• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transkrip Wawancara dengan Narasumber Nama : Pak Hanung

LAMPIRAN 1. Koran sejaman dari Delpher

2. Transkrip Wawancara dengan Narasumber Nama : Pak Hanung

Profesi : Pegawai Dinas Pekerjaan Umum Kota Yogyakarta Waktu : 30 November 2020

N: Apakah aliran yang melalui bendungan bendolole itu memang dipakai untuk irigasi?

H: Kalau bendolole itu kewenangannya bukan di kita, jadi kita tidak punya datanya. Tetapi kalau tidak salah memang untuk menggelontor air limbah. N: Saya ingin tahu apakah memang ada fungsi untuk irigasi?

H: Kalau irigasi ada beberapa bendung yg menjadi kewenangan kita, salah satunya di Muja-Muju. Kemudian di Mergangsan, meskipun di wilayah kota, tetapi alirannya ke arah Bantul maka di bawah kewenangan Provinsi, Bendolole bukan untuk irigasi, karena berdasarkan sejarah, kelihatannya tidak ada sawah. Itu sepengetahuan kami, tidak tahu jika ada fungsi irigasi dahulu sekali.

N: Kalau irigasi itu biasanya untuk apa saja selain pertanian?

H: Bisa untuk perikanan, kemudian pembangkit listrik juga bisa. Tetapi fungsi utamanya tetap pertanian.

N: Jadi memang untuk irigasi tidak bisa nggih?

H: Nggih, fungsi utamanya penggelontor limbah. Karena di alirannya tidak ada sawah. Lagipula, jaringannya yang dilewati, yang ada di dekat A. Takrib itu kedalamannya sekitar 3 m atau 2.5 m. Logikanya kalau untuk irigasi kenapa dalam sekali? Kalau irigasi biasanya ada di permukaan. Kalau dari sejarahnya memang daerah-daerah yg dilewati merupakan perkotaan atau permukiman. Menaikkan air kan juga membutuhkan pompa, jadi saya kira fungsi utamanya bukan irigasi. Saya kira desain-desainnya memang jaman Belanda. Karena banyak jaringan yg saat ini berada di permukiman, sehingga kami kesulitan ketika ingin melakukan pemeliharaan.

N:

H: Jadi jaringan itu kan bercabang bu. Ketika air limbah itu masuk nanti debit yg masuk akan diatur, memang salurannya besar-besar. Maka di Badran itu ada pintu penggelontornya dan pintu pengurasnya. Kalau ada kelebihan air, maka akan dibuang di sungai. Kalau di kota Jogja itu, setahu saya, pennggelontor utamanya memang di Bendolole itu.

N: Maka di Bendolole itu ada rumah penjaga pintu airnya.

H: Iya bu. Maka agak repot juga karena langsung terkoneksi dengan sungai. Ketika hujan deras, kemudian penjaganya lupa mengatur pintu airnya, maka semua air dr sungai masuk ke jaringan. Akibatnya tinja-tinja itu akan mengapung. Karena sistem kita belum otomatis. Di kita itu juga saluran penggelontor limbah masih digunakan untuk pembuangan air hujan. Padahal tidak boleh tercampur, karena akibatnya akan overflow, meluap. Kemudian muncul permasalahan lain, yaitu sanitasi.

Transkrip Forum Group Discussion (FGD) Mengenai Bendungan Bendolole

Selasa, 20 Oktober 2020

Bu Nur (BN) : Kami akan mendengarkan cerita dari anda-anda sekalian mengenai sungai Bendolole itu seperti apa. Kami persilakan satu per satu untuk bercerita.

Pak Ikhwan (I): Mengenai Bendolole sejarah pastinya memang sulit diketemukan. Hanya, Mas Trisnadi dari Dewan Kota memiliki petanya. Dugaan saya, bendungan Bendolole itu didirikan pada masa Sultan Hamengkubuwono I. Artinya Pangeran Mangkubumi (Nama Sultan Hamengkubuwono I) ketika mengarsiteki pemindahan keraton Surakarta, yang mana ketika pemindahan itu beliau membangun kali larangan sebagai basis pertahanan. Maka kuat dugaan saya ketika beliau mendirikan keraton di Yogyakarta pun membuat banguna serupa, bahkan lebih bagus dan yang lebih kokoh, dan menggunakan jasa arsitek Belanda. Kenapa dugaan saya kuat? Karena salah satunya adalah alurnya masuk sampai ke Tamansari, tapi tidak masuk ke benteng Vredeburg. Itu jelas buatan Keraton, kalau masuk ke Vredeburg, maka buatan Belanda. Dugaan saya diperkuat dengan penjaga bendungan tersebut yang memiliki gelar nama keraton dan memiliki tanah untuk digarap. Akan tetapi, fungsinya untuk apa, kita memang belum bisa memastikan. Mungkin ada kaitannya dengan pertahanan militer, mungkin juga untuk pengairan rumah tangga keraton, salah satunya Tamansari. Setelah itu kami belum tahu arahnya ke mana, dugaan kami ke Selatan kemudian di sekitar Masjid Jogokaryan kemudian masuk ke Kali Winongo lagi. Artinya,bendungan ini memang benar adanya dan menurut peta terlacak sampai Tamansari. Mungkin selanjutnya bisa ditambahkan oleh Pak Widodo.

