• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Tinjauan Tentang Ekonomi

1. Pengertian EkonomiDalam Al Qur‟an

Istilah-istilah tersebut diperoleh akar kata “qa-sha-da” sehingga di

dalam Al-qur‟an dijumpai kata yang berakar dar kata “qa-sha-da, dalam

suart dan ayat sebagai berikut : pertama, kata qashid pada surat Luqman

ayat 19 yang berarti sederhyan. Kedua, kata qashdu pada surat Al-Nahl

25

surat At-Taubah ayat 42 dengan arti keinginan dan kebutuhan. Dan yang ke-empat, kata muktashidun pada surat Luqman ayat 32 dengan arti jalan lurus dan surat Fathir ayat 32 dengan arti pertengahan. Yang terakhir kata muqtashidatun pada surat Al-Maidah ayat 66 dengan arti golongan pertengahan.(Muhamad. 2008:2)

2. Pengertian Ekonomi Islam

Menurut Muhamad (2008;4) dalam bukunya Ekonomi Islam dalalah pengetahuan dan penerapan hukum syariah untuk mencegah terjadinya ketidakadilan atas pemanfaatan dan pembuangan sumebr-sumber material dengan tujuan untuk memberikan kepuasan manusia serta mengamalkannya sebagai kewajiban kepada Allah SWT dan masyarakat.

Rumusan yang sama juga dikemukan M. Nejatullah Siddiqi, bahwa :Ekonomi Islam yaitu “pemikiran muslim” yang merespons terhadap tantangan ekonomi pada masanya. Dalam hal ini, mereka

dibimbing dengan Al-qur‟an dan Sunnah beserta akal dan pengalaman.

Sedangkan menurut Sayyed Nawab Haider Naqvi menyebutkan : Ekonomi Islam adalah merupakan representasi perilaku muslim dalam suatu masyarakat muslim tertentu.

M. Akhram Khan merumuskan bahwa : Ekonomi Islam bertujuan untuk mempelajari kemenangan manusia (agar menjadi baik) yang dicapai melalui pengorganisasian sumber daya alam yang didasarkan pada kerja sama dan partisipasi.

26

Menurut M.A. Mannan juga menyebutkan : Ekonomi Islam merupakan suatu studi social yang mempelajari masalah ekonomi manusia berdasarkan nilai-nilai Islam.

3. Ekonomi Islam Sebagai Solusi

Demikian ekonomi Islam dapat diartikan sebagagai ilmu ekonomi

yang dilandasioleh ajaran-ajaran Islam yang bersumber Al-Qur‟an dan as

-Sunnah, ijma(kesepakatan ualama) dan qiyas(analogi). Dalam kondisi

pasca krisis global ekonomi Islam sebagai alternatif untuk memecahkan

masalah-masalah konvensional yang dianggap tidak mampu

menjawabnya. Sistem ekonomi Islam tidak hanya mendapatkan imabalan didunia berupa materi tetapi juga akan mendapatkan imbalan pahala yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu prinsip-prinsip ekonomi Islam hendaknya dipraktekan dalam sistem ekonomi Islam yakni ketauhidan, keadilan, kebebasan dan tanggung jawab.(Mansur. 2009:56)

Mansur pada bukunya menjelaskan bahwa ekonomi Islam nampak lebih besar dari pada ilmu ekonomi konvensional. Terlihat dari beberapa penjelasan : Pertama. Tugas ekonomi Islam yaitu mempelajari prilaku actual; dari para individu maupun kelompok, perusahaan, pasar, pemerintah dan pelaku ekonmi lainnya. Kedua. Ekonomi Islam menunjukanjenis asumsi prilaku dan prilaku yang dibutuhkan untuk merealisasikan tujuan pembangunan ekonomi. Karena nilai-nilai moral

27

mempertimbangkan nilai-nilai dan lembaga Islam, dan kemudian secara ilmiah menganalisis dampak terhadap pencapaina tujuan tersebut.

Ketiga, karena perbedaan antara prilaku aktual dan prilaku ideal maka ekonomi Islam harus menjelaskan mengapa para prilaku ekonomi tidak bertindak menurut jalan yang seharusnya. Dan yang terakhir, karena tujuan utama pencari ilmu adalah membantu peningkatan kesejahteraan manusia, maka ekonomi Islam harus menganjurkan cara yang bagaimana sehingga dapat membawa perilaku deluruh pelaku ekonomi, yang mempengaruhi alokasi dan distribusi seumber daya ekonomi. Artinya adanya keadilan bukan kata adil dalam dataran konsep tetapi mengandung makna praktis keadilan dalam keadilam kehidupan nyata, sedekat mungkin dengan tatanan yang ideal.

