• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis tokoh lintang dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis tokoh lintang dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Holida Hoirunisa

NIM. 1110013000100

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

Sastra di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing : Novi Diah Haryanti, M. Hum

Penelitian ini meneliti tokoh Lintang yang digambarkan sebagai sosok Indo dalam novel Pulang karya Leila S.Chudori. Lintang lahir dari percampuran dua kebudayaan Indonesia dan Prancis sebabnya dia disebut sebagai sosok Indo, sosok yang memiliki kebudayaan terbelah. Lintang merupakan sosok yang merasakan kegelisahan-kegelisahan mendalam mengenai ras dan identitas. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis tokoh Lintang dalam novel Pulang

Leilla S. Chudori dan implikasinya pada pembelajaran Sastra Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode analisis isi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pembacaan dan penyimakan novel Pulang karya Leila S. Chudori secara cermat, terarah, dan teliti. Penulis menggunakan teknik pelukisan tokoh secara tidak langsung dalam teknik analisis data yang diuraikan menjadi delapan teknik, yaitu: teknik cakapan, tingkahlaku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar dan teknik pelukisan fisik. Melalui teknik ini ditemukan sifat Lintang mengalami krisis identitas, pintar, berani, peduli terhadap politik, idealis dan tidak putus asa, yakni keinginan selalu menjadi yang paling superior, sebagai perempuan Barat pada umumnya. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa beberapa sifat Lintang ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Sastra di SMA. Dalam pembelajaran ini, kompetensi yang harus dicapai peserta didik ialah menganalisis teks novel baik secara lisan maupun tulisan, dengan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam novel serta menemukan karakter tokoh yang positif maupun negatif yang terkandung dalam novel.

(6)

in Pulang Novel written by Leila S. Chudori and Its Implication towards The Studying of Literature in Senior High School. Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teachers’ Training

“Syarif Hidayatullah” State Islamic University Jakarta.

Advisor: Novi Diah Haryanti, M.Hum.

This research examines of Lintang figures who is described as the figure of indo in a Pulang novels by Leila S. Chudori. She was born of two culture between france and indonesia it causes he called indo figure, the figure who have divided culture. Lintang is the person who felt a deep anxiety about racially and identity. The purpose this research is to analyzed of Lintang figure from Pulang Novels by Leilla S. Chudori and implications in Senior high School literary learning. This study used qualitative description methode with the subtance analyze methode. The taking of engineering data from Pulang Novel by Leila S. Chudori was undertaken by the reading and listening process with Carefully, directedly and conscientiously. The author using an delineation figures technique undirectedly in the Data analysis techniques which is describe to be eight technique, ther are: the conversation technique, behaviour, thoughts and feelings, stream of consciousness, figures reaction, another figures reaction, a delineation the background and delineation physical technique. Through this technique found that lintang figures suffered crisis of identity, smart, brave, and care about politicians, have a big idealism and not surrender with her desirement about to be the superrior person as western woman generally. Based on the results of this research we can get the conclusion that some of lintang characters could we implicated to literary in high school learning program. In this learning, the Competence which must be achieved school tuition is to analyze the novel text either verbally or in writing, By explaining intrinsic elements in a novel and Discovering the character a figure which positive or negative contained in a novel

(7)

syafaat, dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Analisis Tokoh Lintang dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

di SMA”. Selawat teriring salam tidak lupa penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad saw yang telah membawa kita ke zaman yang lebih baik. Skripsi ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis dihinggapi kebimbangan, kurang percaya diri dalam menganalisis novel ini. namun, berkat dukungan dan doa dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dra. Hindun, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

3. Dona Aji Karunia, M.A., Sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Makyun Subuki, M.Hum., Penasihat Akademik yang selalu memberikan bimbingan serta kemudahan kepada penulis.

5. Novi Diah Haryanti, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing skripsi yang dengan tulus ikhlas, sabar, meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan serta pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(8)

8. Fahmi Abdul Hakim yang selalu memberi semangat serta membantu penulis mencari bahan dan juga referensi dalam penulisan skripsi.

9. Guru-guru TK Dimurti yang selalu memberikan kemudahan dan semangat selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

10.Desi dan Ratna yang selalu meluangkan waktu membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

11.Teman-teman uyee; Upin, Ipin, Ival, Sigit, Tebe, Mbe, Bang Jek, Dede, Aki dan teman-teman Majelis Kantiniah yang telah memberikan semangat, serta warna dalam hidup penulis.

12.Teman-teman PBSI angkatan 2010 khususnya kelas C yang memberikan semangat suka duka, canda tawa, dan kenangan indah selama ini.

13.Guru-guru SMP PGRI 336 Pondok Betung.

Urutan nama di atas bukanlah merupakan peringkat prioritas. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat untuk penulis dan untuk yang memerlukannya.

Jakarta, 09 April 2015

(9)

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN SIDANG MUNAQOSAH

ABSTRAK ………...... i

ABSTRACT ………...... ii

KATA PENGANTAR ………….... iii

DAFTAR ISI ………... v

BAB I PENDAHULUAN …...………... 1

A. Latar Belakang Masalah ...……..……….. 1

B. Identifikasi Masalah ………... 5

C. Batasan Masalah ………..………... 6

D. Rumusan Masalah ………..……….... 6

E. Tujuan Penelitian ………..………... 6

F. Manfaat Penelitian ………..………... 7

G. Metodologi Penelitian ………..………... 7

BAB II KAJIAN TEORI …...………... A. Hakikat Novel …...………... 10

1. Pengertian Novel …...………... 10

2. Jenis-jenis Novel …...………... 11

3. Unsur-unsur Novel …...………... 14

a. Tema…...………... 14

b. Latar …...………... 15

(10)

d. Alur.………... 18

e. Sudut Pandang …...………... 20

f. Gaya Bahasa ….………... 22

g. Amanat …..………... 23

B. Teknik Pelukisan Tokoh …...………... 24

C. Hakikat Pembelajaran Sastra …...………... 27

D. Penelitian Relevan …...………... 30

BAB III BIOGRAFI PENGARANG, SINOPSIS, DAN PEMIKIRAN A. Biografi Pengarang …………...……….. 32

B. Sinopsis Novel …...………... 34

C. Pemikiran Leila S. Chudori... 36

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN …... A. Unsur Intrinsik Novel Pulang…...………... 1. Tema …...………... 39

2. Tokoh dan Penokohan ..………... 41

3. Alur ...…...……...………... 53

4. Latar ...…...……….... 57

5. Sudut Pandang …...………... 64

6. Gaya Bahasa …...………... 64

B. Analisis Tokoh Lintang dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori …... 67

C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA …...…...………... 85

BAB V PENUTUP …...………... A. Simpulan ………... 88

(11)

DAFTAR PUSTAKA …...………... 90 LAMPIRAN

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra adalah sebuah tulisan yang dapat diapresiasi dan bernilai seni. Sastra juga dapat memberikan hiburan serta memberikan manfaat bagi pembacanya. Sebuah karya sastra yang dapat disampaikan dengan bahasa yang unik dan indah mempunyai bentuk yang bervariasi, seperti prosa, puisi, dan drama. Prosa rekaan (fiksi) memiliki beragam bentuk, seperti cerpen dan novel. Cerpen dan novel dibangun oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik yang merupakan unsur pembangun cerita dari dalam meliputi plot (alur), tokoh dan penokohan, tema, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Unsur ekstrinsik membangun karya sastra dari segi biografi pengarang, sosial, budaya, agama, politik, dan ekonomi.

