• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

3. Tujuan Strategis Pada Supply Chain Management

Strategi tidak dapat dilepaskan dari tujuan jangka panjang. Tujuan inilah yang diharapkan akan tercapai. Keputusan-keputusan jangka pendek dan di lingkungan lokal mestinya harus mendukung organisasi atau supply chain kearah tujuan-tujuan strategis tersebut. Tujuan-tujuan strategis tersebut perlu dicapai untuk membuat supply chain menang atau setidaknya bertahan dalam persaingan pasar. Untuk bisa memenangkan pasar, maka supply chain harus bisa menyediakan produk yang :

1. Murah 2. Berkualitas 3. Tepat waktu 4. Bervariasi

Keempat tujuan strategis tersebut sangat penting dimata pelanggan.

Namun perlu disadari bahwa tingkat kepentingan untuk masing-masing tujuan di atas berbeda-beda untuk tiap jenis produk dan segmen pelanggan. Ada produk yang dibeli oleh pelanggan dengan pertimbangan utama harga yang murah, sedangkan ada pelanggan yang membeli dengan kualitas sebagai pertimbangan utama. Ada jenis produk yang bisa unggul di pasar karena

mampu menciptakan jenis produk yang beragam, ada juga karena mudah atau cepat diperoleh.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka supply chain harus menerjemahkan tujuan-tujuan tersebut ke dalam kemampuan sumber daya yang dimiliki. Dalam konteks operasi supply chain, tujuan-tujuan tersebut bisa dicapai apabila memiliki kemampuan untuk :

1. Beroperasi secara efisien 2. Menciptakan kualitas 3. Cepat

4. Fleksibel 5. Inovatif

Masing-masing aspirasi pelanggan tersebut bisa didukung oleh satu atau beberapa kemampuan strategis suatu supply chain. Misalnya, aspirasi untuk mendapatkan produk yang murah tidak hanya didukung oleh kemampuan supply chain untuk beroperasi secara efisien, tetapi juga oleh kemampuannya menciptakan kualitas. Dalam konteks operasi, kemampuan menciptakan kualitas tidak selalu diasosiasikan dengan produk, tetapi juga proses. Filosofi manajemen kualitas β€œright the first time and every time” misalnya mengindikasikan bahwa manajemen kualitas juga besar perannya dalam mengurangi produk yang rusak atau yang harus dikerjakan ulang (rework).

Mengurangi pekerjaan ulang atau kerusakan akibat tidak melakukan proses dengan benar tentu sangat berpengaruh pada aspek finansial sebuah operasi.

Singkatnya, kualitas proses yang dijaga dengan baik akan banyak memberikan

penghematan, sehingga supply chain juga mampu menawarkan produk dengan harga yang lebih murah. Demikian juga kemampuan supply chain unuk menciptakan kualitas juga berpengaruh pada tujuan untuk menyediakan produk tepat waktu bagi pelanggan. kesalahan proses yang mengakibatkan reject dan rework tentu mengakibatkan waktu produksi lebih lama, sehingga mengurangi kemampuan supply chain untuk menyediakan produk yang tepat waktu.

Gambar II.1 mengilustrasikan hubungan antara empat aspirasi pelanggan dengan lima kemampuan strategis yang harus dimiliki oleh supply chain (Pujawan & Mahendrawathi 2017 : 34–37).

Gambar II.1 Aspirasi Pelanggan dan Kemampuan Strategis Supply Chain

(Sumber: Pujawan & Mahendrawathi, 2017; 36) 4. Manfaat Supply Chain Management

Secara umum penerapan konsep SCM dalam perusahaan akan memberikan manfaat yaitu kepuasan pelanggan, meningkatkan pendapatan, menurunnya biaya, pemanfaatan asset yang semakin tinggi, peningkatan laba, dan perusahaan semakin besar (Jebarus, 2001).

a. Kepuasan pelanggan.

