• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian yuridis tentang pidana cambuk dalam peraturan desa (perdes) muslim padang kecamatan cantarang Kabupaten Bulukumba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian yuridis tentang pidana cambuk dalam peraturan desa (perdes) muslim padang kecamatan cantarang Kabupaten Bulukumba"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN YURIDIS TENTANG PIDANA CAMBUK DALAM PERATURAN DESA (PERDES) MUSLIM PADANG KECAMATAN

GANTARANG KABUPATEN BULUKUMBA Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

ANNISA TRI HAPSARI

106045101491

Oleh : MAHPUDIN NIM: 106045101486

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

TENTANG

PELAKSANAAN HUKUM CAMBUK

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa KEPALA DESA MUSLIM PADANG

Menimbang : a. Bahwa untuk mendukung pelaksanaan Syari’at Islam yang dicanangkan oleh Pemerntah Daerah Kabupaten Bulukumba maka dipandang perlu penetapan Peraturan Desa Msulim yang mendukung terselenggaranya pelaksanaan Syari’at Isam di Kabupaten Bulukumba. b. Bahwa untuk menciptakan suasana aman, nyaman dan

tertib serta untuk mengantisipasi adanya perbuatan yang meresahkan masyarakat Desa Padang maka dipandang perlu menetapkan suatu peraturan desa tentang pelaksanaan sanksi atas pelanggaran terhadap kemanan,kenyamanan, dan ketertiban masyarakat Desa Padang.

(3)

d. Bahwa pelanggaran dan atau kejahatan tertentu sebagaimana disebut pada poin c meliputi perzinahan, penyalahgunaan obat dan minuman yang mengandung zat aditif, perjudian, serta penganiayaan maka dipandang perlu menetapkan hukuman terhadap kejahatan dan atau pelanggaran tersebut.

e. Bahwa untuk maksud tersebut, perlu diatur dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.

Mengingat :1. Al-Qur’an dan Surah An-Nur ayat 2 serta Hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Mulim tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk bagi Peminum Minuman Keras.

2. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495). 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389).

4. Keputusan Presiden Nomor 96 tahun 1998 tentang Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol dan Zat aditif lainnya.

(4)

Menetapkan : PERATURAN DESA MUSLIM PADANG TENTANG PELAKSANAAN HUKUM CAMBUK

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam peraturan Desa ini yang dimaksud dengan :

a. Desa muslim adalah ketentuan masyarkat hukum yang memiliki kewenagan untuk mengatur dan mengurus lepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat secara muslim dengan system pemerintahan nasional. b. Pemeritah Desa Muslim adalah kegiatan pemerintah yang dilakukan oleh

Pemerintah Desa dan Badan Pemusyawaratan Desa (BPD).

c. Pemerintah Desa Muslim adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa.

d. Badan Pemusyawaratan Desa yang selanjtunya disebut BPD adlah wakil dari tokoh-tokoh masyarakat yang ada di desa yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung aspirasi dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa secara Islami.

e. Pelaksanaan hukum cambuk bagi pelanggar hukum syari’at kepada pelaku perzinahan, peminum minuman beralkohol dan zat aditif lainnya, judi dan penganiayaan.

(5)

g. Peminum minuman beralkohol dan zat aditif lainnya adalah orang yang meminum minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan asli pertanian yang mengandung karbonnidrat dengan cara fermentasi dan destilasi baik dengan cara memberikan perlakukan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengeceran minuman yang mengandung ethanol.

h. Judi adalah pertaruhan antara dua orang atau lebih dengan menggunakan alat yang pada akhirnya merugikan di satu pihak dan menguntungkan di pihak lain.

i. Penganiayaan adalah tindakan fisik baik dengan alat atau tanpa alat yang dapat menyebabkan orang lain merasa sakit dan orang tersebut tidak menerima perlakuan yang ditimpakan kepada dirinya.

