• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT STREPTOCOCCOSIS PADA IKAN NILA ( Oreochromis niloticus)

Abstrak

S. agalactiae merupakan penyakit penting yang secara nyata dapat berpengaruh terhadap produksi akuakultur. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efikasi vaksin toksoid 89 kDa dari produk ekstraseluler bakteri S agalactiae (ECP89) terhadap serangan penyakit streptococcosis pada ikan nila. Empat dosis vaksin ECP89 yaitu dosis 2 µg mL-1(ECP89-2), 4 µg mL-1 (ECP89- 4), 6 µg mL-1 (ECP89-6) dan 8 µg mL-1 (ECP89-8) diinjeksikan pada ikan nila dengan bobot sekitar 25 g ekor-1 secara i.p. sebanyak 0,1 mL. Sebagai kontrol positif ikan nila diberi vaksin sel utuh formalin-killed bakteriS. agalactiae 1x109 CFU mL-1 (WCV) dan vaksin ECP crude bakteri S. agalactiae (ECPV) serta kontrol negatif ikan tidak divaksinasi (UV). Injeksi kedua sebagai booster

dilakukan pada hari ke-7 setelah injeksi pertama. Ikan dipelihara selama 20 hari pasca vaksinasi dan diuji tantang dengan bakteri S. agalactiaevirulen 1x104 CFU mL-1secara i.p. pada hari ke-20. Ikan dipelihara kembali hingga hari ke-15 pasca uji tantang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan nila yang divaksin dengan ECP89-6 dan ECP89-8 memiliki relative percent survival (RPS) (masing-masing 62,00 dan 64,00) lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan perlakuan vaksin ECP89-4 (33,67), ECPV (24,33) dan ECP89-2 (11,00) setelah diuji tantang dengan S. agalactiae. Penelitian ini membuktikan bahwa vaksin ECP89 dapat menginduksi respons imun ikan nila dan menunjukkan fungsi protektif terhadapS. agalactiae sehingga ECP89 merupakan vaksin protein yang ideal untuk dikembangkan.

Keywords: respons imun, ikan nila, efikasi proteksi, Streptococcus agalactiae, vaksin protein.

Abstract

S. agalactiae is a pathogenic bacterium which could significantly affect aquaculture. This study aims to evaluated the efficacy of the 89 kDa toxoid vaccine romS. agalactiae extracellular products (ECP89) against streptococcosis in tilapia. Four dosages of ECP89 vaccine, 2 µg mL-1 (ECP89-2), 4 µg mL-1 (ECP89-4), 6 µg mL-1 (ECP89-6), and 8 µg mL-1 (ECP89-8), were injected to tilapia weighing approximately 25 g 0.1 mL intraperitoneally (i.p.). The positive controls were given 1x109 CFU mL-1 of S. agalactiaeformalin-killed whole-cell vaccine (WCV) and crude S. agalactiae bacteria ECP vaccine (ECPV). Negative controls were not injected with vaccine (UV). The second injection, the booster, was given 7 days after the first. The fish were kept for 20 days then challenged with virulent S. agalactiae 1x104 CFU mL-1 i.p. then kept for 15 days. Tilapias vaccined with ECP89-6 and ECP89-8 had higher relative percent survival (RPS) (62.00 and 64.00, respectively) (p<0.05) than with the ECP89-4 (33.67), ECPV

(24.33) and ECP89-2 (11.00) vaccines after the challenge.These results suggested that the ECP89 vaccine could effectively stimulate immune responses and protect againstS. agalactiae, making it an ideal protein vaccine.

Keywords: immune respons, Nile tilapia, protective efficacy, Streptococcus agalactiae, protein vaccine.

Pendahuluan

Infeksi Streptococcus sp menyebabkan penyakit septicemia yang telah dilaporkan di seluruh dunia menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dalam produksi ikan (Bercovier et al. 1997; Eldar et al. 1997; Shoemaker & Klesius 1997). Streptococcosis dapat menyerang ikan liar dan ikan yang dibudidayakan pada perairan tawar maupun laut (Pereira et al. 1998; Sako, 1998; Zlotkin et al.

