• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tingkat Sirkulasi Oksigen dan Karakteristik Individu dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Tingkat Sirkulasi Oksigen dan Karakteristik Individu dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIF DI PUSKESMAS PONDOK PUCUNG TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh:

Nama: Muhammad Aandi Ihram

NIM 109101000087

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)

ii Muhammad Aandi Ihram, NIM : 109101000087

Hubungan Tingkat Sirkulasi Oksigen dan Karakteristik Individu dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013

xix + 101 halaman, 18 tabel, 2 bagan,5 lampiran

ABSTRAK

Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. WHO dalam

Annual Report on Global TB Control 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countris terhadap TB Paru, termasuk Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Pada tahun 2012 Puskesmas Pondok Pucung mempunyai kasus TB Paru terbanyak di wilayah Tangerang Selatan yaitu sebesar 769 penderita.

Tujuan penelitian ini diketahuinya hubungan tingkat sirkulasi oksigen dan karakteristik individu dengan kejadian TB paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2013. Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain Cross sectional study, jumlah sampel 65 responden dan teknik pengambilan sampel adalah Simple random sampling. Data diperoleh dari data rekam medis puskesmas pada bulan April-Juni 2013, data kuesioner (data responden), pengukuran IMT (timbangan & Microtoice), pengukuran ventilasi dengan meteran dan suhu dengan Thermohygrometer. Analisis uji statistik menggunakan uji Chi-square dengan derajat kepercayaan 95%.

Berdasarkan hasil penelitian dari 65 responden di Puskesmas Pondok Pucung diperoleh 23 orang (35,4%) yang mengalami kejadian TB. Faktor yang memiliki hubungan secara statistik terhadap kejadian TB paru adalah variabel status gizi (p= 0,001), kepadatan hunian (p= 0,001) dan ventilasi rumah (p= 0,014). Sedangkan faktor lainnya yang tidak berhubungan secara statistik adalah jenis kelamin (0,602), pendidikan (0,116), pengetahuan (0,729) dan suhu ruangan (0,417).

Disarankan perlu dilakukan upaya peningkatan penjaringan terhadap penderita tuberkulosis paru, peningkatan perbaikan kondisi lingkungan rumah dengan lebih memperhatikan aspek sanitasi rumah sehat pada saat membangun rumah dan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.

Kata Kunci: Kejadian TB Paru, Tingkat Sirkulasi Oksigen, Karakteristik Individu.

(4)

iii Muhammad Aandi Ihram, NIM : 109101000087

Association Oxygen Circulation Level and Individual Characteristics with Lung Tuberculosis in Productive Age Period at Puskesmas Pondok Pucung 2013

xix + 101 pages, 18 tables, 2 chart , 5 attachments

ABSTRACT

Pulmonary tuberculosis caused by mycobacterium tuberculosis. WHO in Annual Report on Global TB Control 2003 states that there are 22 countries categorial as high burden countries of Lung Tuberculosis included Indonesian. Indonesia is the country with the highest tuberculosis patients 5th in the world after India, China, South Africa and Nigeria. In 2012 the Puskesmas Pondok Pucung has the highest Pulmonary TB cases in the province of South Tangerang taker 769 patients.

The purpose of this research knowing association oxygen circulation level and individual characteristics with lung Tuberculosis in productive age period at Puskesmas Pondok Pucung. The time study was conducted in May-August 2013. This type of research is a observational study with cross-sectional design, the number of samples of 65 respondents and the sampling technique was simple random sampling. Data obtained from the data clinic medical record in April-June 2013, questionnaires (data respondents), IMT measurements with (weigher and microtoice), ventilation measurements with meteran and temperature with thermohygrometer. Statistical analysis using Chi-square with degrees of 95% and alpha of 0.05.

The results, from 65 respondents at Puskesmas Pondok Pucung obtained 23 peoples (35.4%) having lung tuberculosis incidence. Factors that have statistical association for lung Tuberculosis incidence is variable nutrition status (p= 0,001), density residents (p= 0,001), and house ventilation (p= 0,014). While other factors not have statistical association is gender (0,602), education (0,116), knowladge (0,729), and temperatue room (0,417).

Purposed to promoting for health housing, incidence lung tuberculosis, case finding of lung tuberculosis, improving house environmental health with house owners who will renovate their houses are recommended to build a basic of house will sanitation aspects and follow the healthy life behaviour.

Keywords: Lung Tuberculosis, Oxygen Circulation levels, Individual characteristics.

(5)
(6)
(7)

vi

CURICULUM VITAE

PERSONAL IDENTITY

Full Name : MUHAMMAD AANDI IHRAM

Place / Date of Birth : KURUNGAN JIWA, 23 NOVEMBER 1991

Sex : MALE

Religion : MOSLEM

Address :

JL. PURI INTAN NO.52 KELURAHAN PISANGAN-CIPUTAT-TANGERANG SELATAN / JL. SEI SAHANG RT/RW 59/14 NO. 5281 KELURAHAN LOROK PAKJO - KOTA PALEMBANG Citizenship : INDONESIAN

Phone Number : Mobile : +6281927792154 Home : Email Address : i_aand@yahoo.co.id

FORMAL EDUCATION (starting from the most recent)

Year

Name of Institution Location Faculty/Majoring Result

In Out

PALEMBANG IPA Graduated

2003 2006

ISLAMIC JUNIOR HIGH

SCHOOL PRIMARY 2

PALEMBANG

PALEMBANG - Graduated

1997 2003 ELEMENTARY SCHOOL

(8)

vii

ORGANIZATION EXPERIENCES

Year Organization / Events

2012 Participant in environment health safety field study at PT. Chevron Geothermal Garut 2012 Participant in environment health safety field study at PT. Petrocina Bojonegoro 2011 Committee of learning practice field in eastern Pamulang clinic 2011 Participant in environment health safety field study at PT. Chevron Balikpapan 2011 Mahesa Institude and ABLE “ English Course”

2011 Committee of seminar earth day at Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta

2011-2012 Member Of Environmental health student association Islamic State University Syarif Hidayatullah

Jakarta

2010-2012 Member Of Environmental Health Student Association Indonesia

2010 Committee Of Ceremonial 5th Anniversary Of Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta

2009 Association of Santri’s Scholarship Server Health on Medical Faculty (AS-SHOF) 2009 Association of Santri’s Scholarship Server Health on Medical Faculty Sum-Sel (SJD-SS)

Work experience

Position Year Organizer / Institution

HEALTH, SAFETY AND ENVIRONMENTHAL (HSE) OFFICER 2012 PT. PROTON

COMMITTEE OF CORPORATE SOCIAL

RESPONSIBILITY (CSR) 2012

PT. YAMA ENGINEERING AND ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF

HIDAYATULLAH JAKARTA

JOB PRACTICE IN ENVIRONMENT AND HUMANITY PROGRAM

(9)

viii

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur Kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta

hidayah-Nya kepada seluruh umatnya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan

kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya menuju jalan

yang terang penuh Cahaya Ilahi.

Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang

berjudul “Hubungan Tingkat Sirkulasi Oksigen dan Karakteristik Individu dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013” dengan baik dan penuh perjuangan.

Skripsi ini disusun dan disajikan sebagai persyaratan memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam

penyusuna skripsi ini, penulis banyak mendapatkan saran, bimbingan serta bantuan

baik langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak yang sangat membantu

dalam proses penyusunan skripsi ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya saat ini yang selalu senantiasa

mengiringi kehidupan saya.

2. Kedua orang tuaku tercinta yang selalu memberikan semangat, doa, dan

(10)

ix

memberikan semangat, doa dan motifasi yang tiada henti untuk saya.

4. Bidadari-bidadari kecilku tersayang (Raden Fahza Fauziah dan Syifa Haura

Firoza) yang selalu memberi senyuman dan semangat yang luar biasa.

5. Bapak Prof. Dr. Dr. Hc. MK. Tadjudin, Spd. And. Selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

6. Ibu Febrianti, SP. Msi. Selaku kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

7. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku pembimbing sekaligus

pembina peminatan kesehatan lingkungan yang telah memberikan tuntunan

dan bimbingan ilmu pengetahuan dalam penyusunan laporan skripsi ini.

8. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing yang telah

memberikan tuntunan dan bimbingan ilmu pengetahuan dalam penyusunan

laporan skripsi ini.

9. Bapak Ahmad Ghozali selaku TU Program Studi Kesehatan Masyarakat yang

selalu sabar dan membantu dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan.

10.Ibu Umi Lutfi selaku pemegang program TB Paru di Puskesmas Pondok

Pucung yang begitu luar biasa membantu baik dilapangan ataupun

(11)

x

inspirasi dalam penyelesaian Skripsi ini.

12.Teman-teman seperjuangan mahasiswa yang tergabung dalam beasiswa

Santri Jadi Dokter Sumatera-Selatan khususnya angkatan 2009 semangat dan

sukses untuk kita semua. Amin

13.Teman-teman mahasiswa Kesehatan Masyarakat angkatan 2009, Khususnya

Peminatan Kesehatan Lingkungan (Udin, Rudi, Yudi, Ersa, Morris, Agung,

Maya, Nisa, Reni, Yeni, Risma, Tari, Nita, Ratna, Cita, Dila, Ami, Imah, Zia,

Rahmayuni) semangat dan sukses untuk kita semua. Amin.

14.Serta segenap pihak yang telah membantu dalam penyusun dalam

menyelesaikan laporan magang ini.

Hanya do’a yang dapat penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, semoga amal

baiknya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin.

Penulis sadar atas segala kekurangan dan keterbatasan yang ada. Oleh karena

itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dalam untuk skripsi ini demi kemajuan

dimasa yang akan datang.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ciputat, September 2013

(12)

xi

Hal

LEMBAR PERNYATAAN... i

ABSTRAK... ii

LEMBAR PENGESAHAN... iv

RIWAYAT HIDUP... v

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR GRAFIK... xi

DAFTAR BAGAN... xi

DAFTAR TABEL………... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah……….. 7

1.3 Pertanyaan Penelitian………. 7

1.4 Tujuan Penelitian... 8

1.4.1 Tujuan Umum... 8

1.4.2 Tujuan Khusus... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

1.3.1 Bagi Masyarakat... 9

1.3.2 Bagi Instanasi Terkait... 9

1.3.3 Bagi Peneliti... 9

(13)

xii

2.1 Penyakit Tuberkulosis... 11

2.1.1 Definisi Penyakit Tuberkulosis... 11

2.1.2 Bakteri Tuberkulosis Paru... 11

2.1.3 Cara Penularan Penyakit TB Paru………... 11

2.1.4 Gejala dan Tanda………..……... 13

2.1.5 Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru………... 15

2.1.6 Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru……….…. 17

2.1.7 Klasifikasi Penyakit……….………... 17

2.1.8 Tipe Penderita……….………… 18

2.1.9 Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru……….. 19

2.1.10 Patologi Penyakit Tuberkulosis Paru……….. 21

2.1.11 Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru……….. 23

2.1.12 Pengobatan Penyakit Tuberkulosis Paru……….. 24

2.1.13 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit TB Paru ... 28 2.1.14 Rumah Sehat dan Persyaratannya... 44

2.1.15 Landasan Teori... 50

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep... 51

3.2 Definisi Operasional... 52

(14)

xiii

4.2 Lokasi dan Waktu……….. 56

4.3 Populasi dan Sampel... 56

4.3.1 Populasi... 56

4.3.2 Sampel... 56

4.3.3 Perhitungan Sampel………... 58

4.4 Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data………... 60

4.4.1 Pengumpulan Data... 60

4.4.2 Instrument Penelitian………... 60

4.4.3 Pengolahan Data……… 62

4.4.4 Analisis Data……….. 63

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian... 64

5.2 Analisi Univariat... 64

5.2.1 Gambaran Kejadian TB Paru... 64

5.2.2 Gambaran Jenis Kelamin... 65

5.2.3 Gambaran Pendidikan... 66

5.2.4 Gambaran Status Gizi... 67

5.2.5 Gambaran Pengetahuan... 67

5.2.6 Gambaran Kepadatan Hunian... 68

5.2.7 Gambaran Ventilasi Rumah... 69

5.2.8 Gambaran Suhu... 70

(15)

xiv

5.3.3 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian TB Paru... 73

5.3.4 Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian TB Paru... 74

5.3.5 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian TB Paru.. 75

5.3.6 Hubungan Ventilasi Rumah dengan Kejadian TB Paru... 76

5.3.7 Hubungan Suhu dengan Kejadian TB Paru... 77

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian... 79

6.2 Gambaran Kejadian TB Paru... 80

6.3 Karakterisitik Individu... 81

6.3.1 Jenis Kelamin... 81

6.3.2 Pendidikan... 83

6.3.3 Status Gizi... 85

6.3.4 Pengetahuan... 87

6.4 Tingkat Sirkulasi Oksigen... 90

6.4.1 Kepadatan Hunian... 90

6.4.2 Venitilasi Rumah... 93

6.4.3 Suhu Ruangan... 96

BAB VII KESIMPULAN 7.1 Kesimpulan... 99

7.2 Saran... 101

(16)
(17)

xvi

Nomor Tabel Hal

2.1 Jenis, Sifat dan Dosis OAT... 25

2.2 Kategori Ambang Batas Index Massa Tubuh untuk

Indonesia……….