BAB II

LARANGAN MELAKUKAN PERZINAHAN

Pasal 2

(1) Dilarang laki-laki bujang dengan wanita perawan melakukan hubungan seksual diluar nikah ;

(2) Dilarang laki-laki yang sudah beristeri dengan wanita yang sudah bersuamimelakukan hubungan seksual kecuali dengan pasangan sebagaimana telah tercatat pada catatan sipil maupun akta nikah ;

(3) Dilarang mengganggu, merayu, baik perawan maupun yang telah bersuami untuk melakukan hubungan zina ;

Pasal 3

(6)

BAB III

LARANGAN MENJUAL DAN MEMINUM

MINUMAN BERALKOHOL DAN ZAT ADITIF LAINNYA

Pasal 4

(1) Dilarang memasukkan, menyalurkan dan mengedar minuman beralkohol dan zat aditif lainnya di dalam Desa Muslim kecuali ada keputusan Bupati;

(2) Keputusan Bupatai sebagaiman pada ayat (1) pasal ini paling lama (satu) tahun dan dapat diperbaharui kembali ;

(3) Jumlah dan jenis minuman beralkohol dan zat aditif lainnya yang boleh diedarkan dcantumkan dalam izin sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini;

Pasal 5

(1) Sebelum pemberian izin sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (2) harus mengumumkan permohonan izin disekitar lokasi tempat yang diusulkan selama 2 minggu ;

(2) Apabila ada keberatan dari masyarakat setempat yang dimaksud pada pasal 4 ayat (2) permohonan izin tidak dapat diberikan ;

Pasal 6

(1) Minuman beralkohol adan zat adif lainnya tidak boleh dijual dan diminum ditempat umum seperti rumah makan, wisma, warung, kios-kios, gelanggang olahraga, gelanggang remaja, kantin, kaki lima, terminal, stasitun, pasar cape, rumah-rumah penduduk, tempat ibadah, di kebun, di sawah, dan tempat lainnya ; (2) Penjualan minuman beralkohol dan zat aditif lainnya atas Keputusan Bupati

(7)

BAB IV

LARANGAN BERJUDI

Pasal 7

(1) Dilarang melakukan dan atau membeli kupon berhadiah dalam bentuk dan untuk judi ;

(2) Dilarang melakukan pertaruhan judi yangpada akhirnya merugikan pihak lain ; (3) Pertaruhan judi sebagaiman ayat 2 adalah :

a. Tebak hasil skor b. Judi domino aau gaple c. Judi kartu remi

d. Balapan liar e. Sabung ayam

f. Lotre atau kupon putih g. Mesin judi

h. Dan lain sebagainya yang mengandung unsur judi

(4) Undian berhadiah hanya dapat dilakukan dalam bentuk arisan ;

BAB V PENGANIAYAAN

Pasal 8

(1) Tidak dibenarkan melakukan penganiayaan terhadap orang lain baik sengaja maupun tidak disengaja ;

(2) Penganiayaan sebagaimana dimaskud pada ayat (1) berupa: a. Pemukulan

(8)

KETENTUAN SANKSI PIDANA ISLAM

Pasal 9

(1) Barang siapa melanggar ketentuan larangan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2, pasal 3, pasal 4, pasal 7 dan pasal 8maka akan dikenakan hukuman cambuk.

(2) Jumlah hukuman cambuk segabaiman tercantum pada ayat 1 akan diatur kemudian dalam pasal lain.

(3) Pelaksanaan eksekusi hukum cambuk bertempat di Kantor Desa dan disaksikan oleh bebrapa orang tokoh masyarakat/tokoh agama dan aparatur desa.