Konsumen atau pengguna produk merupakan target utama dari aktivitas proses produksi setiap produk yang dihasilkan perusahaan. Konsumen atau pengguna yang dimaksud dalam konteks ini tentunya konsumen yang setia dalam jangka waktu yang panjang. Untuk menjadikan konsumen setia, maka terlebih dahulu konsumen harus puas dengan pelayanan yang disampaikan oleh perusahaan.

b. Meningkatkan pendapatan.

Semakin banyak konsumen yang setia dan menjadi mitra perusahaan berarti akan turut pula meningkatkan pendapatan perusahaan, sehingga produk-produk yang dihasilkan perusahaan tidak akan terbuang percuma, karena diminati konsumen.

c. Menurunnya biaya.

Pengintegrasian aliran produk dari perusahan kepada konsumen akhir berarti pula mengurangi biaya-biaya pada jalur distribusi.

d. Pemanfaatan asset semakin tinggi.

Aset terutama faktor manusia akan semakin terlatih dan terampil baik dari segi pengetahuan maupun keterampilan. Tenaga manusia akan mampu memberdayakan penggunaan teknologi tinggi sebagaimana yang dituntut dalam pelaksanaan Supply Chain Management.

e. Peningkatan laba.

Dengan semakin meningkatnya jumlah konsumen yang setia dan menjadi pengguna produk, pada gilirannya akan meningkatkan laba perusahaan.

f. Perusahaan semakin besar.

Perusahaan yang mendapat keuntungan dari segi proses distribusi produknya lambat laun akan menjadi besar, dan tumbuh lebih kuat.

Keenam manfaat yang sudah dijelaskan seperti tersebut di atas merupakan manfaat tidak langsung. Menurut Jebarus (2001) manfaat langsung dari penerapan Supply Chain Management bagi perusahaan adalah :

a. Supply Chain Management secara fisik dapat mengkonversi bahan baku menjadi produk jadi dan mengantarkannya kepada konsumen akhir.

Manfaat ini menekankan pada fungsi produksi dan operasi dalam sebuah perusahaan. Dalam fungsi ini dilakukan penggunaan dari seluruh sumber daya yang dimilki dalam sebuah proses transformasi yang terkendali, untuk memberikan nilai pada produk yang dihasilkan sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan dan mendistribusikannya kepada konsumen yang dibidik.

b. Supply Chain Management berfungsi sebagai mediasi pasar, yaitu memastikan apa yang dipasok oleh rantai suplai mencerminkan aspirasi pelanggan atau konsumen akhir tersebut. Dalam hal ini fungsi pemasaran yang akan berperan. Melalui pelaksanaan Supply Chain Management, pemasaran dapat mengidentifikasi produk dengan karakteristik yang diminati konsumen. Selanjutnya fungsi ini harus mampu mengidentifikasi seluruh atribut produk yang diharapkan konsumen tersebut dan mengkomunikasikan kepada perancang produk. Apabila seleksi rancangan produk sudah dilakukan dan dilakukan pengujian maka

produk dapat diproduksi. Sehingga Supply Chain Management akan berperan dalam memberikan manfaat seperti point 1 tersebut.

5. Supply Chain Management Reference (SCOR)

a. Model SCOR (Supply Chain Operation of Reference)

Menurut Pujawan & Mahendrawathi (2017 : 280), SCOR adalah suatu model acuan dari operasi supply chain. Model ini mengintegrasikan tiga elemen utama dalam manajemen yaitu business process reeingineering, benchmarking, dan process measurement ke dalam kerangka lintas fungsi dalam supply chain. Ketiga elemen tersebut memiliki fungsi sebagai berikut :

1) Business process reeingineering pada hakikatnya menangkap proses kompleks yang terjadi saat ini dan mendefinisikan proses yang diinginkan.

2) Benchmarking adalah kegiatan untuk mendapatkan data kinerja operasional dari perusahaan sejenis. Target internal kemudian ditentukan berdasarkan kinerja best in class yang diperoleh.

