• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Sub Model Tambahan Unit Satuan Terkecil Budidaya

Sub model ini bertujuan untuk menentukan rata-rata tingkat permintaan dari mulai tahun 2006 sampai tahun 2015 . Data aktual yang digunakan adalah selama delapan tahun dari mulai tahun 1998 sampai dengan tahun 2005. Sub model ini selanjutnya akan digunakan dalam proses perhitungan jumlah tambahan unit satuan terkecil yang dibutuhkan untuk memenuhi tingkat permintaan yang ada.

Metode perhitungan yang digunakan pada sub model ini adalah metode matematis regresi linier, metode persamaan kuadrat, eksponensial Brown’s, rata-rata bergerak, dan Fourier Analisis. Ketiga metode ini akan dibandingkan nilai determinasinya (R2), dan MSE (Mean Square Error). Metode yang dipilih untuk penentuan rata-rata tingkat prakiraan 10 tahun kedepan adalah metode yang memiliki nilai R2 mendekati satu atau sama dengan satu dan MSE terkecil. Prakiraan ini selanjutnya akan digunakan

dalam proses perhitungan tambahan unit satuan terkecil yang dibutuhkan untuk memenuhi tingkat permintaan tersebut.

a. Masukan Sub Model

Data historis sub model ini berasal dari tingkat permintaan daging ayam segar pada Tempat Pemotongan Ayam Pondok Rumput, Bogor mulai dari tahun 1998 hingga tahun 2005. Data permintaan daging ayam segar dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini.

Tabel 18 Tingkat permintaan ayam ras pedaging pada Tempat Pemotongan Ayam pondok rumput.

Tahun Tingkat Permintaan (ekor)

1998 438000 1999 474500 2000 511000 2001 547500 2002 638750 2003 655250 2004 689000 2005 723400

b. Keluaran Sub Model

Keluaran yang dihasilkan model ini adalah tingkat permintaan berdasarkan metode prakiraan dari mulai tahun 2006 sampai tahun 2015. Dari hasil perhitungan dengan metode persamaan kuadrat, regresi linier, rata-rata bergerak, eksponensial Brown’s, dan Fourier Analisis maka dapat dilihat hasil dari perbandingan tingkat permintaan berdasarkan ketiga metode prakiraan diatas pada Tabel 19.

Tabel 19 Hasil prakiraan tingkat permintaan pasar budidaya Tahun Persamaan kuadrat Linier Fourier Analisis Rata-rata bergerak Eksponensial Brown’s 2006 765026 777224 664593 689217 703363 2007 799679 820013 664422 700539 724181 2008 832705 862802 562017 704385 744999 2009 864103 905591 540721 698047 765817 2010 893873 948380 467929 700990 786635 2011 922017 991169 487656 701141 807454 2012 948533 1033958 426275 700059 828272 2013 973421 1076747 512527 700730 849090 2014 996683 1119536 515877 700643 869908 2015 1018316 1162325 591779 700478 890726 Rata-rata 901436 969775 543380 699622 797044

Prakiraan tingkat permintaan menggunakan metode Fourier Analisis menghasilkan data yang lebih aktual karena pada saat iterasi sebanyak 50 kali didapatkan nilai deteminasinya sebesar satu dan MSE sama dengan nol. Grafik tingkat permintaan berdasarkan metode Fourier Analisis dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19. Grafik prakiraan permintaan ayam ras pedaging di Tempat Pemotongan Ayam Pondok Rumput berdasarkan metode Fourier Analisis.

Pada dasarnya metode prakiraan tingkat permintaan pasar ini harus menggunakan satu metode pembanding atau lebih karena setiap data memiliki karakteristik yang berbeda. Dari grafik yang didapatkan maka dapat dilihat perbandingan nilai determinasinya (R2) dan MSE pada Tabel 20. USAHA BUDIDAYA 0 200000 400000 600000 800000 1000000 0 5 10 15 20 Tahun Ke- Tingkat Permintaan Data Perkiraan

Tabel 20 Perbandingan nilai determinasi (R2) dan MSE permintaan ayam ras pedaging

No Jenis Analisis Nilai MSE Nilai Determinasi (R2)

1 Regresi Linier 199.571.897 0.9797

2 Persamaan kuadrat 185.667.961 0.9811

3 Fourier Analisis (iterasi 50 kali) 0.00 1.0000

4 Eksponensial Brown’s (alpha = 0.2) 7.066.110.041 0.9500

5 Rata-rata bergerak tunggal (Leg = 3) 15.431.286.666 1.0000

Dari hasil yang didapatkan maka tingkat permintaan pasar yang digunakan adalah hasil prakiraan berdasarkan metode Fourier Analisis dengan rata-rata tingkat permintaan ayam ras pedaging sebanyak 543.380 ekor per tahun. Nilai BEP (Break Even Point) yang didapatkan adalah sebanyak 27.599 ekor dan rata-rata tingkat permintaan yang didapatkan dari metode Fourier Analisis adalah 543.380/tahun. Berdasarkan nilai BEP yang didapatkan maka tambahan unit satuan terkecil untuk memenuhi rata-rata tingkat permintaan adalah sebanyak 20 unit usaha dengan kapasitas per satuan unit terkecil sebanyak 25.900 ekor.

2. Sub Model Tambahan Unit Satuan Terkecil Usaha Agroindustri

Sub model ini bertujuan untuk menentukan tingkat permintaan pasar daging ayam segar dan agroindustri bakso ayam yang selanjutnya akan dijadikan dasar penentuan tambahan unit satuan usaha terkecil yang diperlukan untuk menutupi permintaan tersebut. Data aktual yang digunakan adalah selama delapan tahun dari mulai tahun 1998 sampai dengan tahun 2005.

Metode perhitungan yang digunakan pada Sub Model Prakiraan Unit Tambahan Usaha Agroindustri adalah metode matematis regresi linier, metode persamaan kuadrat, eksponensial Brown’s, rata-rata bergerak, dan Fourier Analisis. Ketiga metode ini akan dibandingkan nilai determinasinya (R2), dan MSE (Mean Square Error). Metode yang dipilih untuk penentuan rata-rata tingkat prakiraan 10 tahun kedepan adalah metode yang memiliki nilai R2 mendekati satu dan MSE terkecil. Prakiraan

ini selanjutnya akan digunakan dalam proses perhitungan tambahan unit satuan terkecil yang dibutuhkan untuk memenuhi tingkat permintaan tersebut.

a. Sub Model Tambahan Unit Satuan Terkecil Usaha Pasca Panen

a.1. Masukan Model

Data historis sub model ini berasal dari tingkat permintaan daging ayam segar pada Tempat Pemotongan Ayam Pondok Rumput, Bogor mulai dari tahun 1998 hingga tahun 2005. Data permintaan daging ayam segar dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini.

Data ini berasal dari tingkat permintaan daging ayam segar pada Tempat Pemotongan Ayam Pondok Rumput, Bogor. Data permintaan daging ayam segar dapat dilihat pada Tabel 21 berikut ini.

Tabel 21 Tingkat permintaan ayam ras pedaging di TPA Pondok Rumput, Bogor.

Tahun Tingkat Permintaan (aktual)

1 550785 2 596775 3 642400 4 688390 5 654800 6 724500 7 695600 8 734500

a.2. Keluaran Model

Keluaran yang dihasilkan model ini adalah tingkat permintaan berdasarkan metode prakiraan dari mulai tahun 2006 sampai tahun 2015. Dari hasil perhitungan dengan metode persamaan kuadrat, regresi linier, rata-rata bergerak, eksponensial Brown’s, dan Fourier

Analisis maka dapat dilihat hasil dari perbandingan tingkat permintaan berdasarkan ketiga metode rakiraan diatas pada Tabel 22.

Tabel 22 Perbandingan hasil prakiraan tingkat permintaan daging ayam segar Tahun Persamaan Kuadrat Linier Fourier Analisis Rata-rata bergerak Eksponensial Brown’s 2006 720643 767725 718197 718200 728468 2007 712981 791449 595093 716100 741507 2008 678825 838897 618062 719078 767584 2009 652331 862621 606454 719370 780623 2010 619559 886345 605999 720460 793662 2011 580511 910069 563410 719636 806701 2012 535185 933793 668234 719822 819740 2013 483583 957517 705414 719973 832779 2014 425703 981241 691392 719811 845818 2015 610836 874483 734169 719538 787142 Rata-Rata 610847 874487 650642 719538 787143

Prakiraan tingkat permintaan menggunakan metode Fourier Analisis menghasilkan data yang lebih aktual karena pada saat iterasi sebanyak 50 kali didapatkan nilai deteminasinnya sebesar satu karena grafik antara data aktual dan data hasil prakiraan tidak dapat dibedakan lagi. Grafik tingkat permintaan berdasarkan metode Fourier Analisis dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Grafik prakiraan permintaan daging ayam segar di Tempat Pemotongan Ayam Pondok Rumput berdasarkan metode Fourier Analisis.

Pada dasarnya metode prakiraan tingkat permintaan pasar ini harus menggunakan satu metode pembanding atau lebih karena setiap data memiliki karakteristik yang berbeda. Dari grafik yang didapatkan

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000 900000 0 5 10 15 20 Tahun ke- Tingkat Permintaan Data Perkiraan

maka dapat dilihat perbandingan nilai determinasinya (R2) dan MSE pada Tabel 23.

Tabel 23 Perbandingan nilai determinasi (R2) dan MSE tingkat permintaan daging ayam segar

No Jenis Analisis Nilai MSE Nilai Determinasi (R2)

1 Regresi Linier 549.88.545 0.78

2 Persamaan kuadrat 343.025.30290 0.81

3 Fourier Analisis 0.00 1.0000

4 Eksponensial Brown’s (alpha = 0.2) 3.191.698.309 0.8200

5 Rata-rata bergerak tunggal (Leg = 3) 2.873.570.700 0.2600

Dari hasil yang didapatkan maka tingkat permintaan pasar yang digunakan adalah hasil prakiraan berdasarkan metode Fourier Analisis dengan rata-rata tingkat permintaan daging ayam segar sebanyak 650.642 kg per tahun. Dari hasil rata-rata permintaan yang didapatkan maka selanjutnya akan dilakukan dilakukan perhitungan tambahan unit satuan terkecil yang dibutuhkan untuk memenuhi tingkat permintaan tersebut.

Nilai BEP (Break Even Point) yang didapatkan adalah sebanyak 176.303 ekor dan rata-rata tingkat permintaan yang didapatkan dari metode Fourier Analisis adalah 650.642 ekor/tahun. Berdasarkan nilai BEP yang didapatkan maka tambahan unit satuan terkecil untuk memenuhi rata-rata tingkat permintaan adalah sebanyak 3 unit dengan kapasitas per satuan unit terkecil 158.500 ekor.

b. Sub Model Prakiraan Pasar Agroindustri Bakso Ayam

b.1. Masukan Model

Data historis Sub Model Prakiraan Pasar agroindustri bakso ayam adalah mulai dari tahun 1998 hingga tahun 2005. Data ini berasal dari tingkat permintaan daging ayam segar di Toserba Yogya,

Bogor. Data permintaan daging ayam segar dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Tingkat permintaan bakso ayam di Toserba Jogya, Bogor

Tahun Tingkat Permintaan (aktual)

1 423566 2 427890 3 433445 4 425357 5 445463 6 455783 7 475344 8 488763 b.2. Keluaran Model

Keluaran yang dihasilkan model ini adalah tingkat permintaan berdasarkan metode prakiraan dari mulai tahun 2006 sampai tahun 2015. Dari hasil perhitungan dengan metode persamaan kuadrat, regresi linier, dan Fourier Analisis maka dapat dilihat hasil dari perbandingan tingkat permintaan berdasarkan ketiga metode prakiraan diatas pada tabel 25.

Tabel 25 Perbandingan hasil prakiraan tingkat permintaan bakso ayam Tahun Persamaan Kuadrat Linier Fourier Analisis Rata-rata bergerak Eksponensial Brown’s 2006 512685 488778 523028 473297 473877 2007 537921 498073 530955 479135 478197 2008 566342 507368 587922 480398 482517 2009 597950 516663 581848 477610 486837 2010 632746 525958 643165 479047 491157 2011 670730 535253 670393 479018 495477 2012 711893 544548 694721 478559 499797 2013 756251 553842 765371 478875 504117 2014 803796 563137 776972 478817 508437 2015 854540 572432 839366 478750 512757 Rata-rata 664488 530605 661374 4783506 4933170

Prakiraan tingkat permintaan menggunakan metode Fourier Analisis menghasilkan data yang lebih aktual karena pada saat iterasi sebannyak 50 kali didapatkan nilai deteminasinnya sebesar satu karena grafik antara data aktual dan data hasil prakiraan tidak dapat dibedakan

lagi. Grafik tingkat permintaan berdasarkan metode Fourier Analisis dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21. Grafik prakiraan permintaan bakso ayam di Toserba Yogya, Bogor menggunakan metode Fourier Analisis.

Pada dasarnya metode prakiraan tingkat permintaan pasar ini harus menggunakan satu metode pembanding atau lebih karena setiap data memiliki karakteristik yang berbeda. Dari grafik yang didapatkan maka dapat dilihat perbandingan nilai determinasinya (R2) dan MSE pada Tabel 26.

Tabel 26 Perbandingan nilai determinasi (R2) dan MSE tingkat permintaan bakso ayam

No Jenis Analisis Nilai MSE Nilai Determinasi (R2)

1 Regresi Linier 70.618.022 0.88

2 Persamaan kuadrat 17.276.006 0.96

3 Fourier Analisis (iterasi 50 kali) 0.05 1.0000

4 Eksponensial Brown’s (alpha = 0.2) 442.761.286 0.9700

5 Rata-rata bergerak tunggal (Leg = 3) 543.541.965 0.8400

Dari hasil yang didapatkan maka tingkat permintaan pasar yang digunakan adalah hasil prakiraan berdasarkan metode Fourier Analisis dengan rata-rata tingkat permintaan bakso ayam sebanyak 661.374 butir per tahun. Dari hasil rata-rata permintaan yang didapatkan maka selanjutnya akan dilakukan dilakukan perhitungan kemampuan kapasitas produksi agroindustri bakso ayam dalam memenuhi tingkat permintaan tersebut.

Nilai BEP (Break Even Point) yang didapatkan adalah sebanyak 767.410 butir dan rata-rata tingkat permintaan yang

AGROINDUSTRI BAKSO AYAM

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 0 5 10 15 20 Tahun ke- Tingkat Permintaan Data Perkiraan

didapatkan dari metode Fourier Analisis adalah 661.374 butir/tahun. Berdasarkan nilai BEP yang didapatkan maka tambahan unit satuan terkecil tidak ada karena nilai BEP yang didapatkan masih bisa memenuhi rata-rata tingkat permintaan yang ada.

3. Sub Model Lokasi Unggulan Usaha Pasca Panen

Model ini merupakan model untuk menentukan lokasi unggulan untuk pengembangan usaha pasca panen. Penentuan parameter, kriteria, bobot kriteria, penilaian, dan skor pada model ini dilakukan melalui wawancara dengan pakar yaitu pemilik rumah potong pondok rumput. Alternatif lokasi yang dipilih adalah lima lokasi yang memiliki jumlah ayam ras pedaging yang paling banyak pada tahun 2004.

a. Masukan Model

Masukan Sub Model Penentuan Lokasi Unggulan Usaha Pasca Panen terdiri atas Data Kondisi Lokasi, Data Kriteria Penilaian, Data Bobot Kriteria, dan Data Bobot Lokasi.

b. Penilaian Alternatif Lokasi

Basis data dinamis yang digunakan adalah data kriteria dan bobot kriteria usaha pasca panen. Verifikasi untuk penentuan lokasi unggulan usaha pasca panen ini dilakukan di Kabupaten Bogor. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor terdapat lima daerah yang memiliki populasi ayam ras pedaging paling potensial yaitu Caringin, Bojong gede, Tajur halang, Gunung Sindur, dan Kemang. Informasi mengenai lima daerah dan jumlah populasi ayam ras pedaging yang paling potensial dapat dilihat dari Tabel 27.

Tabel 27 Kecamatan dan jumlah populasi ayam ras pedaging tahun 2004

No Kecamatan Jumlah populasi (2004)

1 Caringin 312942

2 Bojong Gede 526000

3 Tajurhalang 526461 4 Kemang 726568

5 Gunung Sindur 999018

Setiap lokasi dinilai berdasarkan enam kriteria penentuan lokasi agroindustri dengan memberikan nilai 3-9. Penentuan kriteria lokas ini lokasi terdiri dari enam yaitu ketersediaan lahan, Kemudahan akses dengan bahan baku, ketersediaan sarana utilitas (transportasi, sarana komunikasi, ketersediaan air, dan ketersediaan listrik), ketersediaan tenaga kerja, kemudahan akses dengan pemasaran, dan kondisi sosial budaya.

Ketersediaan lahan merupakan merupakan kriteria yang menggambarkan seberapa luas lahan kosong yang masih tersedia untuk mendirikan usaha agroindustri. Data luas wilayah menurut kecamatan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Lampiran 3. Kelima alternatif kecamatan, yaitu Caringin, Bojong gede, Tajur halang, Gunung Sindur, dan Kemang memiliki ketersediaan lahan yang cukup luas untuk pengembangan agroindustri.

Kemudahan akses dengan bahan baku merupakan kriteria yang menggambarkan kemudahan dalam mendapatkan bahan baku. Kriteria ini berhubungan dengan populasi ayam ras pedaging yang dimiliki lima alternatif kecamatan tersebut. Dari data jumlah populasi ayam ras pedaging pada Lampiran 1 didapatkan bahwa Kemang dan Gunung Sindur merupakan dua kecamatan yang memiliki populasi ayam ras pedaging dalam jumlah yang sangat besar sehingga dapat dikatakan bahwa kedua kecamatan tersebut memiliki akses yang sangat mudah dengan bahan baku.

Ketersediaan sarana utilitas terdiri dari sarana transportasi, sarana komunikasi, ketersediaan air, dan ketersediaan listrik. Sarana transportasi merupakan kriteria menggambarkan ketersediaan sarana transportasi dan kondisi jalan yang dapat mendukung kelancaran pengembangan agroindustri. Kriteria ini sangat penting terhadap kelancaran pasokan bahan baku dan pemasaran. Sarana komunikasi merupakan kriteria yang menggambarkan ketersediaan sarana komunikasi yang mendukung kelancaran pengembangan agroindustri. Kriteria ini berhubungan dengan kedekatan lokasi dengan perkotaan. Ketersediaan air merupakan kriteria yang menggambarkan ketersediaan air baik dari segi kuantitas maupun kualitas di lokasi tersebut. Ketersediaan air merupakan faktor yang penting dalam proses kegiatan agroindustri. pasokan air berasal dari Perusahaan daerah air Minum (PDAM), sumur, dan sungai yang melewati lokasi tersebut. Ketersediaan listrik merupakan kriteria yang menggambarkan menggambarkan baik atau tidaknya pasokan listrik di lokasi tersebut untuk mendukung kelancaran pengembangan agroindustri. Ketersediaan listrik merupakan faktor yang penting karena dalam proses kegiatan agroindustri terdapat alat-alat proses dan kantor yang memerlukan listrik sebagai sumber energi.

Ketersediaan tenaga kerja merupakan kriteria yang menggambarkan tingkat produktivitas tenaga kerja pada suatu lokasi alternatif. Penilaian dilakukan dengan memperhatikan data penduduk angkatan kerja tahun 2004 seperti pada Lampiran 3. Kecamatan Bojonggede memiliki ketersediaan tenaga kerja yang sangat baik.

Kondisi sosial budaya masyarakat merupakan kriteria yang menggambarkan sejauh mana dukungan masyarakat terhadap pengembangan agroindustri. Kriteria ini penting karena pengembangan agroindustri jangan sampai bertentangan dengan budaya dan hukum yang berlaku di masyarakat. Pengembangan

agroindustri daging ayam segar di Kabupaten Bogor tidak bertentangan dengan budaya setempat, sehingga masyarakat mendukung pengembangannya.

c. Keluaran Model

Model dirancang untuk menghitung nilai akhir dari masing- masing alternatif lokasi dan kemudian mengurutkan nilai akhir hasil perhitungan untuk masing-masing alternatif lokasi tersebut dari mulai lokasi dengan nilai tertinggi hingga lokasi dengan nilai terendah. Data penilaian alternatif lokasi yang telah diinput akan dihitung menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) untuk masing-masing alternatif lokasi. Lokasi yang memiliki nilai yang tertinggi merupakan lokasi unggulan untuk mendirikan agroindustri daging ayam segar. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 28 Hasil perhitungan sub model lokasi unggulan

No Kecamatan Nilai MPE

1 Bojong Gede 2507368

2 Tajurhalang 1734586

3 Gunung Sindur 1016532

4 Caringin 1002850

5 Kemang 167812

Berdasarkan hasil perhitungan model analisis lokasi unggulan seperti yang disajikan pada tabel 19 di atas, diketahui bahwa kecamatan Bojong Gede merupakan lokasi yang paling potensial untuk mendirikan agroindustri daging ayam segar. Tampilan dari sub model ini dapat dilihat pada Gambar 22.

Gambar 22. Tampilan dari sub model lokasi unggulan usaha pasca panen.

4. Sub Model Kelayakan Finansial Usaha Budidaya

Sub model ini digunakan untuk mengetahui perbedaan kelayakan investasi pada budidaya ayam ras pedaging berdasarkan perhitungan kelayakan investasi ini berdasarakan ekonomi syariah dan ekonomi konvensional. Parameter yang digunakan dalam kelayakan finansial ekonomi syariah adalah keuntungan bersih, Benefit/Cost Ratio (B/C Rasio), BEP (Break Event Point), dan PBP (Pay Back Period) sedangkan parameter untuk kelayakan finansial ekonomi

konvensional adalah keuntungan bersih, Benefit/Cost Ratio (B/C Rasio), IRR (Index Rate Of Return), BEP (Break Event Point),

NPV(Net Present Value), dan PBP (Pay Back Period).

Pada perhitungan kelayakan berdasarkan ekonomi konvesional menggunakan tingkat suku bunga 17% sedangkan pada ekonomi syariah tingkat suku bunga digantikan oleh tingkat risiko yaitu 17%. Tingkat risiko ini berguna untuk menggantikan tingkat suku bunga yang ada sehingga perhitungan tidak berdasarkan tingkat suku bunga karena dalam ekonomi syariah segala sesuatu yang

dihitung berdasarkan bunga adalah haram. Kriteria kelayakan dihitung berdasarkan parameter-parameter yang menyusun biaya usaha budidaya dengan umur proyek selama 10 tahun dan jadwal pengembalian modal adalah 5 tahun.

a. Masukan Model

Masukan untuk Sub Model Kelayakan Finansial Usaha Budidaya Ayam Ras Pedaging berasal dari Data Struktur Biaya Budidaya Ayam Ras Pedaging dan dari Data Analisis Risiko. Pada budidaya ayam ras pedaging ini didapatkan nilai risiko sebesar 0,56 dan merupakan risiko sedang sehingga bank hanya mengharapkan bagi hasil sebanyak 50% dari keuntungan yang didapatkan dan asuransi kegagalan usaha sebesar 6%. Hasil perhitungan nilai risiko untuk menentukan bagi hasil dan asuransi kegagalan usaha dapat dilihat pada Tabel 29.

Tabel 29 Hasil perhitungan bagi hasil dan asuransi kegagalan usaha

No. Jenis Resiko Bobot

1 Kebakaran 1

2 Bencana alam 0

3 Kecelakaan kerja 1

4 Produk tidak laku dipasaran 0 5 Kesulitan akses perbaikan mesin 0

6 Pencurian 1

7 Pemadaman listrik 1

8 Kelangkaan BBM 1

9 Kasus Flu Burung 0

Rata-Rata 0,56

Status Risiko Sedang

Bagi Hasil (%) 50%

Asuransi Kegagalan Usaha 6%

Biaya modal terdiri dari modal tetap dan modal kerja. Modal tetap untuk budidaya ayam ras pedaging ini adalah Rp 23.030.000 yang terdiri dari biaya tanah, bangunan, mesin dan peralatan sedangkan modal kerjanya adalah Rp 207.234.328 per tahun yang

terdiri dari biaya pembelian DOC (Day Old Chicken), biaya pakan, biaya OVK (obat dan vaksin), Cromax (anti lalat), biaya sekam, biaya tenaga kerja, dan biaya utilitas.

Sub Model Analisis kelayakan finansial Budidaya Ayam Ras Pedaging ini menggunakan dua asumsi yang berbeda yaitu asumsi untuk kelayakan investasi berdasarkan syariah dan asumsi untuk kelayakan investasi berdasarkan ekonomi konvensional. Asumsi kelayakan investasi berdasarkan ekonomi syariah adalah:

1) Pembiayaan musyarakah dengan modal dari bank 50% yaitu sebesar Rp 115.132.164,-

2) Karena peternak meminjam modal dari bank 50% maka peternak sudah mendapatkan pendapatan sebesar Rp 113.532.164 pada tahun pertama.

3) Umur proyek 10 tahun.

4) Pembayaran cicilan adalah Rp 23.026.433/tahun selama 5 tahun.

5) Tingkat risiko yang digunakan adalah 17%.

6) Dalam satu tahun peternak mengalami musim panen sebanyak 8 kali.

7) Tingkat keberhasilan produksi adalah 100% maksudnya adalah tidak ada ayam yang mengalami kematian dalam kandang. 8) Berat komoditas adalah 1,6 artinya bila jumlah ayam yang tejual

adalah 1000 ekor maka daging yang dihasilkan adalah 1600 kg. 9) Harga jual komoditas adalah Rp 8100/ekor.

10) Harga DOC adalah Rp 2700/ekor. 11) Harga pakan adalah Rp 2400/kg. 12) Harga cromax adalah Rp 10100/kg.

13) Total biaya OVK adalah Rp 1.237.291/bulan

14) FCR (Feed Cost Ratio) sandar yang digunakan adalah 1,8. 15) Intensif pasar sebesar Rp 1.000.000/bulan.

17) Biaya penyusutan adalah 10% dari harga awal mesin dan peralatan.

Sedangkan asumsi kelayakan investasi berdasarkan ekonomi konvensional adalah sebagai berikut:

1) Peternak meminjam modal dari bank 50% yaitu sebesar Rp 115.132.164,-

2) Biaya total pinjaman pada awal tahun pertama akan dikenai beban bunga yaitu 17% sehingga menjadi Rp 134.704.632 pada tahun pertama.

3) Pembayaran angsuran pokok ke bank setelah ditambahkan tingkat bunga adalah Rp 26.940.926/tahun selama 5 tahun. 4) Umur proyek 10 tahun.

5) Tingkat bunga pinjaman dari bank adalah 17%

6) Tingkat keberhasilan produksi adalah 100% maksudnya adalah tidak ada ayam yang mengalami kematian dalam kandang. 7) Dalam satu tahun peternak mengalami musim panen sebanyak

8 kali.

8) Berat komoditas adalah 1,6 artinya bila jumlah ayam yang tejual adalah 1000 ekor maka daging yang dihasilkan adalah 1600 kg.

9) Harga jual komoditas adalah Rp 8100/ekor. 10) Harga DOC adalah Rp 2700/ekor.

11) Harga pakan adalah Rp 2400/kg. 12) Harga cromax adalah Rp 10100/kg.

13) Total biaya OVK adalah Rp 1.237.291/bulan

14) FCR (Feed Cost Ratio) sandar yang digunakan adalah 1,8. 15) Intensif pasar sebesar Rp 1.000.000/bulan

16) Nilai sisa modal adalah 10%

17) Biaya penyusutan adalah 10% dari harga awal mesin dan peralatan.

c. Keluaran Sub Model

Dalam perhitungan kelayakan finansial budidaya ayam ras pedaging ini menggunakan 2 skenario. Dalam perhitungan berdasarkan ekonomi syariah harga jual komoditas diturunkan 1% dan 2%. Pada perhitungan kelayakan berdasarkan ekonomi konvensional harga komoditas diturunkan 2% dan 3%. Tujuan dari skenario ini adalah untuk melihat pengaruh penurunan harga jual komoditi terhadap kelayakan investasi budidaya ayam ras pedaging baik secara ekonomi syariah maupun berdasarkan ekonomi konvensional.

b.1. Kelayakan Berdasarkan Ekonomi Syariah

Pada kondisi normal dengan umur proyek 10 tahun, pembayaran cicilan kepada bank adalah Rp 23.026.433/tahun, tidak ada biaya pembayaran angsuran bunga, dan bagi hasil kepada bank adalah 50% dari pendapatan peternak. Hasil ketiga analisis dapat dilihat pada Tabel 30.

Tabel 30 Hasil perhitungan parameter kelayakan finansial usaha budidaya berdasarkan ekonomi syariah.

Parameter Kelayakan Kondisi awal Skenario I Skenario II

1. Keuntungan bersih Rp 38.562.007 Rp 31,563,607 Rp 29,814,007 2. B/C Ratio 1.26 1.01 0,94 3. PBP 7.90 tahun 9.94 tahun >10 tahun 4. BEP 27.599 ekor 28.615 ekor 28.883 ekor Hasil Analisis Layak Layak Tidak layak

Pada keadaan awal dengan tingkat risiko yang digunakan adalah 17% maka didapat keuntungan bersih Rp 38.562.007; B/C

Ratio 1.26; PBP 7.90 tahun; dan 27.599 ekor. Perhitungan kelayakan investasi dalam kondisi normal memperlihatkan bahwa nilai B/C Ratio diatas satu, PBP dibawah umur proyek yaitu 10 tahun dan pendapatan bersih bernilai positif.

Skenario I merupakan kondisi dimana harga jual komoditas mengalami penurunan sebanyak 4% sehingga harga pada kondisi normal yaitu Rp 8100/ekor menjadi Rp 7776/ekor. Penurunan harga sebanyak 4% berpengaruh terhadap parameter kelayakan dimana keuntungan bersih sebesar Rp 31,563,607; B/C Ratio 1,01; PBP 9.94 tahun; dan BEP 28.615 ekor. Dengan kondisi harga jual komoditas menurun sebanyak 2% maka terlihat bahwa investasi ini masih dikatakan layak karena nilai parameter kelayakan investasi masih di dalam batas layak.

Skenario II merupakan kondisi dimana harga jual komoditas mengalami penurunan sebanyak 5% sehingga harga pada kondisi normal yaitu Rp 8100/ekor menjadi Rp 7695/ekor. Penurunan harga sebanyak 5% berpengaruh terhadap parameter kelayakan dimana pendapatan bersih Rp 29,814,007; B/C Ratio 0,94; BEP lebih dari 10 tahun; dan BEP 28.883 ekor. Pada kondisi ini terlihat bahwa investasi menjadi tidak layak pada saat harga jual komoditas

Dokumen terkait