• Tidak ada hasil yang ditemukan

USULAN INTEGRASI ILMU DAN AGAMA

Dalam dokumen Islam dan Isu isu Ilmu Kontemporer (Halaman 102-113)

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG DJATI CIREBON CIREBON

USULAN INTEGRASI ILMU DAN AGAMA

Pada era baru sekarang , diskursus mengenal integrasi Ilmu dan Agama makin penting dan menarik. Integrasi atau integralisme diakui sebagai salah satu ciri abad baru ini. Jika era modern menekankan spesialisasi , maka era pasca-modern justru mnekankan integrasi yang menghilangkan sekat-sekat pembatas tak hanya dalam arti fisik teritorial, melainkan juga dalam arti yang lebih luas dalam seperti hilangnya batas-batas disiplin keilmuan yang selama ini dijaga dan dipertahankan secara ketat. Pendekatan dan estimologi keilmuan cenderung bergeser dari pendekatan dikotomik-atomistik kearah pendekatan inter bahkan multidisipliner.

Dalam kontek ini , pembahasan dan pengembangan ilmu tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi selalu terkait dengan persoalan-persoalan lain, termasuk agama. Sebaliknya, pembahasan mengenai agama tidak pernah lepas dari pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari sini integrasi ilmu dan agama menjadi penting untuk dibicarakan. Ilmu yang pada hakekatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya (moral dan agama).Misalnya pertanyaan- pertanyan semacam ini menjadi penting, dan untuk menjawabnya para ilmuwan mu tak mau harus berpaling pada moral dan agama. Ini berarti diskusi mengenai integrasi ilmu dan agama merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Dalam Islam wahyu pertama yang diterima nabi mengisyaratkan tuntutan integrasi ini. Perintah (Iqra) menghendaki pengembangan ilmu,

sedangkan (bi ism rabbik), menghendaki pengembangan moral (agama). Atas dasar ini , menurut Armahedi Mahzar, pengembangan ilmu dan peradaban Islam kurun awal pada masa Bani Ummayah dan Abbasiyah bersifat integrasi (integrated). Bahkan tema integrasi (al-taufiq bain al-din wa- al- falsafah) ini menjadi issu sentral dalam pengembangan pemikiran dan filsafat

Islam sejak masa Al-Kindi, yang di akui sebagai filosof muslim pertama, hingga mencapai puncaknya pada masa Ibn Rusyd.

Ketika itu, perbincangan mengenai integrasi dapat dilihat dalam pembahasan mengenai akal dan wahyu atau mengenai agama dan filsafat. Al Kindi misalnya, mencoba menemukan titik temu , interaksi atau kontak antara ilmu dan agama. Menurut Al Kindi, filsafat berbicara dan berusaha menemukan kebenaran (al Haqq). Agama juga membicarakan kebenaran yang diberikan Tuhan kepada manusia. Dalam filsafat (Islam), pembicaraan kebenaran (Tuhan) atau kebenaran yang pertama dipandang sebagai pembahasan yang paling penting. Demikian pula, Tuhan merupakan ide paling pokok dalam agama. Berikutnya, agama sendiri menyuruh manusia agar berpikir, menggunakan akal dan nalarnya secara cerdas. Oleh sebab itu menurut Al Kindi, belajar sain dan filsafat tidak dilarang dalam agama, bahkan merupakan suatu keharusan agar manusia mampu melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik.

Gagasan tentang integrasi agama dan filsafat ini terus berkembang di dunia Islam hingga mencapai puncaknya di jaman Ibn Rusyd. Filosof muslim yang bergelar “Al-Syarih” (Komentar Aristoteles) ini dikatakan telah menjawab tuntas tentang integrasi agama dan filsafat. Ibn Rusyd memberikan penjelasan tentang hubungan dan harmonisasi antara agama dan filsafat. Hubungan tersebut menimbulkan tiga kemungkinan saja.

Kemungkinan pertama, temuan akal (filsafat) sama dengan yang di ajarkan agama. Jadi dalam

kasus ini tidak ada kontradiksi.

Kemungkinan ke dua, temuan akal secara lahiriah berbeda atau berlawanan dengan wahyu.

Perbedan ini bisa direkonsiliasi dengan jalan ta’wil , yaitu pemikiran mendalam sehingga dicapai keselarasan. Jadi dalam kasus ini pertentangan hanya bersifat lahiriah atau permukaan. Karena bersifat lahirian maka kasus kedua ini dianggap tidak ada.