3) Process measurement berfungsi untuk mengukur, mengendalikan, dan memperbaiki proses-proses supply chain.

b. Pembagian Level

SCOR model memiliki peran penting dalam kerangka penilaian kinerja Supply Chain Management. Tidak hanya menghasilkan struktur dan acuan yang terdefinisi dengan baik untuk mengukur kinerja dari

desain rantai pasok, namun juga pendekatan benchmark untuk analisis gap dan pendekatan best practice untuk melakukan perbaikan.

Pujawan & Mahendrawathi (2017 : 280) membagi proses SCOR menjadi tiga hirarki proses. Tiga hirarki tersebut menunjukkan bahwa SCOR melakukan dekomposisi proses dari yang umum ke yang detail.

Tiga level tersebut adalah :

1) Level 1 adalah level tertinggi yang memberikan definisi umum dari lima proses utama (plan, source, make, dan return) . Supply Chain Council (2008) menjelaskan lima proses utama level 1 dalam rantai pasok ke dalam tabel II.2.

Tabel II.2

Lima Proses Utama Level 1

Prosess SCOR Definisi

Plan Proses-proses yang menyeimbangkan permintaan (demand) agregat dan supply dengan tujuan untuk mengembangkan sejumlah tindakan yang dapat memenuhi optimal kebutuhan pengiriman (delivery), produksi, dan sumber yang ada (sourcing) secara optimal

Source Proses-proses pembelian barang dan jasa yang ditunjukan untuk memenuhi perencanaan atau actual demand

Make Proses-proses yang mentranformasikan produk menjadi keadaan akhir untuk memenuhi perencanaan atau actual demand Deliver Proses-proses yang menyediakan produk

jadi/jasa untuk memenuhi perencanaan atau actual demand, khususnya mencakup order management, serta manajemen transportasi dan distribusi

Return Proses-proses yang diasosiasikan dengan pengembalian penerimaan returned products.

Proses ini diperluas hingga ke bagian delivery consumer support.

Sumber: Supply Chain Council (2008)

2) Level 2 dikatakan sebagai configuration level tempat supply chain perusahaan bisa dikonfigurasi berdasarkan sekitar 30 proses inti.

Perusahaan bisa membentuk konfigurasi saat ini maupun yang diinginkan. Menurut Supply Chain Council (2008), pemetaan level 2 merupakan tahap konfigurasi dari proses-proses rantai pasok yang ada dalam tiga kategori utama, yaitu :

a) Planning, adalah suatu proses yang menyelaraskan sumber-sumber daya perusahaan untuk memenuhi keperluan-keperluan akan permintaan (excepted demand). Proses yang dilakukan dalam perencanaan antara lain : Penyeimbangan aggregate supply dan permintaan, mempertimbangkan time horizon perencanaan yang konsisten dan memberikan kontribusi akan waktu respon dan rantai pasok.

b) Execution, adalah suatu proses yang dipicu oleh suatu permintaan terencana ataupun permintaan aktual ke dalam bentuk proses tranformasi material. Proses-proses eksekusi :

(1) Keterlibatan operasional secara umum (penjadwalan, transformasi produk, perpindahan produk ke proses berikutnya).

(2) Memberikan kontribusi dalam order fulfillment cycle time.

c) Enable, adalah suatu proses dalam menyiapkan, memelihara, dan mengendalikan jaringan informasi sehingga proses planning dan execution saling berkait.

