• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa dan Politik Mantan GAM di Media: Retorika Politik di Aceh Pascakonflik. oleh. Saiful Akmal. Penerbit Ar-Raniry Press

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bahasa dan Politik Mantan GAM di Media: Retorika Politik di Aceh Pascakonflik. oleh. Saiful Akmal. Penerbit Ar-Raniry Press"

Copied!
239
0
0

Teks penuh

(1)

Bahasa dan Politik Mantan GAM di Media:

Retorika Politik di Aceh Pascakonflik

oleh

Saiful Akmal

Penerbit

Ar-Raniry Press

(2)

Bahasa dan Politik Mantan GAM di Media: Retorika Politik di Aceh Paska-Konflik

Penulis : Saiful Akmal

Editor : Jarjani Usman ISBN : 978-623-7410-37-9 Ukuran Buku : 15.5 x 23 cm

Penerbit : Ar-Raniry Press

Redaksi : Jl. Ar-Raniry No. 1 Komplek Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh, 23117

Email : arraniry.press@ar-raniry.ac.id

Ditributor Tunggal:

PT. NASKAH ACEH NUSANTARA

Jl.Lemreung, Desa Ie Masen, No.11, Spg. 7 Ulee Kareng-Banda Aceh, 23117 Telp./Fax.: 0651-7315103

Email. : nasapublisher@yahoo.com www.naskahaceh.com

Cetakan pertama, Januari 2021 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin dari penerbit.

(3)

Daftar Isi

Kata Pengantar Penulis ...Error! Bookmark not defined.

Bab 1: Berpolitik Melalui Bahasa di Aceh: Sebuah Pengantar ... 1

Bab 2: Pilkada dan Retorika: Seni Bahasa Kampanye Politik ... 8

Bab 3: Desain Studi Bahasa dan Politik ... 26

Bab 4: Dari GAM menuju Mantan-GAM ... 32

Bab 5: Retorika Politik Mantan GAM dalam Pilkada Pasca-Konflik... 52

Bab 6: Perbandingan Retorika Politik Pragmatis Mantan-GAM ... 127

Bab 7: Bahasa, Konteks, dan Retorika Idiosinkratik Politisi ... 195

(4)

Pengantar Penulis

Buku ini mencoba menjejaki bagaimana retorika politik mantan GAM selama masa kampanye pemilihan gubernur Aceh tahun 2012 di beberapa media di Aceh. Retorika politik tidak hanya menganalisis arti sempit, mikro dan mekanis dari aspek linguistik yang relevan dengan politik, tetapi juga penggunaan wacana yang lebih luas, makro, sistematis dan strategis. Retorika politik semacam ini tampaknya direkayasa, baik sebagian atau seluruhnya, untuk meningkatkan kemungkinan mereka memenangkan pemilihan demokratis kedua di Aceh pasca konflik. Lebih jauh lagi, buku ini berfokus pada aktor retorika (retor) - strategi, persamaan dan perbedaan mereka yang dimuat pada koran cetak dan surat kabar online (portal news).

Buku ini mencoba untuk menemukan bagaimana pola retorika digambarkan di media dan dapat mendorong keputusan politisi untuk menyesuaikan dengan aspek-aspek sosial politik lainnya. Sebagai contoh, buku ini menjelaskan tentang interaksi antara dua kandidat yang berlawanan secara ideologi dan praktik retorika mereka. Buku ini akan memberikan konteks yang relevan tidak hanya untuk menyelidiki kebaruan retorika kandidat politik mantan GAM, namun juga untuk mendapatkan wawasan yang lebih komprehensif mengenai strategi retorika yang dipilih dan digunakan di media. Di sisi lain, ini adalah keuntungan substansial bahwa adaptasi retorika domestikasi dipelajari dalam konteks dan garis waktu historisnya. Pemahaman yang lebih dalam tentang peran pola retorika dalam kampanye politik pascakonflik dapat diperoleh dengan memperhatikan kondisi politiknya.

Buku ini juga diharapkan berkontribusi tidak hanya bagi para pembuat kebijakan tetapi juga untuk memperkaya literatur tentang bahasa, media, dan studi politik dalam beberapa cara. Hasil kajian buku ini dapat dianggap sebagai evaluasi awal strategi retorika yang digunakan oleh kandidat dalam pemilu pascakonflik di Aceh.Mengingathal ini belum dipelajari secara khusus di daerah-daerah pascakonflik di Indonesia, khususnya di Aceh, dimana studi tentang transformasi organisasi eks-GAM telah dominan. Perbandingan strategi tokoh eks-eks-GAM memberikan kesempatan untuk pertimbangan studi interdisipliner yang lebih baik.

(5)

Pada tingkat sosial dan politik, buku ini bertujuan untuk memberikan kontribusi sederhana terhadap pengembangan studi bahasa, media, dan politik dalam kerangka retorika yang memungkinkan integrasi metode dan pendekatan di tingkat institusional, seperti di universitas, politik dan organisasi sosial, juga di media. Pentingnya buku ini terletak pada potensinya untuk membantu menjelaskan interaksi politik dan proses konstruksi sosial yang berimplikasi pada pengakuan publik terhadap politisi. Selain itu, pemahaman kampanye politik yang spesifik namun kontekstual dalam situasi pascakonflik dapat menjadi tonggak sejarah untuk merancang dan menerapkan strategi retorika yang lebih mudah disesuaikan dalam praktik terkait.

(6)

1

Bab 1

Berpolitik Melalui Bahasa di Aceh: Sebuah Pengantar

―Politik dan bahasa adalah aspek fundamental kecerdasan manusia…

[dan] alat pertahanan intelektual‖ (Chomsky 1988: 610-630). 1.1. Mengapa Aceh?

Kebebasan berpendapat tidak terbukti di Aceh. Runtuhnya rezim Soeharto mengakibatkan lahirnya ―masa kegelapan‖ lain bagi rakyat Aceh di satu sisi, dan terbukanya keran demokrasi dan kebebasan berpendapat di JakartaMeski awalnya terlihat ada secercah harapan ketika Habibie menggantikan Soeharto dan saat Gus Dur memimpin terobosan perundingan perdamaian dan membuka "jendela peluang" untuk perdamaian antara tahun 2000 dan 2001 (Heiduk 2007; Ananta dan Onn eds. 2007), tetap saja periode antara tahun 2000 sd. 2004, Aceh masih berada dalam salah satu masa tergelapnya.. Tidak lama kemudian, pemerintah nasionalis pimpinan Megawati Soekarnoputri, pemimpin atau Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (selanjutnya disebut PDI-P), memaksa rakyat Aceh untuk menjalani status darurat militer pada tahun 2004. Darurat militer, bagaimanapun, hanya akan menyebabkan penguatan gerakan separatis di Aceh seperti yang terjadi sebelum jatuhnya Soeharto. Perlakuan militer yang terus-menerus dan represif telah memperkuat dukungan rakyat terhadap GAM dalam menghadapi operasi shock therapy (Kell 1995). Megawati juga melarang aktivis asing memasuki Aceh, dan pada saat yang sama malah memberlakukan pembatasan ketat terhadap liputan media dan operasi di Aceh (Yunidar 2009; Barron & Burke 2008). Untuk pengembangan media di Aceh, efeknya jelas. publikasi, tulisan, dan berita dilarang dan dikuasai oleh kebijakan pemerintah Jakarta. Akibatnya, media di Aceh terkekang.

Bahkan, diskusi khusus tentang bahasa, media, dan politik, khususnya selama masa konflik di Aceh sangat langka. Sebagian besar karya terfokus pada, misalnya, latar belakang konflik (Reid 2005; Davies 2006; Drexler 2009), pengembangan ideologi separatisme dan nasionalisme (Aspinall, 2009), atau perlakuan Jakarta terhadap Aceh (Miller, 2008). Di antara karya akademis yang jarang dikenal adalah karya Sudibyo (2001) dan Yunidar (2009). Jika sudut pandang Sudibyo terbatas pada catatan kecil tentang liputan media kritis terhadap GAM di empat surat kabar tingkat nasional selama konflik tersebut, Yunidar menawarkan studi terperinci mengenai bahasa politik dua surat kabar tingkat nasional yang paling populer, yaitu Kompas dan Republika. Hal ini sangat menarik untuk disorot karena

(7)

2 ia mencoba untuk ―melihat hal yang tak terlihat" tentang praktik media dari "perspektif internal." Sebagai pelopor penting dalam studi retorika media Aceh, ia memilih satu isu dengan membingkai analisisnya tentang liputan media nasional selama pelaksanaan darurat militer oleh Megawati antara bulan Mei dan Oktober 2003. Yunidar, yang berasumsi bahwa adanya ketidakadilan media selama konflik Aceh, berpendapat bahwa Kompas menawarkan para pembaca pemberitaan yang provokatif dan negatif tentang Aceh dengan menjebaknya dalam "jurnalisme perang," yang cenderung mendukung operasi militer. Sebaliknya, bahasa yang digunakan di Republika terikat pada sebuah "jurnalisme perdamaian" yang lebih menekankan retorika berita tentang penderitaan masyarakat lokal daripada fokus terhadap pemberitaan perang antara Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya TNI) dan GAM (Yunidar 2009: 196-197).

Bersamaan dengan tragedi tsunami tahun 2004 yang menghancurleburkan Aceh dan "jalan buntu yang menyakitkan" antara elite GAM dan birokrat Indonesia, perselisihan politik Indonesia berubah menuju pada kesepakatan perdamaian di Aceh (Aspinall 2005, 2009). Dampak langsung dari kesepakatan ini adalah masa depan Aceh yang lebih menjanjikan. Pemilihan lokal yang damai telah berlangsung, walaupun beberapa orang mengklaim bahwa mereka sedang berlangsung di bawah "demokrasi yang meragukan" (Clark & Palmer 2008). Ini agak mirip dengan "demokrasi sulit" Indonesia di era awal pasca-reformasi (Hara 2001). Rekonstruksi pasca-bencana juga merupakan bagian integral dari rekonstruksi politik (Clarke dkk. 2010).

