• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Tuna Rungu

Secara normal, orang mamapu menangkap rangsangan atau stimulus yang berbentuk suara secara luas baik dari segi kuatnya atau panjang pendeknya serta frekuensi nya. Namun, mengalami masalah pada indera pendengarannya berarti kemampuan dalam hal ini akan menurun, berkurang atau hilang sama sekali. Tuna rungu datap diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf) yang mengakibatkan seseorang tidak mampu menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya. (Soemantri, 2005:94). Selain itu, Wall menjelaskan bahwa “ketunarunguan adalah kondisi dimana individu tidak mampu mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian, baik dengan derajat frekuensi dan intensitas”. (Wall, 1993:36)

Ciri-ciri yang dimiliki anak tunarungu adalah sebagai berikut:

1. Sering tampak bengong atau melamun

2. Sering bersikap tak acuh

3. Kadang bersifat agresif

5. Keseimbangannya kurang

6. Kepalanya sering miring

7. Sering meminta agar orang mengulangi kalimat yang diucapkan.

8. Jika bicara sering membuat suara-suara tertentu dan jika berbicara sering menggunakan tangan

9. Jika boicara artikulasi bahasa yang diucapkan tidak jelas, sangat monoton tidak tepat (Nur‟aeni, 1997:119)

2.5.1 Klasifikasi Tuna Rungu

Klasifikasi secara etiologis yaitu pembagian berdasarkan sebab sebab, dalam hal ini penyebabnya yaitu:

a. Pada saat sebelum dilahirkan antara lain: salah satu atau kedua orang tua menderita tunarungu, karena penyakit, dan karena kencanduan obat-obatan.

b. Pada saat kelahiran antara lain: sewaktu melahirkan, ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu dengan penyedotan, dan prematuritas yaitu bayi lahir sebelum waktunya.

c. Pada saat setelah kelahiran antara lain: ketulian yang terjadi karena infeksi, pemakaian obat-obat an ototoksi pada anak-anak, dan karena kecelakaan yang mengakinbatkan

kerusakan alat-alat pendengaran bagian dalam. (Soemantri, 2007:94-95)

Bagi anak tunarungu yang mampu bicara, tetap menggunakan bicara sebagai media dan membaca ujaran sebagai sarana penerimaan dari pihak anak tunarungu. Menggunakan media tulisan dan membaca sebagai sarana penerimaannya. Menggunakan isyarat sebagai media (Somantri, 2007:95-97).

Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah:

a. Gangguan pendengaran sangat ringan (15-40dB), tidak dapat mendengar percakapan berbisik dalam keadaan sunyi pada jarak dekat

b. Gangguan pendengaran sedang (40-60dB), tidak apat mendengarkan percakapan normal dalam keadaan sunyi pada jarak dekat

c. Gangguan pendengaran berat (60-90dB), hanya mampu mendengarkan suara yang keras pada jarak dekat seperti suara vakum cleaner

d. Gangguan pendengaran ekstrem/tuli (di atas 90dB), hanya dapat mendengarkan suara yang sangat keras seperti suara gergaji mesin dalam jarak dekat (Alexander Graham Bell

Asocition for the Deal adn Hard of Hearing, 2011 dalam Slavin, 2006).

2.5.2 Pengaruh Pendengaran Pada Perkembangan Bicara dan Bahasa

Perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman pendengaran. Akibat terbatasnya pendengaran, anak tunarungu tidak mampu mendengar dengan baik. Dengan demikian, pada anak tuna rungu tidak terjadi proses peniruan suara setelah masa meraba, proses peniruannya hanya ternbatas pada peniruan visualnya. Selanjutnya dalam perkembangan bicara dan bahasa anak tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus dan intensif sesuai dengan kemampuan dan taraf ketunarungunya.

Bahasa merupakan alat komunikasi yang dipergunakan manusia dalam mengadakan hubungan sesama nya. Hal ini, berarti bila sekelompok manusia memiliki bahasa yang sama, maka mereka akan dapat saling bertukar pikiran.

Adapun berbagai media komunikasi yang dapat dipergunakan sebagai berikut:

a) Bagi anak tunga rungu yang mampu bicara, tetap menggunakan bicara sebagai media dan membaca ujaran sebagai sarana penerimaan dari pihak anak tunarungu.

b) Menggunakan media tulisan dan membaca sebagai alat penerimaannya

c) Menggunakan isyarat sebagai media (Soemantri, 2007: 95-97).

2.5.3 Perkembangan Kognitif Anak Tunarungu

Pada umumnya inteligensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasanya, keterbatasan informasi dan kiranya daya abstraksi anak. Akibat ketunarunguannya menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas. Dengan demikian perkembangan inteligensi secara fungsional terhambat. Perkembangan kognitif anak tunarungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasa sehingga hambatan pada bahasa akan menghambat perkembanga inteligensi anak tunarungu.

Kerendahan intelegensi anak tuna rungu bukan berasal dari hambatan intelektualnuya yang rendah melainkan secara umum karena inteligensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang. Pemberian bimbingan yang teratur terutama dalam kecakapan berbahasa akan dapat membantu perkembangan inteligensi anak tunarungu. Tidak semua aspek inteligensi anak tunarungu terhambat. Aspek inteligensi

yang terhambat perkembangannya ialah yang bersifat verbal misalnya. Merumuskan pengertian, menghubungkan, menarik.