Pak Widodo (W): Maturnuwun Pak, Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh. Saya menyambung atau menambahi informasi dari Pak Lurah. Mengenai Bendolole itu menurut orang tua saya nama Bendolole itu dulu bukan Bendolole, tetapi bendo kluwih. Karena di situ ada pohonnya bendo, besar sekali.

Tapi sekarang sudah roboh. Nah, pohon itu daunnya seperti Kluwih. Jadi orang Jawa menyebutnya Bendolole, paling enak, sebetulnya Bendo Kluwih. Jadi pohon Bendo yang daunnya seperti kluwih. Kalau mengenai air itu, sepengetahuan saya, masuk sampai Pingit. Di Pingit ada banguna untuk pemandian namanya Dono. Kemudian ke Selatan lagi sampai di Utara Pasar Pathuk itu juga candi untuk mandi di situ. Lalu ke Selatan lagi sampai di Masjid Keraton. Nah mungkin setelah itu langsung menuju Tamansari. Sekian dari saya, mungkin nanti dari Pak Giyarto ada tambahan.

Pak Giyarto (G): Nggih, maturnuwun. Saya ingin menambahi apa yang sudah dijelaskan oleh Pak Lurah dan Pak Widodo. Benar memang ada bendung Bendolole di Kricak Kidul yang berbatasan dengan Bangunrejo. Itu memang posisinya di tepi Kali Winongo. Sejauh ini yang pernah saya lakukan adalah ketika pencanangan Kricak sebagai daerah wisata dan juga budaya. Saya pernah mewawancari Pak Gino, sekarang sudah meninggal. Beliau adalah pelaku sejarah. Saat itu, beliau sedang mangkal becak di Malioboro. Lalu ada seorang Belanda membawa peta dan berseru, “Bendolole! Bendolole!”. Saat itu hanya Pak Gino yang mengetahui lokasi Bendolole dan mengantarkan orang Belanda itu. Namun, beliau tidak tahu titik persisnya di mana, akhirnya beliau menanyai warga setempat dan diantarkan ke lokasi tersebut. Setelah itu, orang Belanda tersebut mengucapkan terima kasih karena telah diantarkan ke lokasi sesuai dengan peta. Jadi memang ada semacam aliran bawah tanah seperti assainering di tengah jalan. Jika dibuka, ada petunjuk ke bawah, sehingga nanti ada semacam dudukan yang bisa mengontrol aliran air itu. Dan ketika dicoba diambil airnya, jernih sekali. Itu tambahan sementara dari saya, mudah-mudahan bermanfaat.

N : Nggih, terima kasih. Semua sudah nggih ngendika Pak Lurah?

I : Saya mau menambahkan sedikit, saya berkomunikasi dengan Pak Trisnadi, peta itu ada di Dinas PU (Pekerjaan Umum) bu.

N : Nggih, nanti kita akan ke sana. Terima kasih, ini sangat menarik nggih mengenai Bendolole. Nanti akan kita cari mengenai fungsinya apa, siapa yang membangun. Karena masih kontroversi apakah Sultan HB I atau pemerintah kolonial yang membangun bendungan Bendolole tersebut. Kalau kita mengikuti

Indonesiasentris, maka kita akan condong ke HB I. Nah ini yang akan saya tanyakan ke Pak Widodo, mengenai nama bendo kluwih tadi, biasanya ada filosofi dalam penamaan sesuatu. Nah itu apa ya filosofinya?

W : Jadi begini bu, namanya pohon bendo daunnya seperti kluwih. Jadi bagi orang Jawa lebih enak menyebut Bendolole. Dulu ketika SD, pohon besar tersebut tumbang. Itu ada di sebelah Timur, pohonnya jatuh sampai di dasar sebelah Barat. Sungainya membujur dari Utara ke Selatan. Lubangnya ada di Timur, sedangkan dam-nya ada di sisi sebelah Selatan agak ke Barat. Jadi itu bu, menurut saya, menurut orang tua saya, jadi itu bendo kluwih.