Kemungkinan Ketiga, temuan akal belum pernah disebutkan dalam nash, yaitu masalah atau

pemikitan mengenai masalah yang maskut ‘anh (didiamkan alias tidak pernah dibicarakan dalam Al-Qur’an dan al-Hadist baik secara langsung atau tidak langsung). Dalam kasus yang ketiga ini, menurut Ibn Rusyd, tidak boleh dikatakan ada kontradiksi lantaran nash tidak berbicara.

Sangat disayangkan, semangat dan budaya ke ilmuan yang integrated ini praktis terhenti di kalangan muslim sunni di wilayah atau kawasan Timur Islam pada era kemunduran, yaitu

kurun itu kultur keilmuan Islam berubah menjadi dikotomis-atomistik, yang memisahkan antara vis a vis ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum (sain dan filsafat). Pada masa ini pula., pengertian ilmu di redusir hanya menjadi ilmu agama dan penghormatan Islam kepada Ilmuwan mengalami penyempitan makna pula, yaitu hanya kepada ulama yang dalam kultur Indonesia. Menyempit kepada fakih, yakni Kiai yang menguasai hukum Islam khususnya fikih ibadat yang meliputi Thaharah, shalat, zakat, puasa, haji saja.

Pada periode Moderen kesadaran tentang perlunya integrasi atau lebih tepatnya reintegrasi ilmu dan agama dimunculkan kembali oleh para pemikir pembaharuan Islam seperti

Jamaluddin al afghani, Syekh Muhammad Abduh, Sir Sayyid Ahmad Khan, Rasyid Ridha dan

cendikiawan muslim lainnya. Pada era baru sekarang sejak menjelang pergantian abad XX

hingga permulaan abad XXI saat ini, wacana integrasi ilmu dan agama makin muncul ke

permukaan, terlebih untuk kasus Indonesia, setelah enan IAIN melakukan transpormasi menjadi UIN. Dimulai dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2002, selanjutnya UIN Suka Yogjakarya, UIN Malang, UIN Gunung Jati Bandung, UIN Alauddin Makassar dan terakhit UIN Sultan

Syarif Kasim Riau. Transpormasi keenam Institusi pendidikan Tinggi Islam ini tentu

dimaksudkan untuk mendorong kamajuan peningkatan penguasaan umat Islam terhadap sain dan teknologi. Disamping penguasaan terhadap ilmu-ilmu agama.

Makna dan Ruang Lingkup Integrasi

Integrasi dipahami sebagai usaha pemaduan antara ilmu dan agama, merupakan lawan dari

pemisahan. Perpaduan atau keterpaduan (integrasi ) disini tidak dimaksudkan sebagai peleburan atau pencampuradukan antara ilmu dan agama, karena entitas masing-masing tetap ada dan dijaga. Identitas dari waktu keduanya, ilmu dan agama, tidaklah hilang. Integrasi adalah upaya memposisikan ilmu dan agama secara sehat dan konstruktif dalam arti kontributif bagi kemajuan ilmu dan agama bukan “ayatisasi” dengan cara mencocok-cocokkan ayat Al-Qur’an dengan temuan-temuan moderen. Yang terakhir ini disinyalir merupakan upaya integrasi yang kurang valid dan tidak konstruktif.

Untuk lebih jelas makna integrasi, perlu dikemukakan pandangan para pakar mengenai

Petama, pandangan yang mempertentangkan antara lmu dan agama. Keduanya, dianggap saling berlawanan bahkan saling bermusuhan. Pandangan ini dinamakan madzhab Konflik.

Kedua, pandangan yang menempatkan ilmu kepada suatu wilayah dan agama pada wilayah yang

lain. Keduanya tidak ada keterkaitn danhubungan karena masing-masing berjalan sendiri – sendiri. Pandangan ini dikenal dengan madzhab independen dalam pandangan Barbour dan kontras dalam pandangan John F Haught.

Ketiga, pandangan yang melihat ada keterkaitan dan hubungan antara ilmu dan agama.

Keterkaitan ini dianggap penting karena kesadaran bahwa keduanya bisa saling memberikan pengaruh. Pandangan ini dinamkan madzhab Dialog atau kontak.