Aspek inteligensi yang bersumber dari penglihatan dan yang berupa Cruickshank yang dikutip oleh Yuke R. Siregar dalam (Somantri, 2005: 97) mengemukakan bahwa anak tunarungu sering memperlihatkan keterlambatan belajar dan kadang-kadang terbelakang. Keadaan ini tidak hanya disebabkan oleh derajat gangguan pendengaran yang dialami anak tetapi juga tergantung pada potensi kecerdasaan yang dimiliki, rangsang mental, serata dorongan dari lingkungan luar yang memberikan kesempatan bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan itu. Pendapat Fruth yang dikutip oleh Srimoerdani (1987:32) dalam

somantri mengemukakan bahwa anak tunarungu menunjukan

kelemahan dalam memahami konsep berlawanan. Sedangkan konsep berlawanan itu sangat tergantung dari pengalaman bahasa, misalnya panas dingin (Soemantri, 2007: 97-98)

2.5.4 Perkembangan Emosi Anak Tunarungu

Kekurangan pemahaman akan bahasa lisan atau tulisan seringkali menyebakan anak tunarungu menafsirkan sesuatu secara nagati atau salah dan ini sering menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan

pribadinya dengan menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif, atau sebaliknya menampakan kebimbangan atau keraguan.

Emosi anak tunarungu selalu bergejolak di satu pihak karena kemiskinan bahasanya dan dipihak lain karena pengaruh dari luar yang diterimanya. Anak tunarungu bila ditegur oleh orang yang tidak dikenalnya akan tampak resah dan gelisah (Somantri, 2007: 98).

2.5.5 Perkembangan Sosial Anak Tunarungu

Manusia sebagai makhluk sosial selalu memerlukan

kebersamaan orang lain. Demikian pula anak tunarungu, ia tidak terlepas dari kebutuhan tersebut. Akan tetapi karena mereka memiliki kelainan dalam segi fisik, biasanya akan menyebabkan suatu kelainan penyusuaian diri terhadap lingkungan. Pada umunya lingkungan melihat mereka sebagai individu yang memiliki kekurangan dan menilainya sebagai seseorang yang kurang berkarya. Dengan penilaian lingkungan yang demikian anak tunarungu merasa benar-benar tidak berharga. Serta benar-benar memberikan pengaruh terhadap perkembangan fungsi sosialnya. Dengan adanya hambatan perkembangan sosial ini mengakibatkan pula pertambahan minimnya penguasaan bahasa dan kecenderungan menyendiri serta memiliki sifat egosintris. (Somantri, 2005:98).

Faktor sosial dan budaya meliputi pengertian yang sangat luas, yaitu lingkungan hidup dimana anak berinteraksi yaitu interaksi antara individu dengan individu, dengan kelompok, keluarga dan masyarakat. Untuk kepentingan anak tunarungu, seluruh anggota keluarga, guru dan masyarakat di sekitarnya hendaknya berusaha mempelajari dan memahami keadaan mereka karena hal tersebut dapat menghambat perkembangan kepribadian yang negatif pada diri anak tunarungu.

Salah satu perangkat pengukuran berupa skala, yang dapat digunakan untuk mengukur perkembangan kematangan sosial anak tunarungu yaitu The Veneland Social Maturity Test. Dari beberapa penelitian yang menggunakan skala ini menunjukkan bahwa:

1. Anak tunarungu tingkatan kematangan sosialnya. Berada di bawah tingkatan kematangan sosial anak normal.

2. Anak tunarungu dari orang tua yang tunarungu juga menunjukkan melatif matang daripda anak tunarungu yang dari orang tua normal (Efendi, 2006:82)

Sudah menjadi kejelasan bagi kita bahwa hubungan sosial banyak ditentukan oleh komunikasi anatara seseorang dengan orang lain. Kesulitan berkomunikasi tidak bisa dihindari. Namun bagi anak tunarungu tidaklah demikian karena mengalami ini hambatan dalam berbicara. Kemiskinan bahasa membuat dia tidak mampu terlibat

dengan baik dalam situasi sosialnya. Sebaliknya, orang lain akan sulit memahami perasaan atau pikirannya. (Somantri, 2007: 98-99)

2.5.6 Perkembangan Perilaku Anak Tunarungu

Kepribadian pada dasarnya merupakan keseluruhan sifat dan sikap pada seseorang yang menentukan cara-cara yang unik dalam penyesuaiannya terhadap lingkungan. Oleh karena itu banyak ahli berpendapat perlu diperhatikannya masalah penyesuaian seseorang agar kita mengetahui bagaimana kepribadiannya. Demikian pula anak tunarungu, untuk mengetahui keadaan kepribadiannya, perlu kita perhatikan bagaimana penyesuaian diri mereka Perkembangan kepribadian banyak ditentukan oleh hubungan antara anak dan orang tua terutama ibunya. Lebih-lebih pada masa awal perkembanganya.

Perkembangan kepribadian terjadi dalam pergaulan atau perluasaan pengalaman dan pada umunya diarahkan pada factor anak sendiri.Pertemuan factor-faktor dalam diri anak tuna rungu yaitu ketidakmampuan menerima rangsang pendengaran, kemiskinan dalam berbahsa, ketidaktepatan emosi, dan keterbatasan intelegensi dihubungkan dengan sikap lingkungan terhadapnya menghambat perkembangan kepribadiannya (Soemantri, 2007:99-100)

Dokumen terkait