1998; Colorni et al. 2002). Di antara ikan yang terserang tersebut, ikan nila merupakan ikan yang paling rentan terhadap infeksi streptococcosis dan menimbulkan wabah yang sangat mematikan (Pretto-Giardano et al. 2010) dan telah menjadi masalah utama dalam budidaya ikan tilapia (Pereiraet al. 2010).

Setelah Streptococcus spp masuk ke dalam media budidaya maka akan sangat sulit untuk memberantasnya, sehingga kemungkinan terjadinya wabah streptococcus akan meningkat jika ikan mengalami stress, misalnya karena suhu air yang tidak optimal, oksigen terlarut rendah, nitrit tinggi dan kepadatan tinggi (Bunch & Bejerano 1997; Pereira et al. 1997; Shoemaker et al. 2000). Oleh karena itu pengembangan vaksin merupakan salah satu alternatif penting dalam rangka mengendalikan kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh serangan penyakit streptococcosis dan mengurangi penggunaan antibiotik.

Berbagai hasil penelitian dengan bakteri yang berbeda menunjukkan bahwa diantara ECPcrude, hanya terdapat satu atau beberapa protein yang memiliki sifat imunogenik, diantaranya Song et al. (2013) yang mengidentifikasi antigen protektif proteome dari ekstraselular yang disekresi bakteri E. tarda. Dari 38 protein sekretori ekstraseluler, empat diantaranya yaitu EseC , ETAE_2088, FlgD dan ETAE_2130 menunjukkan RPS sekitar 60%. Zhanget al. (2012) meneliti 16 protein flagellar dari E. tarda, 10 diantaranya memiliki kemampuan imunoprotektif pada ikan zebra, namun pada penelitian selanjutnya hanya satu jenis protein (FlgD) yang merupakan antigen yang sangat imunoprotektif. Cheng

et al. (2011) mengidentifikasi Vhp1, protease V. harveyi strain patogen yang diisolasi dari ikan sakit sebagai protein sekresi yang merupakan kandidat vaksin efektif terhadap infeksiV. harveyi. Wuet al.(2012) meneliti peran imunoprotektif protease ekstraseluler Epr2 dan Epr3 A. hydrophila dan menunjukkan bahwa Epr2-3 adalah imunogen yang melindungiArabramis pekinensissecara signifikan terhadap infeksi A. hydrophila. Hou et al. (2009) menunjukkan bahwa EseD, suatu protein efektor dari virulence-associated TTSS system dapat memberikan proteksi yang signifikan padaJapanese founderterhadap infeksi E. tarda.

Imunogenisitas protein toksin 89 kda dari ECPS. agalactiaetelah dilakukan pada penelitian sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein 89 kDa dapat meningkatkan respons imun spesifik dan nonspesifik ikan nila. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan efikasi vaksin protein toksin 89 kDa dari produk

ekstraseluler bakteri S. agalactiaeuntuk mengetahui imunoproteksinya terhadap serangan penyakit streptococcosis pada ikan nila.

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada Juni 2013 hingga Januari 2014. Preparasi ekstraseluler bakteri S. agalactiae dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB dan Laboratorium Kesehatan Ikan Balitbangdita, Sempur, Bogor. Fraksinasi dan isolasi protein ekstraselluler bakteri

S. agalactiae sebagai kandidat vaksin dilakukan di Laboratorium Biologi Balai Budidaya Ikan Hias Depok, pemeliharaan untuk uji protein toksin di Laboratorium basah Lingkungan Budidaya dan Toksikologi, Instalasi Riset Lingkungan Perikanan Budidaya dan Toksikologi, Cibalagung, Bogor dan pengamatan imunologi ikan di Laboratorium Kesehatan Ikan Balitbangdita, Sempur, Bogor.

Preparasi Vaksin

Isolat bakteri yang digunakan untuk produksi ECP adalahS. agalactiaetipe non-hemolitik N14G koleksi Balitbangdita, Sempur, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bogor. Bakteri diinokulasi pada media BHI dan diinkubasi selama 72 jam pada suhu 27°C (Klesius et al. 1999) dan Evans et al. (2004). Hasil kultur bakteri ditambahkan NBF hingga konsentrasi akhir menjadi 3%, diinkubasi pada suhu 27°C selama 24 jam. Hasil inaktivasi dengan NBF disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 30 menit pada suhu 4°C. Supernatan yang berisi ECP crude diaduk menggunakan shaker kemudian disaring dengan filter miliphore steril 0,22 µm (membran solution MS® CA syringe filter) dan disimpan pada suhu -20°C.