3) Level 3 dinamakan proses elemen level, mengandung definisi elemen proses, input, output, metrik masing-masing elemen proses, serta referensi (benchmarking dan best practice). Supply Chain Council (2008) mendefinisikan pemetaan level 3 sebagai kemampuan perusahaan untuk bersaing pada pasar yang dipilih, sesuai dengan sistem rantai pasok perusahaan yang telah didefinisikan. Pada level ini memperlihatkan bahwa proses ini dibagi ke dalam bentuk informasi input, output, dan throughput yang terdiri dari:

a) Definisi proses elemen

b) Informasi input dan output proses elemen c) Proses metrik pengukuran kerja

d) Best practicies

e) Kemampuan sistem yang diperlukan untuk menerapkan best practicies

f) Sistem dan alat bantu dalam melakukan fine turning pada level strategi operasi

c. Atribut Kinerja dan Metrik Pada Model SCOR

Pujawan mengatakan bahwa SCOR yang digunakan untuk mengukur kinerja suatu rantai pasokan (Pujawan & Mahendrawathi, 2017), menggunakan beberapa dimensi umum, yaitu Reliability, Responsiveness, Agility, Cost dan Asset. Penjelasan dari masing masing dimensi tersebut bisa dilihat pada tabel II.3 berikut :

Tabel II.3

Lima Dimensi Atribur Kerja SCOR

Atribut Kinerja Definisi

Reliability Kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan sesuai yang diharapkan:

tepat waktu, kualitas sesuai standar yang diminta, dan jumlah yang diminta Responsiveness Kecepatan dalam melaksanakan

pekerjaan, antara lain diukur dalam siklus waktu pemenuhan pesanan Agility Kemampuan untuk merespons

perubahan eksternal dalam rangka tetap kompetitif di pasar. Alat ukurnya,

antara lain fleksibilitas dan adaptabilitas

Costs Biaya untuk menjalankan proses-proses supply chain. Mencakup biaya

tenaga kerja, biaya material, baya transportasi, dan biaya penyimpanan.

Alat ukurnya, antara lain Cost of Goods Sold.

Asset Management Efficiency (Assets)

Kemampuan untuk memanfaatkan aset secara produktif, antara lain ditunjukkan dengan tingkat persediaan

barang yang rendah utilisasi (Sumber: Pujawan & Mahendrawathi, 2017; 282-283) d. Perhitungan Normalisasi

Perhitungan nilai kinerja rantai pasok dilakukan mengacu pada data nilai pada tiap-tiap indikator yang menggambarkan kegiatan rantai pasok perusahaan yang diperoleh dari data yang dimiliki perusahaan.

Mekanisme perhitungan nilai kinerja rantai pasok dilakukan dengan menghitung nilai normalisasi dari tiap-tiap indikator. Pehitungan nilai normalisasi dilakukan untuk menyamakan nilai dan skala yang berbeda (Sumiati, 2012). Proses normalisasi dapat diukur dengan menggunakan rumus normalisasi Snorm De Boer :

Large better : π‘†π‘›π‘œπ‘Ÿπ‘š = π‘†π‘–βˆ’π‘†π‘šπ‘–π‘›

π‘†π‘šπ‘Žπ‘₯βˆ’π‘†π‘šπ‘–π‘›

Lower better : π‘†π‘›π‘œπ‘Ÿπ‘š = π‘†π‘šπ‘Žπ‘₯βˆ’π‘†π‘–

π‘†π‘šπ‘Žπ‘₯βˆ’π‘†π‘šπ‘–π‘›

Keterangan :

Snorm : Nilai indikator setelah dilakukan normalisasi Si : Nilai indikator aktual yang tercapai

Smax : Nilai performansi terbaik dari indikator Smin : Nilai performansi terburuk dari indicator

Tabel II.4 Indikator Nilai Performasi Kinerja Nilai Kinerja Indikator performansi

< 40 Poor

40 – 50 Marginal

50 – 70 Average

70 – 90 Good

> 90 Excellent

(Sumber : Performance measurement and Improvement Trienekens dan Improvement in Supply Chain Hvolby, 2000 dalam Sumiati, 2012) 6. Analytical Hierarchy Process (AHP)

Metode AHP dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika. Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan yang kompleks, dengan cara menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut ke dalam bagian – bagiannya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana memiliki prioritas paling tertinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan menstruktur suatu hierarki kriteria, pihak

yang berkepentingan, hasil dan dengan menarik pertimbangan guna mengembangkan bobot atau prioritas (Saaty, 1993)