Pada penelitian ini, penulis akan menganalisis novel. Novel merupakan cerita yang di dalamnya memiliki alur yang kompleks serta suasana dan latar cerita yang beragam. Unsur yang terdapat dalam novel salah satunya adalah tokoh dan penokohan. Melalui pemahaman tokoh-tokoh yang ada dalam sebuah novel, pembaca dapat memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti nilai agama, sosial, budaya, dan pendidikan. Nilai-nilai seperti inilah yang terkandung dalam unsur ekstrinsik.

(13)

dapat memahami sebuah karya sastra, perlu dilakukan analisis struktur teks. Salah satu contoh yang dapat dilakukan di kelas adalah analisis tokoh dan penokohan. Dengan menganalisis tokoh, akan terlihat sikap, sifat, tingkah laku, dan watak-watak tertentu. Melalui cara ini akan terlihat bagaimana sifat dan sikap tokoh yang mengandung aspek kejiwaan, seperti konflik, kelainan perilaku, dan kondisi psikologis akibat kejadian yang dialami tokoh.

Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak.1 Kegiatan pembelajaran sastra dengan cara itu tentunya akan memberikan pengalaman, pengetahuan, serta kesan yang lebih mendalam kepada peserta didik. Lebih dari itu, dalam menganalisis tokoh tentunya dapat diambil sisi positif yang berguna untuk diajarkan kepada siswa dan dapat dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, karya sastra dapat bermanfaat untuk menunjang pembentukan watak peserta didik.

Berkaitan dengan pengajaran sastra, novel terbagi menjadi beberapa jenis, salah satunya novel sejarah. Novel sejarah tidak hanya menceritakan kronologis suatu cerita saja, tetapi juga memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai peristiwa yang terjadi pada zaman tersebut. Hubungan intertekstual antara sastra dan sejarah saling berkaitan satu sama lain. Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa, mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman atau yang mendahuluinya. Hubungan sejarah ini digambarkan baik berupa persamaan maupun pertentangan. Dengan demikian, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum, atau sesudahnya.2

Karya sastra merupakan pengungkapan dari apa yang disaksikan pengarang dalam kehidupan, apa yang dialami, dan dirasakan dari

1

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 16.

2

(14)

segi kehidupan yang paling menarik untuk diangkat menjadi sebuah karya sastra yang dapat bernilai estetis dan memiliki arti. Hal ini dikarenakan setiap pengarang adalah warga masyarakat dan ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial.3

Dalam kesusastraan Indonesia, dapat dijumpai hubungan intertekstualitas antarkarya sastra dalam bentuk prosa. Pengarang mengungkapkan suatu kejadian atau peristiwa lewat karyanya secara tertulis. Selain itu, lewat karyanya pengarang mengungkapkan suatu aspirasi kehidupan, seperti emansipasi wanita, kekejaman, maupun ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa. Contohnya dalam novel

Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer, tokoh Minke bercerita tentang masyarakat kolonial Hindia Belanda di tahun 1898 yang penuh dengan perbedaan rasial yang kuat dan perbedaan status sosial yang mengiringinya. Demikian pula dengan novel Salah Asoehan (1928) karya Abdoel Moeis, juga mengisahkan perbedaan rasial antara Timur dan Barat yang mempunyai garis pemisah yang hampir tak dapat diseberangi. Jelaslah sejak dahulu pengarang menyuarakan aspirasinya melalui karya sastra. Begitu pun sekarang, tidak sedikit novel yang berlatar sejarah dibuat untuk menceritakan kebenaran yang terjadi pada suatu zaman. Akan tetapi, minat baca terhadap novel yang berlatar sejarah masih kurang, khususnya peserta didik yang lebih menyukai novel-novel populer yang bertemakan kisah percintaan, seperti Marmut Merah Jambu (2010) karya Raditya Dika. Sebaliknya, karya para sastrawan kurang diminati dan dikenal oleh peserta didik, terlebih kurangnya minat membaca siswa terhadap novel-novel yang berlatar sejarah.

Pembelajaran sastra di sekolah hanya sampai pada proses mengidentifikasi saja. Keterbatasan waktu dalam proses belajar mengajar membuat siswa sulit memahami novel secara keseluruhan, sehingga sulit menciptakan proses belajar mengajar timbal balik antara guru dan siswa.

3

(15)

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Novel Pulang karya Leila S. Chudori yang banyak mengisahkan sejarah kekerasan Indonesia, khususnya yang terjadi pada 1965. Novel ini berkisah tentang nasib dan perjuangan hidup para tapol pada masa Gerakan 30 September 1965 dan berlatarbelakangkan tiga peristiwa bersejarah Indonesia, yakni 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998 dan jatuhnya Presiden Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun.

Novel ini banyak menggunakan latar di Prancis dan Indonesia sebagai latar novelnya. Warga Negara Indonesia yang berada di luar negri saat peristiwa politik tahun 1965 diberi julukan sebagai eksil politik. Mereka tidak diperbolehkan menginjak tanah air sampai batas waktu yang tak jelas hanya karena tuduhan sepihak terlibat baik langsung sebagai anggota dan simpatisan maupun sekedar keluarga dari anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Kebanyakan dari mereka sekarang menetap di beberapa negara Eropa, seperti Belanda, Jerman, Prancis, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya Leila memilih Prancis sebagai latarnya.

Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti tokoh Lintang Utara dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Dalam novel ini, Lintang digambarkan sebagai seorang gadis Indo yang lahir dari hasil perkawinan campur Indonesia dan Prancis. Mangunwijaya dalam Sastra Indonesia Modern Kritik Poskolonial mengatakan, Indo adalah masyarakat yang dalam penghayatan realita hidup dan kebudayaan terbelah, setengah asing terhadap diri sendiri, apalagi situasi dan keadaan sekelilingnya.4 Sebagai Indo, Lintang merupakan sosok yang merasakan kegelisahan-kegelisahan mendalam mengenai ras dan identitas. Lintang menjadi berbeda dari lingkungan sekitarnya lantaran status indonya. Lebih dari itu, keambiguitasan dan kegelisahan mengenai posisinya terus menghantui kehidupan Lintang. Novel-novel yang menampilkan tokoh Indo dalam

4

(16)

penokohannya tidak begitu banyak. Namun baru dalam Keberangkatan

Karya Nh. Dini tahun 1977, Bumi Manusia (1981) karya Pramoedya, dan

Burung-burung Manyar (1981) karya Mangunwijaya.5

Pemilihan novel Pulang sebagai objek penelitian berdasarkan beberapa alasan. Pertama, novel ini mengambil latar belakang sejarah. Dengan latar belakang ini, pembaca akan mengetahui keadaan Indonesia, terutama pascakemerdekaan, ketika PKI melakukan pemberontakan pada tahun 1965, dan Indonesia pada Mei 1998. Kedua, pengalaman-pengalaman yang disajikan pada setiap tokohnya. Ketiga, Novel Pulang

yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia ini dari awal penerbitan pada tahun 2012-2013 sudah mengalami empat kali cetak. Cetakan pertama pada Desember 2012, cetakan kedua pada Januari 2013, cetakan ketiga pada Februari 2013, dan cetakan keempat pada Desember 2013. Novel ini juga dinobatkan sebagai pemenang Khatulistiwa Literary Award 2013. Selain itu, novel Pulang karya Leila S. Chudori ini membuat pembaca ingin mencari tahu dan menggali pengetahuan yang tidak diketahui sebelumnya, seperti kisah Ekalaya yang merupakan salah satu tokoh dalam kisah pewayangan Jawa yang juga tertulis dalam kitab

Mahabarata. Dengan berbagai alasan tersebut, penulis tertarik untuk menganalisis novel Pulang karya Leisa S. Chudori dengan judul penelitian

“Analisis Tokoh Lintang dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan

Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”.

B. Identifikasi masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi masalah yang ada yaitu:

1. Kurangnya minat membaca seseorang terhadap karya sastra berupa novel, terlebih kurangnya minat membaca siswa terhadap novel-novel yang berlatar sejarah.

5

(17)

2. Tidak banyak novel-novel yang melibatkan tokoh Indo sebagai tokoh sentral dalam novel Indonesia.

3. Siswa sulit memahami unsur intrinsik, karena proses pembelajaran hanya sebatas mengidentifikasi.

4. Kurangnya waktu dalam pembelajaran yang dapat dipergunakan siswa untuk membaca dan memahami novel.

5. Siswa kurang mengetahui cerita seperti Ekalaya seperti yang terdapat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.

C. Batasan Masalah

Agar penulisan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi permasalahan pada hal-hal berikut:

Objek kajian yang akan diteliti adalah analisis tokoh Lintang dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, perumusan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana analisis tokoh Lintang dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori?

2. Bagaimana implikasi penelitian tokoh Lintang terhadap pembelajaran sastra di SMA Kelas XII?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan. Maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis tokoh Lintang dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori.

(18)

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoretis dan praktis.

1. Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan tentang Sastra Indonesia, khususnya dalam pembelajaran sastra di sekolah mengenai tokoh dalam novel.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian secara praktis diharapkan bermanfaat bagi peserta didik mengenai tokoh dalam novel. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pendidik untuk bahan pengembangan studi sastra yang berkaitan dengan unsur intrinsik dalam suatu karya sastra.

G. Metodologi Penelitian

1. Bentuk Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Dengan metode ini, hasil penelitian yang akan dihasilkan akan berupa deskripsi, bukan berupa angka-angka atau koefisian tentang variabel. Metode analisis isi digunakan untuk menganalisis isi suatu dokumen. Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah novel Pulang karya Leila S. Chudori.

2. Sumber Data

Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber data primer dan sumber data skunder.

a. Sumber Data Primer

(19)

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak langsung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar pada kategori konsep yang akan dibahas. Sumber data skunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah artikel-artikel dari internet serta buku-buku yang berhubungan dengan novel.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan pembacaan dan penyimakan novel Pulang karya Leila S. Chudori secara cermat, terarah, dan teliti. Pada saat melakukan pembacaan tersebut, penulis mencatat data-data masalah yang terkait dengan tokoh Lintang, dan mencatat kutipan-kutipan yang menggambarkan tentang karakter tokoh. Pembacaan dilakukan secara berulang-ulang sehingga data yang didapat lebih maksimal.

4. Teknik Analisis Data

Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk menganalisis data antara lain:

a. Menganalisis novel Pulang karya Leila S. Chudori dengan menggunakan analisis sruktural. Analisis struktural dilakukan dengan membaca dan memahami kembali data yang sudah diperoleh. Berikutnya mengelompokkan teks-teks yang terdapat dalam novel

Pulang karya Leila S. Chudori yang mengandung unsur intrinsik novel berupa tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.

(20)
(21)

A. Hakikat Novel

1. Pengertian Novel

Novel ( Inggris: novel) sebutan novel dalam bahasa Inggris inilah yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Italia Novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.1

Beberapa pandangan yang berupaya menjabarkan hakikat novel sebagai berikut

Badudu dan Zain berpendapat, novel adalah karangan dalam bentuk prosa tentang peristiwa yang menyangkut kehidupan manusia seperti yang dialami orang dalam kehidupan sehari-hari, tentang suka duka, kasih dan benci, tentang watak dan jiwanya, dan sebagainya.2

Aminuddin berpendapat, prosa rekaan (novel) adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu, dengan peranan, latar serta tahapan dan rangkaiaan cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya( dan kenyataannya) sehingga menjalin suatu cerita.3

Clara Reeve dalam Wellek Warren, novel adalah gambaran dari kehidupan dan prilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis.4

1

Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2010), h. 9-10.

2

Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 9-10.

3

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakart : Grasindo, 2008), h. 127-128.

4

(22)

Berdasarkan tiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian novel adalah sebuah cerita fiksi dalam bentuk prosa yang panjang dengan tokoh dan pelakunya merupakan cerminan kehidupan nyata dalam satu plot, dalam istilah novel tercakup pengertian roman; sebab roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya istilah roman pada waktu itu umumnya berorientasi ke Negeri Belanda, Perancis, dan Rusia, serta sebagian negara-negara Eropa. Istilah novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni setelah sastrawan Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang berbahasa Inggris.5

Novel merupakan bentuk prosa rekaan yang lebih pendek daripada roman. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun demikian, penggarapan unsur-unsur intrinsiknya masih lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya bahasa, nilai, tokoh dan penokohan. 6

2. Jenis-jenis Novel

Novel dikelompokan menjadi beberapa jenis di antaranya :

a) Novel Populer

Novel populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan7. Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat dan berubah menjadi novel serius, dan boleh jadi akan ditinggal oleh pembacanya. oleh karena itu, novel populer pada umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Novel semacam itu biasanya cepat dilupakan

5

Atar Semi, Anatomi Sastra, (Bandung: Angkasa Raya, 2011), h. 32.