4. Fiqih Muamalah

a. Fiqih.

Istilah fiqih menurut Nawawi (2012:9) dalam bukunya fiqih

dapat dikonsepsikan dengan formulasi definisi berbeda-beda.

Pengertian fiqih muamalah menurut bahasa adalah „pemahaman‟,

seperti sebuah pernyataan: saya memahami sebuah peristiwa.

Pengertian ini sesuai dengan arti fiqih dalam salah satu hadist “barang

siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi-Ny, niscaya diberikan kepadanya pemahaman dalam pengetahuan agama.”(HR.Bukhari)

28

Antara pakar yang mengemukan konsep dan formulasi tersebut adalah Prof. Dr. Wahbah Zuhaily. Menurut Zuhaily (1989) hukum fiqih yang terkait dengan aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang

yang mampu melakukan hukum (mukallaf), baik berupa tindakan,

akad atau transaksi lainnya, secara garis besar dapat dikategorikan

sebagai berikut: Pertama, hukum ibadah (fiqih ibadah) yang meliputi

tata cara bersuci, shalat, puasa, haji, zakat, nadzar, sumpah dan aktivitas sejenis terkait dengan hubungan seorang hamba dengan Tuhannya. Kedua, hukum muamalah (fiqih muamalah)yaitu tata cara akad, transaksi, hukum pidana, atau perdata, dan lainnya, yang terkait dengan antar manusia atau dengan masyarakat luas.

b. Muamalah

Istilah menurut bahasa yaitu, kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata amala yang artinya saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal. secara istilah muamalah merupakan sistem kehidupan. Islam memberikan warna pada setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dalam bidang ekonomi, bisnis, dan masalah sosial. Selain itu konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah atau ekonomi dan bisnis juga sangat censern dengan nilai-nilai humanisme yang berisfat Islami.

29

Nawawi (2012:10) yang mengutip buku Juwaini

mengungkapkan (2008:xviii-xxii) diantaranya adalah kaidah-kaidah

dasar fiqih muamalah yaitu sebagai berikut:

a. Hukum asal muamalah adalah diperbolehkan

b. Konsep fiqih muamalah untuk mewujudkan kemasalahan

c. Menetapkan harga dan kompetitif

d. Meninggalkan intervensi yang terlarang

e. Menghindari eksploitasi

f. Memberikan kelenturan dan toleransi.

5. Konsep Dasar Akad Dan Wakalah

a. Pengertian akad

Secara etimologi atau arti dari segi bahasa. Kata akad berasal dari

bahasa Arab, yaitu ar-rabtu yang berarti menghubungkan atau

mengaitkan, atau mengikat antara beberapa ujung sesuatu Nawawi (2012:19). Sedangkan Suhendi (2008:44-45) mengemukan pengertian akad secara etimologi mengikat atau mengumpulkan dalam dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan jalan lain sehingga tersambung, kemudian keduanya menjadi bagian dari sepotong benda, sambungan, atau sambungan yang memegang kedua ujung dan mengikatnya, janji, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah :

30

“(bukan demikan), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”(Q.S. Al-Imron:76)

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”(Q.S. Al -Maidah:1)

b. Syarat-syarat akad

Zulhaily (1989:203-205) mengungkapkan pendapat mazahab Hanafi bahwa syarat yang ada dalam akad dapat dikategorikan menjadi syarat

sah (shahih), rusak (fasid) dan syarat yang batal (bathil).

c. Rukun akad

Rukun akad dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bisa digunakan untuk mengungkapkan kesepakatan atas dua kehendak atau sesuatu yang bisa disamakan dengan hal itu dari tindakan isyarat atau kerespondensi (Al-Kasani: 132).

Menurut Mazahab Hanafi rukun yang terdapat dalam akad hanya satu,

yaitu serah terima (ijab qabul), sementara yang lainnya merupakan

derivasi dari pengucapan (shighah), artinya shighah tidak akan ada

jika terdapat deua pihak yang bertransaksi (aqid) dan objek yang

ditransaksikan (ma‟qud „alaih). Sedangkan secara operasional, yang

dimaksud aqid adalah penjual dan pembeli. Ma‟qud „alaih adalah

barang dan harga, tujuan atau maksud mengadakan akad (maudhu‟ al

31

d. Wakalah

Perwakilan (wakalah atau wikalah) berarti al-tahfidh (penyerahan,

pendelegasian, atau pemberian mandat). Pengertian yang sama menggunakan kata al-hifzhu disebut dalam surat Al-Imran:173.

