• Tidak ada hasil yang ditemukan

Retorika Politik GAM dalam Pilkada Pasca-Konflik

6.1. Tipologi Audiens

Dalam buku ini, audiens (penonton) dapat dibagi menjadi setidaknya tiga tipologi. Kategori ini ditentukan berdasarkan hubungan audiens dengan retorika pembicara, keterlibatan mereka dalam topik, dan lokasi fisik mereka terhadap pembicara. Jenis audiens telah dipecah menjadi sejumlah dikotomi untuk memberikan perbandingan diantara mereka. Yang pertama adalah audiens internal dan eksternal pembicara - apakah audiens adalah pendukung atau tidak. Kemudian ada jenis audiens aktif dan pasif mengacu pada keterlibatan audiens dalam topik dan yang terakhir adalah jenis audiens yang dekat dan jauh mengacu pada keterlibatan fisik mereka dalam hal jarak dengan penutur, seperti yang menghadiri kampanye stau yang membaca berita kampanye.

6.1.1. Audiens Internal

Audiens internal didefinisikan sebagai kader, pendukung, simpatisan, elit partai, pejabat partai atau anggota partai yang diwakili dalam media. Bagaimana audiens ini diklasifikasikan berdasarkan kesepakatan mereka dengan pembicara atau gagasan tokoh mantan GAM. Hal ini lebih sering disebut sebagai audiens atau pendengar yang menguntungkan, suportif, atau spesifik (Broda-Bahm dkk: 204: 103-105; Hargie dkk 1994: 9; Sauer 1996). Audiens yang baik dapat diidentifikasi melalui persetujuan mutlak mereka (diambil dari kesepakatan khusus) dengan kubu politik mantan GAM yang mereka dukung. Mereka memulai, mendukung, dan mempromosikan

128 keseluruhan kampanye sejak awal dan karenanya juga dapat dikategorikan sebagai audiens yang mendukung, atau yang mewakili kandidat tertentu dari berbagai partai politik. Untuk mendukung hal ini, mungkin lebih mudah untuk membagi audiens dengan mengacu kembali pada tipologi tokoh mantan GAM yang disebutkan di bab sebelumnya. Paling sederhana, mereka bisa dikelompokkan ke dalam kubu PA dan kubu PNAnya Irwandi.

Pendukung, atau supporter misalnya, adalah kategori audiens internal paling sering dalam penelitian ini. Mereka mewakili dan digunakan di kedua kubu PA dan Irwandi. Kategori pendukung disebutkan 205 kali di sepanjang sampel media. Audiens internal lainnya yang juga diwakili oleh kedua kubu tersebut adalah: simpatisan, mantan GAM, tim sukses (tim kampanye pemilihan), dan konstituen.

Pentingnya menggunakan pertanyaan retoris dan meningkatkan semangat penonton ditunjukkan dengan sebuah contoh pidato yang diberikan oleh gubernur, Irwandi. Tujuan pidato tersebut adalah untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi para pendukungnya, yang dia lakukan dengan menggunakan alat retorika untuk mengajukan pertanyaan yang dia dan para audiens sudah sepakati. Pertanyaan retoris tidak memerlukan jawaban dari orang banyak, seperti yang terjadi dalam contoh ini, karena ini hanya penguatan opini yang telah disepakati. Dialah yang mengajukan pertanyaan, tapi dia juga yang menjawabnya.

Yang lebih menarik lagi adalah pertanyaan lanjutan, di mana ia menekankan posisinya sebagai pelayan yang rendah hati dengan menggunakan kata "babu" untuk menggambarkan dirinya dalam pertanyaan lanjutan. Retorika organisasi bottom-up begini sangat penting di sini; dengan mengklaim untuk membalikkan posisinya dari pemimpin ke pelayan yang rendah hati, dia memperkuat bahwa dia bukan apa-apa tanpa dukungan rakyat. Dia lebih lanjut memperkuat ini dengan menambahkan bahwa jika orang-orang bahagia, mereka tidak perlu berterima kasih kepadanya karena ini adalah tugasnya sebagai pelayan mereka; Tetapi jika mereka tidak bahagia, mereka harus memperlakukannya sebagaimana pelayan lainnya, dengan cemoohan. Kutipan media ini berasal dari Harian Aceh:

(14) DiantaranyaAceh ini milik siapa? (15) Lalu Irwandi menanyakan siapa dirinya dan Irwandi pun menjawab bahwa dirinya adalah babu Rakyat Aceh (16) Saya adalah pesuruh anda. (17) Kalau senang tidak perlu terimakasih (18) Tapi kalau tidak senang, silahkan caci maki saya.