6

Siswanto, op. cit., h. 141.

7

(23)

orang, apalagi dengan munculnya novel-novel yang lebih populer pada masa sesudahnya.

Novel populer lebih mudah dibaca dan dinikmati. Masalah yang diceritakan pun yang ringan-ringan, tetapi aktual dan menarik. Kisah percintaan antara pria tampan dan wanita cantik secara umum menarik, mampu membuai pembaca remaja yang memang sedang mengalami masa peka, dan barang kali, dapat untuk sejenak melupakan kepahitan hidup yang dialaminya secara nyata. Oleh karena novel populer lebih mengejar selera pembaca, komersil, ia tidak akan menceritakan sesuatu yang bersifat serius sebab hal itu dapat berarti akan berkurangnya jumlah penggemarnya. Oleh karena itu, plot sengaja dibuat lancar dan sederhana. Perwatakan tokoh tidak berkembang, tunduk begitu saja pada kemauan pengarang yang bertujuan memuaskan pembaca. Sebagaimana dikatakan oleh Sapardi Djoko Damono, tokoh-tokoh yang diciptakan adalah tokoh yang tidak berkembang kejiwaannya dari awal hingga akhir cerita. berbagai unsur cerita seperti plot, tema, karakter, latar, dan lai-lain biasanya bersifat stereotip, tidak mengutamakan adanya unsur-unsur pembaharuan. Hal yang demikian, memang, mempermudah pembaca yang semata-mata mencari cerita dan hiburan belaka.8 Contoh novel jenis ini adalah Marmut Merah Jambu

(Raditya Dika), Laskar Pelangi (Andrea Hirata).

b) Novel Serius

Novel serius, novel yang selain memberikan hiburan, dalam novel ini juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga pada pembaca, atau paling tidak, mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang diangkat. Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru. Singkatnya unsur kebaharuan diutamakan. Oleh karena itu, dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat stereotip, atau paling tidak pengarang berusaha menghindarinya. Novel serius mengambil realitas kehidupan

sebagai model, kemudian menciptakan sebuah “dunia baru”, dunia dalam

8

(24)

kemungkinan, lewat pengembangan cerita dan penampilan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus.

Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada selera pembaca, dan memang, pembaca novel jenis ini tidak (mungkin) banyak. Jumlah novel dan pembaca serius, walau tidak banyak, akan mempunyai gaung dan bertahan dari waktu ke waktu. Misalnya, polemik Takdir Alisyahbana, Armin Pane, Sanusi Pane, dan Tatengkeng pada dekade 30-an yang hingga kini masih cukup relevan untuk disimak karena terasa belum juga ketinggalan zaman.9 Contoh novel serius adalah Pada Sebuah Kapal (N.H Dini), Burung-burung Manyar (YB. Mangunwijaya).

c) Novel Teenlit

Istilah teenlit terbentuk dari kata teenager dan literature. Kata

teenager sendiri terbentuk dari kata teens,age, dan akhiran –er, yang secara istilah berarti menunjuk pada anak usia belasan tahun. Kelompok teenager

tampaknya dimulai dari usia remaja awal (masa adolesen) sampai akhir belasan, yaitu sekitar usia 13-19 tahun. Kata literature berarti kesastraan, bacaan. Jadi, istilah teenlit tampaknya menunjuk pada pengertian bacaan cerita yang ditulis untuk konsumsi remaja usia belasan tahun.

Salah satu karakteristik novel teenlit adalah bahwa mereka selalu berkisah tentang remaja. Tokoh utama cerita yang pada umumnya perempuan adalah tokoh yang dapat diidolakan, tokoh yang berkarakter khas remaja, tokoh yang dapat dijadikan ajang pencarian identitas diri dan kelompok. Maka, tidak mengherankan jika pembaca remaja menjadi gandrung dan hanyut secara emosional seolah-olah dirinya adalah bagian dari cerita itu, seolah-olah sudah kenal dan bagian dari kelompok pertemanan itu, bahkan seolah-olah dirinyalah tokoh-tokoh cerita itu.

Teenlit tidak berkisah sesuatu yang berat. Mereka lebih suka berbicara apa yang menjadi persoalan remaja yang menurut ukuran dewasa mungkin sebagai sesuatu yang ringan. Contoh novel teenlit adalah Dealova (Dylan Nuraninda), Me vs High Heels! Aku vs Sepatu Hak Tinggi! (Maria

9

(25)

Ardelia).10 Dari beberapa jenis novel yang telah dipaparkan di atas Pulang

masuk ke dalam kategori novel serius.

3. Unsur-unsur Novel

Prosa rekaan bisa dibedakan atas prosa lama dan prosa modern. Prosa lama sering berwujud cerita rakyat (folktale) bersifat anonim, seperti cerita binatang, dongeng, legenda, mitos, dan sage.

Bentuk prosa rekaan modern dibedakan atas roman, novel, novelet, dan cerpen, karena tidak ada penelitian yang mendukung, pembedaan atas beberapa bentuk tersebut lebih banyak didasarkan pada panjang-pendeknya dan luas-tidaknya masalah yang dipaparkan dalam prosa rekaan. Walaupun tidak selalu benar, ada juga yang dasar pembedaannya ditambah dengan bahasa dan lukisannya.11

Berdasarkan bentuk novel di atas, terdapat unsur-unsur penting yang membangun karya sastra, unsur tersebut terbagi atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik, pembagian tersebut bertujuan dalam mengkaji novel dalam suatu karya sastra pada umumnya.

a. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur inilah yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita, kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel terwujud. Unsur-unsur ini misalnya, tema, latar, tokoh dan penokohan, alur, sudut pandang, dan amanat.12

1) Tema

Tema adalah gagasan sentral dalam suatu karya sastra dalam novel, tema merupakan gagasan utama yang dikembangkan dalam plot. Hampir

10

Nurgiantoro, op. cit ., h. 26.

11

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 140.

