• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEABSAHAN PENDAFTARAN HAK GUNA USAHA PTPN III

C. Upaya Penyelesaian yang Dapat Dilakukan PTPN III Membang

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, sertipikat hak atas tanah memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak yang namanya terdaftar dalam sertipikat hak tersebut. Sertipikat hak atas tanah dapat berupa sertipikat hak milik, maupun sertipikat hak guna usaha merupakan suatu bukti yang kuat dan memberikan perlindungan kepada pemilik hak atas tanah tersebut.

Pada areal tanah HGU PTPN III Membang Muda berdiri sebuah bangunan yang dasar kepemilikan hak atas tanahnya didasarkan pada Sertipikat Hak Milik No.303 tanggal 12 April 2012 terdaftar atas nama HSN dengan luas tanah 150 M2, padahal areal tanah tersebut telah dilakukan pendaftaran HGU yang dibuktikan dengan terbitnya Sertipikat Hak Guna Usaha No.12 tanggal 22 Januari 2008 dengan luas tanah terdaftar 2.624,19 Ha.

128 Maria S.W. Sumarjono, Puspita Serangkum Aneka Masalah Hukum Agraria : Andi Offset, Yogyakarta, 1982. Hal. 26

Di satu sisi, pada Surat Keputusan Badan Pertanahan Nasional nomor 119/HGU/BPN/2005 bagian Menimbang diketahui bahwa, tanah yang dimohonkan perpanjangan oleh PTPN III berasal dari tanah yang berstatus tanah negara sebagaimana SK BPN ini, didasarkan pada hasil pemeriksaan Panitia Tanah B Propinsi Sumatera Utara. Hal ini tertuang dan diuraikan sebagai berikut :

“Menimbang :

b. bahwa tanah yang dimohonkan Hak Guna Usaha PT.Perkebunan Nusantara III (Persero) berdasarkan Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah B Propinsi Sumatera Utara tanggal 10 September 2004 Nomor 005/PPT/B/2004 berstatus tanah negara, terletak di Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhan Batu, Propinsi Sumatera Utara yang pernah diberikan Hak Guna Usaha kepada PT.Perkebunan III sekarang menjadi PTPN III (Persero) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri c.q.Dirjen Agraria tanggal 6 Pebruari 1980 Nomor SK17/HGU/DA/80 (seluas 3.050 Ha).”

Sedangkan di sisi lain, pihak pemegang HSN mendasarkan kepemilikan sebidang tanah dengan luas tanah 150 M2, yang masih berada di dalam areal perkebunan tersebut berdasarkan SHM No.303 tanggal 12 April 2012 yang terdaftar atas nama HSN. Penerbitan SHM tersebut, didasarkan pada Surat Penyerahan/ Ganti Rugi dari N kepada HSN pada tanggal 26 Juli 2011 yang diketahui oleh Lurah Aek Kanopan Timur.

Hal tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan mengenai upaya yang dapat dilakukan PTPN III Membang Muda untuk menyelesaikan permasalahan dan perlindungan yang diberikan oleh hukum agraria sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia kepada PTPN III Membang Muda sebagai pemegang HGU.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, maka terlebih dahulu diuraikan

perbuatan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) macam perbuatan-perbuatan Tata usaha Negara, yaitu :

1. Mengeluarkan atau menetapkan keputusan, yang disebut ketetapan administrasi atau beschikking;

2. Mengeluarkan peraturan atau regeling;

3. Melakukan perbuatan materiil atau materiele daad, atau perbuatan wajar.129 BPN merupakan badan yang kewenangannya yang dilimpahkan secara delegasi oleh pemerintah dan merupakan Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang mengeluarkan sertipikat hak atas tanah melalui Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota. BPN sebagai Pejabat Tata Usaha Negara mengeluarkan sertipikat hak atas tanah yang mana sertipikat tersebut tergolong (karena memenuhi syarat) sebagai KTUN yang merupakan penetapan tertulis, berbentuk ijin, bersifat konkrit, individual dan final, dan timbulnya sertipikat ini menimbulkan hak dan kewajiban bagi pemegang hak maupun kepada orang lain secara tidak langsung, dan dikeluarkan berdasarkan peraturan perundangundangan

yang berlaku.

