BAB III KAMPUNG PEMUKIMAN PRAJURIT YANG MENEKUN
B. Usaha Batik di Yogyakarta dan Daerah Prawirataman Tahun 1920-
Kegiatan membatik mengalami perkembangan yang sangat pesat pada
awal abad ke-20. Teknik baru pada proses pembuatan batik yang mulai dikenal
pada kisaran tahun 1910 menjadi salah satu pemicu perkembangan ini. Tidak lama
setelah munculnya teknik cap ini, kain mori batik yang hasil produksi dari Inggris
dan Belanda, serta zat-zat pewarna kimia yang diimpor dari Inggris dan Jerman
mulai banyak beredar.10 Kemajuan ini menjadi memberikan dampak yang besar
bagi pengusaha batik. Batik tulis yang dalam pembuatannya memakan waktu
yang lama, dapat dipersingkat dengan teknik cap ini, selain itu produksinya juga
dapat ditingkatkan secara massal. Produksi massal ini juga berakibat pada
penurunan biaya produksi yang artinya harga pasaran batik juga ikut turun,
sehingga permintaan batik di pasaran menjadi semakin meningkat.
Itu berarti bahwa batik yang mulai dikenal luas oleh masyarakat kemudian
menjadi semacam komoditi massal. Tingginya permintaan pasar memunculkan
kelompok masyarakat baru yang disebut sebagai pengusaha atau juragan-juragan
batik. Di samping itu, kebutuhan tenaga kerja yang semakin banyak, berdampak
pada perluasan lapangan pekerjaan. Selain mempekerjakan perajin atau buruh
10
Siska Narulita. op. cit, hal. 21-22. Pada awalnya pengusaha batik di Yogyakarta menggunakan zat pewarna lokal yang berasal dari nila, tinggi dan soga. Kain putihnya juga merupakan hasil tenunan sendiri. Obat pewarna yang dikenalkan dari luar negeri adalah indigo dan ergansoga. Obat-obat kimiawi dari luar negeri tersebut lebih mudah dan cepat meresap ke dalam kain sehingga lebih banyak dipilih dan dipergunakan oleh kalangan pengusaha batik di Yogyakarta. Akibatnya, obat dan zat pewarna lokal sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan.
batik, para juragan tersebut juga memborongkan sebagian dari proses pembuatan
batiknya kepada penduduk sekitar, bahkan sampai ke pelosok desa. Para juragan
tersebut yang bertanggung jawab dalam mengatur pembagian kerja, menetapkan
upah serta mengatur penjualan hasil penduduk desa yang mengerjakan batik.11
Lambat laun industri rumah tangga ini menjadi semakin besar. Sehingga
terdapat banyak daerah di kota Yogyakarta yang kemudian berkembang menjadi
sentra industri batik. Berdasarkan fakta tersebut dapat dikatakan bahwa pada
tahun 1920-an merupakan masa-masa gemilang bagi industri batik di Yogyakarta.
Adapun gambaran tentang jumlah perusahaan dan pekerja batik pada tahun 1920-
an tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah Perusahaan Dan Pekerja Batik Di Wilayah Yogyakarta Pada Tahun 1920 - 1924
Tahun Jumlah Perusahaan Jumlah Pekerja
1920 212 3.428
1921 207 2.289
1922 166 1.539
1923 129 979
1924 147 1.634
Sumber: Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta 1880–1930: Sejarah Perkembangan Sosial, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000. Hal. 39.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa dari tahun pertama ke
tahun-tahun berikutnya, terjadi penurunan jumlah perusahaan yang tentu saja juga
berdampak pada turunnya jumlah perekrutan tenaga kerja. Namun pada tahun
1924 jumlah perusahaan dan tenaga kerjanya kembali mengalami peningkatan
jika dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Keadaan itu juga dipengaruhi
11
Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta 1880–1930: Sejarah
berbagai faktor, seperti kondisi fluktuatif harga dan situasi pasar perdagangan
bahan baku saat itu. Kemunduran batik tulis tradisional, dan berkembang pesatnya
teknik batik cap, secara tidak langsung memberi pengaruh pada ketergantungan
para pengusaha batik pada bahan baku impor.
Di samping itu juga karena kebijakan dan anjuran Pemerintah Kolonial
Belanda untuk menggunakan kain mori sebagai upaya meningkatkan kualitas
batik. Kebijakan itu diwujudkan dengan mendirikan Cambric and Grey
Covenants, yaitu semacam sistem impor oligopoli untuk kain mori dan obat
pewarna batik, dengan sistem penyalurannya mempergunakan para pedagang Cina
dan Arab.12 Dengan kata lain, pengusaha batik harus membeli segala
kebutuhannya dari para pengecer Cina setempat yang merupakan distributor
tunggal perusahaan-perusahan Belanda. Sistem pengaturan ini membuat
pengusaha batik menjadi sangat tergantung pada pedagang Cina dan Arab yang
telah ditunjuk sebagai perantara. Hal ini sangat merugikan pengusaha batik karena
pedagang perantara tersebut banyak melakukan permainan harga.
Monopoli dan permainan harga yang dilakukan oleh pedagang Cina dan
Arab atas bahan baku pembuatan batik, lemahnya permodalan, serta pengetahuan
akan perdagangan dari para pengusaha batik yang bisa dibilang masih tertinggal
dibandingkan dengan pedagang Cina ataupun Arab, membuat para pengusaha
batik itu terlilit hutang. Kemudian karena hutang yang semakin menumpuk,
pengusaha batik yang pada awalnya merupakan produsen, jatuh dan menjadi
12
buruh batik atau pengorganisir tenaga buruh batik, bahkan tidak sedikit yang
akhirnya menjadi bangkrut dan menghentikan kegiatan usahanya.
Pada tahun 1927, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Pusat
Penelitian Batik di Yogyakarta. Badan ini melakukan penelitian mengenai proses
produksi batik dengan tujuan untuk meningkatkan mutu dan kualitas batik,
sehingga kemudian mampu bersaing dan memperluas pasaran batik baik di dalam
ataupun di luar negeri. Selain itu, fasilitas kredit juga diberikan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda kepada para pengusaha batik.13
Pada tahun yang sama, 1927, P. de Kat Angelino melakukan penelitian
dengan menghitung kembali jumlah perusahaan batik di kota Yogyakarta dan
desa-desa terdekat dan di Kota Gede. Berdasarkan penelitian tersebut, tercatat ada
169 perusahaan, yang 20 diantaranya merupakan tempat kerja milik orang Cina.14
Rincian dari pencatatan tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Jumlah Perusahaan Batik Di Yogyakarta dan Sekitarnya Tahun 1927 Nama Kampung Jumlah Perusahaan
Kauman 26 Prawirataman 10 Karangkajen 14 Brantakusuman 5 Mantrijeron 11 Tugu 32
Tempat lain di kota 57
Kota Gede (Yogyakarta) 11
Kota Gede (Sala) 3
Jumlah 169
Sumber: Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta 1880–1930: Sejarah Perkembangan Sosial, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000. Hal. 39.
13 Ibid. 14
Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa Kampung
Prawirataman sendiri telah menjadi salah satu sentra industri batik pada tahun
1927, dan sudah terdapat 10 perusahaan batik di daerah tersebut. Hasil laporan
tersebut menjadi semacam bukti bahwa kegiatan usaha batik yang pada awalnya
dipelopori oleh kelompok kekerabatan, dan dikerjakan sebagai pekerjaan sambilan
bagi para abdi dalem, telah berkembang menjadi industri yang juga mampu
memberikan penghasilan bagi para masyarakat sekitarnya.
Namun demikian, maraknya impor bahan baku pembuatan batik yang
dilakukan oleh pengusaha batik, secara tidak langsung meletakkan keberadaan
industri batik di Yogyakarta pada titik ketergantungan pada situasi perekonomian
dunia. Dalam artian bahwa ketika terjadi suatu kegoncangan dan perubahan
situasi di luar negeri, juga akan turut memberikan dampak pada keberlangsungan
industri batik di dalam negeri. Jadi ketika terjadi krisis ekonomi dunia pada
sekitar tahun 1930, impor bahan-bahan baku pembuatan batik menjadi turun
drastis sehingga banyak pengusaha batik yang terpaksa gulung tikar dan
menghentikan kegiatan usahanya.
Sebagaimana hasil penelitian P. de Kat Angelino tentang industri batik di
wilayah Indonesia. P. de Kat Angelino mengindikasikan bahwa hal yang menjadi
faktor penyebab bangkrutnya perusahaan batik di wilayah Indonesia pada
umumnya adalah ketidakmampuan para pengusaha batik membayar hutang
kepada pedagang-pedagang Cina dan Arab yang ditunjuk oleh Pemerintah
Kolonial Belanda sebagai pedagang perantara. Meskipun demikian, masih ada
pedagang “tangan pertama” dalam penjualan kain-kain batik karena memiliki
ketersediaan modal yang kuat.15