TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP DARURAT NEGARA MENURUT PERUNDANGAN MALAYSIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI )
OLEH:
HAJAR BINTI HARUN
NIM : 106045200219
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP DARURAT NEGARA MENURUT PERUNDANGAN MALAYSIA
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI )
OLEH:
HAJAR BINTI HARUN NIM : 106045200219
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA NIP : 150 270 614
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP DARURAT NEGARA MENURUT PERUNDANGAN MALAYSIA” telah diujikan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Januari 2009. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada
Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah / Ketatanegaraan
Islam.
Jakarta, 20 Januari 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
NIP: 150 210 422
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Asmawi, M. Ag.
(………)
NIP: 150 282 394
2. Sekretaris : Sri Hidayati, M. Ag. (………)
NIP: 150 282 403
3. Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA.
(………) NIP: 150 270 614
(………) NIP: 150 275 509
5. Penguji II : Asmawi, M. Ag. (………)
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Puji syukur
penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan
semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Salawat dan salam semoga
senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad
SAW, keluarga dan para sahabatnya, yang telah menunjukkan jalan hidayah dan
pembuka ilmu pengetahuan dengan agama Islam
Skripsi yang berjudul “Tinjauan Ketatanegaraan Islam Terhadap Darurat
Negara Menurut Perundangan Malaysia.” penulis susun dalam rangka memenuhi
dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada
Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar'iyah (Ketatanegaraan Islam)
Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis merasa sangat gembira dengan selesainya penulisan skripsi ini karena
merupakan karya ilmiah dan proses sebuah pemikiran dan kajian yang mendalam.
Sebagai insan yang diciptakan oleh Allah SWT, penulis tidak terlepas dari kesalahan
dan kekhilafan serta membutuhkan kritik dan masukan yang membangun, sehingga
dapat menjadi sebuah pelajaran ke depan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu penulisan
penulisan skripsi ini. Penghargaan dan terima kasih secara khusus disampaikan
kepada:
1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Asmawi, M.Ag Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Syar’iyyah, dan Ibu
Sri Hidayati M.Ag, Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah yang dengan sabar
memberikan bantuan kepada penulis sepanjang perkuliahan.
4. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA dosen pembimbing penulis yang
dengan sabar memberikan sepenuh arahan dan masukan dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Hanya Allah SWT yang dapat memberikan ganjaran berlipat
ganda atas jasa baiknya kepada penulis.
5. Kepada seluruh dosen Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum,
terutama yang pernah menabur ilmu untuk penulis, Dr.H.Abd.Rahman Dahlan
MA, Dr.Noryamin Aini MA, Dr.Arskal Salim GP. M.Ag, Dr.Yayan Sopyan
M.Ag, Dr. Muharom, Afwan Faizin M.A, Bambang Catur PS.SH, Iding Rosyidin
S.Ag, MSi, serta karyawan yang telah membantu dalam memfasilitasi penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepada seluruh pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah dan juga
7. Teristimewa untuk ayahanda dan bunda tersayang, Harun bin Ismail, Norhayati
binti Abd. Samad, dan terima kasih penulis ucapkan kepada kakakku Along dan
suami, serta untuk adik-adik tersayang (Halim, Hasbullah, Amirul, Hadi, dan
Adik Ana) dan keluarga lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Tidak ada yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan hanya sebuah
kejayaan. Hanya Allah SWT yang melipat gandakan segala pengorbanan yang
dilakukan.
8. Seluruh dosen-dosen di Kolej Universitas Darul Quran Islamiyyah(KUDQI) dan
Ma’ahad Darul Quran (MDQ).
9. Teman-teman seangkatan di UIN Jakarta terutama satu kosan penulis,
Nurmasyitah serta rekan-rekan EX-KUDQI (Mustafa, Harun, Baihaki, Ustd.
Hadi, Faizal, Khairil, Mawardi, Baha, Azrin , Salwa, Wahida, Siti Hajar, Nurul
Syazwani, Anis, Halimah).
10. Teman-teman dari Indonesia yang telah banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini terutamanya saudara Oyok Tolisalim, Luqman dan
Resty dan beberapa teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu karena kalian telah banyak memberikan pengalaman untuk memahami
lebih dalam kepada penulis tentang ketatanegaraan Islam dan mengenai negara
Indonesia.
11.Untuk yang terakhirnya jutaan terima kasih kepada teman-teman di Asrama Putri
kenangan antara kita tetap dalam ingatan” dan juga kepada semua teman Malaysia
yang berada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Akhirnya penulis menyadari bahwa dengan wawasan penulis masih
membutuhkan bimbingan serta masukan. Oleh karena itu, penulis tak bosan-bosannya
untuk meminta saran dan kritik yang membangun dari teman-teman sebagai bahan
perbaikan dalam penulisan skripsi ini. Besar harapan penulis semoga skripsi ini
bermanfaat untuk diri penulis sendiri khususnya dan kepada para pembaca skripsi ini
pada umumnya, semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada penulis untuk
terus mengembangkan keilmuan serta untuk mengamalkannya. Akhir kata penulis
ucapkan terima kasih.
Jakarta, 27 Januari 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5
D. Tinjauan Pustaka... 6
E. Metode Penelitian ... 8
F. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II KEADAAN DARURAT NEGARA DALAM HUKUM ISLAM DISEBABKAN PEMBERONTAKAN A. Pengertian Keadaan Darurat ... 12
B. Tinjauan Umum Tentang Pemberontak ... 17
C. Hukuman Bagi Pemberontak Menurut Jinayah Islam ... 19
D. Pemberontakan Pada Zaman Khulafaur Rasyidin …………... 25
BAB III KONSEP KEADAAN DARURAT DI DALAM PERUNDANGAN
MALAYSIA
A. Kriteria Perbuatan dan Tindakan Pemberontak Yang dikatakan
Negara Dalam Keadaan Darurat ... 35
B. Sejarah Pelaksanaan Hukum Darurat di Malaysia... 39
C. Berbagai Kasus Keadaan Darurat dalam Sejarah di Maalaysia .... 42
D. Penanganan dan Penyelesaian Keadaan Darurat Negara ... 47
BAB IV ANALISIS HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP
KEADAAN DARURAT NEGARA DALAM PERUNDANGAN DI
MALAYSIA
A. Pandangan Islam Terhadap Keadaan Darurat Negara
(Pemberontakan) ... 56
B. Analisis terhadap Perundangan Malaysia Mengenai Keadaan
Darurat Negara dalam Tinjauan Hukum Islam ... 63
C. Pelaksanaan Undang-undang Keadaan Darurat Menurut
Perlembagaan Malaysia dari Sudut Pandang Undang-undang
Keadaan Darurat Negara Indonesia ... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan... 76
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kekuasaan negara dapat dikatakan berakhir dan penyelenggaraannya
dihentikan jika organisasi negara itu sendiri dengan sengaja dibubarkan atau
dinyatakan bubar, sehingga berakhirlah ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi
di negara yang bersangkutan. Dengan bubarnya pemerintahan, dan berakhirnya status
warga negara dari negara yang bersangkutan, maka berakhir pula ketentuan mengenai
batas wilayah negara yang bersangkutan. Malaysia pernah berada di bawah
pemerintahan darurat militer setelah Perang Dunia Kedua yaitu setelah mundurnya
militer Jepang dari Tanah Melayu. Kemudian setelah kekuasaan militer Jepang
berakhir, Inggris mengambil alih kekusaan atas Tanah Melayu dan meletakkannya
dibawah pemerintahan Inggris (British Military Administration) atau BMA.
Pemerintahan ini telah diproklamasikan oleh Pemerintahan Tertinggi Militer, Asia
Tenggara, yaitu Laksamana Lord Lois Mountbatten pada 15 Agustus 1945 dengan
berdasarkan pada kepentingan militer dengan tujuan memulihkan keamanan negara.1
Selama pemerintahan Lord Mountbatten, 77 undang-undang telah dibuat
untuk meneruskan proklamasi pemerintahan sebelumnya. Undang-undang ini
1
meliputi berbagai aspek pemerintahan, akan tetapi undang-undang ini telah dihapus
setelah pemerintahan BMA berakhir pada 31 Maret 1946 dan diganti dengan
pemerintahan kerajaan Kesatuan Tanah Melayu (Malayan Union).2
Dampak dari pemberlakuan deklarasi darurat, dalam Islam dapat kaitkan
dengan tiga istilah. Pertama istilah jihâd,3 yang kedua istilah bughât4 dan yang ketiga
hirâbah.5 Ketiga istilah tersebut merupakan kebiasaan terjadinya puncak darurat
negara. Namun demikian, istilah darurat berarti terkait dengan bagaimana
mempertahankan sebuah negara, baik ancaman dari luar maupun dari dalam negera
sendiri. Dalam Islam, jihâd telah memberi arti melawan orang-orang Musyrik dan
dakwah mereka ke jalan yang benar.6
Manakala istilah kedua, bughât atau pemberontakkanadalah perlawanan yang
dilakukan oleh sekelompok kaum Muslimin terhadap khalifah yang sah, atas dasar
perbedaan paham tentang siapa yang seharusnya menjadi khalifah.7 Secara historis
2 Ibid.
3
Jihad ialah pengerahan segenap kemampuan manusia untuk mendapatkan suatu yang diinginkan atau menolak yang dibenci
4
Bughat yaitu kelompak umat Islam yang melawan dan menderhaka kepada Ulil Amri (Imam), yaitu pemerintah/kerajaan yang adil menjalankan hukum-hukum syara’
5
Hirabah adalah gerombolan bersenjata di daerah Islam untuk mengadakan kekacauan, peumpahan darah, perampasan harta, merusak kehormatan, tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban dan undang-undang, baik gerombolan tersebut dari orang Islam, kafir dzimmi maupun kafir harbi.
6
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, al-Jihâd fi al-Islâm Kaifa Nafhamuh wa Numarisuh, diterjemakan oleh M. Abdul Ghafur, Fiqh Jihad Upaya Mewujudkan Darul Islam Antara Konsep dan Pelaksanaannya, (T.tp: Pustaka an-Naba’, 1993), cet. I, h. 3
7
pemberontakan dalam Islam sudah ada sejak pemerintahan Khalifah Utsman bin
Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Di mana kaum Muslimin pada saat itu
melakukan suatu pemberontakan terhadap Khalifah Utsman bin Affan yang menuntut
agar khalifah memecat para pembantunya yang korup dan tiran itu. Pemberontakan
tersebut berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan oleh kaum
pemberontak. Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, pemberontakan
dilakukan oleh Zubeir bin Awwam, Thalhah dan Aisyah. Muawiyah dan kaum
khawarij mereka melakukan pemberontakan dengan alasan yang berbeda-beda. Ada
yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib terlibat secara langsung atas
terbunuhnya Utsman bin Affan dan pemilihannya sebagai khalifah tidak sah. Ada
yang menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan dan beranggapan bahwa Ali bin
Abi Thalib dan Muawiyah adalah sumber malapetaka kehancuran kaum muslimin.8
Kata hirâbah terfokus pada adanya niat permusuhan terhadap kaum
Muslimin, hal itu merupakan illa’ bagi jihad perang, dan hal ini pernah terjadi pada
Perang Bani Musthaliq. Dalam peperangan tersebut Rasulullah SAW me-ngetahui
bahwa Bani Musthaliq telah menyusun rencana untuk menyerang kaum Muslimin
yang dipimpim oleh Al-Harits bin Abi Dinar. Setelah yakin dengan hal itu, maka
Rasulullah SAW mulai melakukan penyerangan terhadap mereka.9
Keadaan darurat atau dikenal dalam bahasa Inggris sebagai state of emergency
adalah suatu pernyataan dari pemerintah yang bisa mengubah fungsi-fungsi
8
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), cet. I, h. 180
9
pemerintahan, memperingatkan warganya untuk mengubah aktivitas, atau
memerintahkan badan-badan negara untuk menggunakan rencana-rencana
penanggulangan keadaan darurat. Biasanya, keadaan ini muncul pada masa bencana
alam, kerusuhan sipil, atau setelah ada pernyataan perang.
Secara terminologis keadaan darurat berkaitan dengan “emergency doctrine”
yang dalam Black’s Law Dictionary terdapat beberapa definisi, pengertian yang
pertama berkaitan dengan konsep “sudden emergency doctrine” atau doktrin keadaan
darurat yang tiba-tiba. Pengertian yang kedua biasa dipakai di dunia kedokteran dan
pelayanan medis, sedangkan pengertian yang ketiga berkenaan dengan persoalan
“emergency exception”. Pengertian yang mempunyai relevansi dengan persoalan
hukum adalah pengertian yang pertama dan yang ketiga.10
Malaysia sebuah negara yang baru merdeka. Malaysia juga pernah mengalami
kedaan darurat negara. Bahkan sejak 1948, secara berturut-turut lima deklarasi
darurat telah dibuat oleh negara untuk mencegah bahaya tertentu. Tiga dari deklarasi
ini meliputi keadaan darurat seluruh Persekutuan Malaysia hanya terbatas kepada
negara-negara bagian saja, yaitu satu deklarasi untuk negeri Sarawak dan satu lagi
untuk negeri Kelantan.
Berbicara mengenai hukum darurat negara yang ada di Malaysia memang
sangat menarik, apalagi ketika penulis akan membuat perbandingan dari sudut
pandang ketatanegaraan Islam dalam melihat hukum darurat negara. Maka dari itu
10
penulis memberikan judul “Tinjauan Ketatanegaraan Islam Terhadap Darurat
Negara Menurut Perundangan Malaysia.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, penulis merasa
perlu untuk membatasi masalah pada tataran implementasi hukum darurat
yang sudah pernah terjadi di Malaysia baik itu dari awal kemerdekaan sampai
sekarang ini. Kemudian bagaimana Islam melihat hukum darurat negara,
untuk mempersempit kajian darurat dalam Islam penulis membatasinya pada
kasus pemberontakan (al-baghyu) pada masa Khulafâur Râsyidûn, seperti
adanya pembangkangan enggan membayar zakat pada masa khalifah Abu
Bakar al-Shiddiq dan pemberontakan yang terjadi pada masa khalifah Usman
bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, yang karena pemberontakan tersebut
diharuskan adanya tindakan yang tegas dari khalifah untuk mengatasinya.
Setelah dapat melihat dari kedua sudut pandang itu maka penulis ingin
melakukan sebuah komparasi yaitu membandingankan dengan cara berbeda
menyebutkan yang sama dari keadaan yang masa lama dan kini di Malaysia.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Bagaimana konsep ketatanegaraan Islam mengenai hukum darurat negara?
2) Bagaimana mengatasi keadaan darurat negara di Malaysia menurut
3) Pada saat kapankah harus diumumkan keadaan darurat negara di
Malaysia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan di antaranya:
1. Memberikan gambaran umum kepada masyarakat maupun akademisi
mengenai konsep darurat negara dalam pandangan ketatanegaraan Islam.
2. Mengetahui perjalanan keadaan darurat negara yang ada di Malaysia menurut
perlembagaan Malaysia.
3. Menggali relevansi hukum ketatanegaraan Islam terhadap perundangan
Malaysia berkaitan dengan darurat negara.
Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:
1. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan di
bidang fiqh siyasah dalam konteks ketatanegaraan di Malaysia.
2. Sebagai bahan kajian dan rujukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan
pembuat hukum/legislatif atau partai-partai Islam terhadap permasalahan
darurat negara.
3. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas tentang persepsi hukum
Islam mengenai keadaan darurat negara.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak kajian dan
yang dilakukan penulis. Di bawah ini beberapa pembahasan yang ada kaitannya
dengan judul penelitian penulis dimulai dari skripsi, buku, maupun jurnal.
Buku pertama, karangan Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan
Pemerintahan di Malaysia, cet. III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan:
Dawama Sdn.Bhd, 2006). Pada buku ini di dalam bab IX terdapat pembahasan secara
khusus mengenai darurat, di mulai dari sejarah pelaksanaan darurat di Malaysia,
pengaturan hukum darurat yang tercantum di dalam Perlembagaan (UUD) Malaysia
yang juga mengenai siapa yang berhak menentukan negara dalam keadaan darurat
raja atau parlemen dalam hal ini Perdana Menteri. Kasus-kasus keadaan darurat yang
pernah terjadi di Malaysia.
Buku kedua, karangan Haji Sa’id Haji Ibrahim (mantan Mufti Negeri Sabah),
Qanun Jinayah Syar’iyah, (Darul Ma’rifah, tahun 1996). Kajian secara khusus yang
membahas mengenai keadaan darurat ini tidak ada, namun secara umum buku ini
mengkategorikan bughat sebagai keadaan bahaya dalam ketatanegaraan hal ini dapat
dijumpai pada bahasan bab ketujuh mengenai bughat. Bagian dari bahasan ini di
antaranya kesalahan dalam politik, pendurhakaan yang wajib diperangi, orang yang
menentang dan mendurhakai terhadap imam yang adil.
Buku ketiga, karangan Dr. Jaih Mubaraok, M.Ag. Fiqh Siyasah, (Pustaka
Bani Quraisy, 2005). Pada bab VI buku ini ada bahasan mengenai ijtihad dan fatwa
tentang protes politis, secara mendalam di buku ini mengkaji tentang hukum melawan
penjajah penjelasan hukum berperang untuk menolak penjajah.
Terhadap G 30 S PKI)”, tahun 2005. Pada Bab II dan Bab IV skripsi ini ada
pemba-hasan mengenai bughat. Pada bab II yang membahas mengenai konsep bughat dalam
politik Islam dengan kajian khususnya membahas definisi bughat, kriteria bughat, dan
kasus bughat dalam sejarah politik Islam. Selanjutnya di dalam Bab IV mengkaji
mengenai pandangan atau analisis ketatanegaraan Islam terhadap tindakan bughat.
Skripsi, ”Darurah dan Daruriyat Perbedaan serta Korelasi Keduanya”, tahun
2006. Skripsi ini hanya memberikan gambaran secara umum mengenai pengertian
darurah serta perbedaannya dengan daruriyat, namun demikian sekelumit bahasan
memang ada yang menerangkan batasan-batasan darurah di antaranya darurat yang
merata dalam negara berhubungan dengan urusan-urusan luar negeri.
Dari beberapa tinjauan pustaka di atas bahwa topik yang penulis angkat dalam
penelitian skripsi ini belum ada yang membahasnya dan penulis juga memanfaatkan
ide-ide dari tulisan yang disebut di atas dan penulis akan menerapkannya kepada
konteks Malaysia.
E. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan (library risearch)
dengan pendekatan penelitian analisis historis dan normatif. Penelitian historis
dilakukan karena bahasan dalam kajian ini membahas sejarah pelaksanaan hukum
darurat yang pernah terjadi di Malaysia, tujuan penelitian historis adalah untuk
cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensistematiskan
bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang
kuat.11 Kemudian analisis normatif juga dilakukan karena dalam kajian ini
melibatkan Perlembagaan Persekutuan (UUD) yang ada bahasan khusus
mengenai keadaan darurat. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian
hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books)
atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berperilaku manusia yang dianggap pantas.12
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan library research, yaitu
pengumpulan dan studi dokumen yang ada dengan membaca dan meneliti
literatur-literatur ketatanegaraan Islam yang membahas permasalahan dalam
penelitian skripsi ini dan tulisan-tulisan yang ada relevansinya dengan tema
darurat dalam kajian ketatanegaraan Islam dan undang-undang Malaysia.
3. Sumber Data
Sumber data yang ada dalam penelitian skripsi ini terdiri dari sumber data
primer dan sumber data sekunder, adapun sumber primer di antaranya adalah
Al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan kajian ketatanegaraan Islam mengenai
11
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, cet. XVI, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 73
12
keadaan darurat (dalam hal ini kaitannya dengan bughat). Sedangkan data
sekunder merupakan data yang penulis ambil dari bahasan tulisan-tulisan yang
dilakukan oleh para peneliti-peneliti ketatanegaraan Islam yang sudah dibukukan,
dan juga tulisan dari penjelasan dari Perlembagaan Malaysia yang membahas
secara khusus mengenai keadaan darurat.
4. Analisis Data
Pengolahan data yang dilakukan pada tahap ini dilakukan dengan semua
data yang telah terhimpun diklasifikasikan dan dikumpulkan sesuai dengan isu-isu
yang mengkaji pada permasalahan skripsi ini, kemudian dianalisis secara
kualitatif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.
5. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada Pedoman Penulisan Skripsi,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan
oleh FSH UIN Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan buku ini dibagi atas (5) lima bab, tiap-tiap bab terdiri
dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
Bab II Bab ini membahas pengaturan Islam mengenai keadaan darurat negara,
berisi mengenai pengertian keadaan darurat, tinjauan umum tentang
pemberontak, dilanjutkan pembahasan mengenai hukuman bagi
pemberontak menurut jinayah Islam, dan kemudian keadaan darurat
zaman khalifah dan bagaimana hukum Islam mengatasinya
Bab III Pada bab ini pembahasan mengenai konsep keadaan darurat di dalam
perlembagaan Malaysia diawali dengan sejarah pelaksanaan hukum
darurat di Malaysia, tindakan pemberontak yang dikatakan negara dalam
keadaan darurat, penanganan dan penyelesaian keadaan darurat negara
menurut perlembagaan Malaysia.
Bab IV Merupakan analisis hukum Islam terhadap keadaan darurat negara di
dalam perlembagaan Malaysia, dimulai dari pandangan Islam terhadap
keadaan darurat negara, kemudian analisis terhadap perundangan
Malaysia mengenai keadaan darurat negara dalam tinjauan hukum Islam
Bab V Merupakan bab penutup, yang di dalamnya terdapat kesimpulan dan saran.
BAB II
KEADAAN DARURAT NEGARA DALAM HUKUM ISLAM
OLEH PEMBERONTAKAN
Perjalanan hidup suatu negara dalam mencapai tujuan-tujuannya terkadang
berjalan tidak baik. Adanya keadaan-keadaan tertentu seperti musibah kemarau
panjang, kelaparan, gempa bumi maupun pertikaian politik dapat menyebabkan
tujuan negara yaitu kesejahteraan rakyatnya tidak tercapai. Akibatnya timbul suatu
kondisi atau keadaan yang biasa disebut dengan darurat, yang mana ketika keadaan
ini terjadi hukum atau peraturan yang normal tidak dapat dijalankan di samping
memerlukan peraturan baru dan khusus yang sesegera mungkin untuk mengatasi
keadaan darurat tersebut. Pada Bab II ini penulis akan memaparkan keadaan darurat
dalam sejarah ketatanegaraan Islam pada masa al-Khulafa al-Rasyidun, yang
diakibatkan oleh pertikaian politik yaitu yang biasa disebut dengan pemberontakan
atau pembangkangan oleh suatu kelompok terhadap pemerintahan yang ada (sah).
A. Pengertian Keadaan Darurat
Darurat berasal dari bahasa Arab yaitu darûrah dari akar kata
darra-yadurru-darran yang berarti merusak atau memberi mudarat. Biasa juga disebut dlarar yang
memiliki arti bahaya, kemelaratan, kesulitan, kesempitan, buruknya keadaan.13
Keadaan darurat yaitu keadaan sangat merusak atau sangat memaksa, kebutuhan yang
amat mendesak dan amat berbahaya apabila tidak dipenuhi.14 Darurat berarti
sampainya seseorang kepada suatu batas, yang apabila tidak melakukan sesuatu
perbuatan yang dilarang akan dapat mencelakakan atau membinasakan dirinya.15
Darurat juga dapat diartikan sebagai suatu kekhawatiran atas kebinasaan diri, baik
berdasarkan keyakinan maupun berdasarkan dugaan yang kuat. Darurat ini tidak
terwujud kecuali ada suatu keadaan yang memaksa untuk melakukan yang
diharamkan agar terpelihara diri dari kebinasaan, seperti haus dan lapar yang
berlebihan atau sakit yang membawa kematian. Kebinasaan itu tidak hanya terhadap
diri atau jiwa seseorang, tetapi juga terhadap harta.16
Darurat dan ikrah mempunyai pengertian yang sama, yaitu suatu keterpaksaan
yang dibolehkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Tetapi dalam
kenyataannya kedua bentuk keterpaksaan itu berbeda. Keterpaksaan dalam bentuk
darurat adalah keterpaksaan yang timbul secara alami tanpa ada keterliba-tan manusia
seperti sakit keras, kelaparan, kehausan dan lain-lain. Sedangkan ikrah adalah
keterpaksaan yang timbul dengan adanya keterlibatan manusia seperti orang yang
diancam dengan senjata untuk mengucapkan kalimah kufur.
( ) * + ) ) , - .
/ 0 / $$%& 123
4 5 . .
+6 )78 ) )79 & : * 3 ! ) : " ! ) ;
< ! " , ** 133 & %
Menurut ulama ushul fiqh ada lima prinsip yang pemeliharaan eksistensinya
amat dibutuhkan manusia dan amat berbahaya apabila diabaikan, karenanya keliam
prinsip itu disebut al-dlar riyat al-khamsah (lima yang amat dibutuhkan). Kelima
prinsip itu adalah agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan dan harta. Inilah
yang kemudian disebut dengan Maqâsid al-Syari’ah yaitu tujuan suari’at yang
diturunkan oleh Allah SWT adalah untuk memelihara eksistensi kelima prinsip
tersebut.17
Oleh sebab itu, apabila salah satu dari kelima prinsip itu sedang terancam
eksistensinya, syari’at mewajibkan manusia untuk menyingkirkan ancaman itu dan
tidak memandang dosa mengatasinya jika dengan tindakan yang dalam keadaan biasa
termasuk perbuatan haram, seperti memakan bangkai apabila tidak ada makanan lain
dalam keadaan lapar yang membahayakan keselamatan jiwa. Artinya bahwa dalam
keadaan-keadaan bahaya, kesulitan, kesempitan atau buruknya keadaan yang dapat
mengakibatkan terancamnya agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan dan harta,
maka diperbolehkan melakukan sesuatu yang diharamkan.
Dasar dari hukum dari darurat tersebut adalah Qur’an dan sunah. Dalam
al-Qur’an dijelaskan apabila seseorang dalam keadaan terpaksa tanpa sengaja dan tidak
melampaui batas maka ia tidak berdosa. Allah SWT berfirman dalam surat
al-Baqarah/2 ayat 173:
% " < )7 = ! : ! ) 7
) # < 7 " " # ) # )
) )7 ) " - ! + )75 & 174 !
) : " ! ) > ) # % > + )70 133 &
! #$%&'( ) *+',-. /' 0 12 !' 3 4 56 7 89:; 12 <= > 0 ?@ A B< 7 C ' D *E F GHI J<=
C ' H
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu memakan
bangkai, darah, daging babi, dan binatang-binatang yang disembelih tidak kerana Allah maka barang siapa yang terpaksa (memakannya kerana darurat) sedang ia tidak mengingininya dan tidak pula melampaui batas (pada kadar benda yang dimakan itu), maka tidaklah ia berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang”. (QS.: al-Baqarah/2: 173).
Allah juga berfirman:
:L M ...
?+NO 7 8P *) 2 8P Q@ ) !CR2H$ 89:; '
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atas kamu, kecuali apa yang kamu terpaksa memakannya? (QS.: al-An’am/6: 119).
Adapun sumber hukum dari sunah di antaranya adalah hadits yang diterima
dari Abu Waqid al-Laitsi:
ﺏ! "#
$%&'&
ﺏ ( %) *+,ﺏ
- . /+ ی
&1
ی
( 23
"ﻡ
5673)
78)
3 9%)
:; . $7 &
< ﺏ
ﺏ = ,>1
+
?
2 (ﺡ "ﺏ &ﺡ
18Artinya: “Dari Abu Waqid al-Laitsi berkata: aku bertanya kepada Rasulullah, kami berada di sebuah daerah yang tengah dilanda bencana kelaparan. Apakah kami memakai bangkai?. Beliau menjawab: Kalau memang kalian tidak menemukan makanan yang bisa kalian makan pada pagi dan sore hari dan bahkan tidak mendapatkan sayuran yang bisa kalian cabut, maka silahkan kalian makan bangkai itu”. (HR. Ahmad bin Hanbal).
' 0 ) ? ))6 )7 6 @ & #
Sehubungan dengan masalah darurat ini, fuqaha merumuskan kaidah pokok,
yaitu:
. Aی + B
19Artinya: “kemudlaratan harus dihilangkan”. Kaidah ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:
+ ﺽD + ﺽD
E # - FG ﺵ FG ﺵ "ﻡ - ?F+ ﺽ F+ ﺽ "ﻡ
(9 +
? +
EI ﻡ "ﺏ
20Artinya: “Tidak boleh berbuat bahaya dan membalas perbuatan bahaya kepada orang lain, bagi siapa yang berbuat bahaya kepada orang lain maka Allah akan berbuat bahaya kepada orang tersebut, dan bagi siapa yang mempersulit orang lain maka Allah akan mempersulit dia”. (HR. Dâruqutnî dan Ibnu Mâjah).
Yang dimaksud dengan dlarar dalam hadits tersebut adalah berbuat kerusakan
kepada orang lain secara mutlak; mendatangkan kerusakan terhadap orang lain
dengan cara yang tidak diizinkan oleh agama. Sedangkan yang diizinkan oleh agama
seperti qisas, diyat, had dan lain-lain tidak dikategorikan berbuat kerusakan tetapi
untuk mewujudkan kemaslahatan.21
Dari kaidah pokok tersebut muncul kaidah-kaidah antara lain:
J ) + B
&
3
K
L +
(Darurat itu membolehkan yang dilarang),M+ ﺏ + ) + B
(Darurat itu diukur dengan kadarnya) dan lain-lain.22
$ , )6) )7+@ 9 )7; 6 @ . )7 ? & #
' . +6 )75 $$4& 23
13 9 )@ B ? )70 )7+6 < @ )7. " 6 ( ! "
. +6 )7 = # $$2& : * %% 1'' C *@
? 9 ))6 )7A * ( # ) . +6 )75 & : * %'(
1 (3
1 * + " ,
Kaitannya dengan negara, keadaan darurat yaitu keadaan di mana negara
dalam keadaan yang sulit, genting atau bahaya sehingga hukum tidak dapat
dijalankan dengan normal, artinya peraturan-peraturan tertentu dapat dikesampingkan
atau tidak diberlakukan karena keadaan yang tidak memungkinkan. Keadaan ini bisa
disebabkan karena alam maupun karena pertikaian politik.
B. Tinjaun Umum Tentang Pemberontak
Dalam bahasa Arab, perbuatan ini disebut ( 8 ), yang biasa diartikan
sebagai menuntut sesuatu atau menentang pemerintah dengan menggunakan
kekuatan senjata.23 Menurut Jinayah Islam, al-Baghy secara etimologi
mempu-nyai arti yang banyak, di antaranya adalah berbuat aniaya, bertindak
sewenang-wenang, berbuat kerusakan dan menyimpang dari kebenaran. Secara terminologi,
pemberontak adalah sekelompok orang yang memiliki kekuatan dan kemampuan
memberontak terhadap pemerintah karena suatu alasan yang dibolehkan. Mereka
ingin melepaskan diri, melanggar dan membangkang pemerintah setempat.24
Bughât dalam istilah ilmu tata negara ialah perbuatan sekumpulan dan segelongan
umat Islam yang memberontak untuk menentang dan membangkang kepada Ulil
Amri adalah dinamakan ”jarimâh siyasah”, yaitu kesalahan dalam politik.25
11# $
1 * 0 : ) % , , ) " - )
+8 .0+ ) " , 133 & 1 %
24
Banyak para ulama Fiqh Islam memberikan definisi yang berbeda tentang
pemberontakan. Menurut Ulama Hanafiyah adalah:
2ی ,7 ﺏ =ﺡ N ﺏ 1 " & O&
6 ﺥ $ (ﻡ $Q ﺵ
8
26
Artinya: “Tindakan sekelompok orang yang mempunyi kekuatan yang menentang pemerintah dalam segala kebijaksanaannya dikarenakan adanya perbedaan paham”.
Menurut Malikiyah adalah:
#
) ی "یR
8
S
# T I 'ی "یR
2ی ,7
. ﺥ "ﻡ T (7&ی
ﻡ
E7# U 1
27Artinya: “Tindakan sekelompok yang melakukan perlawanan dan tidak taat kepada penguasa pemerintah dikarenakan adanya perbedaan paham”.
Menurut Ulama Hanabilah adalah:
T I+ '
8
ﻡ
#
$Q ﺵ
Vﺉ / 2ی ,7ﺏ . # X
ی
1 "=
Y 9ﻡ
28 Artinya: “Sekelompok yang menentang penguasa/pemerintah, termasuk pemerintahyang tidak adil (zalim) dikarenakan adanya perbedaan paham, mereka memelikikekuasaanmeskipuntidak di bawah komando seorang pemimpin”.
Menurut Ulama Syafiiyah adalah: “Orang-orang muslim yang menyalahi
iman dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak
kewajiban dengan memiliki kekuatan dan memiliki pimpinan”.29
14 = 0 : * ( ( "
+ , - * " > ) D ! + )
= # & 1$
12 )7E ) & & " . +6 )75 & : *
4(%'
1% # $ 4(%$
Dari keterangan di atas, semua definisi bermakna penjelasan atau alasan yang
menyepakati pemaknaan kata bughat itu adalah suatu usaha atau gerakan yang
dilakukan oleh sekelompok dengan tujuan untuk menggulingkan atau menentang
Imam/pemimpin/pemerintah yang sah.
Apabila terjadi hal-hal yang mengarah kepada pertentangan yang kemudian
meluas kepada pemberontakan, maka menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk
menghalangi setiap bentuk pemberontakan yang timbul. Sebab pemberontakan ini
dapat mengancam disintegrasi bangsa. Selain itu pemberontakan dipandang sebagai
bentuk kejahatan yang mengancam keamanan negara. Semua kegiatan yang
dilakukan hanya boleh dianggap sebagai pemberontakan atau pembangkangan
apabila mereka melibatkan penggunaan kekuatan dan kekerasan yang dapat
menimbulkan keadaan darurat dalam negara.30
C. Hukuman Bagi Pemberontak Menurut Jinayah Islam
Di dalam hukum Islam, ada dua istilah yang sering digunakan untuk
pengertian yang sama atau yang hampir sama. Kedua istilah tersebut adalah
”Jarimah” dan ”Jinayah”. Salah satu bagian hukum Islam adalah bidang Jinayah
(Hukum Pidana), yakni bidang yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dinilai
sebagai pelanggaran atau kejahatan (jarimah). Tindakan-tindakan ini merupakan
1$ +* ) % ,, , ) " !
& , - ; : F # $$%& 34
3 0 # & + , - . ) . "
perbuatan-perbuatan jahat yang diharamkan oleh syara’, yang boleh menghilangkan
atau mengganggu eksistensi dan ketertiban hidup. Yakni agama, akal, kehormatan,
dan harta benda.31 Oleh karena itu, bagi setiap pelaku harus mendapatkan sanksi
hukuman (uqubah) baik di dunia maupun di akhirat tindak pidana politik hanya
berlaku terhadap pemerintahan yang sah. Apabila seseorang membunuh kepala
negara, sekalipun dengan tujuan politik tanpa suatu pemberontakan yang
terorganisasi dari sekelompok orang untuk mengulingkan pemerintahan yang sah.
Salah satu macam dari tindak pidana jarimah atau jinayah adalah tindak
pidana pemberontakan. Pemberontakan adalah bangkangan yang dilancarkan oleh
sekelompok kaum muslim terhadap penguasa yang sah, karena suatu hal yang
menyangkut masalah politik pemerintahan, sehingga mengakibatkan mereka
memisahkan diri dari kesatuan. Dalam sebuah negara yang berdasarkan
hukuman-hukuman Islam, pemberontak yang wajib diperangi adalah sebagaimana yang
tertakluk pada syarat-syarat berikut:
1. Mereka yang mempunyai kekuatan dan yang telah berterus-terang secara terbuka
menentang pemerintah/kerajaan yang adil.
2. Mereka yang telah keluar dari tadbiran Ulil amri, dan telah membentuk
pemerintah/kerajaan yang lain dan telah melatik seorang imam yang lain.
3. Terdapat perbedaan pendapat, dimana mereka menganggap bahwa mereka boleh
keluar dari kontrol pemimpin.
4. Mereka telah melakukan kekacauan dalam negeri seperti membakar, membunuh
dan sebagainya.32
5. Mereka yang memberontak adalah jamaah yang kuat dan bersenjata, sehingga
untuk mengembalikan mereka kepada ketaatan, pemerintah membutuhkan
persiapan tenaga manusia, materi dan perang. Jika mereka tidak memiliki
kekuatan, sekalipun terdiri dari beberapa orang tetapi tidak mempunyai
perbekalan, baik senjata maupun logistik, yang memungkinkan mereka dapat
mempertahankan diri, maka mereka tidak dikatakan bughat, karena mudah
ditangkap dan dikembalikan kepada ketaatan.
6. Mereka mempunyai pemimpin yang ditaati sebagai sumber kekuatan mereka,
karena tak ada sesuatu kekuatan jemaah yang tidak memiliki.33
Sekiranya terdapat syarat-syarat tersebut ada pada pemberontak, maka mereka
harus diperangi. Hukuman terhadap mereka adalah mati.34 Kebolehan melakukan
pembunuhan kepada mereka dengan jalan yang diperangi atau tumpas semata-mata
untuk memelihara persatuan dan kesatuan dan untuk menegakkan hukum Allah
dimuka bumi. Adapun jika salah satu kelompok dari kaum muslimin yang
memberontak, menentang pendapat (kebijakan) kaum muslimin dan menganut
pendapat yang mereka ciptakan sendiri, jika dengan pendapatnya itu mereka masih
1 = 0 : * ( ( "
+ , - * ! " 1$
< ( : ) 8 0
, 133%& 43(
( = 0 : * ( ( "
taat kepada imam, tidak memiliki daerah yang mereka berdomolosi didalamnya,
mereka terpecar-pecar yang memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam
jangkauan kekuasaan negara Islam, maka mereka dibiarkan. Mereka tidak diperangi,
kewajiban dan hak mereka sama dengan kaum Muslimin yang lain.35
Ibn Taimiyah menyatakan bahwa orang-orang yang menimbulkan kekacauan
yang mundur boleh dibunuh, jika mereka mundur kepada kelompoknya dan
ditakutkan kembali memerangi lagi, berbeda dengan orang yang terluka dari mereka,
mereka tidak boleh dibunuh. Alasanya karena terluka ini memungkinkan
keburukannya terhenti, berbeda dengan yang lari mundur, keburukannya belum
terhenti.36 Jika terdapat dari kalangan mereka yang terbunuh, maka wajib
dimandikan, dikafankan dan dishalatkan. Jika si terbunuh dari golongan adil ia
menjadi syahid, tidak perlu dimandikan dan dishalatkan karena ia gugur di dalam
meneggakkan perintah Allah, tidak ubahnya dengan syahid yang gugur pada waktu
memerangi orang kafir.37
Pemberontakan dalam arti upaya menggulingkan pemerintah yang sah itu
dapat disejajarkan dengan pengkhianat. Alasan hukum keberlakuan sanksi yang
dikemukan pada ayat Al-quran di atas bertujuan untuk menciptakan sistem
4 ) & ( " ! : ) 0 )7
> > ) 8 , F 1333& 1
2 - " " # . . " ,
, + # " " + , ' , ( ' /
! : ** > , #
133'& 31
kemasyarakatan dan kewibawaan pemerintah. Seperti yang diketahui bahwa manusia
membutuhkan teman pergaulan antara seorang dengan yang lain sehingga diperlukan
seorang pemimpin, sistem peraturan yang menjadi pedoman dalam hidup
bermasyarakat. Sistem peraturan yang disepakati akan berjalan dengan baik bila
semua pihak mematuhi peraturan tersebut.38
Dasar hukum tentang hukuman bagi pemberontakan (al-baghyu) dalam
hukum Islam sangat jelas terdapat di dalam dua sumber hukum yaitu al-Qur’an dan
hadits.
a. Al-Quran
Allah SWT berfirman:
E
TE <JU
6')
WX'Y')
4 IR M
4 I :\ ] 7
_ `a 0 4
bE c 7
:d ! 0
ef L
g
P% hi
4 IR ' j 7
klmF kT22A Dknm 8ogpq g r $ ) . 3 D
E c 7
: 8 7
4 I :\ ] 7
_ `a 0
ls:L R 0
4 oI89pt M .
4
*E F
a ' 8u
vwX'9pt
L Z3
[
Artinya: “Dan jika dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikanlah di antara keduanya; jika salah satunya berlaku zalim terhadap yang lain, maka lawanlah kelompok yang zalim itu sehingga ia kembali mematuhi perintah Allah; jika ia kembali patuh maka damaikanlah di antara keduanya dengan adil (menurut hukum Allah), serta berlaku adillah kamu (dalam segala perkara); sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil”.(QS. al-Hujurat/49: 9).
Ayat di atas menetapkan, jika orang mukmin saling bermusuhan, maka
jamaah yang memiliki kebijaksanaan wajib segera campur tangan untuk
mendamaikan. Sekiranya salah satu golongan membangkang dan tidak ingin
berdamai, pada saat itu semua kaum muslimin berkewajiban bersatu padu untuk
memerangi golongan yang membangkang.39
b. Al-Hadits
Banyak hadits yang membahas mengenai pemberontakan, kebanyakan
hadits ini lebih melihat dari sanksi hukum bagi para pemberontak, diantaranya:
-
ﺽ+ \ Oﻡ "ﺏ -
# "#
#
. E(
/+ .
ﺹ - .
\ 23ی D
^<ﺙ ` ﺡaﺏ D; Oﻡ b ﻡ
A c
T
d6( ﺏ d6(
e+ 7
G+ 6& E(ی
$# &Z
Oﻡ ? +
40Artinya: “Dari Abdillah bin Mas’ud r.a. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: Tidak halal darah seorang muslim melainkan karena salah satu dari tiga sebab: (1) Orang tua yang berzina, (2) jiwa dibalas dengan jiwa, dan (3) orang yang meninggalkan agamanya yaitu orang yang memisahkan diri jamaahnya. ( H.R. Muslim).
Pengertian memisahkan dari jamaah adalah meninggalkan jamaah orang
Islam (menentang keputusan-keputusan Ahlul Hal wal Aqd.41 Dan ketika
seseorang telah melakukan ketiga hal yang telah disebutkan hadits diatas, maka
agama menganjurkan kepada kita untuk membunuhnya, hal ini dilakukan apabila
tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan. Allah sudah tegas mengatakan bahwa
golongan yang harus diperangi oleh pemerintah yang sah adalah mereka yang
$ < ( 43
(3 ) )70 :6: ? )70 )7A @ )78@ 6 @ (
. +6 6 )7- 6 )79 @ & : * 14 2%2& 31
( - " 0 7 < & " - ; *
membuat kerusakan dan gangguan terhadap anggota masyarakat yang tidak
bersalah, di dalam hadits lain disebutkan:
cM "ﺏ یf "# g&#
"#
.
+
. ی
ﺹ - . /
ﻡ ﻡ; hی ﺏ "ﻡ
? ی $ 6ﺹ ? 9#,1
ﺏ ﺽ 1 E#f (ی ﺥi j I Ta1 Y 97/ T; E 9 1 E
&ﺙ
ﺥk l(#
42Artinya: “Dari al-A’masy dari Zaid bin Wahab berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa orang yang memberikan persetujuan dan kesetiaan kepada imam, maka taatilah dia samampu mungkin. Apabila orang lain mempersengketakan kekuasaan penguasa tersebut, maka potonglah leher orang itu ( H.Rm Muslim)
"#
E(# - ﺽ+ ی ﺵ "ﺏ $Z1 #
.
&/
- . /+ n
/ E # -
ﺹ
. ی
G 6ی ! Q %# l>ی T! ی ی ﺡ 2I+ # h &I Q ﻡ! Q )! "ﻡ
? 7 1 =7# &I
? +
Oﻡ
43Artinya: “Dari Urfajah bin Syarim r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Siapa orang yang mendatangi kamu sementara kamu telah sepakat (mengakui pemerintahan yang sah), maka bunuhlah dia yang ingin memisahkan diri dari jamaah kamu”. (H.R. Muslim).
D. Pemberontakan Pada Zaman al-Khulafaur al-Rasyidun
1. Pada zaman Abu Bakar ash-Shiddiq
Rasulullah tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa yang akan
menggantikan dirinya sebagai kepala negara. Sementara dalam dua sumbar ajaran
Islam; Al-Quran dan hadits juga tidak dapat petunjuk yang jelas tentang proses
suksesi. Belum lagi jelas dikuburkan, umat Islam kaum Muhajirin dan Anshar
(1 )78@ 6 @ ( (2 '((& (%1
sudah melakukan debat sengit untuk mendudukan masing-masing tokoh mereka
sebagai khalifah. Setelah melakukan debat yang cukup sengit, akhirnya secara
aklamasi Abu Bakar menjadi khalifah untuk menggantikan kedudukan Nabi
sebagai kepala negara, hal ini juga dilandasi dengan semangat ukhuwah Islamiah
yang tinggi, dan juga hal ini karena Abu Bakar mendapat penghargaan yang
tinggi dari umat Islam.44 Sebagai khalifah pertama umat Islam ia menegaskan hak
umat Islam untuk mengawasi dan mengeritik pemimpinnya (menganjurkan
adanya oposisi yang loyal dan konstruktif) yang dipilih dan di bai’at oleh mereka
sendiri, rakyat harus mendukung rencana dan program pemerintah, karena
rencana program itu semua untuk masyarakat dan tidak bertentangan dengan
kehendak Allah dan Rasulnya. Begitu pula sebaliknya rakyat harus mengawasi
pelaksanaan pemerintahan karena bisa saja pemerintah melakukan hal-hal yang
merugikan rakyat. Rakyat harus patuh terhadap pemimpin yang betul-betul
menjalankan hukum Allah dan Rasul-Nya.
Dalam menjalankan tugas kepemimpinannya, dia tetap konsisten dengan
sistem yang berlaku pada masa Nabi dan (juga konsisten) dengan pidato awal
pelantikannya sebagai khalifah. Abu bakar tidak dapat berbuat banyak untuk
menyebar luaskan Islam selain dia mengatasi gejolak-gejolak internal yaitu
menghadapi umat Islam yang banyak kembali murtad dan orang-orang Islam
yang tidak mau membayar zakat tetapi semua itu bisa diatasi dengan
(( 0 0 ( ) # C "
bermusyawarah dan jalan terakhir dengan memerangi mereka yang murtad dan
tidak membayar zakat. Beberapa kejadian yang pernah dihadapi pemerintahan
Khalifah Abu Bakar dalam menjalankan kehidupan bernegara sebagai kepala
pemerintahan:
a) Timbulnya sejumlah Nabi Palsu di beberapa daerah, seperti Musailamah
al-Kadzab dari Bani Hanifah, Yamamah Ablahah Dzulkhimar atau dikenal
dengan al-Aswad al-Ansi di Yaman, dan Thulaihah bin Khuwailid di Bani
Asad. Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut
Perang Riddah (perang melawan kemurtadan).45 Gerakan kemurtadan yang
timbul setelah wafatnya Rasul SAW baik yang dilakukan oleh golongan
munafik yang memang mereka menginginkan keluar dari Islam, atau pun
kemurtadan yang dilakukan oleh suku-suku Arab lain karena alasan politis
dimana mereka menilai suku Quraisy telah menggunakan Islam sebagai salah
satu cara untuk menguasai mereka, bahkan sebagian dari suku-suku itu
bergabung dengan kelompok nabi palsu bukan karena mereka percaya dengan
kenabiannya tetapi hanya untuk berkoalisi dalam menghadapi Quraisy.46
b) Kelompok Islam yang tidak mau mengeluarkan zakat atas dasar ta’wil dan
penafsiran yang mereka pegang. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa
(4. C ( ) + # , - ; : F # 1332 &
2
(2 ) . G )7
tindakan menghalangi suatu hak yang difardhukan Allah SWT seperti zakat
termasuk kedalam kategori bughat.47
Sebelum menggempur kaum pemberontak, terlebih dahulu Abu Bakar
memberikan peringatan agar kembali kepada Islam. Namun seruan itu mereka
tidak menerima. Akhirnya Abu Bakar mengunakan kekuatan senjata. Semua
pemberontak dapat dipadamkan. Ada yang kembali kepada Islam, bagi mereka
yang kembali kepada Islam, mereka dimaafkan oleh Abu Bakar. Sedangkan yang
tetap membangkang, terus digempur hingga pemimpin-pemimpin pemberontak
terbunuh, seperti Musailamah yang mengaku menjadi nabi. Selama enam bulan
terhitung, Abu Bakar berjuang memadamkan pemberontakan suku-suku Arab dan
nabi-nabi palsu tersebut.
2. Pada zaman Umar ibn al-Khathtab
) . # B )7> "
: ) # ) ) " ) .
" " B " )
) ! "
! B (' B ) : > ) # !
# . 1 , ) 0 : :
B " " ) )7 )
(% # $ '1
" " 7 7 "
B " 7 " ! ! " ) ""
" ) + " ! !
" B " 7 " " " "
" " "7 " "
! + B ) ) ) "
! ) ! :
# ) ($
Secara prinsip pada pemerintah Umar ibn al-Khathtab ini tidak ada
tindakan yang terjadi seperti pemberontakan dari kaum murtad dan orang yang
enggan membayar zakat, namun dalam akhir pemerintahannya beliau meninggal
dalam keadaan syahid setelah dibunuh oleh orang dari keturunan Yahudi.
3. Pada Zaman Usman ibn Affan
Usman ibn Affan merupakan khalifah yang ketiga, sebagaimana halnya
dua khalifah sebelumnya, Usman juga menyampaikan ”pidato kenegaraan” saat
pelantikannya menjadi khalifah. Akan tetapi pidato yang disampaikannya itu
lebih bersifat sebagai nasihat seorang tua kepada anak-anaknya. Kalau diteliti
lebih jauh Usman bukan seorang negarawan seperti Abu Bakar dan Umar, selama
hidupnya Usman dikenali sebagai seorang pengusaha sukses yang banyak
menyumbangkan harta bendanya untuk kepentingan Islam. Pengangkatan Usman
sebagai khalifah merupakan suatu kemenangan bagi Bani Umaiyah terhada Bani
Hasyim.50
Periode pertama kekhalifan Usman berlangsung sangat damai. Selama
masa itu, kaum muslimin mendapatkan banyak kemenangan. Kekhalifannya telah
diperkuatkan sampai pada sebuah wilayah yang sangat luas, kemudian terkenal di
dunia. Tetapi bagian akhir kekhalifan Usman telah dikacau oleh suatu perang sipil
yang mengerikan, yang akhirnya membawa pada pembunuhan terhadap khalifah
sendiri. Usman seorang yang sangat bijak dan berhati lembut. Musuh-musuh
Islam mencari suatu kesempatan yang tepat untuk bertindak melawan Islam dan
kaum Muslim. Mereka telah mendapat peluang dengan mengirimkan orang untuk
mengganggu kedamaian serta menyebarkan khabar-khabar angin.51
Tidak ada mutasi yang berarti bagi pejabat pusat dan daerah. Tetapi
karena adanya perubahan generasi dari angkatan para sahabat ke putra-putra
mereka melalui kebijaksanaan Usman berubah mengikuti tuntunan generasi muda
dari kalangan generasi keluarganya sendiri, tetapi juga dalam menggunakan
keuangan negara tidak untuk kepentingan masyarakat secara luas. Kebijakan ini
menimbulkan banyak protes dan kecaman banyak masyarakat Muslim, baik dari
kalangan senior maupun dari golongan muda yang bukan keluarga dekat khilafah.
43 < ) ( 0 " " ! " + " 1
, F 133 & 2%
4 : ) > ( + ( ; ) F
Ditambah oleh kenyataan tidak ada kontrol dari anggota majelis Syura
(orang-orang yang ditunjuk Umar untuk memilih khalifah pasca dirinya) karena mereka
selalu berkunjung ke wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan dan menjadi
wilayah Islam, kebijaksanaan Usman bertambah buruk. Sementara para
keluarganya senantiasa turut menentukan setiap keputusan dan kebijaksanaan
khilafah.52
Melihat kondisi yang semakin tidak menentu itu, timbullah kelompok
pemberontak yang berkumpul dikota Madinah. Kehadiran mereka di Kota
Madinah sebenarnya hanya ingin mengajukan tuntutan agar khalifah memecat
para pejabat yang menurut mereka tidak benar menjalankan tugas. Karena
keluarga yang dituntut itu keluarga dekat khalifah, maka tuntutan mereka ditolak.
Suasana kacau tidak terkendali dan pemberontakan mengepung rumah kediaman
khalifah, walaupun pasukan keamanan pemerintah memberikan perlawanan,
namun tidak cukup berarti karena pasukan pemberontak lebih banyak hingga
akhirnya pemberontakan berhasil membunuh Usman ibn Affan.53
4. Pada zaman Ali bin Abi Thalib
Setelah Saidina Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi Khalifah dia
langsung mendapat tantangan dari keluarga Khalifah Usman terutama
Muawwiyah bin Abi Sufyan, selain bahwa pembaitan terhadap Saidina Ali tidak
41 . " G ; $'%&
'%
dihadiri oleh majelis syura, juga karena wilayah Islam semakin luas, maka
yang berhak menentukan jabatan khalifah tidak hanya mereka yang berada
di Madinah, tetapi juga hak mereka yang menjadi wilayah-wilayah baru
Islam pendapat Muawwiyah bin Abi Sufyan juga didukung oleh pejabat di
Madinah yang kemudian bergabung dengan dirinya di Syria. Pertentangan terus
berlanjut.
Permasalahan yang dihadapi oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib ini juga
berbeda dari pemerintahan sebelumnya, kalau pada pemerintahan Abu Bakar
disebabkan oleh adanya syubhat di dalam penafsiran mengenai hukum, maka
pada periode Ali ini lebih disebabkan oleh politis yang sangat urgent (pokok)
untuk menyebabkan adanya pemberontakan (bughât). Di dalam sejarah umat
Islam sedikitnya ada tiga kelompok kaum bughat yang timbul sewaktu
kekhalifahan Ali, mereka terdiri dari ahlu al-Jamâl di Bashrah, kelompok
Mua’wiyah di Shiffin dan al-Khawarij di Nahrawan.54
E. Peran Syura dalam Menerapkan Prinsip Darurat
Prinsip darurat didasarkan bahwa darurat itu diukur dengan ukuran
keburukannya. Artinya, darurat memperbolehkan kita melanggarnya agar jangan
sampai melampaui ukuran yang ditentukan (dipaksa) oleh darurat yang sebenarnya.
Oleh itu, untuk membatasi ukuran ini adalah syûrâ. Darurat sebagai suatu teori umum
dan serba meliputi merupakan dasar bagi fleksibilitas (kelenturan) dari banyaknya
hukum-hukum syar’i, baik yang berhubungan dengan akidah, ibadah, pemerintah
maupun muamalah. Dalam konteks keterwakilan (syûrâ), prinsip darurat (dhârûrî)
dapat dijelaskan sebagai prinsip yang didasarkan kepada standar batas negatifnya.
Artinya darurat yang membuka peluang pergeseran hukum boleh (ibâhât) itu adalah
yang tidak melampaui batas-batas darurat. Ukuran yang dapat distandardisasi untuk
melihat baik tidaknya darurat itu difungsikan, adalah melalui standar syûrâ.55 Dengan
demikian, syura dapat diangkat untuk menentukan demarkatif (batas pemisah) suatu
regulasi (pengaturan) dapat disebut melanggar atau tidak melanggar.56
Darurat itu merupakan berpengaruh pada sikap pribadi, dan juga berpengaruh
pada ketetapan jama’ah, rakyat atau umat, setiap suatu ketetapan yang dikeluarkan di
dalam syura adalah ketika keluar dari kehendak bebas, jauh dari tekanan dan paksaan,
baik paksaan ini datang sebagai hasil dari perbuatan pihak kedua itu sendiri atau dari
kondisi-kondisi asing dari kedua belah pihak. Sebagai hasil dari itu, pihak yang
melakukan tindakan pemberontakan dan kemudian menang dari pihak asing yang
menyerang sehingga dipaksakan kepada ahl hall wal aqd yang kemudian mengambil
suatu ketetapan tentang pengakuan terhadap pemerintahannya, dan mereka pun
benar-benar telah mengeluarkan ketetapan ini tanpa ada pilihan bebas bagi mereka,
maka ketetapan ini jelas merupakan ketatapan yang tercela, tidak mengikat mereka,
44 ) C # 2+ , " 3 & + # " # , %
% 4 ) . ; & " " ! "
( ) , $$4& 4$4
56
dan tidak pula mengikat orang lain. Hal itu berarti bahwa mereka harus cepat-cepat
membatalkannya dan membersihkannya dari perbuatan tersebut. 57
Syûrâ yang merupakan sebuah sistem yang mencapai tujuan secara syar’i dan
ditetapkan dengan melihat manfaatnya serta disepakati oleh banyak orang adalah
sebuah solusi (penyelesaian) untuk menetapkan sebuah keadaan yang dianggap
genting dan darurat. Akan tetapi, mengakui sahnya pemerintahan darurat bukan
berarti tidak lagi memperdulikan perbedaan antara pemerintahan itu dengan
pemerintahan yang sah secara syûrâ yang perwujudannya ialah khalifah yang sah dan
(râsyidah) lurus.58
Setelah mengatahui penjelasan bagaimana dan tindakan hukum Islam dalam
mengatasi masalah darurat negara disebabkan pemberontakan, oleh itu, penulis akan
meneruskan pada bab tentang Konsep Keadaan Darurat Dalam Perundangan
Malaysia
4% - # < 7 ( " " : )
+: ) E ( - ! , F $$1&
4$%
BAB III
K0NSEP KEADAAN DARURAT DALAM
PERUNDANGAN MALAYSIA
Dalam mendirikan sebuah negara, pasti menginginkan sebuah negara dan
bangsa yang mewujudkan akan keselarasan yang dinamis. Namun demikian,
perjalanan untuk membina sebuah negara yang aman dan damai itu terdapat
permasalahan oleh beberapa kasus yang menyebabkan negara ini dapat dikatakan
darurat.
Dalam perjalanan sejarah, sejak kemerdekaan sampai sekarang, negara
Malaysia tidak pernah terlepas dari aneka peristiwa dan kejadian-kejadian yang
bersifat luar biasa, baik di bidang politik, di bidang ekonomi maupun di bidang sosial.
Demikian pula, bencana alam terus-menerus menerpa dari waktu ke waktu, baik yang
datang dari laut, udara, maupun dari perut bumi. Bencana alam juga datang dari
manusia, dari hewan seperti flu burung, nyamuk demam berdarah, dan lain-lain
sebagainya.59 Demikian penulis akan meneruskan pada bab ini bagaimana awal
kejadian darurat di Malaysia dan apakah yang dikatakan perbuatan yang
membahayakan negara, siapakah yang berhak dalam memberikan ketentuan apabila
berlakunya darurat negara serta bagaimana pemerintah atau Perundangan Malaysia
dalam menyelesaikan masalah ini.
4$ - )) + + # , + "
! "H0 ) > ) " ) " + ) I + .
E. Kriteria Perbuatan dan Tindakan Pemberontakan yang Dikatakan Negara
Dalam Keadaan Darurat
Keadaan darurat negara terdapat dalam Pasal 150 Perlembagaan Malaysia.
Dalam ayat (1) Pasal 150 dinyatakan:
Jika Yang di-Pertuan Agong berpuas hati bahawa suatu darurat besar sedang berlaku yang menyebabkan keselamatan, atau kehidupan ekonomi, atau ketentera-man umum di dalam Persekutuan atau ketentera-mana-ketentera-mana bahagiannya terancam, maka Yang di-Pertuan Agong boleh mengeluarkan suatu Proklamasi Darurat dengan membuat dalamnya suatu perisytiharan yang bermaksud sedemikian.
Berdasarkan Pasal 150(1) tersebut bahwa apa yang dimaksud darurat adalah
satu darurat besar atau terjadinya suatu keadaan yang genting, kacau, buruknya
keadaan yang membahayakan serta mengancam keselamatan (keamanan) negara atau
kehidupan perekonomian negara.60 Akan tetapi Perlembagaan tidak memberikan
definisi yang rinci tentang darurat dan jenis-jenisnya. Sehingga ada orang yang
mengatakan bahwa suatu krisis itu belum sampai kepada tingkat darurat atau belum
dapat dikatakan darurat, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa suatu keadaan krisis
itu telah sampai kepada keadaan darurat. Adanya perbedaan pendapat tersebut tidak
dapat memberikan penyelesaian yang pasti untuk keamanan negara. Oleh karena itu,
Perlembagaan memberikan wewenang kepada Yang di-Pertuan Agong untuk
menen-tukan apakah suatu keadaan krisis itu sudah mencapai keadaan darurat atau belum.
Bagindalah yang dapat menentukan ada tidaknya keadaan darurat tersebut, walaupun
pada hakekatnya Baginda berbuat demikian atas nasihat dari Jemaah Menteri.61
23 # $ ((
Berkenaan dengan tidak adanya penjelasan yang rinci tentang darurat dalam
Undang-undang, Lord MacDermott sebagaimana dikutip oleh Wu Min Aun
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keadaan darurat seperti yang dipakai
dalam pasal 150(1) tidak hanya dibatasi kepada mengunakan kekerasan ataupun
ancaman kekerasan di luar undang-undang dalam segala bentuknya, makna asal kata
darurat itu juga dapat mencakup keadaan-keadaan atau suasana dan peristiwa yang
luas, termaksuk berbagai kejadian seperti perang, kemarau panjang, banjir, wabah
penyakit dan jatuhnya kerajaan atau pemerintahan.62
Keadaan bahaya atau darurat itu sendiri dapat terjadi dalam beberapa
kemungkinan bentuk dan viarasi, mulai dari yang paling besar tingkat bahayanya
sampai ke tingkat yang paling kurang bahayanya. Tingkat bahaya yang timbul juga
ada yang bersifat langsung dan ada pula yang bersifat tidak langsung. Oleh karena itu,
dipandang dari pengertian demikian, keadaan-keadaan demikian itu, dalam praktik,
sangat bervariasi atau beraneka ragam bentuk dan tingkat kegentingannya yang
memaksa kepala pemerintahan untuk bertindak cepat. Jika dirinci, keadaan yang
demikian itu dapat berkaitan dengan keadaan-keadaan berikut:
a. Keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dari luar negeri.
b. Keadaan bahaya karena tentera nasional sedang berperang di luar negeri, seperti
tentera Amerika Serikat berperang dengan Iraq.
c. Keadaan bahaya karena peperangan yang terjadi di dalam negeri atau ancaman
pemberontakan bersenjata.
21 + , ( " + ,
d. Keadaan bahaya karena kerusuhan sosial yang menimbulkan ketegangan sosial
yang menyebabkan fungsi-fungsi pemerintahan konstitusional tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya.
e. Keadaan bahaya karena terjadinya bencana alam (natural disaster) atau
kecelakaan yang dahsyat yang menimbulkan kepanikan, ketegangan, dan
mengakibatkan pemerintah konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya. Misalnya, musibah gelombang ”tsunami” di Aceh dan
bencana-bencana alam yang lainnya.
f. Keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara.63
Untuk setiap jenis bahaya atau keadaan darurat tersebut, diperlukan upaya-
upaya yang berbeda-beda pula bentuk, corak, dan sifatnya. Bahkan untuk setiap jenis
keadaan itu sangat mungkin memerlukan format perundangan yang juga
berbeda-beda satu sama lain untuk ditugasi memulihkan keadaan agar menjadi normal
kembali. Oleh karena itu, diperlukan pula pengaturan yang rinci mengenai mekanime
untuk mengatasi keadaan darurat.
Suatu keadaan yang menyebabkan darurat negara terdapat dalam Pasal 149
ayat (1) yaitu perbuatan subversif,64 tindakan yang memudaratkan ketenteraman
umum, pelaku perbuatan tersebut telah dianggap sebagai penentang subversif jika:
2 , ) < . " ' , ! " , - ; :
F # 133%& 2$
2( <