Sertipikat sebagai tanda bukti hak, bilamana dikaitkan dengan sistem publikasi di Indonesia, maka menganut sistem publikasi negatif yang mengarah kepada publikasi positif, dimana pemegang sertipikat dianggap sebagai pemilik hak atas tanah. Mengenai kekuatan hukum sertipikat sebagai tanda bukti hak, ketentuan Pasal 32 PP 24/1997 menentukan bahwa, sertipikat merupakan surat tanda bukti hak

129 Soehino, Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta, 1998, h. 54.

yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

Dalam hak atas suatu bidang tanah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama seseorang atau badan hukum, maka yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan/atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan atau pun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Pasal 1 angka 12 Permen 3/1999 menegaskan mengenai rumusan pembatalan hak atas tanah, yaitu pembatalan keputusan mengenai suatu hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum dalam penerbitannya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pengertian pembatalan hak atas tanah menurut Pasal 1 angka (14) Permen 9/1999, yaitu “pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertipikat hak atas tanah, karena keputusan tersebut mengandung cacat hukum administrasi dalam penerbitannya, atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”

Hasan Basri berdasarkan dengan membandingkan kedua peraturan tersebut berpendapat bahwa,”definisi yang ada dalam Pasal 1 angka (14) Peraturan Menteri

Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 itu definisinya lebih luas dan tegas dari rumusan yang Pasal 107 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 menyatakan bahwa cacat hukum administratif adalah kesalahan prosedur, kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan, kesalahan subjek hak, kesalahan objek hak, kesalahan jenis hak, kesalahan perhitungan luas, terdapat tumpang tindih hak atas tanah, data yuridis atau data fisik tidak benar serta kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.” 130

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa meskipun telah lahir sertipikat hak atas tanah dan mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat, bukan berarti dapat bebas dari gugatan orang lain yang berkeberatan atas penerbitan sertipikat hak atas tanah tersebut. Selain itu juga dapat terjadi cacat administratif dalam penerbitannya, maka dari itu konsekuensi yuridisnya adalah pembatalan atas sertipikat hak atas tanah tersebut. disebutkan dalam Pasal 1 angka (12) Permen 3/1999.

Hal ini dikarenakan menurut Pasal 1 angka 14 Permen 9/1999 tersebut pembatalan tidak saja dapat dilakukan terhadap keputusan pemberian hak atas tanah, tetapi juga dapat dilakukan terhadap sertipikat hak atas tanah, meskipun dengan batalnya keputusan pemberian hak atas tanah maka sertipikat hak atas tanah, serta merta menjadi batal juga.

Pasal 106 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 dinyatakan bahwa keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum

130 Hasan Basri, Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Bina Cipta, Jakarta, 1989, h. 45.

administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang mempunyai kepentingan atau oleh pejabat yang berwenang tanpa permohonan.

Permohonan pembatalan hak dapat diajukan langsung kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk atau melalui Kepala Kantor Pertanahan.

Setelah diketahui bahwa BPN merupakan Pejabat TUN dan sertipikat hak atas tanah itu merupakan KTUN, maka sengketanya termasuk sengketa TUN.

Penyelesaian sengketa TUN, dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan upaya administratif dan kemudian melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Upaya administratif ini berupa keberatan yang diajukan kepada penerbit KTUN, dalam hal ini BPN. Jadi dalam sengketa TUN, yang didahulukan penyelesaiannya adalah melalui upaya administratif, setelah itu baru ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Hasan Basri menjabarkan bahwa pembatalan karena cacat hukum administratif melalui Kantor Pertanahan, dapat diajukan dengan :131

1. Permohonan.

Pasal 108-118 Permen 9/1999 menentukan bahwa pengajuan pemohon pembatalan diajukan secara tertulis dan dapat diajukan langsung kepada Kepala BPN atau melalui Kepala Kantor Pertanahan yang memuat :

a) Keterangan mengenai diri pemohon:

1) Perorangan: Nama, Umur, Kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan disertai fotocopy surat bukti identintas, surat bukti kewarganeraan;

2) Badan Hukum: nama, tempat, kedudukan, akta, atau peraturan pendiriannya disertai fotocopynya.

b) Keterangan mengenai tanahnya meliputi data yuridis dan data fisik :

1) Memuat nomor dan jenis hak disertai fotocopy surat keputusan dan atau sertipikat;

2) Letak, batas, dan luas tanah disertai fotocopy Surat Ukur atau Gambar situasi;

3) Jenis penggunaan tanah (pertanian atau perumahan).

c) Alasan permohonan pembatalan disertai keterangan lain sebagai data pendukungnya. Atas permohonan dimaksud, pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pembatalan hak atau penolakan pembatalan hak dan disampaikan kepada pemohon.

