PRODUKTIF DI PUSKESMAS PONDOK PUCUNG TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
Nama: Muhammad Aandi Ihram
NIM 109101000087
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
ii Muhammad Aandi Ihram, NIM : 109101000087
Hubungan Tingkat Sirkulasi Oksigen dan Karakteristik Individu dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013
xix + 101 halaman, 18 tabel, 2 bagan,5 lampiran
ABSTRAK
Tuberkulosis paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. WHO dalam
Annual Report on Global TB Control 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countris terhadap TB Paru, termasuk Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis terbanyak ke-5 di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Pada tahun 2012 Puskesmas Pondok Pucung mempunyai kasus TB Paru terbanyak di wilayah Tangerang Selatan yaitu sebesar 769 penderita.
Tujuan penelitian ini diketahuinya hubungan tingkat sirkulasi oksigen dan karakteristik individu dengan kejadian TB paru pada kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2013. Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain Cross sectional study, jumlah sampel 65 responden dan teknik pengambilan sampel adalah Simple random sampling. Data diperoleh dari data rekam medis puskesmas pada bulan April-Juni 2013, data kuesioner (data responden), pengukuran IMT (timbangan & Microtoice), pengukuran ventilasi dengan meteran dan suhu dengan Thermohygrometer. Analisis uji statistik menggunakan uji Chi-square dengan derajat kepercayaan 95%.
Berdasarkan hasil penelitian dari 65 responden di Puskesmas Pondok Pucung diperoleh 23 orang (35,4%) yang mengalami kejadian TB. Faktor yang memiliki hubungan secara statistik terhadap kejadian TB paru adalah variabel status gizi (p= 0,001), kepadatan hunian (p= 0,001) dan ventilasi rumah (p= 0,014). Sedangkan faktor lainnya yang tidak berhubungan secara statistik adalah jenis kelamin (0,602), pendidikan (0,116), pengetahuan (0,729) dan suhu ruangan (0,417).
Disarankan perlu dilakukan upaya peningkatan penjaringan terhadap penderita tuberkulosis paru, peningkatan perbaikan kondisi lingkungan rumah dengan lebih memperhatikan aspek sanitasi rumah sehat pada saat membangun rumah dan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Kata Kunci: Kejadian TB Paru, Tingkat Sirkulasi Oksigen, Karakteristik Individu.
iii Muhammad Aandi Ihram, NIM : 109101000087
Association Oxygen Circulation Level and Individual Characteristics with Lung Tuberculosis in Productive Age Period at Puskesmas Pondok Pucung 2013
xix + 101 pages, 18 tables, 2 chart , 5 attachments
ABSTRACT
Pulmonary tuberculosis caused by mycobacterium tuberculosis. WHO in Annual Report on Global TB Control 2003 states that there are 22 countries categorial as high burden countries of Lung Tuberculosis included Indonesian. Indonesia is the country with the highest tuberculosis patients 5th in the world after India, China, South Africa and Nigeria. In 2012 the Puskesmas Pondok Pucung has the highest Pulmonary TB cases in the province of South Tangerang taker 769 patients.
The purpose of this research knowing association oxygen circulation level and individual characteristics with lung Tuberculosis in productive age period at Puskesmas Pondok Pucung. The time study was conducted in May-August 2013. This type of research is a observational study with cross-sectional design, the number of samples of 65 respondents and the sampling technique was simple random sampling. Data obtained from the data clinic medical record in April-June 2013, questionnaires (data respondents), IMT measurements with (weigher and microtoice), ventilation measurements with meteran and temperature with thermohygrometer. Statistical analysis using Chi-square with degrees of 95% and alpha of 0.05.
The results, from 65 respondents at Puskesmas Pondok Pucung obtained 23 peoples (35.4%) having lung tuberculosis incidence. Factors that have statistical association for lung Tuberculosis incidence is variable nutrition status (p= 0,001), density residents (p= 0,001), and house ventilation (p= 0,014). While other factors not have statistical association is gender (0,602), education (0,116), knowladge (0,729), and temperatue room (0,417).
Purposed to promoting for health housing, incidence lung tuberculosis, case finding of lung tuberculosis, improving house environmental health with house owners who will renovate their houses are recommended to build a basic of house will sanitation aspects and follow the healthy life behaviour.
Keywords: Lung Tuberculosis, Oxygen Circulation levels, Individual characteristics.
vi
CURICULUM VITAE
PERSONAL IDENTITY
Full Name : MUHAMMAD AANDI IHRAM
Place / Date of Birth : KURUNGAN JIWA, 23 NOVEMBER 1991
Sex : MALE
Religion : MOSLEM
Address :
JL. PURI INTAN NO.52 KELURAHAN PISANGAN-CIPUTAT-TANGERANG SELATAN / JL. SEI SAHANG RT/RW 59/14 NO. 5281 KELURAHAN LOROK PAKJO - KOTA PALEMBANG Citizenship : INDONESIAN
Phone Number : Mobile : +6281927792154 Home : Email Address : i_aand@yahoo.co.id
FORMAL EDUCATION (starting from the most recent)
Year
Name of Institution Location Faculty/Majoring Result
In Out
PALEMBANG IPA Graduated
2003 2006
ISLAMIC JUNIOR HIGH
SCHOOL PRIMARY 2
PALEMBANG
PALEMBANG - Graduated
1997 2003 ELEMENTARY SCHOOL
vii
ORGANIZATION EXPERIENCES
Year Organization / Events
2012 Participant in environment health safety field study at PT. Chevron Geothermal Garut 2012 Participant in environment health safety field study at PT. Petrocina Bojonegoro 2011 Committee of learning practice field in eastern Pamulang clinic 2011 Participant in environment health safety field study at PT. Chevron Balikpapan 2011 Mahesa Institude and ABLE “ English Course”
2011 Committee of seminar earth day at Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta
2011-2012 Member Of Environmental health student association Islamic State University Syarif Hidayatullah
Jakarta
2010-2012 Member Of Environmental Health Student Association Indonesia
2010 Committee Of Ceremonial 5th Anniversary Of Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta
2009 Association of Santri’s Scholarship Server Health on Medical Faculty (AS-SHOF) 2009 Association of Santri’s Scholarship Server Health on Medical Faculty Sum-Sel (SJD-SS)
Work experience
Position Year Organizer / Institution
HEALTH, SAFETY AND ENVIRONMENTHAL (HSE) OFFICER 2012 PT. PROTON
COMMITTEE OF CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY (CSR) 2012
PT. YAMA ENGINEERING AND ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
JOB PRACTICE IN ENVIRONMENT AND HUMANITY PROGRAM
viii
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur Kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya kepada seluruh umatnya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan
kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya menuju jalan
yang terang penuh Cahaya Ilahi.