Sementara menurut istilah, wkalah adalah akad pemberian kuasa (muwakkil) kepada penerimaan kuasa (wakil) untuk melaksanakaan

suatu tugas (tawkil) atas nama pemberian (Firdaus at al, 2005:58)

Menurut Ahmad (1986:110) wakalah adalah seseorang yang menyerahkan suatu urusannya kepada orang lain yang dibolehkan oleh syariah, supaya yang diwakilkan mengerjakan apa yang harus dilakukan dan berlaku dan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.

6. Konsep Riba

Menurut Suhendi (2008;57-58), pendapat para ahli fikih berkaitan dengan riba, antara lain sebagai berikut. Menurut Al-Mali, riba adalah akad yang terjadi atas pertukaran barang atau komoditas tertentu yang

tidak diketahui perimbangan menurut ketentuan syara‟, ketika berakad

atau mengakhiri penukaran kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya. Dan Abdul Rahman Al-Jaziri mengemukan, riba adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak

menurut syara‟ atau terlambat salah satunya.

32

“Orang-orang yang makan (mengabil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusanya (terserah) kepada Allah orang yang kembali (mengambil riba), maka orang ini adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (Q.S. Al-Baqarah:275)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Q.S. Al-Imran:130)

b. Hadist tentang Riba

“Allah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan

riba, dua orang saksinya, dan penulisnya (sekretarisnya)”.(HR. At

-Tirmidzi menshahihkan hadist ini)

“satu dirham riba yang dimakan seseorang dengan sepengetahuannya itu lebih berat dosanya daripada tiga puluh enam berbuat zina”(HR. Ahmad dengan sanad shahih)

33

“riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu. Pintu yang paling ringan ialah seseorang menikahi ibu kandungnya”.(HR. Al-Hakim dan ia menshahihkannya)

“jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat berkata,”apa ketujuh hal tersebut wahai Rasulullah?”Rasulullah SAW bersabda, “syirik, riba, makan harta anak yatim, melarikan diri saat perang, dan menuduh berzinawanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa dari maksiat)

7. Konsep Dasar Perdagangan

Perdagangan banyak konsep yang dalam Islam itu sudah memberikan petunjuk untuk umatnya cara berdagang yaitu:

a. Konsep perdagangan

Perdagangan atau jual beli secara bahasa (lughatan) berasal dari

bahasa Arab al-bai‟, at-tijarah, al-mubadalah artinya „mengambil,

memberikan sesuatu atau barter‟. Secara istilah (syariah) ulama ahli fikih dan pakar mendefinisikan secara berbeda-beda bergantung pada sudut pandangnya masing-masing.

Syarh Al-Munti (8/107) dan Salim (2007:418-419) mengemukan definisi yang komprehensif bahwa perdagangan adalah tukar menukar barang meskipun masih dalam jaminan atau manfaat jasa yang diperbolehakan, seperti jalan melintas di rumah dengan salah satu

34

sepadan dari keduanya, dari yang bersifat permanen tanpa unsur riba maupun piutang atau pinjaman.

Allah SWT bersabda : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada” (QS. An-Nisa: 29)

Rasulullah SAW, melakukan aktivitas jual beli dan bersabda :”orang

-orang kota tidak boleh menjual untuk -orang desa”. Dan “pembeli dan penjual mempunyai pilihan selagi keduanya belum berpisah”.(HR. Muttafaq Allah)

Menurut Nawawi (2012:77) Dalam jual beli ada beberapa syarat dan syarat yang diuraikan: Pertama, Ia harus memiliki barang yang dijualnya atau mendapatkan izin untuk menju menjualnya, dan sehat akalnya. Kedua, pembeli, Ia disyaratkan diperbolehkan bertindak dalam arti ia bukan orang yang kurang waras, atau bukan anak kecil yang tidak mempunyai izin untuk membeli. Selanjautnya yang Ketiga, barang yang dijual. Barang yang dijual harus merupakan yang hal diperbolehkan dijual, bersih, bisa diserahkan kepada pembeli, dan bisa diketahui pembeli meskipun hanya dengan ciri-cirinya.

