• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

6.4 Tingkat Sirkulasi Oksigen 6.3.1Kepadatan Hunian 6.3.1Kepadatan Hunian

6.3.2 Ventilasi Rumah

Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta

mengurangi kelembaban, keringat manusia juga mempengaruhi kelembaban.

Semakin banyak manusia dalam satu ruangan kelembaban semakin tinggi,

khususnya karena uap air baik dari pernafasan maupun dari keringat.

Kelembaban dalam ruangan tertutup dimana banyak terdapat manusia

didalamnya lebih tinggi kelembabannya dibanding di luar ruangan.

Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, juga mengencerkan

konsentrasi kuman TBC dan kuman lain, dimana kuman tersebut akan terbawa

keluar dan mati terkena sinar ultraviolet. Oleh karena itu apabila konstruksi

rumah menggunakan genteng kaca, maka hali ini merupakan kombinasi yang

Ventilasi rumah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah luas ventilasi

yang meliputi luas lubang angin yang dapat masuk kedalam rumah dibagi dengan

luas lantai yang dikelompokan atas dua kategorik yaitu tidak memenuhi syarat

dan memenuhi syarat. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa responden yang

memiliki ventilasi rumah memenuhi syarat lebih banyak (64,6%) dibandingkan

dengan responden yang memiliki ventilasi rumah tidak memenuhi syarat

(35,4%).

Berdasarkan hasil tabulasi silang antara kondisi ventilasi rumah dengan

kejadian TB paru dapat diketahui bahwa kejadian TB paru lebih banyak dialami

oleh responden yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat yaitu sebesar

56,5%. Sementara itu kejadian TB paru hanya dialami oleh 23,8% responden

yang memiliki ventilasi rumah memenuhi syarat. Hasil uji statistik menunjukkan

p value sebesar 0,014 yang artinya ada hubungan antara ventilasi rumah dengan

kejadian TB paru.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Darwel (2012) di sumatera

yang menyatakan adanya hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB

paru, penelitian ini mendapatkan risiko untuk terkena TB Paru 1.314 kali pada

penghuni yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan

responden yang berventilasi memenuhi syarat kesehatan. Sejalam dengan Adrial

(2005) menyatakan bahwa luas yang tidak memenuhi syarat kesehatan memiliki

risiko untuk terkena TB Paru sebesar 4.55 kali dibandingkan dengan luas

dengan ventilasi rumah yang kurang atau sama dengan 10% berisiko 18.11 kali

lebih besar untuk menderita TB Paru dibandingkan orang dengan ventilasi rumah

lebih dari 10% luas lantai. Penelitian Budiyanti (2003) juga menyatakan adanya

hubungan antara ventilasi kamar tidur dengan kejadian TB Paru dimana

disimpulkan bahwa orang yang tinggal dengan ventilasi kamar tidur yang tidak

memenuhi syarat mempunyai risiko terkena TB Paru sebesar 2.58 kali

dibandingkan dengan yang memenuhi syarat.

Adanya hubungan yang signifikan antara ventilasi dengan TB Paru

karena ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta

mengurangi kelembaban sehingga bisa mengencerkan konsentrasi kuman TBC

dan kuman lain yang akan terbawa keluar dan mati terkena sinar matahari

(Whardana, 2006)). Perjalanan Kuman TB paru setelah dikeluarkan penderita

melalui batuk akan terhirup oleh orang disekitarnya dan sampai ke paru-paru.

Dengan adanya ventilasi yang baik maka akan menjamin terjadinya pertukaran

udara sehingga konsentrasi droplet dapat dikurangi sehingga dapat mengurangi

kemungkinan seseorang akan terinfeksi kuman TB paru (Depkes, 2002).

Ventilasi yang memenuhi syarat memungkinkan adanya pergantian udara

dalam kamar sehingga dapat mengurangi kemungkinan penularan pada orang

lain seiring dengan menurunnya konsentrasi kuman. Kamar dengan luas ventilasi

yang tidak memenuhi syarat menyebabkan kuman selalu dalam konsentrasi

tinggi sehingga memperbesar kemungkinan penularan kepada orang lain.