Alhamdulillah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang
berjudul “Hubungan Tingkat Sirkulasi Oksigen dan Karakteristik Individu dengan Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tahun 2013” dengan baik dan penuh perjuangan.
Skripsi ini disusun dan disajikan sebagai persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam
penyusuna skripsi ini, penulis banyak mendapatkan saran, bimbingan serta bantuan
baik langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak yang sangat membantu
dalam proses penyusunan skripsi ini. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya saat ini yang selalu senantiasa
mengiringi kehidupan saya.
2. Kedua orang tuaku tercinta yang selalu memberikan semangat, doa, dan
ix
memberikan semangat, doa dan motifasi yang tiada henti untuk saya.
4. Bidadari-bidadari kecilku tersayang (Raden Fahza Fauziah dan Syifa Haura
Firoza) yang selalu memberi senyuman dan semangat yang luar biasa.
5. Bapak Prof. Dr. Dr. Hc. MK. Tadjudin, Spd. And. Selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Ibu Febrianti, SP. Msi. Selaku kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
7. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku pembimbing sekaligus
pembina peminatan kesehatan lingkungan yang telah memberikan tuntunan
dan bimbingan ilmu pengetahuan dalam penyusunan laporan skripsi ini.
8. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing yang telah
memberikan tuntunan dan bimbingan ilmu pengetahuan dalam penyusunan
laporan skripsi ini.
9. Bapak Ahmad Ghozali selaku TU Program Studi Kesehatan Masyarakat yang
selalu sabar dan membantu dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan.
10.Ibu Umi Lutfi selaku pemegang program TB Paru di Puskesmas Pondok
Pucung yang begitu luar biasa membantu baik dilapangan ataupun
x
inspirasi dalam penyelesaian Skripsi ini.
12.Teman-teman seperjuangan mahasiswa yang tergabung dalam beasiswa
Santri Jadi Dokter Sumatera-Selatan khususnya angkatan 2009 semangat dan
sukses untuk kita semua. Amin
13.Teman-teman mahasiswa Kesehatan Masyarakat angkatan 2009, Khususnya
Peminatan Kesehatan Lingkungan (Udin, Rudi, Yudi, Ersa, Morris, Agung,
Maya, Nisa, Reni, Yeni, Risma, Tari, Nita, Ratna, Cita, Dila, Ami, Imah, Zia,
Rahmayuni) semangat dan sukses untuk kita semua. Amin.
14.Serta segenap pihak yang telah membantu dalam penyusun dalam
menyelesaikan laporan magang ini.
Hanya do’a yang dapat penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, semoga amal
baiknya mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin.
Penulis sadar atas segala kekurangan dan keterbatasan yang ada. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dalam untuk skripsi ini demi kemajuan
dimasa yang akan datang.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ciputat, September 2013
xi
Hal
LEMBAR PERNYATAAN... i
ABSTRAK... ii
LEMBAR PENGESAHAN... iv
RIWAYAT HIDUP... v
KATA PENGANTAR... vii
DAFTAR ISI... ix
DAFTAR GRAFIK... xi
DAFTAR BAGAN... xi
DAFTAR TABEL………... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah……….. 7
1.3 Pertanyaan Penelitian………. 7
1.4 Tujuan Penelitian... 8
1.4.1 Tujuan Umum... 8
1.4.2 Tujuan Khusus... 8
1.5 Manfaat Penelitian ... 9
1.3.1 Bagi Masyarakat... 9
1.3.2 Bagi Instanasi Terkait... 9
1.3.3 Bagi Peneliti... 9
xii
2.1 Penyakit Tuberkulosis... 11
2.1.1 Definisi Penyakit Tuberkulosis... 11
2.1.2 Bakteri Tuberkulosis Paru... 11
2.1.3 Cara Penularan Penyakit TB Paru………... 11
2.1.4 Gejala dan Tanda………..……... 13
2.1.5 Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru………... 15
2.1.6 Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru……….…. 17
2.1.7 Klasifikasi Penyakit……….………... 17
2.1.8 Tipe Penderita……….………… 18
2.1.9 Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru……….. 19
2.1.10 Patologi Penyakit Tuberkulosis Paru……….. 21
2.1.11 Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru……….. 23
2.1.12 Pengobatan Penyakit Tuberkulosis Paru……….. 24
2.1.13 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit TB Paru ... 28 2.1.14 Rumah Sehat dan Persyaratannya... 44
2.1.15 Landasan Teori... 50
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep... 51
3.2 Definisi Operasional... 52
xiii
4.2 Lokasi dan Waktu……….. 56
4.3 Populasi dan Sampel... 56
4.3.1 Populasi... 56
4.3.2 Sampel... 56
4.3.3 Perhitungan Sampel………... 58
4.4 Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data………... 60
4.4.1 Pengumpulan Data... 60
4.4.2 Instrument Penelitian………... 60
4.4.3 Pengolahan Data……… 62
4.4.4 Analisis Data……….. 63
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian... 64
5.2 Analisi Univariat... 64
5.2.1 Gambaran Kejadian TB Paru... 64
5.2.2 Gambaran Jenis Kelamin... 65
5.2.3 Gambaran Pendidikan... 66
5.2.4 Gambaran Status Gizi... 67
5.2.5 Gambaran Pengetahuan... 67
5.2.6 Gambaran Kepadatan Hunian... 68
5.2.7 Gambaran Ventilasi Rumah... 69
5.2.8 Gambaran Suhu... 70
xiv
5.3.3 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian TB Paru... 73
5.3.4 Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian TB Paru... 74
5.3.5 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian TB Paru.. 75
5.3.6 Hubungan Ventilasi Rumah dengan Kejadian TB Paru... 76
5.3.7 Hubungan Suhu dengan Kejadian TB Paru... 77
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian... 79
6.2 Gambaran Kejadian TB Paru... 80
6.3 Karakterisitik Individu... 81
6.3.1 Jenis Kelamin... 81
6.3.2 Pendidikan... 83
6.3.3 Status Gizi... 85
6.3.4 Pengetahuan... 87
6.4 Tingkat Sirkulasi Oksigen... 90
6.4.1 Kepadatan Hunian... 90
6.4.2 Venitilasi Rumah... 93
6.4.3 Suhu Ruangan... 96
BAB VII KESIMPULAN 7.1 Kesimpulan... 99
7.2 Saran... 101
xvi
Nomor Tabel Hal
2.1 Jenis, Sifat dan Dosis OAT... 25
2.2 Kategori Ambang Batas Index Massa Tubuh untuk
Indonesia……….
34
4.1 Perhitungan Sampel... 59
5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia
Produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan
Tahun 2013
65
5.2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin
di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun
2013
65
5.3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pendidikan
di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun
2013
66
5.4 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Status Gizi
di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun
2013
67
5.5 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pengetahuan
di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun
2013
68
5.6 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Kepadatan
Hunian di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan
Tahun 2013
68
5.7 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Ventilasi
Rumah di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan
Tahun 2013
69
5.8 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Suhu di
Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013
xvii
Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013
5.10 Analisis Hubungan antara Pendidikan dengan Kejadian TB
Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok
Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013
72
5.11 Analisis Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian TB
Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok
Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013
73
5.12 Analisis Hubungan antara Pengetahuan dengan Kejadian TB
Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok
Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013
74
5.13 Analisis Hubungan antara Kepadatan Hunian dengan
Kejadian TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di
Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013
75
5.14 Analisis Hubungan antara Ventilasi Rumah dengan Kejadian
TB Paru pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas
Pondok Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013
76
5.15 Analisis Hubungan antara Suhu dengan Kejadian TB Paru
pada Kelompok Usia Produktif di Puskesmas Pondok
Pucung Tangerang Selatan Tahun 2013
xviii
Nomor Grafik Hal
xix
Nomor Bagan Hal
2.1 Kerangka Teori Penelitian... 50
1 1.1.Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan menurut sistem kesehatan nasional
adalah tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi
setiap penduduk yang ditandai dengan bertempat tinggal di lingkungan bersih dan
berprilaku sehat. Pada masyarakat mampu untuk untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya diseluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI, 2010).
Untuk mencapai tujuan tersebut pembangunan kesehatan dilakukan
melalui upaya pelayanan kesehatan yang diarahkan pada program-program seperti
ditegaskan dalam undang-undang kesehatan No. 23 tahun 1992 Bab V pasal 10
menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal
diselenggarakan melalui pendekatan, pemeliharaan dan peningkatan (promotif),
pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan
kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh terpadu dan
berkesinambungan (PP RI, 2000).
Perkembangan epidemiologi menggambarkan secara spesifik peran
lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah, bahwasanya lingkungan
berpengaruh pada terjadinya penyakit. Interaksi manusia dengan lingkungan
hidupnya merupakan suatu yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan
dukung unsur-unsur lingkungan untuk kelangsungan hidupnya. Penyakit berbasis
lingkungan masih menjadi permasalahan hingga saat ini. Hal ini dikarenakan
penyakit berbasis lingkungan selalu masuk dalam 10 besar penyakit di hampir
seluruh Puskesmas di Indonesia. Keadaan tersebut mengindikasikan masih
rendahnya cakupan dan kualitas intervensi kesehatan lingkungan (Prabu, 2008).
Penyakit tuberkulosis paru atau yang lebih popular dengan nama TBC
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis merupakan salah satu penyakit
menular yang menyebabkan kematian. Satu orang penderita TB paru dengan
status Basil Tahan Asam (BTA) positif dapat menularkan sekurang-kurangnya
kepada 10-15 orang lain dalam 1 tahun. TB paru akan menular ketika orang
tersebut batuk, bersin, berbicara atau meludah (droplet nuclei) (Depkes RI, 2008).
Pada negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi
menengah kebawah, jumlah kasus TB paru semakin meningkat. Sehingga pada
tahun 1993, WHO mencanangkan TB paru sebagai kedaruratan dunia (global
emergency). WHO memperkirakan jumlah paling besar dari kasus TB paru
ditahun 2005 ada di wilayah Asia Tenggara, yaitu 34% dari insiden kasus global
atau sekitar 8,8 juta penderita dan 1,6 diantaranya mengalami kematian dimana
hampir 80% kematian terjadi pada kelompok usia produktif. Sehingga penyakit
ini memberikan dampak yang serius terhadap perkembangan ekonomi negara
tersebut (WHO, 2002). World Health Organization (WHO) memperkirakan 9
(Sembilan) juta orang penduduk dunia setiap tahunnya menderita TBC.
Diperkirakan 95% penderita TBC berada dinegara berkembang . selain itu
Indonesia merupakan negara dengan pasien tuberkulosis terbanyak ke-5
di dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Jumlah pasien
tuberkulosis di Indonesia sekitar 5,8% dari total pasien TB di dunia. Estimasi
prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi
insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB
diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Tuberkulosis merupakan kematian
nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada
semua kelompok usia, serta nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Pada
tahun 2010 prevalensi tuberkulosis di Indonesia sebesar 289 per 100.000
penduduk Data Riskesdas tahun 2010, tingkat kejadian penyakit tuberkulosis
yang berusia >15 tahun di Provinsi Banten sebesar 7.536 orang (4,2%). Data dari
Dinas Kesehatan Tangerang Selatan (2012) Proporsi BTA positif diantara suspek
(5-15%) di Tangerang Selatan tahun 2011 sebesar 10%, sedangkan triwulan 1
tahun 2012 sebesar 12% (Kemenkes RI, 2012).
Sekitar 75% penderita tuberkulosis paru adalah kelompok usia produktif
secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang penderita tuberkulosis paru
dewasa akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan, hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%.
Jika meninggal akibat penyakit tuberkulosis paru, maka akan kehilangan
pendapatannya sekitar 15 tahun, selain merugikan secara ekonomis, Tuberkulosis
paru juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan kadang
dikucilkan oleh masyarakat (Depkes RI, 2008).
Oksigen merupakan kebutuhan dasar manusia dengan mengkonsumsi
keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 cc oksigen sehari (24 jam) atau
sekitar 0,5 cc tiap menit. Kebutuhan tersebut berbanding lurus dengan volume
udara inspirasi dan ekspirasi biasa kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi
oksigen udara inspirasi berkurang. Seiring dengan pertumbuhan populasi
penduduk yang semakin meningkat, terjadi perubahan secara demografik serta
terjadi peningkatan polutan di udara yang dapat mempengaruhi akan ketersediaan
serta kualitas oksigen di udara, yang apabila udara tersebut telah bercampur
dengan zat-zat polutan atau mikroorganisme dapat mempengaruhi kesehatan dan
berbahaya bagi masyarakat. Salah satu nya dapat menstimulus untuk terjadinya
penyakit TB paru, karena penyakit TB paru ditularkan melalui udara .Faktor yang
berperan terhadap tingkat sirkulasi oksigen didalam rumah adalah kepadatan
hunian, ventilasi rumah dan suhu. Oksigen dalam udara yang telah bercampur
dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis dan terhirup dapat menyebabkan
penyakit TBC. Karena kuman TBC media penularannya melalui transmisi udara
akan ikut terhirup bersamaan dengen proses respirasi saat menghirup oksigen
(Farochi, 2012).
Menurut Ahmadi (2005) Faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya
kejadian penyakit tuberkulosis paru dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu
faktor risiko kependudukan (jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, status
gizi,) dan faktor risiko lingkungan (kepadatan hunian, ventilasi alamiah, suhu dan
kelembaban).
Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, peningkatan kasus
tuberculosis dapat dipengaruhi oleh faktor demografi (kepadatan penduduk dan
kependudukan (karakteristik Individu, perilaku, kemiskinan) dan faktor
karakteristik bakteri. Resiko terjadinya penularan tuberculosis TB paru
dipengaruhi oleh keadaan rumah yang padat huni sebesar 3,2 kali dibandingkan
dengan yang tidak padat penghuni, risiko tersebut sama besarnya dengan ventilasi
rumah yang tidak memenuhi syarat (Karminingsih, 2002).
Penelitian kasus kontak yang dilakukan Chandra Wibowo dkk (2004) di
Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum Manado, terdapatnya dalam sputum sumber
kontak BTA (+) secara bermakna akan meningkatkan resiko terjadinya TB Paru
36,5 kali lebih besar. Dalam penelitian tersebut terdapat faktor resiko yang paling
berperan terhadap kejadian TB Paru pada kasus kontak adalah usia, jenis kelamin,
status gizi, status ekonomi, kondisi sanitasi rumah, perilaku, dan pekerjaan.
Begitu juga dengan kondisi sirkulasi didalam rumah beberapa faktor yang
mempengaruhi adalah terdiri dari kepadatan hunian, ventilasi dan suhu.
Berdasarkan laporan 30 besar penyakit yang ada di setiap Pukesmas
Perawatan Dinas Kesehatan Tanggerang Selatan Tahun 2012 didapatkan kasus TB
parusebanyak 3.545 jiwa. Berikut grafik jumlah kasus TB paru pada 25
puskesmas perawatan Dinas Tangerang Selatan tahun 2012 (Dinkes Tangsel,
Grafik 1.1
Jumlah Kasus TB Parudi Wilayah Tangerang Selatan 2012
Sumber : Dinkes Tangerang Selatan 2012
Berdasarkan grafik di atas diperoleh Puskesmas Pondok Pucung
mempunyai kasus TB Paru terbanyak di Wilayah Tangerang Selatan yaitu sebesar
769 penderita. Berdasarkan data di atas peneliti memilih Puskesmas Pondok
Pucung sebagai tempat penelitian. Selain dari data tersebut, data laporan bulanan
yang dimiliki oleh Puskesmas Pondok Pucung mengenai kasus TB Parudari bulan
Januari-Desember 2012 terjadi peningkatan setiap bulannya, peningkatan yang
signifikan terjadi di 3 bulan terakhir yaitu pada bulan Oktober sebanyak 121
penderita, november 90 penderita, dan desember 110 penderita.
Berdasarkan uraian dan tren perkembangan penyakit TB ParudiWilayah
Pondok Pucung Tangerang Selatan maka peneliti tertarik ingin melihat hubungan
tingkat sirkulasi oksigen dan karkteristik individu dengan kejadian TB Paru pada
kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan 2013.
1.2.Rumusan Masalah
Seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk yang semakin
meningkat, terjadi perubahan secara demografik serta terjadi peningkatan polutan
di udara yang dapat mempengaruhi akan ketersediaan serta kualitas oksigen di
udara, yang apabila udara tersebut telah bercampur dengan zat-zat polutan atau
mikroorganisme dapat mempengaruhi kesehatan dan berbahaya bagi masyarakat.
Salah satu nya dapat menstimulus untuk terjadinya penyakit TB paru, karena
penyakit TB paru ditularkan melalui udara.
Berdasarkan laporan 30 besar penyakit yang ada di setiap Pukesmas
Perawatan Dinas Kesehatan Tanggerang Selatan tahun 2012, Puskesmas Pondok
Pucung Tangerang Selatan memiliki kasus terbesar pada kasus TB
Parudibandingkan dengan Puskesmas Perawatan lainnya di Wilayah Tangerang
Selatan tahun 2012 yaitu sebesar 796 penderita.
Faktor yang berperan dalam penentuan tingkat sirkulasi oksigen didalam
rumah adalah kepadatan hunian, ventilasi rumah dan suhu. Oksigen merupakan
kebutuhan dasar bagi manusia yang apabila dalam udara tersebut telah kurang dan
bercampur dengan bakteri Mycobacterium tuberculosis dan terhirup dapat
menyebabkan penyakit TBC karena kuman TBC media penularannya melalui
transmisi udara akan ikut terhirup bersamaan dengen proses respirasi saat
1.3.Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan,
status gizi, dan pengetahuan) pada kelompok usia produktif dengan
kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013?
2. Bagaimana gambaran tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian,
ventilasi rumah dan suhu) dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia
produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013?
3. Apakah ada hubungan karakteristik individu (jenis kelamin, pendidikan,
status gizi, dan pengetahuan) pada kelompok usia produktif dengan
kejadian TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013?
4. Apakah ada hubungan tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian,
ventilasi rumah dan suhu) dengan kejadian TB Paru pada kelompok usia
produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013 ?
1.4.Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat sirkulasi oksigen dan
karakteristik individu pada kelompok usia produktif dengan kejadian TB
Paru di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran karakteristik individu (jenis kelamin,
pendidikan, status gizi dan pengetahuan) pada penduduk di
2. Mengetahui gambaran tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian,
ventilasi rumah dan suhu) dengan kejadian TB Paru pada
kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.
3. Mengetahui hubungan karakteristik individu (jenis kelamin,
pendidikan dan pengetahuan) dengan kejadian TB Paru di
Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.
4. Mengetahui hubungan tingkat sirkulasi oksigen (kepadatan hunian,
ventilasi rumah dan suhu) dengan kejadian TB Paru pada
kelompok usia produktif di Puskesmas Pondok Pucung tahun 2013.
1.5.Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi tentang lingkungan fisik rumah dan
karakteristik individu yang mempengaruhi kejadian TB Paru sehingga
masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan kasus TB Paru di
Wilayah Pd. Pucung.
1.5.2. Bagi Instansi terkait
Memberikan masukan bagi Puskesmas Pondok Pucung Tangerang
Selatandalam perencanaan peningkatan penyuluhan, konseling tentang TB
Paru sebagai upaya pencegahan resiko terjadinya penyakit.
1.5.3. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat berguna bagi peneliti dan hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan data dasar dan acuan bagi peneliti selanjutnya
1.6.Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Peminatan Kesehatan
Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat sirkulasi
oksigen dan karakteristik individu pada kelompok usia produktif dengan kejadian
TB Paru di Puskesmas Pondok Pucung Tangerang Selatan tahun 2013. Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan desain studi cross
sectional study. Teknik pengumpulan data menggunakan data primer dan data
11 2.1.Penyakit Tuberkulosis
2.1.1. Defenisi Penyakit Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis), sebagian besar kuman
TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya
(Depkes RI, 2008).
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman tuberkulosis dan ditularkan melalui udara pada saat pasien TB
batuk atau bersin (PPTI, 2010).
2.1.2. Bakteri Tuberkulosis Paru (TB Paru)
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang dengan ukuran 1-4
micron dan tebal 0,3-0,6 micron. Sifat khusus bakteri ini tahan terhadap
asam, oleh karena itu sering disebut Bakteri Tahan Asam (BTA).
Bakteri TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh, bakteri ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa
tahun (Depkes RI, 2008).
2.1.3. Cara Penularan Penyakit TB Paru
Cara penularan tuberkulosis paru melalui percikan dahak
(droplet) sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA(+),
mengandung kuman TB dapat bertahan di udara pada suhu kamar
selama beberapa jam, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000
percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat
mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat
membunuh kuman, percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab. Orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB
masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut
dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran
langsung ke bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahaknya maka makin menular penderita tersebut. Bila
hasil pemeriksaan dahaknya negatif maka penderita tersebut dianggap
tidak menular. Penularan umum nya terjadi di dalam ruangan, dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Penilaian risiko TB
setiap tahunnya ditunjukan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI), yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB
selama satu tahun. Jika ARTI sebesar 1%, berarti terdapat 10 orang
diantara 1000 orang yang terinfeksi setiap taunnya. Nilai ARTI di
2.1.4. Tanda dan Gejala Penyakit TB Paru
Menurut Achmadi (2004) secara umum komposisi dari sampah di
setiap kota bahkan negara hampir sama, yaitu :
TB paru sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit
yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga
memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah
penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan
kadang-kadang aimtomatik. Gambaran klinis TB paru dapat dibagi
menjadi 2 golongan yaitu : gejala respiratorik dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik, meliputi :
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan
yang paling sering dikeluhkan. Batuk bisa berlangsung terus
menerus selama ≥ 3 minggu. Mula-mula bersifat non produktif
kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada
kerusakan jaringan. Hal ini sebagai upaya untuk membuang
ekskresi peradangan berupa dahak ataupun sputum.
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin
tampak berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah
atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah
terjadi karena pecahnya pembuluh darah, akibat luka dalam
alveoli yang sudah lanjut. Berat ringannya batuk darah
c. Dahak
Dahak awalnya bersifat nukoid dan keluar dalam jumlah
sedikit, kemudian berubah menjadi mukopurulen (mengandung
lendir dan nanah) sehingga warnanya kuning atau kuning hijau
sampai purulen (hanya nanah saja) dan kemudian berubah
menjadi kental dan berbau busuk karena adanya infeksi anaerob.
d. Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah
luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura,
pneumothorax, anemia dan lain-lain.
e. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang
ringan.Gejala ini timbul apabila system persarafan di pleura
terkena.
2. Gejala sistemik, meliputi :
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul
pada sore dan malam hari mirip demam influenza.Biasanya
disertai keringat dingin meskipun tanpa kegiatan.Hilang timbul
dan makin lama makin panjang seranganya sedang masa bebas
b. Keringat dingin dimalam hari
Bukanlah gejala pasti untuk penyakit tuberkulosis paru dan
umumnya baru timbul bila proses telah lanjut. Keringat dingin
ini terjadi meskipun tanpa kegiatan.
c. Anoreksia dan penurunan berat badan
Keduanya merupakan manifestasi dari keracunan sistemik
yang timbul karena produk bakteri atau adanya jaringan yang
rusak. (toksemia), yang biasanya timbul belakangan dan lebih
sering dikeluhkan bila fase progresif.
d. Malaise (rasa lesu)
Hal ini bersifat berkepanjangan/kronik, disertai rasa tidak
fit, tidak enak badan, lemah, lesu pegal-pegal dan mudah lelah.
2.1.5. Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru
Diagnosis TB paru dilakukan dengan wawancara keluahan pasien,
pemeriksaan pada pasien (anamnesis), pemeriksaan dahak mikroskopis
di laboratorium, pemeriksaan rontgen dada.
1. Diagnosis TB paru pada orang dewasa (Depkes RI, 2008)
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan
dengan ditemukan BTA pada pemeriksaan dahak secara
mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
setidaknya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila
hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lanjut
2. Diagnosis TB paru pada anak (Depkes RI, 2008)
Seorang anak harus dicurigai menderita tuberkulosis apabila :
a. Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TB
paru BTA positif.
b. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG
(dalam 3-7 hari).
c. Terjadi gejala umum TBC
Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek
TB paru.
Indikasi pemeriksaan foto toraks Pada sebagian besar TB paru,
diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi
tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi
sebagai berikut:
- Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada
kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk
mendukung diagnosis „TB paru BTA positif.
- Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
- Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat
yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak,
pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma).
2.1.6. Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru
Penemuan penderita dilakukan secara pasif artinya penjaringan
tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung
ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung
dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun
masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka
penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case
dinding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif).
Selain itu, semua kontak penderita TB paru BTA positif dengan gejala
samaharus diperiksa dahaknya (Depkes RI, 2008).
2.1.7. Klasifikasi Penyakit
Tuberkulosis dibagi berdasarkan organ tubuh yang terkena yaitu :
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
paru, (tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil
pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis paru BTA (+)
- Sekuarang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS
hasilnya BTA positif.
- Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
dan foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberkulosis
aktif. TB paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan
gambaran kerusakan yang luas, dan atau keadaan umum
penderita buruk.
2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru. TB
ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu : (Depkes RI, 2008)
a. TBC ekstra paru ringan
b. TBC ekstra paru berat
2.1.8. Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu : (Amin, 2006)
1. Kasus baru
Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan
OAT (obat anti tuberkulosis) atau sudah perrnah menelan OAT
kurang dari satu bulan.
2. Kambuh (relaps)
Kambuh (relaps) adalah penderita TB paru yang sebelumnya pernah
pengobatan lengakap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindahan
Pindahan adalah penderita TB paru yang sedang mendapatkan
pengobatan dari tempat lain, kemudian pindah berobat ke tempat
tertentu. Penderita tersebut harus membawa surat rujukan/pindahan
(Form TB 09).
4. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/drop-out)
Adalah penderita TB paru yang kembali berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA (+) setelah putus berobat 2 bulan atau
lebih.
5. Gagal
a. Adalah penderita BTA (+) yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih.
b. Adalah penderita BTA (-) rontgen positif yang menjadi
BTA(+) pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
6. Lain-lain
Semua penderitang lain yang tidak memenuhi persyaratan tersebut
diatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah kasus kronik
(penderita yang masih BTA (+) setelah menyelesaikan pengobatan
ulang dengan kategori 2.
2.1.9. Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru
Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang
tuberculosis, manusia (host) dan lingkungan (environment). Disamping
itu mencakup distribusi dari penyakit, perkembangan dan
penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan
insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular.
Pada penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah manusia
yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernafasan. Kontak yang
rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan banyak kemungkinan
penularan melalui droplet.
Kerentanan penderita tuberkulosis paru meliputi risiko
memperoleh infeksi dan konsekuensi timbulnya penyakit setelah terjadi
infeksi, sehingga bagi orang dengan uji tuberkulin negatif risiko
memperoleh basil tuberkel bergantung pada kontak dengan
sumber-sumber kuman penyebab infeksi terutama dari penderita tuberkulosis
dengan BTA positif. Konsekuensi ini sebanding dengan angka infeksi
aktif penduduk, tingkat kepadatan penduduk, keadaan social ekonomi
yang merugikan dan perawatan kesehatan yang tidak memadai.
Berkembangnya penyakit secara klinik setelah infeksi di
mungkinkan adannya faktor komponen genetik yang terbukti pada
hewan dan diduga terjadi pada manusia, hal ini dipengaruhi oleh umur,
kekurangan gizi dan kenyataan status immunologik serta penyakit yang
menyertainya (Ruswanto, 2010).
Epidemiologi tuberkulosis paru mempelajari tiga proses khusus
yang terjadi pada penyakit ini, yaitu;
b. Perkembangan dari kuman tuberkulosis paru yang mampu
menularkan pada orang lain setelah orang tersebut terinfeksi dengan
kuman tuberkulosis.
c. Perkembangan lanjut dari kuman tuberkulosis sampai penderita
sembuh atau meninggal karena penyakit ini.
2.1.10. Patologi Penyakit Tuberkulosis Paru
1. Infeksi Primer
Pada penyakit tuberkulosis paru sumber infeksi adalah
manusia yang mengeluarkan basil tuberkel dari saluran pernapasan,
kontak yang rapat (misalnya dalam keluarga) menyebabkan banyak
kemungkinan penularan melalui inti droplet. Infeksi primer terjadi
saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman tuberkulosis,
droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan
sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai
saat kuman tuberkulosis paru berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan didalam
paru, saluran linfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai
komplek primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai
pembentukan komplek primer adalah 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya
perubahan reaksi tuberculin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan
setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya
perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian ada
beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persistent atau
dormant (tidur), kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa
bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis paru.
Masa inkubasinya yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi
sampai menjadi sakit diperkirakan selama 6 bulan.12
2. Tuberkulosis Paru Pasca Primer ( Post Primary Tuberculosis
Paru) :
Tuberkulosis paru pasca primer biasanya terjadi setelah
beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena
daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi
yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paru pasca primer adalah
kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi
pleura.
3. Komplikasi pada penderita tuberkulosis paru
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut :
a. Hemoptisis berat (Perdarahan dari saluran napas bawah) yang
dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau
tersumbatnya jalan nafas.
b. Kolaps dari lobus akibat retraksibronchial.
c. Bronkiektasis (Pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis
(pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif)
d. Pneumothorak (Adanya udara di dalam rongga pleura) spontan,
kolap spontan karena kerusakan jaringan.
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang,
persendian, ginjal, dan sebagainya.
f. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary
Insufficiency).
2.1.11. Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru
Mencegah lebih baik dari pada mengobati, kata-kata itu selalu
menjadi acuan dalam penanggulangan penyakit TB-Paru di masyarakat.
Adapun upaya pencegahan yang harus dilakukan adalah : (Depkes RI,
2002)
1. Penderita tidak menularkan kepada orang lain:
a. Menutup mulut pada waktu batuk dan bersin dengan sapu
tangan atau tissu.
b. Tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama
pengobatan.
c. Tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang
diberi lysol, kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun
dalam tanah.
d. Menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari.
e. Membuka jendela pada pagi hari, agar rumah mendapat udara
bersih dan cahaya matahari yang cukup sehingga kuman
2. Masyarakat tidak tertular dari penderita tuberkulosis paru:
a. Meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain dengan makan-
makanan yang bergizi.
b. Tidur dan istirahat yang cukup
c. Tidak merokok dan tidak minum-minuman yang mengandung
alkohol.
d. Membuka jendela dan mengusahakan sinar matahari masuk ke
ruang tidur dan ruangan lainnya.
e. Imunisasi BCG pada bayi.
f. Segera periksa bila timbul batuk lebih dari tiga minggu.
g. Menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita
Tuberkulosis Paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan
daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap
menular.
2.1.12. Pengobatan Penyakit Tuberkulosis Paru 1. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kumanterhadap OAT
Tabel 2.1 Jenis, Sifat dan Dosis OAT
Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan
(mg/kg)
Harian 3x Semingu
Isoniazid (H) Bakterisid 5
(4-6)
10 (8-12)
Rifampicn (R) Bakterisid 10
(8-12)
10 (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25
(20-30)
35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15
(12-18)
15 (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15
(15-20)
30 (20-35)
2. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip
sebagai berikut :
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT
– KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif
Tahap awal (intensif)
- Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari
dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah
terjadinya resistensi obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular
dalam kurun waktu 2 minggu.
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih
sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
3. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
a. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis diIndonesia:
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat
sisipan (HRZE)
- Kategori Anak: 2HRZ/4HR
b. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam
sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam
bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.
c. Paket Kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket,
yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol.
Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu
paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB :
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan
resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep.
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga
pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan
2.1.13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis
Paru
Teori John Gordon, mengemukakan bahwa timbulnya suatu
penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit
(agent), penjamu (host), dan lingkungan (environment). Ketiga faktor
penting ini disebut segi tiga epidemiologi (Epidemiologi Triangle),
hubungan ketiga faktor tersebut digambarkan secara sederhana sebagai
timbangan yaitu agent penyebab penyakit pada satu sisi dan penjamu
pada sisi yang lain dengan lingkungan sebagai penumpunya.
Bila agent penyebab penyakit dengan penjamu berada dalam
keadaan seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan sehat,
perubahan keseimbangan akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit,
penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan bobot agent penyebab
menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi sakit, demikian pula
bila agent penyakit lebih banyak atau lebih ganas sedangkan faktor
penjamu tetap, maka bobot agent penyebab menjadi lebih berat.
Sebaliknya bila daya tahan tubuh seseorang baik atau meningkat maka
ia dalam keadaan sehat. Apabila faktor lingkungan berubah menjadi
cenderung menguntungkan agent penyebab penyakit, maka orang akan
sakit, pada prakteknya seseorang menjadi sakit akibat pengaruh
berbagai faktor berikut :
1. Agent
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu anggota dari
Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan
sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya
infeksi tersering.
Di luar tubuh manusia, kuman Mycobacterium tuberculosis
hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak tahan
terhadap sinar matahari. Mycobacterium tuberculosis mempunyai
panjang 1-4 mikron dan lebar 0,2-0,8 mikron. Kuman ini melayang
diudara dan disebut droplet nuclei. Kuman tuberkulosis dapat
bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar
matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Tetapi kuman
tuberkulosis akan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol,
karbol dan panas api (Atmosukarto & Soewasti, 2000). Kuman
tuberkulosis jika terkena cahaya matahari akan mati dalam waktu 2
jam, selain itu kuman tersebut akan mati oleh tinctura iodi selama 5
menit dan juga oleh ethanol 80 % dalam waktu 2 sampai 10 menit
serta oleh fenol 5 % dalam waktu 24 jam.
Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada
umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan
kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 % volume sel
bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk
tuberkulosis. Mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu
dalam rentang 25 – 40 C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada
suhu 31-37 C.
2. Host
Manusia merupakan reservoar untuk penularan kuman
Mycobacterium tuberculosis, kuman tuberkulosis menular melalui
droplet nuclei. Seorang penderita tuberkulosis dapat menularkan
pada 10-15 orang (Depkes RI, 2002).
Hal yang perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi
karakteristik; gizi atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh, higiene
pribadi, gejala dan tanda penyakit dan pengobatan. Karakteristik
host dapat dibedakan antara lain; Umur, jenis kelamin, pekerjaan,
keturunan, ras dan gaya hidup.
Menurut Luciana (2011) TB paru berisiko pada seseorang
dengan karakteristik tertentu, seperti umur, jenis kelamin, status
gizi, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan kontak dengan
penderita.
a. Umur
Umur berperan dalam kejadian TB. Resiko untuk
mendapatkan penyakit TB tinggi di umur awal seseorang
dengan puncak pada kelompok usia dewasa dan menurun
kembali ketika usia tua. Di Indonesia 75% penderita TB paru
adalah kelompok usia 15-50 tahun. Kelompok usia 15-50 tahun
masuk dalam penduduk usia produktif, dimana seseorang yang
seperti bekerja, belajar, ataupun kegiatan lainnya. Seseorang
yang melakukan banyak aktivitas akan sering berinteraksi
dengan orang lain dan lingkungan. Interaksi tersebut dapat
memungkinkan terjadinya penularan TB paru. Penderita TB
paru BTA (+) dengan mudah dapat menularkan kuman TB
kepada lingkungan sekitarnya sehingga menyebabkan orang lain
terinfeksi kuman TB (Depkes RI, 2002).
b. Jenis kelamin
Penderita TB di afrika mayoritas menyerang laki-laki. Dari
hasil laporan WHO di Amerika Serikat tahun 1993-1998
diketahui bahwa penderita TB lebih banyak diderita oleh
laki-laki dibandingkan perempuan (Supriyano, 2003). Penderita TB
yang mayoritas terjadi pada pria dapat dipengaruhi oleh pola
aktivitas di luar rumah dan kebiasaan merokok berkaitan dengan
peningkatan kejadian TB, sedangkan aktivitas di luar rumah
yang tinggi dapat menyebabkan seseorang tertular kuman TB
oleh penderita TB paru BTA (+). Akan tetapi angka kematian
akibat tuberkulosis pada kelompok umur 15-50 tahun di Negara
maju lebih banyak diderita oleh perempuan dibandingkan
laki-laki.
c. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha yang sengaja (terencana,
terkontrol, dengan sadar dan dengan cara yang sistematis)
potensial itu lebih berkembang terarah kepada tujuan tertentu.
Dalam pelaksanaan pendidikan harus dapat diketahui bentuk
pendidikan yang diberikan, sasaran pendidikan, sifat pelaksaan
pendidikan, tujuan pendidikan. Proses pendidikan berlangsung
dalam suatu lingkungan atau tempat pendidkan berlangsung.
Pendidikan dapat berlangsung di keluarga, sekolah, dan
masyarakat. System pendidikan sekolah yang diterapkan di
Indonesia adalah pendidikan sekolah dasar (SD), sekolah
menegah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA),
perguruan tinggi (Nasution, 2004).
Pendidkan seseorang mempengaruhi pengetahuan dan
pandangan seseorang. Kelompok masyarakat dengan tingkat
pendidkan rendah umumnya adalah kelompok masyarakat
dengan status ekonomi rendah. Kelompok masyarakat tersebut
sulit untuk menyerap informasi, tidak terkecuali informasi
mengenai kesehatan. Selain itu kelompok masyarakat dengan
tingkat ekonomi dan pendidikan rendah juga tidak mampu
mencukupi gizi dan pengadaan sarana sanitasi yang diperlukan
(Supriyadi, 2003; Abebe et al, 2010).
d. Status Gizi
Indeks Masa Tubuh (IMT) atau Boddy Mass Index (BMI)
merupakan indikator untuk memantau status gizi pada kelompok
umur >18 tahun. Status gizi seseorang akan mempegaruhi risiko
mengalami malnturisi, menyebabkan penurunan fungsi paru,
perubahan analisis gas dalam darah, dan produktivitas kerja.
Seperti diketahui kuman tuberkulosis merupakan kuman yang
suka tidur hingga bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan
untuk bangun dan menimbulkan penyakit maka timbulah
kejadian penyakit tuberkulosis paru. Oleh karena itu salah satu
kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik. Selain itu,
status gizi buruk juga mempengaruhi daya tahan tubuh dimana
penurunan daya tahan tubuh berkaitan erat dengan peningkatan
infeksi kuman TB (Fatimah, 2008).
IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau
status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan.Penggunaan IMT hanya
berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun, IMT
tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan
olahragawan (Buku Praktis Ahli Gizi, 2003).Rumus perhitungan
IMT adalah sebagai berikut :
IMT = Berat badan (kg)
Tabel 2.2 Klasifikasi Index Masa Tubuh (IMT) Dewasa Menurut Kemenkes RI
Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat Badan
Kekurangan berat badan tingkat ringan
< 17,0 17,0 - 18,5
Normal >18,5 - 25,0
Gemuk Kelebihan Berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat berat
>25,0 - 27,0 >27,0
Sumber : Kemenkes RI, 2003
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Teten
Zalmi di Puskesmas Padang Pasir tahun 2008 menyebutkan
bahwa proporsi responden dengan keadaan status gizi kurang
pada kelompok kasus adalah 96,8%, sedangkan pada kelompok
kontrol 28,1% (Teten Zalmi, 2008).
Hasil penelitian tersebut sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Elvina Karyadi (2002) dari penelitian tersebut
disimpulkan bahwa pengidap TB Paru sebagian besar menderita
gizi kurang (IMT<18, 5kg/m2).
e. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan salah satu faktor predisposisi dari
perilaku. Faktor predisposisi adalah faktor yang menjadi dasar
atau motivasi bagi perilaku (Green, 2005 dalam Astrine 2012).
Pengetahuan tentang tuberkulosis merupakan dasar tindakan
pencegahan dan pengobatan. Ketidaktahuan masyarakat
menghalangi tindakan pencegahan TB paru. Dengan
mengerti tentang tindakan pencegahan sehingga tingkat kejadian
TB paru dapat diminimalisasikan.
Pengetahuan akan menimbulkan kesadaran seseorang dan
akhirnya akan menyebabkan orang tersebut berperilaku sesuai
dengan pengetahuan yang dimilikinya (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan dibagi kedalam 6 tingkat (Notoatmodjo, 2005),
yaitu :
a. Tahu : sebagai recall memori yang telah ada sebelumnya
setelah mengamati sesuatu.
b. Memahami : memahami objek bukan sekedar tahu,
bukan hanya sekedar menyebutkan, tapi orang tersebt
harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang
objek yang diketahui.
c. Aplikasi : apabila orang yang sudah memahami objek
yang dimaksud dapat menggunakan atau
mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada
situasi lain.
d. Analisis : kemampuan menjabarkan dan memisahkan
lalu mencari hubungan antar komponen-komponen yang
terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.
e. Sintesis : kemampuan untuk merangkum atau
meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari
f. Edukasi : kemampuan untuk memberikan justifikasi atau
penilaian terhadap objek tertentu.
Hasil survei prevalensi TB (2004) mengenai pengetahuan,
sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat
anggota keluarga yang menderita TB dan hanya 13% yang
menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76% keluarga
pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB
dapat disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat
menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan
TB dipahami oleh 51% keluarga dan hanya 19% yang
mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis (Kemenkes RI,
2011).
f. Pekerjaan
Jenis pekerjaan yang dimaksud disini adalah untuk
mengetahui tinggi rendahnya mobilitas seseorang, sehingga
mempengaruhi dia untuk terpapar kuman TBC. Semakin tinggi
mobilitas seseorang, semakin banyak orang yang kontak dengan
dia. Bila diantaranya ada yang menderita TBC dan kebetulan
kontak yang dilakukan cukup sering dan lama, maka risiko
penularan akan semakin tinggi. Selain itu pekerjaan juga
menunjukan aktifitas yang dilakukan seseorang, apakah
mempengaruhi daya tahannya atau tidak. Pekerjaan juga bisa
menggambarkan pendapatan yang dihasilkan sehingga bisa
g. Kontak dengan Penderita
Kontak dengan sumber penular merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya TB paru. Kontak erat adalah tinggal bersama
dalam rumah yang sama atau frekuensi sering bertemu antara
kontak dengan sumber penular (WHO, 2006). Faktor risiko
tersebut semakin besar bila kondisi lingkungan perumahan jelek
seperti kepadatan penghuni, ventilasi yang tidak memenuhi
syarat dan kelembaban dalam rumah merupakan media transisi
kuman TBC untuk dapat hidup dan menyebar. Untuk itu
penderita TBC dapat menularkan secara langsung terutama pada
lingkungan rumah, masyarakat di sekitarnya dan lingkungan
tempat bekerja, makin meningkatnya waktu berhubungan
dengan penderita memberi kemungkinan infeksi lebih besar
pada kontak (Akbar, 2010).
Berdasarkan penelitian Mahpudin dan Mahkota (2007)
didapatkan hasil bahwa ada hubungan bermakna antara kontak
dengan penderita yang tinggal serumah dengan kejadian TB
paru. Temuan ini sesuai dengan penelitin sebelumnya dimana
kontak dengan penderita TB paru yang tinggal serumah berisiko
41,8 kali dari pada yang tidak kontak. Kontak serumah
merupakan ancaman yang sangat serius bagi anggota keluarga
lainnya untuk menderita penyakit TB, karena itu merupakan
sumber penularan intensif yang berada disekitar kehidupan