• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Hutan Raya

2.5 Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL)

2.6.3 Travel Cost Method (TCM)

Travel Cost Method (TCM) berusaha untuk menempatkan nilai pada pasar barang non lingkungan dengan menggunakan perilaku konsumsi di pasar. Secara khusus, biaya mengkonsumsi jasa dari aset lingkungan digunakan sebagai proxy

untuk harga. Biaya konsumsi akan mencakup biaya perjalanan, biaya masuk, dan pengeluaran pada peralatan modal yang diperlukan untuk konsumsi. Metode ini mengasumsikan kelemahan antara aset lingkungan dan pengeluaran konsumsi (Hanley dan Spash, 1993).

Menurut Pierce et al. (2006), TCM dikembangkan utuk menilai kegunaan dari barang non market, daerah yang letak geografisnya khusus dan lokasi yang dipergunakan untuk rekreasi. Secara prinsip metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat-tempat rekreasi, dengan mengetahui pola ekspenditur dari konsumen, maka dapat diketahui berapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumberdaya alam dan lingkungan (Fauzi, 2004).

Adapun kelebihan dari metode ini yaitu hasil perhitungan benefit berdasarkan tingkah laku pasar yang diteliti, sedangkan kelemahan metode ini yaitu biaya perjalanan yang digunakan haruslah valid, biaya kesempatan (opportunity cost) harus dimasukkan ke dalam perhitungan, dan teori ekonomi gagal untuk menjelaskan hubungan antara jumlah kunjungan dan biaya perjalanan (Yakin, 1997).

2.6.4 The Averting Behaviour Method (ABM)

The Averting Behaviour Method (ABM) ini menilai kualitas lingkungan berdasarkan pada pengeluaran untuk mengurangi atau mengatasi efek negatif dari polusi. Misalnya, terjadinya polusi udara yang mengharuskan orang-orang menggunakan masker. Biaya pembelian masker dianggap sebagai nilai dari benefit untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Kelebihan ABM adalah pengukuran manfaat yang dihasilkan berdasarkan karakteristik pasar yang

22

diselidiki, sedangkan kelemahan ABM yaitu membutuhkan data yang memuaskan dan rumit dan metode ini tergantung pada asumsi yang tidak dapat dijelaskan atau dianalisa dengan tepat yang berkaitan dengan spesifikasi fungsi utilitas orang yang diteliti (Yakin, 1997).

2.6.5 Contingent Valuation Method (CVM)

Contingent Valuation Method (CVM) adalah metode teknik survei untuk menanyakan kepada penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar seperti jasa lingkungan. Secara prinsip, metode ini memiliki kemampuan untuk diterapkan dalam menilai keuntungan dari penyediaan jasa lingkungan pada lingkup masalah lingkungan yang luas juga mampu menentukan pilihan estimasi harga pada kondisi ketidakmenentuan (Yakin, 1997). Pendekatan CVM pertama kali dikenalkan oleh Davis (1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan (hunter) di Miami. Pendekatan ini disebut contingent (tergantung) karena pada praktiknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesa yang dibangun. Pendekatan CVM secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua, dengan teknik survei (Fauzi, 2004).

Pada dasarnya CVM merupakan suatu metode untuk penilaian suatu barang yang tidak mempunyai harga pasar. Nilai tersebut diestimasi dengan suatu metode yang diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pengambil keputusan yang diperlukan untuk mengetahui biaya dan manfaat dari suatu program kegiatan perbaikan kualitas lingkungan atau aktivitas yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan (Yulianti dan Ansusanto, 2002).

Pendekatan CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non pemanfaatan) sumberdaya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui pertama, keinginan membayar (willingness to pay atau WTP) dari masyarakat dan kedua, keinginan menerima (willingness to accept atau WTA) (Fauzi, 2004). Willingness to pay (WTP) adalah nilai responden yang menyatakan keinginan untuk membayar atau menyetujui sejumlah uang tertentu untuk melakukan perubahan lingkungan (Yulianti dan Ansusanto, 2002).

Kuesioner CVM dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (1) pertanyaan tentang karakteristik sosial demografi responden seperti usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, dan lain-lain; (2) pertanyaan tentang WTP yang diteliti; (3) penulisan detail tentang benda yang dinilai, persepsi penilaian benda publik, jenis kesanggupan, dan alat pembayaran. Pertanyaan dalam kuesioner mengenai WTP yang diteliti dibagi dalam beberapa jenis pertanyaan, yaitu: (1) permainan lelang (bidding game), (2) pertanyaan terbuka, (3) payment card, dan (4) model referendum atau discreate choice (dichotomous choice) (Fauzi, 2004).

