• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan ketatanegaraan Islam terhadap darurat Negara menurut perundangan Malaysia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan ketatanegaraan Islam terhadap darurat Negara menurut perundangan Malaysia"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP DARURAT NEGARA MENURUT PERUNDANGAN MALAYSIA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI )

OLEH:

HAJAR BINTI HARUN

NIM : 106045200219

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP DARURAT NEGARA MENURUT PERUNDANGAN MALAYSIA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI )

OLEH:

HAJAR BINTI HARUN NIM : 106045200219

Di Bawah Bimbingan

Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA NIP : 150 270 614

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “TINJAUAN KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP DARURAT NEGARA MENURUT PERUNDANGAN MALAYSIA” telah diujikan

dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Januari 2009. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada

Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah / Ketatanegaraan

Islam.

Jakarta, 20 Januari 2009

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.

NIP: 150 210 422

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Asmawi, M. Ag.

(………)

NIP: 150 282 394

2. Sekretaris : Sri Hidayati, M. Ag. (………)

NIP: 150 282 403

3. Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA.

(………) NIP: 150 270 614

(4)

(………) NIP: 150 275 509

5. Penguji II : Asmawi, M. Ag. (………)

(5)

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Puji syukur

penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan

semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Salawat dan salam semoga

senantiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah SWT, Nabi Muhammad

SAW, keluarga dan para sahabatnya, yang telah menunjukkan jalan hidayah dan

pembuka ilmu pengetahuan dengan agama Islam

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Ketatanegaraan Islam Terhadap Darurat

Negara Menurut Perundangan Malaysia.” penulis susun dalam rangka memenuhi

dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada

Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar'iyah (Ketatanegaraan Islam)

Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis merasa sangat gembira dengan selesainya penulisan skripsi ini karena

merupakan karya ilmiah dan proses sebuah pemikiran dan kajian yang mendalam.

Sebagai insan yang diciptakan oleh Allah SWT, penulis tidak terlepas dari kesalahan

dan kekhilafan serta membutuhkan kritik dan masukan yang membangun, sehingga

dapat menjadi sebuah pelajaran ke depan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu penulisan

(6)

penulisan skripsi ini. Penghargaan dan terima kasih secara khusus disampaikan

kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syari’ah

dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Asmawi, M.Ag Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Syar’iyyah, dan Ibu

Sri Hidayati M.Ag, Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah yang dengan sabar

memberikan bantuan kepada penulis sepanjang perkuliahan.

4. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA dosen pembimbing penulis yang

dengan sabar memberikan sepenuh arahan dan masukan dalam menyelesaikan

penulisan skripsi ini. Hanya Allah SWT yang dapat memberikan ganjaran berlipat

ganda atas jasa baiknya kepada penulis.

5. Kepada seluruh dosen Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum,

terutama yang pernah menabur ilmu untuk penulis, Dr.H.Abd.Rahman Dahlan

MA, Dr.Noryamin Aini MA, Dr.Arskal Salim GP. M.Ag, Dr.Yayan Sopyan

M.Ag, Dr. Muharom, Afwan Faizin M.A, Bambang Catur PS.SH, Iding Rosyidin

S.Ag, MSi, serta karyawan yang telah membantu dalam memfasilitasi penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepada seluruh pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan

Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah dan juga

(7)

7. Teristimewa untuk ayahanda dan bunda tersayang, Harun bin Ismail, Norhayati

binti Abd. Samad, dan terima kasih penulis ucapkan kepada kakakku Along dan

suami, serta untuk adik-adik tersayang (Halim, Hasbullah, Amirul, Hadi, dan

Adik Ana) dan keluarga lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Tidak ada yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan hanya sebuah

kejayaan. Hanya Allah SWT yang melipat gandakan segala pengorbanan yang

dilakukan.

8. Seluruh dosen-dosen di Kolej Universitas Darul Quran Islamiyyah(KUDQI) dan

Ma’ahad Darul Quran (MDQ).

9. Teman-teman seangkatan di UIN Jakarta terutama satu kosan penulis,

Nurmasyitah serta rekan-rekan EX-KUDQI (Mustafa, Harun, Baihaki, Ustd.

Hadi, Faizal, Khairil, Mawardi, Baha, Azrin , Salwa, Wahida, Siti Hajar, Nurul

Syazwani, Anis, Halimah).

10. Teman-teman dari Indonesia yang telah banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini terutamanya saudara Oyok Tolisalim, Luqman dan

Resty dan beberapa teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu karena kalian telah banyak memberikan pengalaman untuk memahami

lebih dalam kepada penulis tentang ketatanegaraan Islam dan mengenai negara

Indonesia.

11.Untuk yang terakhirnya jutaan terima kasih kepada teman-teman di Asrama Putri

(8)

kenangan antara kita tetap dalam ingatan” dan juga kepada semua teman Malaysia

yang berada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Akhirnya penulis menyadari bahwa dengan wawasan penulis masih

membutuhkan bimbingan serta masukan. Oleh karena itu, penulis tak bosan-bosannya

untuk meminta saran dan kritik yang membangun dari teman-teman sebagai bahan

perbaikan dalam penulisan skripsi ini. Besar harapan penulis semoga skripsi ini

bermanfaat untuk diri penulis sendiri khususnya dan kepada para pembaca skripsi ini

pada umumnya, semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada penulis untuk

terus mengembangkan keilmuan serta untuk mengamalkannya. Akhir kata penulis

ucapkan terima kasih.

Jakarta, 27 Januari 2009

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5

D. Tinjauan Pustaka... 6

E. Metode Penelitian ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II KEADAAN DARURAT NEGARA DALAM HUKUM ISLAM DISEBABKAN PEMBERONTAKAN A. Pengertian Keadaan Darurat ... 12

B. Tinjauan Umum Tentang Pemberontak ... 17

C. Hukuman Bagi Pemberontak Menurut Jinayah Islam ... 19

D. Pemberontakan Pada Zaman Khulafaur Rasyidin …………... 25

(10)

BAB III KONSEP KEADAAN DARURAT DI DALAM PERUNDANGAN

MALAYSIA

A. Kriteria Perbuatan dan Tindakan Pemberontak Yang dikatakan

Negara Dalam Keadaan Darurat ... 35

B. Sejarah Pelaksanaan Hukum Darurat di Malaysia... 39

C. Berbagai Kasus Keadaan Darurat dalam Sejarah di Maalaysia .... 42

D. Penanganan dan Penyelesaian Keadaan Darurat Negara ... 47

BAB IV ANALISIS HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP

KEADAAN DARURAT NEGARA DALAM PERUNDANGAN DI

MALAYSIA

A. Pandangan Islam Terhadap Keadaan Darurat Negara

(Pemberontakan) ... 56

B. Analisis terhadap Perundangan Malaysia Mengenai Keadaan

Darurat Negara dalam Tinjauan Hukum Islam ... 63

C. Pelaksanaan Undang-undang Keadaan Darurat Menurut

Perlembagaan Malaysia dari Sudut Pandang Undang-undang

Keadaan Darurat Negara Indonesia ... 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 76

(11)
(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kekuasaan negara dapat dikatakan berakhir dan penyelenggaraannya

dihentikan jika organisasi negara itu sendiri dengan sengaja dibubarkan atau

dinyatakan bubar, sehingga berakhirlah ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi

di negara yang bersangkutan. Dengan bubarnya pemerintahan, dan berakhirnya status

warga negara dari negara yang bersangkutan, maka berakhir pula ketentuan mengenai

batas wilayah negara yang bersangkutan. Malaysia pernah berada di bawah

pemerintahan darurat militer setelah Perang Dunia Kedua yaitu setelah mundurnya

militer Jepang dari Tanah Melayu. Kemudian setelah kekuasaan militer Jepang

berakhir, Inggris mengambil alih kekusaan atas Tanah Melayu dan meletakkannya

dibawah pemerintahan Inggris (British Military Administration) atau BMA.