Hal yang sama berlaku untuk media, Perdamaian telah menciptakan ruang bagi pertukaran gagasan, di mana ruang publik dan media sekarang terbuka untuk semua orang. Setelah beberapa kali gagal, publik menjadi terbiasa dengan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan dengan menantang penyalahgunaan kekuasaan oleh elit lokal. Pada saat bersamaan, ada juga tren lain yang mencakup publikasi lokal positif, kegiatan penerbitan buku, dan pertukaran pendapat di media yang berusaha mendominasi, mempengaruhi, dan memanipulasi satu sama lain. Tokoh-tokoh terkemuka GAM juga merupakan bagian dari dinamika ini. Setelah mendapat kemenangan telak dalam pemilihan lokal langsung pertama dalam situasi pasca konflik, mereka harus berurusan dengan rilis media politik, kampanye Pemilu, dan wawancara dan sangat terpapar perhatian publik melalui media. Mereka sekarang menjabat posisi politik publik sebagai gubernur, kepala parlemen, walikota, dan bupati serta mendirikan organisasi politik seperti Partai Aceh (selanjutnya disebut PA) dan Komite Peralihan Aceh (selanjutnya disebut KPA) . Media baru-baru ini telah memburu pendapat mereka dan masyarakat menunggu pernyataan dan tanggapan mereka.

(8)

3 Buku ini menekankan pada eksplorasi praktik retorika di media, dan yang lebih penting lagi, peran mereka dalam kampanye Pemilu gubernur tahun 2012. Tokoh-tokoh terkemuka GAM telah dipilih sebagai objek analisis homogen. Dengan demikian, memungkinkan dilakukan konsistensi dalam analisis, tidak hanya karena peran komando GAM dalam persiapan Pemilu, namun juga karena karakteristik individu yang unik. Buku ini mencoba untuk menemukan bagaimana pola retoris digambarkan di media terpilih dan untuk mengidentifikasi cara-cara gerakan retoris yang dapat mendorong keputusan politisi. Ini juga memperkenalkan praktik retoris melalui bahasa yang digunakan di media Aceh terpilih, khususnya edisi online dan surat kabar online terkemuka dan portal berita terkemuka dalam kampanye pemilihan gubernur tahun 2012. Selain itu, cara ini dapat mengeksplorasi persamaan dan perbedaan tokoh eks-GAM di media Aceh terpilih. Hal ini mencakup penjelasan tentang interaksi antara dua kandidat yang berlawanan dan praktik retorika mereka. Dengan cara ini, fokus pada konsep analisis retoris dalam melakukan politik melalui bahasa yang digunakan untuk merumuskan kerangka dan penjelasan dari temuan. Kerangka kerja ini hanya berfungsi sebagai titik keberangkatan. Oleh karena itu, kerangka ini tidak dapat diigunakan secara langsung dalam setiap kasus, karena analisis retoris dikenal karena fleksibilitas dan inklusivitas pendekatan analitik sosio-politik lainnya. Walhasil, praktik retorika yang digunakan beragam, namun terlokalisasi dan terbatas di pemilihan umum (Pemilu) pascakonflik Aceh.

Diharapkan buku ini akan memberikan konteks yang relevan tidak hanya untuk menyelidiki kebaruan retorika kandidat politik mantan pemberontak, namun juga untuk mendapatkan wawasan yang lebih komprehensif mengenai strategi retorika yang muncul di media. Di sisi lain, ini adalah keuntungan substansial bahwa adaptasi retorika domestikasi dipelajari dalam konteks dan garis waktu historisnya. Pemahaman yang lebih dalam tentang peran pola retoris dalam kampanye politik pascakonflik dapat diperoleh dengan memperhatikan lingkungan politiknya.

1.4. Objektif Buku

Buku ini berkontribusi bukan hanya bagi para pembuat kebijakan, tetapi juga untuk literatur tentang bahasa, media, dan studi politik dengan beberapa cara. Pertama, hasilnya dapat dianggap sebagai evaluasi awal strategi retorika yang digunakan oleh kandidat dalam Pemilu pascakonflik di Aceh. Ranah ini belum dipelajari secara mendalam di daerah-daerah pascakonflik di Indonesia, khususnya di Aceh, di mana studi tentang transformasi organisasi eks-GAM justru lebih dominan. Perbandingan strategi tokoh eks-GAM memberikan kesempatan untuk pertimbangan studi interdisipliner yang lebih baik.

(9)

4 Pada tingkat sosial dan politik, buku ini bertujuan untuk memberikan kontribusi sederhana terhadap pengembangan studi bahasa, media, dan politik dalam kerangka retorika yang memungkinkan integrasi metode dan pendekatan institusional, seperti di universitas, politik dan organisasi sosial, juga perusahaan media. Pentingnya penelitian ini terletak pada potensinya untuk membantu menjelaskan interaksi politik dan proses konstruksi sosial yang berimplikasi pada pengakuan publik terhadap politisi. Selain itu, pemahaman kampanye politik yang spesifik namun kontekstual dalam situasi pascakonflik dapat menjadi tonggak sejarah untuk merancang dan menerapkan strategi retorika yang lebih mudah disesuaikan dalam praktiknya.

Pada tingkat pribadi, tujuannya adalah untuk mengkolaborasi pemenuhan latar belakang akademis penulis sebagai dosen universitas; ketertarikan saya pada bahasa, politik dan media; dan keinginan untuk mengenalkan Indonesia pada umumnya dan Aceh secara khusus sebagai salah satu bagian dunia yang paling dinamis dan demokratis menjadi satu karya akademis. Akhirnya, buku ini menawarkan kesempatan bagi saya dan peminat topik-topik yang sama lainnya dalam melakukan analisis lebih lanjut dalam topik ini, mulai dari dalam konteks lokal, nasional, hingga internasional.

1.5. Istilah Kunci

Buku ini berusaha untuk mengungkapkan retorika pencalonan eks-GAM di media-media di Aceh pascakonflik. Hubungan antara politik dan bahasa yang dipraktikkan oleh eks politisi GAM dan yang digambarkan di media Aceh hampir tidak ada yang diteliti. Kesenjangan ini adalah salah satu elemen terpenting dalam keseluruhan evaluasi narasi pascakonflik di Aceh. Hal ini perlu difokuskan untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang dinamika politik aktual di Aceh.

Apalagi proses kompleks untuk memenangkan Pemilu melalui bahasa politik eks-GAM membutuhkan penjelasan yang lebih rinci. Buku ini membahas beragam ciri khas eks-GAM di lima surat kabar lokal dan portal berita Aceh terpilih untuk mengungkap praktik retorika kampanye tersebut. Meskipun tidak ada argumen, hasil, atau temuan dari buku ini yang dapat diterapkan pada konteks lain, mungkin layak untuk melihat pada lingkungan tertentu yang terbatas. Selain itu, dengan sifat komparatif mantan pejuang yang berbeda, buku ini mungkin menyarankan model teknik retorika di antara begitu banyak alternatif keahlian retorika yang diperlukan dalam Pemilu pascaperang dan pascakonflik di masyarakat yang berpenduduk mayoritas Muslim seperti di Aceh. Melalui penjelasan multi-sisi ini, diharapkan muncul pemahaman baru tentang gaya retorika tokoh terkemuka GAM di Aceh pascakonflik.

(10)

5 Eks-GAM

Dalam buku ini, eks pejuang merujuk pada eks-GAM. GAM adalah Gerakan Aceh Merdeka, sebuah gerakan yang mendeklarasikan kemerdekaan Aceh Sumatera Nationalist and Liberalist State (ASNLF) pada tahun 1976. Kemudian diintegrasikan kembali ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya NKRI) setelah kesepakatan damai yang ditandatangani di Helsinki pada tahun 2005. Proses reintegrasi sosial dan politik untuk anggota eks-GAM telah membuat mereka membentuk pemerintah pemberontak. Banyak eks-pejuang dan simpatisan GAM di bawah panji PA dan calon independen saat ini menjabat sebagai legislator, gubernur, walikota, dan bupati. Tokoh eks-GAM terkemuka didefinisikan di sini sebagai mereka yang memegang kekuasaan, status politik dan terekspos perhatian media. Perlu dicatat bahwa penggunaan terminologi "eks-GAM" di Aceh setelah penandatanganan perdamaian masih dapat diperdebatkan. Di satu sisi, ada orang-orang yang percaya bahwa GAM sudah tidak ada lagi, namun mereka telah diintegrasikan kembali ke dalam NKRI. Di sisi lain, mereka percaya bahwa GAM masih ada, karena kesepakatan tersebut mengindikasikan bahwa perjanjian tersebut ditandatangani oleh GAM sebagai organisasi yang memenuhi syarat dan dikenal secara internasional. Berikut adalah nama-nama tokoh eks-GAM. Mereka diseleksi berdasarkan publikasi mereka yang konsisten di media-media terpilih di Aceh dan peran penting dan status mereka dalam organisasi eks-GAM.

Tabel.1.1: Beberapa Tokoh Eks-GAM Terpilih

No Nama Jabatan

1 Zaini Abdullah Gubernur 2 Muzakir Manaf Wakil Gubernur

3 Irwandi Yusuf Eks-Gubernur/Kandidat Independen 4 Malik Mahmud Wali Nanggroe (selanjutnya WN) 5 Hasbi Abdullah Ketua DPRD

6 Sofyan Dawood Ketua Tim Kampanye Irwandi 7 Adnan Beuransyah Ketua Komisi A DPRD Aceh 8 Mukhlis Abee Juru bicara KPA

9 Abu Razak Ketua Tim Kampanye PA

10 Muslim Hasballah Eks-Bupati & Eks-GAM/Kandidat Independen (Aceh Timur) 11 Nurdin Abdurrahman Eks-Bupati & Eks-GAM/Kandidat Independen (Aceh Timur) 12 Darwis Jeunieb Ketua KPA Bireun

Retorika Politik

Pada dasarnya, konsep retorika politik serupa dengan "bahasa politik" yang berbeda dengan "politik bahasa". Dalam buku ini, istilah pertama retorika politik mengacu pada bagaimana bahasa digunakan secara khusus dalam tindakan politik, bagaimana pembicara mempraktikkannya, dan pengaruh pilihan bahasa pada khalayak politik. Ini juga disebut "bahasa politik." Sementara itu, istilah politik bahasa yang kemudian terkait erat dengan politisasi kebijakan bahasa tertentu di satu daerah atau

(11)

6 negara tertentu. Namun, bahasa politik di sini juga sama dengan retorika politik. Alasannya adalah bahwa retorika politik mengekspos praktik retorika sebenarnya dari politisi tertentu dalam peristiwa politik yang diantisipasi melalui media yang berusaha meyakinkan para pendukungnya untuk mendukung tujuan politik mereka..