Proses hierarki adalah suatu model yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefenisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan darinya. Ada dua alasan utama untuk menyatakan suatu tindakan akan lebih baik dibandingkan tindakan lain. Alasan pertama adalah pengaruh-pengaruh tindakan tersebut kadang-kadang tidak dapat dibandingkan karena satu ukuran atau bidang yang berbeda dan yang kedua pengaruh-pengaruh tindakan tersebut menyatakan bahwa tindakan tersebut kadang-kadang saling bentrok, artinya perbaikan pengaruh tindakan tersebut yang satu dapat dicapai dengan pemburukan lainnya. Kedua alasan tersebut akan menyulitkan dalam membuat ekuivalensi antar pengaruh sehingga diperlukan suatu skala luwes yang disebut prioritas.

a. Prinsip dasar Analytical Hierarchy Process

Dalam menyelesaikan analytical hierarchy process ada beberapa prinsip yang harus dipahami, di antaranya adalah (Kusrini, 2007: 133-134):

1) Membuat hierarki

Sistem yang kompleks bisa dipahami dengan memecahnya menjadi elemen-elemen pendukung dan menyusun elemen secara hierarki.

2) Penilaian / pertimbangan (comparative judgements)

Kriteria dan alternatif dilakukan dengan perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1998), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik untuk mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty bisa diukur menggunakan Tabel II.5.

Tabel II.5

Tabel Skala Kepentingan Intensitas

Kepentingan

Keterangan

1 Kedua Elemen Sama penting

3 Elemen sedikit lebih penting dibandingkan elemen lain

5 Elemen lebih penting dibandingkan elemen lain 7 Satu elemen jauh lebih penting dibandingkan

elemen lain

9 Satu Elemen mutlak lebih penting dibandingkan elemen lain

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan.

(Sumber : Kusrini, 2007) 3) Menentukan prioritas

Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif dari seluruh alternatif kriteria bisa disesuaikan dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot dan prioritas dihitung dengan memanipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan metematika.

4) Konsistensi Logika

Terdapat dua makna pada konsistensi. Pertama, objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Contohnya, semangka dan bola dapat dikelompokkan dalam himpunan yang seragam jika kriterianya adalah bulat, namun akan berbeda jika kriterianya adalah rasa. Kedua, mengenai tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu.

Contohnya, jika manis merupakan kriteria dan madu dinilai 5 kali lebih manis dibanding gula, dan gula dinilai 2 kali lebih manis dibanding sirup, maka seharusnya madu dinilai 10 kali manis dibanding sirup. Jika madu hanya dinilai 4 kali manisnya sirup, maka penilain tak konsisten dan proses harus diulang jika ingin memperoleh penilaian yang lebih tepat (Mulyono, 1996).

b. Tahapan Analitycal Hierarchy Process

Tahapan-Tahapan pengambilan keputusan dengan metode AHP adalah sebagai berikut (Kusrini, 2007 : 135-136) :

1) Definisi Masalah

Mendefenisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan, lalu menyusun hierarki dari permasalahan yang dihadapi.

Penyusunan hierarki dengan menetapkan tujuan yang merupakan sasaran sisem secara keseluruhan pada level teratas.

2) Penentuan Prioritas

Menentukan prioritas elemen. Langka pertama dalam menentukan prioritas elemen adalah membuat perbandingan

pasangan, yaitu membandingkan elemen secara berpasangan sesuai kriteria yang diberikan. Langka kedua, matriks perbandingan berpasangan diisi menggunakan bilangan untuk merepresentasikan kepentingan relatif dari suatu elemen terhadap elemen yang lainya.

3) Sintesis.

