• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SUKU MELAYU HAMPARAN PERAK

2.4 Upacara-upacara Pada Masyarakat Melayu

Kegiatan upacara pada masyarakat Melayu pada umumnya dilakukan sejalan dengan proses kehidupan, seperti kelahiran, sunat rasul, perkawinan, memasuki dan membangun rumah, khatam Al-quran dan upah-upah.

Upacara-upacara yang dilakukan pada kehidupan masyarakat Melayu merupakan suatu prosesi inisiasi dalam alur kehidupan, dimana pada tiap kegiatan upacara dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas berkah kehidupan yang telah diterima selama ini.

Pada umumnya kegiatan upacara-upacara pada masyarakat Melayu selalu disertai oleh adanya pulut kuning, yang tidak hanya sebagai makanan upacara melainkan juga sebagai simbol representasi kebudayaan Melayu dan juga sebagai perekat hubungan antar individu Melayu.

Penelitian yang telah dilakukan ini terbatas pada bentuk-bentuk upacara pada masyarakat Melayu yang menggunakan pulut kuning sebagai bagian dari unsur kelengkapan upacara.

BAB II

SUKU MELAYU HAMPARAN PERAK

2.1 Definisi Melayu

Melayu secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk suku bangsa walau pada beberapa bentuk juga diartikan sebagai kelompok masyarakat yang berdiam di pesisir pantai, dalam penulisan ini Melayu didefinisikan sebagai suatu kesatuan masyarakat dan sebagai identitas etnik yang berdiam di wilayah Hamparan Perak.

Dalam pengetahuan masyarakat Melayu secara umum dikenal beberapa bentuk Melayu, yaitu : Melayu Deli, Melayu Serdang, Melayu Riau, Melayu Pesisir dan lain sebagainya. Beberapa bentuk Melayu tersebut merupakan suatu penamaan terhadap masyarakat yang tinggal dan berdiam diwilayah tersebut, yang secara singkat dapat dikatakan sebagai menghubungkan antara kesatuan masyarakat dan wilayah.

Melayu yang menjadi fokus perhatian penulisan ini merupakan bagian dari Melayu Deli, dimana kesatuan hidup Melayu Deli pada perkembangannya merupakan bentuk kehidupan yang dipimpin oleh Sultan (Kesultanan) Deli dengan daerah kekuasaan mencakup wilayah pesisir Tanah Deli hingga wilayah pegunungan yang berbatasan dengan Tanah Karo.

Pada perkembangan saat ini bentuk identitas Melayu erat kaitannya dengan pengaruh agama Islam, hal ini dikarenakan identitas Melayu yang dimiliki masyarakat pesisir pantai adalah suatu proses interaksi masyarakat pesisir dengan pedagang yang berlabuh untuk melakukan perdagangan hasil alam.

Pedagang yang melakukan perjalanan laut dan menyinggahi pelabuhan di pesisir kepulauan Sumatera pada umumnya adalah pedagang yang berasal dari Arab atau dikenal dengan istilah Hadramaut, interaksi dengan pedagang asal Hadramaut tersebut berproses menjadi pencampuran kebudayaan antara masyarakat pesisir dan pedagang yang menciptakan adaptasi kebudayaan yang kemudian mengakar dan membentuk suatu identitas Melayu yang berkaitan erat dengan agama Islam.

Menurut Sinar (2010:85), istilah Melayu asli digunakan oleh orang-orang Melayu di Sumatera Utara yang maknanya merujuk kepada orang Melayu yang kedua orangtuanya adalah keturunan atau berdarah Melayu. Sedangkan kategori kedua ialah orang-orang yang menganggap dirinya sendiri dan dipandang sebagai Melayu karena faktor perkawinan dengan golongan Melayu asli. Secara genealogis mereka adalah keturunan etnik-etnik di seluruh Nusantara. Kelompok kedua ini lazim disebut dengan Melayu Semenda, dan selanjutnya kelompok ketiga yang disebut dengan Melayu Seresam, maksudnya mereka ini secara genealogis berasal dari etnik-etnik rumpun Melayu di Nusantara dan tidak terikat oleh perkawinan dengan keturunan Melayu asli, namun mereka ini diakui sebagai orang Melayu.

Menurut Salazar (1989:28-29), istilah Melayu artinya selalu merujuk kepada Kepulauan Melayu yang mencakup kepulauan di Asia Tenggara, yang bermakna sebagai etnik atau orang Melayu Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Sementara menurut Belwood (1985:49) Melayu juga sering dihubungkan dengan kepulauan Melayu yang mencakup kepulauan di Asia Tenggara dan ditafsirkan menurut tempat dan kawasan yang berbeda seperti Sumatera. Melayu dikaitkan dengan masyarakat yang tinggal di Palembang sekitarnya. Di Borneo (Kalimantan) perkataan Melayu selalu ditafsirkan dengan yang beragama Islam. Sedangkan yang di semenanjung Malaysia dikaitkan Melayu itu dengan orang yang berkulit coklat atau sawo matang. Lain pula halnya dengan Hall (1968:77- 78) yang mengatakan bahwa istilah Melayu berasal dari bahasa Sanksekerta yang dikenal sebagai Malaya, yakni daratan yang dikelilingi oleh lautan.

Kelompok ras Melayu digolongkan sebagai kumpulan Melayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami Gugusan Kepulauan Melayu, Polinesia, dan Madagaskar. Menurut Gathercole (1983:88-91) seorang antropolog bangsa Inggris yang telah melihat bukti-bukti arkeologi, linguistik, dan etnologi yang menunjukkan bahwa golongan Melayu Polinesia ialah golongan pelaut yang pada waktu dahulu pernah menguasai kawasan perairan Pasifik dan Hindia, menurutnya ras Melayu Polinesia ini adalah kelompok penjajah yang dominan pada waktu dahulu yang meliputi kawasan disebelah barat hingga ke Madagaskar dan sebelah timur hingga ke kepulauan Easter, sebelah utara hingga ke Hawai, dan sebelah selatan hingga ke Selandia Baru.

Sementara itu menurut Wan Hasim (1991:15-19) mengatakan bahwa Melayu dikaitkan dengan beberapa hal, seperti sistem ekonomi, politik, dan budaya. Dari segi ekonomi, Melayu Polinesia ialah masyarakat yang masih menggunakan tradisi pertanian dan perikanan hingga saat ini. Dari segi ekonomi, orang Melayu adalah pelaut dan pedagang yang handal di lautan Hindia dan Pasifik, jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Dari segi politik sistem kerajan Melayu menganut pola pemerintahan beraja, yang dimulai di Campa (Kamboja pada masa kini) dan Funan, tepatnya di Kamboja dan Vietnam Selatan di awal abad masehi. Dari kerajaan Melayu tua ini berkembang pula kerajaan Melayu di Segenting Kra dan di sepanjang pantai timur tanah Melayu, yang termasuk didalamnya Kelantan dan Trengganu. Kerajaan ini dikenal dengan nama Kerajaan Langkasuka dan kemudian menjadi Pattani.

Keberadaan masyarakat Melayu di Sumatera Utara, orang Melayu menyadari mereka berada di wilayah Negara Indonesia, dan menjadi bahagian dari Dunia Melayu, dan merasa memiliki kebudayaan Melayu.

Gambar 1 Dunia Melayu

Mereka merasa bersaudara secara etnisitas dengan masyarakat Melayu di berbagai tempat. Secara budaya baik bahasa dan wilayah, memiliki alur budaya yang sama, namun tetap memiliki varian-varian yang menjadi ciri khas atau identitas setiap kawasan budaya Melayu. Secara geopolitik, Dunia Melayu pada umumnya dihubungkan dengan Negara-negara bangsa yang ada di kawasan Asia Tenggara dengan alur budaya utama Melayu, antara lain : Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand Selatan, Filipina Selatan, dan sebahagian etnik Melayu di Kamboja dan Vietnam dan tempat lainnya.

2.2 Suku Melayu Hamparan Perak

2.2.1 Sejarah Penduduk Hamparan Perak

Keberadaan masyarakat Melayu Hamparan Perak tidak lepas dari proses sejarah asal muasal keberadaan mereka diwilayah tersebut, menurut kepercayaan masyarakat Melayu Hamparan Perak dahulunya daerah Hamparan Perak merupakan daerah yang bertaburan uang emas dan perak yang diakibatkan oleh perang yang terjadi antara kerajaan Aceh dalam memperebutkan Putri Hijau dari Kesultanan Melayu.

Putri Hijau merupakan putri dari Sultan Deli yang memiliki kecantikan luar biasa dan karena kecantikannya itu terpancar cahaya hijau yang kemudian dilihat oleh Sultan Aceh, kemudian Sultan Aceh berniat meminang Putri Hijau yang kemudian ditolak oleh Sultan Deli, penolakan itu pada akhirnya berujung

pada perang diantara keduanya.

Perang yang terjadi antara Sultan Aceh dengan Sultan Deli dikisahkan menggunakan emas dan perak sebagai peluru meriam yang saling mereka tembakkan satu sama lain, ketika peluru emas dan perak ditembakkan dan berhamburan di tanah maka pasukan Sultan Deli berebut untuk mengumpulkan emas dan perak tersebut yang berujung pada kekalahan Sultan Deli.

Kekalahan Sultan Deli dalam perang tersebut berakibat pada dibawanya Putri Hijau oleh Sultan Aceh menuju wilayah Aceh melalui jalur laut, dalam perjalanan membawa Putri Hijau ke wilayah Aceh tanpa disadari oleh Sultan Aceh ternyata diikuti oleh dua saudara laki-laki Putri Hijau, yakni Mambang Diajat dan Mambang Diajib.

Sesampainya di pelabuhan Aceh, saudara laki-laki Putri Hijau Mambang Diajat berubah menjadi seekor naga yang kemudian membawa kembali Putri Hijau kembali ke Deli melalui lautan sedangkan saudara laki-laki Putri Hijau lainnya yakni Mambang Diajib berubah menjadi meriam yang menembak bala tentara Sultan Aceh tanpa henti, karena menembak tiada henti akhirnya meriam tersebut pecah dimana pecahannya terlontar hingga wilayah Karo dan pecahan lainnya sampai di Tanah Deli.

Cerita lainnya yang berkembang di masyarakat Melayu mengenai Hamparan Perak, dahulunya didaerah tersebut terdapat hamparan air limpahan laut yang pada siang hari terkena sinar matahari dan mengakibatkan hamparan air tersebut berkilauan layaknya perak, yang kemudian menjadi penamaan wilayah tersebut menjadi Hamparan Perak.

Cerita demi cerita yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Melayu Hamparan Perak kemudian dijadikan sebagai cerita asal muasal sejarah Hamparan Perak dan keberadaan masyarakat Melayu di Kampung Hamparan Perak.

2.2.2 Letak Lokasi

Hamparan Perak merupakan salah satu kampung1

Gambar 2

(desa) yang termasuk dalam wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Jarak antara kampung Hamparan Perak dengan ibukota kecamatan terentang kurang lebih 3 Km, dan jarak dari ibukota kecamatan ke ibukota kabupaten sejauh 39 Km. Sedangkan jarak dari kampung Hamparan Perak ke ibukota propinsi lebih kurang 18 Km.

Sketsa Lokasi Penelitian

Sumber : peta Kecamatan Hamparan Perak, 2014. (data diolah penulis).

1 Dalam penulisan ini, wilayah Hamparan Perak disebutkan sebagai kampung dikarenakan istilah tersebut lebih sering dipergunakan dan memiliki kaitan yang kuat terhadap nilai sejarah, sosio-kultural Hamparan Perak. Bandingkan dengan penamaan wilayah dengan istilah desa yang merupakan bentuk kebijakan masa lalu (orde baru) yang menyamaratakan semua istilah

Kampung Hamparan Perak adalah wilayah dataran rendah yang dikelilingi oleh kampung lainnya, dan keberadaan kampung Hamparan Perak tidak jauh dari selat Malaka yang pada masa lalu menjadi lalu-lintas perdagangan.

Adapun batas-batas kampung Hamparan perak sebagai berikut : 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Terjun

4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kelambir 5. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sei Baharu 6. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Terjun

Luas wilayah kampung Hamparan Perak lebih kurang 1200 Ha dengan perincian luas pemukiman penduduk sekitar 20 Ha, luas areal pertanian 1130 Ha dan sisanya merupakan lahan yang dipergunakan oleh masyarakat setempat untuk bercocok tanam seperti palawija, kelapa dan beragam tanaman lainnya.

Kampung Hamparan Perak terbagi kepada tujuh dusun, yakni dusun I sampai dengan dusun VII. Dusun I dan dusun II berada pada posisi kiri dan kanan jalan lintas Medan – Hamparan Perak, kedua dusun tersebut juga menjadi pintu masuk menuju wilayah Hamparan Perak dan sekitarnya.

Untuk mencapai kampung Hamparan Perak dibutuhkan waktu kurang lebih 40 menit dari Kota Medan, dan terdapat sarana angkutan umum yang setiap harinya menghubungkan kebutuhan transportasi masyarakat Hamparan Perak menuju Kota Medan dan wilayah sekitar lainnya.

2.2.3 Kependudukan

Masyarakat penduduk kampung Hamparan Perak terdiri dari beragam latar belakang etnis, hal ini juga menggambarkan keragaman kehidupan yang ada di wilayah kampung Hamparan Perak. Lebih lanjut data kependudukan masyarakat Hamparan Perak adalah :

Tabel 1

Penduduk Hamparan Perak Berdasarkan Suku Bangsa

Suku Bangsa Jumlah Persen %

Melayu Jawa Batak Cina Padang Aceh Banjar 1346 Jiwa 828 Jiwa 198 Jiwa 81 Jiwa 42 Jiwa 13 Jiwa 12 Jiwa 52,41% 32,86% 7,86% 3,21% 1,67% 0,52% 0,48% Sumber: Kantor Kepala Desa Hamparan Perak, 2014.

Komposisi masyarakat kampung Hamparan Perak didominasi oleh keberadaan etnis Melayu, hal ini dikarenakan etnis Melayu dianggap sebagai etnis tempatan di wilayah tersebut. Keberadaan etnis Jawa yang menjadi pengisi komposisi masyarakat kampung Hamparan Perak tidak lepas dari dibukanya wilayah tersebut menjadi lahan perkebunan di masa penjajahan kolonial, etnis Jawa yang berada di wilayah Hamparan Perak pada saat ini merupakan generasi kedua dan ketiga perantauan Jawa yang berada di Hamparan Perak.

Komposisi Penduduk Menurut Agama

Agama Jumlah Persen %

Islam Kristen Budha 2350 Jiwa 97 Jiwa 73 Jiwa 93,25% 3,85% 2,90% Total 2520 Jiwa 100.00%

Sumber : Kantor Kepala Desa Hamparan Perak, 2014.

Berdasarkan tabel diatas dapat dideskripsikan bahwasanya Islam merupakan agama mayoritas di kampung Hamparan Perak, hal ini berkaitan dengan keberadaan etnik Melayu di wilayah tersebut yang melekatkan keberadaan etnik Melayu dengan pengaruh Islam. Keberadaan agama selain Islam di kampung Hamparan Perak menggambarkan kehidupan antar umat beragama yang aman, tertib dan saling hormat-menghormati.

Tabel 3

Distribusi Penduduk Berdasarkan Tingkat Mata Pencaharian Mata Pencaharian Jumlah Persen Buruh Lepas Wiraswasta PNS Petani Mocok-mocok 396 Jiwa 739 Jiwa 391 Jiwa 960 Jiwa 34 Jiwa 15,71% 29,32% 15,51% 45,72% 3,74% Total 2520 Jiwa 100.00%

Sumber : Kantor Kepala Desa Hamparan Perak, 2014.

Mata pencaharian masyarakat kampung Hamparan Perak didominasi sebagai petani, dan mata pencaharian ini menjadi ciri khas wilayah Hamparan Perak yaitu “petani daun pisang” disamping tanaman lainnya, yaitu kelapa dan pepaya.

2.2.4 Bahasa

Masyarakat Melayu yang dianggap sebagai etnis tempatan di wilayah Hamparan Perak dan juga sebagai masyarakat yang dominan dari sisi komposisi penduduk Hamparan Perak hal ini menyebabkan bahasa yang digunakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu yang dipergunakan dalam kehidupan masyarakat Hamparan Perak memiliki ciri khusus, yakni penggunaan lafal “e” disetiap akhir kata.

Penggunaan bahasa Melayu dalam kehidupan masyarakat Hamparan Perak juga bagian dari strategi adaptasi kehidupan bagi masyarakat etnis lainnya yang berdiam diwilayah tersebut.

2.3. Sistem Kekerabatan Suku Melayu Hamparan Perak

Sistem kekerabatan merupakan suatu sistem yang tercipta dari adanya hubungan antara seseorang dengan orang lain yang didasarkan pada hubungan darah, yaitu hubungan yang timbul karena faktor keturunan dan didasarkan pada hubungan perkawinan, yaitu hubungan yang muncul akibat dari proses perkawinan antara seseorang dengan orang lain.

Proses kekerabatan yang terjadi karena dua faktor tersebut, yaitu faktor keturunan dan faktor perkawinan mempunyai bagian-bagian lain didalamnya yang dapat menjelaskan tentang hal tersebut secara menyeluruh.

Sistem kekekarabatan merupakan suatu pola jaringan hubungan yang pada kemunculannya didasarkan pada kemunculan teori evolusi keluarga yang dikemukakan oleh para ahli antropologi pada pertengahan abad ke-19 seperti ; J.

Lubbock, J.J Bachoffen, G.A Wilken dan lain-lain. Kemunculan teori evolusi keluarga dimulai dengan memperhatikan kehidupan hewan dan membandingkannya dengan kehidupan manusia.

Menurut J.J Bachoffen kehidupan keluarga atau sistem kekerabatan dimulai dengan teori evolusi yang dikembangkannya, yaitu : pada awalnya kehidupan berjalan dengan kondisi kehidupan seperti hewan, dimana diantara mereka tidak terdapat hubungan, bebas tanpa ikatan, pada periode ini kehidupan disebut dengan promiskuitas, selanjutnya dengan adanya perkembangan pola pikir, manusia mulai menyadari hubungan antara seorang ibu dan anak-anaknya yang menjadi keluarga inti, karena anak-anaknya hanya mengenal ibu tanpa mengenal ayahnya maka periode ini disebut dengan matriarkat, perkawinan antara ibu dengan anaknya yang berjenis kelamin pria dihindari, sehingga hal ini memunculkan adat eksogami (perkawinan luar kelompok), keadaan dikembangkan dengan kemunculan peran ayah sebagai kepala keluarga dalam kelompoknya, masa ini disebut dengan patriarkat, pada masa ini adat eksogami sudah berkembang pada adat endogami, yaitu perkawinan dalam batas-batas kelompok, pada periode berikutnya adat endogami pada anak-anaknya dapat berhubungan dengan leluasa dengan anggota kerabat ayah maupun ibu, sehingga patriarkat makin lama makin hilang dan berubah menjadi susunan kekerabatan yang oleh Wilken disebut susunan parental.

Pada pokoknya sistem kekerabatan yang disebabkan oleh faktor keturunan menimbulkan pola keturunan berdasarkan pada pola matriarkat (keturunan berdasarkan pihak ibu) dan pola patriarkat (keturunan berdasarkan pihak ayah).

Selain faktor keturunan, sistem kekerabatan dapat muncul dengan adanya perkawinan, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya ada dua pokok yang menjadi dasar dari perkawinan tersebut, yaitu adat eksogami (perkawinan luar kelompok) dan adat endogami (perkawinan dalam kelompok), daru dua hal tersebut nantinya akan memunculkan adat-adat menetap setelah perkawinan, pembatasan jodoh dalam perkawinan.

Perkawinan pada masyarakat Melayu Hamparan Perak sebagi suatu cara untuk menghasilkan hubungan kekerabatan, masih memegang adat mereka dalam perkawinan tersebut, hal ini dimulai sejak masa pendekatan antara pihak laki-laki dan perempuan (pada masyarakat Melayu biasa disebut dengan barce), dimana pihak laki-laki dan perempuan tidak bisa bertemu langsung, untuk itu dipergunakan jasa seorang tali keranjang (perantara) untuk menyampaikan pesan diantara laki-laki dan perempuan tersebut, tali keranjang tersebut bisa laki-laki maupun perempuan dan merupakan teman dari laki-laki dan perempuan yang berada dalam masa pendekatan tersebut, apabila hal ini sudah dilakukan dan berlanjut maka akan ada satu masa dimana laki-laki dan perempuan tersebut saling berjumpa dari jarak yang berjauhan dan saling memberikan tanda untuk menuju suatu tempat keramaian, seperti pekan (pasar yang diadakan dalam seminggu sekali), hal ini dilanjutkan dengan kedatangan pihak laki-laki kerumah pihak perempuan dengan tujuan meminang perempuan tersebut, apabila hal ini disetujui oleh pihak perempuan maka akan ditentukan waktu untuk melangsungkan perkawinan diantara laki-laki dan perempuan tersebut.

Adat menetap setelah perkawinan dalam masyarakat Melayu Hamparan Perak, menganut adat virilokal, sehingga sepasang suami-istri tersebut diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kerabat suami.

Dalam perkawinan pada masyarakat Melayu Hamparan Perak, ada adat mereka dalam menentukan dengan siapa boleh melakukan perkawinan, hal ini disebut dengan istilah impal larangan. Impal larangan merupakan permohonan perkawinan kepada pihak perempuan oleh pihak laki-laki, dimana permohonan ini merupakan permohonan perkawinan antara laki-laki anak dari saudara pria dan anak perempuan dari saudara perempuan sekandung, dalam hal ini laki-laki memegang peranan dalam memutuskan apakah dia mau atau tidak dengan perempuan tersebut.

Perkawinan erat kaitannya dengan mas kawin, dalam hal ini mas kawin merupakan sebagai ganti harga diri perempuan tersebut, dan jumlah mas kawin tersebut ditentukan pihak perempuan.

Perkawinan juga mempunyai kaitan dengan warisan, dimana dalam pembagian warisan laki-laki juga memegang peranan kuat sehingga laki-laki mendapatkan bagian mutlak dan perempuan mendapatkan bagian setengah dari warisan tersebut.

Upacara perkawinan suku Melayu Hamparan Perak mempunyai syarat- syarat yang berdasar pada adat mereka seperti harus adanya bidan (dukun) pengantin bagi laki-laki maupun perempuan yang selalu berada disamping kedua calon mempelai, adanya acara inai kecil, inai besar, kenduri, pasu (kolam yang berisi air) yang menggambarkan suku Melayu yang tinggal didaerah pesisir

pantai, kelongkong (kelapa muda), bunga-bunga (4 macam), upik pinang, kesemua hal tersebut mempunyai arti terhadap hidup mereka sebagai masyarakat yang hidup di pesisir pantai dan bekerja sebagai nelayan.

Acara perkawinan pada masyarakat Melayu Hamparan Perak lazimnya diadakan dalam tiga hari tiga malam, dimana semua orang bekerja sama yang menggambarkan bahwa mereka semua merupakan kerabat.

Dalam upacara perkawinan Melayu Hamparan Perak selalu ada pesan- pesan yang terkandung di dalam setiap kegiatannya, hal ini menandakan adat yang memang masih dianut masyarakat tersebut sangat kuat dan menyaring setiap budaya luar yang masuk ke dalam masyarakat mereka.

Kekerabatan adalah kelompok yang terdiri dari kesatuan individu yang diikat oleh sekurang-kurangnya 6 unsur, yaitu :

• Sistem norma-norma yang mengatur tingkah-laku warga kelompok • Rasa kepribadian kelompok yang disadari semua warganya

• Interaksi yang intensif antarwarga kelompok

• Sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antarwarga kelompok • Pemimpin yang mengatur kegiatan-kegiatan kelompok

• Sistem hak dan kewajiban terhadap harta produktif, harta konsumtif, atau harta pusaka tertentu.

Dengan demikian hubungan kekerabatan merupakan unsur pengikat bagi suatu kelompok kekerabatan. Sistem kekerabatan merupakan unsur pokok dalam pembentukan kelompok individu yang ada dimuka bumi ini. Dari sistem kekerabatan ini akan muncul sistem-sistem lain yang berdasarkan pada sistem

kekerabatan itu sendiri.

Sistem-sistem lain yang muncul yang didasarkan pada sistem kekerabatan itu sendiri ialah marga, gelar adat adalah salah satu contoh dari sekian banyak contoh sistem yang berdasar pada kekerabatan. Marga dan gelar adat merupakan suatu penganugerahan kepada individu anggota kelompok karena didasarkan pada faktor kekerabatan tersebut, yaitu faktor keturunan dan faktor perkawinan

Gelar adat merupakan suatu hal yang muncul disebabkan kekerabatan, seperti marga, yang muncul karena kekerabatan yang disebabkan oleh faktor keturunan. Pada masyarakat di Hamparan Perak yang pada umumnya dihuni oleh masyarakat Melayu, marga dan gelar adat diturunkan dari garis keturunan ayah atau yang biasa disebut dengan patriarkat.

Sistem kekerabatan terbagi atas dua bagian, yaitu : berdasarkan hubungan darah (keturunan), dan berdasarkan hubungan perkawinan, sehingga kekerabatan yang disebabkan oleh hubungan darah maupun perkawinan menghasilkan istilah kekerabatan (istilah menyapa dan istilah menyebut) pada masyarakat Melayu Deli Hamparan Perak, yaitu :

4. Ayung (anak pertama / anak sulung) 5. Angah (anak kedua)

6. Alang /Ayang (anak ketiga) 7. Udo/Ude (anak keempat) 8. Utih (anak kelima) 9. Andak (anak keenam) 10.Atam (anak ketujuh)

Apabila dalam suatu keluarga tersebut mempunyai anak yang lebih dari delapan orang, maka anak yang kesembilan menggunakan istilah panggilan seperti anak pertama (ayung), dan istilah kekerabatan ini tidak terpengaruh apabila salah satu dari anak dalam keluarga tersebut meninggal, istilah kekerabatan ini tidak terikat pada jenis kelamin tertentu sehingga istilah kekerabatan ini bisa digunakan baik untuk laki-laki maupun perempuan, sebagaimana yang diungkapkan oleh informan dan dari hasil observasi dilapangan.

Istilah kekerabatan untuk menyapa dan menyebut tidak terdapat perbedaan

Dokumen terkait