34

4.1 Perhitungan Sampel... 59

5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia

Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan

Tahun 2013

65

5.2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin

di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun

2013

65

5.3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pendidikan

di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun

2013

66

5.4 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Status Gizi

di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun

2013

67

5.5 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pengetahuan

di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun

2013

68

5.6 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Kepadatan

Hunian di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan

Tahun 2013

68

5.7 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Ventilasi

Rumah di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan

Tahun 2013

69

5.8 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Suhu di

Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

(18)

xvii

Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

5.10 Analisis Hubungan antara Pendidikan dengan Kejadian TB

Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok

Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

72

5.11 Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian TB

Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok

Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

73

5.12 Analisis Hubungan antara Pengetahuan dengan Kejadian TB

Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok

Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

74

5.13 Analisis Hubungan antara Kepadatan Hunian dengan

Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di

Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

75

5.14 Analisis Hubungan antara Ventilasi Rumah dengan Kejadian

TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas

Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

76

5.15 Analisis Hubungan antara Suhu dengan Kejadian TB Paru

pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok

Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013

(19)

xviii

Nomor Grafik Hal

(20)

xix

Nomor Bagan Hal

2.1 Kerangka Teori Penelitian... 50

(21)

1 1.1.Latar Belakang

Tujuan pembangunan kesehatan menurut sistem kesehatan nasional

adalah tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi

setiap penduduk yang ditandai dengan bertempat tinggal di lingkungan bersih dan

berprilaku sehat. Pada masyarakat mampu untuk untuk menjangkau pelayanan

kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan

yang setinggi-tingginya diseluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI, 2010).

Untuk mencapai tujuan tersebut pembangunan kesehatan dilakukan

melalui upaya pelayanan kesehatan yang diarahkan pada program-program seperti

ditegaskan dalam undang-undang kesehatan No. 23 tahun 1992 Bab V pasal 10

menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal

diselenggarakan melalui pendekatan, pemeliharaan dan peningkatan (promotif),

pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan

kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh terpadu dan

berkesinambungan (PP RI, 2000).

Perkembangan epidemiologi menggambarkan secara spesifik peran

lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah, bahwasanya lingkungan

berpengaruh pada terjadinya penyakit. Interaksi manusia dengan lingkungan

hidupnya merupakan suatu yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan

(22)

dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Penyakit berbasis

lingkungan masih menjadi permasalahan hingga saat ini. Hal ini dikarenakan

penyakit berbasis lingkungan selalu masuk dalam 10 besar penyakit di hampir

seluruh Puskesmas di Indonesia. Keadaan tersebut mengindikasikan masih

rendahnya cakupan dan kualitas intervensi kesehatan lingkungan (Prabu, 2008).

Penyakit tuberkulosis paru atau yang lebih popular dengan nama TBC

yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis merupakan salah satu penyakit

menular yang menyebabkan kematian. Satu orang penderita TB paru dengan

status Basil Tahan Asam (BTA) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya

kepada 10-15 orang lain dalam 1 tahun. TB paru akan menular ketika orang

tersebut batuk, bersin, berbicara atau meludah (droplet nuclei) (Depkes RI, 2008).

Pada negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi

menengah kebawah, jumlah kasus TB paru semakin meningkat. Sehingga pada

tahun 1993, WHO mencanangkan TB paru sebagai kedaruratan dunia (global

emergency). WHO memperkirakan jumlah paling besar dari kasus TB paru

ditahun 2005 ada di wilayah Asia Tenggara, yaitu 34% dari insiden kasus global

atau sekitar 8,8 juta penderita dan 1,6 diantaranya mengalami kematian dimana

hampir 80% kematian terjadi pada kelompok usia produktif. Sehingga penyakit

ini memberikan dampak yang serius terhadap perkembangan ekonomi negara

tersebut (WHO, 2002). World Health Organization (WHO) memperkirakan 9

(Sembilan) juta orang penduduk dunia setiap tahunnya menderita TBC.

Diperkirakan 95% penderita TBC berada dinegara berkembang . selain itu

(23)

Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis terbanyak ke-5

di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Jumlah pasien

tuberkulosis di Indonesia sekitar 5,8% dari total pasien TB di dunia. Estimasi

prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi

insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB

diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Tuberkulosis merupakan kematian

nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada

semua kelompok usia, serta nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada

tahun 2010 prevalensi tuberkulosis di Indonesia sebesar 289 per 100.000

penduduk Data Riskesdas tahun 2010, tingkat kejadian penyakit tuberkulosis

yang berusia >15 tahun di Provinsi Banten sebesar 7.536 orang (4,2%). Data dari

Dinas Kesehatan Tangerang Selatan (2012) Proporsi BTA positif diantara suspek

(5-15%) di Tangerang Selatan tahun 2011 sebesar 10%, sedangkan triwulan 1

tahun 2012 sebesar 12% (Kemenkes RI, 2012).

Sekitar 75% penderita tuberkulosis paru adalah kelompok usia produktif

secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang penderita tuberkulosis paru

dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan, hal tersebut

berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%.

Jika meninggal akibat penyakit tuberkulosis paru, maka akan kehilangan

pendapatannya sekitar 15 tahun, selain merugikan secara ekonomis, Tuberkulosis

paru juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan kadang

dikucilkan oleh masyarakat (Depkes RI, 2008).

Oksigen merupakan kebutuhan dasar manusia dengan mengkonsumsi

(24)

keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen sehari (24 jam) atau

sekitar 0,5 cc tiap menit. Kebutuhan tersebut berbanding lurus dengan volume

udara inspirasi dan ekspirasi biasa kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi

oksigen udara inspirasi berkurang. Seiring dengan pertumbuhan populasi

penduduk yang semakin meningkat, terjadi perubahan secara demografik serta

terjadi peningkatan polutan di udara yang dapat mempengaruhi akan ketersediaan

serta kualitas oksigen di udara, yang apabila udara tersebut telah bercampur

dengan zat-zat polutan atau mikroorganisme dapat mempengaruhi kesehatan dan

berbahaya bagi masyarakat. Salah satu nya dapat menstimulus untuk terjadinya

penyakit TB paru, karena penyakit TB paru ditularkan melalui udara .Faktor yang

berperan terhadap tingkat sirkulasi oksigen didalam rumah adalah kepadatan

hunian, ventilasi rumah dan suhu. Oksigen dalam udara yang telah bercampur

dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis dan terhirup dapat menyebabkan

penyakit TBC. Karena kuman TBC media penularannya melalui transmisi udara

akan ikut terhirup bersamaan dengen proses respirasi saat menghirup oksigen

(Farochi, 2012).