12

(26)

semua gagasan yang ada dalam hidup ini bisa dijadikan tema, sekalipun dalam praktiknya tema-tema yang sering diambil adalah beberapa aspek atau karakter dalam kehidupan, seperti ambisi, kesetiaan, kecemburuan, frustrasi, kemunafikan, ketabahan, dan sebagainya.13

Scharbach berpendapat, tema berasal dari bahasa Latin yang berarti

“tempat meletakan suatu perangkat”. Disebut demikian karena tema adalah

ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.14

Aminuddin mengungkapkan, seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemaparan tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.15

Jadi tema tidak lain adalah suatu gagasan sentral yang menjadi dasar suatu cerita. tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Pengarang adalah pencerita, tetapi agar tidak menjadi sekedar anekdot, cerita rekaannya harus mempunyai maksud. Maksud inilah yang dinamakan tema.16

2) Latar

Setting diterjemahkan sebagai latar cerita. Aminuddin memberi batasan

setting sebagai latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tepat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.

Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time), dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.17

13

Furqonul Aziez & Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 75.

14

Aminuddin, Pengantar Apresiasi Karya Sastra, ( Bandung: Sinar Baru, 1987), h.91.

15

Siswanto, op. cit., h.161.

16

Robert Stanton, Teori Fiksi Robet Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.38.

17

(27)

Brooks berpendapat, secara singkat, latar adalah latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang, dalam suatu cerita.18Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi.19

Biasanya latar muncul pada semua bagian atau penggalan cerita dan kebanyakan pembaca tidak terlalu menghiraukan latar ini; karena lebih terpusat pada jalannya cerita; namun bila pembaca membaca untuk kedua kalinya barulah latar ini ikut menjadi bahan simakkan, dan mulai dipertanyakan mengapa latar ini menjadi perhatian pengarang.20

3) Tokoh dan Penokohan

Tokoh cerita (character), sebagaimana dikemukakan Abrams, adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Tidak berbeda halnya dengan Abrams, Baldic menjelaskan bahwa tokoh adalah orang yang menjadikan pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedang penokohan (characterization) adalah penghadiran tokoh dalam cerita dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya.21

Aminuddin mengatakan, tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.22

Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan penting yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannyahanya melengkapi,

18

(28)

melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu,23 dalam menyajikan dan menentukan karakter (watak) para tokoh, pada umumnya pengarang menggunakan dua cara atau metode dalam karyanya. Pertama, metode langsung (telling) dan kedua, metode tidak langsung (showing).24

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, seperti:

a. Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam perkembangan plot dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Dipihak lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan biasanya diabaikan, atau paling tidak, kurang mendapat perhatian. 25

b. Dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang salah satu jenisnya secara populer disebut hero tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma nilai-nilai yang ideal bagi kita. Sedangkan, tokoh antagonis adalah tokoh yang beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin.26

c. Dilihat dari perwatakannya dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak tertentu saja. Ia tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan bagi pembaca. Dipihak lain, tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat

23

Aminuddin, op. cit., h.79-80.

24

Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h. 6.

25

Nurgiantoro, op. cit., h. 258-259.

26

(29)

saja memiliki watak tertentu yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat pula menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin tampak bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu, perwatakannya pun pada umumnya sulit dideskripsikan secara tepat.27

4) Alur

Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.28

Stanton mengemukakan bahwa alur (plot) adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.29

Brooks mengungkapkan alur atau plot adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama.30

Sudjiman mengartikan alur sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Jalinannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) dan oleh hubungan kausal (sebab akibat). Aminudin membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraiaan, dan penyelesaian.31

Berdasarkan pemaparan di atas, alur adalah rangkaiaan peristiwa yang direka dan dijalin oleh pengarang yang menggerakan jalannya cerita.

Secara teoretis-kronologis tahap-tahap pengembangan struktur plot dijelaskan di bawah ini.

a) Tahap Awal

Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang

(30)

berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Misalnya, berupa penunjukan dan pengenalan latar, seperti nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadian (misalnya ada kaitannya dengan waktu sejarah), dan lain-lain yang pada garis besarnya berupa deskripsi fisik, bahkan mungkin juga telah disinggung (walau secara implisit) perwatakannya.32

b) Tahap Tengah

Tahap tengah cerita dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Bagian tengah cerita merupakan bagian terpanjang dan terpenting dari sebuah cerita. konflik berkembang semakin meruncing, menegangkan dan mencapai klimaks, dan pada umumnya tema pokok, makna pokok cerita diungkapkan. Pada bagian ini pembaca memperoleh cerita, memperoleh sesuatu dari kegiatan pembacaannya.33

c) Tahap Akhir

Tahap akhir sebuah cerita atau dapat juga disebut tahap pelarian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini misalnya (antara lain) berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyarankan pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita. bagaimana bentuk penyelesaian sebuah cerita, dalam banyak hal ditentukan (atau dipengaruhi) oleh hubungan antartokoh dan konflik (termasuk klimaks) yang dimunculkan. Dalam teori klasik yang berasal dari Aristoteles, penyelesaian cerita dibedakan ke dalam dua macam kemungkinan : kebahagiaan (happy end) dan kesedihan (sad end).

Namun, novel-novel seperti Belenggu, Pada Sebuah Kapal, Supernova,

dan lain-lain adalah novel-novel yang memiliki penyelesaiaan yang masih menggantung, masih menimbulkan tanda tanya, tidak jarang menimbulkan, atau bahkan rasa ketidakpuasan pembaca. Sebenarnya,

32

Nurgiantoro, op. cit., h. 201-202.

33

(31)

adanya novel-novel yang sudah selesai, tetapi tidak diselesaikan ceritanya, boleh jadi disebabkan pengarang memberikan kesempatan pada pembaca untuk ikut memikirkannya. Dengan melihat model-model tahap akhir berbagai cerita fiksi yang ada sampai dewasa ini, penyelesaian cerita dapat dikategorikan ke dalam dua golongan: penyelesaian tertutup dan penyelesaian terbuka. Penyelesaian tertutup menunjuk pada jeadaan akhir sebuah cerita fiksi yang memang sudah selesai, cerita sudah habis sesuai dengan tuntunan logika cerita yang dikembangkan. Dipihak lain penyelesaian terbuka, menunjuk pada keadaan akhir sebuah cerita yang masih belum berakhir. Berdasarkan tuntutan logika dan cerita, masih potensial untuk dilanjutkan secara konflik belum sepenuhnya diselesaikan.34

Loban dkk. Menggambarkan gerak tahapan alur cerita seperti halnya gelombang. Gelombang itu berawal dari (1) eksposisi, (2) komlikasi atau intrik-intrik awal yang akan berkembang menjadi konflik hingga menjadi konflik, (3) klimaks, (4) revelasi atau penyingkatan tabir suatu problema, dan (5) denouement atau penyelesaian yang membahagiakan, yang dibedakan dengan catastrophe, yakni penyelesaian yang menyedihkan; dan solution, yakni penyelesaian yang masih bersifat terbuka karena pembaca sendiri yang dipersilahkan menyelesaikan lewat daya imajinasinya.35

5) Sudut Pandang

Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.36

Abrams mengungkapkan, sudut pandang (Point Of View), menunjukan cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk

34

Nurgiantoro, op. cit., h. 205-208.

