• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum dan Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PERJANJIAN KERJA SAMA LANGSIRAN TANAH TIMBUN

A. Tinjauan Umum dan Syarat-syarat Sahnya Perjanjian

Berdasarkan kamus bahasa Belanda istilah verbintenis berasal dari kata binden artinya ikat atau mengikat, sedangkan kata perjanjian dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar janji yang dalam bahasa Belanda diartikan overeenkomst. Sedangkan istilah overeenkomst juga bisa diterjemahkan persetujuan dan persetujuan berasal dari kata dasar setuju dan kata setuju sendiri dalam bahasa Belanda diartikan overeenkomtig. Mengenai istilah memang terdapat perbedaan antara ahli hukum satu dengan ahli hukum lain. Hal ini tergantung dari sudut pandang, tinjauan dan argumentasi ahli hukum itu sendiri yang masing-masing tentu berbeda.Perbedaan para ahli hukum dalam menterjemahkan istilah Belanda ke dalam istilah hukum Indonesia adalah wajar saja karena masing-masing ahli hukum mempunyai argumentasi kuat, sudut pandang yang berbeda dan keahlian yang berbeda.Perbedaan dalam menyalin istilah Belanda ke dalam istilah Indonesia justru menunjukkan kesanggupan para ahli dalam mempelajari dan mengembangkan hukum perdata khususnya hukum perjanjian Indonesia11

Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis.Perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat). Pengertian

.

11Gunawan Widjaya.2005, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (aanvullend recht) dalam Hukum Perdata. Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, hal 249.

Universitas Sumatera Utara

perjanjian ini mengandung unsur perbuatan, satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih dan mengikatkan dirinya.Suatu perjanjian adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Selain itu merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal12

Perikatan merupakan hubungan hukum yang tercipta karena adanya peristiwa hukum antara para pihak yang melakukan perjanjian.Perikatan merupakan salah satu bentuk perjanjian yang merupakan peristiwa hukum berupa perbuatan, misalnya jual beli dan hutang-piutang.Perjanjian dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainya

.

13

Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Menurut Setiawan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Menurut Sudikmo Mertokusumo perjanjian adalah hubungan hukum antar dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaedah hukum atau hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalankan.Kesepakatan itu menimbulkan

.

12Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta. PT Inermasa.1987. hal 29.

13Abdulkadir Muhammad..Hukum Perdata Indonesia. Cetakan Ke-III. Bandung. PT.

Citra Aditya Bakti.2000. hal 225.

Universitas Sumatera Utara

akibat hukum dan bila kesepakatan dilanggar maka akibat hukumnya si pelanggar dapat dikenai akibat hukum atau sanksi14

1. Asas kebebasan berkontrak, asas ini memiliki landasan hukumnya pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan “semua persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”

yang juga menjelaskan bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian yang isisnya apa saja yang ia kehendaki.

.

Membuat ataupun melaksanakan suatu perjanjian tidak dapat dilakukan dengan sembarangan, namun dalam membuat dan melaksanakan suatu perjanjian patutnya mengetahui asas yang terdapat dalam suatu perjanjian, adapun asas-asas umum hukum dalam perjanjian tersebut antara lain:

2. Asas konsensualitas, asas ini memiliki landasan hukumnya pada Pasal 1320 angka 1 yang dalam bunyi pasalnya menyatakan salah satu sahnya suatu perjanjian jika adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan diri, hal ini dapat diartikan bahwa kata sepakat berarti telah terjadi konsensus secara tulus tidak ada kekilapan, paksaan atau penipuan (Pasal 1321 KUH Perdata).

3. Asas kepercayaan, ketika seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.

Dengan kepercayaan ini, para pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang15

14Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum. Yogyakarta. Liberty. 1990. hal 97

.

15Mariam Darus Badrulzaman,dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. hal 87.