Menurut Ahmadi (2005) Faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya

kejadian penyakit tuberkulosis paru dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu

faktor risiko kependudukan (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, status

gizi,) dan faktor risiko lingkungan (kepadatan hunian, ventilasi alamiah, suhu dan

kelembaban).

Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, peningkatan kasus

tuberculosis dapat dipengaruhi oleh faktor demografi (kepadatan penduduk dan

(25)

kependudukan (karakteristik Individu, perilaku, kemiskinan) dan faktor

karakteristik bakteri. Resiko terjadinya penularan tuberculosis TB paru

dipengaruhi oleh keadaan rumah yang padat huni sebesar 3,2 kali dibandingkan

dengan yang tidak padat penghuni, risiko tersebut sama besarnya dengan ventilasi

rumah yang tidak memenuhi syarat (Karminingsih, 2002).

Penelitian kasus kontak yang dilakukan Chandra Wibowo dkk (2004) di

Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum Manado, terdapatnya dalam sputum sumber

kontak BTA (+) secara bermakna akan meningkatkan resiko terjadinya TB Paru

36,5 kali lebih besar. Dalam penelitian tersebut terdapat faktor resiko yang paling

berperan terhadap kejadian TB Paru pada kasus kontak adalah usia, jenis kelamin,

status gizi, status ekonomi, kondisi sanitasi rumah, perilaku, dan pekerjaan.

Begitu juga dengan kondisi sirkulasi didalam rumah beberapa faktor yang

mempengaruhi adalah terdiri dari kepadatan hunian, ventilasi dan suhu.

Berdasarkan laporan 30 besar penyakit yang ada di setiap Pukesmas

Perawatan Dinas Kesehatan Tanggerang Selatan Tahun 2012 didapatkan kasus TB

parusebanyak 3.545 jiwa. Berikut grafik jumlah kasus TB paru pada 25

puskesmas perawatan Dinas Tangerang Selatan tahun 2012 (Dinkes Tangsel,

(26)

Grafik 1.1

Jumlah Kasus TB Parudi Wilayah Tangerang Selatan 2012

Sumber : Dinkes Tangerang Selatan 2012

Berdasarkan grafik di atas diperoleh Puskesmas Pondok Pucung

mempunyai kasus TB Paru terbanyak di Wilayah Tangerang Selatan yaitu sebesar

769 penderita. Berdasarkan data di atas peneliti memilih Puskesmas Pondok

Pucung sebagai tempat penelitian. Selain dari data tersebut, data laporan bulanan

yang dimiliki oleh Puskesmas Pondok Pucung mengenai kasus TB Parudari bulan

Januari-Desember 2012 terjadi peningkatan setiap bulannya, peningkatan yang

signifikan terjadi di 3 bulan terakhir yaitu pada bulan Oktober sebanyak 121

penderita, november 90 penderita, dan desember 110 penderita.

Berdasarkan uraian dan tren perkembangan penyakit TB ParudiWilayah

Pondok Pucung Tangerang Selatan maka peneliti tertarik ingin melihat hubungan

tingkat sirkulasi oksigen dan karkteristik individu dengan kejadian TB Paru pada

kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan 2013.

(27)

1.2.Rumusan Masalah

Seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk yang semakin

meningkat, terjadi perubahan secara demografik serta terjadi peningkatan polutan

di udara yang dapat mempengaruhi akan ketersediaan serta kualitas oksigen di

udara, yang apabila udara tersebut telah bercampur dengan zat-zat polutan atau

mikroorganisme dapat mempengaruhi kesehatan dan berbahaya bagi masyarakat.

Salah satu nya dapat menstimulus untuk terjadinya penyakit TB paru, karena

penyakit TB paru ditularkan melalui udara.

Berdasarkan laporan 30 besar penyakit yang ada di setiap Pukesmas

Perawatan Dinas Kesehatan Tanggerang Selatan tahun 2012, Puskesmas Pondok

Pucung Tangerang Selatan memiliki kasus terbesar pada kasus TB

Parudibandingkan dengan Puskesmas Perawatan lainnya di Wilayah Tangerang

Selatan tahun 2012 yaitu sebesar 796 penderita.

Faktor yang berperan dalam penentuan tingkat sirkulasi oksigen didalam

rumah adalah kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu. Oksigen merupakan

kebutuhan dasar bagi manusia yang apabila dalam udara tersebut telah kurang dan

bercampur dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis dan terhirup dapat

menyebabkan penyakit TBC karena kuman TBC media penularannya melalui

transmisi udara akan ikut terhirup bersamaan dengen proses respirasi saat

(28)

1.3.Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan,

status gizi, dan pengetahuan) pada kelompok usia produktif dengan

kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013?

2. Bagaimana gambaran tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian,

ventilasi rumah dan suhu) dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia

produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013?

3. Apakah ada hubungan karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan,

status gizi, dan pengetahuan) pada kelompok usia produktif dengan

kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013?

4. Apakah ada hubungan tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian,

ventilasi rumah dan suhu) dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia

produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 ?

1.4.Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan tingkat sirkulasi oksigen dan

karakteristik individu pada kelompok usia produktif dengan kejadian TB

Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran karakteristik individu (jenis kelamin,

pendidikan, status gizi dan pengetahuan) pada penduduk di

(29)

2. Mengetahui gambaran tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian,

ventilasi rumah dan suhu) dengan kejadian TB Paru pada

kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.

3. Mengetahui hubungan karakteristik individu (jenis kelamin,

pendidikan dan pengetahuan) dengan kejadian TB Paru di

Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.

4. Mengetahui hubungan tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian,

ventilasi rumah dan suhu) dengan kejadian TB Paru pada

kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.

1.5.Manfaat Penelitian

1.5.1. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi tentang lingkungan fisik rumah dan

karakteristik individu yang mempengaruhi kejadian TB Paru sehingga

masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan kasus TB Paru di

Wilayah Pd. Pucung.

1.5.2. Bagi Instansi terkait

Memberikan masukan bagi Puskesmas Pondok Pucung Tangerang

Selatandalam perencanaan peningkatan penyuluhan, konseling tentang TB

Paru sebagai upaya pencegahan resiko terjadinya penyakit.