2. Tanpa Permohonan.

Pengajuan pembatalan menurut Pasal 106 Permen 9/1999, dilakukan dengan :

a) Pembatalan hak atas tanah Terlebih dahulu dilakukan penelitian data fisik dan data yuridis terhadap keputusan pemberian hak atas tanah dan/atau Sertipikat hak atas tanah yang diduga terdapat kecacatan;

b) Hasil penelitian kemudian disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Propinsi dengan menyertakan hasil dari penelitian data fisik dan data yuridis dan telaahan/pendapat kantor pertanahan pemeriksa;

c) Bilamana berdasarkan data fisik dan data yuridis yang telah diteliti, dinilai telah cukup untuk mengambil keputusan, maka Kepala Kanwil BPN Propinsi menerbitkan keputusan yang dapat berupa pembatalan atau penolakan pembatalan. Keputusan yang diambil memuat alasan dan dasar hukumnya;

d) Bilamana kewenangan pembatalan terletak pada Kepala BPN, maka Kanwil mengirimkan hasil penelitian beserta hasil telaahan dan pendapat.

Kepala BPN selanjutnya akan meneliti dan mempertimbangkan hasil telaah dan pendapat;

e) Kepala BPN selanjutnya akan meneliti dan mempertimbangkan telaahan yang ada, untuk selanjutnya mengambil kesimpulan dapat atau tidaknya dikeluarkan keputusan pembatalan hak. Bilamana dinilai telah cukup untuk mengambil keputusan, maka Kepala BPN menerbitkan keputusan pembatalan atau penolakan yang disertai alasan.

3. Pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

a) Keputusan pembatalan hak atas tanah ini dilaksanakan berdasarkan permohonan yang berkepentingan;

b) Putusan pengadilan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan adalah putusan yang dalam amarnya meliputi pernyataan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau yang pada intinya sama dengan itu sebagaimana diatur dalam Pasal 124 Ayat 2 Permen 9/1999;

Proses pelaksanaan pembatalan hak atas karena melaksanakan putusan pengadilan, yaitu :

1. Permohonan diajukan secara tertulis kepada Kepala BPN atau melalui Kanwil BPN Propinsi atau Kantor Pertanahan;

2. Setiap satu permohonan disyaratkan hanya memuat untuk satu atau beberapa hak atas tanah tertentu yang letaknya berada dalam satu wilayah Kabupaten atau Kota;

3. Permohonan memuat:

a)Keterangan pemohon baik pemohon perorangan maupun badan hukum.

Keterangan ini disertai fotocopy bukti diri termasuk bukti kewarganegaraan bagi pemohon perorangan, dan akta pendirian perusahaan serta perubahannya apabila pemohon badan hukum;

b) Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik tanah yang sedang disengketakan. Data memuat nomor dan jenis hak, letak, batas, dan luas tanah, jenis penggunaan tanahnya. Keterangan ini dilengkapi dengan melampirkan surat keputusan dan/atau Sertipikat hak atas tanah dan surat-surat lain yang diperlukan untuk mendukung pengajuan pembatalan hak atas tanah;

c) Alasan-alasan mengajukan permohonan pembatalan;

d) Fotocopy putusan pengadilan dari tingkat pertama hingga putusan yang berkekuatan hukum tetap;

e) Berita acara eksekusi, apabila untuk perkara perdata atau pidana;

f) Surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan;

g) Berdasarkan berkas permohonan dan bukti-bukti pendukung yang telah disampaikan dari Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota atau Kanwil BPN Propinsi, selanjutnya Kepala BPN:

1) Memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalan hak atas tanah;

2) Memberitahukan bahwa amar putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan disertai pertimbangan dan alasan untuk selanjutnya Kepala BPN meminta fatwa kepada Mahkamah Agung tentang amar putusan pengadilan yang tidak dapat dilaksanakan tersebut;serta

3) Terhadap permohonan baik yang dikabulkan dengan menerbitkan surat keputusan pembatalan hak atas tanah, atau penolakan karena amar

putusan pengadilan yang tidak dapat dilaksanakan (non executable), disampaikan melalui surat tercatat atau cara lain yang menjamin sampainya keputusan atau pemberitahuan kepada pihak yang berhak.