Pasal 10

(1) Jumlah hukuman cambuk bagi pelanggar larangan pezinahan sebanyak 100 kali atau dilimpahkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai hukum KUHP ; (2) Menuduh orang lain berzina tanpa disertai bukti (4 orang saksi) adalah kejahatan

terhadap kehormatan orang lain dan dikenakan hukuman cambuk sebanyak 80 kali atau dilimpahkan kepihak kepolisian untuk diposes sesuai hukum KUHP ; (3) Sanksi Pidana Islam yang dimaksud pada pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) adalah

sanksi peringatan atau teguran dan atau mendapat hukum cambuk jika orang tua atau wali merasa keberatan, atau dilimpakan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai hukum KUHP ;

Pasal 11

(9)

Pasal 12

(2) Sanksi Pidana Islam bagi penjual dan peminum minuman beralkohol dan zat aditif lainnya dikenakan hukum cambuk sebanyak 40 kali ataudilimpahkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai ketentuan hukum KUHP ;

Pasal 13

(1) Sanksi Pidana Islam bagi pelaku penganiayaan diberi sanksi hukum 20 kali cambukan ;

(2) Hukum cambuk bagi pelaku penganiayaan dapat dihapus apabila korban memaafkan pelaku dengan ketentuan pelaku dengan membayar uang denda. Sebagaimana hasil musyawarah yang dilaksanakan pihak pemerintah desa bersama kedua belah pihak yang berselisih atau dilanjutkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai ketentuan hukum KUHP ;

BAB VII PENYIDIKAN

Pasal 14

(1) Selain pejabat penyidik sebagaimana ditentukan oleh aturan perundang-undangan juga dapat dilakukan oleh Satgas Desa Muslim Padang atau Linmas Desa yang ditetapkan oleh Pemerintah Desa ;

(2) Wewenang penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :

a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindakan pidana atas pelanggaran perdes agar keterangan atau laporan tersebut lebih lengkap dan jelas.

(10)

penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana.

BAB VIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 15

Hal-hal yang belum sempurna diatur dalam peraturan desa ini sepanjang mengenai pelaksasnaanya akan diatur dan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.

Pasal 16

(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke-hadirat Ilahi Rabbi (Allah Subhanahu Wata’ala) yang telah memberikan rahmat, taufiq serta nikmatnya, sehingga alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Junjungan kita yakni Nabi besar Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat serta umatnya hingga akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Namun berkat kesungguhan hati dan kerja keras serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga hal- hal tersebut dapat penulis atasi dengan sebaik- baiknya. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H. M.A. M.M., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag., sebagai Ketua Prodi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus sebagai pembimbing penulis yang secara kritis dan sabar

(12)

meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dari tahap awal hingga akhir penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., sebagai Sekretaris Prodi Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang tanpa henti memberikan dorongan dan semangat kepada penulis, serta yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam berbagai hal yang berhubungan dengan akademis.

4. Kepada seluruh dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mentransfer ilmunya dengan ikhlas kepada Mahasiswa terutama penulis, serta para pengurus perpustakaan yang telah meminjamkan buku- buku yang diperlukan oleh penulis.

5. Kepada seluruh keluargaku tercinta, terutama kepada kedua orang tuaku Abah Saikam bin Saing dan Ema’ Hindun, yang telah memberikan kasih sayangnya yang tak terhingga serta pelajaran hidup yang sangat berarti untuk penulis dan selalu memanjatkan do’a kepada Sang Pencipta yang terbaik untuk penulis. Ucapan terimakasih juga yang tak henti-hentinya kepada Teh Vivi Sopiah dan suaminya, Ariyanto yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil, dari mulai mengenal sekolah sampai mengenal kuliah. Dan untuk keponakanku Caca (Salsabila) yang selalu menemani hari-hariku saat libur kuliah dan libur kegiatan lainnya.

6. Kepada Annisa Tri HapsariQu beserta keluarga, yang selalu memberikan doa, semangat dan motivasi serta kasih sayang yang begitu mendalam.

(13)

iii 7. Kepada Guru- guru dan teman-teman di Pondok Pesantren Al-Hidayah Bani

Karim, Kampung Nanggela, Cipanas Lebak, Banten yang memberikan do’a serta ilmu-ilmu keagamaan dan pengetahuan lainnya. Mama KH. Yahya Abdul Karim (pengasuh Pon-pes Al-Hidayah Bani Karim) dan Isteri Hj. Yoyoh, Ustd. Somad, H. Amin, Pak Ebed, Ibu Bariyah, Teh Nana, ka Dani, Iwan, Faqih, Ade, Nu’man, Shopi, Azid, Abdul, Akib, Jamal dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatunya.

8. Kepada seluruh teman-teman kelas PI Power Angkatan 2006: Dwi Wahyuni, Isa Shaleh, Fitroh, Amir, Nuruzzaman, Attin, Intan, Faris SA, Fandi Mahfudz, Husen Qodray, Haris Sumirat, Rahmatul Hidayat, Aris Stiawan, Buldan Fahmi, Hari Darmawan, Agusalim, Guruh , Yuswandi, Kholid, Rohman Mahdi, Rifqi Fahrurozy, Cucun Rinardi dan tanpa mengurangi rasa hormat dan kasih sayang saya kepada semua teman- teman Jurusan Pidana Islam lainnya angkatan 2007-2009 yang tidak disebutkan satu-persatunya.

Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan, agar semua bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak tersebut diberikan-Nya pahala yang berlipat ganda. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.

Jakarta, 14 September 2010

(14)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II : DOKTRIN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG HUKUM CAMBUK ... 15

A. Pengertian Pidana Cambuk Dan Dasar Hukumnya ... 15

B. Pidana Cambuk Dalam Timbangan Konsep Maslahah ... 18

C. Pidana Cambuk, al-Tsawabit dan Mutaghayyirat-nya ... 23

BAB III : KONSEP PELAKSANAAN HUKUM CAMBUK DALAM PERDES MUSLIM PADANG ... 27

A. Deskripsi Peraturan Desa Muslim Padang ... 27

B. Jenis- jenis Perbuatan yang Dipidana Dalam Perdes Muslim Padang ... 34

C. Kriteria Hudud dan Ta’zir Dalam Perdes Muslim Padang ... 35

(15)

BAB IV : PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG PELAKSANAAN HUKUM CAMBUK YANG DIATUR DALAM PERATURAN DESA MUSLIM PADANG ... 40 A. Pandangan Hukum Pidana Islam ... 40

1. Mengenai Larangan Perzinahan ... 42 2. Mengenai Khalwat Serta Bepergian Laki-laki

Dengan Perempuan Bukan Muhrim ... 44 3. Mengenai Menuduh Orang Lain Berzina (qadzaf) ... 46 4. Mengenai Menjual dan Meminum Minuman Keras

atau Beralkohol (khamar) dan Perjudian ... 49 5. Mengenai Penganiayaan ... 54

B. Pandangan Hukum Positif ... 56 1. Mengenai Zina (perselingkuhan atau overspel)

dan Khalwat (permesuman) ... 57 2. Mengenai Menuduh Orang Lain Berzina

Tanpa Empat Orang Saksi (fitnah) ... 59 3. Mengenai Menjual dan Meminum Minuman Beralkohol

Dan Zat Aditif Lainnya ... 59 4. Mengenai Perjudian ... 60 5. Mengenai Penganiayaan ... 61

C. Analisis Penulis Mengenai Perdes Muslim Padang

Dengan Undang-undang Nomor.10 Tahun 2004 ... 65

(16)

vii

BAB V : PENUTUP ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran- saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 79

Lembar Tambahan, Naskah Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006 Tentang

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang terdiri dari berbagai aneka suku, ras, dan agama. Perbedaan tersebut telah menciptakan perbedaan paradigma dari berbagai komponen masyarakat dalam menyikapi permasalahan yang terjadi pada bangsa ini. Salah satu permasalahan Bangsa Indonsia yang paling krusial adalah persoaan penegakkan hukum (Law Enforcement). Sebagian besar masyarakat Indonesia berasumsi bahwa proses penyelenggaraan hukum di Negara ini masih menglami kecacatan. Mulai dari isu-isu ketidak adilan dalam melaksanakan eksekusi hukuman, penegak hukum yang memiliki integritas dan propessionalisme yang rendah, tingkat hukuman yang sangat minim sehngga tidak memberikan efek jera terhadap pelaku pekanggaran hukum sampai kepada kurangnya kesadaran masyarakat dalam mentaati peraturan-peraturan yang berlaku.

Sementara itu pembangunan hukum di Indonesia, menuntut adanya perubahan sikap mental dan menghendaki agar tidak hanya berfungsi sebagai pengendali sosial (Social Control), namun juga tidak merugikan salah satu pihak dan tidak terjadi tarik menarik antar kelompok. Oleh karena itu, gagasan tentang “Islamisasi Hukum” layak untuk di pertimbangkan sebagai dasar pijakan bagi usaha pembangunan hukum di Indonesia. Ditawarkan suatu jalan keluar agar nilai-nilai Islam sebagai universal,

(18)

tidak hanya diterima uamt Islam semata melainkan diterima oleh umat- umat lainnya tanpa harus meyakini nilai-nilai asal.

Problematika umat Islam Indonesia sekarang ini dihadapkan kembali kepada wacana Syari’at Islam yang mungkin dikembangkan dan selanjutnya dijadikan hukum positif. Tuntutan sebagaian masyarakat menginginkan agar Indonesia tetap berlandaskan Pancasila sebagai landasan ideal dengan Undang- undang 1945 sebgai landasan konstitusionalnya, pada dasranya tidak ada larangan untuk melaksanakan syari’at Islam walaupun dalam batas-batas tertentu. Umat Islam dituntut agar lebih mampu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah Rosul sebagai sumber hukum dan nilai sehinga keberadaan syari’at Islam bukan hanya menjadi bacaan politik dan akademik, tetapi harus dapat diaktualisasikan dalam menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan dan keutamaan sekaligus.1

Kerangka historis Undang- undang Dasar Tahun 1945 menunjukkan bahwa Indonesia adalah Negara hukum.2 Indonesia sebagai Negara hukum memiliki banyak penawaran dalam hal penghukuman ataupun penjatuhan hukuman. Dari peraturan yang telah diterapkan kedalam Undang- undang, baik umum ataupun khusus. Indonesia juga memiliki peraturan- peraturan mengikat lainnya, berdasakan hirarki peraturan perundang-undangan seperti:

1 Maman Abdurrahman, Syari’at Islam Untuk Indonesia Baru (Suara Orang PERSIS) dalam

Muhammad Zein, ed., Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia: Sebuah Pergulatan Yang Tak Pernah

Tuntas, (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 237.

2 Abdulghani Abdullah, Penemuan Hukum (Rechtvinding) dan Penciptaan Hukum

(Rechtsschepping) Bagi Para Hakim. Ahkam, Jurnal Ilmu- ilmu Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta. Vol. 8. No. 2, 2006.

(19)

3

a. Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undag- undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang; c. Peraturan Pemerintah (PP);

d. Peraturan Presiden (Perpres), e. Peraturan Daerah (Perda).3

Di mana dalam ilmu perundang-undangan Nasional, Indonesia mengadopsi hukum Belanda yang bersumber dari hukum adat, hukum barat, dan hukum agama. Pada saat ini sebagaimana yang kita ketahui, momentum otonomi daerah sebagai desain wajah politik pasca reformasi telah menampilkan sejarah baru dalam panggung kekuasaan. Belakangan beberapa kalangan menilai munculnya sesuatu yang bersifat ekstrem seiring dengan maraknya pembuatan Peraturan Daerah (Perda) yang dinilai bercorak syari’at Islam.