Pilkada

Dengan menggunakan analisis retorika politik dalam politik Pemilu berarti setiap pernyataan, komentar, dan kutipan oleh tokoh-tokoh pemberontak eks-GAM di media Aceh selama kampanye Pemilu gubernur tahun 2012. Analisis tersebut berkaitan dengan kata-kata, pesan, isu atau topik para politisi eks-GAM, lokasi kampanye, dan pemilihan saluran atau metode kampanye di media Aceh melalui "pembacaan teks secara dekat." Contoh dan kutipan dari bagian-bagian yang dipilih akan berguna dalam mengungkapkan pendekatan retoris ini dalam konteks Pemilu.

Pascakonflik Aceh

Konteks pascakonflik di sini adalah pemilihan gubernur langsung tahun 2012 yang dilaksanakan di Aceh setelah kesepakatan damai ditandatangani tanggal 15 Agustus 2005. Ada dua pemilihan gubernur di Aceh sejak penandatanganan Memorandum of Understanding Helsinki (selanjutnya MoU Helsinki). Pemilihan gubernur demokratis pertama tanggal 11 Desember 2006 secara mengejutkan dimenangkan Irwandi Yusuf, mantan ahli strategi GAM yang berpasangan dengan mantan aktivis mahasiswa Muhammad Nazar sebagai wakil gubernurnya dari jalur independen. Pada tanggal 9 April 2012, partai lokal eks-GAM berpartisipasi untuk pertama kalinya dalam pemilihan gubernur kedua dengan Zaini Abdullah, mantan menteri kesehatan dan menteri luar negeri GAM di pengasingan yang berpasangan dengan mantan komandan tertinggi GAM Muzakir Manaf. Dalam buku ini, pemilihan gubernur kedua Aceh berfungsi sebagai fokus analisis.

1.6. Mengatasi Rasa Ingin Tahu

Dalam sistem pemilihan demokratis Indonesia saat ini, "retorika Pemilu," sebagaimana Robertson (1995) menyebutkannya, memainkan peran penting dalam kampanye pra-Pemilu. Tidak seperti sistem pemungutan suara lama di mana pemimpin lokal dan nasional dipilih oleh perwakilan parlemen, pemilihan langsung pascareformasi berlangsung dalam sistem yang menyediakan pemerintahan yang lebih otonom dan terdesentralisasi. Sistem pemilihan langsung ini menggunakan sistem perhitungan "satu orang satu suara". Akibatnya, kandidat, karena tingkat keterpaparan publik mereka yang lebih tinggi, harus sangat terampil dan pandai secara fasih menarik perhatian para pemilih. Dengan kata lain, tindakan retoris melalui bahasa politik dalam sebagian besar kasus pemilihan akan menentukan hasil akhir dari kontes politik.

(12)

7 Studi ekstensif tentang hasil keunikan retoris dalam konteks tertentu tentu sudah banyak dianalisis. Studi-studi ini, bagaimanapun, mengeksplorasi hanya keterlibatan dinamis dan korelasinya, terutama penjelasan di balik pilihan spesifik pendekatan retoris dalam lingkup politik yang terkontekstualisasi dan dimediasi. Namun, sebagian besar studi ini dilakukan dalam konteks makro di lingkungan sosial dan politik Indonesia, yang karakteristiknya berbeda secara signifikan dari pengalaman di Aceh. Akibatnya, ada kesenjangan pengetahuan mengenai sejauh mana praktik retorika semacam itu digunakan di media Aceh pascakonflik. Untuk alasan ini, maksud utamanya adalah menganalisis strategi retorika yang dipilih di media dari eks-GAM dan latihan mereka dalam situasi politik yang baru muncul dan kuat. Secara lebih khusus, buku ini akan menjawab permasalahan berikut ini:

1. Bagaimana retorika politik eks-GAM di media Aceh yang terpilih?

2. Pola retoris apa yang dipraktikkan dan disukai oleh tokoh-tokoh ini untuk meyakinkan audiens di media?

3. Apa persamaan dan perbedaan yang mungkin muncul dari poin satu dan dua diatas?

4. Apa topik yang paling umum diangkat oleh politisi eks-GAM di media Aceh? Dan bagaimana pelaksanaannya selama kampanye Pemilu di media Aceh terpilih?

(13)

8

Bab 2

Pilkada dan Retorika: Seni Bahasa Kampanye Politik

―Epistemologi, sejarah, dan teori yang mendasari bidang tidak dapat dipisahkan dari retorikanya‖ (Bazerman 1988:324).

Politik dan bahasa tidak dapat dipisahkan, seperti banyak ilmuwan telah menunjukkannya. Misalnya, Joseph berpendapat (2007: ix), bahasa sejatinya adalah "politik dari atas ke bawah." Selanjutnya, Schäffner (1996: 1) mengemukakan bahwa "setiap tindakan politik dipersiapkan, disertai, dikendalikan dan dipengaruhi oleh bahasa." Tidak mengherankan bila para politisi menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan politik mereka. Chilton (2003: 6) berpendapat bahwa "aktivitas politik tidak ada tanpa penggunaan bahasa." Politisi juga menggunakan strategi linguistik tertentu untuk membujuk dan membentuk pola pikir pemirsa atau opini publik untuk membenarkan kebijakan mereka. Buku ini membahas bagaimana bahasa, seperti argumen Beard (2000: 2) digunakan oleh politisi atau "mereka yang ingin mendapatkan kekuasaan, mereka yang ingin menjalankan kekuasaan, dan mereka yang ingin mempertahankan kekuasaan."

Oleh karena itu, diasumsikan bahwa ada saling keterkaitan antara bahasa, politik, dan media. Perdebatan saat ini tentang retorika dalam bahasa kampanye politik berpusat pada dua isu utama. Yang pertama menyangkut fakta bahwa kandidat politik di arena demokratis didesak untuk memberikan argumen yang tepat, logis, relevan untuk mencapai status politik yang diakui. Bagi seorang politisi, sangat penting bahwa strategi retorika mereka bisa dibilang rasional dan relevan (Banker 1992). Status ini penting tidak hanya untuk mendemonstrasikan dominasi politik terhadap kandidat lainnya, namun yang terpenting adalah menjanjikan perbaikan selama masa jabatan. Hal ini harus mencerminkan komitmen aktual politisi terhadap konstituen mereka. Dengan demikian, pengembangan praktik retoris dalam pertemuan politik modern membutuhkan kemampuan komunikatif yang superior dan upaya persuasi yang intens. Mengingat pentingnya retorika dalam konstruksi citra politisi, kemampuan kandidat untuk membedakan diri dari pesaing mereka dalam kampanye politik merupakan bukti lebih lanjut dari persyaratan ini.

2.1. Kandidat sebagai "Seniman Retoris"

Tujuan keseluruhan dalam mempelajari bahasa politik terdengar cenderung retoris; yaituuntuk mengembangkan pemahaman komprehensif tentang strategi komunikatif politis yang istimewa melalui media dalam aktivitas politik tertentu. Sebagai cara khusus untuk membangun praktik sosial

(14)

9 tertentu, retorika politik relatif penting. Meskipun tidak ada daftar prosedur otomatis yang pasti untuk menentukan bahasa politik apa yang harus dianalisis, namun tetap penting karena kita berurusan dengan bahasa dan politik setiap hari, dan kita dapat menegosiasikan makna sepanjang proses alami interaksi sosial. Namun, ada perdebatan mengenai apakah politisi selalu berusaha mempersiapkan pengetahuan politik mereka dalam kampanye, atau apakah politisi secara tidak sengaja terpapar dengan bahasa yang secara spontan mereka gunakan dalam kampanye. (Parkin 1984; Corcoran 1979).

Mengingat sifat retorika politik yang diskursif, Walter dan Helming (2008: 118-131) mengingatkan bahwa "bahasa tidak hanya berperan dalam perundingan politik, tapi juga politik itu sendiri." Proporsi bahasa yang sangat tinggi dalam politik urusan manusia terdiri dari mediasi pidato, tulisan atau teks orang-orang terkemuka di kehidupan publik. Oleh karena itu bahasa secara politis, atau lebih tepat, secara ideologis, sangatlah kuat dalam konstruksi sosial masyarakat modern (Fairclough 2001: 2-4). Dalam penerapannya, argumen politik mengandung makna linguistik dan kepercayaan politik secara bersamaan (Geis 1987: 7). Chilton dan Schäffner (1997) juga menawarkan wawasan mereka tentang hal ini sebagai berikut:

Dapat dipastikan bahwa politik tidak dapat dilakukan tanpa bahasa, dan mungkin saja penggunaan bahasa dalam konstitusi kelompok sosial mengarah pada apa yang kita sebut "politik" dalam arti luas. (206) Mungkin penting untuk bertanya tentang apa yang khas tentang orasi umum dengan menggunakan bahasa, persuasi, dan retorika sebagai sarana utama dalam kerangka "politik yang dimediasi." Sebaliknya, ini mengacu pada, misalnya, penggunaan bahasa persuasi dan retorika dalam kampanye Pemilu atau debat kandidat. Selain itu, mengingat beragam keluaran bahasa dalam produksi media, ini akan membantu mengingat jenis produksi tertentu di media, yaitu retorika politik. Hal ini juga membantu untuk menentukan aspek dan jenis retorika mana yang dipilih selanjutnya.