Keempat, pandangan yang menekankan “pertemuan dan keterpaduan” pada “akar” yaitu asumsi

metafisis keilmuan menyangkut alam yang menjadi objek kajian ilmu. Sain seperti dikatakan Golshoni, mau tak mau, mesti berasumsi bahwa alam yang menjadi objek kajiannya adalah alam yang rasional, teratur dan memiliki hukum. Pada dirinya sendiri sain tidak dapat memberikan asumsi ini. Dalam sain sekuler , ini menjadi semacam “iman” yang tak perlu dibuktikan meskipun harus diyakini. Tanpa keyakinan bahwa ada hukum yang berlaku secara teratur, maka tak ada dasar konseptual bagi pengembangan teori-teori ilmiah. Disinilah menurut Golshani, senada dengan Hught, agama dapat menjadi dasar untuk kerja sain. Pandangan ini

dinamakan Madzhab Integrasi dan konfirmasi. Dari sini agama dapat dijadikan sebagai dasar

dan landasan kerja ilmu, sehingga membaga kebahagiaan dan kemaslahatan bagi keduanya, ilmu dan agama. Pandangan ini dinamakan madzhab Integrasi dalam pandangan barbour dan

konfirmasi dalam pandangan Haught.

Dari empat madzhab di atas, tampak jelas bahwa ide integrasi tidak mewakili dua madzhab yang pertama, konflik dan independent, tetapi mewakili dua madzhab yang terakhir, dialog dan integrasi. Meskipun sama-sama pengagas integrasi, tetapi bentuk dan model integrasi yang ditawarkan bisa beragam dan berbeda-beda. Untuk itu, berikut dijelaskan beberapa model integrasi yang pernah dicoba dan dikembangkan di dunia Islam, termasuk Indonesia.

Sebagai ikhtiar untuk mencapaikemajuan dalam penguasaan sain dan teknologi, agenda integrasi ilmu dan agama pada dasarnya sudah lama menjadi pembicaraan di kalangan kaum muslim, khususnya sejak gerakan reformasi dan pembaruan Islam dicanangkan di dunia Islam. Sejak abad

XIX hingga sekarang. Untuk itu gagasan integrasi telah berjalan melalui empat tahap sebagai

berikut :

Tahap Pertama, integrasi dalam bentuk penyadaran kepada umat Islam tentang pentingnya sain

moderen bagi kaum muslim. Upaya ini telah dilakukan sejak abad XIX hingga permulaan abad XX oleh para pembaharu muslim yang mula-mula seperti Tantawi, Syekh Sayyid Jamaluddin Al- Afghani, Syekh Muhammad Abduh dll. Mereka mengembangkan paham moderen di dunia Islam dan mendorong kaum muslim agar menguasai sain moderen. Tema besar yang menjadi perhatian mereka seperti dikatakan Nazih N. Ayubi, adalah berupaya untuk memoderenkan Islam dengan menganjurkan agar umat Islam memerima dan mengambil sain dan teknologi yang menjadi pangkal kemajuan Barat.

Pada masa ini, reson yang diberikan intelektual muslim tidak tunggal. Selain kelompok yang positif seperti dikemukakan diatas, terdapat pula kelompok yang negatif alias menolak sain Barat, karena dianggap bertentangan dengan tradisi dan budaya Islam. Alasan lainnya, mereka

memandang sain moderen berasal dan tumbuh di Barat, sedangkan Brat adalah kaum kafir, musuh Islam yang menjajah negeri-negeri Islam. Maka mengambil sain adalah haram, lantaran mengandung makna berteman dan bekerjasama dengan musuh. Namun seperti diketahui

modernisme terus berlangsung dinegeri-negeri Islam, dan dalam perkembangannya boleh dikatakan tidak ada lagi kelompok-kelompok Islam yang menolak sain moderen. Ini berarti integrasi Ilmu dan agama pada tahap awal ini terus berlangsung. Upaya integrasi terus dilakukan, antara lain dengan memasukkan kurikulum umum ke sekolah/peruruan tinggi agama, dan sebaliknya. Inilah program integrasi yang dilakukan Syekh Muhammad Abduh sewaktu beliau menjadi Mufti pendidikan di Al-Azhar Mesir. Model integrasi ini ditiru oleh negara lain termasuk Indonesia.

Pada zamannya usaha ini dianggap penting karena sebagian besar kaum muslimin pada masa itu, masih melarang dan memandang haram sain moderen. Namum pada perkembangan lebih lanjut , integrasi model ini dianggap tidak memadai lagi. Apa yang dilakukan Abduh dianggap oleh pemikir dan pembaharu Islam sesudahnya, seperti Al Faruqi dan Fazlur Rahman, sebagai kegiatan tambal sulam yang tidakmembawa dan menghasilkan integrasi ilmu dan agama dalam arti yang sesungguhnya. Tak heran jika kemudian dalam era integrasi tahap berikutnya, yaitu Islamisasi.