N : nggih, ini kan dipakai untuk menamakan aliran sungai nggih, nah itu kenapa begitu?

W : Jadi di situ memang ada pohon bendo yang besar sekali. Kalau jaman sekarang, misalnya ada beringinnya begitu.

N : Nggih, nanti kita lacak lagi.

I : Mungkin kalau versi Keraton berbeda bu. Nanti Mbah Klimin bisa menambahkan

N : Pak Klimin ada di sini? Tadi belum bicara to? Monggo bisa cerita dulu Pak Klimin.

Mbah Klimin (K) : Sejarahnya Bendolole itu dimulai dari tahun 1901, dibuat oleh Kompeni untuk mengambil air untuk stasiun dan keraton. Lalu, pernah sekali Kasultanan mengambil dari luar, di Selatan Tugu. Yang menjaga Bendolole itu buyut saya, namanya Mbah Joyudo. Dulu itu dibutuhkan oleh Kompeni, yang dibantu keraton untuk mengaliri ke Timur dekat jembatan kereta api. Digunakan untuk kereta api diesel. Itu sejarahnya Bendolole, air yang tidak dapat mati. Kalau keraton mengambil dari luar, bersama dengan Pakualaman.

I : Apakah yang menjaga Bendolole dapat bayaran dari keraton atau tidak? K : Oh, dapat. Jaman itu 3 ringgit dapat bayaran dari keraton, lalu dibangunkan rumah di pinggir gejlig itu.

N : Namanya penjaga Bendolole dulu itu siapa? K : Pak Joyudo

N : Tahun berapa itu? K : Tahun setunggal (1901)

N : Sekarang masih berfungsi tidak?

K : Masih, tapi sudah bengkok gejlig nya bu.

I : Bendolole itu kalau dalam artian air masih mengalir, sekarang masih mengalir. Tetapi, berfungsi sebagaimana sebelumnya, seperti pengaturan airnya, sudah rusak.

N : Itu untuk mengaliri apa pak? Apakah sawah, atau apa? I : Tidak tahu bu.

N : Ya nanti kita langsung ke lapangan saja.

Pak Julianto (J): Saya ingin bertanya, tadi sudah diceritakan secara heuristik sudah mencapai titik temu. Tadi pembangunan itu bersamaan dengan adanya kereta api ke sebelah Selatan. Kalau tidak salah pembangunan kereta api ke Selatan dibangun tahun 1895. Yang pertama itu tahun 1867 rute Jogja ke Solo, dan baru 1895 ke Selatan. Nah, saya menduga bendungan tadi digunakan untuk mengairi perkebunan-perkebunan yang ada pada saat itu. Karena kita tahu tanah-tanah lungguh yang dimiliki oleh raja HB VII pada wkatu itu disewakan kepada perushaan-perusahaan perkebunan. Nah untuk memudahkan transportasi perusahaan-perusahaan itu mereka membangun jalur kereta api, dan kemudian untuk memudahkan pengairan membangun bendungan dan lain-lain. 1901 mungkin saya kira sedang marak-maraknya pembangunan perkebunan baik di Solo maupun yang ada di Jogja. Begitu Bu Nur, saya merangkai sedikit.dari cerita narasumber tadi. Pendapat dari Pak Lurah tadi mengenai keraton saya kira masuk akal. Karena keraton ikut bertanggung jawab atas proses menyewakan tanah kepada perkebunan. Tetaoi saya tetap menduga pembangunannya dilakukan oleh pemerintah kolonial.

N : Baik, terima kasih Pak Julianto atas pendapatnya yang saya kira menarik mengaitkan dengan perkebunan-perkebunan yang ada di wilayah Yogyakarta. Memang waktu itu tanah kesultanan itu tanah milik raja, dan dalam perkembangannya setelah kapitalisme muncul pada 1870, tanah-tanah tersebut disewakan kepada pemerintah kolonial dan swasta. Ada banyak perkebunan tebu di Yogyakarta, termasuk juga kereta api. Tadi Pak Klimin mengatakan bahwa yang membangun orang Belanda sangat masuk akal, karena Belanda menjajah Yogyakarta untuk kepentingan mereka. Salah satunya dengan membangun bendungan Bendolole. Mungkin ada hal lain yang bisa diceritakan Pak Lurah? I : Begini bu, nanti wawancara ke tempat kami di luar narasumber yang hadir di sini, mungkin ada beberapa narasumber yang bisa diwawancarai. Kemudian ada rekaman wawancara yang mungkin bisa dilihat nanti, rekaman bersama narasumber kami yang sayangnya sudah meninggal. Kemudian ada peta di dinas PU yang juga bisa dilihat. Peta itu mungkin bisa menjadi awal untuk melacak lebih lanjut.

