BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Karakteristik Parkir
2.3.1 Volume Parkir
Volume parkir didefinisikan sebagai jumlah dari kendaraan yang menggunakan ruang parkir pada periode waktu tertentu. Waktu yang dipergunakan untuk parkir menyatakan lama parkir. Data jumlah parkir diperlukan untuk mengetahui penggunaan ruang parkir yang ada di lokasi penelitian (Hobbs, 1979).
Rumus :
Volume = Nin + X (Kendaraan) (2. 1)
Keterangan :
Nin : Jumlah kendaraan yang masuk selama waktu survei X : Kendaraan yang sudah ada sebelum waktu survei 2.3.2 Akumulasi Parkir
Akumulasi parkir didefinisikan sebagai jumlah seluruh dari kendaraan yang parkir pada periode tertentu. Akumulasi ini dapat dijadikan sebagai ukuran kebutuhan ruang parkir di lokasi penelitian.
Akumulasi = X + Ei β Ex (2. 2)
Keterangan :
Ei : Entry (jumlah kendaraan yang masuk pada lokasi parkir) (kend) Ex : Exit (kendaraan yang keluar pada lokasi parkir) (kend)
X : Kendaraan yang ada sebelum waktu survei (kend)
Dalam menghitung akumulasi parkir waktu yang di pakai biasanya dalam menit maupun jam untuk menyatakan lamanya parkir.
2.3.3 Lama Parkir (Durasi)
Lama Parkir (Durasi) adalah lamanya suatu kendaraan berada pada tempat parkir tertentu. Suatu ruang parkir dapat menampung lebih banyak kendaraan jika waktu parkirnya singkat dibandingkan dengan ruang parkir yang digunakan parkir oleh kendaraan dalam waktu yang lama. Menurut waktu yang digunakan untuk parkir, maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
7 1. Parkir waktu singkat dimana pemarkir menggunakan ruang parkir kurang dari
satu jam.
2. Parkir waktu sedang dimana pemarkir menggunakan ruang parkir antara satu sampai empat jam dan untuk keperluan belanja.
3. Parkir waktu lama dimana pemarkir menggunakan ruang parkir lebih dari empat jam dan biasanya untuk keperluan kerja.
Rata-rata lamanya parkir dari seluruh kendaraan selama waktu survei dapat diketahui dari rumus berikut (Oppenlander, 1976) :
π· = (2. 3)
Keterangan :
D : Rata-rata lamanya parkir (jam/kendaraan)
Nx : Jumlah kendaraan yang parkir selama interval waktu survei X : Jumlah interval kendaraan
I : Interval waktu survei
Nt : Jumlah total kendaraan selama waktu survei 2.3.4 Tingkat Pergantian Parkir (Parking Turn Over)
Tingkat pergantian parkir adalah tingkat penggunaan ruang parkir yang diperoleh dengan membagi jumlah total kendaraan yang parkir dengan jumlah petak yang ada pada periode waktu tertentu. Persamaan yang digunakan (Oppenlander, 1976):
ππ = (2. 4)
Keterangan :
TR : Tingkat pergantian parkir kendaraan (Kendaraan/petak/jam) Nt : Jumlah total kendaraan selama survei (kend)
S : Jumlah petak parkir yang ada (petak) Ts : Lama waktu penelitian (jam)
2.3.5 Kapasitas Parkir
Kapasitas Parkir adalah banyaknya kendaraan yang dapat dilayani oleh suatu area parkir selama waktu tertentu. Kapasitas parkir dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
πΎπ = π/π· (2. 5)
Keterangan :
8 KP : Kapasitas parkir (kend/jam)
S : Jumlah total petak resmi yang ada D : Rata-rata lamanya parkir (jam/kend) 2.3.6 Penyediaan Ruang Parkir (Parking Supply)
Penyediaan ruang parkir (parking supply) adalah batas ukuran yang memberikan gambaran mengenai banyaknya kendaraan yang dapat diparkir pada daerah studi selama periode survei. Parking Supply dapat dihitung dengan rumus berikut (Oppenlander, 1976) :
ππ = (2. 6)
Keterangan :
Ps : Parking Supply (Kend) S : Jumlah total petak resmi Ts : Lamanya waktu survei (jam)
D : Rata-rata lamanya parkir selama periode survei (jam/kend) F : Insufficiency factor (0,85-0,95)
2.3.7 Indeks Parkir
Indeks parkir merupakan perbandingan antara akumulasi parkir dengan kapasitas parkir. Indeks parkir dipergunakan untuk mengetahui apakah jumlah petak parkir yang tersedia di lokasi penelitian memenuhi atau tidak untuk menampung kendaraan yang parkir. Melalui indeks parkir inilah nantinya akan dapat dilihat apakah parkir mempunyai masalah atau tidak. Indeks parkir dapat dihitung dengan rumus :
πΌπππππ ππππππ = π΄ππ’ππ’πππ π ππππππ/πΎππππ ππ‘ππ ππππππ (2. 7) IP > 1 : Kebutuhan parkir melebihi daya tampung atau terjadi masalah parkir.
IP = 1 : Kebutuhan parkir seimbang dengan daya tampung yang tersedia.
IP < 1 : Kebutuhan parkir masih di bawah daya tampung yang tersedia sehingga tidak ada masalah parkir.
2.4 Pengendalian Parkir
Pengendalian parkir bertujuan untuk mengurangi permasalahan parkir, seperti kemacetan dan mencegah terjadinya hambatan arus kendaraan yang dapat mengganggu kinerja jalan. Apabila permintaan parkir (demand) melebihi penyediaan ruang parkir (supply), maka peran ruang, waktu dan ongkos parkir (tarif) sebagai wacana
9 pengendalian parkir sangat berpengaruh. Metode-metode pengendalian yang umum dilakukan yaitu (Departemen Perhubungan, 1998):
1. Sistem Karcis
Para pengemudi memarkir kendaraannya mendapatkan karcis dari juru parkir, pada karcis berisi jam masuk kendaraan dan nomor pelat kendaraan.
2. Alat Pengukur Parkir
Berisikan jam pengukur waktu dimana berfungsi untuk mengukur lamanya parkir.
3. Sistem Kartu dan Disk
Dengan sistem ini pemilik kendaraan diminta untuk menyerahkan kartu/disk yang memperlihatkan waktu kedatangan kendaraan. Peraturan setempat akan menentukan batas waktu kendaraan tersebut.
2.5 Standar Kebutuhan Parkir
Salah satu permasalahan parkir adalah kebutuhan ruang. Kebutuhan ruang parkir berbeda antar satu dengan lainnya, tergantung dari beberapa hal seperti : jenis pelayanan, tarif yang diberlakukan, ketersediaan ruang parkir, tingkat kepemilikan kendaraan dan tingkat pendapatan masyarakat. Penyediaan ruang dalam kota dibatasi oleh wilayah kota yang ada dan tata guna lahannya (Warpani, 1990).
Standar kebutuhan parkir adalah jumlah luas areal parkir yang dibutuhkan untuk menampung kendaraan berdasarkan fasilitas dan tata guna lahan. Kebutuhan parkir berbeda-beda untuk setiap jenis dan fungsi tata guna lahan, daerah/ kawasan pada suatu Negara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di tabel berikut :
Tabel 2. 1 Kebutuhan ruang parkir beberapa guna lahan
Guna Lahan Luas untuk parkir
Kawasan tempat kerja, usaha, ilmu pengetahuan, seni budaya, daerah perdagangan, jasa
1/4 dari luas lantai bangunan
Untuk kawasan industri ringan, industri berat
1/8 dari luas lantai bangunan
Tempat tinggal untuk umum : hotel, losmen dan sejenisnya
Tiap satu kamar, perlu satu petak parkir
Sumber : Warpani (1990)
10 2.6 Satuan Ruang Parkir
Satuan Ruang Parkir (SRP) adalah ukuran luas efektif untuk kebutuhan suatu kendaraan termasuk ruang bebas dan bukaan pintu mobil. Satuan Ruang Parkir (SRP) digunakan untuk mengukur kapasitas ruang parkir. Untuk ruang bebas kendaraan parkir diberikan pada arah lateral dan longitudinal kendaraan. Ruang bebas arah lateral ditetapkan pada saat posisi pintu kendaraan terbuka yang diukur dari ujung paling luar pintu ke badan kendaraan parkir yang ada disampingnya. Ruang bebas arah memanjang diberikan didepan kendaraan untuk menghindari benturan dengan dinding atau kendaraan yang lewat jalur gang. Untuk lebar bukaan pintu merupakan karakteristik pemakai kendaraan yang memanfaatkan fasilitas parkir. Mobil penumpang diklasifikasikan menjadi tiga golongan yang didasarkan atas bukaan pintu kendaraan yang dapat dilihat pada tabel.
Tabel 2. 2 Lebar bukaan pintu kendaraan
Jenis Bukaan Pintu Penggunaan dan/atau peruntukan fasilitas parkir
Gol.
Pintu depan/ belakang terbuka tahap awal 55 cm
Karyawan/pekerja kantor
Tamu/pengunjung pusat kegiatan perkantoran, perdagangan, pemerintahan, universitas
I
Pintu depan/ belakang terbuka penuh 75 cm
Pengunjung tempat olahraga, pusat hiburan/rekreasi, hotel, pusat perdagangan eceran swalayan, rumah sakit dan bioskop
II
Pintu depan terbuka penuh dan ditambah untuk pergerakan kursi
Orang disabilitas III
Sumber : Abubakar (1998)
11 Penentuan satuan ruang parkir dibagi atas tiga jenis kendaraan seperti pada tabel berikut :
Tabel 2. 3 Penentuan Satuan Ruang Parkir
No Jenis Kendaraan Satuan Ruang Parkir (m2)
1 a. Mobil Penumpang Golongan I 2,30 x 5,00 b. Mobil Penumpang Golongan II 2,50 x 5,00 c. Mobil Penumpang Golongan III 3,00 x 5,00
2 Bus/Truk 3,40 x 12,50
3 Sepeda Motor 0,75 x 2,00
Sumber : Abubakar (1998)
Berikut adalah gambar dimensi satuan ruang parkir :
Gambar 2. 1 Satuan Ruang Parkir (SRP) untuk Sepeda Motor (dalam cm)
Sumber : Dephub, 1998
Gambar 2. 2 Satuan Ruang Parkir (SRP) untuk Mobil Penumpang (dalam cm)
Sumber : Dephub, 1998
12 Keterangan :
B : Lebar total kendaraan L : Panjang total
O : Lebar bukaan pintu arah longitudinal a1,a2 : Jarak bebas
R : Jarak bebas arah lateral Bp : Lebar SRP
Lp : Panjang SRP Tabel 2. 4 Dimensi Gambar Gol I B = 170
Sumber : Dephub, 1998
2.7 Kondisi Geometrik
Untuk menghitung kinerja ruas jalan, hal yang harus diketahui adalah data kondisi geometrik jalan dan kondisi lingkungan yang ada di lapangan. Yang dimaksud kondisi geometrik jalan menurut Departemen Pekerjaan Umum, 1997 adalah:
1. Jalur gerak
Bagian jalan yang telah direncanakan untuk kendaraan bermotor lewat, berhenti, dan parkir (termasuk bahu jalan).
2. Median jalan
Daerah yang merupakan pemisah arah lalu lintas pada segmen jalan.
3. Lebar jalur
Lebar jalur merupakan area yang dilewati kedaraan (tidak termasuk bahu jalan).
13 4. Lebar jalur efektif
Lebar rata-rata yang tersedia untuk pergerakan lalu lintas setelah pengurangan akibat parkir tepi jalan, atau penghalang sementara lain yang menutup jalur lalu lintas.
5. Trotoar
Bagian jalan yang diperuntukan bagi pejalan kaki yang biasanya sejajar dengan jalan dan dipisahkan dari jalur jalan oleh kereb.
6. Lebar bahu
Lebar bahu di sisi jalur lalu lintas yang direncanakan untuk kendaraan berhenti dan kendaraan berkecepatan rendah.
7. Lebar bahu efektif
Lebar bahu yang sesungguhnya tersedia untuk digunakan, setelah pengurangan akibat penghalang seperti pohon, kios sisi jalan, dan sebagainya.
8. Panjang jalan
Panjang segmen jalan yang diamati (termasuk persimpangan kecil).
9. Kereb
Penonjolan/peninggian tepi perkerasan/bahu jalan yang terutama dimaksudkan untuk keperluan-keperluan drainase untuk mencegah keluarnya kendaraan dari tepi perkerasan dan memberikan ketegasan tepi perkerasan.
2.8 Jalan
Jalan merupakan suatu landasan yang digunakan untuk melewatkan lalu lintas dari suatu tempat ke tempat yang lain. Maka dari itu jalan raya harus dibuat dengan aman, cepat, tepat, nyaman, efisien, dan ekonomis. Agar transportasi jalan dapat berjalan secara aman dan efisien maka perlu menyiapkan suatu jaringan transportasi yang baik. Jaringan transportasi akan sangat berpengaruh terhadap kegiatan masyarakat sehari-harinya.
2.8.1 Tipe Jalan
Pada tipe jalan akan menunjukan kinerja yang berbeda pada pembebanan lalu lintas tertentu, tipe jalan ditunjukan dengan potongan melintang jalan yang ditunjukan oleh jumlah lajur dan arah pada setiap segmen jalan (MKJI, 1997).
14 Tipe jalan untuk jalan perkotaan yang digunakan dalam MKJI 1997 dibagi
menjadi 4 bagian antara lain:
1. Jalan dua lajur dua arah tak terbagi (2/2 UD)
Gambar 2. 3 Jalan dua lajur dua arah tak terbagi (2/2 UD) 2. Jalan empat lajur dua arah
a. Tak terbagi (yaitu tanpa median) (4/2 UD)
Gambar 2. 4 Jalan Empat Jalur Dua Arah Tak Terbagi (4/2 UD) b. Terbagi (yaitu dengan median) (4/2 UD)
Gambar 2. 5 Jalan Empat Jalur Dua Arah Terbagi (4/2 D)
15 3. Jalan enam lajur dua arah terbagi (6/2 D)
Gambar 2. 6 Jalan Enam Lajur Dua Arah Terbagi (6/2 D) 4. Jalan satu arah
Gambar 2. 7 Jalan Satu Arah
2.8.2 Jumlah Lajur
Jumlah lajur ditentukan dari marka lajur atau lebar lajur efektif untuk segmen jalan.
1. Lebar jalur efektif 5 β 10,5 m, jumlah lajur 2.
2. Lebar jalur efektif 10,5 β 16 m, jumlah lajur 4.
2.8.3 Ukuran Kota
Ukuran kota (city size) adalah jumlah penduduk di dalam kota (juta). Lima kelas ukuran kota ditentukan sebagai berikut:
16 Tabel 2. 5 Kelas Ukuran Kota
Ukuran Kota (Juta Penduduk) Kelas Ukuran Kota (CS)
< 0,1 Sangat kecil
0,1 β 0,5 Kecil
0,5 β 1,0 Sedang
1,0 β 3,0 Besar
> 3,0 Sangat Besar
Sumber: Departemen P.U. 1997
2.9 Kinerja Ruas Jalan
Kinerja ruas jalan adalah ukuran kuantitatif yang menggambarkan kondisi dari fasilitas lalu lintas seperti yang dinilai oleh Bina Marga Departemen P.U. tahun 1997. Di bawah ini merupakan parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan kinerja ruas jalan.
2.9.1 Arus dan Komposisi Lalu Lintas
Arus lalu lintas (Q) adalah jumlah kendaraan bermotor yang melalui titik pada jalan per satuan waktu, dinyatakan dengan kend/jam atau smp/jam. Nilai arus lalu lintas (Q) mencerminkan komposisi lalu lintas, dengan menyatakan arus dalam satuan mobil penumpang (smp). Semua nilai arus lalu lintas (per arah dan total) diubah menjadi satuan mobil penumpang (smp) dengan menggunakan ekivalen mobil penumpang (emp) yang diturunkan secara empiris tipe kendaraan berikut:
1. Kendaraan tak bermotor/Un Motorized (UM) termasuk sepeda, becak, kereta kuda, dan gerobak.
2. Sepeda Motor/Motor Cycle (MC) termasuk sekuter dan kendaraan bermotor beroda dua.
3. Kendaraan ringan/Light Vehicle (LV) termasuk mobil penumpang, mini bus, pick up, dan jeep.
4. Kendaraan berat/Heavy Vehicle (HV) termasuk bus dan truk.
Pengaruh kendaraan tak bermotor dimasukkan sebagai kejadian terpisah dalam faktor penyesuaian hambatan samping. Untuk kendaraan ringan/Light Vehicle (LV), nilai emp selalu 1.00. Nilai ekivalensi mobil penumpang ditampilkan pada Tabel 2.6.
17 Tabel 2. 6 Emp untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi
Tipe Jalan:
Kapasitas jalan dijelaskan sebagai arus maksimum yang melintasi suatu titik/garis pengamatan di jalan yang dapat dipertahankan per satuan waktu pada saat lalu lintas sesuai dengan kondisi lapangan. Untuk jalan dua lajur dua arah, kapasitas ditentukan untuk arus 2 arah (kombinasi dua arah), tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per lajur.
Nilai kapasitas telah diamati melalui pengumpulan data lapangan. Karena lokasi yang mempunyai arus mendekati kapasitas segmen jalan sedikit, kapasitas juga telah diperkirakan dari analisa kondisi iringan lalu lintas, dan secara teoritis dengan mengasumsikan hubungan matematik antara kerapatan, kecepatan, dan arus, seperti persamaan di bawah ini. Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp).
Persamaan dasar untuk menentukan kapasitas adalah:
C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs (2.8)
Dimana:
C : Kapasitas (smp/jam) Co : Kapasitas dasar (smp/jam) FCw : Faktor penyesuaian lebar jalan
FCsp : Faktor penyesuaian pemisah arah (hanya untuk jalan tak terbagi) FCsf : Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan
FCcs : Faktor penyesuaian ukuran kota
18 Apabila kondisi sesungguhnya sama dengan kondisi dasar (ideal) yang ditetapkan sebelumnya, maka semua faktor penyesuaian menjadi 1,0 dan kapasitas menjadi sama dengan kapasitas dasar.
1. Kapasitas Dasar
Kapasitas dasar adalah kapasitas segmen jalan pada kondisi geometrik, pola arus lalu lintas dan faktor lingkungan yang ditentukan sebelumnya (ideal). Berikut tabel kapasitas dasar:
Tabel 2. 7 Kapasitas Dasar (Co) untuk Jalan Perkotaan Tipe Jalan Kapasitas Dasar
(smp/jam)
Catatan
Empat lajur terbagi atau jalan satu arah
1650 Per lajur
Empat lajur tak terbagi 1500 Per lajur
Dua jalur tak terbagi 2900 Total dua arah
Sumber: Departemen P.U. 1997
2. Faktor Penyesuain Lebar Jalan (FCw)
Faktor penyesuaian lebar jalan ditentukan berdasarkan jenis jalan dan lebar efektif jalur lalu lintas (Wc). Untuk mencari besarnya faktor penyesuaian lebar jalan yaitu dengan memasukkan nilai lebar jalur lalu lintas efektif (Wc) pada Tabel 2.8.
Tabel 2. 8 FCw pada Jalan Perkotaan
Tipe Jalan Lebar Jalur Lalu Lintas Efektif (Wc) (m)
FCw
Empat lajur dua arah terbagi atau jalan satu
arah (4/1 atau 2/1 D) Empat lajur dua arah tak
terbagi (4/2 UD)
Per lajur
3.00 0.91
19 Dua lajur dua arah tak
terbagi (2/2 UD)
Sumber: Departemen P.U. 1997
3. Faktor Penyesuaian Pemisah Arah (FCsp)
Faktor penyesuaian pemisah arah hanya untuk jalan tak terbagi. Secara umum reduksi kapasitas akan meningkat bila pemisahan arah makin menjauhi dari 50% - 50%. Pada jalan empat lajur reduksi kapasitas lebih kecil daripada jalan dua arah untuk pemisah arah yang sama. Sedangkan untuk jalan terbagi dan satu arah faktor penyesuaian kapasitas pemisah arah bernilai 1.0.
Tabel 2. 9 Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Pemisah Arah (FCsp) Pemisah Arah SP
Sumber: Departemen P.U. 1997
20 4. Faktor Penyesuaian Hambatan Samping (Fcsf)
Hambatan samping adalah dampak terhadap kinerja lalu lintas dari aktivitas samping segmen jalan, seperti pejalan kaki (bobot = 0,5) kendaraan umum/kendaraan lain berhenti (bobot = 1,0), kendaraaan masuk/keluar sisi jalan (bobot = 0,7) dan kendaraan lambat (bobot = 0,4). Untuk menentukan kelas hambatan samping maka data masing-masing kejadian dikalikan berbobot untuk mendapatkan frekuensi berbobot kejadian, selanjutnya dengan menggunakan Tabel 2.10 maka akan didapat kelas hambatan samping pada ruas jalan daerah studi.
Tabel 2. 10 Kelas Hambatan Samping untuk Jalan Perkotaan Kelas Hambatan
Samping (SFC)
Kode Jumlah Berbobot Kejadian per 200 m per jam (dua
sisi)
Kondisi Khusus
Sangat rendah VL < 100 Daerah
pemukiman; jalan samping tersedia.
Rendah L 100 β 299 Daerah
pemukiman;
beberapa angkutan umum; dsb.
Sedang M 300 β 499 Daerah industry;
beberapa toko sisi jalan.
Tinggi H 500 β 899 Daerah komersial;
aktivitas sisi jalan tinggi.
Sangat tinggi VH > 900 Daerah komersial;
aktivitas pasar sisi jalan.
Sumber: Departemen P.U. 1997
Faktor penyesuaian hambatan samping ditentukan berdasarkan jenis jalan, kelas hambatan samping, lebar bahu (atau jarak kereb ke penghalang) efektif, serta dibedakan berdasarkan jalan dengan bahu dan jalan dengan kereb.
21 a. Jalan dengan bahu
Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan bahu (FCsf) pada jalan perkotaan dapat dilihat pada Tabel 2.11
Tabel 2. 11 FCsf Hambatan Samping dan Lebar Bahu Tipe Jalan Kelas
Hambatan Samping
Faktor Penyesuaian untuk Hambatan Samping dan Lebar Bahu (FCsf)
Sumber: Departemen P.U. 1997
b. Jalan dengan Kereb
Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping (FCsf) berdasarkan jarak antara kereb dan penghalang pada trotoar dan hambatan samping tertera pada Tabel 2.12 di bawah ini.
Tabel 2. 12 FCsf Hambatan Samping dan Jarak Kereb Penghalang Tipe Jalan Kelas Hambatan
Samping
Faktor Penyesuaian untuk Hambatan Samping dan Jarak Kereb β Penghalang (FCsf)
Jarak: Kereb β Penghalang (FCsf)
22
Sumber: Depertemen P.U. 1997
5. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (FCcs)
Faktor penyesuaian ukuran kota (FCcs) ditentukan berdasarkan jumlah penduduk di kota ruas jalan yang bersangkutan berada. Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997 menyarankan reduksi terhadap kapasitas dasar bagi kota berpenduduk lebih dari 3 juta jiwa.
Tabel 2. 13 FCcs pada Jalan Perkotaan
Ukuran Kota (juta penduduk) Faktor Penyesuaian untuk Ukuran Kota (FCcs)
Sumber: Departemen P.U. 1997
23 2.9.3 Derajat Kejenuhan (DS)
Derajat kejenuhan (DS) merupakan pendefinisian sebagai rasio arus terhadap kapasitas, digunakan sebagai faktor utama dalam menentukan tingkat kinerja ruas jalan.
Nilai DS akan menunjukan apakah ruas jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Rumus Derajat Kejenuhan:
DS = Q/C (2.9)
Dimana:
DS : Derajat Kejenuhan Q : Arus Lalu Lintas C : Kapasitas Ruas Jalan
Derajat kejenuhan dihitung menggunakan arus dan kapasitas yang dinyatakan dalam smp/jam. Derajat kejenuhan digunakan untuk analisis perilaku lalu lintas berupa kecepatan.
2.9.4 Kecepatan
Kecepatan merupakan laju perjalanan yang biasa dinyatakan dalam kilometer per jam (km/jam). Kecepatan akan menentukan jarak yang dilalui pengemudi kendaraan dalam waktu tertentu. Pemakai jalan dapat menaikkan kecepatan untuk memperpendek waktu perjalanan ataupun sebaliknya. Nilai perubahan kecepatan adalah mendasar, tidak hanya untuk berangkat dan berhenti tetapi juga untuk arus lalu lintas yang dilalui.
Kecepatan adalah rasio jarak yang dijalani dan waktu perjalanan.
Hubungan yang ada adalah:
V = π/π‘ (2.10)
Dimana:
V : Kecepatan S : Jarak T : Waktu
Klasifikasi utama yang sering digunakan dalam analisis kecepatan adalah:
1. Kecepatan titik/sesaat (spot speed), yaitu kecepatan yang diukur pada saat kendaraan, melintasi suatu titik jalan.
2. Kecepatan perjalanan (travel speed), yaitu kecepatan efektif kendaraan yang sedang dalam perjalanan antara dua titik pengamatan dibagi dengan lama waktu perjalanan bagi kendaraan yang diamati.
24 3. Kecepatan bergerak (running speed), yaitu panjang suatu potongan jalan
tertentu dibagi waktu bergerak.
4. Kecepatan rata-rata waktu (time mean speed), yaitu kecepatan rata-rata dari semua kendaraan yang melewati suatu titik di jalan selama periode waktu tertentu.
5. Kecepatan rata-rata ruang (space mean speed) yaitu kecepatan rata-rata dari semua kendaraan yang melewati suatu potongan jalan selama periode waktu tertentu.
Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) menggunakan kecepatan tempuh sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan. Kecepatan tempuh didefinisikan sebagai kecepatan rata-rata dari kendaraan ringan sepanjang segmen jalan.
Pada penelitian ini, digunakan kecepatan rata-rata ruang (space mean speed) untuk mendapatkan nilai kecepatan rata-rata. Kecepatan rata-rata ruang dapat dinyatakan dalam Persamaan 2.11 sebagai berikut: (Tamin, 2008).
(2.11) Dimana:
Ss : Kecepatan Rata-Rata Ruang n : Jumlah Data
d : Jarak (km)
: Jumlah waktu (jam)
Namun sebelum menghitung kecepatan rata-rata, perlu dilakukan pilot survei terlebih dahulu. Dimana di pilot survei ini ditentukan seberapa jumlah sampel minimal yang dibutuhkan. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1. Melakukan survei pendahuluan
2. Berdasarkan besaran parameter data tersebut, dihitung a. Nilai rata-rata sampel (mean)
(2.12)
25 b. Standar deviasi (sd)
(2.13)
c. Spesifikasi tingkat ketelitian yang diinginkan sebesar 95%
yang berarti bahwa besarnya tingkat kesalahan sampel yang ditolerir tidak lebih dari 5%, ditunjukan dalam Tabel Distribusi Normal adalah 1,96% dari acceptable sampling error.
d. Pada tingkat ketelitian 95% maka besaran
Acceptable sampling error (Se) = 5% dari sampel mean Acceptable standard error Se(x) = Se / 1,96
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka besarnya jumlah sampel yang representatif dihitung dengan persamaan:
(2.14) Dimana:
nβ : Jumlah sampel representatif untuk populasi tak hingga n : Jumlah sampel representatif untuk populasi yang hingga N : Jumlah populasi
Se(X)2 : Acceptable standard error dikuadratkan Sd : Standar deviasi
Langkah-langkah perhitungan statistik diuraikan sebagai berikut:
1. Menghitung nilai rata-rata dan standar deviasi salah satu variabel dari sampel pendahulunya.
2. Menghitung variannya.
3. Menghitung besarnya acceptable sampling error.
4. Menghitung besarnya acceptable standard error.
5. Menghitung besarnya n (jumlah sampel representatif).
26 Pada analisis kecepatan kendaraan, diperlukan data pilot survei yang besarnya ditentukan dengan persamaan 2.14. Oleh sebab itu terlebih dahulu dilakukan survei pendahuluan untuk menentukan besar jumlah sampel yang diperlukan pada daerah studi dengan spesifikasi ketelitian 95%.
2.9.5 Kecepatan Arus Bebas
Kecepatan arus bebas didefinisikan sebagai kecepatan pada saat tingkatan arus nol, sesuai dengan kecepatan yang akan dipilih pengemudi seandainya mengendarai kendaraan bermotor tanpa halangan kendaraan bermotor lain di jalan (yaitu saat arus = 0).
Kecepatan arus bebas mobil penumpang biasanya 10 β 15 % lebih tinggi dari jenis kendaraan lainnya. Persamaan untuk menentukan kecepatan arus bebas pada jalan perkotaan mempunyai bentuk berikut :
FV = (FVO + FVW) x FFVSF x FFVCS (2.15)
Dimana :
FV : Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan (km/jam).
FVO : Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan pada jalan dan alinyemen yang diamati (km/jam).
FVW : Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas (km/jam).
FFVSF : Faktor penyesuaian hambatan samping dan lebar bahu/jarak kereb ke penghalang.
FFVCS : Faktor penyesuaian ukuran kota.
1. Kecepatan Arus Bebas Dasar (FVO)
Kecepatan arus bebas dasar ditentukan berdasarkan jenis jalan dan jenis kendaraan. Secara umum kendaraan ringan memiliki kecepatan arus lebih tinggi daripada kendaraan berat dan sepeda motor. Jalan terbagi memiliki kecepatan arus bebas lebih tinggi daripada jalan tidak terbagi. Bertambahnya jumlah lajur sedikit menaikkan kecepatan arus bebas. Untuk nilai kecepatan arus bebas dasar dapat dilihat pada Tabel 2.14
Tabel 2. 14 Kecepatan Arus Bebas (FVO) untuk Jalan Perkotaan
Tipe Jalan Kecepatan Arus Bebas (FVO) (km/jam)
Kendaraan Kendaraan Sepeda Semua Kendaraan
27 Ringan (KR) Berat (KB) Motor (SM) (rata-rata)
6/2 terbagi atau tiga
lajur satu arah 61 52 48 57
4/2 terbagi atau dua
lajur satu arah 57 50 47 55
4/2 tak terbagi 53 46 43 51
2/2 tak terbagi 44 40 40 42
Sumber : Departemen P.U. 1997
2. Faktor Penyesuaian Lebar Jalur Lalu Lintas (FVW)
Penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas ditentukan berdasarkan jenis jalan dan lebar jalur lalu lintas efektif (Wc). Pada jalan selain 2/2 UD pertambahan atau pengurangan kecepatan bersifat linier sejalan dengan selisihnya dengan lebar standar (3,5 meter). Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada jalan 2/2 UD terutama untuk Wc (2 arah) yang kurang dari 6 meter. Dapat dilihat pada Tabel 2.15
Penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas ditentukan berdasarkan jenis jalan dan lebar jalur lalu lintas efektif (Wc). Pada jalan selain 2/2 UD pertambahan atau pengurangan kecepatan bersifat linier sejalan dengan selisihnya dengan lebar standar (3,5 meter). Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada jalan 2/2 UD terutama untuk Wc (2 arah) yang kurang dari 6 meter. Dapat dilihat pada Tabel 2.15