Tahap kedua, yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan sebagaimana digagas oleh Ismaail Raji al-

Faruqi. Integrasi model ini didorong oleh banyak faktor, internal dan eksternal sekaligus. Secara internal , umat Islam dirasa belum beranjak dari ketertinggalannya. Upaya integrasi yang

dilakukan seperti telah disingguung dimuka belum banyak membawa kemajuan. Sementara secara ekternal , kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat tidak banyak membawa berkah, tetapi laknak atau juga kutukan bagi manusia. Ini dapat dilihat dari penyalahgunaan senjata

pembunuh massal, produk teknologi moderen yang digunakan dalam Perang Dunia I dan II. Belum lagi ancaman kiamat Kubro sewaktu perang dingin yang melibatkan 2 negara adidaya ketika itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ini sangat memprihatinkan dan mencemaskan , sekaligus sutu ironi. Manusia dibuat ketakutan oleh kemajuan yang diciptakan sendiri. Kata Sayyid Hossen Nashr, manusia moderen telah membakar dirinya dengan api yang dinyalakan oleh tangannya sendiri. Dampak lain adalah munculnya pola hidup baru yang bersifat materialistik, sekuralistik, dan hedonistik yang menimbulkan penjajahan dan pengrusakan terhadap alam dan ekosisem yang kesemuanya dirasakan dan mengganggu manusia. Kenyataan ini dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan secara umum. Maka ilmu yang bebicara sesuatu menurut senyatanya (objektif) mulai kaitan-kaitan dengan sesuatu yang seharusnya dan seebaiknya (normatif , tuntutan moral dan agama). Mula-mula tuntutan ini berlaku pada

penggunaan ilmu (aksiologi), belakangan berkembang pada aspek metafisika keilmuan (ontologi) dan epistemologinya sekaligus. Secara konseptual, integrasi model Islamisasi ini “bernafsu” untuk melakukan Islamisasi pada aspek-aspek keilmuan diatas secara fundamental.

Islamisasi ilmu, seperti telah dipaparkan sebelumnya, digagas pertama kalinya oleh Ismail Raji al-Faruqi, pemikir asal Palestina yang tinggal dan menetap di Philadelpia, Amerika Serikat. Ilmu (sain Barat) dalam pandangan Al-faruqi, haru di Islamkan, karena ditemukan banyak hal yang menyimpang dari nilai-nilai dan world view Islam. Islamisasi, bagi al-faruqi, bermakna merombak konsep dan paradigma keilmuan sesuai dengan pandangan dasar Islam baik menyangkut metafisika ilmu (ontology), metode dan cara kerja ilmu (epistemology), maupun penggunaan (aksiologi) nya. Bagi Al-Faruqi, ilmu tidak bebas nilai tetapi penuh dengan nilai- nilai dan budaya dari dan dimana ilmu itu dikembangkan. Dalam bukunya Islamization of knowladge, Al-Faruqi memaparkan langkah-langkah straegis dan teknis untuk kerja Islmisasi ini, termasuk misalnya rencana penulisan ulang buku daras (buku ajar) untuk sekolah/perguruan tinggi Islam. Untuk menddukung proyek besar Islamisasi ini, al-Faruqi membentuk International Institute of Islamic thought (III-T). Selain itu al-Faruqi, tokoh lain yang sejalan dan mendukung gagasan islamisasi ini adalah Naquib al-Atas, tokoh dan pemikir pendidikan Islam Modern dari Malaisia. Malah menurut orang-orang Malaysia, Islamisasi ilmu itu sesungguhnya adalah ide original dari al-Atas yang dicuri dan dipublikasikan oleh al-faruqi. Seperti al-faruqi, al-Atas banyak mengkritik sain Barat. Dalam beberapa tulisannya, ia menganjurkan agar dilakukan “de- westernisasi” ilmu,nistilaah yang lebih kurang sama maknanya dengan Islamisasi Ilmu. Bila al- faruqi mendirikan III-T, al-Ata membangun Institute of Islamic Science and Civilization (Istac) di Malaisia. Sesuai namanya, institusi ini dimaksudkan untuk mendukung cita-cita al-Atas,, yaitu membangun dan mengembangkan sain dan peradaban Islam yang maju dan modern.

Gagasan Islamisasi ini mendapat banyak tanggapan, baik yang pro dan kontra. Banyak yang mendukung, tetapi tidak sedikit pula yang menentang. Diantara yang menolak adalah fazlur Rahman. Bagi Rahman, Islamisasi Ilmu tidak perlu dan bahkan tidak mungkin dilakukan, karena ilmu pada dasarnya bebas nilai (Free of value), terutama pada aspek ontology dan

epistemologinya. Pemberian nilai hanya mungkin pada aspek penggunaan (aksiologi)nya saja. Untuk itu menurut Rahman, Islamisasi sepeti diusulkan Al-Faruqi, tidak perlu, tetapi yang perlu dilakukan adalah menyiapkan sistem etik dan moral yang kuat untuk menangkal dampak-dampak negatif yang mungkin timbul karena kemajuan sain dan teknologi. Dalam soal ini , Harun Nasution berpandangan sama dengan Rahman. Pada kenyataannya, Islamisasi seperti diusulkan oleh al-Faruqi memaang kurang berkembang, malah terjebak dalam “ayatisasi” yaitu mencocok- cocokkan ayat-ayat al-Qur’an dengan temuan sain moderen. Usaha semacam ini, dinilai oleh

kelompok yng menentang sebagai kerja yang mubazir, merupakan kerja yang kurang valid sekaligus kurang konstruktif dan produktif.

Tahap ketiga, integrasi model pengilmuan Islam. Ide ini merupakan kritik dan sekaigus antitesis

dari tesa Islamisasi ilmu ala al-Faruqi. Pada pengilmuan Islam , yang dipentingkan bukan mengIslamkan ilmu, tetapi mengilmukan Islam. Dalam arti menjadikan Islam sebagai sumber gerakan keilmuan . Di Indonesia gagasan ini dimuncukan untuk pertama kali oleh Kuntowijoyo, Intelektual yaang sangat inovatif dari Yogyakarta, Ide ini dapat ditelusuri dari pandangan Kunto mengenai periodisasi Islam di Indonesia. Menurut Kunto, Islam sekarang telah bergeser dari periode ideologi ke periode Ilmu. Periode ideologi telah berakhir bersamaan dengan berakhirnya zaman Orde Baru. Pada periode Ideologi, Islam dipandang sebagai ideologi yang dilawankan dengan ideologi-ideologi lain seperti sosialisme, marxisme dan lain-lain. Perjuangan umat pada periode ini lebih bersifat politis yang ditunjukkan, antara lain, dalam cita-cita membangun dan mewujudkann negara Islam. Berlaian dengan periode Ideologi, Islam pada periode ilmu, menurut Kunto, lebih dipandang sebagai kekuatan dan gerakan keilmuan. Aktor penting pada periode ini adalah para intelektual Islam. Orientasi perjuangan umat pada periode ini, tidak bersifat politis, tetapi intelektual dalam arti membangun tradisi dan budaya keilmuan yang kuat dalam

masyarakat Islam. Dari sini diharapkan lahir teori atau ilmu yang diturunkan dari premis-premis Al-Qur’an. Untuk mendukung gagasannya, Kuntowijoyo mengusulkan pengembangan

epistemologi Islam yang lebih kontektual. Kunto mengkritik tradisi bayani, yang dinilai hanya berputar-putar dari teks ke teks. Tradisi bayani dianggap kurang mampu merespon perkembangan dan kemajuan zaman. Kunto mengusulkan pola pikir reflektif yang bergerak dari teks ken

konteks, lalu balik lagi ke teks. Teks berarti Al-Qur’an, sedang konteks berarti perkembangan sain dan teknologi serta kondisi sosial yang timbul akibat kamajuan sain dan teknologi. Pola pikir yang bertolak dari teks ke konteks, laalu kembali ke teks, dimaksudkan untuk mendukung perumusan teori atau premis-premis hipotesis dari al-Qur’an. Pola pikir ini diharapkan Kunto dapat mendukung gagasan integrasi yang disebutnya pengilmuan Islam. Sepeninggal Kunto, gagasan ini belum banyak diperbincangkan lagi. Selain kelihatan terlalu ideal dan rumit, gagasan ini kurang didukung oleh infrastruktur keilmuan yang memadai, yaitu penguasaan umat

terhadap sain moderen dan pola pikir (epistemology) reflektif-transedental yang diusung Kunto. Ditengah-tengah kemandekan ini , muncul tawaran integrasi baru yang lebih komprehensif dan mudah-mudahan lebih menjanjikan bagi kemajuan Islam.