20 mL ECP crude dipekatkan hingga diperoleh ECP pekat sebanyak 1 mL dengan vivaspin konsentrator sentrifugal 6 ml disentrifugasi pada 12.500 rpm pada suhu 4°C. Selanjutnya difraksinasi dengan metode SDS-PAGE (Laemmli 1970) dengan konsentrasi gel 12%. Setelah proses elektroforesis, gel diangkat dan dipotong selebar 7-10 mm dari sisi kiri dan kanan. Potongan gel kecil ini dipreparasi dengan pewarnaan silver staining yang selanjutnya dijadikan frame

untuk memotong protein 89 kDa.

Sampel hasil SDS-PAGE dengan berat molekul 89 kDa dipotong dan dielusi dengan electro-eluter. Setelah proses elusi, protein dalam silikon diambil dan dimasukkan ke dalam eppendorf dan selanjutnya disebut sebagai vaksin toksoid 89 kDa (ECP89). Vaksin ini disimpan pada suhu -20ºC hingga akan digunakan.

Purifikasi IgG Ikan dan Produksi Antibodianti-tilapiapada Kelinci

Purifikasi IgG serum ikan nila dilakukan berdasarkan Swain et al. (2007). Produksi antibodi anti tilapia menggunakan kelinci New Zealand White berumur 6 bulan dengan bobot tubuh 2 kg. Imunisasi pada kelinci dilakukan dengan injeksi secara subcutan. Pengambilan darah dilakukan 14 hari setelah imunisasi terakhir (hari ke-29). Hasil panen serum dipurifikasi seperti pada metode purifikasi IgG (Swainet al. 2007).

Vaksinasi dan Pemeliharaan Ikan

Ikan nila dengan bobot sekitar 25 g ekor-1 yang berasal dari satu sumber ditampung di bak penampungan selama 14 hari untuk proses aklimatisasi dan penentuan status kesehatan ikan melalui pengamatan mikroskopis dan fisiologis serta penyeragaman ukuran ikan.

Secara random ikan nila dibagi atas tujuh kelompok perlakuan dan tiga ulangan. Pemeliharaan dilakukan pada bak fiber berukuran (100x65x30 cm) ditebar ikan sebanyak 30 ekor bak-1 (195 L air). Empat kelompok perlakuan divaksin secara i.p. 0,1 mL ekor ikan-1 dengan vaksin ECP89 masing-masing dengan dosis 2 µg mL-1 (ECP89-2), 4 µg mL-1(ECP89-4), 6 µg mL-1 (ECP89-6) dan 8 µg mL-1(ECP89-8). Dua kelompok kontrol positif masing-masing divaksin secara i.p. 0,1 mL ekor ikan-1 dengan vaksin sel utuh S. agalactiae 1x109 CFU mL-1 (WCV) yang diinaktifkan dengan formalin dan vaksin ECP crude (ECPV), sedangkan satu kelompok kontrol negatif tidak divaksin tetapi diinjeksi dengan larutan PBS secara i.p. 0,1 mL ekor ikan-1(UV). Penelitian dilakukan dengan tiga kali ulangan. Pada hari ke-7 setelah vaksinasi pertama dilakukan vaksinasi ulang (booster). Selanjutnya ikan dipelihara selama 20 hari. Pengenceran vaksin ECP89 sesuai dosis perlakuan dilakukan dengan menggunakan PBS dan diukur konsentrasinya dengan Nanodrop 2000 Spectrophotometer thermo scientific

dengan absorbansi 1 pada 280 nm. Uji Tantang

Ikan nila yang divaksin maupun tanpa vaksinasi diinjeksi secara i.p. dengan bakteriS. agalactiaevirulen 1x104CFU mL-1dosis 0,1 mL pada hari ke-20 pasca vaksinasi.. Selanjutnya ikan dipelihara kembali hingga hari ke-15. Setelah uji tantang, dilakukan pengamatan mortalitas setiap hari dan pengamatan gambaran imunologi ikan setiap 5 hari hingga hari ke-15 pasca uji tantang. Untuk mengetahui efektivitas vaksin setelah uji tantang maka dilakukan perhitungan RPS berdasarkan Amend (1981) dengan formula RPS = 1 – (% mortalitas kelompok yang divaksin/mortalitas kelompok kontrol) x 100.