Penggunaan CVM dalam memperkirakan ekonomi suatu lingkungan memiliki kelebihan-kelebihan, yaitu penilaian kontingensi ini sangat fleksibel dalam memperkirakan nilai ekonomi apa pun, CVM dapat memperkirakan nilai guna, serta nilai-nilai keberadaan, nilai-nilai pilihan, dan nilai-nilai warisan, serta hasil CVM tidak sulit untuk dianalisis dan dipahami1. Meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk mengukur WTP, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang

1

24

utama adalah timbulnya bias. Bias ini terjadi jika timbul nilai yang overstate maupun understate secara sistematis dari nilai yang sebenarnya. Sumber-sumber bias terutama ditimbulkan oleh dua hal yang utama yaitu, bias yang timbul dari strategi yang keliru dan bias yang ditimbulkan oleh rancangan penelitian (design bias) (Fauzi, 2004).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengoperasian CVM, yaitu (Hanley dan Spash, 1993):

1. Pasar hipotetik yang digunakan harus memiliki kreadibilitas dan realistik. 2. Alat pembayaran yang digunakan atau ukuran kesejahteraan (WTP)

sebaiknya tidak kontroversial dengan etika dimasyarakat.

3. Informasi yang disajikan untuk responden sebaiknya cukup mengenai sumberdaya yang dimaksud dalam kuesioner dan alat pembayaran untuk penawaran mereka.

4. Responden sebaiknya mengenal sumberdaya yang dimaksud dalam kuesioner dan mempunyai pengalaman di dalamnya.

5. Jika memungkinkan ukuran WTP sebaiknya dicari karena responden sering kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan.

6. Ukuran contoh yang cukup besar sebaiknya dipilih untuk mempermudah perolehan selang kepercayaan dan reabilitas.

7. Pengujian kebiasan sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi untuk memperkecil strategi bias khusus.

8. Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi.

9. Sebaiknya diketahui dengan pasti apakah contoh memiliki karakteristik yang sama dengan populasi dan penyesuaian dibuat jika diperlukan.

10. Tanda parameter sebaiknya dilihat kembali apakah mereka setuju dengan harapan sebelumnya.

2.7 Analisis Regresi Logit

Analisis regresi logit merupakan bagian dari analisis regresi. Analisis ini mengkaji hubungan pengaruh-pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen melalui model persamaan matematis tertentu. Namun jika peubah dependen dari analisis regresinya berupa kategorik, maka analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi logit (Hosmer dan Lemeshor, 1989).

Penelitian ini menggunakan analisis regresi biner yang menyatakan bahwa apakah responden bersedia membayar atau tidak bersedia membayar. Transformasi persamaannya sebagai berikut (Ramanathan, 1997):

1 i i P Li In X u P           

dimana Li sering disebut sebagai indeks model logistik, yang nilainya sama

dengan 1 i i P In P        ; dan 1 i i P P   

  adalah odd, yaitu nilai rasio kemungkinan terjadinya suatu peristiwa dengan kemungkinan tidak terjadinya peristiwa. Parameter model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum likelihood (ML). ML sebuah teknik estimasi yang bersifat iteratif digunakan terutama pada persaman-persamaan non linear dalam parameter-parameter (koefisien-koefisien).

2.8 Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi berganda (multiple regression analysis) adalah suatu model dimana variabel dependen bergantung pada dua atau lebih variabel yang

26

independen (Firdaus, 2004). Persamaan model regresi berganda dapat dituliskan sebagai berikut (Juanda, 2009):

Y = β1 X1i+ β2 X2i+ β3 X3i+ βk Xki+ εi

Subskrip i menunjukkan nomor pengamatan dari 1 hingga N untuk data populasi, atau sampai n untuk data contoh (sample). Y merupakan variabel dependen sedangkan Xki merupakan pengamatan ke-i untuk variabel independen Xk. Koefisien βi dapat merupakan intersep apabila semua pengamatan X1i bernilai satu, sehingga model menjadi sebagai berikut:

Y = β1+ β2 X2i+ β3 X3i+ βk Xki+ εi

Dalam mendapatkan koefisien regresi parsial, maka digunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square-OLS). Metode OLS dilakukan dengan pemilihan parameter yang tidak diketahui sehingga jumlah kuadrat kesalahan pengganggu (Residual Sum of Square-RSS) yaitu ∑ei2 = minimum (terkecil). Pemilihan model didasarkan dengan pertimbangan metode ini mempunyai sifat- sifat karakteristik yang optimal, sederhana dalam perhitungan, dan umum digunakan. Beberapa asumsi yang dipergunakan dalam model regresi berganda adalah (Firdaus, 2004):

1. Nilai yang diharapkan bersyarat (conditional expected value) dari εi tergantung pada Xi tertentu adalah nol.

2. Tidak ada korelasi berurutan atau tidak ada autokorelasi (non autokorelasi) artinya dengan Xi tertentu simpangan setiap Y yang manapun dari nilai rata- ratanya tidak menunjukkan adanya korelasi, baik secara positif atau negatif. 3. Varian bersyarat dari (ε) adalah konstan. Asumsi ini dikenal dengan nama

4. Variabel independen adalah non stokastik, yaitu tetap dalam penyampelan

berulang. Jika stokastik didistribusikan secara independen dari gangguan ε.

5. Tidak ada multikolinearitas diantara variabel independen satu dengan yang lainnya.

6. ε didistribusikan secara normal dengan rata-rata dan varian yang diberikan oleh asumsi 1 dan 2.

Apabila semua asumsi yang mendasari model tersebut terpenuhi maka suatu fungsi regresi yang diperoleh dari hasil perhitungan pendugaan dengan metode OLS dari koefisien regresi adalah penduga tak bias linear terbaik (Best Linear Unbiased Estimator-BLUE). Sebaliknya, jika ada asumsi dalam model regresi yang tidak dipenuhi oleh fungsi regresi yang diperoleh maka kebenaran pendugaan dapat diragukan. Penyimpangan asumsi 2, 3, dan 5 memiliki pengaruh yang serius sedangkan asumsi 1, 4, dan 6 tidak.

2.9 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan hasil studi pustaka diperoleh beberapa hasil kajian mengenai nilai pemanfaatan sumberdaya air, diantaranya penelitian Setiawan (2000), mengenai nilai ekonomi Tahura Wan Abdul Rachman, Provinsi Lampung. Metode yang dilakukan adalah dengan mewawancarai penduduk sekitar yang memanfaatkan jasa lingkungan dari Tahura Wan Abdul Rachman. Hasil dari penelitian adalah berdasarkan surplus konsumen yang diperoleh masyarakat nilai Tahura Wan Abdul Rachman untuk nilai hijauan pakan ternak sebesar Rp 3.581.529.620; nilai kayu bakar sebesar Rp 10.329.411.216; nilai perladangan tanaman semusim sebesar Rp 381.235.682; nilai perladangan tanaman tahunan sebesar Rp 1.389.565.000; nilai air untuk kebutuhan rumah tangga sebesar Rp

28

487.530.594; nilai air sawah sebesar Rp 149.083.495; dan nilai wisata sebesar Rp 9.367.513. Total surplus konsumen yang diperoleh masyarakat untuk komponen- komponen tersebut di atas adalah Rp 16.327.713.120 atau rata-rata Rp 734.028/Ha/tahun.

Yumarni (2002), meneliti tentang manfaat Tahura Dr. Mohammad Hatta, dalam penelitian menjelaskan nilai Tahura Dr. Mohammad Hatta secara ekonomi atas pemanfaatan jasa yang dihasilkan. Metode yang dilakukan adalah dengan mewawancarai penduduk sekitar yang memanfaatkan jasa lingkungan dari Tahura Dr. Mohammad Hatta. Hasilnya adalah total surplus konsumen yang diperoleh masyarakat yang berbatasan langsung dengan Tahura Dr. Mohammad Hatta adalah Rp 8.978.666.190 setiap tahunnya, dengan surplus konsumen masing- masing kegiatan setiap tahunnya adalah kayu bakar sebesar Rp 7.781.952.966; hijauan makanan ternak sebesar Rp 158.856.589; air untuk kebutuhan rumah tangga sebesar Rp 346.199.528; air untuk sawah sebesar Rp 10.099.219; perladangan tanaman semusim sebesar Rp 1.996.975; perladangan tanaman tahunan sebesar Rp 6.218.947; dan wisata sebesar Rp 673.341.966.

