• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir dan laut memiliki karakteristik yang berbeda dengan wilayah daratan. Karakteristik khusus wilayah laut menyangkut sifat dinamis sumber yang relatif sukar untuk diprediksi eksistensinya, apalagi jika dilihat dalam kurun waktu tertentu, misalnya keberadaan ikan, mangrove, terumbu karang, dll. Secara ekologis wilayah pesisir dan laut juga tidak bisa dibatasi secara administratif (Diposaptono 2012)

Menurut UU No. 27 tahun 2007 definisi wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Kawasan adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya sedangkan kawasan pemanfaatan umum adalah bagian dari wilayah pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.10/Men/2003 tentang Pedoman Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu bahwa wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai dan sepertiga dari wilayah laut untuk Kabupaten/Kota dan ke arah darat hingga batas administrasi Kabupaten/Kota.

Penelitian yang dilakukan Dahuri et al. (2001) bahwasuatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami atau buatan. Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir meliputi terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman.

Tata Ruang Wilayah Pesisir dan Laut

Undang-undang No 26 tahun 2007 mendefinisikan ruang sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan ruang didefinisikan sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.

Menurut Rustiadi et a.l (2011) struktur ruang dibentuk dari susunan prasarana (jaringan jalan raya, sarana angkutan umum, objek yang dialirkan, besaran aliran, aspek tujuan dan yang dituju) yang dibangun dalam suatu jaringan yang terstruktur untuk mempermudah dalam mengakses dan mengelola

sumberdaya tersebut. Sedangkan pola ruang berkaitan dengan aspek-aspek penyebaran sumberdaya dan aktivitas pemanfaatannya secara spasial. Secara keseluruhan berbagai bentuk konfigurasi spasial membentuk suatu keseimbangan pola dan struktur spasial yang disebut dengan tata ruang (Rustiadi et al. 2011).

Pendekatan penataan ruang dalam rangka pengembangan wilayah menurut Rustiadi et al. (2011) terdiri atas tiga proses yang saling berkaitan, yaitu:

a. Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah. Disamping sebagai “guidance of future actions” rencana tata ruang wilayah pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia / makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia / makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan;

b. Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri, dan

c. Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme pengawasan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.

Perencanaan tata ruang dimulai dari kegiatan evaluasi ruang yang mengidentifikasikan karakteristik dan menilainya untuk keperluan tipe wilayah tertentu secara spasial, perencanaan pemusatan kegiatan tertentu juga pengelompokkan wilayah tertentu untuk tujuan yang ditetapkan (Branch 1998 dalam Pramudya 2008).

Evaluasi sumberdaya pesisir dan laut dilakukan untuk mendapatkan berbagai informasi terkait dengan penataan ruang. Informasi yang diperlukan adalah : (1) kondisi dan daya dukung lingkungan fisik dasar dan pesisir laut, (2) Kondisi dan daya dukung ekosistem pesisir dan laut, (3) Kecenderungan dan tingkat kerusakan ekosistem dan jasa lingkungan pesisir dan laut (Dahuri et al. 2001).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No: Kep.34/Men/2002 tentang Pedoman Umum Penataan ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sumberdaya wilayah pesisir yang harus dievaluasi dengan mempertimbangkan:

a. Sumberdaya fisik non-hayati yang paling tidak meliputi : morfologi pantai (geomorfologi, geologi, abrasi, sedimentasi, erosi, tanah dan air tanah); perairan / hidrooseanografi (pasang surut, gelombang dan arus);

b. Sumberdaya hayati meliputi: biota darat (vegetasi dan satwa liar); biota perairan (ikan, mamalia laut dan biota perairan lainnya);

c. Ekosistem yang perlu dilindungi, yang meliputi: terumbu karang, mangrove, padang lamun, gumuk pasir, laguna, terumbu karang atoll, dan alur tertentu; d. Mitigasi bencana antara lain mencakup: karakteristik bencana, sifat dan

karakteristik faktor-faktor aktivitas manusia pemicu bencana; e. Jalur potensi penangkapan ikan;

f. Jasa lingkungan pesisir dan laut, yang meliputi potensi pengembangan pariwisata, budidaya perikanan, pertambangan, pemukiman dan industri; g. Kaitan aspek-aspek sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap sumberdaya

biofisik wilayah pesisir dan laut.