Isu utama lainnya dalam perdebatan mengenai retorika dalam bahasa kampanye politik adalah kesan yang mungkin muncul dari permainan retorika kandidat di media yang dapat membentuk tanggapan penonton. Politisi perlu menyuarakan retorika mereka melalui media. Mereka harus bisa menyesuaikan diri dengan cepat dalam situasi tertentu sedang terjadi. Hart dkk. (2013: 3: 120) berpendapat bahwa seseorang harus menjadi "seniman retoris" untuk terjun ke dalam karir politik yang serius. Ketidakmampuan para pemimpin untuk menawarkan topik atau tema yang sesuai dalam retorika mereka dapat membuat para pemilih tidak atau enggan berpartisipasi dalam proses politik. Oleh karena itu, kandidat mungkin mencoba memanipulasi penonton dengan kemasan retorik yang luar biasa. Ini senada dengan argumen Kaylor (2010: 9) bahwa setiap jenis institusi politik, termasuk

(15)

10 parlemen dan partai politik, sebenarnya adalah nama lain untuk "institusi retoris," adalah akurat. Hal ini mungkin terjadi ketika kandidat membuat gambaran yang sukses dari citra diri mereka, dapat dibenarkan, dan mempresentasikan bahwa seolah kandidat lainnya gagal, tidak layak, atau tidak sah, sementara ia pada dasarnya di saat bersamaan mengabaikan pandangan para pemilih.

Kenyataannya, masing-masing kandidat menerapkan praktik retorika yang berbeda-beda ke dalam institusi di mana retorika politik itu dilakukan (Fairclough 2003: 162). Retorika unik ini akan mengeksploitasi suara politisi vernakular atau politisi lokal secara lebih aktual. Adalah wajib bagi politisi untuk memiliki cara mereka sendiri untuk memilih kosakata yang tepat agar bisa menang dalam sebuah kontes politik yang sengit. Tetapi, dengan menggunakan gaya retorika yang lebih individual mungkin praktik retoris gagal memenuhi harapan publik karena pencitraan pribadi seorang politisi tidak dapat menembus kesadaran audiens. Misalnya, dalam studi kasus politik di Bulgaria, Dosev (2012: 114-127) berpendapat bahwa pencitraan personal di bidang politik memainkan peran penting dalam pencitraan publik di mana mitos-mitos yang diciptakan sengaja digabungkan dengan metafora yang rumit untuk memenangkan suara penonton demi tujuan politik.

Berbagai jenis komunikasi di ranah politik memerlukan strategi retorika yang berbeda. Dalam kasus kampanye Pemilu, strategi utama mengikuti karakter penonton atau peserta, menyesuaikan batasan waktu, dan menyesuaikan diri dengan saluran komunikasi yang ada (metode kampanye). Jelas ada perbedaan penting dalam sifat retoris ini. Perubahan strategi atau tema mencerminkan pencitraan pribadi kontemporer dalam budaya politik promosi dan pemasaran politik (Wernick 1991; Johnson-Cartee dan Copeland 1997; Scammel 1999; Corner 2007; Steger dkk., 2013). Aspek linguistik murni dari kampanye politik dan Pemilu juga telah dipelajari, seperti dalam studi Sutopo (2009) dalam konteks politik kontemporer Indonesia, dalam praktik diskursif populisme (Kumar 2014), bias media (De Nooy & Kleinnijenhuis 2013), dan komunikasi politik umum (McNair 2011; Trent & Friedenberg 2008).

Jika suatu pemahaman dasar bahasa kampanye politik adalah komunikasi dan retorika, gagasan kata dan simbol menjadi penting di era "driven market politics" sekarang ini (Newman 1999: 2-7). Buku ini secara khusus menganalisa kampanye Pemilu. Secara sederhana, meminjam kata-kata Trent dan Friedenberg (2000), buku ini berfungsi sebagai fase pra-utama dari transaksi retoris di mana para pemilih terekspos kepada para kandidat melalui media dalam tindakan komunikasi simbolis, instrumental, dan pragmatis. Esensi komunikasi politik pada tahap ini adalah "pembicaraan" sebagai bagian dari interaksi manusia (Shea & Burton 2001: vii) dan untuk memenangkan suara pemilih. Jadi, orang yang melakukan pembicaraan adalah kandidat politik dengan bahasa yang dipersiapkan dan

(16)

11 dibuat. Jadi, dalam setiap kegiatan kampanye politik, orang akan fokus pada retorika politik kandidat untuk meyakinkan orang untuk memilih mereka.

2.1. Hipotesis Retorika

Gambaran hipotetis retorika, menurut saya, harus menghubungkan sejauh mungkin karakteristik retorika yang umum dikenal di dunia nyata daripada hanya bersandar pada teori yang kadang sangat kaku dan tidak fleksibel. Oleh karena itu, pilihan kata-kata yang digunakan harus diambil dari makna leksikal dari kata "retorika" dalam praktik sehari-hari. Dalam usaha ini, penting untuk diketahui sejak awal bahwa ada perbedaan yang signifikan antara makna kata "retorika" seperti yang ditemukan dalam kamus dan maknanya dalam pemakaian sehari-hari. Pembedaan tersebut tidak dapat dihilangkan karena mencakup ciri dasar retorika yang mungkin memiliki dampak penting untuk memahami istilah tersebut. Penting untuk ditunjukkan bahwa kata "retorika" dalam pemahaman dan bahasa ibu kita, yaitu Bahasa Indonesia (bahasa nasional resmi Indonesia) dan Bahasa Aceh (bahasa daerah), sering dipahami dan digunakan sebagai pembicaraan kosong atau "No. Action, Talk Only "(NATO). Terlebih lagi, perbedaan makna ini dapat mempersulit definisi teoretis tentang retorika dari perspektif penggunaan pada umumnya.

Sederhananya, kata "rhetoric" dalam bahasa Inggris sudah menunjukkan beberapa karakteristik yang penting dalam pembangunan terminologi teknis retorika. Juga, retorika menurut definisi dalam bahasa Inggris pada umumnya dipahami sebagai keterampilan menggunakan bahasa dalam pidato atau tulisan dengan cara khusus untuk mempengaruhi atau menghibur orang dan identik dengan "pidato" atau "kefasihan." Di samping itu, terkadang sulit untuk menentukan maksud ―retorika‖. Ini tidak dapat diukur seperti matematika atau fisika, melainkan seperti praktik perumusan isi lisan dan tulisan. Ini dapat memiliki efek "filosofis" dan "praktis" (Covino dan Jolliffe 1995: 3-26).

Kata "rhetoric" dalam Bahasa Inggris atau ―retorika‖ dalam versi Bahasa Indonesia, berasal dari kata Yunani "rhetor", yang secara harfiah berarti seorang pembicara, terutama di pengadilan umum, atau hanya seorang politisi (Kennedy ed. 1991: 9). Filusuf Yunani kuno Aristoteles menulis di salah satu karya awalnya, "On Rhetoric": "Biarkan retorika [didefinisikan] sebagai kemampuan, dalam setiap kasus [khusus], untuk melihat sarana persuasi yang ada" (dikutip di Kennedy ed. 1991: 37). Oleh karena itu, definisi utama studi retorika adalah seni persuasi (Leach 2000), walaupun bagi Perelman (1979), yang dikenal sebagai ahli retorika modern, retorika adalah penalaran logis melalui argumentasi.

(17)

12 Cockcroft dan Cockcroft (1992) mendefinisikan retorika sebagai wacana persuasif. Kata "wacana" di sini mengacu pada sarana komunikasi lisan maupun tulisan. Dalam sebuah deskripsi yang lebih luas, Foss (1989: 4) mengemukakan bahwa retorika tidak terbatas pada efektivitas wacana lisan atau tulisan, namun secara universal dikenal sebagai "komunikasi." Oleh karena itu, dengan meminjam bentuk persuasi Aristoteles (Kennedy 1991: 21), dapat dipahami bahwa cara beretorika muncul dalam aktivitas komunikatif manusia yang diterapkan secara luas baik dalam artistik (dengan argumen logis) dan komunikasi non-artistik (dengan bukti langsung). Ini mencerminkan upaya retorika berkembang definisinya dari awalnya dipahami 'hanya' sebagai suplemen "(Gaonkar 1999: 195). Hal ini memicu diskusi yang sedang berlangsung mengenai apakah retorika haruslah sesuatu yang"besar", umum, dan modern atau, sebagai gantinya, retorika dimaknai sebagai sesuatu yang "kecil", klasik, pelengkap, dan terbatas pada praktik spesifik (McCloskey 1997).

2.2. Asal-Usul Retorika

Di dunia Barat, retorika digunakan sebagai "seni" untuk meyakinkan penonton agar mereka dapat meelusuri kembali Era Sophistik Yunani kuno. Corax of Syracuse, yang hidup sekitar tahun 465 SM menulis "Art of Rethoric " Terdiri dari tiga buku, "Art of Rhetoric" memperkenalkan prinsip dasar kritik retoris, mengkategorikan jenis retorika, menjelaskan tiga cara persuasi dan menguraikan unsur-unsur gaya dalam retorika. Kemudian, Socrates (436-338 SM) mengemukakan bahwa politik dan retorika tidak dapat dipisahkan. Argumen ini kemudian diikuti oleh Plato (427-347 SM), murid Socrates, yang menentang retorika karena ia melihatnya sebagai seni memanipulasi orang. Plato lebih memperhatikan isi retorika daripada hal lainnya selain penampilan pada pidato publik. Aristoteles (384-322 SM ) menguraikan secara garis besar seni retorika sebagai bagian penting dari tindakan manusia dan menjadi orang pertama yang mencoba mensistematisasikan retorika menjadi satu kesatuan pemikiran (Murphy dkk 2013; Foss dkk 1985).