Ventilasi rumah yang tidak cukup menyebabkan aliran udara tidak terjaga

yang baik bagi perkembangan kuman patogen. Untuk memungkinkan pergantian

udara secara lancar diperlukan minimum luas lubang ventilasi tetap 10% dari

luas lantai (Simbolon, 2007).

6.3.3 Suhu

Suhu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah temperatur dalam

ruangan tempat responden sering menghabiskan waktunya, yang diukur secara

langsung menggunakan alat pengukur suhu dengan pengukuran sewaktu. Suhu

dikelompokan atas dua kategorik yaitu tidak memenuhi syarat dan memenuhi

syarat. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa responden yang suhu ruangan

memenuhi syarat lebih banyak (67,7%) dibandingkan dengan responden yang

suhu ruangan nya tidak memenuhi syarat (32,3%).

Berdasarkan hasil tabulasi silang antara keadaan suhu ruangan rumah

dengan kejadian TB paru dapat diketahui bahwa kejadian TB paru lebih banyak

dialami oleh responden yang suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat yaitu

sebesar 42,9%. Sementara itu kejadian TB paru hanya dialami oleh 31,8%

responden yang memiliki suhu ruangan yang memenuhi syarat. Hasil uji statistik

menunjukkan p value sebesar 0,417 yang artinya tidak ada hubungan antara suhu

dengan kejadian TB paru.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Fatimah (2008) yang

menyatakan suhu mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian TB

paru dimana seseorang yang tinggal di dalam rumah dengan suhu udara tidak

memenuhi syarat mempunyai risiko 2,674 kali lebih besar untuk menderitaTB

Serta penelitian yag dilakukan Ruswanto (2010) menunjukkan bahwa suhu

ruangan dalam rumah memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian

penyakit tuberkulosis paru dan berisiko 2,93 kali lebih besar pada suhu ruangan

yang tidak memenuhi syarat dibandingkan rumah dengan suhu ruangan

memenuhi syarat.

Meskipun pada penelitian ini suhu tidak memiliki hubungan dengan

kejadian TB Paru, suhu tetap memiliki peran dalam penularan TB Paru. Menurut

Gould dan Brooker (2003), bakteri Mycobacterium tuberculosa memiliki rentang

suhu yang disukai, tetapi pada rentang suhu ini terdapat suatu suhu optimum

yang memungkinkan mereka tumbuh pesat. Mycobacterium tuberculosa

merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25 – 40º C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31 – 37 º C.

Menurut peneliti, tidak adanya hubungan suhu dengan kejadian TB Paru

dikarenakan terjadi homogenitas atau proporsi kejadian TB paru antara suhu

memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat memiliki sebaran yang hampir

sama. Selain itu peneliti berpendapat bahwa jumlah responden yang memiliki

suhu memenuhi syarat lebih banyak dibandingkan yang tidak memenuhi syarat

dikarenakan pada saat melakukan pengukuran kondisi cuaca dilapangan sedang

musim hujan sehingga mempengaruhi kecepatan angin yang dapat berpengaruh

terhadap hasil pengukuran. Asumsi lain dari peneliti tidak adanya hubungan dari

variabel suhu dikarenakan pengkuruan dilakukan tanpa berpatokan dengan waktu

didapat bisa jadi tidak valid atau homogen. Sedangkan menurut teori pengukuran

yang baik tidak hanya dilakukan hanya satu kali pengukuran atau sewaktu,

karena suhu di pagi hari berbeda dengan suhu pada siang hari dan juga pada

malam hari.

Menurut Subaid (2002) Faktor meteorologis yang memegang peran

dalam proses peningkatan atau penurunan suhu adalah faktor angin (kecepatan

dan arah), turbulensi, stabilitas atmosfer dan inversi. Selain itu ada pula

faktor-faktor meteorologi sekunder yang mempengaruhinya, antara lain hujan, kabut

dan radiasi surya. Maka, dapat disimpulkan bahwa faktor iklim dan meteorology

98

Dokumen terkait