Konflik pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan laut merupakan salah satu isu negatif yang sering muncul akibat banyaknya sektor dan pihak yang saling

memprioritaskan kepentingannya, seperti pariwisata, perhubungan laut, perikanan, pertambangan, masyarakat umum maupun swasta. Oleh karena itu, penataan ruang wilayah pesisir dan laut mutlak diperlukan (Listriana 2010).

Prinsip dasar penyusunan tata ruang pesisir terpadu adalah bagaimana mendapatkan manfaat dari sumberdaya yang tersedia seoptimal mungkin dengan tidak mengabaikan kelestarian lingkungan (ekologi), disamping memperhatikan aspek ekonomi, sosial, kelembagaan, dan pertahanan keamanan (Dahuri et al. 2001).

Menurut Diposaptono (2012) setidaknya ada tiga prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam menyusun rencana tata ruang laut, yaitu :

a. Kegiatan yang berlangsung pada ruang laut bersifat statis dan dinamis. Kegiatan pelayaran alur migrasi serta aktivitas wisata bahari tergolong dalam aktivitas dinamis, sedangkan yang bersifat statis antara lain pemukiman atas air, bagan tancap dan bagan apung.

b. Ruang laut memiliki tiga dimensi yaitu permukaan, kolom dan dasar laut. Setiap dimensi memiliki aktivitas berbeda dalam suatu zona yang sama dan bisa dilakukan pada waktu yang sama pula.

c. Penetapan jangka waktu perencanaan. Prediksi jangka waktu perencanaan ruang laut dipengaruhi oleh sumberdaya yang dikembangkan oleh masing-masing kegiatan.

Berdasarkan hal tersebut, maka penyusunan tata ruang mengacu kepada: 1. Kelestarian sumberdaya pesisir

Tujuan utama dari pengelolaan pesisir terpadu adalah untuk dapat dimanfaatkannya sumberdaya pesisir dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pelaksanaan pembangunan nasional, dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya pesisir di dalam memenuhi kebutuhan baik untuk generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Untuk menjaga keseimbangan ekologi, pemanfaatan lahan untuk kawasan lindung dan konservasi harus mendapat perhatian khusus, setelah kawasan ini terpenuhi baru ditentukan kawasan budidaya (Dahuri et al. 2001);

2. Kesesuaian lahan

Aktivitas yang akan ditempatkan pada suatu ruang di kawasan pesisir harus memperhatikan kesesuaian antara kebutuhan dengan kemampuan lingkungan menyediakan sumberdaya. Dengan mengacu kepada keseimbangan antara demand dan supply, maka akan dicapai suatu optimasi pemanfaatan ruang antara kepentingan masa kini, masa datang serta menghindari terjadinya konflik pemanfaatan ruang. Kesesuaian lahan tidak saja mengacu kepada kriteria biofisik semata, tetapi juga meliputi kesesuaian secara sosial ekonomi (Rayes 2006 dalam Yunandar 2007);

3. Keterkaitan kawasan

Interaksi antar beberapa aktivitas pada kawasan pesisir dengan kawasan daratan akan tercipta dan memungkinkan terjadinya perkembangan yang optimal antar unit-unit kawasan maupun dengan kawasan sekitarnya.