129 Dalam sambutannya, seperti dikutip oleh Rakyat Aceh, Abu Razak menekankan pentingnya menjaga ketertiban, menegakkan hukum, mempromosikan perdamaian dan menghindari agitasi konflik bagi semua anggota tim kampanye termasuk kader, dan partai politik pendukung:

(7) Tim Pemenangan Pusat dr. Zaini-Muzakkir menegaskan kepada semua kader, timses, dan

partai-partai pendukung serta ormas-ormas yang tergabung dalam tim relawan agar selalu mengedepankan perdamaian, menjaga semua potensi persinggungan dengan berbagai pihak

(Rakyat Aceh, ―Menangkan Suara Rakyat Dengan Damai,‖ 22.3.2012)

Audiens, sebenarnya sudah memiliki kecenderungan terhadap salah satu kekuatan politik. Dalam kampanye pemilihan, audiens jenis ini mudah dimanipulasi untuk memperkuat konsolidasi internal satu kubu politik, rival, atau khalayak eksternal lainnya. Hubungan antara audiens dan pembicara dapat berlanjut ke komitmen emosional dan/atau pribadi lainnya. Diasumsikan bahwa audiens internal adalah elemen kunci dalam mempertahankan dominasi dan mengendalikan tingkat dukungan dalam pemilihan.

6.1.2. Audiens Eksternal

Audiens eksternal adalah mereka yang belum berkomitmen, belum merupakan bagian dari kesepakatan internal masa lalu dari retorika pembicara. Audiens jenis ini dapat mempertimbangkan kembali kesepakatan politik mereka setiap saat, dan tidak diwajibkan untuk melakukan tindakan segera (Sauer 1996). Contoh audiens eksternal eksplisit adalah jurnalis atau editor kepala. Mereka sangat dominan dan disebutkan 378 kali dalam media terpilih.

Salah satu contoh gaya retorika Irwandi yang bebas gangguan dalam menangani audiens eksternal, terutama reporter media, adalah menggunakan humor, tapi yang terpenting, ia sering bersikap random dalam menjawab dan mengalihkan topik yang diprakarsai jurnalis. Dalam sampel

dari Serambi Indonesia di bawah ini, ketika ditanya oleh seorang jurnalis apa yang mungkin dia

lakukan setelah dia tidak lagi bertugas, Irwandi menjawab dengan gaya humor lucu saat menghindari pertanyaan dengan mengatakan bahwa satu-satunya keahliannya adalah mengemudi dan dia akan sangat ingin mengemudikan mobil gubernur yang baru terpilih seandainya ia kalah dalam pemilihan yang akan datang. Hal ini mencerminkan gaya santai dan kemampuan multi talenta sebagai pemimpin dan sebagai orang biasa. Menjadi gubernur atau tidak, baginya, tidak serumit yang dipikirkan orang. Dia tidak terganggu apakah dia akan menjadi gubernur atau tidak. (19) Saat ditanya wartawan apa yang akan dilakukan setelah tidak menjabat lagi, Irwandi secara spontan menjawab. (20) ―Keahlian saya hanya sopir. (21) Kalau tidak terpilih lagi nanti saya ingin menjadi supir gubernur terpilih saja,‖ …

130 (Serambi Indonesia, ―Irwandi Disambut Kalungan Bunga,‖ 11.2.2012)