Pengamatan Imunologi Ikan

Pengamatan imunologi ikan, terdiri atas kadar hemoglobin berdasarkan metode Sahli dengan Salinometer (Wedemeyer & Yasutake 1977), jenis leukosit (Blaxhall & Daisley (1973), aktivitas fagositik (Anderson & Siwicki (1995),

aktivitas lisozim serum (Ellis 1990), serum antibodi menggunakan aglutinasi langsung (Sakai 1987) danindirectELISA (Shelbyet al. 2002).

Analisis Data

Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Data hemoglobin darah, penjenisan leukosit, aktivitas fagositosis, aktivitas lisozim serum, titer antibodi, RPS dan survival rate dianalisis secara statistik menggunakan software SPSS versi 17,0 (SPSS Inc., Chicago, IL) dan uji lanjut Duncan pada level p<0,05.

Hasil

Proteksi Vaksin Protein

Ikan nila diuji tantang dengan S. agalactiae pada hari ke-20 pasca pemberian vaksin (hari ke-0 pasca uji tantang) dan selanjutnya dilakukan monitoring kematian ikan hingga hari ke-15 pasca uji tantang. Kematian ikan nila (Gambar 15) mulai terjadi pada hari ke-3 pasca uji tantang pada perlakuan ECP89-2, ECPV dan UV. Kematian ikan semakin banyak dan terjadi pada semua perlakuan pada hari ke-4 hingga hari ke-12 pasca uji tantang.

Keterangan : ECP89-2 (dosis 2 µg mL-1), ECP89-4 (dosis 4 µg mL-1), ECP89-6 (dosis 6 µg mL-1),

ECP89-8 (dosis 8 µg mL-1), WCV (vaksinwhole-cell S. agalactiae), ECPV (vaksin

ECPcrude S. agalactiae). UV (kontrol negatif tanpa vaksinasi)

Gambar 15. Kematian kumulatif harian ikan nila (Oreochromis niloticus) pasca uji tantang dengan bakteri Streptococcus agalactiae

Perlakuan vaksin ECP89-6, ECP89-8 dan WCV memiliki proteksi terhadap mortalitas kumulatif ikan (masing-masing 26,33%; 25,33% dan 18,67%) secara signifikan lebih tinggi setelah uji tantang (p<0,05) dibandingkan dengan semua perlakuan. Kemudian diikuti dengan perlakuan vaksin ECP89-4 (46,67%) dan ECPV (53,33%) (p<0,05) dan terendah pada perlakuan vaksin ECP89-2 (62,67%)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 K em at ia n K um ul at if H ari an (% )

Hari Setelah Uji Tantang

ECP89-2 ECP89-4 ECP89-6 ECP89-8 WCV ECPV UV

dan UV (79,67%) (p<0,05). Proteksi perlakuan vaksin ECP89-6 dan ECP89-8 terhadap mortalitas kumulatif ikan tidak berbeda secara signifikan (p>0,05) namun lebih rendah (p<0,05) dibandingkan dengan vaksin WCV.

Respons Imun NonSpesifik Ikan Setelah Uji Tantang

Dinamika hemoglobin ditunjukkan pada Gambar 16. Hemoglobin pada hari ke-5 hingga hari ke-15 pasca uji tantang mengalami peningkatan pada ikan nila diinjeksi dengan perlakuan ECP89-4, ECP89-6, ECP89-8 dan WCV lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya (p<0,05).

Keterangan : ECP89-2 (dosis 2 µg mL-1), ECP89-4 (dosis 4 µg mL-1), ECP89-6 (dosis 6 µg mL-1),

ECP89-8 (dosis 8 µg mL-1), WCV (vaksinwhole-cell S. agalactiae), ECPV (vaksin

ECP crude S. agalactiae). UV (kontrol negatif tanpa vaksinasi). Huruf yang berbeda dalam satu waktu pengamatan menunjukkan berbeda secara signifikan (p<0,05).