Untuk itu penyusunan pemanfaatan kawasan pesisir dan laut dibuat sedemikian rupa sehingga kegiatan-kegiatan antar kawasan dapat saling menunjang dan memiliki keterkaitan dengan kawasan yang berbatasan. Agar dapat menempatkan berbagai kegiatan pembangunan di lokasi sesuai secara ekologis, maka kelayakan biofisik di wilayah pesisir harus diidentifikasi lebih

dahulu. Pendugaan kelayakan biofisik ini dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biofisik setiap kegiatan pembangunan, kemudian dipetakan. Dengan cara ini, dapat ditentukan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi/region) kawasan pesisir (Sulasdi 2001 dalam Yunandar 2007).

Pemanfaatan Ruang / Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut

Penataan perairan laut diperlukan untuk mengatur pemanfaatan laut secara optimal dengan mengakomodasi semua kepentingan agar konflik dapat dihindari. Sehingga dalam memanfaatkan suatu sumberdaya laut harus mempunyai batas yang jelas antara zona pemanfaatan yang satu dengan yang lainnya (Diposaptono 2012).

Empat aspek yang perlu diperhatikan dalam menetapkan zonasi suatu kawasan antaralain: (1) Sifat dinamis laut, (2) Penafsiran nilai ekonomi dan beban lingkungan, (3) Aspek sosial budaya masyarakat pesisir dan pulau, (4) Aspek kepastian hukum dan pemanfaatan perairan laut

Berdasarkan UU No. 27/2007 disebutkan bahwa rencana zonasi pada dasarnya merupakan rencana untuk menentukan arah penggunaan sumber daya pada setiap satuan perencanaan yang disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.

Zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya. Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir.

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi mencakup wilayah perencanaan daratan dari kecamatan pesisir sampai wilayah perairan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan dalam satu hamparan ruang yang saling terkait antara ekosistem daratan dan perairan lautnya. Untuk suatu kabupaten/kota, kewenangannya yang mencakup hingga 1/3 mil dari garis pantai berdasarkan kewenangan Provinsi dan umumnya merupakan luasan dari wilayah pesisir. Dengan demikian, pengaturan ruang laut daerah dapat dicakup dalam suatu kesatuan penataan ruang pesisir.

Rencana zonasi ini dijelaskan oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 16/MEN/2008 berisi arahan tentang pengalokasian ruang dalam wilayah pesisir ke dalam empat kawasan yaitu :

a. Kawasan pemanfaatan umum

Kawasan pemanfaatan umum dapat dimanfaatkan untuk zona pariwisata, pemukiman, pelabuhan, pertanian, hutan, pertambangan, perikanan budidaya, perikanan tangkap, industri, infrastruktur umum dan zona pemanfaatan terbatas sesuai dengan karakteristik biogeofisik lingkungannya.

b. Kawasan konservasi

Kawasan konservasi dengan fungsi utama melindungi kelestarian sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat dimanfaatkan untuk zona konservasi

perairan, konservasi pesisir dan pulau pulau kecil, konservasi maritim, dan/atau sempadan pantai.

c. Kawasan strategis nasional tertentu

Kawasan Strategis Nasional Tertentu dapat dimanfaatkan untuk zona pertahanan keamanan, situs warisan dunia, perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar.

d. Alur laut

Alur laut merupakan perairan dapat dimanfaatkan untuk alur pelayaran, alur sarana umum, dan alur migrasi ikan, serta pipa dan kabel bawah laut.

Keseluruhan konsep pemanfaatan ruang di atas lebih fleksibel dalam membagi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kedalam zona-zona tersebut sesuai dengan karakterisik wilayahnya dan tujuan perencanaan berdasarkan kesepakatan pemangku kepentingan di wilayah pesisir tersebut. Proses penyusunan tata ruang pesisir dan konfigurasi zonasi dapat dilakukan dengan teknik overlay (tumpang susun) peta-peta tematik yang memuat karakteristik biofisik wilayah pesisir dari setiap kegiatan pembangunan yang direncanakan dan peta penggunaan ruang pesisir saat ini (Tahir et al. 2002 dalam Pramudya 2008).