1.5.3. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat berguna bagi peneliti dan hasil penelitian ini

diharapkan dapat dijadikan data dasar dan acuan bagi peneliti selanjutnya

(30)

1.6.Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Peminatan Kesehatan

Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat sirkulasi

oksigen dan karakteristik individu pada kelompok usia produktif dengan kejadian

TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan tahun 2013. Penelitian

ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan desain studi cross

sectional study. Teknik pengumpulan data menggunakan data primer dan data

(31)

11 2.1.Penyakit Tuberkulosis

2.1.1. Defenisi Penyakit Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan

oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis), sebagian besar kuman

TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya

(Depkes RI, 2008).

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman tuberkulosis dan ditularkan melalui udara pada saat pasien TB

batuk atau bersin (PPTI, 2010).

2.1.2. Bakteri Tuberkulosis Paru (TB Paru)

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang dengan ukuran 1-4

micron dan tebal 0,3-0,6 micron. Sifat khusus bakteri ini tahan terhadap

asam, oleh karena itu sering disebut Bakteri Tahan Asam (BTA).

Bakteri TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat

bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam

jaringan tubuh, bakteri ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa

tahun (Depkes RI, 2008).

2.1.3. Cara Penularan Penyakit TB Paru

Cara penularan tuberkulosis paru melalui percikan dahak

(droplet) sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA(+),

(32)

mengandung kuman TB dapat bertahan di udara pada suhu kamar

selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000

percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana

percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat

mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat

membunuh kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam

keadaan yang gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi kalau droplet

tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB

masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut

dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem

peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran

langsung ke bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya

kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil

pemeriksaan dahaknya maka makin menular penderita tersebut. Bila

hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap

tidak menular. Penularan umum nya terjadi di dalam ruangan, dimana

percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Penilaian risiko TB

setiap tahunnya ditunjukan dengan Annual Risk of Tuberculosis

Infection (ARTI), yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB

selama satu tahun. Jika ARTI sebesar 1%, berarti terdapat 10 orang

diantara 1000 orang yang terinfeksi setiap taunnya. Nilai ARTI di

(33)

2.1.4. Tanda dan Gejala Penyakit TB Paru

Menurut Achmadi (2004) secara umum komposisi dari sampah di

setiap kota bahkan negara hampir sama, yaitu :

TB paru sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit

yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga

memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah

penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan

kadang-kadang aimtomatik. Gambaran klinis TB paru dapat dibagi

menjadi 2 golongan yaitu : gejala respiratorik dan gejala sistemik.

1. Gejala respiratorik, meliputi :

a. Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan

yang paling sering dikeluhkan. Batuk bisa berlangsung terus

menerus selama ≥ 3 minggu. Mula-mula bersifat non produktif

kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada

kerusakan jaringan. Hal ini sebagai upaya untuk membuang

ekskresi peradangan berupa dahak ataupun sputum.

b. Batuk darah

Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin

tampak berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah

atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah

terjadi karena pecahnya pembuluh darah, akibat luka dalam

alveoli yang sudah lanjut. Berat ringannya batuk darah

(34)

c. Dahak

Dahak awalnya bersifat nukoid dan keluar dalam jumlah

sedikit, kemudian berubah menjadi mukopurulen (mengandung

lendir dan nanah) sehingga warnanya kuning atau kuning hijau

sampai purulen (hanya nanah saja) dan kemudian berubah

menjadi kental dan berbau busuk karena adanya infeksi anaerob.

d. Sesak napas

Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah

luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura,

pneumothorax, anemia dan lain-lain.

e. Nyeri dada

Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang

ringan.Gejala ini timbul apabila system persarafan di pleura

terkena.

2. Gejala sistemik, meliputi :

a. Demam

Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul

pada sore dan malam hari mirip demam influenza.Biasanya

disertai keringat dingin meskipun tanpa kegiatan.Hilang timbul

dan makin lama makin panjang seranganya sedang masa bebas

(35)

b. Keringat dingin dimalam hari

Bukanlah gejala pasti untuk penyakit tuberkulosis paru dan

umumnya baru timbul bila proses telah lanjut. Keringat dingin

ini terjadi meskipun tanpa kegiatan.

c. Anoreksia dan penurunan berat badan

Keduanya merupakan manifestasi dari keracunan sistemik

yang timbul karena produk bakteri atau adanya jaringan yang

rusak. (toksemia), yang biasanya timbul belakangan dan lebih

sering dikeluhkan bila fase progresif.

d. Malaise (rasa lesu)

Hal ini bersifat berkepanjangan/kronik, disertai rasa tidak

fit, tidak enak badan, lemah, lesu pegal-pegal dan mudah lelah.

2.1.5. Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru

Diagnosis TB paru dilakukan dengan wawancara keluahan pasien,

pemeriksaan pada pasien (anamnesis), pemeriksaan dahak mikroskopis

di laboratorium, pemeriksaan rontgen dada.

1. Diagnosis TB paru pada orang dewasa (Depkes RI, 2008)

Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan

dengan ditemukan BTA pada pemeriksaan dahak secara

mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila

setidaknya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila

hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lanjut

(36)

2. Diagnosis TB paru pada anak (Depkes RI, 2008)

Seorang anak harus dicurigai menderita tuberkulosis apabila :

a. Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TB

paru BTA positif.

b. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG

(dalam 3-7 hari).

c. Terjadi gejala umum TBC

Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek

TB paru.

Indikasi pemeriksaan foto toraks Pada sebagian besar TB paru,

diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara

mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi

tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi

sebagai berikut:

- Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada

kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk

mendukung diagnosis „TB paru BTA positif.

- Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif

dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

- Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat

yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak,

(37)

pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan

bronkiektasis atau aspergiloma).

2.1.6. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru

Penemuan penderita dilakukan secara pasif artinya penjaringan

tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung

ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung

dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun

masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka

penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case

dinding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif).

Selain itu, semua kontak penderita TB paru BTA positif dengan gejala

samaharus diperiksa dahaknya (Depkes RI, 2008).

2.1.7. Klasifikasi Penyakit

Tuberkulosis dibagi berdasarkan organ tubuh yang terkena yaitu :

1. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan

paru, (tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil

pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam :

a. Tuberkulosis paru BTA (+)

- Sekuarang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS

hasilnya BTA positif.

- Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto

(38)

b. Tuberkulosis paru BTA (-)

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

dan foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberkulosis

aktif. TB paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan

tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat ringan.

Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan

gambaran kerusakan yang luas, dan atau keadaan umum

penderita buruk.

2. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru. TB

ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,

yaitu : (Depkes RI, 2008)

a. TBC ekstra paru ringan

b. TBC ekstra paru berat

2.1.8. Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu : (Amin, 2006)

1. Kasus baru

Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan

OAT (obat anti tuberkulosis) atau sudah perrnah menelan OAT

kurang dari satu bulan.