Pada Abad Pertengahan (35-95 M), pengacara Romawi Quintilian mendirikan "The Institutes of

Oratory" (93 M) dan mengajarkan seni berorasikepada murid-muridnya sebagai "orang baik adalah

yang berbicara dengan baik." Selama masa renaissance, ilmuwan Prancis Peter Rasmus mengurangi praktik retorika ke status yang lebih di bawah, dimana retorika hanya dibatasi sebagai logika yang hanya terdiri dari gaya dan pengiriman. Setelah ini, retorika selama abad 16 dan 19 mengalami perkembangan signifikan yang melibatkan tiga tren, yaitu: epistemologis yang memberi penekanan lebih besar pada asal usul, sifat, dan metode, belletristik yang lebih berfokus pada estetika sastra, dan elokusi yang berpusat pada penyampaian metode ilmiah (Foss dkk 1985).

(18)

13 Menurut Oliver (1995: 353-363), retorika di dunia Barat sama sekali berbeda dari Timur. Dalam ceramahnya tentang budaya dan retorika, Oliver berpendapat bahwa retorika Barat diilhami oleh tradisi Helenistik dan Athena. Sedangkan di Timur, terutama di awal-awal budaya Tionghoa, lebih terinspirasi oleh Tzu-Ssu, cucu Konfusius, di mana berbicara dianggap sebagai pokok sarana tindakan. Pada masa Cina kuno, retorika berarti tanggung jawab dan komitmen antarpeserta komunikasi untuk menciptakan harmoni, tidak hanya untuk meyakinkan atau meyakinkan penonton.

Mengenai retorika Islam klasik, Lewis (1991: 2) menulis, "tidak ada perbedaan antara Gereja dan negara," sesuatu yang dipahami oleh dunia Barat dalam agama. "Kesalahan alami" yang menghakimi ini, seperti yang Lewis katakan dalam studinya tentang bahasa politik Islam, hanya dipelihara dalam tradisi Barat, dan tidak dalam tradisi Muslim. Sejalan dengan Oliver dan Lewis, Al-Qaradhawi (2004), seorang cendekiawan Muslim kontemporer, mencirikan sifat retorika Islam baik sebagai ucapan dan tindakan, sikap dan kebijakan dalam semua aspek kehidupan. Dia mengidentifikasi retorika Islam sebagai sarana untuk menunjukkan nilai-nilai universal Islam terhadap masyarakat moderat dan peradaban. Universalitas ini, menurut Al-Qaradhawi, tidak mematuhi aturan pemisahan masjid dan negara, kesenjangan antara kehidupan duniawi dan akhirat, atau pemisahan antara ibadah dan kehidupan sosial-politik. Universalitas Islam mencakup Islam klasik dan modern, sesuatu yang Lewis mungkin abaikan dalam studinya.

Tentu saja, retorika berfungsi sebagai sarana komunikatif yang penting dalam semua aktivitas manusia. Keterampilan retorika dipikirkan secara alami dan mungkin menjadi melekat dalam sejarah dan alam manusia. Seperti Foss dkk. (1985: 21-22) berpendapat, retorika menempati peran sentral dalam pengetahuan manusia dan seharusnya tidak didevaluasi sebagai sub-disiplin periferi pada bidang studi lainnya. Selanjutnya, retorika, menurut Smith (2012: 3) adalah "kunci pendidikan: tempat koneksi untuk banyak disiplin ilmu," sebuah terobosan yang diberikan kepada manusia.

2.3. Teori Retorika

Teori retorika umumnya dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu konseptual dan pragmatis. Secara umum, teori konseptual atau epistemik memandang retorika sebagai pengetahuan, sedangkan teori pragmatik melihat retorika sebagai tindakan dan praktik. Tentu saja, sebagian besar pandangan tentang retorika ini dirancang sebagai fondasi untuk bekerja pada studi retorika dalam perdebatan ilmiah. Hal yang akan dibahas di sini dapat dianggap sebagai gambaran awal teori retoris.

(19)

14 Mari kita mulai dengan teori konseptual. Berlin (1987: 6-15) dalam monografnya menyajikan taksonomi teori retoris pada abad kedua puluh: 1) objektif, 2) subyektif, dan 3) transaksional; Teori obyektif didasarkan pada pengamatan positivistik. Salah satu ciri penting teori retoris ini adalah bahwa fenomena dianggap nyata bila berada di dunia material dan dapat dikonfirmasikan secara empiris. Berlin kemudian mengkategorikan retorika behavioris, semantik, dan linguistik masuk dalam kategoriteori objektif. Kemudian, teori retoris subjektif didasarkan pada pencarian individu untuk sebuah kebenaran, terlepas dari dunia empiris yang mengelilinginya. Teori ini berakar pada idealisme filosofis Plato. Teori transaksional, sebaliknya, adalah kebenaran retoris yang ditentukan dari interaksi simultan antara fenomena empiris dan situasi retoris di satu sisi, dan kontak antara dunia objektif dan subyektif, di sisi lain. Menurut Berlin, retorika klasik, kognitif, dan epistemik termasuk dalam teori retorika transaksional. Selain Berlin, d'Angelo (1975) juga merangkum keberadaan kompetensi retoris, dan bukan kinerja retoris, dalam teori konseptualnya. Dia menekankan proses alami dan sifat bawaan pola pikir manusia dalam mengembangkan retorika.

Sekarang kita beralih ke teori pragmatik retorika. Berbeda dengan kompetensi retoris d'Angelo, Beale (1987: 2) menguraikan perlunya mengevaluasi kinerja retoris. Meskipun ia kemudian mengakui bahwa baik kinerja retoris maupun kompetensi retoris atau linguistik harus saling melengkapi satu sama lain untuk membentuk dasar yang solid bagi kritik retoris. Ia menganut sistem penjelasan "yang ketat dan tidak reduktif" dalam metode retoris, yang mempertimbangkan struktur dan realitas sosial budaya (1987: 3). Teori pragmatiknya didasarkan pada "tata bahasa semi kuadran dari motif" yang terdiri dari tindakan, kontemplasi, referensi, dan non-referensi, dan sangat dipengaruhi oleh motif tata bahasa Burke (1969) (Beale 1987: 10-11). Aksi dan kontemplasi terikat pada sumbu formatif-performatif, sementara referensi dan non-referensi terkait dengan sumbu referensi-tropologis. Model relasi Beale menggambarkan keempat sumbu motivasi ini. Dia mengasumsikan kontemplasi dan hubungan referensi untuk memiliki tujuan ilmiah, tindakan dan referensi untuk memiliki tujuan instrumental, kontemplasi dan tidak mengacu pada tujuan puitis, dan tindakan dan tidak mengacu pada tujuan retoris dalam wacana (Beale 1987: 11).

2.4. Aspek Retorika

Retorika dapat diimplementasikan untuk tujuan manipulatif dan informatif. Jika seorang politisi dengan kemampuan retoris tingginya dapat bersikap manipulatif dan tidak jujur, ia juga dapat memberikan kebijakan asli yang mereka yakini. Jadi, tidak ada jawaban sederhana dan langsung mengenai apakah salah satu dari tujuan yang berlawanan ini telah tercapai atau tidak, dan apakah politisi membenarkan gagasan Plato bahwa kemampuan retoris selalu dinilai lebih dari sekadar

(20)

15 integritas, atau memperkuat klaim Aristoteles bahwa keterampilan retoris dapat berjalan seiring dengan niat baik dan tindakan yang baik.

Untuk menjembatani dua kutub praktik retorika yang berlawanan ini, Aristoteles, seperti yang dikutip dalam Covino dan Jolliffe (1995: 3-26), mengemukakan tiga aspek retoris sebagai alat persuasi, yaitu etos, pato, dan logos. Etos mengacu pada otoritas dan nilai moral. Aristoteles membagi aspek ini menjadi tiga sub-karakterisasi, phronesis atau akal sehat, arête atau kebajikan, dan eunoia atau kehendak baik. Dia kemudian menjelaskan pathos sebagai daya tarik emosi audiens, baik dengan sikap etnosentris atau netral. Aspek terakhir retorika Aristoteles adalah logos. Ini beroperasi sebagai sebuah sistem penalaran logis dari apa yang dia sebut "enthymeme" - sebuah panduan berulang untuk paradigma preseden. Dia menekankan bahwa cara berpikir seharusnya adil dan mengikuti arus premis dan asumsi.

Aspek retorika ini dikembangkan sebagai pendekatan interpretatif terhadap setiap disiplin dimana retorika tertanam secara alami. Analisis retorika dan retorika itu sendiri kemudian dapat digunakan dalam berbagai macam jenis penelitian, mulai dari ilmu sosial hingga ilmu pengetahuan alam. Tidak masalah apakah itu dalam studi budaya atau ilmu sains; apakah itu dalam studi media atau dalam arsitektur, retorika sangatlah efektif dan instrumental. Analisis retoris sebenarnya mencerminkan aspek paling dasar dari komunikasi manusia dalam deskripsi mendetil tentang tindakan ekspresif simbolis dari sifat organisasi. Hal ini memerlukan interaksi sumber daya, serta keterkaitan komunikasi dan penyelidikan secara representatif melalui kegiatan dan saluran komunikatif tertentu. Fokusnya terdapat dalam "seni memperbandingkan" diantara praktik retorika dan terkait dengan sesuatu yang melampaui ucapan lisan dan representasi tekstual, dinamika masyarakat, budaya, dan pemerintahan pusat, yaitu hubungan dengan kekuasaan, ideologi, agama, dan nilai budaya lainnya.

2.5. Tujuan dan Fungsi Retorika

Diskusi di atas menyatakan bahwa retorika tidak terbatas pada wacana lisan dan tulisan, namun secara universal juga dikenal sebagai "komunikasi." Oleh karena itu, penting dicatat bahwa retorika dalam beberapa hal dapat disebut juga komunikasi. Trible (1994: 9) selanjutnya mengemukakan tiga tujuan komunikasi. Model yang ditawarkan oleh Trible memiliki dampak besar pada cara aspek persuasi yang dibahas dalam penelitian retoris. Pertama, komunikasi hanya bisa dipertimbangkan jika memenuhi tujuan ilmiah pendidikan. Kedua, komunikasi baru dianggap berhasil ketika mencapai tujuan emosional yang mempengaruhi perasaan penonton. Ketiga, komunikasi bisa dianggap penting jika tujuan estetikanya memuaskan audiens atau pendengar sudah tercapai. Argumen Trible diperkuat oleh empat tujuan kritik retoris Hart (1997: 23-30). Dia percaya bahwa kritik retoris sangat

(21)

16 membantu dalam mendokumentasikan tren sosial, memberikan pemahaman umum melalui studi kasus, menghasilkan meta-pengetahuan, dan mengundang konfrontasi radikal dengan "sisi lainnya."

Herrick 2005: 16). lalu memperluas tujuan komunikasi yang dikemukakan Trible ke dalam fungsi sosial yang lebih luas dengan menyarankan enam fungsi sosial dari seni retorika. Yang pertama adalah menguji gagasan di antara individu yang berbeda untuk mendapatkan penerimaan publik. Yang kedua adalah membantu advokasi mengenai isu sosial dan politik yang menentukan melalui pemikiran dan opini. Yang ketiga adalah mendistribusikan kekuatan pribadi, psikologis, dan politik. Fungsi retorika Herrick yang keempat adalah menemukan fakta dengan mendeteksi bukti, menghasilkan sebuah pesan, dan menguji argumen pembeda. Yang kelima adalah membentuk pengetahuan dengan mendefinisikan suatu aspek sebagai benar, salah, atau mungkin. Fungsi retorika keenam dan terakhir adalah membangun masyarakat dan mengungkap apa yang dianggap penting oleh individu dalam sebuah komunitas. Juga, sesuai dengan Trible, dari perspektif komunikasi, Cisneros dkk. (2008) melihat retorika sebagai soal melakukan, membentuk, menciptakan dan melihat. Melakukan retorika adalah strategi untuk menggunakan persuasi; sedang menganggap retorika sebagai dampak konstitutif simbolis di luar persuasi; membentuk melihat retorika sebagai alat ideologi dan kekuasaan; dan melihat sedang memeriksa retorika dalam hal representasi visual.

2.6. Kelebihan dan Kekurangan Studi Retorika

Meskipun retorika terhubung ke semua bentuk komunikasi manusia, kata tersebut cenderung mengacu pada politik atau bahkan lebih eksklusif lagi untuk jenis komunikasi politik rutin tertentu. Membuat pidato, pidato publik, dan pernyataan media merupakan peran mendasar politisi dalam kampanye politik. Keterampilan retoris terus-menerus menekankan aspek ini. Dengan demikian, keterampilan berkomunikasi secara persuasif jauh lebih penting daripada kepercayaan individu terhadap topik yang diperdebatkan. Retorika dalam situasi seperti ini dipahami sebagai praktik demokrasi untuk melibatkan kelompok masyarakat sebagai warga negara.

Dalam sebuah kampanye Pemilu, misalnya, partai politik rival diberi batas waktu tertentu untuk meyakinkan calon pemilih tentang platform, agenda, dan program politik mereka melalui beragam metode dan saluran kampanye di berbagai lokasi. Partai politik, juru kampanye dan kandidat politik sering dinilai oleh kemampuan untuk berkomunikasi secara aktif, bukan kebenaran atau isi pandangan atau janji mereka. Politisi saat berdebat tentang suatu isu didorong untuk melihat sebuah topik dengan cara berkomunikasi agar mudah dicerna oleh audiens, asalkan kemampuan retoris mereka cukup baik. Akibatnya, konotasi retorika dalam konteks politik saat ini sebagian besar bersifat merendahkan. Retorika dianggap sebagai pernyataan kosong yang tidak tulus tanpa

(22)

17 komitmen lebih lanjut untuk bertindak di masa depan: tidak ada substansi, dan hanya omong kosong belaka. Di bawah "kemunduran retorika" ini, istilah tersebut mencerminkan "pemikiran korup" dalam sistem korup dan masyarakat dan sebagian besar diakui sebagai seni berbicara "berguna" namun tidak "jujur" (Foss dkk 1985: 67-72) . Dengan demikian, retorik seringkali dikenai penggambaran negatif oleh kebanyakan masyarakat.

Meski disebut terlalu membosankan, terlalu deskriptif, terlalu subjektif, terlalu formalis, tidak akurat, dan kurang memiliki keseragaman dan konsistensi dalam praktik, namun retorika masih dapat menawarkan beberapa keuntungan (Leach 2000). Retorika membahas topik yang masuk akal dan penting dalam kehidupan manusia yang rawan perselisihan (Herrick, 2005: 15). Ini mempengaruhi banyak domain interaksi manusia. Selain itu, retorika adalah keahlian atau seni interaksi yang jelas dalam ragam situasi sosial. Penggabungan ruang pribadi dan ruang publik berskala besar memang merupakan ciri khas retorika dalam menggerakkan pikiran, emosi dan mendorong tindakan manusia. Retorika yang baik mengacu pada tujuan komunikasi yang etis, karena kemampuan retorika mungkin merupakan efek terbesar dari kreativitas reflektif manusia.

Hart (1997: 30-34), lebih jauh lagi, mengandaikan kualitas kritik retoris yang baik . Dia menyarankan agar kritik retorika yang baik harus skeptis, cerdas, dan imajinatif. Singkatnya, kelemahan menjadi terlalu fleksibel juga bisa dilihat sebagai ruang untuk perbaikan dan inovasi. Dunia ini penuh dengan retorika, dan memang, kita harus jujur bahwa kita semua adalah seorang aktor retorik. "Jadi retorika ada pada kita, baik dan buruk," kata Hart (1997: 18). Sekalipun dampak retorika terkadang adalah tipuan atau manipulasi, namun ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menuduh politisi menggunakan bahasa "licik." Maka pertanyaan apakah retorika itu "baik" atau "buruk" akan relevan jika kita, sebagai manusia, dan retorika, juga dapat menangani isu-isu penting dengan hormat dan bermakna, seperti yang dikemukakan oleh Quintilian (dikutip dalam Heath 2009).

2.7. Jenis dan Rentang Retorika

Peristiwa retoris terjadi dalam setidaknya tiga jenis peristiwa komunikasi tradisional: 1) forensik, 2) epideiktic, dan 3) musyawarah (Trible 1994: 7-9). Ketiga jenis retorika ini bekerja di bawah lima parameter: fokus, latar belakang, tujuan, waktu, dan penekanan. Untuk komunikasi forensik atau peradilan, fokusnya adalah untuk mencari keadilan, pengaturannya paling mungkin terjadi di ruang sidang, dan tujuannya adalah untuk meyakinkan dengan penekanan kuat pada apa yang telah terjadi di masa lalu. Sebaliknya, peristiwa retoris jenis kedua, komunikasi epideiktik atau demonstratif, sengaja ditujukan untuk menyenangkan atau menginspirasi penonton dalam sebuah upacara publik, dengan fokus pada pujian atau penghukuman saat ini di mana penekanan utamanya adalah pada pembicara. Tipe terakhir, komunikasi forensik, juga digunakan untuk membujuk tapi memberi bobot

(23)

18 lebih besar pada komitmen penonton di masa depan dan berfokus pada aspek ekspresi. Komunikasi yang disengaja sebagian besar dilakukan di majelis umum atau pada acara politik.

Tabel.2.1: Jenis komunikasi retorik

No Tipe Fokus Setting Tujuan Waktu Penekanan

1 Forensik Keadilan Peradilan Membujuk Lampau Pidato

2 Epideictic Puji / kutuk Upacara Menginspirasi Sekarang Pembicara 3 Musyawarah Pragmatis Publik/politik Membujuk Mendatang Penonton Diadaptasi dari Trible (1994:9)

Cara lain untuk memahami retorika adalah dengan mengetahui cakupan dan jangkauannya. Melacak ruang lingkup dan jangkauan lapangan dapat membantu kita mengenali transformasi unsur dalam komunikasi manusia yang mempengaruhi komposisi elemen retoris, seperti audiensi, pengiriman, pesan, kejadian, atau waktu. Secara khusus, kisaran retorika, menurut Hart (1997: 10), dapat diringkas menjadi empat bidang utama. Pertama, retorika dapat dibuktikan secara ilmiah, yang berarti bahwa pandangan objektif tentang kebenaran bisa diimplementasikan. Area kedua adalah standar keunggulan artistiknya, karena retorika tidak dapat disangkal merupakan seni, dan oleh karena itu, ini sangat kreatif secara artistik. Area ketiga adalah filsafat, karena retorika juga berusaha menjadi masuk akal secara filosofis. Akhirnya, setiap eksploitasi retoris secara sosial selalu diperhatikan oleh publik. Hart (1997: 11) melangkah lebih jauh dan menuliskan bahwa "karena berbatasan dengan begitu banyak dunia, bidang retorika sangat kuat." Cakupan retorika juga berpotongan dengan berbagai disiplin studi.

2.8. Penghubung antara Retorika Politik dan Media

Retorika politik menurut definisi, mengingat jenis dan cakupan retorika yang disebutkan di atas, bersifat deliberatif, dan digunakan untuk menyusun argumen persuasif dalam peristiwa politik publik sehari-hari (Condor dkk 2013: 262). Politik sebagai retorika, berisi, atau setidaknya menyiratkan sifat pragmatis dari pesan politik yang melibatkan komitmen masa depan oleh penonton (Burke 1982). Seperti yang ditunjukkan oleh definisinya, ruang lingkup retorika politik praktis dapat diamati dalam kehidupan kita sehari-hari, terlepas dari bentuk peristiwa politik atau saluran komunikasi yang digunakannya. Retorika politik mencakup tindakan verbal dan non-verbal. Pidato, talk-show, demonstrasi partai, konferensi media, sesi minum kopi, kartun politik, film, musik, program televisi dan radio, demonstrasi publik, acara olahraga, iklan politik, kartun politik adalah segala bentuk retorika politik. Secara teknis, "retorika politik adalah teknologi ekspresi politik yang berbeda" (Corcoran 1979: xiv-xv).