Analytic Network Process (ANP)

Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah teori pengukuran relatif dengan skala absolut dari kriteria yang tamapk mata dan tidak tampak mata berdasarkan penilaian berpengetahuan dan para ahli. Metode Analytic Network Process (ANP) merupakan pengembangan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Metode ANP mampu memperbaiki kelemahan AHP berupa kemampuan mengakomodasi keterkaitan antar kriteria atau alternatif (Saaty 1999). Dan menurutnya pula bahwa keterkaitan pada metode ANP ada 2 jenis yaitu keterkaitan dalam satu set elemen (inner dependence) dan keterkaitan antar elemen yang berbeda (outer dependence). Adanya keterkaitan tersebut menyebabkan metode ANP lebih kompleks dibanding metode AHP.

Banyak masalah keputusan tidak dapat disusun secara hirarki karena melibatkan banyak interaksi dan ketergantungan tingkat tinggi antar elemen dalam hirarki pada level terendah dari tiap elemen. Oleh karena itu, ANP diwakili oleh suatu jaringan, bukan penghirarkian atau tingkatan. Struktur umpan balik tidak memiliki bentuk dari atas ke bawah secara hirarki, tapi lebih mirip sebuah jaringan, dengan siklus menghubungkan komponen elemen, yang kita tidak bisa lagi menyebut tingkat, dan dengan loop yang menghubungkan komponen ke dirinya sendiri.

Menurut Lombardi et al. (2007) Analytic Network Process (ANP) merupakan teori pengukuran secara umum diterapkan pada pengaruh dominasi (dominance of influence) di antara stakeholder atau alternatif dalam hubungannya dengan atribut atau kriteria. Dominasi merupakan konsep yang digunakan dalam membuat sesuatu perbandingan diantara elemen-elemen yang berhubungan dengan atribut yang dimiliki atau pemenuhan terhadap suatu kriteria. Suatu elemen dikatakan melakukan dominasi terhadap elemen yang lain, apabila elemen tersebut lebih penting, lebih disukai ataupun lebih mungkin terjadi (Saaty 2001). Metode ini merupakan pengembangan dari metode AHP, yaitu memungkinkan

adanya dependensi baik antar kriteria maupun alternatif yang tidak ada pada metode AHP. Dengan umpan balik (feedback), semua alternatif bisa tergantung pada kriteria, maupun saling bergantung diantara alternatif tersebut (Vanany 2003)

Perbedaan antara ANP dan AHP bisa terlihat pada Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Struktur jaringan pada ANP Gambar 2. Struktur hirarki pada AHP Menurut Astuty (2011) bahwa pembobotan dengan ANP membutuhkan model yang merepresentasikan saling keterkaitan antar kriteria dan subkriteria yang dimilikinya. Ada 2 kontrol yang perlu diperhatikan didalam memodelkan sistem yang hendak diketahui bobotnya yaitu:

a. Kontrol pertama adalah kontrol hierarki yang menunjukkan keterkaitan kriteria dan sub kriterianya. Pada kontrol ini tidak membutuhkan struktur hierarki seperti pada metode AHP.

b. Kontrol lainnya adalah kontrol keterkaitan yang menunjukkan adanya saling keterkaitan antar kriteria atau cluster.

Prinsip dasar ANP adalah berpikir analitis, pengambilan keputusan dalam metodologi ANP berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut (Saaty 2005): 1. Penyusunan struktur jaringan

Penyusunan jaringan adalah langkah untuk mendefinisikan permasalahan yang kompleks ke dalam kluster dan elemennya, serta identifikasi hubungan interaksi ketergantungan yang ada di dalamnya sehingga menjadi lebih jelas dan rinci. Struktur ini disusun berdasarkan pandangan pihak-pihak yang memiliki keahlian dan pengetahuan di bidang yang bersangkutan.

2. Penentuan prioritas

Penentuan prioritas terdiri dari elemen-elemen kriteria dapat dipandang sebagai bobot atau kontribusi elemen tersebut terhadap tujuan pengambilan keputusan. ANP melakukan analisa prioritas elemen dengan metode perbandingan berpasangan antar dua elemen menggunakan skala 1-9 hingga semua elemen yang ada tercakup.