Gambar 16. Kadar hemoglobin ikan nila (Oreochromis niloticus) pasca uji tantang dengan bakteriStreptococcus agalactiae

Penjenisan leukosit ikan nila terdiri atas monosit, netrofil dan limfosit. Persentase monosit (Gambar 17A) pada ikan yang diinjeksi vaksin ECP89-4, ECP89-6, ECP89-8 dan WCV mengalami peningkatan hingga hari ke-15 dan lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya (p<0,05). Persentase netrofil (Gambar 17B) pada ikan yang divaksin ECP89-4, ECP89-6, ECP89-8 dan WCV mengalami peningkatan dan lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya pada hari ke-5 setelah uji tantang. Pada pengamatan hari ke-10, persentase netrofil ikan yang divaksin ECP89-6, ECP89-8 dan WCV mengalami penurunan tetapi lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya (p<0,05). Penurunan persentase netrofil berlanjut hingga hari ke-15 setelah uji tantang dan seluruh perlakuan tidak berbeda.

Persentase limfosit mengalami penurunan pada perlakuan vaksin ECP89-4, ECP89-6, ECP89-8 dan WCV pada hari ke-5 lebih rendah dibanding perlakuan lainnya setelah uji tantang (p<0,05), namun mengalami peningkatan pada hari ke- 10 dan hari ke-15 (Gambar 17C).

0 1 2 3 4 5 6 0 5 10 15 H em og lo bi n (g % )

Hari Setelah Uji Tantang

ECP89-2 ECP89-4 ECP89-6 ECP89-8 WCV ECPV UV a a aa a a a ab a d ab c e b c a d a a b a c aa a b a a

Keterangan : ECP89-2 (dosis 2 µg mL-1), ECP89-4 (dosis 4 µg mL-1), ECP89-6 (dosis 6 µg mL-1),

ECP89-8 (dosis 8 µg mL-1), WCV (vaksinwhole-cell S. agalactiae), ECPV (vaksin

ECP crude S. agalactiae). UV (kontrol negatif tanpa vaksinasi). Huruf yang berbeda dalam satu waktu pengamatan menunjukkan berbeda secara signifikan (p<0,05).

Gambar 17. Penjenisan leukosit terdiri atas persentase monosit (A), persentase netrofil (B) dan persentase limfosit (C) ikan nila (Oreochromis niloticus) pasca uji tantang dengan bakteriStreptococcus agalactiae

Aktivitas fagositosis ikan nila setiap perlakuan vaksin (Gambar 18) menunjukkan peningkatan pada hari ke-5 setelah uji tantang dan cenderung stabil pada hari ke-10 hingga hari ke-15. Ikan yang divaksinasi dengan vaksin ECP89 lebih tinggi dibandingkan dengan ECPV dan UV (p<0,05), namun secara umum lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan vaksin WCV.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 M on os it (% ) ECP89-2 ECP89-4 ECP89-6 ECP89-8 WCV ECPV UV b a ab aaa ab c bc c ab ab bc abc c c a a a a c b b a a a ab b 0 1 2 3 4 5 6 7 8 N et ro fi l (% ) ECP89-2 ECP89-4 ECP89-6 ECP89-8 WCV ECPV UV a d abc ab ab bcd cd b a b b ab a a a ab a ab b a a a a a a a a b 82 84 86 88 90 92 94 96 98 0 5 10 15 Li m fo si t (% )

Hari Setelah Uji Tantang

ECP89-2 ECP89-4 ECP89-6 ECP89-8 WCV ECPV UV ab bc c c c a a ab c cd d cd b ab ab c bc abc abc a ab bc bc c bc a a b A B C

Keterangan : ECP89-2 (dosis 2 µg mL-1), ECP89-4 (dosis 4 µg mL-1), ECP89-6 (dosis 6 µg mL-1),

ECP89-8 (dosis 8 µg mL-1), WCV (vaksinwhole-cell S. agalactiae), ECPV (vaksin

ECP crude S. agalactiae). UV (kontrol negatif tanpa vaksinasi). Huruf yang berbeda dalam satu waktu pengamatan menunjukkan berbeda secara signifikan (p<0,05).

Gambar 18. Aktivitas fagositosis ikan nila (Oreochromis niloticus) pasca uji tantang dengan bakteriStreptococcus agalactiae

Aktivitas lisozim serum ikan nila setelah uji tantang meningkat pada hari ke-5 dan bertahan hingga hari ke-15 pada semua perlakuan, kecuali ikan kontrol negatif yang tidak divaksin (Gambar 19). Secara umum aktivitas lisozim serum pada perlakuan vaksin ECP89-4, ECP89-6, ECP89-8 dan WCV pada hari ke-5 hingga hari ke-15 secara signifikan lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan perlakuan ECP89-2 dan UV (p<0,05).