35

Aminuddin, op. cit., h.84.

36

(32)

menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.37 Dalam Wahyudi Siswanto, sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.38

Pengarang menampilkan tokoh dalam cerita yang dipaparkannya melalui sudut pandang. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikemukakan oleh pengarang disalurkan melalui sudut pandang tokoh. Selain itu, dalam sudut pandang posisi pengarang juga ditentukan. Unsur terpenting dalam karya sastra adalah pengarang sebab tanpa pengarang tidak ada karya sastra. keberhasilan suatu karya sastra tidak tergantung pada pentingnya suatu kejadian atau tokoh-tokoh yang diceritakan, tetapi bagaimana sudut pandang, gaya bahasa dan plot dioprasikan. Peristiwa besar, tokoh terkenal, bukan jaminan bahwa sebuah karya sastra akan berhasil. Sebaliknya, kompleksitas sudut pandang, kekayaan gaya bahasa, dan koherensi pemplotan, jelas merupakan jaminan keberhasilan suatu karya sastra.39

Ada berbagai macam sudut pandang dalam karya sastra. dalam penelitian ini sudut pandang yang peneliti ambil adalah berdasarkan pemaparan Burhan Nurgiantoro. Berikut ini adalah macam-macamnya:

a) Sudut Pandang Persona Ketiga : “Dia”

Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona

ketiga, gaya “Dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Di satu pihak pengarang, narator, dapat bebas

menceritakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “dia”, jadi

bersifat mahatahu, di lain pihak ia terikat, memunyai keterbatasan

37

Nurgiantoro, loc. cit., h. 338.

38

Siswanto, op. cit., h. 151.

39

(33)

“pengertian” terhadap tokoh “dia” yang diceritakan itu, jadi bersifat

terbatas, hanya sebatas pengamat saja.

b) Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”

Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita. dalam sudut pandang

persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadidua macam, yaitu “Aku” (tokoh utama) dan “aku” (tokoh tambahan).

c) Sudut Pandang Campuran

Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. Semua itu tergantung pada kemauan pengarang untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karya.40

6) Gaya Bahasa

Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin

stilus dan mengandung arti lesikal alat untuk menulis. Dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.41

Keraf dalam Tarigan mengungkapkan secara singkat gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan menarik.42

Gaya bahasa, seperti yang diungkapkan Slamet Muljana adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati

40

Nurgiantoro, op. cit., h. 347-359.

41

Aminuddin, op. cit., h. 72.

42

(34)

pembaca. Gaya bahasa disebut pula majas.43 Majas (Figure of speech) adalah suatu bentukan pernyataan dengan cara memakai sesuatu untuk mengatakan tentang sesuatu yang lain.44 Serta bahasa indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata, dapat mengubah nilai rasa dan konotasi tertentu.45

Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech, dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna.46

7) Amanat

Nilai nilai yang ada di dalam cerita rekaan bisa dilihat dari diri sastrawan dan pembacanya. Dari sudut sastrawan, nilai ini bisa disebut amanat. Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Di dalam karya sastra modern amanat ini biasanya tersirat; di dalam karya sastra lama pada umumnya amanat tersurat.47

43

Ernawati Waridah, EYD & Seputar Kebahasaan Indonesian, (Jakarta: Kawan Pustaka, 2010), h. 322.

44

Agus Sri Danardana, Anomali Bahasa, (Pekanbaru: Palagan Press, 2011), h. 12.

45

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 112.

46

Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 129.

47

(35)

B. Teknik Pelukisan Tokoh

Secara garis besar teknik pelukisan tokoh dalm suatu karya atau lengkapnya pelukisan sifat, sikap, watak, tingkah laku, dan berbagai hal lain yang berhubungan dengan jati diri tokoh dapat dibedakan ke dalam dua cara atau teknik, yaitu pelukisan secara langsung dan pelukisan secara tidak langsung.

Kedua teknik tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan, dan penggunaannya dalam teks fiksi tergantung pada selera pengarang dan kebthan penceritaan. Teknik langsung banyak digunakan pengarang pada masa awal pertumbuhan dan perkembangan novel indonesia modern, sedangkan teknik tidak langsung terlihat lebih diminati oleh pengarang dewasa ini. Namun, perlu juga dicatat bahwa sebenarnya tidak ada seorang pengarang pun yang secara mutlak hanya mempergunakan salah satu teknik itu tanpa memanfaatkan teknik yang lain. Pada umumnya pengarang memilih cara campuran, mempergunakan teknik langsung dan tidak langsung dalam sebuah karya sastra. hal ini dirasa lebih menguntungkan karena kelemahan masing-masing teknik dapat ditutup dengan teknik yang lain. Berikut akan dibicarakan kedua teknik tersebut satu per satu.

1. Teknik Ekspositori

Pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkanoleh pengarang kehadapan pembaca dengan cara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya, yang mungkin berupa sikap,sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya.48

2. Teknik Dramatik

Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik, mirip dengan yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku para tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukan

48

(36)

kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal maupun nonverbal.

Penampilan tokoh secara dramatik dapat dilakukan lewat sejumlah teknik. Biasanya pengarang menggunakan berbagai teknik itu secara bergantian dan saling bergantian walau ada perbedaan frekuensi penggunaan masing-masing teknik. Berbagai teknik yang dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut:49

a. Teknik Cakapan

Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Bentuk percakapan dalam sebuah karya fiksi, khususnya novel, umumnya cukup banyak, baik percakapan yang pendek maupun yang (agak) panjang. Tidak semua percakapan, memang mencerminkan kedirian tokoh, atau paling tidak semua percakapan, memang memang mencerminkan kedirian tokoh, atau paling tidak, tidak mudah untuk menafsirkannya sebagai demikian.50

b. Teknik Tingkah Laku

Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjukan tingkah laku verbal berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.51

c. Teknik Pikiran dan Perasaan

Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan perasaan, serta apa yang (sering) dipikir dan dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat kediriannya

jua. Bahkan pada hakikatnya, “tingkah laku” pikiran dan perasaanlah yang

kemudian diejawantahkan menjadi tingkah laku verbal dan nonverbal itu.

49

Ibid., h. 283-285.

50

Ibid., h. 286.

51

(37)

Perbuatan dan kata-kata merupakan perwujudan konkret tingkah laku dan perasaan.

Teknik pikiran dan perasaan dapat ditemukan dalam teknik cakapan dan tingkah laku. Artinya, penuturan itu sekaligus untuk menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh.52

d. Teknik Arus Kesadaran

Teknik arus kesadaran (stream of consciousness) berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tak dapat dibedakan secara pilah, bahkan mungkin dianggap sama karena memang sama-sama menggambarkan tingkah laku batin tokoh. Dewasa ini dalam fiksi modern teknik arus kesadaran banyak dipergunakan untuk melukiskan sifat-sifat kedirian tokoh.