3. Konsistensi logis

Konsistensi jawaban para responden dalam menentukan prioritas elemen merupakan prinsip pokok yang akan menentukan validitas data dan hasil pengambilan keputusan. Secara umum, responden harus memiliki konsistensi dalam perbandingan elemen. Hasil penilaian yang dapat diterima adalah yang mempunyai rasio inkonsistensi lebih kecil atau sama dengan 10%, jika lebih besar dari itu berarti penilaian yang telah dilakukan ada yang random, dengan Hubungan kriteria di luar

kluster yang keterkaitan pengaruh C1… C3 …. C2 ….

Hubungan kriteria dalam kluster

yang saling mempengaruhi

Hierarki linier Kriteria C1… C3…. C2… . Tujuan Subkriteria Alternatif Komponen kluster element

demikian perlu diperbaiki. Konsistensi dilakukan untuk setiap perbandingan berpasangan lokal yang dilakukan.

Rumus perhitungan konsistensi adalah:

Consistensi Index (CI) =

Consistency Ratio (CR) =

dimana : n = ukuran matriks RI = random indeks

λmax = eigen value maksimum

Penelitian yang dilakukan oleh Saaty (2005) bahwa metodologi ANP memiliki tiga fungsi utama sebagai berikut :

1. Melakukan strukturisasi pada kompleksitas

Dalam penelitian tersebut ditemukan adanya pola-pola yang sama dalam sejumlah contoh tentang bagaimana manusia memecahkan sebuah kompleksitas dari masa ke masa. Kompleksitas distrukturkan secara hierarkis ke dalam kluster-kluster yang homogen dari faktor-faktor;

2. Pengukuran ke dalam skala rasio

Metodologi ANP menggunakan pengukuran skala rasio yang diyakini paling akurat dalam mengukur faktor-faktor yang membentuk hierarki. Level pengukuran dari terendah ke tertinggi adalah nominal, ordinal, interval, dan rasio. Setiap level pengukuran memiliki semua arti yang dimiliki level yang lebih rendah dengan tambahan arti yang baru. Pengukuran interval tidak memiliki arti rasio, namun memiliki arti interval, ordinal, dan nominal. Pengukuran rasio diperlukan untuk mencerminkan proporsi. Setiap metodologi dengan struktur hieraki harus menggunakan prioritas skala rasio untuk elemen diatas level terendah dari hierarki. Hal ini penting karena prioritas (bobot) dari elemen di level manapun dari hierarki ditentukan dengan mengalikan prioritas dari elemen pada level dengan prioritas dari elemen induknya. Karena hasil perkalian dari dua pengukuran level interval secara matematis tidak memiliki arti, skala rasio diperlukan untuk perkalian ini. AHP/ANP menggunakan skala rasio pada semua level terendah dari hierarki/jaringan, termasuk level terendah (alternatif dalam model pilihan). Skala rasio ini menjadi semakin penting jika prioritas tidak hanya digunakan untuk aplikasi pilihan, namun untuk aplikasi-aplikasi lain, seperti untuk aplikasi-aplikasi alokasi sumber daya;

3. Sintesis

Sintesis merupakan kebalikan dari analisis. Kalau analisis berarti mengurai entitas material atau abstrak ke dalam elemen-elemennya, maka sintesis berarti menyatukan semua bagian menjadi satu kesatuan. Karena kompleksitas, situasi keputusan penting, prakiraan, alokasi sumber daya, sering melibatkan terlalu banyak dimensi bagi manusia untuk dapat melakukan sintesis secara intuitif, kita memerlukan suatu cara untuk melakukan sintesis dari banyak dimensi. Meskipun ANP memfasilitasi analisis, fungsi yang lebih penting lagi dalam ANP adalah kemampuannya untuk membantu kita dalam melakukan pengukuran dan sintesis sejumlah faktor-faktor dalam hierarki atau jaringan.