Pertimbangan-pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan disintesis untuk memperoleh keseluruhan prioritas. Hal-hal yang dilakukan dalam langkah ini. Pertama, menjumlahkan nilai-nilai dari setiap kolom pada matriks. Kedua, membagi setiap nilai-nilai dari kolom dengan total kolom yang bersangkutan untuk memperoleh normalisasi matriks. Ketiga, menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya dengan jumlah elemen untuk mendapatkan nilai rata-rata.

4) Mengukur konsistensi.

Dalam membuat keputusan, penting untuk mengetahui seberapa baik konsistensi yang ada karena kita tidak menginginkan keputusan berdasarkan pertimbangan dengan konsistensi yang rendah. Hal-hal yang dilakukan dalam langkah ini adalah :

a) Kalikan setiap nilai pada kolom pertama dengan prioritas relatif elemen pertama, nilai pada kolom kedua dengan prioritas elemen kedua, dan seterusnya.

b) Jumlahkan setiap baris.

c) Hasil dari penjumlahan baris dibagi dengan elemen prioritas relatif yang bersangkutan.

d) Jumlahkan hasil bagi di atas dengan banyaknya elemen yang ada, hasilnya disebut

Ξ» maks.

5) Consistency Index

Hitung Consistency Index (CI) dengan rumus.

CI =Ξ»maks βˆ’ n n βˆ’ 1 Di mana n = banyaknya elemen.

6) Consistency Ratio

Hitung rasio konsistensi / Consistency Ratio (CR) dengan rumus : 𝐢𝑅 = 𝐢𝐼

𝑅𝐼 Di mana CR = Consistency Ratio

CI = Consistency Index

RI = Random Consistency Index 7) Konsistensi Hierarki

Memeriksa konsistensi hierarki. Jika nilainya lebih dari 10%, maka penilaian data judgement harus diperbaiki. Namun jika rasio konsistensi (CI/RI) kurang atau sama dengan 0,1 maka hasil perhitungan bisa dinyatakan benar. Daftar Random Consistency Index (RI) bisa dilihat dalam tabel II.6.

Tabel II.6

Randon Consistency Index

Random Consistency Index (RI)

n 2 3 4 5 6 7 8 9 10

RI 0 0,58 0,9 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,51 Sumber : (Saaty T.J, 1990)

Apabila nilai CR yang dihasilkan lebih besar dari standar, maka penilaian yang dilakukan tidak konsisten sehingga perlu dilakukan penyebaran ulang kuesioner matriks parbandingan berpasangan.

c. Kelebihan dan kekurangan Analitycal Hierarchy Process

Kelebihan-kelebihan menggunakan AHP dibandingkan dengan yang lainnya adalah :

1) Struktur hierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai pada kriteria yang paling dalam.

2) Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan.

3) Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan.

4) Kemudahan pengukuran kriteria dan sintesis pemikiran berbagai sudut pandang responden dan pengujian konsistensi untuk memvalidasi keputusan.

5) Dapat menyelesaikan masalah yang kompleks yang strukturnya tidak beraturan hingga yang tidak berstruktur sekalipun.

6) Metode AHP memiliki keunggulan dari segi proses pengambilan keputusan dan akomodasi untuk atribut – atribut baik kuantitatif maupun kualitatif.

7) Memberikan hasil yang lebih konsistensi dibandingkan metode lainnya.

8) Memiliki sistem yang lebih mudah dipahami dan digunakan.

Kelemahan – kelemahan penggunaan metode AHP antara lain adalah :

1) Responden yang dilibatkan harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang permasalahan (expert) dan AHP (Analitycal Hierarchy Process) itu sendiri.

2) AHP (Analitycal Hierarchy Process) tidak dapat diterapkan pada suatu perbedaan sudut pandang yang sangat tajam / ekstrim dikalangan responden.