Universitas Sumatera Utara

4. Asas kedudukan yang sama atau seimbang, asas ini dapat dikatakan memiliki dasar hukumnya pada Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata yaitu “Kecakapan untuk membuat perjanjian”. Hal ini dijabarkan kembali dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu tentang cakap dalam membuat suatu perjanjian oleh orang yang sudah dewasa menurut Pasal 330 KUH Perdata dan tidak berada di bawah pengampuan seperti pada Pasal 433 KUH Perdata. Karena apabila seseorang yang normal membuat perjanjian dengan orang yang tidak normal dalam hal fisik maupun psikologis, berarti terjadi akan ketidakseimbangan dimana kondisi orang yang secara fisik dan psikologis kuat berhadapan dengan orang yang secara fisik dan psikologis lemah, jadi suatu perjanjian dapat dibuat apabila terdapat suatu kedudukan yang seimbang diantara mereka yang akan mengikatkan diri dalam perjnjian tersebut.

5. Asas itikad baik, asas ini dapat dilihat dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad baik ini menyatakan bahwa sesungguhnya para pihak antara pihak kreditur dan pihak debitur haruslah melaksanakan suatu perjanjian dengan dilandasi itikad baik di dalamnya.

6. Asas kepastian hukum, bahwa pada Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan dalam suatu perjanjian sebagai produk hukum haruslah memiliki suatu kepastian hukum, yang mana kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya bahwa suatu perjanjian yaitu memiliki kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang.

7. Asas perjanjian mengikat para pihak, asas ini memiliki landasan hukum pada Pasal 1338 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian berlaku

Universitas Sumatera Utara

(mengikat) sebagai Undang-Undang, dan pada Pasal 1339 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa perjanjian mengikat juga untuk segala sesuatu karena sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan dan kebiasaan. Secara umumnya suatu perjanjian akan bersifat mengikat para pihak yang ikut dalam perjanjian tersebut untuk saling melaksanakan kewajibannya masing-masing sesuai yang disepakati dalam perjanjian tersebut16

Berbagai hukum perjanjian, apabila suatu perjanjian telah memenuhi semua syaratnya dan menurut hukum perjanjian telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya perjanjian tersebut mengikat dan wajib dipenuhi serta berlaku sebagai hukum, dengan kata lain, perjanjian itu menimbulkan akibat hukum yang wajib dipenuhi oleh pihak-pihak terkait, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “ Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya ”.

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah sah apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

.

a. Ada persetujuan kehendak (consensus)

Persetujuan kehendak adalah kesepakatan/kesetujuan para pihak mengenai pokok-pokok isi perjanjian yang dikehendaki oleh pihak yang satu dan juga dikehendaki oleh pihak lainya. Persetujuan tersebut sudah final, tidak lagi dalam proses perundingan. Artinya kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri, dan kemauan itu harus dinyatakan dengan tegas atau secara diam. Dengan demikian, suatu

16I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi KetentuanKetentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, 2010, hal 49.

Universitas Sumatera Utara

perjanjian itu tidak sah apabila dibuat atau didasarkan kepada paksaan, penipuan atau kekhilafan.

b. Kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian (capacity)

Kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut Undang-Undang dinyatakan tidak cakap.Adapun orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, orang yang di bawah pengampuan dan perempuan yang telah kawin17

1) Orang-orang yang belum dewasa;

.Orang yang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum berumur 21 tahun. Orang yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan; dan

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. (ketentuan ini telah dicabut oleh Surat Edaran Mahkamah Agung).

Menurut Pasal 1330 KUH Perdata menyatakan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin, apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur

17R. Soeroso. Perjanjian di Bawah Tangan (Pedoman Pembuatan dan Aplikasi Hukum), Alumni Bandung. Bandung. 1999. hal 12.

Universitas Sumatera Utara

mereka genap dua puluh satu tahun mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Pasal 433 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang dewasa, yang dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh dibawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa juga boleh ditaruh di dalam pengampuan karena keborosannya.

c. Ada suatu hal tertentu (objek)

Suatu hal tertentu yang terdapat dalam isi perjanjian yang wajib dipenuhi/prestasi disebut sebagai objek perjanjian.Kejelasan mengenai isi pokok perjanjian atau objek perjanjian adalah untuk memastikan pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak.Jika isi pokok perjanjian, atau objek perjanjian, atau prestasi perjanjian tidak jelas, sulit bahkan bila tidak mungkin dapat dilaksanakan, maka perjanjian itu batal. Menurut KUH Perdata hal tertentu adalah :

1) Suatu hal tertentu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah harus suatu hal atau barang yang cukup jelas atau tertentu yakni paling sedikit ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUH Perdata);

2) Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian (Pasal 1332 KUH Perdata)18

d. Ada suatu sebab yang halal (causa)

;

Causa atau sebab adalah suatu hal yang menyebabkan/mendorong orang untuk membuat perjanjian. Menurut KUHPerdata Pasal 1335 disebutkan bahwa

”suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang

18KUH Perdata Pasal 1332 dan Pasal 1333.