Arus kesadaran sering disamakan dengan interior monologeu, monolog batin. Monolog batin, percakapan yang hanya terjadi dalam diri

sendiri, yang pada umumnya ditampilkan dengan gaya “aku”, berusaha

menagkap kehidupan batin, urutan suasana kehidupan batin, pikiran, perasaan, emosi, tanggapan, kenagan, nafsu, dan sebagainya.

e. Teknik Reaksi Tokoh

Teknik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata. Dan sikap-tingkah-laku orang lain, dan

sebagai yang berupa “rangsangan” dari luar diri tokoh yang bersangkutan.

Bagaimana reaksi tokoh terhadap hal-hal tersebut dapat dipandang sebagai suatu bentuk penampilan yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.53

f. Teknik Reaksi Tokoh Lain

Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain. Pendek kata: penilaiaan kidirian tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita yang

52

Nurgiantoro, op. cit., h. 289.

53

(38)

lain dalam sebuah karya. Reaksi tokoh juga merupakan teknik penokohan untuk menginformasikan kedirian tokoh kepada pembaca.

g. Teknik Pelukisan Latar

Suasana latar (baca: tempat) sekitar tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya. Pelukisan suasana latar dapat lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah diungkapkan dengan berbagai teknik lain. Keadaan latar tertentu adakalanya dapat menimbulkan kesan yang tertentu pula dipihak pembaca. Pelukisan keadaan latar sekitar tokoh secara tepat akan mampu mendukung teknik penokohan secara kuat walau latar itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang berada di luar kedirian tokoh.54

h. Teknik Pelukisan Fisik

Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat tidak mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak bibir yang bagaimana, dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat tertentu. Tentu saja hal itu berkaitan dengan pandangan (budaya) masyarakat yang bersangkutan.

Pelukisan keadaan fisik tokoh, dalam kaitannya dengan penokohan, kadang-kadang memang terasa penting. Keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika memiliki bentuk fisik khas sehingga pembaca dapat menggambarkan secara imajinatif.55

C. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Sastra itu mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka pengajaran sastra harus kita pandang sebagai sesuatu yang penting yang patut menduduki tempat yang selayaknya. Sudah barang tentu, tidak

54

Nurgiantoro, op. cit., h. 295.

55

(39)

semua khazanah sastra Indonesia yang luas itu akan tercakup dalam pengajaran sastra yang waktunya terbatas. Namun, bagaimanapun akan lebih baik mengajarkan sastra sebagai sebuah kepaduan dibanding mengajarkannya secara centang-perenang.56 Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat. Masalah yang kita hadapi sekarang adalah menentukan bagaimana pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk pendidikan secara utuh. Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: 57

1) Membantu Keterampilan Berbahasa

Seperti kita ketahui ada empat keterampilan berbahasa: meyimak, wicara, membaca, menulis. Mengikutsertakan pengajaran satra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah sedikit keterampilan menyimak, wicara, dan menulis yang masing-masing erat hubungannya.

2) Meningkatkan Pengetahuan Budaya

Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan

keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan “sesuatu” dan

kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang menghayatinya. Apabila kita dpat merangsang siswa-siswa untuk memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa itu akan sampai pada realisasi bahwa fakta-fakta itu sendiri tidak lebih penting dibanding dengan keterkaitannya satu-sama lain sehingga dapat saling menopang dan memperjelas apa yang ingin disampaikan lewat karya sastra itu. Suatu bentuk pengetahuan khusus yang harus selalu dipupuk dalam masyarakat adalah pengetahuan tentang budaya yang dimilikinya.

56

Agus R. Sarjono, Sastra Dalam Empat Orba, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001), h. 227.

57

(40)

Setiap sistem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi setiap anak didik. Pemahaman budaya dapat menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri dan rasa ikut memiliki.

3) Mengembangkan Cipta dan Rasa

Setiap guru hendaknya selalu menyadari bahwa setiap siswa adalah seorang individu dengan keperibadian yang khas, kemampuan, masalah dan kadar perkembangannya masing-masing yang khusus. Oleh karena itu penting sekali kiranya memandang pengajaran sebagai proses pengembangan individu secara keseluruhan. Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif dan bersifat sosial, serta dapat ditambahkan lagi yang bersifat religius. Karya sastra, sebenarnya dapat memberikan peluang-peluang untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan semacam itu. Oleh karenanya, dapatlah ditegaska, pengajaran sastra yang dilakukan dengan benar, akan dapat menyediakan kesempatan untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti yang sesungguhnya.

4) Menunjang Pembentukan Watak

(41)

Sehubungan dengan pembinaan watak, pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi, ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan. Sastra, seperti yang kita ketahui, sanggup memuat berbagai medan pengalaman yang sangat luas.58

D. Penelitian Relevan

Penelitian mengenai novel Pulang pernah dilakukan oleh Uky Mareta Yudistyanto (2013) dalam tesisnya yang berjudul Pendekatan Sosiologi Sastra, Resepsi Sastra Dan Nilai Pendidikan Dalam Novel Pulang

Karya Leila S. Chudori. Merupakan tesis di Universitas Sebelas Maret. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, analisis kajian tentang latar sosiologis karya sastra novel Pulang, yaitu: a) ketidak adilan sosial yang meliputi stereotipe sosial dan pelanggaran HAM; b) penyimpangan norma dalam masyarakat yang meliputi seks bebas, perselingkuhan, pengonsumsian minuman keras, tindak anarki dalam demonstrasi, pelecehan sesksual; c) birokrasi yang meliputi pemerintah yang otoriter dan marginalisasi masyarakat; 2) analisis kajian tentang resepsi pembaca yang terdiri dari para pembaca ahli dan pembaca umum (biasa); 3) analisis kajian tentang nilai pendidikan, yaitu: a) nilai pendidikan akademis; b) nilai pendidikan politik; c) nilai pendidikan sosial yang meliputi rasa cinta tanah air dan rasa solidaritas yang tinggi, yaitu rasa empati, rasa saling menjaga, dan rasa senasib sepenanggungan.59

Penelitian novel Pulang juga pernah dilakukan oleh Eko Sulistyo dalam penelitiannya yang berjudul Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Ananlisis Struktur Plot Robert Stanton. Merupakan skripsi di Universitas Gajah Mada. Dari hasil analisis dapat disimpulkan plot pulang bersifat rekat dan plausible. Rekat dan plausible berfungsi untuk membuat pulang seperti

58

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988) h. 24.