(24)

19 Definisi retorika sebagai manifestasi jenis komunikasi deliberatif untuk mempengaruhi pemikiran dan tindakan mengasumsikan bahwa fungsi utama retorika politik adalah persuasi. Dalam hal ini, Martin (2013: 88) menegaskan bahwa analisis retorika politik dapat memfasilitasi pemahaman strategi aktor politik untuk mencapai tujuan mereka dalam politik demokrasi. Strategi politik ini secara eksplisit ditafsirkan oleh Finlayson (2007) sebagai proses mengartikulasikan kepercayaan ke dalam argumen, atau meminjam argumen Nelson (1998), sebagai usaha untuk "mengubah politik menjadi kata-kata," "ideologi menjadi mitos" dan "musyawarah ke dalam perdebatan "(Krebs & Jackson 2007). Selain itu, juga patut dicatat bahwa praktik retorika politik dalam politik modern, di mana kandidat politik akan "go public" sebagaimana argument Kernell (1993) akan mencoba untuk berkomunikasi dengan khalayak umum dengan melibatkan media dalam proses politik (Louw 2005).

Setelah memahami tentang retorika, kita juga perlu memahami retorika media. Menurut Briggs dan Burke (2010: 1) dengan mengacu pada Oxford English Dictionary, kata "media" pertama kali disebutkan pada tahun 1920-an dalam sejarah modern, walaupun penemuan Gutenberg tentang percetakan di

Renaissance Eropa diyakini sebagai tengara dari apa Orang dikenal sebagai "media" di era

kontemporer. Briggs dan Burke juga menggarisbawahi bahwa prinsip media untuk mendesiminasi informasi, yang pada awalnya berbagi perhatian yang sama dengan cara lama untuk mengkomunikasikan retorika. Pengetahuan tentang kejadian dalam kehidupan sehari-hari kita disalurkan melalui media, dan oleh karena itu, media membutuhkan seni komunikasi lisan dan lisan untuk mewujudkan fungsinya dalam mendistribusikan informasi. Justeru itu, penggunaan retorika media dalam pertemuan politik, seperti debat kandidat dalam Pemilu, merupakan salah satu bidang kritik retoris yang menarik dalam demokrasi modern (Berquist & Golden 1981).

Karena politik saat ini menjadi "the media darling" secara tak terhindarkan, studi tentang politik di media telah menjadi sangat menonjol. Momentum politik, politisi, dan kebijakan di media selalu ada. Dalam banyak kasus, bahasa yang digunakan oleh politisi di media sangat menarik bagi kaum intelektual. Sejumlah studi interdisipliner yang kaya tentang bahasa, politik, dan media telah menyoroti pentingnya retorika. Misalnya, bahasa politik politisi dalam kampanye Pemilu dibedakan dengan menggunakan analisis fungsional sistemik, dan fitur sintaksis seperti kata ganti atau struktur kalimat (White 1998; Håkansson 2012; Sharndama dan Mohammed 2013). Peneliti lainnya juga ada yang menjelaskan citra retorika politik di media (DeLuca 2005).

(25)

20 Dalam teori politik, sejumlah penelitian telah menunjukkan dimulainya kembali ketertarikan pada retorika (Garsten 2011, Pollak 1988) dengan secara filosofis melihat politik sebagai retorika (Burke 1982) atau menganalisis retorika politik dari sudut pandang kritis (Laclau 1998). Retorika juga dianggap sebagai disiplin ilmu terdiri yang terpisah dari argumen persuasif dalam kejadian politik formal atau kegiatan seperti kampanye pemilihan, dan sebagai elemen penting dalam politik demokrasi. Selain itu, bahasa politik, ideologi, dan hubungannya dengan wacana media telah dianalisis secara retoris, terutama oleh Bell (1991), Conboy (2007), dan Fowler (2013).

Pada titik ini, hubungan antara retorika politik dan media tak terelakkan, karena peristiwa politik adalah artefak, objek berita bagi media untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Hubungan ini sering digantikan dengan "mediatized politics" (Nimmo & Combs 1983; Bennett & Entman 2001), "mediated politics" (Fairclough 1995; Mazzoleni dan Schulz 1999; Kepplinger 2002; Schulz 2004; Corner 2007) atau "mediatization of politics" (Strömbäck 2010). Komunikasi politik jenis ini melalui media diyakini berfungsi untuk menerapkan dua perspektif dasar tentang tujuan komunikasi, yaitu retorika dan relasi, karena kedua perspektif ini dapat secara substansial bekerja sama dalam apa yang disebut komunikasi interpersonal (McCroskey dan Richmond 1996) .

Dalam kaitannya dengan persinggungan antara bahasa, media, politik dan ideology, Kepplinger (2002: 972) selanjutnya beranggapan bahwa mediated politics atau politik yang dilakukan dengan bantuan media merujuk kepada ―adaptasi politik terhadap kebutuhan media masa‖. Proses yang terjadi diantara media dan politik pada dasarnya bersifat saling ketergantungan (Strömbäck 2010). Dua debat intelektual diatas kemudian pada intinya bertemakan seputar pengaruh media dan ketergantungan terhadap media dalam ranah politik. Pendapat yang pertama cenderung skeptis dan melihat bahwa masuknya media ke dalam ranah politik akan menciptakan ―republik yang dikontrol oleh media‖ atau ―media yang terpolitisasi (Brody 1991; Berganza dan Martín 1997). Dengan demikian, akan sangat membahayakan proses demokrasi sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Mazzoleni and Schulz (1999). Disisi lain, pendapat yang kedua bernada lebih optimistik bahwa mereka yang meyakini bahwa media memainkan peranan penting dan sangat positif dalam politik. Mereka berpendapat bahwa media akan menjadi pilar penting dalam pendidikan politik dan perkembangan demokrasi (Zaller 1998).

2.11. Pendekatan Retorika

Bagian ini berkaitan dengan cara-cara retorika itu sendiri dapat dipahami untuk menunjukkan kegunaan dan perlunya pemahaman yang berbeda ini di ranah politik. Kontribusi para ilmuwan yang disebutkan di atas berfungsi sebagai landasan kerangka lintas sektoral dan lintas disiplin. Berbagai

(26)

21 versi analisis retoris dan penjelasan akan menarik beberapa bidang ilmu yang utamanya berfokus pada politik. Namun, di antara pendekatan retoris tersebut, penelitian ini akan membahas beberapa situasi retorika Bitzer, dan paradigma tindakan simbolik Frent dan Farrel sebagai sumber inspirasi untuk mengembangkan model hibrid analisis retorika politik pada kampanye pemilihan pascakonflik.

Situasi Retorika

Retorika memiliki aspek yang berhubungan dengan konteks dan situasional (Bitzer 1968). Ia menggambarkan situasi retoris sebagai "konteks alami seseorang, kejadian, objek, relasi, dan urgensi yang mengundang ucapan" (Bitzer 1968: 5). Meskipun definisi ini menuai kritik dari ilmuwan lain (Vatz 1968; Consigny 1974; Miller 1984), model Bitzer diyakini meletakkan dasar penting untuk debat tentang situasi "retorika" sebenarnya dan bagaimana situasi retorika sebagai sesuatu yang "besar" dan penting bagi bidang ilmu lainnya sebenarnya dapat dikembangkan. .

Situasi retoris versi Bitzer umumnya terbatas pada urgensi, audiens, dan batasan retoris dalam jangka waktu tertentu (Covina & Jolliffe 1995: 3-26). Gagasan tentang situasi yang dianggap ―penting‖ dan retorika dapat diperluas ke bidang berikut: urgensi, orang, relasi, lokasi, pembicara, audiens, metode, dan institusi (Bitzer 1968). Diskusi dalam buku ini terbatas pada tiga konsep umum pertama dari situasi retoris.

Situasi retoris pertama adalah urgensi. Kelayakan adalah lubang yang harus diisi dengan teks lisan atau tulisan. Pemirsa atau audiens terdiri dari mereka yang memiliki kepedulian terhadap keadaan penting dan mungkin mengambil tindakan yang diperlukan karena keadaan darurat; dan kendala retoris adalah karakteristik penilaian audiens atau retorik yang dapat mempengaruhi penonton untuk menyetujui dan bertindak atas argumen para pemikir. Selanjutnya, situasi retoris juga membutuhkan audiens sebagai penerima pesan. Bitzer mendefinisikan empat jenis audiens, yaitu: primer atau langsung, anak perusahaan atau dimediasi, ditangani atau dipanggil, dan komunitas wacana atau wacana. Situasi retoris yang diajukan oleh Bitzer dibangun di atas relasi audiens dan retorika ke urgensi, permintaan atau kebutuhan yang dapat mengaktifkan tindakan dan yang rentan terhadap perubahan dan adaptasi melalui wacana yang lebih luas. Situasi retoris sederhananya, dalam hal ini, dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.

(27)

22 Tabel.2.2: Adaptasi situasi retorika Bitzer dalam Kampanye Pemilihan Gubernur Aceh 2012

No Situasi Retorika Definisi Terapan Contoh Terapan 1 Urgensi Apa yang terjadi atau gagal terjadi?

Mengapa seseorang dipaksa untuk berbicara?

Kampanye Pemilu (panggung) 2 Orang Siapa yang terlibat dalam urgensi dan

peran apa yang mereka mainkan? Kandidat gubernur (aktor) 3 Hubungan Apa hubungan, terutama perbedaan

kekuasaan, antara orang-orang yang terlibat?