Keempat, bahasa akad, yaitu penyerahan (ijab) dan penerimaan

35

barang ini kepadamu”. Atau ijab dan qabul dengan dengan perbuatan, misalnya pembeli berkata : ”aku menjual pakaian ini kepadamu”, kemudia penjual memberikan pakaian yang dimaksud kepada pembeli. Dan yang terakhir yaitu kerelaan kedua belah pihak, penjual dan pembeli. Jadi, jual beli tidak sah dengan ketidakrelaan salah satu dari dua pihak, karena Rasulullah SAW bersabda :”Sesungguhnya jual beli itu dengan kerelaan”.(HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan)

b. Konsep jual beli murabahah

Secara bahasa, murabahah berasal dari kata ribh yang bermakna

tumbuh dan berkembang dalam perniagaan. Dalam istilah syariah, konsep murabahah terdapat berbagai formulasi definisi yang berbeda-beda menurut menurut pendapat para ulama‟. Di antaranya, menurut ustmani (2002:125) dalam bukunya murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli yang mengharuskan penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan komditas (harga pokok pembelian) dan tambahan profit yang diinginkan yang tercermin dalam harga jual.

Pendapat lain yang dikemukan oleh Al-Kasani (tt:226-228) murabahah mencerminkan transaksi jual beli: harga jual merupakan akumulasi dari biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk mendatangkan objek transaksi atau harga pokok pembelian dengan tambahan keuntungan tertentu yang diinginkan penjual, harga beli dan jumlah keuntungan

36

yang diinginkan diketahui oleh pembeli.Artinya, pembeli diberitahu berapa harga belinya dan tambahan keuntungan yang diinginkan. Murabahah berbeda dengan jual beli biasa. Dalam jual beli

musawamah terdapat proses tawar-menawar antara penjual dan pembeli untuk menentukan harga jual, penjual juga tidak menyebutkan harga beli dan keuntungan yang diinginkan. Berbeda dengan murabahah, harga beli dan margin yang diinginkan harus dijelaskan kepada pembeli.

Perdagangan jual beli murabahah terdapat syarat dan rukun sebagai

berikut (Nawawi. 2012:92-93) : Pertama, mengetahui harga pokok. Disyaratkan bahwa harga beli harus diketahui oleh pembeli kedua,

karena hal itu merupakan syarat mutlak bagi keabsahan bai‟

murabahah. Penjual kedua harus menerangkan harga beli kepada pihak pembeli kedua. Hal ini juga berlaku bagi jual beli yang

berdasarkan kepercayaan, seperti halnya at-tauliyah, al-isyrak ataupun

al-wadli‟ah.akad jual beli ini berdasarkan pada kejelasan informasi

tentang harga beli. Jika harga beli tidak dijelaskan kepada pembeli kedua dan ia telah meninggalkan majlis, maka jual beli dinyatakan akadnya batal. Kedua, ada kejelasan keuntungan (margin) yang diinginkan penjual kedua,keuntungan harus dijelaskan nominalnya kepada pembeli kedua atau dengan menyebutkan presentase dari harga beli.

37

Margin juga merupakan bagian dari harga, karena harga pokok plus margin merupakan harga jual, dan mengetahui harga jual merupakan syarat sahnya jual beli. Yang keTiga, modal yang digunkan untuk membeli objek transaksi harus merupakan barang mitsli, dalam arti

terdapat padananannya di pasaran, alangkah baiknya jika

menggunakan uang. Jika modal yang dipakai merupakan barang gimil ghair mitsli, misalnya, pakaian dan marginnya berupa uang maka diperbolehkan.

Keempat, objek transaksi dan alat pembayaran yang digunakan tidak boleh berupa barang ribawi, seperti halnya

“menjual 100 dollar dengan harga 110 dollar, margin yang diinginkan (dalam hal ini 10 dollar) bukan keuntungan yang diperbolehkan, akan tetapi merupakan bagian dari riba. Kemudian keLima, Akad jual beli pertama harus sah adanya, artinya transaksi yang dilakukan penjual pertama dengan pembeli pertama harus sah. Jika tidak, transaksi yang dilakukan penjual kedua (pembeli pertama) dengan pembeli

kedua hukumnya fasid/rusak dan akadnya batal”

Terakhir yaitu, Bai‟ murabahah merupakan jual beli yang disandarkan

pada sebuah kepercayaan, karena pembeli percaya atas informasi yang diberikan penjual tentang harga beli yang diinginkan. Dengan demikian, penjual tidak boleh berkhianat.

38

8. Konsep Dasar Bisnis

Era modern ini bisnis sangat berkembang pesat, agama Islam sudah memberikan petunjuk dan jalan untuk berbisnis secara Islami dan yang diridhai oleh Allah SWT. Sebagai Berikut :

a. Konsep mudharabah

Istilah mudharabah berasal dari kata dharb, artinya „memukul atau

berjalan‟. Pengertian memukul atau perjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang menggerakan kakinya dalam menjalankan usaha.

Mudharabah merupakan bahasa Irak, sedangkan bahasa penduduk

Hijaz menyebut istilah qiradh.