Netral, ragu-ragu, atau universal adalah istilah lain yang dapat digunakan untuk menggambarkan jenis audiens ini (Broda-Bahm dkk, 204: 103-105; Fuertes dan Pelegrin 2000). Mereka bisa termasuk: pemimpin universitas, akademisi, intelektual, tamu, masyarakat, pengunjung, gubernur, pejabat pemerintah, pelajar, guru, polisi, pemuda, tokoh masyarakat, anggota KIP, pengusaha, relawan, aktivis, dan banyak lagi. Mari kita ambil satu contoh nyata dari The Atjeh Post mengenai bagaimana segmen audiens eksternal ini ditangani oleh Malik Mahmud, yang selama kunjungannya ke IAIN Ar-Raniry, mendesak para akademisi untuk bekerja sama mengembangkan Aceh:

(21) Itu sebabnya, ia mengajak para intelektual untuk bersama-sama memikirkan kemajuan Aceh ke depan

(The Atjeh Post, ―Malik dan Zaini Sambangi IAIN Ar-Raniry,‖ 6.3.2012)

Tipe audiens eksternal lainnya terdiri dari anggota yang mencurigakan, tidak menguntungkan, atau antagonis dan berhubungan dengan cara setiap kubu menggambarkan kandidat yang sedang bersaing (Hargie dkk.1994: 9). Untuk mengidentifikasinya, seseorang harus dengan hati-hati melihat kutipan yang terperinci, termasuk konteks situasional. Pendukung PA dan semua turunan dan variasinya akan dianggap sebagai penonton eksternal bagi Irwandi dan para pendukungnya. Itu juga bekerja dengan cara yang sama untuk PA dan, dalam melihat pendukung Irwandi sebagai audiens eksternal mereka. Oleh karena itu, Irwandi akan dianggap sebagai lawan utama kandidat PA, sementara kandidat PA akan menjadi tantangan serius bagi Irwandi, seperti yang dapat dilihat di petisi media The Globe Journal di sini:

(14) Dia mengatakan bahwa yang membunuh Cage adalah orang-orang suruhan yang berada di sebelah “sana.”

(The Globe Journal, ―Tgk Agam Kampanye di Blang Asan,‖ 25.3.2012)

Penggunaan "di sana" disamarkan oleh Irwandi, karena dia tidak menentukan siapa pelaku, tapi langsung menyerang sasarannya, yaitu PA. Di sini, kesalahan yang tidak dikonfirmasi diarahkan ke pesaing, yang kemudian nampaknya berevolusi menjadi musuh. Pernyataan implisit Irwandi secara asosiatif diarahkan pada pembunuh bayaran PA yang tidak diketahui. "Dia bahkan dengan berani menggunakan kata "pembunuh" di akhir kalimat, namun PA tidak disebutkan secara jelas oleh Irwandi .

131 Tuduhan itu abstrak dan bukan ditentukan secara pasti saat ia menggantinya dengan kata "di sebelah sana." Jika "di sini" didefinisikan sebagai "kita" - kamp Irwandi - maka "di sebelah sana" pasti PA. "Sisi ini" versus "sisi itu" merupakan retorika spasial di media yang digunakan oleh Irwandi untuk menggambarkan pembunuh Cage, seorang komandan lapangan mantan GAM di Bireun yang dilaporkan menjadi pembantu utama Irwandi. Strategi "penyamaran" retoris telah dieksploitasi dengan luar biasa dalam kasus ini. Dalam tradisi bahasa di Aceh, eksploitasi retoris semacam itu dapat ditelusuri kembali ke sebuah pepatah tradisional yang terkenal, yang secara intensif digunakan oleh tokoh-tokoh petinggi GAM selama kampanye pemilihan:

“Meunyo kon ie-ka teuntee leuhob, meunyo kon tanyoe pasti gop.”

Gambaran citra ini ditampilkan dalam pernyataan Muzakir di mana dia menyebutkan ketidaktepatan JKA dengan tuduhan tersirat Irwandi, sasaran klaimnya yang tidak terverifikasi. Muzakir tidak menyebutkan nama Irwandi pada kesempatan ini, sebaliknya dia menggunakan program populis Irwandi yang diciptakan selama masa jabatannya untuk menggambarkannya seperti yang dikutip dalam kutipan media The Globe Journal:

(3) Menurutnya, JKA banyak memberi obat-obat yang sudah kadaluarsa kepada masyarakat yang berobat di situ.

(The Globe Journal, ―Muzakir Manaf Bilang JKA Tidak Efektif,‖ 26.3.2012) 6.1.3. Audiens Aktif

Audiens aktif adalah penonton yang berorientasi pada sasaran; Mereka secara kritis dan aktif terlibat dalam proses komunikasi yang berlangsung selama kampanye (Berger 2005). Mereka sebagian besar dikategorikan di sini sebagai audiens netral atau eksternal, meskipun beberapa di antaranya mungkin juga sudah berpihak ke salah satu kubu. Sebagai audiens aktif, misalnya, wartawan yang diundang dalam sebuah konferensi media yang diadakan oleh kandidat politik di mana para jurnalis secara aktif terlibat dalam meminta, mengomentari, dan/atau bahkan tidak setuju dengan pernyataan kandidat.

Sampel audiens aktif dalam buku ini juga termasuk audiens intelektual saat para kandidat mengunjungi kampus universitas. Pemirsa aktif juga bisa menjadi tokoh partisan bagi satu kekuatan politik. Keterlibatan aktif mereka biasanya didorong oleh kebutuhan untuk menantang kandidat oposisi dan untuk melihat kelemahannya di depan umum, seperti di media, atau untuk memperdebatkan kepatutan dan ketokohan seorang kandidat. Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut dari Harian Aceh:

132 (13) Saat ditanyakan motivasi dirinya maju sebagai cabup Pidie 2012-2017 mantan panglima GAM Wil.Pidie ini menjawab ringkas kepada wartawan, kalau dirinya ingin memerdekakan rakyat Pidie dari kemiskinan, ketertinggalan pendidikan dan ketidakadilan

(Harian Aceh, ―Pariwara-Tgk Sarjani Abd: Lanjutkan Perjuangan,‖ 2.4.2012)

Ini adalah bagian dari berita advertorial Harian Aceh oleh Sarjani Abdullah, mantan komandan lapangan GAM di Pidie dan pemimpin PA/KPA di Pidie, yang mencalonkan diri dalam Pilkada di Pidie, kabupatennya. Pertanyaan kritis wartawan tersebut dijawab oleh Sarjani dengan cara klasik seorang politisi. Dia menguraikan tiga isu mendasar yang memotivasi dia untuk menjadi pemimpin lokal, yaitu kemiskinan, pendidikan, dan ketidakadilan. Respons berbasis isu semacam itu dapat diartikan sebagai saran langsung terhadap situasi sekarang. Tapi, mereka menambahkan beberapa nuansa kemampuan pribadi yang meningkatkan citra calon sebagai pemimpin paling mumpuni dari semua kandidat. Ini adalah pertanyaan simbolik yang biasanya diajukan oleh pekerja media yang mencari isu penting dalam pemilihan. Sebaliknya, pertanyaan yang mencerahkan dapat mengungkapkan kepada publik tentang tujuan kandidat yang sebenarnya dan apa program, maksud, atau latar belakang yang mereka bawa ke pencalonan.

Kekuatan persuasi untuk meyakinkan kaum intelektual sebagai audiens yang aktif, dengan sendirinya merupakan representasi yang cenderung berpengaruh: Mengapa? karena hal ini menjembatani, dengan cara berbicara yang baik, kondisi nyata ketidaksepahaman antara pembicara dan penonton dan langkah untuk meyakinkan audiens agar berada di dan mendukung kubu mereka.

Kutipan berikut mendramatisir hal ini dengan menempuh jarak temporal panjang "29 tahun" dan keterpencilan geografis "Swedia-Indonesia" antara Zaini dan audiens intelektualnya yang diterbitkan di Serambi Indonesia. Zaini kemudian mengklasifikasikan kelompok akademis dan intelektual sebagai satu bagian penting dari keseluruhan masyarakat Aceh. Kunjungannya ke IAIN kemudian ditujukan untuk memperbaiki hubungan yang terputus dan mengurangi "jarak.":

(9) Selama ini, kata Zaini, ada jarak yang memisahkan dirinya yang pernah menjadi warga negara Swedia dan hidup di pengasingan hingga 29 tahun, dengan Rakyat Aceh, termasuk para akademisi.

(Serambi Indonesia, ―Malik dan Zaini Sambangi IAIN,‖ 7.3.2012) 6.1.4. Audiens Pasif

Kategori penonton ini ditandai dengan ketidakaktifannya dan dapat dengan mudah dipengaruhi oleh berita, rumor, atau berita yang belum dikonfirmasi yang terus berlanjut yang datang ke mereka (Berger 2005). Sebagian besar jenis penonton ini juga dapat ditemukan di audiens spesifik

133 atau internal. Mereka adalah kader, simpatisan, partai politik dalam koalisi, pendukung, atau anggota partai yang datang ke kampanye publik terbuka. Namun audiens ini memiliki sedikit kesempatan untuk bertukar ide dengan elite mereka atau pihak lawan. Namunini adalah pengamatan sementara yang masih bisa diperdebatkan dan sangat bergantung pada konteks.

Sebagai pendukung, calon pemilih ibarat menjadi objek yang diperebutkan antara dua partai lawan. Pendukung terkadang hanya berfungsi sebagai elemen yang penggembira untuk membantu mencapai keinginan politik kandidat. Klaim untuk menerima dukungan dari satu elemen masyarakat tertentu khas dalam lanskap politik ini dan keduanya dilakukan oleh kedua kubupolitik. Contoh berikut diambil dari The Globe Journal:

(1) Jika kubu Partai Aceh (PA) didukung oleh mantan Pangdam Iskandar Muda, kubu Irwandi juga punya pendukung kalangan militer, yaitu mantan Tentara Nanggroe Aceh (TNA), seperti Muksalmina, Muharram, mantan panglima sagoe Lhoknga, Tgk Jailani, dan beberapa ule sagoe diseluruh Aceh.

(The Globe Journal, ―Mantan TNI Dukung PA, Eks TNA Dukung Irwandi, ‖ 13.2.2012.

Dimensi yang diperebutkan yaitu "pendukung" dapat diamati disini. Di satu sisi, PA mengklaim mendapat dukungan politik dari mantan jenderal militer Indonesia. Sebaliknya, untuk menempatkan kubu Irwandi dalam posisi setara dengan PA, tim Irwandi juga mengklaim menerima dukungan dari (internal) bekas militer GAM, seperti Muksalmina dan Muharram Idris, dua mantan komandan lapangan GAM. Taktik semacam itu disertai dengan sedikit sentuhan, terutama ketika menyangkut deklarasi dukungan dari kalangan militer. Jika PA mengumumkan bahwa mantan jendral tentara Indonesia mendukung kandidat mereka, maka kamp Irwandi juga mengumumkan dukungan militer, namun dukungan tersebut bukan dari mantan jenderal militer Indonesia. Sebagai gantinya, itu berasal dari mantan komandan lapangan GAM.

Oleh karena itu ada dua dukungan "sama" yang dibahas di sini. Pertama, para pendukung berada di antara personil "militer", dan kedua, keduanya dikelompokkan sebagai lingkaran militer "nasional", walaupun kenyataannya istilah "militer nasional" dari masing-masing kubu yang berlawanan ini maknya jelas berbeda. Untuk kamp Irwandi, dukungan "militer nasional" berarti mantan komandan pasukan bersenjata Nasional Aceh (TNA), namun untuk PA itu jelas berarti mantan jenderal militer Indonesia (TNI). Sejalan dengan ini, ada kaitan menarik dari pernyataan ini dengan satu peribahasa lama Aceh yang berpendapat bahwa orang Aceh terlahir sebagai pemenang yang disengaja (tapi keras kepala) dan mereka tidak ditakdirkan menjadi pecundang:

“Ureung Aceh, bek kheun talou, seurie pieh han jitem.” (―Orang Aceh, jangankan kalah, seri saja mereka tidak terima.‖)

134 6.1.5. Audiens Dekat-Jauh

DeWerth-Pallmeyer (2013) menggunakan istilah audiens eksplisit dan implisit untuk mengkategorikan berbagai jenis audiens di media. Dalam buku ini, saya akan menggunakan tipologi ini, namun dengan gagasan yang sedikit berbeda. Kategori audiens eksplisit dan implisit akan digantikan dengan istilah audiens dekat dan jauh. Diharapkan perubahan ini tidak akan mengubah substansi, namun tetap akan mempertahankan makna yang dimaksud oleh penulis asli (DeWerth-Pallmeyer).

Menurut tipologi ini, penonton dikategorikan berdasarkan kehadiran mereka dalam kaitannya dengan pembicara. Misalnya, ketika wartawan menghadiri konferensi media yang diadakan oleh kandidat politik, maka wartawan tersebut akan dianggap cocok dengan kategori audiens dekat. Di sisi lain, ketika seorang jurnalis tidak hadir secara fisik di media konferensi atau acara media, namun menerima informasi melalui sumber tidak langsung atau sekunder, mereka mungkin termasuk dalam kategori audiens yang jauh. Dalam jenis ini, audiens mendapatkan informasi dan

update dari juru bicara partai politik atau pejabat hubungan masyarakat mengenai satu peristiwa

politik tertentu atau satu masalah, tuduhan, atau klaim khusus yang disengketakan. Mari kita lihat contoh berikut dari The Atjeh Post untuk melihat perbedaan antara kedua audiens ini dalam konteks kampanye pemilihan gubernur Aceh 2012:

(3) Intinya adalah apa yang akan kami lakukan para eks kombatan disaat ini,‖ kata Sofyan Dawood kepada wartawan di sela-sela pertemuan di Hermes Palace Hotel...

(The Atjeh Post,―Sofyan Dawood: Kami Membuat Partai Baru untuk Melawan PA,‖ 16.2.2012)

(2) ―Pemberhentian anggota DPRA hal biasa, karenanya jangan disikapi secara berlebihan atau menjadi polemik di kalangan masyarakat,‖ ujar Darwis melalui siaran pers yang disampaikan ke sejumlah wartawan di Bireuen…

(The Atjeh Post, ―Soal PAW Kader PA, Darwis Jeunieb Bilang Jangan Jadi Polemik Berlebihan, ”28.2.2012)

Contoh di atas menggambarkan audiens dekat dan jauh. Contoh pertama adalah dari sebuah pernyataan oleh Sofyan Dawood pada briefing media tanpa latihan persiapan, dalam pertemuan beberapa mantan pejuang pro-Irwandi untuk membentuk sebuah partai politik lokal baru untuk menantang PA. Hal ini diarahkan pada jurnalis yang berkumpul di ruang konferensi. Contoh kedua menguraikan pernyataan resmi Darwis Jeunieb secara tidak langsung melalui sebuah rilis media untuk audiens jurnalis (jauh) yang berada di Bireun mengenai pemecatan beberapa legislator PA karena mendukung nominasi gubernur di Irwandi. Contoh yang diberikan Sofyan sangat jelas. Ini menggambarkan jurnalis di tempat yang dekat. Namun, dalam contoh kedua, wartawan itu berada pada jarak yang jauh, dan karenanya, harus dicapai dengan cara siaran media

135 tertulis yang didistribusikan ke setiap jurnalis yang mereka kenal di Bireun. Peredarannya bisa melalui surat elektronik atau melalui pos.

6.1.6. Kesimpulan: Trikotomi yang Tumpang Tindih pada Pengelompokan Audiens Dalam situasi perebutan kekuasaan, termasuk dalam pemilihan, kendali penonton sangat menentukan. Kampanye politik adalah kondisi di mana keseluruhan retorika politik, dan memang, sumber daya politik secara kolektif dan kumulatif memastikan dominasi yang intens dan terus menerus terhadap audiens yang ditargetkan. Mereka yang memegang kekuasaan dalam hierarki politik mantan GAM yang terpecah dalam kampanye pemilihan gubernur 2012 sering kali berusaha menjangkau audiens yang beragam. Ini juga berlaku untuk kampanye pemilihan lokal di masyarakat pasca perang Aceh yang dibumbui dengan persaingan ketat dalam menarik perhatian audiens.

Hal ini sebagiannya dapat dilihat sebagai upaya orang-orang yang memiliki kekuatan di institusi tertentu yang melihat kepentingan politik mereka sebagai suatu hal yang sangat terkait dengan audiens. Tetapi faktor yang lebih penting dalam mengumpulkan dukungan dari audiens mungkin melalui pengaruh pribadi seorang politisi lewat media massa. Seperti Katz dan Lazarsfeld (1970: 309) berpendapat, kebanyakan orang "membentuk pendapat mereka di bawah pengaruh pemimpin opini," dan populasi audiens yang lebih luas tetap tidak berdaya dan tidak aktif dalam proses politik. Pertanyaannya adalah, siapa sebenarnya pemimpin opini? Jika jawabannya adalah bahwa politisi yang menentukan agenda publik, maka audiens akan ditarik tanpa berpikir kritis karena politisi menggunakan atau bahkan mengendalikan media massa yang secara langsung atau tidak langsung melegitimasi tindakan politik mereka. Kendati demikian, analisis cara media massa mengendalikan politisi, dan dengan demikian, audiens, mungkin juga menjelaskan hubungan antara audiens dan politisi.

Tipologi audiens internal-eksternal, aktif-pasif dan dekat-jauh yang dipaparkan di sini harus disebut sebagai tipologi kharakteristik audiens, namun harus diasumsikan bahwa definisi kerja yang diberikan di sini bersifat internal dan saling tumpang tindih. Misalnya, audiens aktif (seperti jurnalis) dapat, pada saat bersamaan, termasuk dalam kategori audiens netral, dekat atau eksternal. Dalam konteks ini, "trikotomi" mengacu pada tiga pembagian tipologi audiens. Dengan demikian, tipologi audiens di sini secara universal didasarkan pada klasifikasi persepsi hubungan audiens dengan retorika pembicara, keterlibatan dengan topik, dan lokasi fisik audiens sehubungan dengan pembicara.

136 Ini mungkin sangat penting untuk melengkapi argument tentang tipologi audiens sebelumnya dan ini sangat krusial karena digunakan dalam keseluruhan wacana. Audiens internal ramah dan sudah yakin; Ini memberi persetujuan akhir terhadap ideologi para politisi. Politisi telah berhasil memenangkan persetujuan dari audiens ini atau setidak-tidaknya menyetujui pelaksanaan kekuasaan mereka. Audiens eksternal mencakup audiens yang netral dan ragu-ragu yang dapat mengevaluasi kembali pilihan mereka jika perlu, namun sampai batas tertentu, politisi mungkin menganggapnya kurang praktis dan kurang signifikan untuk mendapatkan persetujuan mereka, terutama jika memerlukan waktu lebih lama untuk meyakinkan mereka.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa Irwandi menjalankan retorika organisasi bottom-up, strategi pembalikan peran, taktik "penyedia layanan", di depan audiens internal dan pendukungnya. Sebaliknya, PA, di depan audiens internal dan pendukungnya, mendesak mereka untuk menjaga perdamaian dan ketertiban dan untuk melawan konflik. Selain itu, data tersebut memberikan bukti umum bahwa cara Irwandi berbicara kepada audiens eksternalnya adalah melalui citra humor spontan dan santai dengan strategi mengalihkan wartawan dari pertanyaan serius. Tapi dia juga bisa menggunakan tuduhan "lain" yang tegas, langsung, dan berani seperti saat dia menuduh partai "di sana" menyewa "pembunuh bayaran." Sebaliknya, PA bergantung pada retorika monoton dan standar dengan audiens eksternalnya, tapi

Dokumen terkait