N : Nggih, maturnuwun Pak Lurah.

Pak Aprinus(A) : Saya mau bertanya, ini pertanyaan dari orang awam. N : Nggih Pak, silakan.

A : Itu titik-titik yang bisa dilihat itu di mana saja ya Pak Lurah?

I : Kalau titik-titik lain di luar Kricak, kami tidak tahu. Ada di rekaman salah satu Babibkamtibmas itu pernah masuk ke dalam, dan bisa memberikan kesaksian bagaimana bentuk di dalamnya. Tapi kalau yang ke Selatan bisa dilihat di mana saja, kami tidak tahu Pak. Mungkin jika perlatannya memadai, seperti menggunakan drone, mungkin bisa dilihat lebih baik.

A : Nggih, Pak. Maturnuwun.

W : Ini ada tambahan lagi bu, ada teman kami yang waktu itu tinggal di Patuk, dia mendapat informasi kaitannya dengan titik-titik itu bu. Mungkin jika ada FGD berikutnya, mungkin bisa dihadirkan. Namanya Pak Yuliradi. Dari Bendolole itu ke Selatan ada untuk memeriksa salurannya. Arahnya memang

betul dari Bendolole ke Selatan At Takrib, melewati Arsip Daerah, ke Selatan lagi sampai ke belakang PDHI, di alun-alun juga ada. DI Pathuk juga ada. Dan beliau pernah menyatakan bersedia untuk menunjukkan. Nanti bisa diajak untuk menemani bu.

N : Selama anda jadi Ketua RW, apakah ada rapat-rapat yang membicarakan mengenai Bendolole?

W : Selama ini belum ada secara khusus bu, tetapi dari Kelurahan budaya yang dipimpin Pak Joko, pernah ada wacana untuk menelusuri aliran Bendolole, tapi belum terealisasi.

N : Teapi untuk program Bendolole ini mau diapakan bagaimana?

W : Waktu itu pernah ada diskusi yang arahnya melacak dan menggali supaya bisa menjadi objek wisata sejarah. Hanya belum memulai lagi bu.

I : Saya tambahkan bu, untuk kegiatan yang terkai Bendolole secara langsung itu sejak saya bertugas di Kricak, itu belum pernah ada. Hanya, Bendolole itu selalu menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Sebelumnya ketika saya tuga di Matrijeron, saya sudah mendapat informasi dan sudah disampaikan ke Dinas PU Kota bahwa ada aliran di bawah tanah yang mungkin bisa digunakan untuk menyerap kalau ada banjir kota. Namun tidak dapat terlaksana secara intensif karena tidak masuk program pokok.

N : Nggih, jadi baru ada rencana program nggih. Selama ini tidak kelihatan aliran-alirannya?

I : Tidak bu, cuma itu benar ada dan masih mengalir.

N : Nggih, maturnuwun. Nanti kita akan mewawancarai satu demi satu agar lebih efektif. Nggih sampun, maturnuwun. Mungkin untuk saat ini sudah kami cukupkan pertanyaannya. Kami kembalikan lagi kepada Pak Aprinus.

Transkrip Wawancara dengan Bapak Nur Kholis

Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 30 November 2020

Pak Nurkholis (N): Kalau mengacu pada Permen PU nomor 14 itu ada penetapan kriteria luasan area daerah irigasi. Untuk area lebih dari 3000 hektar, maka menjadi kewenangan pusat. Di DIY ada 2, yang satu mengambil dari selokan mataram, tetapi bukan di saluran mataramnya tapi di bendung karangtalun dan sistem kalibawang di Kulon Progo. Lalu antara 1000-3000 hektar kewenangan Provinsi. Kalau irigasinya lintas kabupaten, itu menjadi kewenangan Provinsi. Tetapi yang di Bendolole, setahu kami, memang bukan untuk irigasi. Hanya untuk penggelontoran saja.

P: Tadi saya di Dinas PU kota juga diberitahu begitu, malah sampai diberi peta. Aliran airnya dari Bendolole mengalir ke pemandian Donotirto bahkan sampai ke Tamansari.

N: Kalau teknologinya memang teknologi lama, sepertinya memang peninggalan Belanda. Sejak zaman HB IX. Kalau untuk irigasi, ada di kami yg melewati tugu dari jalan Monjali lalu AM Sangaji sampai Tugu. Itu namanya DI Pogung, bendungnya di dekat Fakultas Teknik UGM.

P: Tapi sumbernya bukan dari Bendolole? N: Bukan, dari Pogung bu.

P: Memang alirannya mungkin sampai ke Keraton. Karena begitu sampai di Tugu hilang. Karena begitu sampai Tugu kami tidak bisa melacak. Semua daerah irigasi yang menjadi kewenangan kami, Dinas PU Provinsi, sudah didigitalisasi. Bisa dilihat melalui Google Maps.

N: Kalau irigasi di kota itu untuk apa saja pak?

P: Kalau sekarang lebih dimanfaatkan untuk perikanan, karena sawah-sawah di perkotaan sudah mulai habis. Ada satu lagi saluran irigasi kami di sebelah Museum Affandi. Nah ini ada Pak Arik yang mengetahui mengenai Bendolole.

Pak Arik (A): Bendolole murni kewenangan Dinas PU Kota.

P: Kalau di provinsi, apakah pernah mengelola Bendolole untuk irigasi?

A: Mungkin pernah dulu sebelum ada otonomi, ketika Dinas PU masih menjadi satu.

P: Tapi penjelasannya itu dari PU Kota itu hanya untuk penggelontoran limbah kota, nah apakah di sini pernah mengelola?

N: Setahu saya tidak pernah mengelola, tetapi untuk Balai IPAL memang mengelola untuk penggelontoran.

A: Mungkin pernah ada untuk irigasi karena masih ada areal swahnya N: Sudah tidak ada, Pak. Tapi airnya sampai ke Tamansari.

P: (Sambil menunjukkan foto) Lha, ini ada pintu yang untuk mengatur air. Di atasnya ada rumah orang yang bertugas mengatur air tersebut.

N: Kalau punya kita yg melintas di Kota, ada saluran yang bendungannya di sebalah Museum Affandi, ke UIN, salurannya sampai Timoho. Ini areal sawah yang tersedia...

P: Itu dari bendungan apa pak?

N: Ini dari Bendungan Ngebruk bu. Alirannya sungai Gajahwong, di daerah UIN. Sebelah Museum Affandi. Kalau itu yang melintas ke kota. Selain itu, pintu-pintu air untuk irigasi identik dengan warna biru bu.

P: Nggih.

A: Kalau yang fungsinya sama dengan Bendolole ya saluran Pogung. Sama-sama untuk penggelontoran.

P: Tapi jika melihat zaman Belanda dulu, digunakan untuk mengairi pabrik-pabrik Gula. Kalau sekarang sudah jadi rumah-rumah.

N: Kalau pabrik gula Madukismo, itu memanfaatkan irigasi kami. Di DI Pendowo.

A: Iya, sungai Bedog.

P: Kalau Kali Larangan itu apa pak? Sama dengan Winongo?

N: Saya malah belum tahu. Kadang masyarakat itu memberi nama beda dengan kaidahnya. Kalau kita lihat, misalnya Code, itu hanya sampai asrama haji. Utara ringroad itu bukan kali Code bu, tapi kali Boyong.

P: Kenapa bisa begitu?

N: Ya tidak tahu, karena masyarakat yang menyebut begitu. Meskipun alirannya masih sama.

Rizky (R): Kalau saluran untuk irigasi dan penggelontor limbah itu apakah jadi satu atau dipisah?

N: Beda, dipisah. Jadi kalau untuk irigasi, pokoknya setiap melihat bangunan yang membendung sungai dan ada pintu pengambilan dan pengaturan air itu untuk irigasi.

R: Oooh, nggih.

N: Lalu ketika saluran irigasi yang langsung dari bendung, itu namanya saluran primer. Kalau saluran primer ini bercabang, cabang itu namanya saluran sekunder. Air yang mengalir ke sawah-sawah itu bukan dari saluran primer atau sekunder, tapi sudah saluran tersier. Dan itu pasti ada pintu pembaginya, kalau orang Jawa menyebutnya gejlig .Setiap ada pintu pengambilan maka itu digunakan untuk irigasi.

P: Kalau untuk limbah bagaimana?

N: Kalau untuk limbah berbeda lagi bu. Limbah memiliki saluran sendiri dan pasti tertutup.

N: Tidak ada. Hanya, kalau di kita, seperti saluran Pogung tadi yang semula untuk irigasi tetapi karena sawahnya sudah tidak ada, maka menjadi saluran penggelontor air limbah. Dalam kaidah Sumber Daya Air, air baku itu penggunaannya ada 4. Untuk irigasi dan RKI.

Dokumen terkait