajhu al-Syibh (titik persamaan yaitu pengertian yang bersama-sama yang ada pada musyabbah dan musyabbah bih).

d. Adah tasybih (huruf tasybih atau lafaz| yang menunjukkan adanya serupa menyerupai. Kaf, mis|il, ka’anna dan semua lafaz yang menunjukkan makna serupa).16

15Cara melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakannya dengan sesuatu yang lain; kiasan (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2005)

16 Ahmad Syadalli dan Ahmad Rofi‟i, Ulumul qur’an, (Semarang: Pustaka Setia, 1997), 35-36.

17

B. Bentuk Amṡāl

Abu Abdullah al-Bakrazdi di dalam buku “Ulum al-Qur’an” karya Ahmad Darbi menyebutkan ada beberapa bentuk maṡal, yakni:17

a. Mengeluarkan suatu abstrak (gair al-makhṣūṣ) kepada yang makhṣūṣ (dikhususkan).

b. Mengeluarkan suatu dari yang sulit dijangkau akal kepada sesuatu yang mudah.

c. Mengeluarkan sesuatu yang luar biasa (tidak dijumpai dalam ada kebiasaan) kepada sesuatu yang biasa (dijumpai dalam adat kebiasaan).

d. Mengeluarkan sesuatu dari yang tidak akan dapat disifati (dijelaskan) kepada sesuatu yang dapat disifati (dijelaskan).

Dilihat dari empat bentuk dalam bahasa tamṡīl ini, semuanya bertujuan mendekatkan pemahaman, memudahkan pengertian, indah dan menarik. Bila tamṡīl itu untuk mencaci dan mengejek, tikamannya lebih tajam, sentuhannya amat pedih, tamparannya cukup dahsyat. Bila tamṡīl untuk hujjah argumennya amat tepat, tidak ada celah untuk dibantah. Bila tamṡīl-nya untuk nasihat dan pengajaran, maka nasehatnya cukup menyejukkan jiwa, cukup memberi kedamaian bagi hati yang sedang luka, dan menyentuh dengan lembut terhadap fikiran yang sedang dalam keadaan gundah gulana, hardikan dan tegurannya indah, lembut dan mengena bagaikan obat penyembuh dari segala derita.

Sebuah ungkapan yang dapat diubah menjadi bahasa tamṡīl, maka ungkapan itu cukup mudah untuk dipahami, jelas maksudnya, indah didengar, luas dan dalam makna pengertiannya. Ibrāhīm al-Niẓāmī dalam

“Ulumul Qur’an” menambahkan bahwa bahasa tamṡīl ini memiliki empat keistimewaan yang tidak dapat dimiliki oleh gaya bahasa yang lain yakni,

17 Ahmad Darbi ‘Ulum al-Qur’an (Pekanbaru: Suska Press, 2011), 56-57.

tepat pengertiannya, indah tasybih-nya (penyerupaannya) dan mengena serta tajam sindirannya. Itulah puncak keindahan dalam bahasa Balaghah.18

C. Macam-macam Amṡāl

Secara garis besar, amṡāl al-Qur‟an terbagi menjadi tiga bagian.

Yaitu, amṡāl musharrah, amṡāl kaminah, dan amṡāl mursalah.19Manna’

al-Qaṭṭān menjelaskan tentang pengertian ketiga amṡāl di atas sebagai berikut:

1. Amṡāl Musyarrahah

Yaitu ungkapan yang dijelaskan atau ditegaskan, di dalamnya lafaz maṡal atau ungkapan yang menunjukkan tasyabih. Tasyabih yang di maksud di sini adalah yang menggunakan amṡāl. Maṡal yang menggunakan kata al-maṡal ini disebut maṡal ẓāhir. Maṡal seperti ini terdapat dalam Qs. al-Baqarah/ 2: 18-20.

ُّمُص

“Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang

18Ahmad Darbi Ulumul al-Qur’an, 57.

19Mana al-Quthan, Pembahasan Ilmu al-Qur’an, cet. 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), 107.

19

yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka.

Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

Ayat di atas sudah memuat perumpamaan tentang kalimat ṭayyibah dengan pohon yang baik, pohon itu akarnya kokoh dan dahannya yang cukup menjulang tinggi serta dapat berbuah pada setiap musim. Kalimat ṭayyibah itu dibandingkan agar nyata perbedaannya dengan kalimah khabīsah yang seperti pohon yang buruk. Pohon itu telah dicabut dengan akar-akarnya dari tanah sehingga pohon tersebut tidak dapat tegak lagi sedikitpun. Selain menunjukkan perumpamaan sesuatu yang abstrak dengan hal yang kongkret, ayat diatas juga dapat memiliki tingkat keindahan bahasa yang sangat tinggi dan sangat indah.

Perumpamaan yang terkandung di dalam ayat di atas terdapat dengan jelas dilihat karena ada kata maṡal-nya, contoh yang ada di kandungan ayat tersebut membicarakan tentang orang-orang munafik yang diumpamakan dengan dua kata benda yang sering kita lihat dan temui dalam kehidupan sehari-hari yaitu api dan air. Manna Khalīl al-Qaṭṭān menyebutkan bahwa di dalam api terdapat unsur cahaya sebagaimana petunjuk Allah yang merupakan Nur yang dapat memberikan penerangan di dalam hati manusia. Namun karena kemunafikan mereka kepada Allah, hal tersebut telah menghilangkan unsur cahaya di dalam api, sehingga yang tersisa hanyalah unsur panas yang membakar tetapi tidak lagi bisa menerangi kehidupan mereka.

2. Amṡāl Kaminah

Yaitu perumpamaan yang di dalamnya tidak disebutkan dengan lafaz tamṡīl jelas, tetapi menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Misalnya ayat yang senada dengan pernyataan bahwa sebaik pekerjaan itu pertengahan khairu al-Umūri ausaṭuhā yaitu:

“Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia menerangkan kepada Kami; sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu".

Masih banyak ayat di dalam al-Qur‟an yangmengandung tamṡīlān kaminah seperti untuk ayat-ayat yang sebanding dengan perkataan: laisl khabaru ka al-Mugayyanah (kabar itu tidak sama dengan menyaksikan sendiri), kama tadyinu tudyana (sebagaimana kamu telah menghutangkan maka kamu akan dibayar), dan ayat yang senada dengan pernyataan lā yulāgu min juhrin maratain (orang mukmin tidak akan disengat dua kali dari lubang yang sama).

3. Amṡāl Mursalah

Ialah kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan kata perumpamaan secara jelas, tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai perumpamaan. Contoh QS. al-Baqarah/ 2: 249

21

"Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata:

"Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai.

Maka siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka dia adalah pengikutku". Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata:

"Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya". Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.

Dan Allah beserta orang-orang yang sabar".

Jika diperhatikan ayat di atas mengandung makna amsal yang terletak diakhir ayat, namun sebaliknya amsal mursalah juga bisa terdapat di awal ayat seperti yang terdapat dalam surah berikut ini:

Qs. al-Mā‟idah [5]: 100

ِثيِبَْلْا ُةَرْػثَك َكَبَجْعَأ ْوَلَو ُبهيَّطلاَو ُثيِبَْلْا يِوَتْسَي َّلَ لُق ِباَبْلَْلْا ِلِوُأاَي َوَّللا اوُقَّػتاَف ۚ

َنوُحِلْفُػت ْمُكَّلَعَل

“Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan".

Contoh lain dari amsal mursalah seperti yang terdapat dalam surat berikut ini:

Qs. Yūsuf/ 12: 51

“Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): "Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?" Mereka berkata: "Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari padanya". Berkata isteri Al Aziz: "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar".

Demikian beberapa contoh amsal mursalah dalam al-Qur‟an, contoh lainnya juga masih banyak terdapat dalam al-Qur‟an corak seperti ini yang bisa di dilihat dalam beberapa surah yaitu: al-Najm ayat 58, al-Isrā ayat 48, Hūd ayat 81, al-Muddaṡir ayat 38, al-An„ām ayat 67, al-Mu‟minūn ayat 53, Ṣafāt ayat 61, Raḥmān ayat 60, Mā‟idah ayat 249 al-Ḥasyr ayat 14.

D. Fungsi Amṡāl

Di dalam perkembangan ilmu tafsir, amsal memberi kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan dalam upaya berfikirnya umat Islam dalam mendalami dan memahami al-Qur‟an. Dengan demikian juga Manna’ al-Qaṭṭān menguraikan fungsi mempelajari amsal ini yang dapat dilihat berikut ini:

1. Menampilkan sesuatu yang cukup rasional dalam bentuk yang konkrit dan dapat dirasakan oleh panca indra manusia, sehingga akal pun akan mudah memahaminya. Oleh sebab itu pengertian yang abstrak tidak akan dapat tertanam dalam pikiran, kecuali dituangkan

23

dalam bentuk indrawi.20 Sehingga Allah membuat perumpamaan bagi orang yang akan menafkahkan hartanya dengan riya‟ bahwa ia tidak akan mendapatkan pahala dari perbuatannya itu, sebagaimana terdapat di dalam al-Qur‟an Qs. al-Baqarah/ 2: 264

َو ِساَّنلا َءاَئِر ُوَلاَم ُقِفنُي يِذَّلاَك َٰىَذَْلْاَو هنَمْلاِب مُكِتاَقَدَص اوُلِطْبُػت َلَ اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّػيَأاَي

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Qs. al-Baqarah/

2: 264).

2. Mengungkap dari suatu makna yang tidak terlihat seakan-akan menjadi sesuatu yang terlihat, misalnya terdapat di dalam al-Qur‟an Surat al- Baqarah/ 2: 275.

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba‟ tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah

20Tafsir Al-Azhar Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 10.

disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs.al-Baqarah/ 2:

275).

3. Membantu orang yang berbuat kebaikan maṡal untuk menjalankan sesuai dengan isi maṡal. Misalnya Allah membuat matsal bagi keadaan orang yang memberikan hartanya di jalan Allah, di mana hal itu akan memberikan suatu kebaikan yang lebih banyak. Contohnya pada Surat Qs.al-Baqarah/ 2: 261.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

4. Menjauhkan dan menghindari, jika isi maṡal berupa sesuatu yang dibenci Allah. Misalnya tentang di larangan mencaci atau berburuk sangka terhadap orang lain, sebagaimana dalam Qs. Ḥujūrāt/ 49: 12.

ٌْثِإ هنَّظلا َضْعَػب َّنِإ هنَّظلا َنهم اًيرِثَك اوُبِنَتْجا اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّػيَأاَي

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan

25

janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

E. Nyamuk

Setelah dideskripsikan mengenai definisi tentang amtsal beserta jenis dan fungsinya, selanjutnya yaitu pembahasan mengenai salah satu dari beberapa ayat yang menggunakan istilah hewan ataupun hewan sebagai perumpamaan di dalam al-Qur‟an. Adapun bahwa hewan yang akan dijelaskan adalah seekor nyamuk. Adapun orang yang beriman mereka meyakini bahwa perumpamaan itu dari Tuhan. Dan nyamuk selalu digambarkan sebagai hewan penghisap darah, pada kenyataannya tidak semua benar. Pada hakikatnya hanya nyamuk betina yang dapat menghisap darah, sedangkan untuk nyamuk jantan tidak.21

Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu banyak orang yang di beri-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan oleh Allah kecuali orang-orang yang munafik. Contohnya pada Qs. al-Baqarah ayat 26 sebagaimana berikut ini:

اَهَػقْوَػف اَمَف ًةَضوُعَػب اَّم ًلًَثَم َبِرْضَي نَأ يِيْحَتْسَي َلَ َوَّللا َّنِإ ُوَّنَأ َنوُمَلْعَػيَػف اوُنَمآ َنيِذَّلا اَّمَأَف ۚ

ْمِهبَِّّر نِم ُّقَْلْا ًلًَثَم اَذََِٰبِّ ُوَّللا َداَرَأ اَذاَم َنوُلوُقَػيَػف اوُرَفَك َنيِذَّلا اَّمَأَو ۚ

يِدْهَػيَو اًيرِثَك ِوِب ُّلِضُي ۚ

اًيرِثَك ِوِب َيِقِساَفْلا َّلَِإ ِوِب ُّلِضُي اَمَو ۚ

“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang

21Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Hewan Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, ,(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2012), 268-269.

beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?". Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberiNya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (Qs. al-Baqarah/ 2: 26).

Di dalam tafsir ibnu katsir yang di maksud ayat di atas adalah Allah telah memberitahukan bahwa Dia tidak pernah menganggap remeh sesuatu apapun yang telah dijadikannya sebagai perumpamaan, meskipun hal yang hina dan kecil seperti hal nya nyamuk. Sebagaimana Allah tidak memandang enteng ciptaan-Nya, Dia pun tidak segan untuk membuat perumpamaan dengan nyamuk tersebut, sebagaimana Dia telah membuat perumpamaan dengan lalat

Di dalam tafsir ibnu katsir yang di maksud ayat di atas adalah Allah telah memberitahukan bahwa Dia tidak pernah menganggap remeh sesuatu apapun yang telah dijadikannya sebagai perumpamaan, meskipun hal yang hina dan kecil seperti hal nya nyamuk. Sebagaimana Allah tidak memandang enteng ciptaan-Nya, Dia pun tidak segan untuk membuat perumpamaan dengan nyamuk tersebut, sebagaimana Dia telah membuat perumpamaan dengan lalat

Dokumen terkait