Hasan Basri menambahkan bahwa penyelesaian melalui Instansi BPN seperti telah dijabarkan di atas ini dilakukan melalui langkah-langkah132 :

1. Pengaduan.

Dalam pengaduan berisi hal-hal dan peristiwa yang menggambarkan bahwa pengadu adalah pihak yang berhak atas tanah yang dipersengketakan atau tanah konflik dengan dilampiri bukti-bukti serta mohon penyelesaian dengan disertai harapan agar terhadap tanah tersebut dapat dicegah mutasinya sehingga tidak merugikan pengadu.

2. Penelitian dan Pengumpulan Data.

Setelah berkas pengaduan diterima pejabat yang berwenang mengadakan penelitian terhadap data atau administrasi maupun hasil di lapangan atau fisik mengenai penguasaannya sehingga dapat disimpulkan pengaduan tersebut beralasan atau tidak untuk diproses lebih lanjut.

3. Pencegahan (Mutasi).

Mutasi tidak boleh dilakukan agar kepentingan orang atau badan hukum yang berhak atas tanah yang disengketakan tersebut mendapat perlindungan hukum. Apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan setempat mengadakan penelitian dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa atau dilakukan pencegahan/penghentian sementara terhadap segala bentuk perubahan (mutasi) tanah sengketa.

4. Musyawarah.

Penyelesaian melalui cara musyawarah merupakan langkah pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa, seringkali menempatkan pihak instansi atau Kantor Pertanahan sebagai mediator dalam penyelesaian secara kekeluargaan ini, sehingga diperlukan sikap tidak memihak dan tidak melakukan tekanan-tekanan, justru mengemukakan cara penyelesaiannya.

5. Pencabutan atau Pembatalan Surat Keputusan TUN di bidang Pertanahan oleh Kepala BPN.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat diketahui bahwa terbitnya SHM atas nama HSN pada areal tanah HGU PTPN III Membang Muda bukan hal yang

132 Ibid.

mustahil terjadi, mengingat ada kemungkinan terjadinya cacat hukum administrasi penerbitan SHM atas nama HSN tersebut. PTPN III Membang Muda dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dengan mengajukan keberatan secara tertulis mengenai pembatalan SHM tersebut kepada BPN melalui Kepala Kantor Pertanahan setempat, yakni Kantor Pertanahan Kabupaten Labuhan Batu. Keberatan secara tertulis tersebut, wajib dilakukan PTPN III Membang Muda dalam jangka waktu yang tidak melebihi 5 (lima) tahun, sejak SHM atas HSN tersebut didaftarkan.

Sertipikat hak atas tanah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara dan merupakan suatu penetapan tertulis. Penetapan tertulis diatur dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama Undang-Undang No.

5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UU PTUN Pertama). Dalam Penjelasan Pasal 1 angka (3) disebutkan bahwa: Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.

Keputusan ini memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formatnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.

Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan pembuktian, oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu keputusan Badan atau Pejabat TUN menurut Undang-Undang ini apabila sudah jelas Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkannya dan maksud, serta mengenai hal apa tulisan itu serta Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya.

Irawan Soerojo berpendapat bahwa, hal ini berarti sertipikat tanah merupakan refleksi dari suatu penetapan tertulis sehingga setiap adanya gugatan yang berhubungan dengan sertipikat tanah menjadi kompetensi Peradilan TUN.133

Dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU PTUN dapat diketahui bahwa :

1.Ada diatur alasan-alasan yang dapat digunakan mengajukan gugatan tidak sah-nya keputusan, yaitu Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2.Keputusan TUN yang digugat ini bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik.

Sertipikat hak atas tanah adalah produk pemerintah yang lahir karena hukum, sifatnya konkret karena ditujukan untuk subyek dan obyek yang dapat ditentukan.

Sertipikat hak atas tanah juga bersifat individual dan final karena tidak ditujukan untuk umum akan tetapi hanya bagi mereka yang tercantum dalam sertipikat tersebut serta tidak memerlukan persetujuan instansi lain. Bilamana dilihat dari akibat yang ditimbulkan, maka tindakan pemerintah dalam kegiatan pemberian sertipikat hak atas tanah adalah bertujuan untuk menimbulkan keadaan hukum baru sehingga lahir pula hak-hak dan kewajibankewajiban hukum baru terhadap orang atau badan hukum tertentu.

Sertipikat hak atas tanah itu bersifat konkret, individual dan final. Bersifat konkret maksudnya obyek yang diputuskan dalam KTUN itu tidaklah abstrak, namun berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Individual maksudnya KTUN itu tidak ditujukan untuk umum, melainkan tertentu, baik alamat maupun hak yang dituju.

133 Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003, h. 206-207.

Final maksudnya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan penetapan tertulis itu harus benar-benar sudah merupakan akibat hukum yang definitif. Menimbulkan akibat hukum maksudnya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hubungan hukum yang telah ada, karena penetapan tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum itu dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Maka bilamana KTUN tersebut sampai menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum berupa kerugian, maka yang terjadi adalah Sengketa TUN.134

Berdasarkan Pasal 1 angka (4) dan (5) UU PTUN dapat diketahui bahwa, sengketa TUN adalah sengketa yang timbul di bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya sengketa tersebut, pihak yang dirugikan dapat menggugat, yaitu permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat TUN dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan.135 Suatu keputusan Badan atau Pejabat TUN yang termasuk objek sengketa TUN bilamana Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut dapat disamakan dengan KTUN.

134 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, h. 163.

Jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. Berdasarkan Pasal 53 ayat (2) UU PTUN, untuk dapat diajukan ke pengadilan, KTUN tersebut haruslah bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Keputusan Badan atau Pejabat TUN itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila keputusan yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural atau formal, atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil atau substansial, dan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang tidak berwenang.

Pengajuan gugatan atas sengketa TUN ini diajukan kepada PTUN.

Berdasarkan Pasal 47 dan 49 UU PTUN, disebutkan bahwa Pengadilan TUN bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa TUN. Pengadilan TUN tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa sengketa TUN jika keputusan dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka dapat diketahui bahwa sertipikat hak milik atas nama HSN yang dikeluarkan oleh BPN Labuhan Batu yang tergolong

sebagai Badan atau Pejabat TUN, yang mana sertipikat itu dikeluarkan melalui Kantor Pertanahan Kabupaten Labuhan Batu, dan karenanya sertipikat itu termasuk Keputusan Tata Usaha Negara. Jika sertipikat itu terdapat cacat administratif atau juga merugikan pihak PTPN III Membang Muda, maka itu tergolong sebagai sengketa TUN dan sengketa TUN oleh PTPN III Membang Muda gugatannya dapat diajukan kepada Pengadilan TUN untuk dapat dibatalkan SHM atas nama HSN tersebut.

Berkaitan dengan ini, sebenarnya ada upaya yang dapat ditempuh pihak yang mau menggugat, hal ini tercermin dalam Pasal 3 UU PTUN.

1. Apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hak tersebut disamakan dengan KTUN;

2. Apabila suatu Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, sedangkan jangka waktu sebagaimana telah lewat, maka Badan atau Pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan itu tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Hakikat peraturan di atas itu pada dasarnya setiap Badan atau Pejabat TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang diterima apabila hal yang dimohonkan kepadanya itu menurut peraturan dasarnya adalah menjadi kewajibannya. Bilamana pejabat BPN melalaikan kewajiban itu, maka walaupun dalam keadaan tidak berbuat apa-apa terhadap permohonan yang diterimanya itu,

undang-undang menganggap Badan atau Pejabat TUN itu telah menolak permohonan tersebut.

Uraian tersebut jika dikaitkan kepada pembahasan sebelumnya, bahwa pihak PTPN III Membang Muda bisa terlebih dahulu menggugat BPN Kabupaten Labuhanbatu yang merupakan Badan atau Pejabat TUN, namun bilamana tidak ada

Uraian tersebut jika dikaitkan kepada pembahasan sebelumnya, bahwa pihak PTPN III Membang Muda bisa terlebih dahulu menggugat BPN Kabupaten Labuhanbatu yang merupakan Badan atau Pejabat TUN, namun bilamana tidak ada

Dokumen terkait