Tahap keempat, integrasi ilmu dan agama era transpormasi STAIN/IAIN menjadi UIN.

Transpormasi ini agaknya didorong oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut :

Pertama, umat Islam masih tertinggal dalam penguasaan sain dan teknologi. Negeri-negeri Islam

sekarang ini dalam klasifikasi yang dibuat oleh Bassam Tibi, intelektual muslim yang kini menetap di Jerman itu, masih tergolong “Pre-industrial Countries”, (PIC), yaitu negara-negara pra industri. Jadi negara –negara Islam hingga kini belum termasuk kelompok negara industri baru, The Newly Industrializing Countries (NIC) seperti Singapura, korea Selatan, Taiwan dll

Kedua, Studi tentang Islam kelihatannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sains dan teknologi. Al-Qur’an sendiri, dalam bahasa Quraish shihab, memberikan kondisi psikologis yang sangat kondusif bagi kemajun ilmu pengetahuan. Al-Qur’an menyuruh kaum muslim agar

mempelajari tidak saja ayat-ayat Allah yang berwujud firman (Qawliyah), tetapi juga ayat berwujud alam semesta (kawniyah). Ilmu-ilmu yang digali dari ayat-

ayat qawliyahdikkelompokkan dan dinamakan ilmu-ilmu agama, sedangkan ilmu-ilmu yang kawniyah baik alam fisik maupun alam sosial dikelompokkan dan dinamakan sain dan teknologi. Keduanya diyakini tidak pernah ada kontradiksi, karena keduanya berasal dari sumber yang sama , yaitu Allah SWT. Klasifikasi ini tidak dimaksudkan untuk pemisahan, tetapi

pengelompokkan sekedar untuk keperluan akademik. Umat Islam pada dasarnya harus mempelajari keduanya agar memperoleh ebaikan dalam hidupnya didunia dan akhirat.

Ketiga, untuk memahami dan apalagi menguasai kedua kelompok keilmuan di atas, maka

perguruan tinggi Islam harus mempelajari dan mengembangkan kedua-duanya secara seimbang. Selama ini, perguruan tinggi Agama Islam Negeri seperti STAIN, dan IAIN, sesuai kedudukannya sebagai sekolah tinggi atau Institut , hanya mendalami kelompok ilmu-ilmu agama. Kalaupun diajarkan sain modern, khususnya ilmu-ilmu sosial dan humanities, itu dimaksudkan hanya sebagai penguat dan pendukung sehingga integrasi dalam arti yang sebenarnya tidak terjadi, akibatnya studi Islam yang ada di STAIN dan IAIN, seperti berulang kali diungkapkan oleh M Amin Abdullah, rektor UIN Yogyakarta, menjadi entitas tunggal atau menjadi entitas-entitas yang terisolasi, berdiri sendiri, terpisah dan terlepas dari sain dan teknologi modern. Bagi Amin ini merupkan sebuah kenistaan yang tidak boleh terjadi, khususnya pada masa-masa mendatang. Itu sebabnya IAIN perlu ditranspormasi menjadi UIN. Transpormasi ini menurut Amin, bukan latah atau ikut-ikutan tetapi dilandasi pemikiran yang dalam dan diskusi yang agak panjang agar umat Islam menjadi bagian dari perubahan dan kemajuan yang kini sedang berlangsung.

Meski sama-sama bertranspormasi menjadi UIN, namun model integrasi yang dikembangkan agaknya berbeda-beda antara satu UIN dengan UIN yang lain. Perbedaan ini paling tidak tampak pada penekanan (stressing) menyangkut aspek-aspek tertentu mengenai ilmu dan agama itu sendiri.

Sebagai contoh UIN Menekankan integrasi tak hanya pada tataran akademik semata, tetapi juga dalam arti kepribadian muslim yang akan dibangun. Ini dapat dilihat dari struktur keilmuan dan pembudayan akademik dan keagamaan yng dikembangkan di UIN ini. Seperti berulangkali dikemukakan oleh Imam Suprayogo, mengambil analogi Pohon. Sebuah pohon tentu memiliki akar , batang – tubuh, dhan dan ranting, hingga daun dan buah. Akar

Dalam dokumen Islam dan Isu isu Ilmu Kontemporer (Halaman 102-113)