• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI …

A. Hakikat Novel …

3. Unsur-unsur Novel …

Prosa rekaan bisa dibedakan atas prosa lama dan prosa modern. Prosa lama sering berwujud cerita rakyat (folktale) bersifat anonim, seperti cerita binatang, dongeng, legenda, mitos, dan sage.

Bentuk prosa rekaan modern dibedakan atas roman, novel, novelet, dan cerpen, karena tidak ada penelitian yang mendukung, pembedaan atas beberapa bentuk tersebut lebih banyak didasarkan pada panjang-pendeknya dan luas-tidaknya masalah yang dipaparkan dalam prosa rekaan. Walaupun tidak selalu benar, ada juga yang dasar pembedaannya ditambah dengan bahasa dan lukisannya.11

Berdasarkan bentuk novel di atas, terdapat unsur-unsur penting yang membangun karya sastra, unsur tersebut terbagi atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik, pembagian tersebut bertujuan dalam mengkaji novel dalam suatu karya sastra pada umumnya.

a. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur inilah yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita, kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel terwujud. Unsur-unsur ini misalnya, tema, latar, tokoh dan penokohan, alur, sudut pandang, dan amanat.12

1) Tema

Tema adalah gagasan sentral dalam suatu karya sastra dalam novel, tema merupakan gagasan utama yang dikembangkan dalam plot. Hampir

10

Nurgiantoro, op. cit ., h. 26.

11

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 140.

12

semua gagasan yang ada dalam hidup ini bisa dijadikan tema, sekalipun dalam praktiknya tema-tema yang sering diambil adalah beberapa aspek atau karakter dalam kehidupan, seperti ambisi, kesetiaan, kecemburuan, frustrasi, kemunafikan, ketabahan, dan sebagainya.13

Scharbach berpendapat, tema berasal dari bahasa Latin yang berarti

“tempat meletakan suatu perangkat”. Disebut demikian karena tema adalah

ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.14

Aminuddin mengungkapkan, seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemaparan tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.15

Jadi tema tidak lain adalah suatu gagasan sentral yang menjadi dasar suatu cerita. tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Pengarang adalah pencerita, tetapi agar tidak menjadi sekedar anekdot, cerita rekaannya harus mempunyai maksud. Maksud inilah yang dinamakan tema.16

2) Latar

Setting diterjemahkan sebagai latar cerita. Aminuddin memberi batasan

setting sebagai latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tepat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.

Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.17

13

Furqonul Aziez & Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 75.

14

Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, ( Bandung: Sinar Baru, 1987), h.91.

15

Siswanto, op. cit., h.161.

16

Robert Stanton, Teori Fiksi Robet Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.38.

17

Brooks berpendapat, secara singkat, latar adalah latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang, dalam suatu cerita.18Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.19

Biasanya latar muncul pada semua bagian atau penggalan cerita dan kebanyakan pembaca tidak terlalu menghiraukan latar ini; karena lebih terpusat pada jalannya cerita; namun bila pembaca membaca untuk kedua kalinya barulah latar ini ikut menjadi bahan simakkan, dan mulai dipertanyakan mengapa latar ini menjadi perhatian pengarang.20

3) Tokoh dan Penokohan

Tokoh cerita (character), sebagaimana dikemukakan Abrams, adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Tidak berbeda halnya dengan Abrams, Baldic menjelaskan bahwa tokoh adalah orang yang menjadikan pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedang penokohan (characterization) adalah penghadiran tokoh dalam cerita dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya.21

Aminuddin mengatakan, tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.22

Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan penting yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannyahanya melengkapi,

18

Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1984), h. 136.

19

Nurgiantoro, op. cit., h.303.

20

Atar Semi, op. cit., h. 46.

21

Nurgiantoro, loc. cit., h.247.

22

melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu,23 dalam menyajikan dan menentukan karakter (watak) para tokoh, pada umumnya pengarang menggunakan dua cara atau metode dalam karyanya. Pertama, metode langsung (telling) dan kedua, metode tidak langsung (showing).24

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, seperti:

a. Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam perkembangan plot dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Dipihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan biasanya diabaikan, atau paling tidak, kurang mendapat perhatian. 25

b. Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma nilai-nilai yang ideal bagi kita. Sedangkan, tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin.26

c. Dilihat dari perwatakannya dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak tertentu saja. Ia tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Dipihak lain, tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat

23

Aminuddin, op. cit., h.79-80.

24

Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h. 6.

25

Nurgiantoro, op. cit., h. 258-259.

26

saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin tampak bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu, perwatakannya pun pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat.27

4) Alur

Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.28

Stanton mengemukakan bahwa alur (plot) adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.29

Brooks mengungkapkan alur atau plot adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama.30

Sudjiman mengartikan alur sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Jalinannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab akibat). Aminudin membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraiaan, dan penyelesaian.31

Berdasarkan pemaparan di atas, alur adalah rangkaiaan peristiwa yang direka dan dijalin oleh pengarang yang menggerakan jalannya cerita.

Secara teoretis-kronologis tahap-tahap pengembangan struktur plot dijelaskan di bawah ini.

a) Tahap Awal

Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang

27

Nurgiantoro, op. cit., h. 265-266.

28

Aminuddin, op. cit., h.83.

29

Nurgiantoro, loc. cit., h.167.

30

Tarigan, op. cit., h.126.

31

berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Misalnya, berupa penunjukan dan pengenalan latar, seperti nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadian (misalnya ada kaitannya dengan waktu sejarah), dan lain-lain yang pada garis besarnya berupa deskripsi fisik, bahkan mungkin juga telah disinggung (walau secara implisit) perwatakannya.32

b) Tahap Tengah

Tahap tengah cerita dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Bagian tengah cerita merupakan bagian terpanjang dan terpenting dari sebuah cerita. konflik berkembang semakin meruncing, menegangkan dan mencapai klimaks, dan pada umumnya tema pokok, makna pokok cerita diungkapkan. Pada bagian ini pembaca memperoleh cerita, memperoleh sesuatu dari kegiatan pembacaannya.33

c) Tahap Akhir

Tahap akhir sebuah cerita atau dapat juga disebut tahap pelarian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini misalnya (antara lain) berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyarankan pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita. bagaimana bentuk penyelesaian sebuah cerita, dalam banyak hal ditentukan (atau dipengaruhi) oleh hubungan antartokoh dan konflik (termasuk klimaks) yang dimunculkan. Dalam teori klasik yang berasal dari Aristoteles, penyelesaian cerita dibedakan ke dalam dua macam kemungkinan : kebahagiaan (happy end) dan kesedihan (sad end).

Namun, novel-novel seperti Belenggu, Pada Sebuah Kapal, Supernova,

dan lain-lain adalah novel-novel yang memiliki penyelesaiaan yang masih menggantung, masih menimbulkan tanda tanya, tidak jarang menimbulkan, atau bahkan rasa ketidakpuasan pembaca. Sebenarnya,

32

Nurgiantoro, op. cit., h. 201-202.

33

adanya novel-novel yang sudah selesai, tetapi tidak diselesaikan ceritanya, boleh jadi disebabkan pengarang memberikan kesempatan pada pembaca untuk ikut memikirkannya. Dengan melihat model-model tahap akhir berbagai cerita fiksi yang ada sampai dewasa ini, penyelesaian cerita dapat dikategorikan ke dalam dua golongan: penyelesaian tertutup dan penyelesaian terbuka. Penyelesaian tertutup menunjuk pada jeadaan akhir sebuah cerita fiksi yang memang sudah selesai, cerita sudah habis sesuai dengan tuntunan logika cerita yang dikembangkan. Dipihak lain penyelesaian terbuka, menunjuk pada keadaan akhir sebuah cerita yang masih belum berakhir. Berdasarkan tuntutan logika dan cerita, masih potensial untuk dilanjutkan secara konflik belum sepenuhnya diselesaikan.34