Widada dan Darusman (2004), melakukan penelitian tentang nilai ekonomi domestik dan irigasi pertanian yang dilakukan di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), dimana penelitian mencari tahu besarnya manfaat hidrologi TNGH khususnya untuk memenuhi kebutuhan domestik dan pertanian masyarakat desa penyangga TNGH. Contoh desa yang dijadikan suatu sampel sebanyak 13 desa dengan pengumpulan data menggunakan metode survei yang dilaksanakan selama enam bulan. Hasilnya adalah bahwa nilai ekonomi air sebagai manfaat hidrologi TNGH untuk kebutuhan domestik masyarakat desa

penyangga TNGH sebesar Rp 5.223.870.380 terdiri dari nilai yang dibayarkan Rp 1.163.367.368 dan surplus konsumen Rp 4.060.502.012. Nilai ekonomi air sebagai manfaat hidrologi TNGH untuk kebutuhan pertanian masyarakat desa penyangga TNGH sebesar Rp 1.417.546.684 terdiri dari atas nilai yang dibayarkan Rp 958.967.038 dan surplus konsumen Rp 460.387.400.

Penelitian yang dilakukan oleh Mihardja (2009), mengenai inventarisasi jasa lingkungan air di sekitar kawasan Suaka Margasatwa Nantu bertujuan mengumpulkan informasi dan data tentang potensi jasa air di kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Nantu dan hubungannya dengan aktivitas ekonomi di sekitar kawasan Suaka Margasatwa Nantu. Metode pengambilan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan mengumpulkan beberapa studi pustaka, observasi partisipasi dan pencatatan serta wawancara. Hasilnya adalah nilai total ekonomi air per tahun untuk penggunaan air oleh penduduk sekitar Suaka Margasatwa Nantu berjumlah Rp 10.616.126,98 dan dalam 25 tahun (diskonto 10 persen) mencapai nilai Rp 96.363.009 sedangkan jika dibandingkan harga riil air berdasarkan PDAM Paguyaman, maka dihasilkan nilai total ekonomi air per tahun sebesar Rp 118.269.850 dan dalam 25 tahun (diskonto 10 persen) mencapai nilai Rp 1.073.540.158.

Penelitian yang dilakukan oleh Merryna (2009), mengenai WTP masyarakat terhadap PJL yang dilakukan di Desa Curug Goong, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten. Tujuannya ialah mencari nilai WTP masyarakat terhadap instrumen ekonomi yaitu PJL, faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan responden untuk melakukan PJL, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan tersebut. Tentu saja metode yang digunakan adalah

30

CVM. Hasil penelitian yaitu nilai WTP yang diperoleh untuk nilai rataan WTP responden adalah Rp 101/liter/KK sedangkan nilai total WTP adalah Rp 83.835/liter. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTP responden dipengaruhi oleh penilaian kualitas air, jumlah kebutuhan air, jarak rumah ke sumber air, dan rata-rata pendapatan rumah tangga. Jumlah pemanfaatan jasa lingkungan mata air Cirahab oleh masyarakat sebanyak 51.887.305/liter/tahun yang dapat dihasilkan oleh 4,94 Ha lahan melalui metode transfer benefit. Nilai potensial pemanfaatan mata air Cirahab adalah sebesar Rp 5.240.617.805/tahun yang nilainya jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya pemulihan ekologi hutan sebesar Rp 544.758.500/Ha/tahun.

Sutopo (2011), melakukan penelitian mengenai pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum (studi kasus DAS Cisadane hulu). Metode yang digunakan yaitu mewawancarai masyarakat hulu dan hilir daerah DAS Cisadane. Hasil penelitian memberikan gambaran perlunya dikembangkan pengembangan kebijakan insentif yang lebih adil dan merata. Hal ini disebabkan karena adanya kontribusi peran tertinggi dari pihak swasta dalam mengelola air minum dibandingkan dengan aktor lainnya dengan memberikan manfaat ekonomi tetap mempertahankan kriteria terbaiknya dengan melakukan diversifikasi usaha tani guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan konsisten untuk melaksanakan dan mencanangkan strategi agar tetap melakukan kegiatan konservasi terutama pada kawasan resapan air. Hal ini sesuai pula dengan respon yang signifikan terhadap kemauan masyarakat untuk melakukan konservasi dengan cara melakukan menanam pohon dan adanya persepsi terhadap PJL bahwa masyarakat setuju pentingnya pembayaran jasa lingkungan yang didukung