Keterangan : ECP89-2 (dosis 2 µg mL-1), ECP89-4 (dosis 4 µg mL-1), ECP89-6 (dosis 6 µg mL-1),

ECP89-8 (dosis 8 µg mL-1), WCV (vaksinwhole-cell S. agalactiae), ECPV (vaksin

ECP crude S. agalactiae). UV (kontrol negatif tanpa vaksinasi). Huruf yang berbeda dalam satu waktu pengamatan menunjukkan berbeda secara signifikan (p<0,05).

Gambar 19. Aktivitas lisozim serum ikan nila (Oreochromis niloticus) pasca uji tantang dengan bakteriStreptococcus agalactiae

0 1 2 3 4 5 6 7 0 5 10 15 A kt iv ita s F ag os ito si s (% )

Hari Setelah Uji Tantang

ECP89-2 ECP89-4 ECP89-6 ECP89-8 WCV ECPV UV a aa ab b b ab a babb bc cd d a d d ab ab bc cd aa a a b bb 0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 5 10 15 A kt iv ita s L is os im (U m L -1)

Hari Setelah Uji Tantang

ECP89-2 ECP89-4 ECP89-6 ECP89-8 WCV ECPV UV a b b c c d e b b a c c d e bb a c c d e c a b d c ab e

Respons Imun Spesifik Ikan Setelah Uji Tantang

Titer antibodi serum ikan nila (Tabel 3) menggunakan pengujian aglutinasi dengan S. agalactiae meningkat setelah divaksinasi maupun setelah uji tantang, kecuali ikan kontrol negatif yang tidak divaksin. Titer aglutinasi ikan yang divaksinasi ECP89-6 dan ECP89-8 (masing-masing 6,33) lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan titer aglutinasi ikan yang divaksinasi dengan ECP89-4 (5,00), ECPV (4,67), ECP89-2 (3,67) dan UV (1,33) setelah diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae. Perlakuan vaksin ECP89-6 dan ECP89-8 tidak berbeda (p>0,05) namun lebih rendah (p<0,05) dibandingkan dengan vaksin WCV (8,00).

Tabel 3. Titer antibodi serum ikan nila dengan metode direct aglutinasi dan antibodi spesifikStreptococcus agalactiae,(optical density; ODindirect- ELISA) sebelum uji tantang (pasca vaksinasi 20 hari)* dan pasca uji tantang dengan Streptococcus agalactiae (15 hari pasca-uji tantang), mortalitas danrelative percent survival(RPS) (15 hari pasca uji tantang).

Perlakuan

Titer Aglutinasi ODindirect-ELISA

Mortalitas (%) RPS (%) Sebelum Uji Tantang Setelah Uji Tantang Sebelum Uji Tantang Setelah Uji Tantang ECP89-2 3,33±0.57d 3,67±0.57d 0,138±0.003d 0,147±0.008e 62.67±2.30b 11,00±3.46e ECP89-4 5,00±0.00bc 5,00±1.00c 0,194±0.004c 0,253±0.004c 46.67±6.11d 33,67±8.62c ECP89-6 5,33±0.57b 6,33±0.57b 0,234±0.007b 0,271±0.004b 26.67±2.30e 62,00±3.46b ECP89-8 5,33±0.57b 6,33±0.57b 0,237±0.007b 0,266±0.006bc 25.33±2.30e 64,00±3.46b WCV 6,33±0.57a 8,00±1.00a 0,251±0.002a 0,293±0.006a 18.66±2.30f 73,67±2.88a ECPV 4,33±0.57c 4,67±0.57cd 0,199±0.001c 0,222±0.002d 53.33±2.30c 24,33±2.88d UV 1,00±0.00e 1,33±0.57e 0,120±0.001e 0,115±0.005f 70.66±2.30a

Huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan antar perlakuan pada taraf 0,05.