Menurut Buyukyacizi and Meral (2003) meskipun ANP dan AHP serupa dalam tahap penilaian perbandingan, ada perbedaan dalam fase sintesis. Pada ANP, vektor skala rasio prioritas berasal dari matriks perbandingan berpasangan

tidak disintesis linear seperti pada AHP. Fase sintesis ini dengan menggunakan supermatriks yaitu teknik untuk mensintesis skala rasio. Setiap skala rasio secara tepat diperkenalkan sebagai kolom dalam matriks untuk menampilkan pengaruh dari elemen dalam kluster pada elemen lain dalam kluster (outer dependence) atau bagian dari kluster itu sendiri (inner dependence).

Menurut Pourebrahim et al. (2010) bahwa metode multikriteria analisis dapat membantu untuk mengoptimalkan kekuatan kriteria dan indikator dalam memahami penggunaan lahan di wilayah pesisir, karena wilayah ini sangat kompleks dengan berbagai macam konflik kepentingan secara kualitatif dan kuantitatif sehingga membutuhkan metode untuk mengambil keputusan yang terstruktur. Analytic network process adalah salah satu metode dari analisis MCA yang sangat berguna dan secara potensial serta relevan sebagai alat untuk mencari kesesuaian lahan di wilayah pesisir karena mempertimbangkan semua aspek yang berpengaruh di dalamnya.

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data, dan tampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambil keputusan. Sistem computer ini terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak dan manusia (personal) yang dirancang untuk efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisa, dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (Prahasta 2009).

SIG mempunyai 4 kelompok utama yaitu: perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen dan pemakai. Kombinasi yang paling tepat antara keempat komponen utama akan menentukan kesuksesan suatu proyek pengembangan SIG dalam suatu organisasi (Barus et al. (2000)

Aplikasi GIS digunakan pada bidang kartografi, penginderaan jauh, survei pertanahan, pengelolaan fasilitas umum, pengelolaan sumberdaya alam, geografi, perencanaan perkotaan, navigasi, bidang perikanan dan kelautan khususnya pada sistem informasi perikanan telah banyak dilakukan di banyak negara termasuk di Indonesia (Prahasta 2009).

Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai kemampuan analisis keruangan (spatial analysis) maupun waktu (temporal analysis). Dengan kemampuan tersebut SIG dapat dimanfaatkan dalam perencanaan apapun karena pada dasarnya semua perencanaan akan terkait dengan dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian setiap perubahan, baik sumberdaya, kondisi maupun jasa-jasa yang ada di wilayah perencanaan akan terpadu dan terkontrol secara baik (Rais et al. 2004).

Pemanfaatan teknologi Sistem Informasi Geografis untuk perikanan diharapkan dapat mampu memberikan gambaran dan tampilan spasial alokasi pemanfaatan ruang. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad (2009) dan Pramudya (2008) mengkaji pengelolaan wilayah pesisir berbasis zonasi di Kota Padang dan Provinsi Jambi. Kajian penelitian oleh Elly (2006) tentang rencana pengembangan wisata bahari di Teluk Lada Pandeglang dan pemetaan terumbu karang yang

dilakukan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan tahun 2010 di Kabupaten Pandeglang

Sistem Informasi Geografis secara umum dipahami memiliki kontribusi besar dalam pengelolaan wilayah pesisir, yakni (1) membantu memfasilitasi berbagai pihak sektoral, swasta dan Pemda yang merencanakan sesuatu, dapat dipetakan dan diintegrasikan untuk mengetahui pilihan-pilihan manajemen dan alternatif perencanaan yang paling optimal, (2) merupakan alat yang digunakan untuk menunjang pengelolaan sumberdaya pesisir yang berwawasan lingkungan. Dengan menggunakan SIG dengan mudah dan cepat dapat melakukan analisis keruangan dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan pesisir (Gunawan 1998).

Dokumen terkait