masyarakat pada saat merespon tingkat kesediaan masyarakat menerima pembayaran jasa lingkungan (WTA) karena akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan mereka sendiri dan adanya respon positif dari pemanfaat air minum (pengusaha) untuk bersedia membayar jasa lingkungan (WTP) sebagai pembayaran jasa lingkungan kepada masyarakat karena dipengaruhi oleh keberadaan dan kondisi pemanfaat yang secara linear signifikan dengan level pendidikannya. Implikasi kebijakan atas hasil penelitian ini, menetapkan nilai rataan (WTP-WTA) sebesar Rp 1.563,97/m3 sebagai basis perhitungan dasar tentang nilai PJL yang dapat diterapkan secara bertahap di DAS Cisadane hulu oleh pemerintah terhadap para pengelola air (users pay principle) untuk masyarakat di hulu sebagai keniscayaan penerapan kebijakan.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda adalah kawasan pelestarian alam yang berada di Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan. Selain sebagai kawasan pelestarian alam, Tahura Ir. H. Djuanda juga menyimpan potensi sebagai daerah resapan air. Sebagaimana yang diketahui bahwa luas daerah resapan air di kawasan Bandung Utara semakin menyempit dan parah kondisinya, sehingga Tahura Ir. H. Djuanda sangat berperan dalam pasokan air di kawasan Bandung Utara. Parahnya kondisi resapan air dapat dilihat pada saat musim kemarau maupun musim hujan. Disaat musim kemarau pasokan air yang diterima oleh masyarakat sangat kecil sekali, sedangkan pada saat musim hujan terjadi bencana banjir. Potensi resapan air dapat dilihat dari mata air dan mengalirnya Sungai Cikapundung. Sungai Cikapundung dimanfaatkan oleh PDAM Tirtawening Kota Bandung dan PLTA Dago Bengkok, sedangkan mata air dimanfaatkan oleh masyarakat melalui BPAB-DC.

Kondisi mata air yang berada di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda mulai mengalami penurunan baik secara kuantitas maupun kualitas dimana pasokan debit mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat sudah mulai mengalami penurunan, hal ini terlihat dari air bersih yang berasal dari mata air yang diterima oleh masyarakat hanya lebih kurang 2-3 hari sekali. Masyarakat serta beberapa instansi yang memanfaatkan air yang berasal dari Tahura Ir. H. Djuanda berkewajiban membayar pemanfaatan jasa sumberdaya air dari Tahura Ir. H. Djuanda, karena Tahura merupakan kawasan konservasi dan penetapan nominalnya sudah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 25 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda,

sedangkan untuk mata air secara langsung dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar melalui BPAB-DC.

Pemanfaatan sumberdaya air menunjukkan penggunaan jasa lingkungan yang dihasilkan oleh Tahura Ir. H. Djuanda. Agar kuantitas dan kualitasnya dapat terjaga dengan baik maka pengelolaan sumberdaya air tersebut harus dijaga keberadaannya, sehingga ketersediannya tidak mengalami penurunan dan tetap dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukanlah instrumen ekonomi untuk menjaga Tahura tersebut yakni melalui mekanisme PJL yang diharapkan dapat menjaga kuantitas dan kualitas sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda.

Penerapan instrumen ekonomi berupa PJL untuk pemanfaatan sumberdaya air di Tahura Ir. H. Djuanda dapat dilakukan apabila semua pihak mengetahui potensi ekonomi sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda. Guna mengetahui potensi nilai ekonomi potensial Tahura Ir. H. Djuanda, maka diperlukan analisis mendalam mengenai pola pemanfaatan sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda oleh berbagai instansi dan masyarakat. Dalam penelitian ini teknik WTP dengan metode CVM digunakan untuk mengetahui nilai ekonomi sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda yang diestimasi dari sudut pandang masyarakat. Selain itu untuk mendapatkan nilai ekonomi total sumberdaya air Tahura Ir. H. Djuanda, maka nilai ekonomi yang diberikan oleh pemanfaat sumberdaya air lainnya yaitu PDAM Tirtawening Kota Bandung dan PLTA Dago Bengkok juga diperhitungkan. Alur penelitian disajikan pada diagram alur kerangka berpikir yang dapat dilihat pada Gambar 2.

34

Gambar 2. Diagram Alur Kerangka Berpikir

Mata air Sungai Cikapundung

Fungsi Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda

Potensi resapan air dan

penyediaan air bersih Jasa lingkungan

WTP masyarakat terhadap PJL Kawasan pelestarian

alam

Pemanfaatan sumberdaya air berkelanjutan

Ketersediaan sumberdaya air

Instrumen ekonomi berupa PJL Dimanfaatkan oleh PLTA Dago Bengkok Dimanfaatkan oleh PDAM Tirtawening Kota Bandung

Dimanfaatkan oleh masyarakat melalui BPAB-DC

Pola pemanfaatan sumberdaya air di Tahura Ir. H. Djuanda

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan WTP masyarakat dalam penggunaan air bersih Tahura Ir. H. Djuanda Penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya air

Nilai PJL untuk PDAM Tirtawening dan PLTA

IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda dan Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) karena masyarakat dan instansi di daerah tersebut memanfaatkan sumberdaya air yang berada dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda untuk berbagai kebutuhan sehari-hari. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian terbagi dalam beberapa tahap, tahap awal ini merupakan pra penelitian yang dimulai dari pengamatan permasalahan di lapangan, perumusan masalah, pengembangan kerangka berpikir serta penyusunan proposal. Tahapan ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Maret 2012. Tahapan pengambilan data yang dilaksanakan bulan April hingga Mei 2012. Selanjutnya tahapan pengolahan dan analisis data serta penyusunan skripsi dilaksanakan bulan Juni hingga November 2012.

4.3 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian survei dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Menurut Jogiyanto (2008), survei (survey) atau lengkapnya self-administered survey adalah metode pengumpulan data primer dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada responden individu, sedangkan menurut Nasution (2003), suatu penelitian survei bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang orang yang jumlahnya besar,

36

dengan cara mewawancarai sejumlah kecil dari populasi itu. Dalam metode survei ini, kuesioner dan wawancara digunakan sebagai instrumen penelitian. Menurut Nasution (2003), kuesioner adalah daftar pertanyaan yang didistribusikan melalui pos untuk diisi dan dikembalikan atau dapat juga dijawab dibawah pengawasan peneliti, sedangkan wawancara atau interview adalah suatu bentuk komunikasi verbal yang bertujuan memperoleh informasi.

4.4 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian diperoleh dari berbagai instansi pemerintah di lokasi penelitian, seperti pihak pengelola Tahura Ir. H. Djuanda, BPAB-DC, PDAM Tirtawening Kota Bandung, PLTA Dago Bengkok, dan Desa Ciburial serta referensi lainnya dan penelitian-penelitian terdahulu. Data primer yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pihak pengelola Tahura Ir. H. Djuanda, BPAB-DC, PDAM Tirtawening Kota Bandung, PLTA Dago Bengkok, dan masyarakat melalui kuesioner seperti yang disajikan pada Lampiran 3. Data tersebut meliputi respon dari responden terhadap keinginan membayar responden terhadap jasa sumberdaya air dari kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. Jenis data dan sumbernya dapat disajikan dalam Tabel 1.

4.5 Metode Pengambilan Sampel

Teknik yang digunakan dalam menentukan responden untuk BPAB-DC, PDAM Tirtawening Kota Bandung, dan PLTA Dago Bengkok adalah key person, yang memahami permasalahan dan berperan dalam mengambil keputusan, sedangkan penentuan desa dilakukan secara purposive sampling yaitu desa yang

masyarakatnya memanfaatkan mata air yang berada dalam kawasan Tahura Ir. H. Djuanda. Menurut Nasution (2003), purposive sampling adalah memilih sampel secara sengaja. Selanjutnya sampel masyarakat dipilih dengan metode convinience sampling dengan alasan keterbatasan dalam membentuk sampling frame. Menurut Mustafa (2000), convinience sampling adalah pengambilan sampel yang mudah ditemui. Jumlah responden yang diambil sebanyak 80 Kepala Keluarga (KK) dari 650 KK yang berada di Desa Ciburial yang memanfaatkan air dari BPAB-DC. Tabel 1. Matriks Metode Analisis Data

No. Tujuan Penelitian Sumber

Data

Metode Analisis Data 1 Menganalisis pola pemanfaatan

sumberdaya air di Tahura Ir. H. Djuanda. Wawancara (key