* Ikan nila divaksinasi secara i.p. 0,1 µg mL-1ikan dengan vaksin ECP89 masing-masing dengan

dosis 2 µg mL-1(ECP89-2), 4 µg mL-1(ECP89-4), 6 µg mL-1(ECP89-6) dan 8 µg mL-1(ECP89-

8). Dua kelompok kontrol positif masing-masing divaksin dengan vaksin sel utuhS. agalactiae

1x109CFU mL-1(WCV) yang diinaktifkan dengan NBF dan vaksin ECPcrude(ECPV), dan satu

kelompok kontrol negatif ikan tidak divaksin (UV).

Titer antibodi spesifik serum ikan nila dengan metode indirect ELISA menunjukkan hasil yang sama dengan metode aglutinasi. Vaksin ECP89-8, ECP89-6 dan ECP89-4 meningkatkan OD serum ikan nila (masing-masing OD 0,266, OD 0,271 dan OD 0,253) lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan perlakuan ECPV (OD 0,222), ECP89-2 (OD 0,147) dan UV (OD 0,155) setelah diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae. Perlakuan vaksin ECP89-8 ECP89-6 dan ECP89-4 tidak berbeda (p>0,05) namun lebih rendah (p<0,05) dibandingkan dengan vaksin WCV (OD 0,293).

Pembahasan

Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengevaluasi penggunaan protein toksin dengan berat molekul 89 kDa dari ECP S. agalactiae sebagai vaksin toksoid untuk mengendalikan penyakit streptococcosis pada ikan nila.

Untuk mengetahui efektivitas vaksin tersebut maka pada penelitian ini dilakukan pengamatan survival rate (SR), kematian kumulatif dan RPS serta respons imunologi ikan setelah dilakukan uji tantang. Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 3, menunjukkan bahwa vaksin ECP89 khususnya ECP89-8 dan ECP89-6 dapat memproteksi ikan secara optimal dari serangan bakteri S. agalactiae

sehingga memiliki SR yang lebih tinggi (masing-masing 74.67% dan 73.67%) dibandingkan dengan perlakuan ECPV (46,67%) dan UV (29,33%) (p<0,05).

SR ikan yang tinggi pasca uji tantang menunjukkan bahwa vaksin ECP89-8 dan ECP89-6 dapat melindungi ikan nila secara optimal ketika diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RPS vaksin ECP89-8 (64,00%) dan ECP89-6 (62,00%) yang lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan dengan vaksin ECPV (24,33%), vaksin ECP89-2 (11,00%) dan ECP89-4 (33,67%). RPS vaksin ECP89 pada penelitian ini lebih tinggi dibanding penelitian Wang et al. (2013) pada ikan Chinese breams yang divaksin dengan Omp38 (RPS 57,14%) dan Khushiramani et al. (2007) pada ikan Indian major carp (Labeo rohita) yang divaksin dengan OmpTS rekombinan (RPS 57%).

Perbedaan RPS diantara penelitian ini berkaitan dengan lama waktu antara vaksinasi dengan uji tantangan, dosis bakteri dan metode inokulasi pada saat uji tantang (Wanget al. 2013).

Pada penelitian ini, RPS ikan nila yang divaksin dengan vaksin ECP (ECPV) lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Hardi (2001) yang memiliki RPS mencapai 62.5%. Demikian pula dengan perlakuan vaksin utuh (WCV) memiliki RPS 79%. Tidak diketahui dengan pasti penyebab perbedaan RPS ikan nila pada penelitian ini tetapi faktor kondisi ikan (Dorson 1984) dan lingkungan khususnya kualitas air (Ellis 1988) kemungkinan cukup berpengaruh.

Ikan yang divaksinasi dengan vaksin ECP89-4, ECP89-6 dan ECP89-8 meningkatkan titer antibodi pasca uji tantang dan lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin ECP dan UV (p<0,05). Peningkatan titer antibodi sebelum dan setelah uji tantang antara ikan divaksinasi dengan ECP89 dengan ikan yang tidak divaksin secara signifikan berkorelasi dengan SR ikan pasca uji tantang. Ikan yang tidak divaksin tidak menunjukkan peningkatan titer antibodi. Kekebalan terhadap infeksi streptococcus tergantung pada spesifitas respons antibodi (Klesius et al. 1974; Shelby et al. 2002). Pasca vaksinasi maupun pasca uji tantang, titer antibodi perlakuan ECP89-2 juga meningkat secara signifikan dibanding dengan PBS, namun masih belum cukup untuk melindungi ikan sehingga SR ikan masih rendah pada saat uji tantang dibandingkan perlakuan ECP89 lainnya.