Loban dkk. Menggambarkan gerak tahapan alur cerita seperti halnya gelombang. Gelombang itu berawal dari (1) eksposisi, (2) komlikasi atau intrik-intrik awal yang akan berkembang menjadi konflik hingga menjadi konflik, (3) klimaks, (4) revelasi atau penyingkatan tabir suatu problema, dan (5) denouement atau penyelesaian yang membahagiakan, yang dibedakan dengan catastrophe, yakni penyelesaian yang menyedihkan; dan solution, yakni penyelesaian yang masih bersifat terbuka karena pembaca sendiri yang dipersilahkan menyelesaikan lewat daya imajinasinya.35

5) Sudut Pandang

Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.36

Abrams mengungkapkan, sudut pandang (Point Of View), menunjukan cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk

34

Nurgiantoro, op. cit., h. 205-208.

35

Aminuddin, op. cit., h.84.

36

menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.37 Dalam Wahyudi Siswanto, sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.38

Pengarang menampilkan tokoh dalam cerita yang dipaparkannya melalui sudut pandang. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikemukakan oleh pengarang disalurkan melalui sudut pandang tokoh. Selain itu, dalam sudut pandang posisi pengarang juga ditentukan. Unsur terpenting dalam karya sastra adalah pengarang sebab tanpa pengarang tidak ada karya sastra. keberhasilan suatu karya sastra tidak tergantung pada pentingnya suatu kejadian atau tokoh-tokoh yang diceritakan, tetapi bagaimana sudut pandang, gaya bahasa dan plot dioprasikan. Peristiwa besar, tokoh terkenal, bukan jaminan bahwa sebuah karya sastra akan berhasil. Sebaliknya, kompleksitas sudut pandang, kekayaan gaya bahasa, dan koherensi pemplotan, jelas merupakan jaminan keberhasilan suatu karya sastra.39

Ada berbagai macam sudut pandang dalam karya sastra. dalam penelitian ini sudut pandang yang peneliti ambil adalah berdasarkan pemaparan Burhan Nurgiantoro. Berikut ini adalah macam-macamnya:

a) Sudut Pandang Persona Ketiga : “Dia”

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona

ketiga, gaya “Dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam

dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas

menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi

bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat, memunyai keterbatasan

37

Nurgiantoro, loc. cit., h. 338.

38

Siswanto, op. cit., h. 151.

39

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 315.

“pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan itu, jadi bersifat

terbatas, hanya sebatas pengamat saja.

b) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”

Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. dalam sudut pandang

persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadidua macam, yaitu “Aku” (tokoh utama) dan “aku” (tokoh tambahan).

c) Sudut Pandang Campuran

Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. Semua itu tergantung pada kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karya.40

6) Gaya Bahasa

Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin

stilus dan mengandung arti lesikal alat untuk menulis. Dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.41

Keraf dalam Tarigan mengungkapkan secara singkat gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.42

Gaya bahasa, seperti yang diungkapkan Slamet Muljana adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati

40

Nurgiantoro, op. cit., h. 347-359.

41

Aminuddin, op. cit., h. 72.

42

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Gaya Bahasa, (Bandung: Angkasa, 2009), h. 5.

pembaca. Gaya bahasa disebut pula majas.43 Majas (Figure of speech) adalah suatu bentukan pernyataan dengan cara memakai sesuatu untuk mengatakan tentang sesuatu yang lain.44 Serta bahasa indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata, dapat mengubah nilai rasa dan konotasi tertentu.45

Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech, dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna.46

7) Amanat

Nilai nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, nilai ini bisa disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.47

43

Ernawati Waridah, EYD & Seputar Kebahasaan Indonesian, (Jakarta: Kawan Pustaka, 2010), h. 322.

44

Agus Sri Danardana, Anomali Bahasa, (Pekanbaru: Palagan Press, 2011), h. 12.

45

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 112.

46

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 129.

47

Dokumen terkait