• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III UPACARA ADAT KEMATIAN SUKU DAYAK EMBALOH

3.2 Proses Upacara Kematian Suku Dayak Embaloh

3.2.8 Upacara Menghantar Jenazah ke Kulambu

Setelah jenazah diberi makan pada pukul 13.00, diadakan upacara menghantar jenazah ke kulambu. Jenazah diantar harus pukul 14.00, karena pada waktu tersebut roh leluhur sudah siap menerima kedatangan roh si mati di Bukit Tailung. Menurut bapak Didimus (tokoh masyarakat, 44 tahun) sebelum lungun diangkat, ada upacara yang harus dilakukan, antara lain sebagai berikut.

3.2.8.1Lungun Itariai

Sesudah jenazah dimasukkan ke dalam lungun, upacara mandariai (menari) di sekeliling mayat dimulai. Gerakan tarian dilakukan dari bagian kepala ke kaki, dari kaki kembali ke kepala. Makna dari upacara ini yaitu sebagai upacara pelepasan kepada si mati dengan orang yang masih hidup. Orang yang menari haruslah Balian (dukun) dengan pakaian adat yang lengkap karena seorang dukun memiliki kekuatan

supranatural. Apabila pada saat menari Balian kerasukan oleh roh leluhurnya, Balian tersebut mampu mengatasinya. Dukun adalah orang yang mengobati, memberi jampi-jampi, mantra atau guna-guna (KBBI, 1988: 215).

Selama Balian menari, taba dibunyikan terus-menerus. Bunyi taba mempunyai warna sesuai dengan irama gerakan tari Balian. Adapun makna dari gerakan tari Balian yaitu untuk menghantar roh si mati dalam perjalanan ke Bukit

Tailung sehingga roh si mati diterima oleh leluhurnya di Bukit Tailung. Dengan

diringi tari-tarian, roh si mati akan disambut dengan kehormatan seperti seorang raja (wawancara dengan ibu Ana, tanggal 4 Februari 2009).

3.2.8.2 Mabasang Burung Bano

Setelah upacara menari selesai, seorang nenek memulai upacara yang disebut

mabasang burung bano. Mabasang artinya mengibaskan, burung bano yaitu nama

dari beberapa kumpulan daun pohon buah-buahan yang diikat menjadi satu. Orang yang dipercaya mabasang burung bano adalah orang-orang khusus, seperti tetua adat, dukun dan orang tertentu yang sudah lanjut usia. Sebelum mabasang burung bano dilaksanakan, orang yang dipercaya untuk melakukan upacara ini, pada bagian dadanya terlebih dahulu diurapi dengan minyak kelapa, di tangan kanannya diikatkan

manik tanjung, dan di tangan kirinya diikatkan giring-giring (lonceng kecil). Makna

dari pemberian minyak kelapa dan manik tanjung serta giring-giring sebagai perisai untuk menahan seseorang dari penyakit (wawancara dengan bapak L. Pange, tanggal 4 Februari 2009).

Mabasang burung bano mempunyai makna untuk memberitahukan kepada si mati bahwa segala pohon buah-buahan yang ditanamnya sewaktu ia hidup masih menjadi miliknya. Dengan demikian, arwah si mati tidak perlu malu melihat pohon buah-buahan dan kekayaan milik arwah leluhurnya di Bukit Tailung.

Proses pelaksanaan upacara ini yaitu si pembawa upacara berdiri tegak dan sejajar dengan bahu si mati. Tangan kanannya memegang dedaunan burung bano dan tangan kirinya memegang Mandau. Kaki kanannya bertumpu pada sebuah batu asah yang diletakkan dalam sebuah dulang kayu tapang (dulang yang terbuat dari kayu tapang). Di samping tempatnya berdiri, diletakkan sebuah tempayan kuno. Si pembawa upacara akan berdiri tegak menghadap matahari terbit atau ke arah timur. Mata Mandau yang dipegang digigitnya, kemudian diletakkan di atas kepalanya sambil berkata:

Awa bararan tanangen, awa bararan kaliaten, duduk nyawaku, mangin-angin,

mala-ala. Awa mataso tioen, mondoken, awa batu amparen, awa batang tapangen duduk tioku. Naanak to dasau, naanak dabarang kole’a ikanu, pamandian baluku. Naan kuala mekar, naan kuala apadis, iya’ dasuroak kule’da mabasabg burung banonu”.

Artinya:

“Semoga hidupku kuat seperti akar tanang, akar kaliat yang tidak mudah putus, aman dan sentosa. Seperti terbitnya matahari, seperti kerasnya batu karang dan seperti pohon tapang yang kuat, rimbun dan tinggi, demikian pun kiranya jalan hidupku. Saya tidak akan mengalami kesialan, saya tidak akan silau dengan

kekuatan pancaran kekayaanmu dan kemuliaanmu. Saya tidak akan sakit dan merana, karena saya disuruh mereka (keluarga yang kematian) untuk mabasang burung banomu”.

Daun burung bano kemudian dipegang dengan tangan kanannya, kemudian dikipas-kipaskan di atas lungun di mati. Arahnya dari kepala ke ke kaki sambil berkata:

Burung banonu, jampara’u, daun bua’u, tanam iditu di Tailung, itanam

mapuang ujung, bua dorook, bua mopa, tawa loa tawu ijolonuen, ungka ko to manawai lo’a tau imundi’en, ada jaji, tata. Mateko ona dari tauwanko, dari tamburotoko, dari lumnatiko, dari sinsamko. Moleko bua loa bala tana’u, loa akat bua’u”.

Artinya:

“Ini tumbuh-tumbuhan yang nanti kamu bawa, daun buah-buahan ditanam di

Bukit Tailung, tanamlah memenuhi pantai, buahnya banyak. Bagilah buah-buahan

itu dengan arwah nenek moyang yang sudah mendahuluimu, jangan sekali-kali memberikan kepada orang yang masih hidup. Nanti kalau kamu sudah mati, kamu menjadi tabuan (lebah), kamu menjadi semut hitam, menjadi semut api, menjadi semut merah. Kembalilah kamu ke tanah milikmu, kepada pohon buahmu sendiri”.

Setelah itu, Samparinya diletakkan dekat lungun sambil berkata:

Indi samapari’u, karoku, tabunu, raukan iditu di Batang Timang, di ariung, di

Kikalap. Indi isenu nana tekanu pakai iditu. Paisenu, panekananu di Ulu Timang,

Artinya:

“Ini samparimu, tebu dan keladimu, tanam di tepi sungai Timang, di ariung, di Kikalap. Ini dayung dan galahmu, pakailah nanti di sana. Dayung dan galahmu untuk di pakai di sungai Tailung”.

Sambil meletakkan dayung dan galah di dekat Lungun, Balian berkata lagi:

Aso indi bapisah ki. Mulai aso indi, naan ko pande bakumpul nanam anu tioen

ya naminko dari antu, langan’nu naan indiang. Tapi adako apadis ate’en. Ndien barang-barang warisan untuku. Taro barang ndi mamaam mainto naanu bawa’ di Tailung. Adako mangacoen loam, adako mondoken mamita jalu ya tawau

naming imeang.”.

Artinya:

“Hari ini kita akan berpisah. Mulai hari ini kamu tidak boleh berkumpul dan datang ke tempat kami karena kamu sudah menjadi hantu, tempatmu tidak di sini. Tetapi kamu jangan sakit hati. Ada barang-barang warisan untukmu. Simpan barangmu dengan sebaik-baiknya supaya kamu tidak malu di Tailung. Jangan mengganggu kami dan jangan meminta barang-barang lagi karena bagianmu sudah kami berikan” (wawancara dengan bapak L. Pange, tanggal 4 Februari 2009).

Setelah si pembawa upacara mengucapkan kalimat tersebut, upacara

mabasang burung bano selesai dan dilanjutkan dengan upacara selanjutnya.

3.2.8.3 Pembakaran Panjut

Panjut adalah rotan besar yang dibelah dengan ukuran kecil-kecil, kemudian

diikat dengan benang. Ukuran panjut seukuran dengan batang pensil dan panjangnya 30 cm. Panjut mempunyai makna sebagai petunjuk arah atau jalan arwah si mati supaya tidak tersesat pada saat pergi ke Bukit Tailung. Panjut harus dibakar menggunakan obor yang terbuat dari bambu. Pada saat panjut dibakar, Balian mengucapakan pesan sebagai berikut:

Ungkako alingo, ungkako lempang di kaungan mansiaen, di kaungan

balawanen, indii sulo’u, api palamba’u di Batang Timang. Araranak, ararayo di

kaungan balawanen ”.

Artinya:

“Seandainya kamu tersesat dan mengikuti jalan di bawah rimbunan pohon, ini apimu, api yang akan kamu gunakan di Batang Timang. Api ini akan menerangi kamu dalam kegelapan dan rimbunan pohon. Api ini akan menjadi cahaya yanga akan menyinari jalanmu di kegelapan”.

(wawancara dengan bapak L. Pange, tanggal 4 Februari 2009).

3.2.8.4 Penikaman Mandau di Atas Lungun

Setelah upacara membakar panjut selesai, upacara terakhir dalam proses pemakaman Suku Dayak Embaloh yaitu menikamkan atau menancapakan ujung

Mandau ke atas Lungun. Mandau adalah nama parang tradisional Suku Dayak

mengingat Suku Dayak Embaloh belum memiliki senjata modern dalam menghadapi lawan. Penancapan Mandau di atas Lungun mempunyai makna agar arwah si mati keluar dari Lungun sehingga arwahnya bebas pergi ke Bukit Tailung tanpa suatu beban apapun. Makna lain dari penancapan Mandau di atas Lungun yaitu supaya arwah si mati menolong keluarganya yang masih hidup, agar hidup keluarganya aman, senang, dan sentosa.

Pada saat Mandau ditancapakan di atas Lungun, semua kelaurga yang hadir harus memegang Mandau secara bergiliran sambil berkata:

Oh si anu (nama orang yang meninggal), adako mangacoen loam tapi

meangkam dalan mainto karajanam barasel. Atikam aruma kulekam ase bayu”.

Artinya:

“Oh si anu (nama yang meninggal), kamu jangan mengganggu kami tapi berilah kami petunjuk agar segala pekerjaan kami selesai. Kalau kami berladang, kami akan mendapatkan padi yang banyak” (wawancara dengan bapak L. Pange, tanggal 4 Februari 2009).

Setelah semua keluarga memegang Mandau, Lungun tersebut di angkat ke luar rumah untuk dikuburkan di Kulambu.

Dokumen terkait