Antibodi yang terbentuk menunjukkan bahwa ECP89 merupakan antigen yang bersifat imunogenik kuat sehingga ikan nila dapat mengenali antigen tersebut dan selanjutnya memberikan respons spesifik dalam bentuk peningkatan antibodi maupun respons nonspesifik. Tingginya titer antibodi pada perlakuan ECP89 dibanding dengan perlakuan lainnya menyebabkan SR dan RPS ikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan vaksin protein 89 kDa memiliki efektivitas yang tinggi sehingga mampu melindungi ikan dari serangan bakteri S. agalactiae pada saat diuji tantang. Perbedaan SR yang signifikan antara ikan divaksin ECP89 dengan ikan kontrol negatif yang diinjeksi PBS menunjukkan bahwa antibodi spesifik memainkan peran penting dalam kekebalan terhadap S.

agalactiae (Pasnik et al. 2006). Tingkat proteksi vaksin ini berkorelasi dengan level antibodi yang dihasilkan (Pasniket al. 2006).

Berdasarkan Tabel 3, WCV masih lebih tinggi dibandingkan dengan ECP89-6 maupun ECP89-8. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada WCV memiliki lebih banyak antigen, seperti pada membran bakteri, kemungkinan lain protein 89 kDa juga ada di dalam sel bakteri pada perlakuan WCV. Kandungan antigen yang lebih banyak dalam WCV ini menyebabkan RPS ikan nila yang divaksin dengan WCV lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin ECP89.

Sedangkan pada perlakuan ECPV menunjukkan RPS yang lebih rendah dibandingkan dengan ECP89 maupun WCV. Kemungkinan disebabkan karena vaksin tersebut masih dalam bentukcrude. Dengan demikian maka dalam sediaan vaksin tersebut masih banyak protein yang ada di dalam sediaan vaksin tersebut yang tidak imunogenik. Selain itu kandungan media biakan bakteri juga masih besar.

Produk ekstraseluler adalah faktor virulen penting dari patogen ikan dan cukup imunogenik untuk memberikan proteksi pada ikan saat uji tantang. Efikasi vaksin ini sering ditingkatkan melalui seleksi dan pemekatan konsentrasi antigen ECP dan terbukti sangat imunogenik dan protektif (Pasnik et al. 2005). Antigen ECP telah dikembangkan sebagai vaksin V. harveyi (Zorrilla, 2003) dan

Flavobacterium psychrophilum (LaFrentz, 2004). Vaksinasi ikan channel catfish dengan ECP dilakukan oleh Zhang et al. (2014) menunjukkan bahwa ikan yang telah divaksinasi dengan ECP dapat mengembangkan respons imun terhadap A. hydrophiladan dapat ditransfer melalui serum. Serum anti-ECP memiliki aktivitas aglutinasi berbeda terhadap isolat virulen yang berbeda dari A. hydrophila dan spesies yang berbeda dalam genus Aeromonas sp. Analisis imunobloting menunjukkan bahwa serum anti-ECP yang terkandung dalam antibodi terikat pada target spesifik, termasuk protein dan lipopolysaccharide-like molecules dalam ECP. Analisis mass spectrometric mengidentifikasi protein yang diduga dapat berfungsi sebagai immunogen penting adalah chitinase, chitodextrinase, outer membrane protein85, putative metalloprotease, extracellular lipase, hemolysin dan elastase.

Respons imun nonspesifik ikan yang diamati pada penelitian ini setelah pemberian vaksin ECP89 dan uji tantang juga mengalami peningkatan dan lebih tinggi dibanding vaksin ECPV dan tanpa vaksinasi (p<0,05). Respons imun nonspesifik ini memberikan perlindungan yang cepat sebelum terbentuknya antibodi. Hal yang berbeda dengan kelompok ikan yang tidak divaksin, tidak ada proteksi dini terhadap serangan penyakit streptococcosis sehingga SR ikan rendah (Tabel 3). Mekanisme pertahanan nonspesifik humoral dan seluler merupakan pertahanan pertama dan garis pertahanan paling primitif terhadap patogen yang

Dokumen terkait