• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PELAKSANAAN PEKERJAAN PROFESI PENILAI DALAM

A. Profesi Penilai

3. Transisi Bentuk Usaha dan Problematikanya

Penataan usaha jasa penilai mulai tuntas pada Januari 2010 ketika seluruh kegiatan jasa penilaian sepenuhnya sudah mengacu pada PMK Nomor 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik. PMK ini mengatur baik bentuk usaha jasa penilai maupun praktek profesi penilainya. Setelah terbitnya PMk Nomor 01/PMK.01/2010 tersebut, misalnya bentuk usaha jasa penilai yang wajib dimiliki oleh setiap penilai public dalam memberikan jasa penilaian adalah Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP), baik berupa KJPP Perseorangan maupun KJP Persekutuan. Pendeknya, bentuk usaha sebagai wadah penilai publik yang diizinkan dalam memberikan jasa penilaian hanyalah KJPP. Tidak dimungkinkan

lagi adanya bentuk usaha berbadan hukum PT.134

133

Ibid., hal. 119.

134

Jika dirunut kebelakang, bentuk akhir usaha jasa penilai yang diatur dalam PMK Nomor 125/PMK.01/2008 tersebut merupakan buah dari pergulatan yang sangat panjang dari seluruh stake holder usaha jasa penilaian. Ada beberapa kondisi yang menjadi latar belakang yang menuntut dilakukannya perubahan bentuk usaha jasa penilai ini. Pertama, berkaitan dengan pembatasan atau penyaringan penguasaan usaha jasa penilai. Sebab, seperti yang terjadi pada masa-masa awal kemunculan perusahaan penyedia jasa penilaian yang ketika itu masih berbadan hukum PT, kepemilikan dan penguasaan usaha jasa penilai berada di tangan para pemodal. Hal ini terlihat, ketika itu, siapa saja adal memiliki modal yang cukup bisa mendirikan dan mengelola perusahaan jasa penilai tersebut dimiliki dan sepenuhnya dikendalikan oleh para pemodal, tidak peduli apakah mereka memiliki latar belakang atau memahami bidang jasa penilaian atau tidak. Tidak peduli apakah mereka memahami standar penilaian dank ode etik penilai atau tidak. Di perusahaan-perusahaan seperti ini, status seorang penilai tak ubahnya sebagai karyawan biasa yang tidak memiliki akses dan hak untuk turut

serta mengendalikan arah dan kebijakan perusahaan.135

Kedua, berkaitan dengan tanggung jawab profesi. Seperti profesi-profesi lain pada umumnya, tanggung jawab atas hasil kegiatan penilaian juga melekat pada pribadi-pribadi orang yang menyandang profesi penilai tersebut. Dengan demikian, jika terjadi kesalahan pada proses, kegiatan, dan hasil penilaian tidak

135

seharusnya tanggung jawab dan resiko dibebankan kepada orang atau pihak yang tidak turut serta melakukan kegiatan penilaian. Pada usaha jasa penilai yang berbentuk PT, karena tunduk pada Undnag-Undang Perseroan Terbatas, jika penilai melakukan kesalahan, maka tanggung jawab dan risikonya dibebankan kepada direksi atau pengendali perusahaan. Sedangkan, penilai yang melakukan kesalahan bisa terbebas dari tenggung jawab dan risiko atas kesalahan yang dilakukan. Kenyataan ini bisa dinilai sebagai ketidakadilan dan sangat berbahaya karena sebagai profesional seorang penilai bisa terbebas dari tanggung jawab dan risiko atas kesalahan yang diperbuat. Padahal, sebagai profesional, seorang penilai tidak bisa lepas dan bebas dari tanggung jawab atas kegiatan yang dilakukan dan

kesalahan yang diperbuat.136

Kenyataan-kenyataan itulah yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan yang mengubah bentuk usaha jasa penilai dari PT menjadi KJPP. Namun, sayangnya, kebijakan ini tidak didukung oleh persiapan yang benar-benar matang dan komprehensif sehingga transisinya tidak berjalan mulus dan perubahan itu masih

menyisakan banyak masalah.137

Sesuai aturan dalam PMK tersebut, selain didirikan sedikitnya oleh dua orang penilai publik, KJPP Persekutuan dimungkinkan didirikan oleh sedikitnya dua orang yang salah satunya bukan penilai publik dengan syarat 60 persen dari modal Persekutuan dimiliki oleh penilai publik. Namun, beleid ini tidak menjamin

136 Ibid., hal. 122. 137 Ibid.

adanya kecukupan modal bagi Persekutuan. Dan, yang banyak terjadi justru sebaliknya. Banyak penilai publik berkantung tipis menggandeng pemodal besar untuk mendirikan KJPP. Artinya, meskipun secara resmi KJPP tersebut dikendalikan oleh penilai publik, dalam prakteknya di lapangan pengendali adalah