Saingan politik

4 Lokasi Di mana lokasi wacana? Podium, koran

5 Pembicara Siapa yang harus berbicara atau

menulis? Pemimpin Partai

6 Penonton Siapa yang berbicara ? Mengapa? Pendukung, reporter

7 Cara Bagaimana pembicara memilih

audiensi? Media, rapat publik (saluran)

8 Institusi Apa aturan mainnya? koran dan portal berita online.

Diadaptasi dari Covino dan Jolliffe (1995)

Namun, pandangan realis Bitzer bahwa "retorika bersifat situasional" ditantang oleh Vatz (1973). Dalam peninjauannya terhadap Bitzer, Vatz berpendapat bahwa "retorika" tidak bersifat situasional, namun sebaliknya "situasi bersifat retoris" dengan menekankan kemampuan kreatif retoris (seperti yang dirangkum oleh Consigny 1974). Pandangannya bahwa retorika dipisahkan dari konteks di sekitarnya adalah dasar analisis retoris. Karena metode Bitzer tampaknya membutuhkan pentingnya pesan atau topik dalam situasi tertentu, Consigny (1974) berpendapat bahwa topik harus dipelihara dalam analisis retoris untuk memiliki pandangan yang konsisten mengenai pola retoris.

Dalam konteks buku ini, salah satu kelemahan nyata dari model Bitzer adalah bahwa ia tidak memberikan parameter untuk menilai salah satu fitur terpenting dalam analisis retoris, yaitu isi pesan. Kekurangan ini membuat usaha Bitzer untuk menyiapkan parameter dalam analisis retoris berdasarkan pertimbangan situasional tampak tidak lengkap dan tidak komplet. Hal ini terutama terjadi karena analisis retorika Bitzer sangat bergantung pada aspek non-pesan, yang tidak termasuk pesan itu sendiri. Visi satu dimensi dan tidak cukup ini dapat membahayakan pemahaman holistik dari praktik retoris.

Perspektif Sosiolinguistik

Perspektif sosiolinguistik menekankan peran retorika antara keadaan sosial dan linguistik. Misalnya, paradigma tindakan bahasa Frentz dan Farrel (1976) yang seringkali dianggap cukup otoritatif dalam hal ini. Hal ini mungkin mempertimbangkan, misalnya, bagaimana perbedaan pilihan leksikal digunakan untuk merujuk pada diskusi yang bermanfaat tentang konteks komunikatif publik. Proses linguistik melibatkan adaptasi sosial. Frentz dan Farrel (1976) memberikan perhatian khusus dengan

(28)

23 masalah bagaimana bahasa dan tindakan dapat dihasilkan dari tiga kriteria, yaitu konteks, episode, dan tindakan simbolis.

Konteks didefinisikan sebagai peristiwa komunikatif yang bermakna yang terdiri dari bentuk kehidupan (pengetahuan komunikator yang dibagikan melalui bahasa) dan pertemuan (titik kontak). Episode adalah urutan awal, definisi, dan penghentian yang sesuai aturan yang dicirikan oleh pencarian berorientasi pada tujuan yang membentuk pola atau struktur tindakan komunikatif. Tindakan simbolis, sebagai kriteria terakhir, dapat dideteksi dari tiga ciri, yaitu proposisional (makna semantik), ekspresif (melakukan aksi), dan konsekuensial (efek tersirat pada aktor lain). Tindakan mengatakan, menyatakan, atau meminta, misalnya, dimasukkan sebagai tindakan simbolis ekspresif dari pembicara atau aktor atau juga dikenal dengan speech act.

Paradigma bahasa-tindakan telah digunakan, misalnya, dalam pengambilan keputusan penyelidikan (Krueger 1982) atau gaya retorika sosiolinguistik (Solomon 1978). Perspektif retorika bahasa-tindakan dan sosiolinguistik sebenarnya adalah metode terbuka. Salah satu jenis ekstensinya adalah pengenalan analisis retorika berbasis sosial ke dalam aspek pandangan sosial yang lebih luas seperti gerakan sosial (misalnya Simons 1970, Stewart 1980, Delgado 1995, dan Hopkins & Reicher 1997), studi perempuan dan feminis (Campbell 1973; Fredrick 1999), serta studi tentang genre dan bentuk bahasa (Campbell & Jamieson 1978; Marcus 1980).

Perspektif sosiolinguistik dan paradigma tindakan bahasa, terutama tindakan simbolik ekspresif, menurut pandangan Farrel dan Frentz (1979), dapat dianggap sebagai sintesis antara bahasa dan ilmu sosial dan antara komunikasi sebagai bentuk tindakan, dengan makna sebagai bagian dari studi bahasa. Pendekatan berpikir polimorfik dan non-literal ini, bagaimanapun, tidak memadai untuk menjelaskan aspek-aspek retorika yang lebih luas. Bahkan, mereka telah mengakui bahwa gagasan mereka masih bersifat pendahuluan dan masih terbatas pada upaya untuk menghubungkan konsep dan praktik komunikasi dan makna (Farrel & Frentz 1979).

2.12. Pertimbangan untuk Pemilu Pascakonflik

Pendekatan analisis retorika umum pada bagian sebelumnya adalah hal yang utama yang digunakan di sini. Buku ini tidak berusaha mencari jawaban yang berpusat pada pesan semata, tetapi juga menganalisis konteks pesan dan retorika. Dalam menangani pesan, analisis diarahkan pada konten dan bentuk. Isi pesan adalah bagian substantif dari pesan yang yang diucapkan tentang isu, tema, atau topik tertentu dalam peristiwa politik (apa); sedangkan bentuk pesan menyangkut gaya dan

(29)

24 pilihan leksikal (bagaimana) (Foss 1989: 186). Konteks pesan adalah lingkungan retoris atau situasi yang menghasilkan isi dan bentuk retoris.

Ada dua pandangan utama kritik retoris. Tampilan pertama adalah konten dan gaya atau selingkung yang harus disesuaikan dengan konteks. Yang kedua adalah konteks itu bisa diciptakan dan dipersiapkan. Pandangan lain menyeimbangkan kepentingan kedua konteks dan isi/konten, sehingga keduanya tidak deterministik, melainkan saling mempengaruhi dan melengkapi satu sama lain (Foss 1989: 68). Terlebih lagi, ada topik penting lain dari analisis retoris yang perlu dibahas, yaitu retorika atau politisi sebagai pemain utama dalam acara politik. Refleksi aspek ini dapat mencakup faktor-faktor seperti latar belakang retorika (pendidikan, hubungan politik, dll.), motif (politik, sosial, pendidikan, dll), biografi umum (Gonchar & Hahn 1973).

Akhirnya, sangat penting untuk menggabungkan tinjauan literatur yang harus dipertimbangkan untuk analisis kritis retorika politik yang memadai dalam pemilihan pascakonflik. Katalog ini kemudian akan memberikan dasar untuk penjelasan panduan metode dalam bab berikut. Ini dapat memfasilitasi cara-cara di mana pedoman tersebut berhubungan dengan tinjauan literatur dalam politik mediatisasi. Perlu ditambahkan bahwa belum ada satu studipun yang bisa secara komprehensif membahas semua kategori pertimbangan ini, dan karenanya tidak ada satu teori pun yang akan dijadikan sebagai referensi tunggal dalam buku ini. Misalnya, pendekatan retoris Bitzer tidak menyediakan alat analisis untuk mengevaluasi pesan (yaitu topik atau tema). Dengan demikian, pendekatan dari konsep lain, seperti tindakan simbolik ekspresif (Frentz & Farrel 1976) dapat menciptakan pendekatan sintesis dari pendekatan yang ada sebagai pendekatan pelengkap dan alternatif. Uraian teoretikal diatas harus dilihat sebagai penunjuk kita untuk membangun kerangka pengetahuan dalam konteks buku ini. Ini mencakup gambaran umum parameter analisis retoris politik dan pemikiran reflektif mengenai kondisi sebenarnya.

1. Aktor (siapa?)

Fokus analisis pertama harus ada pada retorika. Ini tentang bagaimana orang-orang di dunia politik atau politisi terkemuka mewujudkan perubahan dan adaptasi strategis dalam retorika mereka. Pemilihan aktor harus mencerminkan latar belakang politisi, seperti "nama panggung" aktor yang diwakili dalam media, status politik (penantang baru atau pemain lama) dan peran dalam organisasi politik, kecenderungan politik, latar belakang politik, hubungan politik (teman atau musuh) atau inkarnasi/perwujudan politik (orang dan rhetor/aktor versi Bitzer).

Gambar

Tabel 3.2: Profil Media Terpilih   Kriteria/  Media Serambi
Gambar 3.1:  Serambi Indonesia  dan Jaringan Bisnis Aceh
Gambar 3.2: Rakyat Aceh    Gambar 3.3: Metro Aceh
Gambar 3.5: Harian Aceh  The Globe Journal dan The Atjeh Post
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan skripsi ini disusun menggunakan metode penelitian sejarah yaitu: Heuristik (pengumpulan sumber), Verifikasi (kritik sumber), Interpretasi (penafsiran

Sebagai gambaran dapat dilihat dari rendahnya Indek kesamaan jenis di kedua petak penelitian yang hanya sebesar 19 %, yang berarti meskipun kedua petak terletak pada satu

No Lokasi Wilayah Budaya Unggulan dan Kawasan Industri Pengembangan Komoditas Infrastruktur dan Konektivitas Pembangunan Pembangkit Listrik/ Telkom/Air Bersih Pendidikan

Hasil analisis dengan menggunakan regersi linier menunjukan hasil bahwa nilai p-value =0,000 < α =0,05, sehingga H0 ditolak, artinya persepsi

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan sebe- lumnya dapat ditarik kesimpulan yaitu (1) terdapat hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan

2 Penyelesaian tindak pidana kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kabupaten Bener Meriah tidak lagi dilakukan melalui lembaga peradilan secara hukum positif, karena jika

Untuk menyaring data, klik menu filter di bagian atas tabel, lalu isi formulir dengan parameter yang sudah disediakan sesuai