Universitas Sumatera Utara

palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Sebab yang halal menurut Pasal 1337 KUHPerdata adalah sebab yang tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak berlawanan dengan kesusilaan ataupun ketertiban umum19

1) Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu Secara umum dapat dikatakan bahwa undang-undang tidak mensyaratkan suatu perjanjian tertulis untuk sahnya suatu perjanjian, tetapi untuk perjanjian tertentu diperlukan syarat khusus agar perjanjian itu dapat mulai berlaku/mengikat, misalnya perjanjian perdamaian yang memerlukan syarat khusus berupa bentuk tertulis.

Menurut hukum yang berlaku, kedudukan syarat tertulis bagi suatu perjanjian adalah:

. Sedangkan syarat sah yang khusus perjanjian antara lain menurut Munir Fuady adalah:

a. Ketentuan umum tidak mempersyaratkan.

b. Dipersyaratkan untuk perjanjian-perjanjian tertentu.

c. Dipersyaratkan untuk perjanjian atas barang-barang tertentu.

d. Dipersyaratkan karena kebutuhan praktek.

2) Syarat pembuatan perjanjian di hadapan pejabat tertentu Selain dari syarat tertulis terhadap perjanjian-perjanjian tertentu, untuk perjanjian-perjanjian tertentu dipersyaratkan pula bahwa perjanjian tertulis tersebut harus dibuat oleh/di hadapan pejabat tertentu (dengan ancaman batal), misalnya:

a. Perjanjian hibah yang harus dibuat di hadapan notaris (Pasal 1682 KUH Perdata), untuk perjanjian hibah bagi benda tetap memerlukan syarat tambahan berupa bentuk akta otentik, sedangkan bagi benda bergerak

19KUH Perdata Pasal 1337.

Universitas Sumatera Utara

berwujud memerlukan syarat tambahan berupa penyerahan langsung bendanya.

b. Perjanjian jual beli tanah yang harus dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan di bidang pertanahan.

3) Syarat mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang Pada prinsipnya suatu perjanjian hanyalah urusan para pihak semata-mata, artinya terserah dari para pihak apa yang mau dianutnya dalam kontrak tersebut, sehingga campur tangan pihak ketiga pada prinsipnya tidak diperlukan. Akan tetapi terhadap kontrak tertentu, campur tangan pihak ketiga diperlukan dalam bentuk keharusan mendapatkan izin, misalnya:

a. Perjanjian peralihan objek tertentu, seperti perjanjian peralihan hak guna usaha atau perjanjian peralihan hak penguasaan hutan, dalam hal ini diperlukan izin dari pihak yang berwenang untuk itu.

b. Perjanjian penitipan barang yang sejati yang memerlukan syarat tambahan berupa penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau secara dipersangkakan20

Suatu perjanjian di dalamnya terdiri atas subyek dan obyek perjanjian.Pada dasarnya subyek dari perjanjian itu ialah seseorang atau pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut.Yang mana di dalam suatu perjanjian pasti terjadi suatu hubungan hukum diantara para pihak dalam perjanjian tersebut yaitu ada yang sebagai kreditur dan ada yang sebagai debitur.Seorang kreditur ialah seseorang atau pihak yang berhak atas sesuatu (prestasi), sedangkan debitur ialah

.

20Munir Fuady. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. hal. 2

Universitas Sumatera Utara

seseorang atau pihak yang berkewajiban untuk memenuhi sesuatu (prestasi) yang diperjanjikan dalam perjanjian tersebut. Suatu perjanjian tidak dapat dilakukan dengan hanya satu subyek, melainkan perjanjian dapat dilakukan dengan adanya dua subyek atau lebih, karena jika hanya suatu pernyataan sepihak saja tidak akan bisa menimbulkan suatu perjanjian.

Obyek dari suatu perjanjian adalah hal yang diperjanjikan di dalam suatu perjanjian atau yang biasa dikenal dengan istilah prestasi.Yang mana dalam hal ini seorang debitur berkewajiban memenuhi suatu prestasi dan seorang kreditur berhak atas prestasi tersebut.

Suatu prestasi dalam suatu perjanjian adalah dapat berupa barang dan jasa, maksud dari jasa sebagai obyek perjanjian adalah dengan orang dapat menjual jasa mereka sebagai sesuatu yang diperdagangkan, bukan hanya itu namun suatu sikap atau tindakan juga dapat dijadikan sebagai obyek perjanjian. Namun dalam KUH Perdata hanya menyebutkan bahwa sikap pasif dapat menjadi obyek perjanjian, yang prestasinya dapat berbentuk untuk tidak berbuat sesuatu, begitu juga kebalikan dari sikap pasif yaitu aktif sama halnya dapat menjadi obyek perjanjian21

21 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, 2010, hal 33.

.

Menurut salah seorang sarjana, Patrik Purwahid, untuk suatu sahnya perjanjian diperlukannya syarat-syarat tertentu terkait obyek perjanjian itu antara lain:

Obyeknya haruslah tertentu atau ditentukan, adalah dalam Pasal 1320 sub 3 dijelaskan bahwa obyeknya tertentu sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian.

Universitas Sumatera Utara

a) Obyeknya haruslah memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi, suatu obyek yang diperjanjikan haruslah suatu hal yang memungkinkan untuk dilaksanakan atau dipenuhi, karena jika suatu obyek perjanjian itu ialah suatu hal yang tidak mungkin atau mustahil untuk dilakukan atau dipenuhi dalam kond isi yang ditentukan maka obyek tersebut tidaklah dapat dijadikan suatu obyek perjanjian.

b) Obyeknya tidaklah suatu yang dilarang (diperbolehkan), sesuai dengan Pasal 1335 Jo. 1337 KUH Perdata yaitu bahwa suatu perjanjian tidak memiliki kekuatan mengikat jika obyeknya tidak asli atau palsu ataupun suatu hal terlarang. Dikatakan terlarang jika obyek tersebut dilarang oleh Undang-Undang ,ataupun bertentangan dengan kesusilaan ataupun ketertiban umum.

c) Obyeknya dapat dinilai dengan uang, maksudnya ialah sesuai dengan definisi yang ditentukan untuk suatu perikatan ialah sesuatu yang berhubungan hukum yang lingkupnya dalam harta kekayaan22

Dalam ilmu hukum, dikenal beberapa ajaran mengenai kapan suatu perjanjian dianggap lahir. Menurut Setiawan saat terjadinya perjanjian yaitu:

.

1. Teori kehendak (wilstheorie) Teori ini adalah yang tertua dan menekankan kepada faktor kehendak. Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu pernyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak terikat kepada pernyataan tersebut.

2. Teori pernyataan (Verklaringstheorie) Menurut teori ini, kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat berpegang kepada apa yang dinyatakan.

22Patrik Purwahid, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 3-4.

Universitas Sumatera Utara

3. Teori kepercayaan (Vetrouwenstheorie) Teori yang sekarang dianut, juga oleh yurisprudensi adalah teori kepercayaan, di mana menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya.

4. Teori ucapan (Uitingstheorie) Menurut teori ini bahwa persetujuan terjadi pada saat orang yang menerima penawaran telah menyiapkan surat jawaban bahwa ia menyetujui penawaran tersebut. Kelemahan teori ini adalah bahwa sulit untuk menentukan saat terjadinya persetujuan dan selain itu jawabannya setiap saat masih dapat berubah.

5. Teori pengiriman (Verzendingstheorie) Menurut beberapa sarjana, terjadinya persetujuan adalah pada saat dikirimkannya surat jawaban. Diterangkan selanjutnya bahwa dengan dikirimkannya surat tersebut si pengirim kehilangan kekuasaan atas surat tersebut dan lagi pula saat pengiriman dapat ditentukan secara tepat.

6. Teori pengetahuan (Vernemeningstheorie) Teori ini mengemukakan bahwa persetujuan terjadi setelah orang yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya disetujui. Kelemahan teori ini adalah sulit untuk menentukan saat diketahuinya isi surat tersebut.