rekan persekutuan yang bukan penilai publik.138

Di saat yang sama, seringkali terjadi proses “kawin paksa” dan “kawin cerai” dalam hal pendirian dan pengelolaan KJPP. Misalnya, karena adanya kondisi yang memaksa, tanpa melalui perencanaan matang, dua orang penilai publik begitu saja mendirikan KJPP. Karena perusahaan jasa penilai yang berbentuk PT telah beku operasi, seorang penilai publik yang semula bekerja di perusahaan tersebut “harus” menemukan pasangan baru untuk “kawin” dan mendirikan KJPP. Tak lama kemudian terjadi “pecah kongsi” atau terjadi “perceraian”, sebab salah satu dari dua penilai publik di KJPP tersebut akhirnya mengakhiri persekutuan untuk kemudian membuat persekutuan baru dengan penilai publik lain. Lahirlah KJPP baru lagi. Kenyataan-kenyataan dan kecenderungan-kecenderungan yang mengiringi proses muncul dan tenggelamnya KJPP tersebut merupakan sesuatu yang tidak sehat bagi pengembangan usaha jasa

penilai dan masa depan profesi penilai di Indonesia.139

Jika dibandingkan begitu luasnya bidang jasa KJPP yang dikendalikan oleh penilai publik, pengembangan usahanya bisa dibilang masih jalan di tempat atau

138

Ibid., hal. 125.

139

bahkan stagnan. Tentang luasnya bidang jasa penilai publik tergambar dalam PMK Nomor 125/PMK.01/2008 pada Bab II Pasal 2. Disitu disebutkan bahwa bidang jasa penilai publik meliputi penilaian properti dan penilaian bisnis. Untuk penilaian properti, antara lain meliputi tanah dan bangunan beserta kelengkapannya, serta pengembangan lainnya atas tanah; instalasi dan peralatan yang dirangkai dalam satu kesatuan dan/atau berdiri sendiri yang digunakan dalam proses produksi; alat transportasi, alat berat, alat komunikasi, alat kesehatan, alat laboratorium dan utilitas, peralatan dan perabotan kantor, dan peralatan militer; pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan; dan pertambangan. Sedangkan untuk bidang jasa penilaian bisnis diantaranya meliputi entitas bisnis; penyertaan, surat berharga termasuk derivasinya; hak dan kewajiban perusahaan; aktiva tidak berwujud; kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh suatu kegiatan atau peristiwa tertentu (economic damage) untuk mendukung berbagai tindakan korporasi atau atas transaksi material; dan opini keawajaran. Di luar kedua bidang jasa penilaian tersebut, seperti disebutkan dalam Pasal 2 Ayat (4), penilai publik juga dapat memberikan jasa lainnya yang berkaitan dengan kegiatan penilaian, di antaranya meliputi konsultasi pengembangan properti, desain sistem informasi aset, pengelolaan properti, studi

kelayakan usaha, jasa agem properti, dan pengawasan pembiayaan proyek.140

140

Ibid., hal. 127-128.

Namun, kebanyakan KJPP justru masih berkutat dan berebut pasar di bidang jasa penilaian properti dan kemudian penilaian bisnis. Dan untuk bidang jasa penilaian properti pun kebanyakan masih berkutat pada penilaian kolateral di perbankan. Jika boleh dipersempit lagi, semua berebut pasar KPR. Seakan, penilai publik sudsh merasa puas hanya dengan memperoleh penugasan untuk penilaian KPR. Karena lingkup bisnis yang demikian dipersempit, wajar jika kemudian timbul persaingan tidak sehat, salah satunya berupa sengitnya tariff di antara para penilai guna memperebutkan pasar. Jarang sekali terdengar, bahkan memang nyaris tak pernah terdengar ada KJPP yang sukses mengembangkan bisnisnya di bidang-bidang jasa lainnya, seperti melakukan kegiatan konsultasi pengembangan properti, desain sistem informasi aset, pengelolaan properti, studi kelayakan usaha, jasa agen properti, dan pengawasan pembiayaan proyek. Dengan demikian,

kapasitas pasar juga tidak berkembang.141

Kondisi seperti ini akan membawa KJPP pada dampak lanjutan yang kurang baik. Dengan lingkup dan skala bisnis yang sempit dan pendapatan yang relatif rendah, dengan sendirinya KJPP tidak akan memiliki modal yang cukup untuk meningkatkan dan mengembangkan kapasitas bisnisnya (business capacity). Kondisi ini akan terus menyeret KJPP dalam lingkaran setan daya saaing rendah. Daya saing KJPP dan juga penilai publik yang rendah pada gilirannya juga akan menempatkan industri jasa penilaian Indonesia berdaya saing rendah. Kondisi

141

seperti ini tidak hanya akan merugikan kalangan pelaku industry jasa penilaian sendiri, melainkan juga kurang kondusif bagi kepentingan perekonomian nasional. Di satu sisi, dengan daya saing yang rendah para pelaku usaha penilai Indonesia akan kehilangan kesempatan untuk merebut pasar yang sangat luas. Di sisi lain, pembangunan perekonomian nasional kurang memperoleh dukungan dari peran yang bisa dimainkan oleh para pelaku usaha jasa penilai dalam negeri. Sebab, kebutuhan akan jasa penilai yang besar dan potensi pasar yang begitu terbuka justru akan dinikmati oleh pihak-pihak lain, atau perusahaan-perusahaan jasa penilaian asing yang sudah bersiap-siap memasuki pasar Indonesia ketika kran pasar bebas mulai dibuka. Apapun sebab musababnya, ketika pasar industry jasa penilaian dikuasai asing, akan sangat tidak menguntungkan bagi kepentingan

ekonomi nasional.142

B. Peraturan Jasa Penilai Berdasarkan Ketentuan Bapepam-LK (Otoritas