Pemerintahan ini telah diproklamasikan oleh Pemerintahan Tertinggi Militer, Asia

Tenggara, yaitu Laksamana Lord Lois Mountbatten pada 15 Agustus 1945 dengan

berdasarkan pada kepentingan militer dengan tujuan memulihkan keamanan negara.1

Selama pemerintahan Lord Mountbatten, 77 undang-undang telah dibuat

untuk meneruskan proklamasi pemerintahan sebelumnya. Undang-undang ini

1

(13)

meliputi berbagai aspek pemerintahan, akan tetapi undang-undang ini telah dihapus

setelah pemerintahan BMA berakhir pada 31 Maret 1946 dan diganti dengan

pemerintahan kerajaan Kesatuan Tanah Melayu (Malayan Union).2

Dampak dari pemberlakuan deklarasi darurat, dalam Islam dapat kaitkan

dengan tiga istilah. Pertama istilah jihâd,3 yang kedua istilah bughât4 dan yang ketiga

hirâbah.5 Ketiga istilah tersebut merupakan kebiasaan terjadinya puncak darurat

negara. Namun demikian, istilah darurat berarti terkait dengan bagaimana

mempertahankan sebuah negara, baik ancaman dari luar maupun dari dalam negera

sendiri. Dalam Islam, jihâd telah memberi arti melawan orang-orang Musyrik dan

dakwah mereka ke jalan yang benar.6

Manakala istilah kedua, bughât atau pemberontakkanadalah perlawanan yang

dilakukan oleh sekelompok kaum Muslimin terhadap khalifah yang sah, atas dasar

perbedaan paham tentang siapa yang seharusnya menjadi khalifah.7 Secara historis

2 Ibid.

3

Jihad ialah pengerahan segenap kemampuan manusia untuk mendapatkan suatu yang diinginkan atau menolak yang dibenci

4

Bughat yaitu kelompak umat Islam yang melawan dan menderhaka kepada Ulil Amri (Imam), yaitu pemerintah/kerajaan yang adil menjalankan hukum-hukum syara’

5

Hirabah adalah gerombolan bersenjata di daerah Islam untuk mengadakan kekacauan, peumpahan darah, perampasan harta, merusak kehormatan, tanaman, peternakan, citra agama, akhlak, ketertiban dan undang-undang, baik gerombolan tersebut dari orang Islam, kafir dzimmi maupun kafir harbi.

6

Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, al-Jihâd fi al-Islâm Kaifa Nafhamuh wa Numarisuh, diterjemakan oleh M. Abdul Ghafur, Fiqh Jihad Upaya Mewujudkan Darul Islam Antara Konsep dan Pelaksanaannya, (T.tp: Pustaka an-Naba’, 1993), cet. I, h. 3

7

(14)

pemberontakan dalam Islam sudah ada sejak pemerintahan Khalifah Utsman bin

Affan dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Di mana kaum Muslimin pada saat itu

melakukan suatu pemberontakan terhadap Khalifah Utsman bin Affan yang menuntut

agar khalifah memecat para pembantunya yang korup dan tiran itu. Pemberontakan

tersebut berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan oleh kaum

pemberontak. Pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, pemberontakan

dilakukan oleh Zubeir bin Awwam, Thalhah dan Aisyah. Muawiyah dan kaum

khawarij mereka melakukan pemberontakan dengan alasan yang berbeda-beda. Ada

yang beranggapan bahwa Ali bin Abi Thalib terlibat secara langsung atas

terbunuhnya Utsman bin Affan dan pemilihannya sebagai khalifah tidak sah. Ada

yang menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan dan beranggapan bahwa Ali bin

Abi Thalib dan Muawiyah adalah sumber malapetaka kehancuran kaum muslimin.8

Kata hirâbah terfokus pada adanya niat permusuhan terhadap kaum

Muslimin, hal itu merupakan illa’ bagi jihad perang, dan hal ini pernah terjadi pada

Perang Bani Musthaliq. Dalam peperangan tersebut Rasulullah SAW me-ngetahui

bahwa Bani Musthaliq telah menyusun rencana untuk menyerang kaum Muslimin

yang dipimpim oleh Al-Harits bin Abi Dinar. Setelah yakin dengan hal itu, maka

Rasulullah SAW mulai melakukan penyerangan terhadap mereka.9

Keadaan darurat atau dikenal dalam bahasa Inggris sebagai state of emergency

adalah suatu pernyataan dari pemerintah yang bisa mengubah fungsi-fungsi

8

Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), cet. I, h. 180

9

(15)

pemerintahan, memperingatkan warganya untuk mengubah aktivitas, atau

memerintahkan badan-badan negara untuk menggunakan rencana-rencana

penanggulangan keadaan darurat. Biasanya, keadaan ini muncul pada masa bencana

alam, kerusuhan sipil, atau setelah ada pernyataan perang.

Secara terminologis keadaan darurat berkaitan dengan “emergency doctrine

yang dalam Black’s Law Dictionary terdapat beberapa definisi, pengertian yang

pertama berkaitan dengan konsep “sudden emergency doctrine” atau doktrin keadaan

darurat yang tiba-tiba. Pengertian yang kedua biasa dipakai di dunia kedokteran dan

pelayanan medis, sedangkan pengertian yang ketiga berkenaan dengan persoalan

emergency exception”. Pengertian yang mempunyai relevansi dengan persoalan

hukum adalah pengertian yang pertama dan yang ketiga.10

Malaysia sebuah negara yang baru merdeka. Malaysia juga pernah mengalami

kedaan darurat negara. Bahkan sejak 1948, secara berturut-turut lima deklarasi

darurat telah dibuat oleh negara untuk mencegah bahaya tertentu. Tiga dari deklarasi

ini meliputi keadaan darurat seluruh Persekutuan Malaysia hanya terbatas kepada

negara-negara bagian saja, yaitu satu deklarasi untuk negeri Sarawak dan satu lagi

untuk negeri Kelantan.

Berbicara mengenai hukum darurat negara yang ada di Malaysia memang

sangat menarik, apalagi ketika penulis akan membuat perbandingan dari sudut

pandang ketatanegaraan Islam dalam melihat hukum darurat negara. Maka dari itu

10

(16)

penulis memberikan judul “Tinjauan Ketatanegaraan Islam Terhadap Darurat

Negara Menurut Perundangan Malaysia.”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas, penulis merasa

perlu untuk membatasi masalah pada tataran implementasi hukum darurat

yang sudah pernah terjadi di Malaysia baik itu dari awal kemerdekaan sampai

sekarang ini. Kemudian bagaimana Islam melihat hukum darurat negara,

untuk mempersempit kajian darurat dalam Islam penulis membatasinya pada

kasus pemberontakan (al-baghyu) pada masa Khulafâur Râsyidûn, seperti

adanya pembangkangan enggan membayar zakat pada masa khalifah Abu

Bakar al-Shiddiq dan pemberontakan yang terjadi pada masa khalifah Usman

bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, yang karena pemberontakan tersebut

diharuskan adanya tindakan yang tegas dari khalifah untuk mengatasinya.

Setelah dapat melihat dari kedua sudut pandang itu maka penulis ingin

melakukan sebuah komparasi yaitu membandingankan dengan cara berbeda

menyebutkan yang sama dari keadaan yang masa lama dan kini di Malaysia.

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Bagaimana konsep ketatanegaraan Islam mengenai hukum darurat negara?

2) Bagaimana mengatasi keadaan darurat negara di Malaysia menurut

(17)

3) Pada saat kapankah harus diumumkan keadaan darurat negara di

Malaysia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan di antaranya:

1. Memberikan gambaran umum kepada masyarakat maupun akademisi

mengenai konsep darurat negara dalam pandangan ketatanegaraan Islam.

2. Mengetahui perjalanan keadaan darurat negara yang ada di Malaysia menurut

perlembagaan Malaysia.

3. Menggali relevansi hukum ketatanegaraan Islam terhadap perundangan

Malaysia berkaitan dengan darurat negara.

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

1. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuan di

bidang fiqh siyasah dalam konteks ketatanegaraan di Malaysia.

2. Sebagai bahan kajian dan rujukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan

pembuat hukum/legislatif atau partai-partai Islam terhadap permasalahan

darurat negara.

3. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat luas tentang persepsi hukum

Islam mengenai keadaan darurat negara.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan Pustaka dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak kajian dan

(18)

yang dilakukan penulis. Di bawah ini beberapa pembahasan yang ada kaitannya

dengan judul penelitian penulis dimulai dari skripsi, buku, maupun jurnal.

Buku pertama, karangan Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan

Pemerintahan di Malaysia, cet. III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan:

Dawama Sdn.Bhd, 2006). Pada buku ini di dalam bab IX terdapat pembahasan secara

khusus mengenai darurat, di mulai dari sejarah pelaksanaan darurat di Malaysia,

pengaturan hukum darurat yang tercantum di dalam Perlembagaan (UUD) Malaysia

yang juga mengenai siapa yang berhak menentukan negara dalam keadaan darurat

raja atau parlemen dalam hal ini Perdana Menteri. Kasus-kasus keadaan darurat yang

pernah terjadi di Malaysia.

Buku kedua, karangan Haji Sa’id Haji Ibrahim (mantan Mufti Negeri Sabah),

Qanun Jinayah Syar’iyah, (Darul Ma’rifah, tahun 1996). Kajian secara khusus yang

membahas mengenai keadaan darurat ini tidak ada, namun secara umum buku ini

mengkategorikan bughat sebagai keadaan bahaya dalam ketatanegaraan hal ini dapat

dijumpai pada bahasan bab ketujuh mengenai bughat. Bagian dari bahasan ini di

antaranya kesalahan dalam politik, pendurhakaan yang wajib diperangi, orang yang

menentang dan mendurhakai terhadap imam yang adil.

Buku ketiga, karangan Dr. Jaih Mubaraok, M.Ag. Fiqh Siyasah, (Pustaka

Bani Quraisy, 2005). Pada bab VI buku ini ada bahasan mengenai ijtihad dan fatwa

tentang protes politis, secara mendalam di buku ini mengkaji tentang hukum melawan

penjajah penjelasan hukum berperang untuk menolak penjajah.

(19)

Terhadap G 30 S PKI)”, tahun 2005. Pada Bab II dan Bab IV skripsi ini ada

pemba-hasan mengenai bughat. Pada bab II yang membahas mengenai konsep bughat dalam

politik Islam dengan kajian khususnya membahas definisi bughat, kriteria bughat, dan

kasus bughat dalam sejarah politik Islam. Selanjutnya di dalam Bab IV mengkaji

mengenai pandangan atau analisis ketatanegaraan Islam terhadap tindakan bughat.

Skripsi, ”Darurah dan Daruriyat Perbedaan serta Korelasi Keduanya”, tahun

2006. Skripsi ini hanya memberikan gambaran secara umum mengenai pengertian

darurah serta perbedaannya dengan daruriyat, namun demikian sekelumit bahasan

memang ada yang menerangkan batasan-batasan darurah di antaranya darurat yang

merata dalam negara berhubungan dengan urusan-urusan luar negeri.

Dari beberapa tinjauan pustaka di atas bahwa topik yang penulis angkat dalam

penelitian skripsi ini belum ada yang membahasnya dan penulis juga memanfaatkan

ide-ide dari tulisan yang disebut di atas dan penulis akan menerapkannya kepada

konteks Malaysia.

E. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan (library risearch)

dengan pendekatan penelitian analisis historis dan normatif. Penelitian historis

dilakukan karena bahasan dalam kajian ini membahas sejarah pelaksanaan hukum

darurat yang pernah terjadi di Malaysia, tujuan penelitian historis adalah untuk

(20)

cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasikan, serta mensistematiskan

bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang

kuat.11 Kemudian analisis normatif juga dilakukan karena dalam kajian ini

melibatkan Perlembagaan Persekutuan (UUD) yang ada bahasan khusus

mengenai keadaan darurat. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian

hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan

sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books)

atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan

berperilaku manusia yang dianggap pantas.12

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan library research, yaitu

pengumpulan dan studi dokumen yang ada dengan membaca dan meneliti

literatur-literatur ketatanegaraan Islam yang membahas permasalahan dalam

penelitian skripsi ini dan tulisan-tulisan yang ada relevansinya dengan tema

darurat dalam kajian ketatanegaraan Islam dan undang-undang Malaysia.

3. Sumber Data

Sumber data yang ada dalam penelitian skripsi ini terdiri dari sumber data

primer dan sumber data sekunder, adapun sumber primer di antaranya adalah

Al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan kajian ketatanegaraan Islam mengenai

11

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, cet. XVI, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 73

12

(21)

keadaan darurat (dalam hal ini kaitannya dengan bughat). Sedangkan data

sekunder merupakan data yang penulis ambil dari bahasan tulisan-tulisan yang

dilakukan oleh para peneliti-peneliti ketatanegaraan Islam yang sudah dibukukan,

dan juga tulisan dari penjelasan dari Perlembagaan Malaysia yang membahas

secara khusus mengenai keadaan darurat.

4. Analisis Data

Pengolahan data yang dilakukan pada tahap ini dilakukan dengan semua

data yang telah terhimpun diklasifikasikan dan dikumpulkan sesuai dengan isu-isu

yang mengkaji pada permasalahan skripsi ini, kemudian dianalisis secara

kualitatif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.

5. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada Pedoman Penulisan Skripsi,

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan

oleh FSH UIN Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan buku ini dibagi atas (5) lima bab, tiap-tiap bab terdiri

dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab I Merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

(22)

Bab II Bab ini membahas pengaturan Islam mengenai keadaan darurat negara,

berisi mengenai pengertian keadaan darurat, tinjauan umum tentang

pemberontak, dilanjutkan pembahasan mengenai hukuman bagi

pemberontak menurut jinayah Islam, dan kemudian keadaan darurat

zaman khalifah dan bagaimana hukum Islam mengatasinya

Bab III Pada bab ini pembahasan mengenai konsep keadaan darurat di dalam

perlembagaan Malaysia diawali dengan sejarah pelaksanaan hukum

darurat di Malaysia, tindakan pemberontak yang dikatakan negara dalam

keadaan darurat, penanganan dan penyelesaian keadaan darurat negara

menurut perlembagaan Malaysia.

Bab IV Merupakan analisis hukum Islam terhadap keadaan darurat negara di

dalam perlembagaan Malaysia, dimulai dari pandangan Islam terhadap

keadaan darurat negara, kemudian analisis terhadap perundangan

Malaysia mengenai keadaan darurat negara dalam tinjauan hukum Islam

Bab V Merupakan bab penutup, yang di dalamnya terdapat kesimpulan dan saran.

(23)

BAB II

KEADAAN DARURAT NEGARA DALAM HUKUM ISLAM

OLEH PEMBERONTAKAN

Perjalanan hidup suatu negara dalam mencapai tujuan-tujuannya terkadang

berjalan tidak baik. Adanya keadaan-keadaan tertentu seperti musibah kemarau

panjang, kelaparan, gempa bumi maupun pertikaian politik dapat menyebabkan

tujuan negara yaitu kesejahteraan rakyatnya tidak tercapai. Akibatnya timbul suatu

kondisi atau keadaan yang biasa disebut dengan darurat, yang mana ketika keadaan

ini terjadi hukum atau peraturan yang normal tidak dapat dijalankan di samping

memerlukan peraturan baru dan khusus yang sesegera mungkin untuk mengatasi

keadaan darurat tersebut. Pada Bab II ini penulis akan memaparkan keadaan darurat

dalam sejarah ketatanegaraan Islam pada masa al-Khulafa al-Rasyidun, yang

diakibatkan oleh pertikaian politik yaitu yang biasa disebut dengan pemberontakan

atau pembangkangan oleh suatu kelompok terhadap pemerintahan yang ada (sah).

A. Pengertian Keadaan Darurat

Darurat berasal dari bahasa Arab yaitu darûrah dari akar kata

darra-yadurru-darran yang berarti merusak atau memberi mudarat. Biasa juga disebut dlarar yang

memiliki arti bahaya, kemelaratan, kesulitan, kesempitan, buruknya keadaan.13

(24)

Keadaan darurat yaitu keadaan sangat merusak atau sangat memaksa, kebutuhan yang

amat mendesak dan amat berbahaya apabila tidak dipenuhi.14 Darurat berarti

sampainya seseorang kepada suatu batas, yang apabila tidak melakukan sesuatu

perbuatan yang dilarang akan dapat mencelakakan atau membinasakan dirinya.15

Darurat juga dapat diartikan sebagai suatu kekhawatiran atas kebinasaan diri, baik

berdasarkan keyakinan maupun berdasarkan dugaan yang kuat. Darurat ini tidak

terwujud kecuali ada suatu keadaan yang memaksa untuk melakukan yang

diharamkan agar terpelihara diri dari kebinasaan, seperti haus dan lapar yang

berlebihan atau sakit yang membawa kematian. Kebinasaan itu tidak hanya terhadap

diri atau jiwa seseorang, tetapi juga terhadap harta.16

Darurat dan ikrah mempunyai pengertian yang sama, yaitu suatu keterpaksaan

yang dibolehkan melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Tetapi dalam

kenyataannya kedua bentuk keterpaksaan itu berbeda. Keterpaksaan dalam bentuk

darurat adalah keterpaksaan yang timbul secara alami tanpa ada keterliba-tan manusia

seperti sakit keras, kelaparan, kehausan dan lain-lain. Sedangkan ikrah adalah

keterpaksaan yang timbul dengan adanya keterlibatan manusia seperti orang yang

diancam dengan senjata untuk mengucapkan kalimah kufur.