59

(42)

kenyataan, untuk menguatkan temanya, Pulang menggunakan ironi dramatis (ironi plot).60

Penelitian novel Pulang juga pernah dikaji oleh Aditya Doni Pradipta (2014) dalam skripsinya yang berjudul Konflik Politik Dalam Vovel Pulang Karya Leila Salikha Chudori: Tinjauan Sosiologi Sastra dan

Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA. Merupakan skripsi di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa kesimpulan. Berdasarkan tinjauan sosiologi sastra, konflik politik dalam novel Pulang dibagi menjadi dua, yaitu senjata-senjata pertempuran dan strategi politik. Senjata-senjata pertempuran yang terdapat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ada empat bentuk, yaitu a) kekerasan fisik, b) kekayaan, c) organisasi, d) media informasi. Srategi politik yang terdapat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ada lima bentuk, yaitu a) perjuangan terbuka, b) perjuangan tersembunyi, c) pergolakan di dalam renzim, d) perjuangan untuk mengontrol renzim, e) kamuflase.61

60

Eko Sulistyo, Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Ananlisis Strukture Plot

Robert

Stanton,http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=

view&typ=html&buku_id=72485&obyek_id=4, diakses pada tanggal 12 Januari 2015

pukul 09.00.

61

(43)

BAB III

BIOGRAFI PENGARANG, SINOPSIS DAN PEMIKIRAN

A. Biografi Pengarang

Leila Salikha Chudori lahir di Jakarta, 12 Desember 1962. Leila bisa dibilang pengarang yang jempolan. Usia merambah, kreativitas bertambah. Masa kanak-kanak, Leila menjadi pengarang cerita anak-anak, di tingkat akhir SMPnya, Leila telah berhasil menulis cerpen sekitar 50-an serta 11 novelette. Tersebar di majalah-majalah Kuncung, Gadis, Hai, Dewi dan yang lain. Tema yang dipilih Leila kecuali cerita anak-anak, juga kisah-kisah remaja. Berdasar imajinasi. Tetapi dalam setiap cerpen pasti terselip pengalaman yang pernah dihayatinya, dan ini menurut Leila, mampu menghidupkan isi cerpennya. Cerpen yang pernah ditulisnya, yang jadi favoritnya adalah Musik Dan Aku yang dimuat dalam Hai. 1

Bakatnya dalam menulis memang sudah ada sejak masih kecil. Kumpulan cerpennya Malam Terakhir yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Die Letzie Nacht (Horlemman Verlag). Sejak kecil leila sudah biasa berkumpul dengan pengarang terkenal seperti, Yudistira Marssadi, Arswendo Atmowiloto atau Danarto. Leila memang bukan pengarang yang pantang mundur, terutama untuk bidang tulis menulis yang diyakininya sebagai pilihan hidup dan karir, karena itu dia memilih menjadi wartawan. Kerja sebagai wartawan memang sangat menyita waktu dan meletihkan, sehingga ia tidak sempat lagi menulis cerita fiksi. Leila sempat mewawancarai tokoh-tokoh terkenal yang tidak mungkin ia jumpai saat dia hanya sekerdar menjadi penulis fiksi. Meski diakui karirnya sebagai pengarang cukup cemerlang.

Jauh sebelum Leila berkecimpung di bidang jurnalistik, Leila sudah sering mempublikasi karangannya di berbagai media cetak bergengsi di Indonesia seperti Horison, Mantra, dan media berbahasa Inggris Solidarity (Filipina), Managerie (Indonesia), dan Tenggara

1

(44)

(Malaysia). Cerpennya pernah dibahas oleh kritikus sastra Tinneke

Hellwig dalam “Leila S. Chudori and Women in Contemporary Fiction Writing” yang dimuat di Tenggara terbiran Malaysia. Namanya juga tercantum dalam salah satu sastrawan Indonesia dalam kamus sastra

Dictionnaire des Creatrices yang diterbitkan Editions des Femmes, Prancis yang disusun oleh Jacqueline Camus, sebuah kamus sastra yang berisikan data dan profil perempuan yang berkecimpung didunia seni.2

Perempuan kutu buku ini juga sudah menerbitkan sejumlah buku. Semuanya fiksi, Leila memang jarang menulis artikel. Semasa kuliah ia mengaku cukup serius dalam belajar, giat membaca buku-buku teks, sehingga tidak punya waktu untuk menulis, jika sedang pulang ke Indonesia Leila baru bisa mengarang. Leila sangat tidak percaya pada

bakat, bagi dia kata bakat mengandung misteri. “Manusia ditentuksn oleh

faktor eksternal dan internal. Kita harus menguji diri kita, punya jiwa seni

atau tidak.” Katanya. Bagi Leila seorang pegarang memiliki kepekaan

menangkap fenomena dalam dirinya yang kemudian diekspresikan lewat kertas.

Kekaguman Leila pada ayahnya Mohammad Chudori yang merupakan seorang wartawan Kantor Berita Antara, tidak mampu disembunyikannya. Nama Leila S. Chudori tercantum dalam daftar keanggotaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Periode 1993-1996, ia menegaskan bahwa sudah sejak lama ia menolak untuk duduk dalam keanggotaan itu.

Selain bekerja sehari-hari sebagai wartawan senior Tempo, bersama dengan Bambang Bujono, Leila juga menjadi editor buku

Bahasa! Kumpulan tulisan majalah Tempo (Pusat Data Analisa Tempo, 2008). Leila juga aktif menulis skenario drama televisi. Drama TV berjudul Dunia Tanpa Koma (Produksi SinemArt, sutradara Maruli Ara) yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dan Tora Sudiro ditayangkan di

2

Anonim, Seniman Sastra,

Referensi

Dokumen terkait

sudut pandang adalah cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk

besar membuatnya menjadi pribadi sulit untuk dimengerti dan membuatnya semakin menderita.Selain itu nilai-nilai pendidikan ditemukan dalam novel ini adalah nilai

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kondisi sosial dan politik eksil di Prancis dalam novel Pulang karya Leila S.. Chudori dan implikasi pada pembelajaran sastra di

Penelitian mengenai nilai sejarah dalam novel Pulang ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada Kurikulum Tingkat Satuan

dari sudut pandang sosiologi sastra yaitu aspek moral dalam hal ini yang diungkap adalah perbuatan, sikap, budi pekerti, susila para tokoh utama; aspek etika membahas

Pada umumnya studi tentang intertekstual sering menunjukkan bahwa teks yang lebih dahulu selalu menjadi hipogram dari teks yang terbaru atau biasa disebut dengan teks

besar membuatnya menjadi pribadi sulit untuk dimengerti dan membuatnya semakin menderita.Selain itu nilai-nilai pendidikan ditemukan dalam novel ini adalah nilai

Pelaku yang mengemban dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh, sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku