• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergerakan IKOHI Sumatera Utara (Studi Deskriptif : Tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pergerakan IKOHI Sumatera Utara (Studi Deskriptif : Tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara)"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

PERGERAKAN IKOHI SUMATERA UTARA

(STUDI DESKRIPTIF : TENTANG PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT TAHUN 1965-1966 DI SUMATERA UTARA)

SKRIPSI

MEVA MARIATI

100906026

Dosen Pembimbing : Dr. Drs. Heri Kusmanto, M.A

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

MEVA MARIATI (100906026)

Pergerakan IKOHI Sumatera Utara (Studi Deskriptif : Tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Tahun 1965-1966 Di Sumatera Utara)

Rincian isi Skripsi xiii + 100 halaman, 2 bagan, 18 buku, 2 jurnal, 1 Majalah, 1 situs internet dengan berbagai berita, laporan dan artikel.

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia telah terjadi berbagai bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat, setelah runtuhnya rezim Orde Baru timbul kesadaran bangsa Indonesia dalam menyikapi permasalahan HAM yang terjadi dan telah mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam mengeluarkan ketetapan MPR tentang Hak Asasi Manusia dan juga dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Jika berbicara tentang pelanggaran HAM, telah banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, salah satu pelanggaran HAM yang saya angkat adalah Pelanggaran HAM Berat pada Tahun 1965-1966 yang terjadi setelah tragedi politik 1965, yaitu Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menggelar Operasi Kalong dan Operasi Trisula, mereka menangkap, menahan, dan menginterogasi orang-orang yang dituduh PKI diberbagai tempat. Selanjutnya, tanpa proses pengadilan, orang-orang itu dibuang ke kamp penahanan dan mereka mengalami berbagai bentuk penyiksaan dari yang ringan hingga berat. Diperkirakan 500 ribu sampai 3 juta orang dibunuh oleh pemerintahan Orde Baru pada tahun 1965-1966 di Sumatera Utara, namun hingga saat ini fakta ini ditutup-tutupi dan pelakunya tidak pernah diadili. IKOHI Sumatera Utara yang merupakan salah satu organisasi yang memperjuangkan pengungkapan pembenaran kasus yang terjadi pada tahun 1965-1966 adalah pelanggaran HAM yang Berat. IKOHI bertujuan mengungkap kasus ini secara transparan dan dipublikasikan secara luas dan diproses secara adil. Oleh karenanya, Pergerakan yang dilakukan oleh IKOHI dalam menyikapi masalah pelanggaran HAM berat Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara ini menjadi menarik untuk diteliti.

(3)

wadah keluarga korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara yang dianggap menjadi lawan politik negara dan orang-orang yang berusaha menegakkan dan mempertahankan hak politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan rakyat sebagai bentuk hak asasi manusia dan juga menjadi salah satu organisasi yang memperjuangkan pengungkapan pembenaran kasus yang terjadi pada tahun 1965-1966 yang bertujuan untuk mengungkapkan kasus ini secara transparan dan dipublikasikan secara adil, hingga sampai pada pembahasan inti dari kajian penelitian, yaitu untuk mendeskripsikan pergerakan dari IKOHI Sumatera Utara dan menganalisis hasil dari pergerakan yang dilakukan oleh IKOHI Sumatera Utara dalam memperjuangkan penegakan Hak Asasi Manusia Berat pada Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.

Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan Teori Hak Asasi Manusia, Teori Gerakan Sosial, dan Teori Civil Society. Sedangkan pendekatan dalam penelitian ini berjenis kualitatif, dengan teknik kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder, primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan, dan dilakukan dengan metode wawancara mendalam yang dipandu dengan pedoman wawancara. Sekunder yaitu data yang diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian yaitu berupa buku-buku, artikel, jurnal, berita dan majalah yang berkaitan dengan persoalan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.

Setelah dilakukan analisis, dilihat dari pergerakan yang dilakukan oleh IKOHI Sumatera Utara dalam menyikapi pelanggaran HAM berat yang terjadi pada Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara memang belum memiliki hasi yang nyata, tetapi IKOHI disini menjadi suatu organisasi gerakan sosial yang berfungsi untuk menekan (kelompok penekan) pemerintah (negara atau Komnas HAM) untuk segera mengungkap dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Berat yang terjadi pada tahun 1965-1966 di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Indonesia sebagai negara demokrasi, yang menjunjung tinggi penegakan HAM dan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi harus diusut sampai tuntas sehingga tidak adanya sikap pembiaran atas pelanggaran HAM yang terjadi dan inilah yang menjadi peran IKOHI. Karena masa pemerintahan Presiden SBY akan segera berakhir dan disusul dengan diadakan Pemilihan Presiden, diharapkan pemerintah yang akan datang dapat membawa perubahan terhadap bangsa dan negara ini, khususnya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dan diharapkan peristiwa kejahatan kemanusiaan ini tidak terulang kembali sehingga mencapai tujuan dari sebuah sistem demokrasi yaitu kesejahteraan rakyat yang didalamnya terdapat kebebasan oleh individu serta adanya pengakuan terhadap hak individu tersebut.

Kata Kunci:

(4)

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCES AND POLITICAL SCIENCES DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCES

MEVA MARIATI (100906026)

The Movement of IKOHI North Sumatra (Study Descriptive : About Serious Human Rights Abuses Year 1965-1966 In North Sumatra)

The Thesis xiii + 100 pages, 2 Schemas, 18 books, 2 journals, 1 Magazine, 1 website with various news, reports and articles.

ABSTRACT

Research it is based on historical development of the indonesian nation has happened various forms of human rights violations whether done by people and the state, after the collapse of the Orde Baru regime of Indonesia raised awareness in addressing human rights issues and has prompted the People's Consultative Assembly (MPR) in the Assembly issued a decree on Human Rights and also the establishment of the National Commission on Human Rights (Komnas HAM). When talking about human rights violations, human rights violations that have occurred in Indonesia, one of the human rights violations that I raised are serious human rights violations that occurred in the year 1965-1966 after political tragedy 1965, namely the Security Operations Command and Order (Kopkamtib) held Kalong Operation and Trisula Operation, they arrest, detain and interrogate people suspected PKI in various places. Furthermore, without a court proceeding, those people discarded into detention camps and torture they experienced various forms of mild to severe. An estimated 500 thousand to 3 million people were killed by the Orde Baru government in 1965-1966 in North Sumatra, but until now this fact is covered up and the perpetrators were never brought to justice. IKOHI North Sumatra is one of the organizations fight for justification the disclosure of cases in 1965-1966 is Serious human rights violations.IKOHI aims to uncovering this case in a transparent and widely publicized and processed fairly. Therefore, The movement of which performed by IKOHI in addressing the serious human rights violations in North Sumatra Year 1965-1966 be interesting to researched.

(5)

families of victims of human rights violations committed by the state which considered to be the state political opponents and those who seek to uphold and defend the rights of political, social, economic and cultural people as a form of human rights and also become one of the organizations fight for justification the disclosure of cases in 1965-1966 which aims to express this case in a transparent and published in a fair, up until the discussion of the core of the research study, namely to describe the movement of IKOHI North Sumatra and analyze the results of the movement performed by the North Sumatra IKOHI the enforcement in fighting Serious Human Rights in North Sumatra on 1965-1966.

As a theoretical foundation, this research using Theory of Human Rights, Theory of Social Movement and Theory of Civil Society. Whereas this type of research approaches in qualitative, descriptive qualitative techniques. Data collection techniques in this research uses primary and secondary data, primary data is obtained directly from the field, and in-depth interviews performed with methods which guided the interview guide. The secondary data obtained from the literature relevant to the title of the study is in the form of books, articles, journals, magazines and news related to the issue of human rights violations that occurred in the year 1965-1966 in North Sumatra.

After the analysis, viewed from the movement performed by IKOHI North Sumatra in addressing the human rights violations that occurred in the year 1965-1966 in North Sumatra did not have real results, but here IKOHI become a social movement organization that works to pressing the (pressure groups) government (state or Komnas HAM) to quickly uncovering and resolve cases of serious human rights violations that occurred in 1965-1966 in Indonesia, particularly in North Sumatra. Indonesia as a democratic country that upholds human rights and human rights violations that occurred must be investigated to completion so that the absence of nullifying the attitude of human rights violations and that is the role of IKOHI. Since the reign of the President SBY coming to an end and was followed by Presidential elections are held, the government is expected to come to bring change to this nation, especially in resolving cases of serious human rights violations that occurred in the pastand expected events atrocity does not happen again so as to achieve the goal of a democratic system is the welfare of the people in which there is freedom by individuals as well as the recognition of the rights of the individual.

Keywords:

(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh : Halaman Persetujuan

Nama : Meva Mariati

NIM : 100906026

Departemen : Ilmu Politik

Judul : Pergerakan IKOHI Sumatera Utara (Studi Deskriptif :

Tentang Pelanggaran HAM Berat Tahun 1965-1966 Di

Sumatera Utara)

Menyetujui :

Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing

(Dra. T. Irmayani, M.Si)

NIP. 196806301994032001 NIP. 196410061998031002

(Dr. Drs. Heri Kusmanto, M.A)

Mengetahui : Dekan FISIP USU

(

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Masa Esa

untuk setiap penyertaan, kekuatan dan kemampuan yang dianugerahkan-Nya

sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Ada begitu

banyak tantangan yang peneliti alami dalam penelitian dan penulisan skripsi ini.

Akan tetapi, Tuhan tetap sertai, berkati dan mampukan penulis untuk bisa

menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan

pendidikan Strata satu (S1) di Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Pergerakan IKOHI Sumatera Utara (Studi Deskriptif : Tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Tahun 1965 – 1966 di Sumatera Utara)”.

Proses penyelesaian skripsi ini berlangsung ketika penulis berada pada

semester kedelapan di Departemen Ilmu Politik, FISIP, USU. Hal ini terlaksana

karena banyak pihak yang turut mendukung penyelesaian skripsi ini. Oleh

karenanya peneliti ingin berterimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.

Si, sebagai Dekan FISIP USU. Kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si sebagai Ketua

Jurusan Departemen Ilmu Politik, Bapak Drs. P. Anthonius Sitepu, M.Si,

Sekretaris Departemen Ilmu Politik FISIP USU dan juga sebagai Penasehat

Akademik yang sudah mendukung mahasiswa seperti peneliti untuk meneliti

mengenai persoalan ini.

Peneliti juga berterimakasih kepada Bapak DR. Heri Kusmanto, MA

sebagai Dosen Pembimbing yang senantiasa memberikan waktu dan banyak

bimbingan berupa masukan dan kritik yang sangat membangun dalam

penyelesaian skripsi ini. Selanjutnya, peneliti ingin berterimakasih kepada seluruh

staf pengajar Departemen Ilmu Politik yang telah membimbing, menambah

wawasan dan pengetahuan peneliti selama perkuliahan. Terimakasih kepada

pegawai Departemen Ilmu Politik dan FISIP USU yang membantu penulis dalam

(9)

Dalam penulisan skripsi ini, secara khusus peneliti menyampaikan rasa

terima kasih kepada orangtua tercinta, Ayahanda Johan dan Ibunda Gui Miau Kie.

yang telah membesarkan, mendidik, menyayangi, mendukung dan mendoakan

peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada kakak-kakak tersayang

Eva Eliana dan Rosmerry, abang tersayang Johni Way, dan adik terkasih Andi.

Kepada Tante Tercinta Alena saya ucapkan terimakasih telah memberi dukungan,

semangat, nasehat dan doa kepada penulis selama ini dan juga kepada seluruh

keluarga besar peneliti yang tidak dapat di sebutkan satu persatu.

Peneliti juga mengucapkan terimakasih atas dukungan dari

sahabat-sahabat terkasih, Ervina dan Sally C. William dan kepada Sahabat-sahabat-sahabat yang

telah memberikan saya movitasi, semangat dan dukungan, Elizabeth Girsang,

Chen Lorida Retriani Saragih, Weny Deviana Ginting, Ira Purnamasari

Tambunan, Juwita Theodora dan teman-teman Ilmu Politik stambuk 2010 yang

tidak dapat di sebutkan satu persatu namanya dan sukses buat kita semua.

Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari

kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti sangat mengharapkan kritik

dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi

ini. Akhirnya peneliti mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

perkembangan studi Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Medan, 21 Juli 2014

(10)

DAFTAR ISI

Halaman Halaman Judul

Abstrak ... i

Abstract ... iii

Halaman Persetujuan ... v

Lembar Persembahan ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi ... ix

Daftar Bagan ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Kerangka Teori ... 9

1.Teori Hak Asasi Manusia ... 9

a. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ... 13

b. Dua Kovenan Internasional ... 14

2. Teori Gerakan Sosial ... 21

(11)

a. Gagasan Hegel Tentang Civil Society ... 28

b. Gagasan Marx Tentang Civil Society ... 29

c. Gagasan Antonio Gramsi Mengenai Civil Society ... 30

d. Manifestasi Civil Society ... 32

F. Metodologi Penelitian ... 35

1.Metode Penelitian ... 35

2.Lokasi Penelitian ... 35

3.Jenis Penelitian ... 35

4. Teknik Pengumpulan Data ... 36

5. Teknik Analisa Data ... 37

G. Sistematika Penulisan ... 38

BAB II PROFIL ORGANISASI IKATAN KELUARGA ORANG HILANG INDONESIA (IKOHI) SUMATERA UTARA ... 40

A. Profil IKOHI Sumatera Utara ... 40

1. Sejarah Terbentuknya IKOHI Sumatera Utara ... 40

2. Keanggotaan IKOHI Sumatera Utara ... 41

3.Struktur dan Mekanisme Organisasi IKOHI Sumatera Utara ... 41

4. Keuangan IKOHI ... 42

5. Hubungan IKOHI Sumatera Utara dengan Pihak Lain ... 42

6. Program Kerja / Aktivitas IKOHI Sumatera Utara ... 42

(12)

1. Bagan 1 ... 44

2. Bagan 2 ... 45

C. Anggaran Dasar IKOHI Sumatera Utara Periode 2010-2013 ... 46

BAB III ANALISIS HASIL DARI PERGERAKAN YANG DILAKUKAN OLEH IKATAN KELUARGA ORANG HILANG INDONESIA (IKOHI) DALAM

MEMPERJUANGKAN PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA BERAT PADA TAHUN 1965-1966 DI

SUMATERA UTARA ... 51

A. Pelanggaran HAM Berat Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara ... 51

B. IKOHI Sebagai Organisasi Gerakan Sosial ... 55

C. Deskripsi Pergerakan IKOHI Dalam Memperjuangkan

Penegakan HAM Berat Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara ... 58

1. Pergerakan I : Refleksi HAM Sedunia “Korban Semakin Jauh

dari Haknya” ... 58

2. Pergerakan II : Siaran Pers Bersama “Menangih Janji

Presiden SBY untuk SEGERA Menyelesaikan Kasus

Pelanggaran Berat HAM ... 60

3. Pergerakan III : Realese IKOHI SUMUT “Ziarah di Kubur

(13)

4. Pergerakan IV : Rencana Permintaan Maaf SBY Terhadap

Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu Belum Tulus

“Permintaan Maaf Presiden SBY Tanpa Pengungkapan

Pembenaran adalah Pembohongan” ... 65

5. Pergerakan V : Gubernur Sumatera Utara Harus Berperspektif HAM “Pencalonan Gubernur Sumatera Utara Jangan Lupakan Isu HAM” ... 66

6. Pergerakan VI : Komnas HAM Kembali Kecewakan Korban Peristiwa 65 “SBY Tidak Punya Keinginan Tulus Dalam Mengungkap Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Tragedi Kemanusiaan 65” ... 68

7. Pergerakan VII : Terkait Penuntasan Pelanggaran HAM Berat Tragedi Kemanusiaan 65 “Rezim SBY, ORDE BARU atau “Wajah Baru” ORDE BARU” ... 69

D. Analisis Pergerakan IKOHI Dalam Memperjuangkan Penegakan HAM Berat Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara ... 72

1. Analisis Berdasarkan Teori Civil Society ... 72

2. Analisis Berdasarkan Teori Hak Asasi Manusia (HAM) ... 78

3. Analisis Berdasarkan Teori Gerakan Sosial ... 89

BAB IV PENUTUP ... 96

(14)
(15)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Bagan Struktur Pengurus IKOHI Sumatera Utara ... 44

Bagan 2.2 Nama Struktur Pengurus IKOHI Sumatera Utara Periode

(16)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

MEVA MARIATI (100906026)

Pergerakan IKOHI Sumatera Utara (Studi Deskriptif : Tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Tahun 1965-1966 Di Sumatera Utara)

Rincian isi Skripsi xiii + 100 halaman, 2 bagan, 18 buku, 2 jurnal, 1 Majalah, 1 situs internet dengan berbagai berita, laporan dan artikel.

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia telah terjadi berbagai bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat, setelah runtuhnya rezim Orde Baru timbul kesadaran bangsa Indonesia dalam menyikapi permasalahan HAM yang terjadi dan telah mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam mengeluarkan ketetapan MPR tentang Hak Asasi Manusia dan juga dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Jika berbicara tentang pelanggaran HAM, telah banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, salah satu pelanggaran HAM yang saya angkat adalah Pelanggaran HAM Berat pada Tahun 1965-1966 yang terjadi setelah tragedi politik 1965, yaitu Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menggelar Operasi Kalong dan Operasi Trisula, mereka menangkap, menahan, dan menginterogasi orang-orang yang dituduh PKI diberbagai tempat. Selanjutnya, tanpa proses pengadilan, orang-orang itu dibuang ke kamp penahanan dan mereka mengalami berbagai bentuk penyiksaan dari yang ringan hingga berat. Diperkirakan 500 ribu sampai 3 juta orang dibunuh oleh pemerintahan Orde Baru pada tahun 1965-1966 di Sumatera Utara, namun hingga saat ini fakta ini ditutup-tutupi dan pelakunya tidak pernah diadili. IKOHI Sumatera Utara yang merupakan salah satu organisasi yang memperjuangkan pengungkapan pembenaran kasus yang terjadi pada tahun 1965-1966 adalah pelanggaran HAM yang Berat. IKOHI bertujuan mengungkap kasus ini secara transparan dan dipublikasikan secara luas dan diproses secara adil. Oleh karenanya, Pergerakan yang dilakukan oleh IKOHI dalam menyikapi masalah pelanggaran HAM berat Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara ini menjadi menarik untuk diteliti.

(17)

wadah keluarga korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara yang dianggap menjadi lawan politik negara dan orang-orang yang berusaha menegakkan dan mempertahankan hak politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan rakyat sebagai bentuk hak asasi manusia dan juga menjadi salah satu organisasi yang memperjuangkan pengungkapan pembenaran kasus yang terjadi pada tahun 1965-1966 yang bertujuan untuk mengungkapkan kasus ini secara transparan dan dipublikasikan secara adil, hingga sampai pada pembahasan inti dari kajian penelitian, yaitu untuk mendeskripsikan pergerakan dari IKOHI Sumatera Utara dan menganalisis hasil dari pergerakan yang dilakukan oleh IKOHI Sumatera Utara dalam memperjuangkan penegakan Hak Asasi Manusia Berat pada Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.

Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan Teori Hak Asasi Manusia, Teori Gerakan Sosial, dan Teori Civil Society. Sedangkan pendekatan dalam penelitian ini berjenis kualitatif, dengan teknik kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder, primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan, dan dilakukan dengan metode wawancara mendalam yang dipandu dengan pedoman wawancara. Sekunder yaitu data yang diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian yaitu berupa buku-buku, artikel, jurnal, berita dan majalah yang berkaitan dengan persoalan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.

Setelah dilakukan analisis, dilihat dari pergerakan yang dilakukan oleh IKOHI Sumatera Utara dalam menyikapi pelanggaran HAM berat yang terjadi pada Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara memang belum memiliki hasi yang nyata, tetapi IKOHI disini menjadi suatu organisasi gerakan sosial yang berfungsi untuk menekan (kelompok penekan) pemerintah (negara atau Komnas HAM) untuk segera mengungkap dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Berat yang terjadi pada tahun 1965-1966 di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Indonesia sebagai negara demokrasi, yang menjunjung tinggi penegakan HAM dan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi harus diusut sampai tuntas sehingga tidak adanya sikap pembiaran atas pelanggaran HAM yang terjadi dan inilah yang menjadi peran IKOHI. Karena masa pemerintahan Presiden SBY akan segera berakhir dan disusul dengan diadakan Pemilihan Presiden, diharapkan pemerintah yang akan datang dapat membawa perubahan terhadap bangsa dan negara ini, khususnya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dan diharapkan peristiwa kejahatan kemanusiaan ini tidak terulang kembali sehingga mencapai tujuan dari sebuah sistem demokrasi yaitu kesejahteraan rakyat yang didalamnya terdapat kebebasan oleh individu serta adanya pengakuan terhadap hak individu tersebut.

Kata Kunci:

(18)

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCES AND POLITICAL SCIENCES DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCES

MEVA MARIATI (100906026)

The Movement of IKOHI North Sumatra (Study Descriptive : About Serious Human Rights Abuses Year 1965-1966 In North Sumatra)

The Thesis xiii + 100 pages, 2 Schemas, 18 books, 2 journals, 1 Magazine, 1 website with various news, reports and articles.

ABSTRACT

Research it is based on historical development of the indonesian nation has happened various forms of human rights violations whether done by people and the state, after the collapse of the Orde Baru regime of Indonesia raised awareness in addressing human rights issues and has prompted the People's Consultative Assembly (MPR) in the Assembly issued a decree on Human Rights and also the establishment of the National Commission on Human Rights (Komnas HAM). When talking about human rights violations, human rights violations that have occurred in Indonesia, one of the human rights violations that I raised are serious human rights violations that occurred in the year 1965-1966 after political tragedy 1965, namely the Security Operations Command and Order (Kopkamtib) held Kalong Operation and Trisula Operation, they arrest, detain and interrogate people suspected PKI in various places. Furthermore, without a court proceeding, those people discarded into detention camps and torture they experienced various forms of mild to severe. An estimated 500 thousand to 3 million people were killed by the Orde Baru government in 1965-1966 in North Sumatra, but until now this fact is covered up and the perpetrators were never brought to justice. IKOHI North Sumatra is one of the organizations fight for justification the disclosure of cases in 1965-1966 is Serious human rights violations.IKOHI aims to uncovering this case in a transparent and widely publicized and processed fairly. Therefore, The movement of which performed by IKOHI in addressing the serious human rights violations in North Sumatra Year 1965-1966 be interesting to researched.

(19)

families of victims of human rights violations committed by the state which considered to be the state political opponents and those who seek to uphold and defend the rights of political, social, economic and cultural people as a form of human rights and also become one of the organizations fight for justification the disclosure of cases in 1965-1966 which aims to express this case in a transparent and published in a fair, up until the discussion of the core of the research study, namely to describe the movement of IKOHI North Sumatra and analyze the results of the movement performed by the North Sumatra IKOHI the enforcement in fighting Serious Human Rights in North Sumatra on 1965-1966.

As a theoretical foundation, this research using Theory of Human Rights, Theory of Social Movement and Theory of Civil Society. Whereas this type of research approaches in qualitative, descriptive qualitative techniques. Data collection techniques in this research uses primary and secondary data, primary data is obtained directly from the field, and in-depth interviews performed with methods which guided the interview guide. The secondary data obtained from the literature relevant to the title of the study is in the form of books, articles, journals, magazines and news related to the issue of human rights violations that occurred in the year 1965-1966 in North Sumatra.

After the analysis, viewed from the movement performed by IKOHI North Sumatra in addressing the human rights violations that occurred in the year 1965-1966 in North Sumatra did not have real results, but here IKOHI become a social movement organization that works to pressing the (pressure groups) government (state or Komnas HAM) to quickly uncovering and resolve cases of serious human rights violations that occurred in 1965-1966 in Indonesia, particularly in North Sumatra. Indonesia as a democratic country that upholds human rights and human rights violations that occurred must be investigated to completion so that the absence of nullifying the attitude of human rights violations and that is the role of IKOHI. Since the reign of the President SBY coming to an end and was followed by Presidential elections are held, the government is expected to come to bring change to this nation, especially in resolving cases of serious human rights violations that occurred in the pastand expected events atrocity does not happen again so as to achieve the goal of a democratic system is the welfare of the people in which there is freedom by individuals as well as the recognition of the rights of the individual.

Keywords:

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan sejarah bangsa Indonesia terus mencatat berbagai bentuk

penderitaan, kesengsaraan, dan kesenjangan sosial yang disebabkan antara lain

oleh warisan konsepsi tradisional tentang hubungan feodalitas dan paternalistis

antara pemerintah dan rakyat, belum konsistennya penjabaran penegakan hukum

dengan norma-norma yang diletakkan para bapak pendiri negara (the founding

fathers) dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, belum cukup tersebar luasnya

wawasan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dan belum kukuhnya masyarakat

warga (civil society). Ringkasnya, masih belum cukup kondusifnya kondisi untuk

melaksanakan dan meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM

menimbulkan berbagai cara pandang, sikap, serta tindak yang tidak adil dan

diskriminatif. Hal itu mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk pelanggaran

HAM, baik yang dilakukan oleh negara (state actor) maupun yang dilakukan oleh

masyarakat (non-state actor)1

Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau

kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja

atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau

mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh .

1

(21)

Undang-undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan

memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme

hukum yang berlaku. Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan

pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi

negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau

alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya2

2

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) : Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media. Hal 227.

.

Makin kuatnya kesadaran tentang perlunya penghormatan HAM di

kalangan masyarakat Indonesia sendiri setelah runtuhnya rezim Orde Baru, yang

otoriter dan represif, serta meningkatnya perhatian komunitas internasional

terhadap pemajuan HAM di bagian dunia manapun, mendorong Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor

XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Ketetapan tersebut melampirkan

antara lain, naskah Piagam Hak Asasi Manusia sebagai bagian yang terpisah dari

Ketetapan itu. Selain itu, ketetapan tersebut juga menentukan, antara lain,

penugasan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur

pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman

mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Sementara itu, Presiden dan Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) ditugaskan untuk mengesahkan berbagai instrumen

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang HAM, sepanjang tidak bertentangan

(22)

Ketetapan tersebut juga menentukan, bahwa pelaksanaan penyuluhan,

pengkajian, pemantauan, penelitian, dan mediasi tentang HAM dilakukan oleh

suatu komisi nasional HAM yang ditetapkan dengan undang-undang.

Menindaklanjuti amanat ketetapan MPR tersebut, pada 23 September 1999

disahkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selain mengatur tentang HAM , undang-undang ini juga menetapkan keberadaan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), termasuk tujuan, fungsi,

tugas dan wewenang, serta keanggotaannya. Berdasarkan Undang-undang

tersebut, proses pemilihan anggota Komnas HAM tidak lagi dilakukan oleh

Komnas HAM sendiri seperti halnya Komnas HAM menurut Keputusan Presiden

Nomor 50 Tahun 1993, melainkan melalui proses seleksi secara terbuka.

Selanjutnya calon-calon hasil seleksi ini diserahkan kepada DPR untuk dipilih dan

akhirnya diteruskan ke Presiden untuk diresmikan.

Dengan telah ditingkatkan dasar hukum pembentukan Komnas HAM dari

Keputusan Presiden menjadi undang-undang, diharapkan Komnas HAM dapat

menjalankan fungsinya secara lebih optimal untuk mencapai tujuannya

sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang. Berdasarkan undang-undang

tersebut, Komnas HAM juga mempunyai kewenangan memanggil seorang secara

paksa (subpoena power) dalam rangka penyelesaian pelanggaran HAM.

Wewenang Komnas HAM bertambah dengan disahkannya Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Oleh

(23)

mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan pelanggaran HAM yang

berat3

Pelanggaran HAM dikelompokan dua bentuk yaitu: Pelanggaran HAM

Berat dan Pelanggaran HAM Ringan. Pelanggaran HAM Berat meliputi kejahatan

Genosida dan kejahatan Kemanusiaan (UU No. 26 Tahun 2000 tentang

pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM Ringan selain dari kedua

bentuk pelanggaran HAM berat itu .

4

. Dan juga terdapat berbagai macam Hak

Asasi Manusia dapat dibedakan menjadi enam yaitu: (i) hak asasi pribadi

(personal rights); (ii) hak asasi ekonomi (property rights); (iii) hak asasi untuk

mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum (rights of legal equality); (iv)

hak asasi politik (political rights); (v) hak asasi sosial dan kebudayaan (social and

culture rights); (vi) hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan

dan perlindungan (procedural rights)5

Jika berbicara tentang pelanggaran HAM, telah banyak pelanggaran HAM

yang terjadi di Indonesia baik pelanggaran yang dilakukan oleh negara maupun

masyarakat. Salah satu pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia adalah

Pelanggaran HAM Berat pada Tahun 1965-1966 yang terjadi setelah tragedi

politik 1965, yaitu Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban

(Kopkamtib) menggelar Operasi Kalong dan Operasi Trisula. Mereka menangkap,

menahan, dan menginterogasi orang-orang yang dituduh PKI diberbagai tempat. .

3

Lihat Laporan Tahunan 2003 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia, hal 2. 4

Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) : Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media. Hal 227.

5

(24)

Selanjutnya, tanpa proses pengadilan, orang-orang itu dibuang ke kamp

penahanan. Tak hanya di Pulau Buru, mereka menjalani hidup sebagai tahanan

politik di sejumlah penjara seperti di Gunung Sahari II (Jakarta), Pelantungan

(Jawa Tengah), Jalan Gandhi (Medan), Pulau Kemaro (Palembang), dan

Moncongloe (Sulawesi Selatan). Tempat-tempat itu adalah Guantanamo

Indonesia. Di sana mereka mengalami berbagai bentuk penyiksaan, dari yang

ringan hingga berat6

Diperkirakan sekitar 500 ribu sampai 3 juta orang dibunuh oleh

pemerintahan orde baru pada tahun 1965 sampai 1966 di Sumatera Utara. Namun

hingga saat ini fakta ini di tutup-tutupi dan pelakunya tidak pernah diadili .

7

.

Didalam film The Act of Killing karya sutradara Joshua Oppenheimer ini memuat

kesaksian seorang yang pernah membunuh ratusan orang PKI di Medan. Setelah

peristiwa Gerakan 30 September di Medan, Sumatera Utara ini merupakan

hari-hari yang kelam bagi siapa pun yang di tuduh sebagai anggota atau simpatisan

Partai Komunis Indonesia dan organisasi yang bernaung di bawahnya. Rumah

tahanan Gandhi yang berada di Jalan Gandhi, Medan merupakan salah satu lokasi

penyiksaan, pengurungan, dan pemusnahan yang dilakukan oleh aparat negara8

IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) merupakan wadah

keluarga korban penghilangan paksa (orang hilang) yang menjadi korban praktek

politik penghilangan paksa yang dilakukan negara terhadap mereka yang

.

6

Lihat Tempo. Pengakuan ALGOJO 1965. Edisi 1-7 Oktober 2012. Hal 91.

pada tanggal 24 Januari 2014 pukul 14.26.

8

(25)

dianggap lawan politik negara dan orang-orang yang berusaha menegakkan dan

mempertahankan hak politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan rakyat sebagai

bentuk hak asasi manusia.

Selain dari IKOHI, ada organisasi yang juga memperjuangkan

pengungkapan pembenaran kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada Tahun

1965-1966 yaitu KontraS. Aksi Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 65

Sumatera Utara yang dimana didalamnya terdapat beberapa organisasi yang

tergabung yaitu KontraS, BAKUMSU, PBHI, PEC, dan JKLPK melakukan

audiensi di Jakarta dengan beberapa lembaga Negara untuk menyampaikan

aspirasi dan tuntuan bagi upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat

Peristiwa 1965. Pada audiensi tersebut mereka mendesak Presiden SBY untuk

mengadili Soeharto selaku pihak yang sangat bertanggungjawab atas pembantaian

jutaan rakyat Indonesia tahun 1965-1968. Kemudian mereka juga menuntut agar

pemerintah memberikan rehabilitasi umum kepada seluruh korban pelanggaran

HAM berat masa lalu. Lalu meminta untuk mencabut UU KKR yang cacat, yang

tidak akan mungkin sanggup mengemban tugas penyelidikan efektif atas pelaku

pembantaian massal jutaan rakyat Indonesia tahun 1965-1968 maupun kejahatan

HAM berat lainnya. Dan yang terakhir mereka menginginkan pemerintah untuk

menghentikan proses Tim Seleksi anggota KKR yang tengah berlangsung saat ini,

yaitu mencabut UU No. 27 Tahun 2004 dan mengantikannya dengan UU baru

yang sungguh-sungguh berpihak pada kepentingan korban9

9

.

(26)

IKOHI Sumatera Utara adalah salah satu organisasi yang memperjuangkan

pengungkapan pembenaran kasus yang terjadi pada Tahun 1965-1966 adalah

Pelanggaran HAM yang Berat. IKOHI bertujuan mengungkap kasus ini secara

transparan dan di publikasikan secara luas dan diproses secara adil. Berdasarkan

pernyataan tersebut maka peneliti tertarik dalam melihat pergerakan yang telah

dilakukan oleh IKOHI dalam menyikapi masalah pelanggaran HAM Berat Tahun

1965-1966 di Sumatera Utara. Maka dalam hal ini peneliti mengangkat judul

penelitian Pergerakan IKOHI Sumatera Utara (Studi Deskripstif : Tentang

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara).

B. Rumusan Masalah

Dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia telah terjadi berbagai bentuk

pelanggaran HAM, setelah runtuhnya rezim Orde Baru timbul kesadaran bangsa

Indonesia dalam menyikapi permasalahan HAM yang terjadi dan telah

mendorong Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam mengeluarkan

ketetapan MPR tentang Hak Asasi Manusia dan juga di bentuknya Komisi

Nasional Hak Asasi Manusia. Salah satu pelanggaran HAM yang diangkat adalah

pelanggaran HAM Berat Tahun 1965-1966 yang sampai saat ini faktanya masih

belum terungkap dan belum ada penyelesaian sehingga menimbulkan gerakan dari

IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) Sumatera Utara yang ingin

mengungkapkan pembenaran kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun

(27)

Dari pemaparan pada latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah Pergerakan IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) Sumatera Utara tentang Pelanggaran HAM Berat Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dilakukan adalah

1. Untuk mendeskripsikan pergerakan dari IKOHI (Ikatan Keluarga Orang

Hilang Indonesia) Sumatera Utara.

2. Untuk menganalisis hasil dari pergerakan yang dilakukan oleh Ikatan

Keluarga Orang Hilang Indonesia dalam memperjuangkan penegakan Hak

Asasi Manusia Berat pada Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis sendiri, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan

kemampuan berfikir dalam melakukan sebuah penelitian dan menulis

suatu karya ilmiah serta memberikan pengetahuan yang baru bagi

peneliti sendiri.

2. Secara akademis penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya ilmu

pengetahuan dalam bidang politik khususnya dalam kajian studi Hak

(28)

bagi departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara.

3. Secara praktis, hasil dari penelitian ini dapat mendeskripsikan tentang

pelanggaran HAM Berat pada Tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.

E. Kerangka Teori

E.1. Teori Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah standar dasar yang merupakan

anugerah Tuhan, yang tidak boleh dicabut siapapun. Dan, tanpanya, manusia tidak

dapat hidup sesuai martabat atau fitrahnya sebagai manusia. HAM adalah

landasan dari kebebasan, keadilan dan kedamaian. HAM mencakup semua yang

dibutuhkan manusia untuk tetap menjadi manusia, dari segi kehidupan sipil,

politik, ekonomi, sosial, dan budaya10

Jika ditilik dari konteks sejarah Barat, maka ide HAM itu bermula dari

Inggris, yang pada kurun waktu abad ke-17 sudah mempunyai tradisi perlawanan

terhadap kekuasaan raja yang mutlak. Bahkan, pada tahun 1215, para bangsawan

sudah mampu memaksa raja untuk memberikan Magna Charta Libertatun yang

melarang penahanan, penghukuman dan perampasan benda dengan

sewenang-wenang. Kemudian di tahun 1679 muncul apa yang dinamakan Habeas Corpus, .

10

(29)

suatu dokumen keberadaan hukum bersejarah yang menetapkan najwa orang yang

ditahan harus dihadapkan dalam waktu tiga hari kepada seorang hakim dan

diberitahu atas tuduhan apa ia ditahan. Pernyataan ini menjadi dasar hukum

bahwa orang hanya boleh ditahan atas perintah hakim.

Dalam tahun 1689, muncul apa yang biasa dinamakan dengan Bill of

Rights, yang mana Inggris secara jelas mengakui semua hak-hak parlemen.

Sebenarnya itu semua sangat dipengaruhi oleh orang yang bernama John Locke,

yang mengemukakan ide toleransi (waktu itu antara orang Katolik dan atheis),

juga mengemukakan bahwa semua orang itu diciptakan sama dan memiliki

hak-hak alamiah yang tak dapat dilepaskan. Hak-hak-hak alamiah itu meliputi hak-hak atas

hidup, hak kemerdekaan, hak milik dan hak kebahagiaan. Pemikiran John Locke

ini sangat berpengaruh pada wilayah jajahan Inggris seperti Amerika, sedangkan

pemikir, yaitu Jean-Jacques Rousseau menjadi inspirasi bagi warga perancis untuk

memperjuangkan kebebasan. Dalam revolusi Perancis terkenal apa yang

dinamakan dengan Declaration des roits de’lhomme et du citoyen (Deklarasi

mengenai Hak Manusia dan Warga Negara). Atau dalam ungkapan yang populer,

Revolusi Perancis menghadirkan pernyataan kebebasan (liberte), kesamaan

(egalite) dan ketidaksetiakawanan (fraternite). Melalui Revolusi Perancis itu pula

muncul hak warga negara untuk menentukan undang-undang11

Dalam perkembangan berikutnya terjadi perubahan dalam pemikiran

mengenai hak asasi, antara lain karena terjadinya depresi besar (the Great .

11

(30)

Depression) sekitar tahun 1929 hingga 1934, yang melanda sebagian besar dunia.

Depresi ini, yang mulai di Amerika kemudian menjalar ke hampir seluruh dunia,

berdampak luas. Sebagian besar masyarakat tiba-tiba ditimpa pengangguran dan

kemiskinan.

Di luar Amerika pun dampaknya cukup dahsyat. Di Jerman, depresi turut

berakibat timbulnya Nazisme yang dipimpin oleh Adolf Hitler. Perkembangan ini

menyebabkan banyak orang bermigrasi ke Amerika dan negara-negara demokrasi

lainnya. Jutaan orang Yahudi yang tidak sempat meninggalkan Jerman, ditahan

dan dibunuh dalam berbagai kamp konsentrasi (Holocaust).

Dalam suasana itu Presiden Amerika Serikat, Roosevelt pada 1941

merumuskan Empat Kebebasan (The Four Freedoms), yaitu kebebasan berbicara

dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of

religion), kebebasan dari ketakutan (freedom from fear), dan kebebasan dari

kemiskinan (freedom from want).

Sementara itu dibelahan Timur Eropa telah terjadi perubahan besar yang

dampaknya terasa diseluruh Eropa dan Amerika. Di Rusia pada 1917 telah terjadi

revolusi menetang kekuasaan Tsar. Dengan dipimpin oleh Lenin (1870-1924)

golongan komunis berhasil mendirikan negara baru berdasarkan ideologi

Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Revolusi ini membawa penderitaan besar

khususnya bagi kalangan atas. Terutama dibawah pimpinan Stalin (1879-1953)

yang mengambil alih tampuk pimpinan pada 1924, orang yang dianggap

(31)

Dunia II Uni Soviet berhasil menjadi saingan bagi Amerika Serikat sebagai

negara adidaya, sampai pada akhir tahun 1989, Uni Soviet runtuh sebagai nation

state, dan terpecah menjadi beberapa negara. Hilang pula Uni Soviet sebagai

simbol komunisme, dan pendekar dunia kedua.

Pada tahap pertama berdirinya, Uni Soviet berusaha keras untuk

mentransformasikan dari negara agraris menjadi negara industri. Akan tetapi

pembangunan industri berat terlalu diprioritaskan, sehingga menimbulkan

penderitaan besar bagi kalangan rakyat. Hal itu berubah saat keadaan sosial

ekonomi ditingkatkan melalui penyediaan kesempatan kerja, perumahan, serta

pendidikan. Hak ekonomi dianggap lebih substantif dari hak politik yang dicap

“borjuis” dan bersifat prosedural saja. Dalam UUD 1936 hak ekonomi sangat

ditonjolkan dan kemudian forum PBB dengan gigih diperjuangkan. Bahkan hak

politik dianggap dapat menganggu usaha mengonsolidasi komunisme sebagai

ideologi tunggal.

Hak ini tidak berarti bahwa hak politik secara resmi tidak diakui. Dalam

UUD 1936 (Pasal 125) ada empat hak politik yang dijamin asal “sesuai dengan

kepentingan rakyat pekerja dan memperkuat dan mengembangkan sistem

sosialis.” Dalam UUD 1977 hal itu diulang kembali dalam Pasal 50 dan ditambah

dengan ketentuan dalam Pasal 39 bahwa semua hak yang dijamin dalam UUD.

Dengan kata lain, jika suatu hak dianggap sebagai ancaman terhadap

ideologi komunisme, maka hak itu tidak memperoleh perlindungan. Dengan

(32)

pada masa lalu selalu dikecam sebagai negara pelanggar hak asasi yang termasuk

paling besar.

Pandangan ini berubah secara radikal sesudah terjadinya perpecahan

dalam dunia komunis di Eropa Timur pada akhir 1989. Dewasa ini negara-negara

Eropa Timur yang tadinya berdasarkan sistem komunis, berada dalam transisi ke

arah demokrasi dan mendekatkan diri dengan negara-negara Barat, berikut

pandangan mengenai hak asasi12

a. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

.

Seusai Perang Dunia II timbulah keinginan untuk merumuskan hak asasi

yang diakui seluruh dunia sebagai standar universal bagi perilaku manusia. Usaha

pertama ke arah standar setting ini dimulai oleh Komisi Hak Asasi Manusia

(Commission on Human Rights) yang didirikan oleh PBB pada tahun 1946.

Dalam sidang Komisi Hak Asasi Manusia, kedua jenis hak asasi manusia

dimasukkan sebagai hasil kompromi antara negara Barat dan

negara-negara lain, sekalipun hak politik masih lebih dominan. Pada 1948 hasil pekerjaan

Komisi ini, Universal Declaration of Human Rights, diterima oleh 48 negara

12

(33)

dengan catatan bahwa delapan negara, antara lain Uni Soviet, Arab Saudi, dan

Afrika Selatan tidak memberikan suaranya atau abstain13

Sekalipun sifatnya tidak mengikat secara yuridis, namun Deklarasi

ternyata mempunyai pengaruh moral, politik, dan edukatif yang tiada taranya.

Sebagai lambang “komitmen moral” dunia internasional pada perlindungan hak .

Hasil gemilang ini tercapai hanya dalam dua tahun, karena momentum

memang menguntungkan. Negara-negara Sekutu (termasuk Uni Soviet) baru saja

memenangkan perang dan ingin menciptakan suatu tatanan hidup baru yang lebih

aman. Sebab lain mengapa Deklarasi Universal agak cepat dapat dirumuskan

adalah sifatnya yang “tidak mengikat secara yuridis” sesuai usul beberapa negara,

antara lain Uni Soviet.

Deklarasi Universal dimaksud sebagai pedoman sekaligus standar

minimum yang dicita-citakan oleh seluruh umat manusia. Maka dari itu berbagai

hak dan kebebasan dirumuskan secara sangat luas, seolah-olah bebas tanpa batas.

Satu-satunya pembatasan tercantum dalam pasal terakhir, yakni No. 29 bahwa:

Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakatnya dan bahwa dalam pelaksanaan hak-hak dan kekuasaan-kekuasaanya setiap orang hanya dapat dibatasi oleh hukum yang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dalam rangka memenuhi persyaratan-persyaratan yang adil dalam hal moralitas, kesusilaan, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis.

13

(34)

asasi manusia Deklarasi menjadi acuan di banyak negara dalam undang-undang

dasar, undang-undang, serta putusan-putusan hakim14

b. Dua Kovenan Internasional

.

Tahap kedua yang ditempuh oleh Komisi Hak Asasi PBB adalah

menyusun “sesuatu yang lebih mengikat daripada Deklarasi belaka (something

more legally binding than a mere declaration),” dalam bentuk perjanjian

(covenant). Ditentukan pula bahwa setiap hak akan dijabarkan, dan prosedur serta

aparatur pelaksanaan dan pengawasan dirumuskan secara rinci. Juga diputuskan

untuk menyusun dua perjanjian (kovenan) yakni, yang pertama mencakup hak

politik dan sipil, dan yang kedua meliputi hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Dengan demikian, setiap negara memperoleh kesempatan memilih salah satu atau

kedua-duanya.

Ternyata masih diperlukan delapan belas tahun (dari 1948 sampai 1966),

untuk mencapai konsensus agar Sidang Umum PBB menerima baik Kovenan

Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Economic, Social and Cultural

Rights), Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant

Civil and Political Rights), serta tentang pengaduan perorangan (Optional

Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights).

Selain itu, diperlukan sepuluh tahun lagi (dari 1966 sampai 1976) sebelum

dua Kovenan PBB beserta Optional Protocol dinyatakan berlaku, sesudah

14

(35)

diratifikasi oleh 35 negara. Jadi, proses mulai dari Deklarasi memerlukan

seluruhnya waktu dua puluh delapan tahun (1948-1976). Kemudian pada tahun

1989 Optional Protocol II (bertujuan penghapusan hukuman mati) diterima oleh

Sidang Umum PBB (1989). Naskah-naskah Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia, dua Kovenan serta dua Optional Protocol dianggap sebagai suatu

kesatuan, yang dinamakan Undang-undang Internasional Hak Asasi Manusia

(International Bill of Human Rights).

Undang-Undang Internasional HAM (International Bill of Human Rights)

mencakup15

1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948). :

2. Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966/1976)

3. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1966/1976)

4. Optional Protocol dari Kovenan Internasinoal Hak Sipil dan Politik

(mengenai pengaduan perseorangan) (1966/1976)

5. Optional Protocol II dari Kovenan Internsional Hak Sipil dan Politik yang

bertujuan menghapuskan hukuman mati (1989)

Dalam sejarah Republik Indonesia sendiri selain dalam Pancasila dan

UUD 1945 kita sudah pernah mengenal berbagai dokumen konstitusional dan

peraturan perundang-undangan yang banyak memuat norma perlindungan dan

peneggakan HAM, seperti Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, Undang

Undang Dasar Sementara 1950, rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan

15

(36)

Rakyat tentang Hak Asasi Manusia16

Mengingat masih tersebarnya materi perlindungan dan penegakan HAM

tersebut dalam berbagai dokumen, dalam tahun 1993 pernah diajukan gagasan

tentang perlunya suatu dokumen yang lebih utuh, yang dapat disebut sebagai

Deklarasi Indonesia tentang Hak Asasi Manusia

, Kitab Undang-undang Acara Pidana,

Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara ataupun Undang-undang

Perkawinan.

17

a. Declaration on the Rights of People to Peace (Deklarasi tentang Hak

Masyarakat untuk Memperoleh Kedamaian dan Perdamaian), 1984. .

Instrumen HAM sedunia tidak hanya memberikan perlindungan terhadap

hak asasi manusia, tetapi juga menetapkan sasaran serta tolok ukur yang ingin

dicapai dengan perlindungan HAM tersebut. Hal ini perlu agar supaya seluruh

kiprah mengenai HAM ini mempunyai makna positif serta dapat direncanakan

perwujudannya dengan tertib dalam keseluruhan struktur negara nasional.

Beberapa instrumen yang mengandung kaidah tentang sasaran dan tolok

ukur pembangunan HAM antara lain adalah:

b. Declaration on the Rights to Development (Deklarasi tentang Hak untuk

Pembangunan), 1986.

c. The Vienna Declaration and Programme of Action (Deklarasi dan

Program Aksi Wina), 1993.

16

Salinan dari Rancangann Ketetapan MPRS mengenai Piagam Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warganegara ini dapat dibaca dalam buku Paul S. Baut dan Beny Harman K, 1988, Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, hal 235-259.

17

(37)

Pada dasarnya instrumen HAM sedunia tersebut di atas melindungi

seluruh umat manusia. Namun ada yang mendapatkan perhatian secara khusus,

yaitu kelompok-kelompok rentan yang lazimnya tidak mampu melindungi hak

asasinya sendiri, seperti: Kanak-kanak; Kaum wanita; Kaum pekerja; Minoritas;

Penyandang cacat; Penduduk Asli atau Suku Terbelakang (inidigenous people);

Tersangka, tahanan dan tawanan; Budak; Korban Kejahatan; Pengungsi; Mereka

yang tidak berkewarganegaraan (stateless)18

Terdapat macam-macam Hak asasi Manusia dapat dibagi atau dibedakan

sebagai berikut

.

19

1. Hak-hak asasi pribadi atau personal rights yang meliputi kebebasan

menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak

dan sebagainya. :

2. Hak-hak asasi ekonomi atau property rights, yaitu hak untuk memiliki

sesuatu, membeli dan menjualnya serta memanfaatkannya.

3. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan

pemerintahan atau yang biasa disebut rights of legal equality.

4. Hak-hak asasi politik atau political rights, yaitu hak untuk ikut serta dalam

pemerintahan, hak pilih (memilih dan dipilih dalam pemilihan umum), hak

mendirikan partai politik dan sebagainya,

18

Saafroedin Bahar. 1996. Hak Asasi Manusia: Analisis Komnas HAM dan Jajaran HANKAM/ABRI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal 20.

19

(38)

5. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights,

misalnya hak untuk memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan

dan sebagainya.

6. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan

perlindungan atau procedural rights, misalnya peraturan dalam hal

penangkapan, penggeledahan, peradilan, dan sebagainya.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia di dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang

Pengadilan HAM, Pelanggaran HAM di kelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu:

Pelanggaran HAM Berat dan Pelanggaran HAM Ringan. Pelanggaran HAM Berat

meliputi kejahatan Genosida dan kejahatan Kemanusiaan. Sedangkan bentuk

Pelanggaran HAM Ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM Berat itu.

Kejahatan Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan

maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian

kelompok bangsa, ras, kelompok etnis dan kelompok agama. Kejahatan Genosida

dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan

fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, menciptakan

kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik

baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan

mencegah kelahiran di dalam kelompok, dan memindahkan secara paksa

anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain (UU No. 26 Tahun 2000 tentang

(39)

Sementara kejahatan Kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang

dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang

diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap

penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan, perampasan kemerdekaan atau

perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar

(asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan

seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau

sterilisasi secara paksa atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara,

penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari

persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin

atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang

menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan

apartheid20

“Dalam menjalankan hak dan kebebasan setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

.

Mengenai pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori berat seperti

genocida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukum

internasional dapat digunakan asas retroaktif, diberlakukan pasal mengenai

kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan

undang-undang sebagaimana tercantum dalam pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar

1945 yang berbunyi:

20

(40)

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Dengan ungkapan lain asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka

melindungi hak asasi manusia itu sendiri berdasar pasal 28 J ayat (2)

Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Oleh karena itu Undang-Undang-Undang-Undang ini mengatur pula

tentang Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan memutuskan pekara

pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya

undang-undang ini. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan

Perwakilan Rakyat berdasar peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan

berada di lingkungan Pengadilan Umum.

Di samping adanya Pengadilan HAM ad hoc, Undang-undang ini

menyebutkan juga keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana

dimaksud dalam Ketetapan MPR-RI No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan

Persatuan dan Kesatuan Nasional. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan

dibentuk dengan undang-undang sebagai lembaga ekstra-yudisial yang ditetapkan

dengan undang-undang yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan

mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia

pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan

yang berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan

bersama sebagai bangsa21

21

Ibid. Hal 229-230.

(41)

E.2. Teori Gerakan Sosial

Hak Asasi Manusia, selama ini lebih banyak dianggap dan diperlakukan

sebagai urusan negara dengan pendekatan legalistik formal. Dengan pendekatan

seperti itu, HAM menjadi hanya urusan pasal-pasal dan tidak pernah menjadi

urusan rakyat jelata. Diperlukan suatu pendekatan yang berbeda, sebagai alternatif

untuk memperjuangkan HAM. Kita harus membuat urusan HAM menjadi urusan

rakyat.

Mayoritas rakyat memerlukan kendaraan politik untuk memperjuangkan

perlindungan HAM mereka. Sementara itu, parlemen dan partai politik sulit

diharapkan untuk memberikan perlindungan HAM kepada rakyat kecil. Atas dasar

itu, diperlukan suatu pendekatan alternatif, yakni dengan membangun gerakan

HAM sebagai social movements. Gerakan sosial ini merupakan kendaraan

kekuatan politik rakyat untuk menekankan perlunya negara mengindahkan HAM

dan perlunya menepati komitmen perlindungan HAM terhadap rakyat dan mereka

yang terpinggirkan.

Gerakan sosial (social movements) adalah suatu gerakan spontan yang

dikembangkan oleh para korban Pelanggaran HAM dan didukung oleh

kelompok-kelompok lain, seperti mahasiswa maupun kaum intelektual untuk

memperjuangkan HAM oleh rakyat sendiri. Gerakan HAM selanjutnya

merupakan suatu gerakan sosial yang membangun identitas kolektif sebagai

(42)

Akan tetapi, gerakan sosial dalam bentuk identitas kolektif sebagai

kelompok yang dilanggar hak-hak asasi mereka, tidak akan muncul dengan

sendirinya. Pada masa lalu, mereka membutuhkan seseorang. Jika suatu negara

yang telah meratifikasi suatu perjanjian (konvensi) HAM, maka negara harus

melindungi, memproteksi HAM rakyat. Namun, dalam kenyataanya, perlindungan

dan proteksi serta hak-hak rakyat tidak diberikan secara serta merta kepada rakyat.

Dengan demikian, perlu usaha bagi rakyat untuk merebut apa yang seharusnya

menjadi hak-hak rakyat, dan itulah HAM22

Ketiga, gerakan HAM haruslah merupakan gerakan anti kekerasan,

dimana kekerasan bukan dianggap sebagai cara untuk pencapaian tujuan. Namun

persoalannya, gerakan HAM seringkali diprovokasi oleh mereka yang memiliki .

Terdapat tiga Karakter Gerakan HAM:

Pertama, gerakan HAM haruslah berwatak mandiri, bukan menjadi bagian dari partai politik tertentu, ataupun bagian dari program pemerintah. Gerakan

HAM adalah gerakan yang dikembangkan oleh kelompok korban pelanggaran

HAM.

Kedua, gerakan HAM haruslah didasarkan pada kesadaran kritis dari

korban HAM, serta gerakan yang mendasarkan kesadaran pada proses humanisasi

dan perlindungan HAM. Karena banyak gerakan mobilisasi sosial yang bukan

didasarkan pada kesadaran kritis melainkan oleh rasa dendam, kebencian pada

kelompok etnis tertentu, maupun didasarkan pada kesadaran naif lainnya.

22

(43)

kekuasaan untuk melakukan defensi. Usaha untuk mempertahankan diri, bukanlah

tindakan kekerasan23

Berbagai teori mengenai gerakan sosial tersebut sangat mengakar dan

dipengaruhi oleh teori sosiologi dominan, yaitu ‘fungsionalisme struktural’.

Karena penekanannya pada keperluan atau ‘kebutuhan sosial’ fungsional yang

harus bertemu, jika sistem adalah untuk mempertahankan kelangsungan dan

struktur yang saling berhubungan bertemu dengan kebutuhan-kebutuhan itu. .

Secara kasar studi mengenai gerakan sosial dapat digolongkan ke dalam

salah satu dari dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan pertama terdiri atas

berbagai teori yang cenderung melihat gerakan sosial sebagai masalah atau

sebagai gejala penyakit kemasyarakatan. Herbele (1951), dalam bukunya Social

Movements; An Introduction to Political Sociologi, mengkonsepkan bahwa

gerakan sosial pada dasarnya adalah bentuk perilaku politik kolektif

non-kelembagaan, yang secara potensial berbahaya karena mengancam stabilitas cara

hidup yang mapan. Sementara itu, Maslow (1962) mencoba menggabungkan

analisis psikologis dan sktruktural. Ia melihat gerakan mahasiswa dan gerakan

sosial lainnya sebagai wakil suatu generasi baru dengan kebutuhan yang lebih

tinggi, yang tepatnya karena mereka muncul dalam kesenangan kelas menengah,

berada dalam posisi mencari nilai-nilai pasca materi berkaitan dengan tujuan

pemenuhan kebutuhan diri sendiri, dan tujuan yang lebih altruistic yang

berhubungan dengan kualitas hidup.

23

(44)

Fungsionalisme melihat masyarakat dan pranata sosial sebagai sistem dimana

seluruh bagiannya saling bergantung satu sama lain dan bekerjasama guna

menciptakan keseimbangan. Dengan demikian, keseimbangan merupakan unsur

kunci dalam fungsionalisme karena kebutuhan memperbaiki keseimbangan akan

selalu ada reorganisasi. Itulah sebabnya penganut fungsionalisme condong

melihat gerakan sosial sebagai alternative, yakni menimbulkan konflik yang akan

mengganggu harmoni masyarakat.

Meskipun fungsionalisme sebagai aliran pemikiran mengklaim dirinya

sebagai teori perubahan, tetapi jika dilihat dari asumsi dasarnya maka

sesungguhnya fungsionalisme bersandar kepada gagasan status quo.

Fungsionalisme sebenarnya merupakan teori stabilitas sosial dan konsensus

normatif. Doktrin ini dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat

adalah bagian dari suatu sistem yang saling bergantung dan berkesuaian satu sama

lain, atau sekurang-kurangnya dalam proses saling penyesuaian diri kembali yang

berlangsung secara terus menerus. Dengan alasan ini fungsionalisme melihat

konflik sebagai sesuatu yang harus dihindari. Parsons, yang dikenal sebagai bapak

fungsionalisme, dalam berbagai karya awalnya tentang perubahan sosial dengan

jelas menekankan perlunya keseimbangan. Ia menyetujui perubahan didalam

sistem dan bukan perubahan sistem sosial. Sesungguhnya, gagasan Parsons adalah

tentang perubahan yang bersifat perlahan-lahan dan teratur yang senantiasa

menyeimbangkan kembali, dan hal ini menghasilkan suatu keadaan semacam

(45)

sosial dengan ‘penyimpangan’ dan ‘ketegangan’ yang harus dikendalikan demi

alasan keseimbangan. Ia menggunakan istilah dengan konotasi negatif seperti

ketidakseimbangan, mekanisme penguasaan, ketegangan dan kekacauan ketika

membahas konflik dan perubahan24

Antonio Gramsci adalah pemikir politik yang sangat mempengaruhi

pendekatan kedua ini, yakni teori perubahan sosial yang nonreduksionis,

khususnya teorinya mengenai hegemoni. Implikasi penggunaan teori hegemoni

(hegemony theory) adalah bahwa kelas buruh tidak lagi dianggap sebagai pusat

gerakan revolusioner. Gramsci membuka kemungkinan memasukkan

kelompok-kelompok baru yang menciptakan aliansi antar unsur kelas buruh. Ia juga

membuat teorisasi tentang kemungkinan menciptakan aliansi antar unsur kelas

buruh sandaran sebagai bagian proses revolusioner. Laclau dan Mouffe (1985) .

Pendekatan kedua adalah teori ilmu sosial yang justru melihat gerakan

sosial sebagai fenomena positif, atau sebagai sarana konstruktif bagi perubahan

sosial. Pendekatan ini merupakan alternatif terhadap fungsionalisme, yang dikenal

sebagai teori konflik . Teori konflik pada dasarnya menggunakan tiga asumsi

dasar. Pertama, rakyat dianggap memiliki sejumlah kepentingan dasar, dimana

mereka akan berusaha secara keras untuk memenuhinya. Akhirnya, nilai dan

gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk

mencapai tujuan masing-masing, ketimbang sebagai alat mempertahankan

identitas dan menyatukan tujuan masyarakat.

24

(46)

memperluas teori Gramsci dengan menganggap ‘gerakan sosial buruh’ sebagai

model dalam pencarian alternatif atas kemacetan pendekatan Marxisme

tradisional25

Bagaimana mengembangkan gerakan HAM dibutuhkan aktor-aktor

penggerakan dan pengorganisasian gerakan. Perlu diingat bahwa apa yang disebut

sebagai ‘community organizer’ atau pengorganisasian gerakan bukanlah tindakan

mobilisasi sosial. Perbedaan antara mobilisasi dan pengorganisasian adalah bahwa

mobilisasi merupakan proses yang membutuhkan pemimpin yang inspirasional

atau provokator untuk dapat menghimpun dan menggerakkan banyak orang untuk

bergabung dalam gerakan atau terlibat dalam suatu aksi gerakan tertentu,

sementara pengorganisasian gerakan adalah tindakan ‘organizing’ yang

merupakan kegiatan yang lebih berjangka panjang dan merupakan proses yang

berkelanjutan, dimana masa rakyat yang bergabung dengan gerakan memahami

secara kritis dan mendalam visi dan tujuan dari gerakan dimana mereka terlibat,

serta suatu pemahaman yang didasarkan pada analisis kritis secara kolektif

tentang permasalahan HAM. Bergabung dalam gerakan merupakan usaha untuk

memberdayakan mereka dan tetap melanjutkan gerakan untuk mencapai tujuan

bersama tersebut .

26

1. Langkah langkah pengorganisasian gerakan HAM yaitu: Integrasi, penyidikan

sosial, melakukan percobaan, landasan kerja, pertemuan teratur, bermain .

Terdapat dua strategi gerakan HAM yaitu:

25

Ibid. Hal 117-119. 26

(47)

peran, mobilisasi atau aksi, evaluasi, refleksi dan terbentuknya organisasi

rakyat27

2. Proses Pengorganisasian Masyarakat yaitu: teknik dan strategi, mengorganisir

pikiran, membangun kesepakatan dan tatanan, terwujudnya sistem

kelembagaan .

28

E.3. Teori Civil Society

.

Wacana civil society harus diakui tidak hanya berkembang disebagian

besar negara berkembang yang berbasis kekuasaan otoritarian saja, namun juga di

negara-negara maju seperti di Barat yang mapan dari segi ekonomi dan politik.

Kemungkinan yang membedakan tema pembicaraan di kedua wilayah ini adalah,

apabila di Barat wacana akan lebih mengarah kepada penataan struktur

masyarakatnya yang dihantui ketakutan penyimpangan dari rel etika demokrasi

dan ancaman integrasi sosial. Sedangkan dinegara-negara berkembang gugatan

akan lebih diarahkan pada eksistensi negara sebagai aktor yang berdiri amat

kokoh dalam mempertahankan supremasi atas civil society. Gerakan penguatan

civil society yang muncul di negara berkembang lebih dirasakan sebagai reaksi

atas tuntutan pluralisasi kehidupan sosial politik, yaitu kondisi-kondisi yang

27

Diadaptasi dan dirangkum dari Building Peoples Organization, editor: Denis Murphy, Asian Community for People Organization.

28

(48)

ditandai perjuangan kekuatan-kekuatan civil society untuk memperoleh otonomi

terhadap negara29

Konsep civil society sebagai sebuah gagasan, muncul dari tradisi

pemikiran barat yang bisa dilacak keberadaanya dari zaman Yunani kuno. Versi

awal dari konsep ini bersumber dari gagasan Aristoteles mengenai politike

koinonia yang menggambarkan sebuah masyarakat politik dan etis, dimana warga

negara di dalam berkedudukan sama didepan hukum. Dalam bahasa Latin politike

koinonia disebut juga societas civilis, yang berarti masyarakat politik atau

komunitas politik. Istilah komunitas politik ini merujuk pada polis, dan dipahami

sebagai tujuan (telos) atau kodrat manusia sebagai mahluk politik (political

animal/zoon politicon) .

30

. Meski gagasan Aristotelian tentang zoon politicon

secara esensial ditanggap elit, ide ini merupakan suatu bentuk awal dari

masyarakat sipil karena ada ruang sisa untuk orang-orang yang tidak berperan

sebagai zoon politicon. Dalam formula sel

Referensi

Dokumen terkait

Negara terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia di bidang agama. Untuk mengetahui dan memperoleh data mengenai faktor

39 Tahun 1999, pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara

39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik.. disengaja maupun tidak disengaja

39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja

Bush sebagai kepala negara, penangjawab agresi militer ke Irak dan juga pasukan Amerika Serikat yang melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia di Irak tidak dapat

Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang tertera sebagai berikut; “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum

Mempelajari tentang Hak Asasi Manusia (HAM), terutama soal penyelesaian pelanggaran yang terjadi di masa orde baru pada negara- negara transisi dari rezim otoritarian ke