( ) * + ) ) , - .

/ 0 / $$%& 123

4 5 . .

+6 )78 ) )79 & : * 3 ! ) : " ! ) ;

< ! " , ** 133 & %

(25)

Menurut ulama ushul fiqh ada lima prinsip yang pemeliharaan eksistensinya

amat dibutuhkan manusia dan amat berbahaya apabila diabaikan, karenanya keliam

prinsip itu disebut al-dlar riyat al-khamsah (lima yang amat dibutuhkan). Kelima

prinsip itu adalah agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan dan harta. Inilah

yang kemudian disebut dengan Maqâsid al-Syari’ah yaitu tujuan suari’at yang

diturunkan oleh Allah SWT adalah untuk memelihara eksistensi kelima prinsip

tersebut.17

Oleh sebab itu, apabila salah satu dari kelima prinsip itu sedang terancam

eksistensinya, syari’at mewajibkan manusia untuk menyingkirkan ancaman itu dan

tidak memandang dosa mengatasinya jika dengan tindakan yang dalam keadaan biasa

termasuk perbuatan haram, seperti memakan bangkai apabila tidak ada makanan lain

dalam keadaan lapar yang membahayakan keselamatan jiwa. Artinya bahwa dalam

keadaan-keadaan bahaya, kesulitan, kesempitan atau buruknya keadaan yang dapat

mengakibatkan terancamnya agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan dan harta,

maka diperbolehkan melakukan sesuatu yang diharamkan.

Dasar dari hukum dari darurat tersebut adalah Qur’an dan sunah. Dalam

al-Qur’an dijelaskan apabila seseorang dalam keadaan terpaksa tanpa sengaja dan tidak

melampaui batas maka ia tidak berdosa. Allah SWT berfirman dalam surat

al-Baqarah/2 ayat 173:

% " < )7 = ! : ! ) 7

) # < 7 " " # ) # )

) )7 ) " - ! + )75 & 174 !

) : " ! ) > ) # % > + )70 133 &

(26)

!  #$%&'( ) *+',-. /' 0 12 !' 3 4 56 7 89:; 12 <= > 0 ?@ A B< 7 C ' D *E F GHI J<=

C ' H

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu memakan

bangkai, darah, daging babi, dan binatang-binatang yang disembelih tidak kerana Allah maka barang siapa yang terpaksa (memakannya kerana darurat) sedang ia tidak mengingininya dan tidak pula melampaui batas (pada kadar benda yang dimakan itu), maka tidaklah ia berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang”. (QS.: al-Baqarah/2: 173).

Allah juga berfirman:

:L M ...

?+NO 7 8P *) 2 8P Q@ ) !CR2H$ 89:; '

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atas kamu, kecuali apa yang kamu terpaksa memakannya? (QS.: al-An’am/6: 119).

Adapun sumber hukum dari sunah di antaranya adalah hadits yang diterima

dari Abu Waqid al-Laitsi:

ﺏ! "#

$%&'&

ﺏ ( %) *+,ﺏ

- . /+ ی

&1

ی

( 23

"ﻡ

5673)

78)

3 9%)

:; . $7 &

< ﺏ

ﺏ = ,>1

+

?

2 (ﺡ "ﺏ &ﺡ

18

Artinya: “Dari Abu Waqid al-Laitsi berkata: aku bertanya kepada Rasulullah, kami berada di sebuah daerah yang tengah dilanda bencana kelaparan. Apakah kami memakai bangkai?. Beliau menjawab: Kalau memang kalian tidak menemukan makanan yang bisa kalian makan pada pagi dan sore hari dan bahkan tidak mendapatkan sayuran yang bisa kalian cabut, maka silahkan kalian makan bangkai itu”. (HR. Ahmad bin Hanbal).

' 0 ) ? ))6 )7 6 @ & #

(27)

Sehubungan dengan masalah darurat ini, fuqaha merumuskan kaidah pokok,

yaitu:

. Aی + B

19

Artinya: “kemudlaratan harus dihilangkan”. Kaidah ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:

+ ﺽD + ﺽD

E # - FG ﺵ FG ﺵ "ﻡ - ?F+ ﺽ F+ ﺽ "ﻡ

(9 +

? +

EI ﻡ "ﺏ

20

Artinya: “Tidak boleh berbuat bahaya dan membalas perbuatan bahaya kepada orang lain, bagi siapa yang berbuat bahaya kepada orang lain maka Allah akan berbuat bahaya kepada orang tersebut, dan bagi siapa yang mempersulit orang lain maka Allah akan mempersulit dia”. (HR. Dâruqutnî dan Ibnu Mâjah).

Yang dimaksud dengan dlarar dalam hadits tersebut adalah berbuat kerusakan

kepada orang lain secara mutlak; mendatangkan kerusakan terhadap orang lain

dengan cara yang tidak diizinkan oleh agama. Sedangkan yang diizinkan oleh agama

seperti qisas, diyat, had dan lain-lain tidak dikategorikan berbuat kerusakan tetapi

untuk mewujudkan kemaslahatan.21

Dari kaidah pokok tersebut muncul kaidah-kaidah antara lain:

J ) + B

&

3

K

L +

(Darurat itu membolehkan yang dilarang),

M+ ﺏ + ) + B

(Darurat itu diukur dengan kadarnya) dan lain-lain.22

$ , )6) )7+@ 9 )7; 6 @ . )7 ? & #

' . +6 )75 $$4& 23

13 9 )@ B ? )70 )7+6 < @ )7. " 6 ( ! "

. +6 )7 = # $$2& : * %% 1'' C *@

? 9 ))6 )7A * ( # ) . +6 )75 & : * %'(

1 (3

1 * + " ,

(28)

Kaitannya dengan negara, keadaan darurat yaitu keadaan di mana negara

dalam keadaan yang sulit, genting atau bahaya sehingga hukum tidak dapat

dijalankan dengan normal, artinya peraturan-peraturan tertentu dapat dikesampingkan

atau tidak diberlakukan karena keadaan yang tidak memungkinkan. Keadaan ini bisa

disebabkan karena alam maupun karena pertikaian politik.

B. Tinjaun Umum Tentang Pemberontak

Dalam bahasa Arab, perbuatan ini disebut ( 8 ), yang biasa diartikan

sebagai menuntut sesuatu atau menentang pemerintah dengan menggunakan

kekuatan senjata.23 Menurut Jinayah Islam, al-Baghy secara etimologi

mempu-nyai arti yang banyak, di antaranya adalah berbuat aniaya, bertindak

sewenang-wenang, berbuat kerusakan dan menyimpang dari kebenaran. Secara terminologi,

pemberontak adalah sekelompok orang yang memiliki kekuatan dan kemampuan

memberontak terhadap pemerintah karena suatu alasan yang dibolehkan. Mereka

ingin melepaskan diri, melanggar dan membangkang pemerintah setempat.24

Bughât dalam istilah ilmu tata negara ialah perbuatan sekumpulan dan segelongan

umat Islam yang memberontak untuk menentang dan membangkang kepada Ulil

Amri adalah dinamakan ”jarimâh siyasah”, yaitu kesalahan dalam politik.25

11# $

1 * 0 : ) % , , ) " - )

+8 .0+ ) " , 133 & 1 %

24

(29)

Banyak para ulama Fiqh Islam memberikan definisi yang berbeda tentang

pemberontakan. Menurut Ulama Hanafiyah adalah:

2ی ,7 ﺏ =ﺡ N ﺏ 1 " & O&

6 ﺥ $ (ﻡ $Q ﺵ

8

26

Artinya: “Tindakan sekelompok orang yang mempunyi kekuatan yang menentang pemerintah dalam segala kebijaksanaannya dikarenakan adanya perbedaan paham”.

Menurut Malikiyah adalah:

#

) ی "یR

8

S

# T I 'ی "یR

2ی ,7

. ﺥ "ﻡ T (7&ی

E7# U 1

27

Artinya: “Tindakan sekelompok yang melakukan perlawanan dan tidak taat kepada penguasa pemerintah dikarenakan adanya perbedaan paham”.

Menurut Ulama Hanabilah adalah:

T I+ '

8

#

$Q ﺵ

Vﺉ / 2ی ,7ﺏ . # X

ی

1 "=

Y 9ﻡ

28 Artinya: “Sekelompok yang menentang penguasa/pemerintah, termasuk pemerintah

yang tidak adil (zalim) dikarenakan adanya perbedaan paham, mereka memelikikekuasaanmeskipuntidak di bawah komando seorang pemimpin”.

Menurut Ulama Syafiiyah adalah: “Orang-orang muslim yang menyalahi

iman dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak

kewajiban dengan memiliki kekuatan dan memiliki pimpinan”.29

14 = 0 : * ( ( "

+ , - * " > ) D ! + )

= # & 1$

12 )7E ) & & " . +6 )75 & : *

4(%'

1% # $ 4(%$

(30)

Dari keterangan di atas, semua definisi bermakna penjelasan atau alasan yang

menyepakati pemaknaan kata bughat itu adalah suatu usaha atau gerakan yang

dilakukan oleh sekelompok dengan tujuan untuk menggulingkan atau menentang

Imam/pemimpin/pemerintah yang sah.

Apabila terjadi hal-hal yang mengarah kepada pertentangan yang kemudian

meluas kepada pemberontakan, maka menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk

menghalangi setiap bentuk pemberontakan yang timbul. Sebab pemberontakan ini

dapat mengancam disintegrasi bangsa. Selain itu pemberontakan dipandang sebagai

bentuk kejahatan yang mengancam keamanan negara. Semua kegiatan yang

dilakukan hanya boleh dianggap sebagai pemberontakan atau pembangkangan

apabila mereka melibatkan penggunaan kekuatan dan kekerasan yang dapat

menimbulkan keadaan darurat dalam negara.30

C. Hukuman Bagi Pemberontak Menurut Jinayah Islam

Di dalam hukum Islam, ada dua istilah yang sering digunakan untuk

pengertian yang sama atau yang hampir sama. Kedua istilah tersebut adalah

”Jarimah” dan ”Jinayah”. Salah satu bagian hukum Islam adalah bidang Jinayah

(Hukum Pidana), yakni bidang yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dinilai

sebagai pelanggaran atau kejahatan (jarimah). Tindakan-tindakan ini merupakan

1$ +* ) % ,, , ) " !

& , - ; : F # $$%& 34

3 0 # & + , - . ) . "

(31)

perbuatan-perbuatan jahat yang diharamkan oleh syara’, yang boleh menghilangkan

atau mengganggu eksistensi dan ketertiban hidup. Yakni agama, akal, kehormatan,

dan harta benda.31 Oleh karena itu, bagi setiap pelaku harus mendapatkan sanksi

hukuman (uqubah) baik di dunia maupun di akhirat tindak pidana politik hanya

berlaku terhadap pemerintahan yang sah. Apabila seseorang membunuh kepala

negara, sekalipun dengan tujuan politik tanpa suatu pemberontakan yang

terorganisasi dari sekelompok orang untuk mengulingkan pemerintahan yang sah.

Salah satu macam dari tindak pidana jarimah atau jinayah adalah tindak

pidana pemberontakan. Pemberontakan adalah bangkangan yang dilancarkan oleh

sekelompok kaum muslim terhadap penguasa yang sah, karena suatu hal yang

menyangkut masalah politik pemerintahan, sehingga mengakibatkan mereka

memisahkan diri dari kesatuan. Dalam sebuah negara yang berdasarkan

hukuman-hukuman Islam, pemberontak yang wajib diperangi adalah sebagaimana yang

tertakluk pada syarat-syarat berikut:

1. Mereka yang mempunyai kekuatan dan yang telah berterus-terang secara terbuka

menentang pemerintah/kerajaan yang adil.

2. Mereka yang telah keluar dari tadbiran Ulil amri, dan telah membentuk

pemerintah/kerajaan yang lain dan telah melatik seorang imam yang lain.

3. Terdapat perbedaan pendapat, dimana mereka menganggap bahwa mereka boleh

keluar dari kontrol pemimpin.

(32)

4. Mereka telah melakukan kekacauan dalam negeri seperti membakar, membunuh

dan sebagainya.32

5. Mereka yang memberontak adalah jamaah yang kuat dan bersenjata, sehingga

untuk mengembalikan mereka kepada ketaatan, pemerintah membutuhkan

persiapan tenaga manusia, materi dan perang. Jika mereka tidak memiliki

kekuatan, sekalipun terdiri dari beberapa orang tetapi tidak mempunyai

perbekalan, baik senjata maupun logistik, yang memungkinkan mereka dapat

mempertahankan diri, maka mereka tidak dikatakan bughat, karena mudah

ditangkap dan dikembalikan kepada ketaatan.

6. Mereka mempunyai pemimpin yang ditaati sebagai sumber kekuatan mereka,

karena tak ada sesuatu kekuatan jemaah yang tidak memiliki.33

Sekiranya terdapat syarat-syarat tersebut ada pada pemberontak, maka mereka

harus diperangi. Hukuman terhadap mereka adalah mati.34 Kebolehan melakukan

pembunuhan kepada mereka dengan jalan yang diperangi atau tumpas semata-mata

untuk memelihara persatuan dan kesatuan dan untuk menegakkan hukum Allah

dimuka bumi. Adapun jika salah satu kelompok dari kaum muslimin yang

memberontak, menentang pendapat (kebijakan) kaum muslimin dan menganut

pendapat yang mereka ciptakan sendiri, jika dengan pendapatnya itu mereka masih

1 = 0 : * ( ( "

+ , - * ! " 1$

< ( : ) 8 0

, 133%& 43(

( = 0 : * ( ( "

(33)

taat kepada imam, tidak memiliki daerah yang mereka berdomolosi didalamnya,

mereka terpecar-pecar yang memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam

jangkauan kekuasaan negara Islam, maka mereka dibiarkan. Mereka tidak diperangi,

kewajiban dan hak mereka sama dengan kaum Muslimin yang lain.35

Ibn Taimiyah menyatakan bahwa orang-orang yang menimbulkan kekacauan

yang mundur boleh dibunuh, jika mereka mundur kepada kelompoknya dan

ditakutkan kembali memerangi lagi, berbeda dengan orang yang terluka dari mereka,

mereka tidak boleh dibunuh. Alasanya karena terluka ini memungkinkan

keburukannya terhenti, berbeda dengan yang lari mundur, keburukannya belum

terhenti.36 Jika terdapat dari kalangan mereka yang terbunuh, maka wajib

dimandikan, dikafankan dan dishalatkan. Jika si terbunuh dari golongan adil ia

menjadi syahid, tidak perlu dimandikan dan dishalatkan karena ia gugur di dalam

meneggakkan perintah Allah, tidak ubahnya dengan syahid yang gugur pada waktu

memerangi orang kafir.37

Pemberontakan dalam arti upaya menggulingkan pemerintah yang sah itu

dapat disejajarkan dengan pengkhianat. Alasan hukum keberlakuan sanksi yang

dikemukan pada ayat Al-quran di atas bertujuan untuk menciptakan sistem

4 ) & ( " ! : ) 0 )7

> > ) 8 , F 1333& 1

2 - " " # . . " ,

, + # " " + , ' , ( ' /

! : ** > , #

133'& 31

(34)

kemasyarakatan dan kewibawaan pemerintah. Seperti yang diketahui bahwa manusia

membutuhkan teman pergaulan antara seorang dengan yang lain sehingga diperlukan

seorang pemimpin, sistem peraturan yang menjadi pedoman dalam hidup

bermasyarakat. Sistem peraturan yang disepakati akan berjalan dengan baik bila

semua pihak mematuhi peraturan tersebut.38

Dasar hukum tentang hukuman bagi pemberontakan (al-baghyu) dalam

hukum Islam sangat jelas terdapat di dalam dua sumber hukum yaitu al-Qur’an dan

hadits.

a. Al-Quran

Allah SWT berfirman:

E

TE <JU 

6')

WX'Y') 

4 IR M

4 I :\ ] 7

_ `a 0 4

bE c 7

:d ! 0

ef L

g 

P%  hi

4 IR ' j 7

klmF kT22A  Dknm 8ogpq  g r $ ) . 3 D

E c 7

: 8 7

4 I :\ ] 7

_ `a 0

ls:L R 0

4 oI89pt M .

4

*E F

a ' 8u

vwX'9pt 

L Z3

[

Artinya: “Dan jika dua kelompok dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikanlah di antara keduanya; jika salah satunya berlaku zalim terhadap yang lain, maka lawanlah kelompok yang zalim itu sehingga ia kembali mematuhi perintah Allah; jika ia kembali patuh maka damaikanlah di antara keduanya dengan adil (menurut hukum Allah), serta berlaku adillah kamu (dalam segala perkara); sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil”.(QS. al-Hujurat/49: 9).

(35)

Ayat di atas menetapkan, jika orang mukmin saling bermusuhan, maka

jamaah yang memiliki kebijaksanaan wajib segera campur tangan untuk

mendamaikan. Sekiranya salah satu golongan membangkang dan tidak ingin

berdamai, pada saat itu semua kaum muslimin berkewajiban bersatu padu untuk

memerangi golongan yang membangkang.39

b. Al-Hadits

Banyak hadits yang membahas mengenai pemberontakan, kebanyakan

hadits ini lebih melihat dari sanksi hukum bagi para pemberontak, diantaranya:

-

ﺽ+ \ Oﻡ "ﺏ -

# "#

#

. E(

/+ .

ﺹ - .

\ 23ی D

^<ﺙ ` ﺡaﺏ D; Oﻡ b ﻡ

A c

T

d6( ﺏ d6(

e+ 7

G+ 6& E(ی

$# &Z

Oﻡ ? +

40

Artinya: “Dari Abdillah bin Mas’ud r.a. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: Tidak halal darah seorang muslim melainkan karena salah satu dari tiga sebab: (1) Orang tua yang berzina, (2) jiwa dibalas dengan jiwa, dan (3) orang yang meninggalkan agamanya yaitu orang yang memisahkan diri jamaahnya. ( H.R. Muslim).

Pengertian memisahkan dari jamaah adalah meninggalkan jamaah orang

Islam (menentang keputusan-keputusan Ahlul Hal wal Aqd.41 Dan ketika

seseorang telah melakukan ketiga hal yang telah disebutkan hadits diatas, maka

agama menganjurkan kepada kita untuk membunuhnya, hal ini dilakukan apabila

tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan. Allah sudah tegas mengatakan bahwa

golongan yang harus diperangi oleh pemerintah yang sah adalah mereka yang

$ < ( 43

(3 ) )70 :6: ? )70 )7A @ )78@ 6 @ (

. +6 6 )7- 6 )79 @ & : * 14 2%2& 31

( - " 0 7 < & " - ; *

(36)

membuat kerusakan dan gangguan terhadap anggota masyarakat yang tidak

bersalah, di dalam hadits lain disebutkan:

cM "ﺏ یf "# g&#

"#

.

+

. ی

ﺹ - . /

ﻡ ﻡ; hی ﺏ "ﻡ

? ی $ 6ﺹ ? 9#,1

ﺏ ﺽ 1 E#f (ی ﺥi j I Ta1 Y 97/ T; E 9 1 E

&ﺙ

ﺥk l(#

42

Artinya: “Dari al-A’masy dari Zaid bin Wahab berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa orang yang memberikan persetujuan dan kesetiaan kepada imam, maka taatilah dia samampu mungkin. Apabila orang lain mempersengketakan kekuasaan penguasa tersebut, maka potonglah leher orang itu ( H.Rm Muslim)

"#

E(# - ﺽ+ ی ﺵ "ﺏ $Z1 #

.

&/

- . /+ n

/ E # -

. ی

G 6ی ! Q %# l>ی T! ی ی ﺡ 2I+ # h &I Q ﻡ! Q )! "ﻡ

? 7 1 =7# &I

? +

Oﻡ

43

Artinya: “Dari Urfajah bin Syarim r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Siapa orang yang mendatangi kamu sementara kamu telah sepakat (mengakui pemerintahan yang sah), maka bunuhlah dia yang ingin memisahkan diri dari jamaah kamu”. (H.R. Muslim).

D. Pemberontakan Pada Zaman al-Khulafaur al-Rasyidun

1. Pada zaman Abu Bakar ash-Shiddiq

Rasulullah tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa yang akan

menggantikan dirinya sebagai kepala negara. Sementara dalam dua sumbar ajaran

Islam; Al-Quran dan hadits juga tidak dapat petunjuk yang jelas tentang proses

suksesi. Belum lagi jelas dikuburkan, umat Islam kaum Muhajirin dan Anshar

(1 )78@ 6 @ ( (2 '((& (%1

(37)

sudah melakukan debat sengit untuk mendudukan masing-masing tokoh mereka

sebagai khalifah. Setelah melakukan debat yang cukup sengit, akhirnya secara

aklamasi Abu Bakar menjadi khalifah untuk menggantikan kedudukan Nabi

sebagai kepala negara, hal ini juga dilandasi dengan semangat ukhuwah Islamiah

yang tinggi, dan juga hal ini karena Abu Bakar mendapat penghargaan yang

tinggi dari umat Islam.44 Sebagai khalifah pertama umat Islam ia menegaskan hak

umat Islam untuk mengawasi dan mengeritik pemimpinnya (menganjurkan

adanya oposisi yang loyal dan konstruktif) yang dipilih dan di bai’at oleh mereka

sendiri, rakyat harus mendukung rencana dan program pemerintah, karena

rencana program itu semua untuk masyarakat dan tidak bertentangan dengan

kehendak Allah dan Rasulnya. Begitu pula sebaliknya rakyat harus mengawasi

pelaksanaan pemerintahan karena bisa saja pemerintah melakukan hal-hal yang

merugikan rakyat. Rakyat harus patuh terhadap pemimpin yang betul-betul

menjalankan hukum Allah dan Rasul-Nya.

Dalam menjalankan tugas kepemimpinannya, dia tetap konsisten dengan

sistem yang berlaku pada masa Nabi dan (juga konsisten) dengan pidato awal

pelantikannya sebagai khalifah. Abu bakar tidak dapat berbuat banyak untuk

menyebar luaskan Islam selain dia mengatasi gejolak-gejolak internal yaitu

menghadapi umat Islam yang banyak kembali murtad dan orang-orang Islam

yang tidak mau membayar zakat tetapi semua itu bisa diatasi dengan

(( 0 0 ( ) # C "

(38)

bermusyawarah dan jalan terakhir dengan memerangi mereka yang murtad dan

tidak membayar zakat. Beberapa kejadian yang pernah dihadapi pemerintahan

Khalifah Abu Bakar dalam menjalankan kehidupan bernegara sebagai kepala

pemerintahan:

a) Timbulnya sejumlah Nabi Palsu di beberapa daerah, seperti Musailamah

al-Kadzab dari Bani Hanifah, Yamamah Ablahah Dzulkhimar atau dikenal

dengan al-Aswad al-Ansi di Yaman, dan Thulaihah bin Khuwailid di Bani

Asad. Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut

Perang Riddah (perang melawan kemurtadan).45 Gerakan kemurtadan yang

timbul setelah wafatnya Rasul SAW baik yang dilakukan oleh golongan

munafik yang memang mereka menginginkan keluar dari Islam, atau pun

kemurtadan yang dilakukan oleh suku-suku Arab lain karena alasan politis

dimana mereka menilai suku Quraisy telah menggunakan Islam sebagai salah

satu cara untuk menguasai mereka, bahkan sebagian dari suku-suku itu

bergabung dengan kelompok nabi palsu bukan karena mereka percaya dengan

kenabiannya tetapi hanya untuk berkoalisi dalam menghadapi Quraisy.46

b) Kelompok Islam yang tidak mau mengeluarkan zakat atas dasar ta’wil dan

penafsiran yang mereka pegang. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa

(4. C ( ) + # , - ; : F # 1332 &

2

(2 ) . G )7

(39)

tindakan menghalangi suatu hak yang difardhukan Allah SWT seperti zakat

termasuk kedalam kategori bughat.47

Sebelum menggempur kaum pemberontak, terlebih dahulu Abu Bakar

memberikan peringatan agar kembali kepada Islam. Namun seruan itu mereka

tidak menerima. Akhirnya Abu Bakar mengunakan kekuatan senjata. Semua

pemberontak dapat dipadamkan. Ada yang kembali kepada Islam, bagi mereka

yang kembali kepada Islam, mereka dimaafkan oleh Abu Bakar. Sedangkan yang

tetap membangkang, terus digempur hingga pemimpin-pemimpin pemberontak

terbunuh, seperti Musailamah yang mengaku menjadi nabi. Selama enam bulan

terhitung, Abu Bakar berjuang memadamkan pemberontakan suku-suku Arab dan

nabi-nabi palsu tersebut.

2. Pada zaman Umar ibn al-Khathtab

) . # B )7> "

: ) # ) ) " ) .

" " B " )

) ! "

! B (' B ) : > ) # !

# . 1 , ) 0 : :

B " " ) )7 )

(% # $ '1

(40)

" " 7 7 "

B " 7 " ! ! " ) ""

" ) + " ! !

" B " 7 " " " "

" " "7 " "

! + B ) ) ) "

! ) ! :

# ) ($

Secara prinsip pada pemerintah Umar ibn al-Khathtab ini tidak ada

tindakan yang terjadi seperti pemberontakan dari kaum murtad dan orang yang

enggan membayar zakat, namun dalam akhir pemerintahannya beliau meninggal

dalam keadaan syahid setelah dibunuh oleh orang dari keturunan Yahudi.

3. Pada Zaman Usman ibn Affan

Usman ibn Affan merupakan khalifah yang ketiga, sebagaimana halnya

dua khalifah sebelumnya, Usman juga menyampaikan ”pidato kenegaraan” saat

pelantikannya menjadi khalifah. Akan tetapi pidato yang disampaikannya itu

lebih bersifat sebagai nasihat seorang tua kepada anak-anaknya. Kalau diteliti

lebih jauh Usman bukan seorang negarawan seperti Abu Bakar dan Umar, selama

hidupnya Usman dikenali sebagai seorang pengusaha sukses yang banyak

(41)

menyumbangkan harta bendanya untuk kepentingan Islam. Pengangkatan Usman

sebagai khalifah merupakan suatu kemenangan bagi Bani Umaiyah terhada Bani

Hasyim.50

Periode pertama kekhalifan Usman berlangsung sangat damai. Selama

masa itu, kaum muslimin mendapatkan banyak kemenangan. Kekhalifannya telah

diperkuatkan sampai pada sebuah wilayah yang sangat luas, kemudian terkenal di

dunia. Tetapi bagian akhir kekhalifan Usman telah dikacau oleh suatu perang sipil

yang mengerikan, yang akhirnya membawa pada pembunuhan terhadap khalifah

sendiri. Usman seorang yang sangat bijak dan berhati lembut. Musuh-musuh

Islam mencari suatu kesempatan yang tepat untuk bertindak melawan Islam dan

kaum Muslim. Mereka telah mendapat peluang dengan mengirimkan orang untuk

mengganggu kedamaian serta menyebarkan khabar-khabar angin.51

Tidak ada mutasi yang berarti bagi pejabat pusat dan daerah. Tetapi

karena adanya perubahan generasi dari angkatan para sahabat ke putra-putra

mereka melalui kebijaksanaan Usman berubah mengikuti tuntunan generasi muda

dari kalangan generasi keluarganya sendiri, tetapi juga dalam menggunakan

keuangan negara tidak untuk kepentingan masyarakat secara luas. Kebijakan ini

menimbulkan banyak protes dan kecaman banyak masyarakat Muslim, baik dari

kalangan senior maupun dari golongan muda yang bukan keluarga dekat khilafah.

43 < ) ( 0 " " ! " + " 1

, F 133 & 2%

4 : ) > ( + ( ; ) F

(42)

Ditambah oleh kenyataan tidak ada kontrol dari anggota majelis Syura

(orang-orang yang ditunjuk Umar untuk memilih khalifah pasca dirinya) karena mereka

selalu berkunjung ke wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan dan menjadi

wilayah Islam, kebijaksanaan Usman bertambah buruk. Sementara para

keluarganya senantiasa turut menentukan setiap keputusan dan kebijaksanaan

khilafah.52

Melihat kondisi yang semakin tidak menentu itu, timbullah kelompok

pemberontak yang berkumpul dikota Madinah. Kehadiran mereka di Kota

Madinah sebenarnya hanya ingin mengajukan tuntutan agar khalifah memecat

para pejabat yang menurut mereka tidak benar menjalankan tugas. Karena

keluarga yang dituntut itu keluarga dekat khalifah, maka tuntutan mereka ditolak.

Suasana kacau tidak terkendali dan pemberontakan mengepung rumah kediaman

khalifah, walaupun pasukan keamanan pemerintah memberikan perlawanan,

namun tidak cukup berarti karena pasukan pemberontak lebih banyak hingga

akhirnya pemberontakan berhasil membunuh Usman ibn Affan.53

4. Pada zaman Ali bin Abi Thalib

Setelah Saidina Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi Khalifah dia

langsung mendapat tantangan dari keluarga Khalifah Usman terutama

Muawwiyah bin Abi Sufyan, selain bahwa pembaitan terhadap Saidina Ali tidak

41 . " G ; $'%&

'%

(43)

dihadiri oleh majelis syura, juga karena wilayah Islam semakin luas, maka

yang berhak menentukan jabatan khalifah tidak hanya mereka yang berada

di Madinah, tetapi juga hak mereka yang menjadi wilayah-wilayah baru

Islam pendapat Muawwiyah bin Abi Sufyan juga didukung oleh pejabat di

Madinah yang kemudian bergabung dengan dirinya di Syria. Pertentangan terus

berlanjut.

Permasalahan yang dihadapi oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib ini juga

berbeda dari pemerintahan sebelumnya, kalau pada pemerintahan Abu Bakar

disebabkan oleh adanya syubhat di dalam penafsiran mengenai hukum, maka

pada periode Ali ini lebih disebabkan oleh politis yang sangat urgent (pokok)

untuk menyebabkan adanya pemberontakan (bughât). Di dalam sejarah umat

Islam sedikitnya ada tiga kelompok kaum bughat yang timbul sewaktu

kekhalifahan Ali, mereka terdiri dari ahlu al-Jamâl di Bashrah, kelompok

Mua’wiyah di Shiffin dan al-Khawarij di Nahrawan.54

E. Peran Syura dalam Menerapkan Prinsip Darurat

Prinsip darurat didasarkan bahwa darurat itu diukur dengan ukuran

keburukannya. Artinya, darurat memperbolehkan kita melanggarnya agar jangan

sampai melampaui ukuran yang ditentukan (dipaksa) oleh darurat yang sebenarnya.

Oleh itu, untuk membatasi ukuran ini adalah syûrâ. Darurat sebagai suatu teori umum

dan serba meliputi merupakan dasar bagi fleksibilitas (kelenturan) dari banyaknya

(44)

hukum-hukum syar’i, baik yang berhubungan dengan akidah, ibadah, pemerintah

maupun muamalah. Dalam konteks keterwakilan (syûrâ), prinsip darurat (dhârûrî)

dapat dijelaskan sebagai prinsip yang didasarkan kepada standar batas negatifnya.

Artinya darurat yang membuka peluang pergeseran hukum boleh (ibâhât) itu adalah

yang tidak melampaui batas-batas darurat. Ukuran yang dapat distandardisasi untuk

melihat baik tidaknya darurat itu difungsikan, adalah melalui standar syûrâ.55 Dengan

demikian, syura dapat diangkat untuk menentukan demarkatif (batas pemisah) suatu

regulasi (pengaturan) dapat disebut melanggar atau tidak melanggar.56

Darurat itu merupakan berpengaruh pada sikap pribadi, dan juga berpengaruh

pada ketetapan jama’ah, rakyat atau umat, setiap suatu ketetapan yang dikeluarkan di

dalam syura adalah ketika keluar dari kehendak bebas, jauh dari tekanan dan paksaan,

baik paksaan ini datang sebagai hasil dari perbuatan pihak kedua itu sendiri atau dari

kondisi-kondisi asing dari kedua belah pihak. Sebagai hasil dari itu, pihak yang

melakukan tindakan pemberontakan dan kemudian menang dari pihak asing yang

menyerang sehingga dipaksakan kepada ahl hall wal aqd yang kemudian mengambil

suatu ketetapan tentang pengakuan terhadap pemerintahannya, dan mereka pun

benar-benar telah mengeluarkan ketetapan ini tanpa ada pilihan bebas bagi mereka,

maka ketetapan ini jelas merupakan ketatapan yang tercela, tidak mengikat mereka,

44 ) C # 2+ , " 3 & + # " # , %

% 4 ) . ; & " " ! "

( ) , $$4& 4$4

56

(45)

dan tidak pula mengikat orang lain. Hal itu berarti bahwa mereka harus cepat-cepat

membatalkannya dan membersihkannya dari perbuatan tersebut. 57

Syûrâ yang merupakan sebuah sistem yang mencapai tujuan secara syar’i dan

ditetapkan dengan melihat manfaatnya serta disepakati oleh banyak orang adalah

sebuah solusi (penyelesaian) untuk menetapkan sebuah keadaan yang dianggap

genting dan darurat. Akan tetapi, mengakui sahnya pemerintahan darurat bukan

berarti tidak lagi memperdulikan perbedaan antara pemerintahan itu dengan

pemerintahan yang sah secara syûrâ yang perwujudannya ialah khalifah yang sah dan

(râsyidah) lurus.58

Setelah mengatahui penjelasan bagaimana dan tindakan hukum Islam dalam

mengatasi masalah darurat negara disebabkan pemberontakan, oleh itu, penulis akan

meneruskan pada bab tentang Konsep Keadaan Darurat Dalam Perundangan

Malaysia

4% - # < 7 ( " " : )

+: ) E ( - ! , F $$1&

4$%

(46)

BAB III

K0NSEP KEADAAN DARURAT DALAM

PERUNDANGAN MALAYSIA

Dalam mendirikan sebuah negara, pasti menginginkan sebuah negara dan

bangsa yang mewujudkan akan keselarasan yang dinamis. Namun demikian,

perjalanan untuk membina sebuah negara yang aman dan damai itu terdapat

permasalahan oleh beberapa kasus yang menyebabkan negara ini dapat dikatakan

darurat.

Dalam perjalanan sejarah, sejak kemerdekaan sampai sekarang, negara

Malaysia tidak pernah terlepas dari aneka peristiwa dan kejadian-kejadian yang

bersifat luar biasa, baik di bidang politik, di bidang ekonomi maupun di bidang sosial.

Demikian pula, bencana alam terus-menerus menerpa dari waktu ke waktu, baik yang

datang dari laut, udara, maupun dari perut bumi. Bencana alam juga datang dari

manusia, dari hewan seperti flu burung, nyamuk demam berdarah, dan lain-lain

sebagainya.59 Demikian penulis akan meneruskan pada bab ini bagaimana awal

kejadian darurat di Malaysia dan apakah yang dikatakan perbuatan yang

membahayakan negara, siapakah yang berhak dalam memberikan ketentuan apabila

berlakunya darurat negara serta bagaimana pemerintah atau Perundangan Malaysia

dalam menyelesaikan masalah ini.

4$ - )) + + # , + "

! "H0 ) > ) " ) " + ) I + .

(47)

E. Kriteria Perbuatan dan Tindakan Pemberontakan yang Dikatakan Negara

Dalam Keadaan Darurat

Keadaan darurat negara terdapat dalam Pasal 150 Perlembagaan Malaysia.

Dalam ayat (1) Pasal 150 dinyatakan:

Jika Yang di-Pertuan Agong berpuas hati bahawa suatu darurat besar sedang berlaku yang menyebabkan keselamatan, atau kehidupan ekonomi, atau ketentera-man umum di dalam Persekutuan atau ketentera-mana-ketentera-mana bahagiannya terancam, maka Yang di-Pertuan Agong boleh mengeluarkan suatu Proklamasi Darurat dengan membuat dalamnya suatu perisytiharan yang bermaksud sedemikian.

Berdasarkan Pasal 150(1) tersebut bahwa apa yang dimaksud darurat adalah

satu darurat besar atau terjadinya suatu keadaan yang genting, kacau, buruknya

keadaan yang membahayakan serta mengancam keselamatan (keamanan) negara atau

kehidupan perekonomian negara.60 Akan tetapi Perlembagaan tidak memberikan

definisi yang rinci tentang darurat dan jenis-jenisnya. Sehingga ada orang yang

mengatakan bahwa suatu krisis itu belum sampai kepada tingkat darurat atau belum

dapat dikatakan darurat, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa suatu keadaan krisis

itu telah sampai kepada keadaan darurat. Adanya perbedaan pendapat tersebut tidak

dapat memberikan penyelesaian yang pasti untuk keamanan negara. Oleh karena itu,

Perlembagaan memberikan wewenang kepada Yang di-Pertuan Agong untuk

menen-tukan apakah suatu keadaan krisis itu sudah mencapai keadaan darurat atau belum.

Bagindalah yang dapat menentukan ada tidaknya keadaan darurat tersebut, walaupun

pada hakekatnya Baginda berbuat demikian atas nasihat dari Jemaah Menteri.61

23 # $ ((

(48)

Berkenaan dengan tidak adanya penjelasan yang rinci tentang darurat dalam

Undang-undang, Lord MacDermott sebagaimana dikutip oleh Wu Min Aun

mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keadaan darurat seperti yang dipakai

dalam pasal 150(1) tidak hanya dibatasi kepada mengunakan kekerasan ataupun

ancaman kekerasan di luar undang-undang dalam segala bentuknya, makna asal kata

darurat itu juga dapat mencakup keadaan-keadaan atau suasana dan peristiwa yang

luas, termaksuk berbagai kejadian seperti perang, kemarau panjang, banjir, wabah

penyakit dan jatuhnya kerajaan atau pemerintahan.62

Keadaan bahaya atau darurat itu sendiri dapat terjadi dalam beberapa

kemungkinan bentuk dan viarasi, mulai dari yang paling besar tingkat bahayanya

sampai ke tingkat yang paling kurang bahayanya. Tingkat bahaya yang timbul juga

ada yang bersifat langsung dan ada pula yang bersifat tidak langsung. Oleh karena itu,

dipandang dari pengertian demikian, keadaan-keadaan demikian itu, dalam praktik,

sangat bervariasi atau beraneka ragam bentuk dan tingkat kegentingannya yang

memaksa kepala pemerintahan untuk bertindak cepat. Jika dirinci, keadaan yang

demikian itu dapat berkaitan dengan keadaan-keadaan berikut:

a. Keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dari luar negeri.

b. Keadaan bahaya karena tentera nasional sedang berperang di luar negeri, seperti

tentera Amerika Serikat berperang dengan Iraq.

c. Keadaan bahaya karena peperangan yang terjadi di dalam negeri atau ancaman

pemberontakan bersenjata.

21 + , ( " + ,

(49)

d. Keadaan bahaya karena kerusuhan sosial yang menimbulkan ketegangan sosial

yang menyebabkan fungsi-fungsi pemerintahan konstitusional tidak dapat

berfungsi sebagaimana mestinya.

e. Keadaan bahaya karena terjadinya bencana alam (natural disaster) atau

kecelakaan yang dahsyat yang menimbulkan kepanikan, ketegangan, dan

mengakibatkan pemerintah konstitusional tidak dapat berfungsi sebagaimana

mestinya. Misalnya, musibah gelombang ”tsunami” di Aceh dan

bencana-bencana alam yang lainnya.

f. Keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara.63

Untuk setiap jenis bahaya atau keadaan darurat tersebut, diperlukan upaya-

upaya yang berbeda-beda pula bentuk, corak, dan sifatnya. Bahkan untuk setiap jenis

keadaan itu sangat mungkin memerlukan format perundangan yang juga

berbeda-beda satu sama lain untuk ditugasi memulihkan keadaan agar menjadi normal

kembali. Oleh karena itu, diperlukan pula pengaturan yang rinci mengenai mekanime

untuk mengatasi keadaan darurat.

Suatu keadaan yang menyebabkan darurat negara terdapat dalam Pasal 149

ayat (1) yaitu perbuatan subversif,64 tindakan yang memudaratkan ketenteraman

umum, pelaku perbuatan tersebut telah dianggap sebagai penentang subversif jika:

2 , ) < . " ' , ! " , - ; :

F # 133%& 2$

2( <

Referensi

Dokumen terkait

Untuk melakukan analisis dimensi gording menggunakan metode distribusi momen, perhitungan yang dilakukan adalah sebagai berikut:  perhitungan momen primer. (18) dimana

Kembali ke Spoon, buatlah transformasi baru, lalu dengan cara yang sama seperti task 1 dan task 2, tambahkan step input csv.. Sedangkan untuk output, pilih

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan , maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:(1) Terdapat kontribusi yang positif unsur-unsur

Penelitian terhadap Serat Babad Sunan Prabu sebenarnya dapat dilakukan dengan banyak pendekatan, namun dalam penelitian ini lebih memilih menggunakan pendekatan

Untuk memastikan bahwa data sudah masuk ke pusat dengan benar, maka bisa cek laporan modul data dasar pada SITT Online, seperti Data Fasyankes dan Data Tenaga Kesehatan..

Sasaran Program PP dan PL dalam Rencana Aksi Kegiatan BTKLPP Kelas I Batam sebagai implementasi dari Indikator Kinerja Program, Indikator Kinerja Kegiatan

3= Jika siswa menjawab 3 bagian akar monokotil beserta fungsi sesuai dengan teori di buku.. Judul kegiatan: Teknologi yang terinspirasi dari struktur jaringan

Menimbang, bahwa setelah mempelajari dengan seksama berkas perkara yang terdiri dari Berita Acara Persidangan, berikut turunan resmi Putusan Pengadilan Negeri Balige Nomor