B. Penelitian – Penelitian Sebelumnya

1. Wigaringtyas (2013) dengan judul β€œPengukuran Kinerja Supply Chain Management Dengan Pendekatan Supply Chain Operation Reference (SCOR)” (Studi Kasus: UKM Batik Sekar Arum, Pajang, Surakarta).

a. Proses yang ada pada perusahaan antara lain Plan, Source, Make, Deliver, dan Return. Berdasarkan kuesioner penentuan indikator, seluruh Key Performance Indicator (KPI) yang ada berjumlah 24 KPI.

b. Penyamaan skor pada tiap indikator dihitung menggunakan normalisasi Snorm De Boer dengan mempetimbangkan nilai kinerja aktual, maksimum, dan minimum.

c. Pembobotan dengan Analytical Hierarchy Process (AHP).

Pembobotan ini menunjukkan bahwa bobot terbesar untuk perbandingan berpasangan antar proses adalah Source sebesar 0,375.

Selain pembobotan antar proses, perlu dilakukan pembobotan untuk dimensi dan KPI dari masing-masing proses karena hasil dari bobot tersebut digunakan kembali untuk memperoleh nilai kinerja SCM.

Hasil perkalian tersebut adalah nilai kinerja masing-masing indikator yang menunjukkan bahwa nilai kinerja tertinggi pada proses Source, sedangkan nilai terendah adalah Plan.

d. Nilai kinerja SCM diperoleh dari penjumlahan nilai kinerja masing-masing proses. Adapun nilai kinerja SCM tersebut adalah 74,06.

Nilai ini menunjukkan bahwa pencapaian kinerja SCM perusahaan tergolong kategori Good namun dapat dilakukan perbaikan khususnya untuk indikator yang memiliki kinerja rendah.

2. Witana (2012) dengan judul β€œPengukuran Performansi Supply Chain dengan Menggunakan Metode SCOR (Supply Chain Operations Reference)” studi kasus PT. X.

a. Proses bisnis perusahaan yang ada saat ini sudah berjalan dengan baik.

Tetapi ada beberapa yang harus diperbaiki, yakni penetapan standar mengenai produk cacat yang ditetapkan PT. X dan customer, penekanan pada supplier agar memberikan pemberitahuan kepada PT.

X apabila akan terjadi keterlambatan atau pesanan.

b. Dalam penyusunan metrik pengukuran, diperlukan beberapa tahap hingga dapat terbentuk kinerja dan performansi supply chain. Tahap-tahap penyusunan metrik yaitu penyusutan metrik dan validasi metrik.

c. Perhitungan yang dilakukan untuk mendapatkan nilai akhir performansi supply chain adalah sebagai berikut :

1) Perhitungan nilai aktual 2) Perhitungan nilai normalisasi

3) Pembobotan berpasangan dengan Metode AHP dan di bantu dengan software Expert Choice 11.5.

4) Hasil perhitungan normolisasi dikalikan dengan hasil pembobotan berpasangan.

d. Hasil pengukuran kinerja dan performansi supply chain pada setiap proses, sebagai berikut plan 0,254, source 0,104, make dari pengukuran supply chain bernilai 92,81. Nilai tersebut menggambarkan kinerja supply chain pada PT. X sudah berjalan dengan baik.

C. Kerangka Konseptual Penelitian

Kerangka konseptual dalam penelitian ini pada gambar II.2 yang menggambarkan untuk mengukur kinerja rantai pasokan menggunakan variabel kinerja rantai pasokan yaitu plan, source, make, delivery, dan return yang memiliki atribut kinerja yaitu reliability, responsiveness, agility, cost, dan asset.

β€’ Reliability

34 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian ex post facto. Pengertian ex post facto memiliki arti dari apa dikerjakan setelah pernyataan penelitian ini disebut sebagai penelitian sesudah kejadian.

Penelitian ini juga sering disebut after the fact atau sesudah fakta dan ada pula peneliti yang menyebutnya sebagai retrospective study atau studi penelusuran

Penelitian ini juga sering disebut after the fact atau sesudah fakta dan ada pula peneliti yang menyebutnya sebagai retrospective study atau studi penelusuran