2. Kambuh (relaps)

Kambuh (relaps) adalah penderita TB paru yang sebelumnya pernah

(39)

pengobatan lengakap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif.

3. Pindahan

Pindahan adalah penderita TB paru yang sedang mendapatkan

pengobatan dari tempat lain, kemudian pindah berobat ke tempat

tertentu. Penderita tersebut harus membawa surat rujukan/pindahan

(Form TB 09).

4. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/drop-out)

Adalah penderita TB paru yang kembali berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA (+) setelah putus berobat 2 bulan atau

lebih.

5. Gagal

a. Adalah penderita BTA (+) yang masih tetap positif atau

kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih.

b. Adalah penderita BTA (-) rontgen positif yang menjadi

BTA(+) pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

6. Lain-lain

Semua penderitang lain yang tidak memenuhi persyaratan tersebut

diatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah kasus kronik

(penderita yang masih BTA (+) setelah menyelesaikan pengobatan

ulang dengan kategori 2.

2.1.9. Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru

Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang

(40)

tuberculosis, manusia (host) dan lingkungan (environment). Disamping

itu mencakup distribusi dari penyakit, perkembangan dan

penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan

insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular.

Pada penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah manusia

yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernafasan. Kontak yang

rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan banyak kemungkinan

penularan melalui droplet.

Kerentanan penderita tuberkulosis paru meliputi risiko

memperoleh infeksi dan konsekuensi timbulnya penyakit setelah terjadi

infeksi, sehingga bagi orang dengan uji tuberkulin negatif risiko

memperoleh basil tuberkel bergantung pada kontak dengan

sumber-sumber kuman penyebab infeksi terutama dari penderita tuberkulosis

dengan BTA positif. Konsekuensi ini sebanding dengan angka infeksi

aktif penduduk, tingkat kepadatan penduduk, keadaan social ekonomi

yang merugikan dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.

Berkembangnya penyakit secara klinik setelah infeksi di

mungkinkan adannya faktor komponen genetik yang terbukti pada

hewan dan diduga terjadi pada manusia, hal ini dipengaruhi oleh umur,

kekurangan gizi dan kenyataan status immunologik serta penyakit yang

menyertainya (Ruswanto, 2010).

Epidemiologi tuberkulosis paru mempelajari tiga proses khusus

yang terjadi pada penyakit ini, yaitu;

(41)

b. Perkembangan dari kuman tuberkulosis paru yang mampu

menularkan pada orang lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan

kuman tuberkulosis.

c. Perkembangan lanjut dari kuman tuberkulosis sampai penderita

sembuh atau meninggal karena penyakit ini.

2.1.10. Patologi Penyakit Tuberkulosis Paru

1. Infeksi Primer

Pada penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah

manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernapasan,

kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan banyak

kemungkinan penularan melalui inti droplet. Infeksi primer terjadi

saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman tuberkulosis,

droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya sehingga dapat

melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan

sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai

saat kuman tuberkulosis paru berhasil berkembang biak dengan cara

pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan didalam

paru, saluran linfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai

komplek primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai

pembentukan komplek primer adalah 4-6 minggu.

Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya

perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan

setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya

(42)

perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian ada

beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persistent atau

dormant (tidur), kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu

menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa

bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis paru.

Masa inkubasinya yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi

sampai menjadi sakit diperkirakan selama 6 bulan.12

2. Tuberkulosis Paru Pasca Primer ( Post Primary Tuberculosis

Paru) :

Tuberkulosis paru pasca primer biasanya terjadi setelah

beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena

daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi

yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paru pasca primer adalah

kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi

pleura.

3. Komplikasi pada penderita tuberkulosis paru

Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :

a. Hemoptisis berat (Perdarahan dari saluran napas bawah) yang

dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau

tersumbatnya jalan nafas.

b. Kolaps dari lobus akibat retraksibronchial.

c. Bronkiektasis (Pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis

(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)

(43)

d. Pneumothorak (Adanya udara di dalam rongga pleura) spontan,

kolap spontan karena kerusakan jaringan.

e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,

persendian, ginjal, dan sebagainya.

f. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary

Insufficiency).

2.1.11. Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru

Mencegah lebih baik dari pada mengobati, kata-kata itu selalu

menjadi acuan dalam penanggulangan penyakit TB-Paru di masyarakat.

Adapun upaya pencegahan yang harus dilakukan adalah : (Depkes RI,

2002)

1. Penderita tidak menularkan kepada orang lain:

a. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu

tangan atau tissu.

b. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama

pengobatan.

c. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang

diberi lysol, kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun

dalam tanah.

d. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari.

e. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara

bersih dan cahaya matahari yang cukup sehingga kuman

(44)

2. Masyarakat tidak tertular dari penderita tuberkulosis paru:

a. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan-

makanan yang bergizi.

b. Tidur dan istirahat yang cukup

c. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung

alkohol.

d. Membuka jendela dan mengusahakan sinar matahari masuk ke

ruang tidur dan ruangan lainnya.

e. Imunisasi BCG pada bayi.

f. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.

g. Menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita

Tuberkulosis Paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan

daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap

menular.

2.1.12. Pengobatan Penyakit Tuberkulosis Paru 1. Tujuan Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,

mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai

penularan dan mencegah terjadinya resistensi kumanterhadap OAT

(45)

Tabel 2.1 Jenis, Sifat dan Dosis OAT

Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan

(mg/kg)

Harian 3x Semingu

Isoniazid (H) Bakterisid 5

(4-6)

10 (8-12)

Rifampicn (R) Bakterisid 10

(8-12)

10 (8-12)

Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25

(20-30)

35 (30-40)

Streptomycin (S) Bakterisid 15

(12-18)

15 (12-18)

Ethambutol (E) Bakteriostatik 15

(15-20)

30 (20-35)

2. Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip

sebagai berikut :

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis

obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan

kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal

(monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT

– KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan

pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)

oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif

(46)

Tahap awal (intensif)

- Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari

dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah

terjadinya resistensi obat.

- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara

tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular

dalam kurun waktu 2 minggu.

- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA

negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih

sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

3. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

a. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis diIndonesia:

- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat

sisipan (HRZE)

- Kategori Anak: 2HRZ/4HR

b. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam

(47)

sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam

bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari

kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya

disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas

dalam satu paket untuk satu pasien.

c. Paket Kombipak.

Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket,

yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol.

Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien

yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan

tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin

kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu

paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB :

1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga

menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan

resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi

kesalahan penulisan resep.