7. Teori penerimaan (Ontvangstheorie) Menurut teori ini, bahwa persetujuan terjadi pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan23

Sedangkan menurut Munir Fuady, teori yang lainnya mengenai saat lahirnya perjanjian yaitu:

.

23Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Alumni, Bandung. 1979. hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

1. Teori penawaran dan penerimaan (offer and acceptance) Yang dimaksudkan dengan teori penawaran dan penerimaan adalah bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam perjanjian tersebut. Teori ini diakui secara umum dalam setiap sistem hukum, namun pengembangan dari teori ini banyak dilakukan di negara-negara yang menganut sistem hukum Common Law.

2. Teori kotak pos (mailbox theory) Menurut teori ini, suatu penerimaan tawaran dari suatu perjanjian sehingga perjanjian dianggap mulai terjadi adalah pada saat jawaban yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan ke dalam kotak pos (mailbox). Pemikiran di belakang teori ini adalah bahwa perjanjian efektif setelah pihak yang ditawari perjanjian sudah menerimanya dan sudah terlepas dari kekuasaanya, yakni ketika dia membalas surat penawaran dan memasukkannya ke dalam kotak surat.

3. Teori dugaan Teori dugaan yang bersifat subjektif ini antara lain dianut oleh Pitlo. Menurut teori ini, saat terjadinya suatu perjanjian adalah pada saat pihak yang menerima tawaran telah mengirim surat jawaban dan dia secara patut dapat menduga bahwa pihak lainnya (pihak yang menawarkan) telah mengetahui isi surat itu24

Perjanjian yang telah dibuat dan dilaksanakan oleh para pihak dapat berakhir atau hapus.Ada logika hukum tentang ini, bahwa jika perjanjian berakhir atau hapus, maka perikatan yang bersumber dari kontrak itu juga menjadi berakhir atau hapus.Sebaliknya, jika perikatan yang bersumber dari kontrak berakhir atau

.

24Munir Fuady, Op.cit., hal. 49.

Universitas Sumatera Utara

hapus, maka kontraknya juga berakhir atau hapus. Dalam kaitannya juga dengan pelaksanaan kontrak pengadaan di Indonesia, ketentuan mengenai pemutusan kontrak dapat dijumpai dalam Pasal 93 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah (selanjutnya disebut Perpres No.54/2010), sedangkan untuk penghentian kontrak diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah (selanjutnya disebut Perpres No.54/2010), melainkan dituangkan dalam Perka LKPP No.6/2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 (Selanjutnya disebut Perpres No.70/2012) tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 (Selanjutnya disebut Perpres No.54/2010) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.33 Penghentian kontrak dikaitkan dengan terjadinya keadaan memaksa/keadaan kahar (force majeur), sedangkan pemutusan dilakukan jika penyedia barang/jasa dinilai gagal melaksanakan kewajibannya.

Aturan hukum mengenai keadaan memaksa secara fragmentaris tertuang dalam BW, yakni Pasal 1235, 1244, 1245 dan 1444.Namun demikian BW tidak merumuskan batasan keadaan memaksa ini.Penilaian ada tidaknya keadaan memaksa dengan demikian, diserahkan kepada kedua belah pihak. Jika kemudian terjadi sengketa mengenai hal ini, maka pengadilan hanya akan menilai terjadinya keadaan memaksa bertitik tolak dari jenis-jenis peristiwa yang telah ditetapkan di kontrak. Penghentian kontrak juga dapat dilakukan karena pekerjaan telah selesai.

Suatu kontrak dapat terhapus atau berakhir juga, karena:

1. Para pihak menentukan berlakunya kontrak untuk jangka waktu tertentu;

2. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya kontrak;

Universitas Sumatera Utara

3. Salah satu pihak meninggal dunia, misalnya dalam kontrak pemberian kuasa, kontrak perburuhan, dan kontrak perseroan;

4. Satu pihak atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan kontrak, misalnya dalam kontrak kerja atau kontrak sewa menyewa;

5. Karena putusan hakim;

6. Tujuan kontrak telah tercapai;

7. Dengan persetujuan para pihak25.

B. Perjanjian Kerja Sama Langsiran Tanah Timbun Ditinjau dari Hukum

Dokumen terkait