Zuhaily (1989:836) menjelaskan, mudharabah adalah akad kerja sama

usaha antara dua pihak. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana yang menyediakan seluruh modal, dan pihak kedua sebagai pengelola usaha. Keuntungan yang didapatkan dari akad mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak dan biasanya

dalam bentuk presentase (nisbah).

Menurut Nawawi (2012:141) jika usaha yang dijalankan mengalami

kerugian maka kerugian itu ditanggung oleh pemilik modal (shahibul

mal) sepanjang kerugian bukan kelalaian mudharib. Sementara

mudharib menanggung kerugian atas upaya jerih payah dan waktu yang telah dilakukan untuk menjalankan usaha. Namun, jika kerugian

39

itu diakibatkan karena kelalaian mudharib, maka mudharib harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Pendapat lain dikemukan oleh Al-Jazari (2205:618) kerja sama dalam

permodalan (mudharabah) atau sperti contoh:

“pinjaman ialah si A memberikan sejumlah uang kepada si B untuk modal usaha dan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan yang disyaratkan keduanya, sedangkan kerugian maka ditanggung oleh pemodal saja si A, karena kerugian si B sudah cukup dengan kelelahan yang dialaminya. Oleh karena itu, ia harus dibebani dengan kerugian yang lain”.

b. Syirkah

Kerja sama dalam usaha bisnis atau perdagangan bersam dalam dunia

modern disebut dengan join-venture. Secara bahasa kerja sama (

al-syirkah) adalah „percampuran sesuatu dengan yang lain sehingga sulit dibedakan‟. Adapun menurut istilah, kerja sama adalah keikut sertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha tertentu dengan sejumlah modal yang ditetapkan berdasarkan perjanjian untuk bersama-sama menjalankan suatu usaha dan pembagian keuntungan atau kerugian dalam bagian yang ditentukan.

Menurut Firdaus (2005:43) akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan

kontribusi dana (al-mal atau expertise) dengan kesepakatan bahwa

keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

40

Seperti halnya mudharabah, musyarakah adalah akad kerja sama atau

usaha dua atau lebih pemilik modal atau keahlian untuk melakukan jenis usaha yang halal dan produktif. Bedanya dengan mudharabah adalah hal pembagian untung rugi dan keterlibatan peserta dalam usaha yang sedang dikerjakan.

9. Konsep Dasar Wakaf dan Zakat

a. Pengertian Wakaf

Secara bahasa wakaf berasal dari kata waqf yang berarti

„terkambalikan‟ (al-radi‟ah), tertahan (tahbis) tertawan (at-tasbil) dan

mencegah (al-man‟u) (Al-Khatib:319). Sementara menurut istilah

fikih, yang dimaksud dengan wakaf, sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama dan cendekiawan dengan berbagai formulasi, antara lain. Al-Khatib (81) berpendapat bahwa wakaf adalah penahanan harta yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya yang disertai dengan penyerahan benda secara terputus, dan pengelolanya sepenuhnya dikelola untuk hal-hal yang dibolehkan.

Tim penyusunan buku wakaf Departemen Agama Republik Indonesia (2005:27) menjelaskan bahwa wakaf adalah sejenis pemberian yang

pelaksanaanya dilakukan dengan menahan pemilikan asal (tahbisul

ashli), lalu menjadikan manfaat berlaku umum. Yang dimaksud

dengan tahbisul ashli adalah menahan barang yang diwakafkan itu

41

sejenisnya. Adapun cara pemanfaatannya harus digunakan sesuai

dengan memberi wakaf (wakif) tanpa imbalan.

Sedangakan menurut Nawawi (2012:241) dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya untuk digunakan dijalan kebaikan.

b. Pengertian Zakat

Menurut bahasa arti zakat ialah bertumbuh (al-numuww), seperti pada

zaka al-zar‟u; bertambah banyak dan mengandung berkat, seperti pada

zaka al-malu; dan suci (thaharah), seperti pada nafsan zakiyah, dan

aflaha man zakkaha.

Menurut istilah syara‟, zakat itu ialah sejumlah harta yang dikeluarkan

dari jenis harta tertentu dan diberikan kepada orang-orang yang tertentu, dengan syarat yang telah ditentukan pula. Harta itu disebut zakat, karena ia membersihkan orang yang mengeluarkannya dari dosa, membuat hartanya berkat dan bertambah banyak.

Zakat adalah termasuk salah satu dari rukun Islam; diwajibkan pada

tahun keduaHijriyah, atas dasar ayat-ayat al-Qur‟an dan beberapa

42

Dokumen terkait