3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga

pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan

(48)

2.1.13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis

Paru

Teori John Gordon, mengemukakan bahwa timbulnya suatu

penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit

(agent), penjamu (host), dan lingkungan (environment). Ketiga faktor

penting ini disebut segi tiga epidemiologi (Epidemiologi Triangle),

hubungan ketiga faktor tersebut digambarkan secara sederhana sebagai

timbangan yaitu agent penyebab penyakit pada satu sisi dan penjamu

pada sisi yang lain dengan lingkungan sebagai penumpunya.

Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada dalam

keadaan seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat,

perubahan keseimbangan akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit,

penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan bobot agent penyebab

menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi sakit, demikian pula

bila agent penyakit lebih banyak atau lebih ganas sedangkan faktor

penjamu tetap, maka bobot agent penyebab menjadi lebih berat.

Sebaliknya bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka

ia dalam keadaan sehat. Apabila faktor lingkungan berubah menjadi

cenderung menguntungkan agent penyebab penyakit, maka orang akan

sakit, pada prakteknya seseorang menjadi sakit akibat pengaruh

berbagai faktor berikut :

1. Agent

Mycobacterium tuberculosis adalah suatu anggota dari

(49)

Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan

sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya

infeksi tersering.

Di luar tubuh manusia, kuman Mycobacterium tuberculosis

hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan

terhadap sinar matahari. Mycobacterium tuberculosis mempunyai

panjang 1-4 mikron dan lebar 0,2-0,8 mikron. Kuman ini melayang

diudara dan disebut droplet nuclei. Kuman tuberkulosis dapat

bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar

matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Tetapi kuman

tuberkulosis akan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol,

karbol dan panas api (Atmosukarto & Soewasti, 2000). Kuman

tuberkulosis jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2

jam, selain itu kuman tersebut akan mati oleh tinctura iodi selama 5

menit dan juga oleh ethanol 80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit

serta oleh fenol 5 % dalam waktu 24 jam.

Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada

umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan

kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 % volume sel

bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan

kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat

merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk

tuberkulosis. Mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu

(50)

dalam rentang 25 – 40 C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada

suhu 31-37 C.

2. Host

Manusia merupakan reservoar untuk penularan kuman

Mycobacterium tuberculosis, kuman tuberkulosis menular melalui

droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat menularkan

pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002).

Hal yang perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi

karakteristik; gizi atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh, higiene

pribadi, gejala dan tanda penyakit dan pengobatan. Karakteristik

host dapat dibedakan antara lain; Umur, jenis kelamin, pekerjaan,

keturunan, ras dan gaya hidup.

Menurut Luciana (2011) TB paru berisiko pada seseorang

dengan karakteristik tertentu, seperti umur, jenis kelamin, status

gizi, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan kontak dengan

penderita.

a. Umur

Umur berperan dalam kejadian TB. Resiko untuk

mendapatkan penyakit TB tinggi di umur awal seseorang

dengan puncak pada kelompok usia dewasa dan menurun

kembali ketika usia tua. Di Indonesia 75% penderita TB paru

adalah kelompok usia 15-50 tahun. Kelompok usia 15-50 tahun

masuk dalam penduduk usia produktif, dimana seseorang yang

(51)

seperti bekerja, belajar, ataupun kegiatan lainnya. Seseorang

yang melakukan banyak aktivitas akan sering berinteraksi

dengan orang lain dan lingkungan. Interaksi tersebut dapat

memungkinkan terjadinya penularan TB paru. Penderita TB

paru BTA (+) dengan mudah dapat menularkan kuman TB

kepada lingkungan sekitarnya sehingga menyebabkan orang lain

terinfeksi kuman TB (Depkes RI, 2002).

b. Jenis kelamin

Penderita TB di afrika mayoritas menyerang laki-laki. Dari

hasil laporan WHO di Amerika Serikat tahun 1993-1998

diketahui bahwa penderita TB lebih banyak diderita oleh

laki-laki dibandingkan perempuan (Supriyano, 2003). Penderita TB

yang mayoritas terjadi pada pria dapat dipengaruhi oleh pola

aktivitas di luar rumah dan kebiasaan merokok berkaitan dengan

peningkatan kejadian TB, sedangkan aktivitas di luar rumah

yang tinggi dapat menyebabkan seseorang tertular kuman TB

oleh penderita TB paru BTA (+). Akan tetapi angka kematian

akibat tuberkulosis pada kelompok umur 15-50 tahun di Negara

maju lebih banyak diderita oleh perempuan dibandingkan

laki-laki.

c. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha yang sengaja (terencana,

terkontrol, dengan sadar dan dengan cara yang sistematis)

(52)

potensial itu lebih berkembang terarah kepada tujuan tertentu.

Dalam pelaksanaan pendidikan harus dapat diketahui bentuk

pendidikan yang diberikan, sasaran pendidikan, sifat pelaksaan

pendidikan, tujuan pendidikan. Proses pendidikan berlangsung

dalam suatu lingkungan atau tempat pendidkan berlangsung.

Pendidikan dapat berlangsung di keluarga, sekolah, dan

masyarakat. System pendidikan sekolah yang diterapkan di

Indonesia adalah pendidikan sekolah dasar (SD), sekolah

menegah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA),

perguruan tinggi (Nasution, 2004).

Pendidkan seseorang mempengaruhi pengetahuan dan

pandangan seseorang. Kelompok masyarakat dengan tingkat

pendidkan rendah umumnya adalah kelompok masyarakat

dengan status ekonomi rendah. Kelompok masyarakat tersebut

sulit untuk menyerap informasi, tidak terkecuali informasi

mengenai kesehatan. Selain itu kelompok masyarakat dengan

tingkat ekonomi dan pendidikan rendah juga tidak mampu

mencukupi gizi dan pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan

(Supriyadi, 2003; Abebe et al, 2010).

d. Status Gizi

Indeks Masa Tubuh (IMT) atau Boddy Mass Index (BMI)

merupakan indikator untuk memantau status gizi pada kelompok

umur >18 tahun. Status gizi seseorang akan mempegaruhi risiko

(53)

mengalami malnturisi, menyebabkan penurunan fungsi paru,

perubahan analisis gas dalam darah, dan produktivitas kerja.

Seperti diketahui kuman tuberkulosis merupakan kuman yang

suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan

untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah

kejadian penyakit tuberkulosis paru. Oleh karena itu salah satu

kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik. Selain itu,

status gizi buruk juga mempengaruhi daya tahan tubuh dimana

penurunan daya tahan tubuh berkaitan erat dengan peningkatan

infeksi kuman TB (Fatimah, 2008).

IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau

status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan

kekurangan dan kelebihan berat badan.Penggunaan IMT hanya

berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun, IMT

tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan

olahragawan (Buku Praktis Ahli Gizi, 2003).Rumus perhitungan

IMT adalah sebagai berikut :

IMT = Berat badan (kg)

(54)

Tabel 2.2 Klasifikasi Index Masa Tubuh (IMT) Dewasa Menurut Kemenkes RI

Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat Badan

Kekurangan berat badan tingkat ringan

< 17,0 17,0 - 18,5

Normal >18,5 - 25,0

Gemuk Kelebihan Berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat berat

>25,0 - 27,0 >27,0

Sumber : Kemenkes RI, 2003

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Teten

Zalmi di Puskesmas Padang Pasir tahun 2008 menyebutkan

bahwa proporsi responden dengan keadaan status gizi kurang

pada kelompok kasus adalah 96,8%, sedangkan pada kelompok

kontrol 28,1% (Teten Zalmi, 2008).

Hasil penelitian tersebut sama dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Elvina Karyadi (2002) dari penelitian tersebut

disimpulkan bahwa pengidap TB Paru sebagian besar menderita

gizi kurang (IMT<18, 5kg/m2).

e. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi dari

perilaku. Faktor predisposisi adalah faktor yang menjadi dasar

atau motivasi bagi perilaku (Green, 2005 dalam Astrine 2012).

Pengetahuan tentang tuberkulosis merupakan dasar tindakan

pencegahan dan pengobatan. Ketidaktahuan masyarakat

menghalangi tindakan pencegahan TB paru. Dengan

(55)

mengerti tentang tindakan pencegahan sehingga tingkat kejadian

TB paru dapat diminimalisasikan.

Pengetahuan akan menimbulkan kesadaran seseorang dan

akhirnya akan menyebabkan orang tersebut berperilaku sesuai

dengan pengetahuan yang dimilikinya (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan dibagi kedalam 6 tingkat (Notoatmodjo, 2005),

yaitu :

a. Tahu : sebagai recall memori yang telah ada sebelumnya

setelah mengamati sesuatu.

b. Memahami : memahami objek bukan sekedar tahu,

bukan hanya sekedar menyebutkan, tapi orang tersebt

harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang

objek yang diketahui.

c. Aplikasi : apabila orang yang sudah memahami objek

yang dimaksud dapat menggunakan atau

mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada

situasi lain.

d. Analisis : kemampuan menjabarkan dan memisahkan

lalu mencari hubungan antar komponen-komponen yang

terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.

e. Sintesis : kemampuan untuk merangkum atau

meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari

(56)

f. Edukasi : kemampuan untuk memberikan justifikasi atau

penilaian terhadap objek tertentu.

Hasil survei prevalensi TB (2004) mengenai pengetahuan,

sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat

anggota keluarga yang menderita TB dan hanya 13% yang

menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76% keluarga

pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB

dapat disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat

menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan

TB dipahami oleh 51% keluarga dan hanya 19% yang

mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis (Kemenkes RI,

2011).

f. Pekerjaan

Jenis pekerjaan yang dimaksud disini adalah untuk

mengetahui tinggi rendahnya mobilitas seseorang, sehingga

mempengaruhi dia untuk terpapar kuman TBC. Semakin tinggi

mobilitas seseorang, semakin banyak orang yang kontak dengan

dia. Bila diantaranya ada yang menderita TBC dan kebetulan

kontak yang dilakukan cukup sering dan lama, maka risiko

penularan akan semakin tinggi. Selain itu pekerjaan juga

menunjukan aktifitas yang dilakukan seseorang, apakah

mempengaruhi daya tahannya atau tidak. Pekerjaan juga bisa

menggambarkan pendapatan yang dihasilkan sehingga bisa

(57)

g. Kontak dengan Penderita

Kontak dengan sumber penular merupakan salah satu faktor

risiko terjadinya TB paru. Kontak erat adalah tinggal bersama

dalam rumah yang sama atau frekuensi sering bertemu antara

kontak dengan sumber penular (WHO, 2006). Faktor risiko

tersebut semakin besar bila kondisi lingkungan perumahan jelek

seperti kepadatan penghuni, ventilasi yang tidak memenuhi

syarat dan kelembaban dalam rumah merupakan media transisi

kuman TBC untuk dapat hidup dan menyebar. Untuk itu

penderita TBC dapat menularkan secara langsung terutama pada

lingkungan rumah, masyarakat di sekitarnya dan lingkungan

tempat bekerja, makin meningkatnya waktu berhubungan

dengan penderita memberi kemungkinan infeksi lebih besar

pada kontak (Akbar, 2010).

Berdasarkan penelitian Mahpudin dan Mahkota (2007)

didapatkan hasil bahwa ada hubungan bermakna antara kontak

dengan penderita yang tinggal serumah dengan kejadian TB

paru. Temuan ini sesuai dengan penelitin sebelumnya dimana

kontak dengan penderita TB paru yang tinggal serumah berisiko

41,8 kali dari pada yang tidak kontak. Kontak serumah

merupakan ancaman yang sangat serius bagi anggota keluarga

lainnya untuk menderita penyakit TB, karena itu merupakan

sumber penularan intensif yang berada disekitar kehidupan

Gambar

Gambaran Umum Wilayah Penelitian...............................................
Gambaran Kejadian TB Paru...........................................................
Grafik 1.1
gambaran kerusakan yang luas, dan atau keadaan umum
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ban baik untuk kendaraan beroda dua, maupun kendaraan bermotor beroda Ban baik untuk kendaraan beroda dua, maupun kendaraan bermotor beroda empat yang terbuat dari karet alam

Jika pasien tidak mendapat penanganan yang tepat pada empat minggu pertama semenjak ia terinfeksi, penyakit tersebut akan berlanjut ke tahap kedua dimana kulit, sistem saraf, sendi,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Ekspor neto, investasi asing (PMA) dan investasi dalam negeri (PMDN) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

Dengan menggunakan software untuk memonitor sebuah network, maka pengontrolan untuk tiap-tiap status dan peralatan network pada sebuah organisasi akan lebih mudah. Pada penulisan

Definisi, lingkup, dan syarat kerja sama Gelar Bersama, Gelar Ganda, Kegiatan Alih atau Ambil Kredit wajib mengikuti Panduan Penyelenggaraan Program Kerja Sama Perguruan

Membawa kelengkapan dokumen asli atau dokumen yang dilegalisir oleh. pihak yang berwenang sebagaimana yang telah disampaikan

Pada buku ajar yang digunakan tidak terjadi miskonsepsi, pada materi katabolisme karbohidrat, tetapi bahan ajar yang digunakan masih terdapat pengetahuan yang kurang

Pembelajaran Matematika dengan Model CORE melalui Pendekatan Keterampilan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama