• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

B. Tinjauan Teoritis

3. Urban Governance

Konsep Urban Governance (tata kelola perkotaan) mengacu pada bagaimana pemerintah (lokal, regional atau nasional) serta pemangku kepentingan memutuskan bagaimana merencanakan, membiayai dan mengelola daerah perkotaan. Ini melibatkan proses negosiasi dan kontestasi yang berkelanjutan atas alokasi sumber daya sosial dan material dan kekuatan politik. Oleh karena itu, sangat politis, dipengaruhi oleh penciptaan dan operasi lembaga-lembaga politik, kapasitas pemerintah untuk membuat dan menerapkan keputusan dan sejauh mana keputusan-keputusan ini mengakui dan menanggapi kepentingan orang miskin. Ini mencakup sejumlah kekuatan ekonomi, sosial, lembaga dan hubungan. Ini termasuk pasar tenaga kerja, barang dan jasa; hubungan rumah tangga, keluarga dan sosial; dan infrastruktur dasar, tanah, layanan dan keselamatan publik (Devas et al., 2004:1).

Lea dan Courtney (Nurmandi, 2006 : 125) membedakan dua pendekatan pengelolaan perkotaan, yaitu pendekatan problem-oriented teknokratis dan pedekatan ekonomi politik struktural. Pendekatan pertama lebih memfokuskan pada peningkatan kinerja lembaga-lembaga yang ada dan memecahkan masalah-masalah perkotaan. Sedangkan pendekatan kedua lebih memfokuskan pada pada akar permasalahan perkotaan dalam konteks ekonomi politik nasioal dan internasional.

Menurut Slack dan Côté (2014: 7), tata pemerintahan kota (Urban Governance) yaitu :

1. Memainkan peran penting dalam membentuk karakter fisik dan sosial daerah perkotaan;

2. Mempengaruhi kuantitas dan kualitas layanan lokal dan efisiensi pengiriman;

3. Menentukan pembagian biaya dan distribusi sumber daya antar kelompok yang berbeda; dan

4. Mempengaruhi kemampuan warga untuk mengakses pemerintah daerah dan terlibat dalam pengambilan keputusan, mempengaruhi akuntabilitas pemerintah daerah dan responsif terhadap tuntutan warga.

Adapun tujuan akhir dari urban governance menurut (Latifa: 2013), adalah tercapainya Good Urban Governance yang merupakan upaya merespons berbagai masalah pembangunan kawasan perkotaan secara efektif dan efisien yang diselenggarakan oleh pemerintah yang akuntabel dan bersamasama dengan unsur masyarakat.

Selanjutnya dikemukakan oleh Lange (2010:45) Terdapat prinsip yang dijadikan sebagai indikator untuk mendalami peran pemerintah dalam pelaksanaan Good Urban Governance yaitu :

1. Keberlanjutan (sustainability)

Cakupan visi dan misi yang kuat dari pemerintah kota dalam mengembangkan dan membangun tata ruang dan layanan publik perkotaan. Strategi terarah dari visi pembangunan kota dan rencana pembangunan terpadu dapat memprioritaskan keputusan investasi serta mendorong sinergi dan interaksi di antara beberapa kawasan perkotaan yang terpisah dan juga fokus pada peningkatan pelayanan publik modern.

Selain itu rencana penggunaan lahan dapat memberikan kontribusi pada perlindungan lingkungan yang sensitif dan melakukan regulasi pasar tanah. Perluasan perkotaan dan rencana pengisian kegiatan yang tumbuh dari dalam kawasan (infill) dapat meminimalkan biaya transportasi dan layanan pengiriman, mengoptimalkan penggunaan lahan serta mendukung pelindungan dan organisasi ruang terbuka kota. Peningkatan lingkungan perkotaan dan rencana penambah-ulangan (retrofitting) dapat meningkatkan kepadatan perumahan dan kegiatan ekonominya serta memajukan komunitas yang secara sosial lebih terpadu.

Adanya perubahan dalam hal perencanaan kota yang harus mau bergeser berfokus pada kota berkelanjutan yang dapat mengakomodasi kebutuhan akan kualitas lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Kualitas ekosistem perkotaan menjadi sebuah kebutuhan yang sangat penting untuk menyediakan lingkungan yang sehat dan berkelanjutan untuk sistem alam dan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan ekosistem merupakan kebutuhan fungsional dalam hal pembangunan kota (Rahardjo, 2012).

Secara umum dikemukakan adanya tiga pendekatan public services provision yang berperan dalam pembangunan perkotaan (Kirby, Knox and Pinch, 1984) yaitu the public choice approach, the neo-Weberian approach, dan neo-Marxist approach. Di samping itu dalam pembangunan perkotaan juga tidak dapat mengabaikan peranan tata ruang (the role of space). Ketiga peran tersebut dapat saling dimanfaatkan dengan dukungan penataan ruang untuk penyediaan layanan publik.

2. Subsidiaritas (subsidiarity)

Peran pemerintah kota dalam mendistribusikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, baik itu kesehatan, pendidikan, sampah kota, air, dan layanan publik lainnya. Perwujudan lingkungan yang berkelanjutan dengan dukungan infrastruktur, ekonomi, kelembagaan dan tata kelola perkotaan yang lebih mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Melalui integrasi

teknologi komunikasi dan informasi serta konektivitas internet (Internet of Things), pemerintah dan masyarakat dapat berinteraksi secara efektif dan efisien di dalam mewujudkan tatanan kota yang lebih baik.

Subsidiarity juga penting ditekankan pada penataan ruang, sesuai dengan asas dan tujuannya adalah mewujudkan keserasian pemanfaatan sumberdaya alam dan kepentingan kesejahteraannya, harus dilaksanakan sejalan dengan tatanan nilai masyarakatnya yang arif terhadap etika lingkungan. Pemasyarakatan penataan ruang harus dianggap sebagai suatu proses belajar sosial masyarakat secara berkesinambungan dalam seluruh sistem yang ada. Oleh karena itu pembangunan masyarakat kota yang lebih penuh dengan statement-statement abstrak seperti visi, misi atau tujuan-tujuan sosial kebudayaan dan perekonomian daripada berisi program-program penyelesaian masalah perkotaan yang lebih bersifat fisikal engineering (Harun, 2001).

3. Keadilan (equity),

Adanya rasa keadilan yang diberikan kepada masyarakat dalam penataan perkotaan membutuhkan pemerataan yang bisa dirasakan seluruh komponen. Modernitas terbaru adalah justru kesadaran lingkungan, keadilan kemanusiaan dan kualitas hidup, timpangnya distribusi pembangunan menunjukkan masalah dalam keadilan distribusional. Distribusi pembangunan sangat dipengaruhi oleh persepsi dalam pemerintahan dalam mendefinisikan keadilan distribusional.

Stakeholder memiliki persepsi keadilan distribusional yang berbeda dalam tata kelola perkotaan persepsi keadilan distribusional pejabat pemerintahan sangat penting mengingat ia menentukan bagaimana pemerintah mendistribusikan elemen-elemen pembangunan berupa infrastruktur, kesempatan kerja, kualitas layanan dan lain-lain ke berbagai daerah dan kelas sosial.

Melihat perubahan-perubahan sosial ekonomi dan demografi nasional maupun berbagai budaya tercermin dalam perkembangan perkotaan. Kota besar, kota kecil, dan lingkungan yang layak ditinggali, menarik secara fungsional dan seimbang secara sosial merupakan fondasi kesatuan sosial masyarakat secara umum. Namun di saat yang sama ruang lingkup perkotaan yang seimbang secara sosial tersebut semakin tergerus. Oleh karena itu pembangunan perkotaan yang seimbang secara sosial dan ekologis harus menjadi perjuangan utama bagi negara-negara industri maju maupun negara berkembang untuk menumbuhkan aspek keadilan dalam pembangunannya.

4. efisiensi (efficiency)

Mencakup efisiensi yang dilakukan terutama yang berkaitan dengan pembiayaan sejumlah teknologi dan peralatan yang digunakan mendukung aksesbilitas layanan. Human Settlements Programme (2015), mengemukakan mekanisme yang ampuh untuk menyusun kembali bentuk dan fungsi kota-kota dan wilayah untuk menghasilkan seefesien mungkin

dapat memenuhi kebutuhan kelompok yang paling rentan, terpinggirkan atau yang kurang terlayani.

Keberhasilan pelaksanaan rencana kota tergantung pada dasar keuangan yang sehat, termasuk kemampuan awal investasi publik untuk menghasilkan manfaat ekonomi dan keuangan serta untuk menutupi biaya operasional. Rencana keuangan harus berisi rencana pendapatan yang realistis, termasuk pembagian nilai manfaat perkotaan antara semua pemangku kepentingan, serta penyediaan pembiayaan bagi persyaratan rencana pembangunan perkotaan.

Untuk mengatasi masalah-masalah itu perlu mengarahkan pengembangan masyarakat agar lebih kompak dan efisien. Untuk digunakan dari pusat kota ke tengah kota agar penduduk dapat tinggal dekat dengan tempat kerja, memenuhi atau tempat-tempat kegiatan kesehariannya. Dengan begitu akan dapat memberikan kontribusipositif antara lain mengurangi kendaraan bermotor, dapat mereduksi biaya-biaya transportasi. Bagi masyarakat yang miskin disiapkan layanan kesehatan dan bantuan lainnya yang efesien dalam pelayanan (Suradi & Setiawan, 2015).

5. transparansi (transparency) dan akuntabilitas (accountability)

Pertanggung jawaban dan keterbukaan dalam penyelenggaraan program perintah kota terutama sejumlah layanan perkotaan yang dapat akses mudah oleh publik. Penekanannya harus pada pembentukan sistem

tata aturan dan adanya peraturan yang memberikan kerangka hukum jangka panjang yang kokoh dan dapat dipercaya untuk pembangunan perkotaan.

Mengatur pemantauan oleh para pemangku kepentingan, adanya mekanisme evaluasi dan akuntabilitas untuk melakukan penilaian atas pelaksanaan rencana kota secara transparan (informasi public) dan memberikan umpan balik dan informasi bagi perbaikan yang diperlukan, yang mencakup proyek-proyek dan program-program jangka pendek dan jangka panjang.

Perhatian khusus harus diberikan untuk akuntabilitas, implementabilitas, dan kapasitas dalam menegakkan kerangka hukum di mana pun berlaku.Penggunaan tata ruang sebagai mekanisme untuk melakukan fasilitasi secara fleksibel daripada sebagai cetak biru yang kaku. Rencana tata ruang harus dijabarkan secara partisipatif dan berbagai versinya dapat diakses dan dalam bahasa awam sehingga mudah dipahami oleh penduduk pada umum.

Salah satu yang diasumsikan paling penting adalah perspektif atau paradigma yang digunakan dalam penyusunan RTRWK. Dalam penelitian ini, governance sebagai perspektif kontemporer dalam ranah administrasi publik digunakan sebagai pendekatan dalam penyusunan RTRWK melalui prinsip-prinsip yang menyertainya dalam konteks penyelenggaraan desentralisasi. Prinisp governance yang diteliti dalam kaitannya dengan

penyusunan RTRWK adalah prinsip akuntabilitas, transparansi, responsif dan partisipasi. Selain itu, dari sudut pandang governance, peran para actor juga sangat penting di dalam pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda (Sutiyoso,2017).

6. Keterlibatan masyarakat sipil (civic engagement)

Cakupan keterlibatan masyarakat dalam program pelayanan pemerintah kota masukan terhadap perbaikan tata kelola akan berdampak pada kepuasan masyarakat.

Secara formal menegaskan kemitraan dan partisipasi masyarakat sebagai prinsip-prinsip kunci dalam kebijakan, dengan melibatkan masyarakat (perempuan dan laki-laki), organisasi masyarakat sipil dan perwakilan dari sektor swasta dalam kegiatan perencanaan kota, memastikan bahwa perencana berperan aktif dan mendukung pelaksanaan prinsip-prinsip ini dan membangun mekanisme konsultasi yang luas dan forum untuk mendorong dialog kebijakan tentang isu-isu pembangunan perkotaan.

Pelayanan Publik merupakan suatu sistem, dalam arti masyarakat sebagai pemohon atau pengguna layanan harus diberikan akses yang seluas-luasnya berkaitan dengan proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Prinsip keterbukaan mempunyai peranan penting untuk terbangunnya pelayanan publik yang berkualitas.Peran serta masyarakat dalam pelayanan public

dimulai sejak penyusunan standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan, dengan demikian masyarakat juga memiliki peran serta dalam pemberian pelayanan publik, hal tersebut diwujudkan dalam bentuk kerja sama, pemenuhan hak dan kewajiban masyarakat, serta peran aktif dalam penyusunan kebijakan pelayanan publik (Setyobudi, 2016).

7. Keamanan (Security)

Ada jaminan keamanan yang diberikan melalui sejumlah upaya yang dilakukan tanpa memberikan kesulitan dan meminimalisir resiko ancaman.Perencanaan dan desain kota yang baik dan fleksibelharus diberikan kepada perancangan ruang publik karena merupakan salah satu penyumbang utama untuk menghasilkan kualitas urban, dengan menyediakan pola jalan dan konektivitas yang tepat, serta alokasi ruang terbuka.

Hal yang sama pentingnya adalah kejelasan dalam tata letak bangunan dan lahan, termasuk kekompakan yang tepat dan pemanfaatan keragaman kegiatan ekonomi di kawasan terbangun untuk mengurangi kebutuhan mobilitas dan biaya pelayanan per kapita. Akhirnya, desain harus memfasilitasi pembauran dan interaksi sosial serta aspek budaya dalam kehidupan kota. Hubungan interaksi sosial menunjukkan trend urbanisasi dan konsentrasi penduduk, akan berpengaruh terhadap kegiatan masyarakat dan akan menyebabkan semakin besarnya area konsentrasi penduduk di daerah perkotaan.

Hal itu berdampak pada munculnya permasalahan pada daerah perkotaan. kualitas masyarakat yang melakukan urbanisasi masih rendah jika dilihat dari tingkat pendidikan, keahlian maupun kepedulian terhadap kualitas lingkungan maka urbanisasi akan berdampak pada permasalahan kependudukan, lingkungan dan tatanan fisik perkotaan diperlukan pula jaminan keamanan dalam pembangunan yang memerlukan investasi (Surtiani, 2006).

Dokumen terkait