Penerapan hukum Islam, yang ditandai dengan munculnya berbagai peraturan daerah (Perda) syari’at Islam, merebak dibeberapa daerah dalam beberapa tahun belakangan ini. Provinsi Aceh, Sulawesi Selatan, dan Banten serta beberapa Kabupaten/kota seperti Cianjur, Tasikmalaya, Bulukumba, Maros, Sampang, Serang, Tanggerang, dan Pandeglang, merupakan daerah yang menyuarakan pemberlakuan syari’ah islam.4

3

Undang- undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. Cet, ke- 4. (Bandung: Citra Umbara, 2008), h. 6.

4

Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syari’ah Islam dan HAM.; CSRC, (Jakarta; 2007),

(20)

Sebut saja misalnya, DPRD Sulawesi Selatan mengesahkan Perda tentang pendidikan Al-Qur’an. Sebelumnya pada tahun 2003 di Bulukumba Sulawesi Selatan, telah terlebih dahulu lahir Perda tentang minuman keras, infak, zakat, sedekah, pendidikan Al-Qur’an bagi siswa dan calon pengantin. Perda tersebut juga memuat tentang keharusan berpakaian muslim atau muslimah.5

Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, telah memberlakukan beberapa

peraturan daerah (Perda) menyangkut Syariat Islam. Salah satu dari 12 Desa Muslim

yang dibentuk sebagai Desa percontohan, yakni Desa Padang Kecamatan Gantarang

telah memberlakukan hukum cambuk. Kepala Desa Padang, A. Rukman A. Jabbar

mengatakan, dengan adanya Perda yang menyangkut Syariat Islam ini membuat

suasana Desa lebih aman karena menurunnya angka kriminalitas.

Menurut informasi yang didapat, selama tahun 2006, tercatat hukuman

cambuk telah diberikan kepada tiga orang yakni Suharman, Arifin, dan Nasir.

Suharman sendiri diberi hukuman cambuk, karena mengirimi surat ke istri orang dan

suami yang bersangkutan keberatan. Sementara Nasir, karena melakukan pemukulan

kepada anak/siswa SD (Sekolah Dasar) dan orang tuanya keberatan, kasus serupa

terjadi pada Arfin yang dijatuhi hukuman cambuk karena melakukan pemukulan.6

Dinyatakan dengan adanya penerapan peraturan Desa tersbut, Desa Padang

khususnya masyarakat Desa Padang menjadi tenteram dan damai.7

5

http://www.suaramerdeka.com/harian/0607/07/opi04.htm 6

http://www.tempo.co.id/hg/nusa/sulawesi/2006/04/23/brk,20060423-76547,id.html 7http://www.jurnalstidnatsir.co.cc/2009/06/penerapan-syariat-islam-di-desa-padang.html

(21)

5

Dari tabel di bawah ini menunjukkan beberapa kejahatan yang terjadi di Desa

Padang yang kemudian di laksanakan hukuman sesuai peraturan Desa yang telah

dibuat.

Tahun Nama Kejahatan Hukuman

2006 - minum- minuman

beralkohol.8

- Mengirimi surat ke

isteri orang.

- pemukulan terhadap

siswa sekolah dasar

- 40 kali cambuk

- cambuk ringan

- cambuk ringan

2007 - Perbuatan zina

hingga hamilnya

seorang gadis yang

dilakukan oleh

seorang pemuda.9

- 100 kali cambuk

2008- 2010 - -

Terkait dari adanya pemberlakuan syari’at Islam terutama diberlakukannya

hukum cambuk diberbagai daerah mulai dari tingkat Provinsi sampai dengan tingkat

Desa, menuai banyak kritik dari berbagai pihak. Hal tersebut disebabkan banyaknya

8

Ibid www.jurnalstidnatsir.co.cc

9

http://www.mailarchive.com/wanitamuslimah@yahoogroups.com/msg34802.html

(22)

kalangan yang menilai bahwa pemberlakuan hukum cambuk itu sudah ketinggalan

zaman dan terkesan berjalan setengah- setengah. Juga masih banyaknya ketidak

sesuaian naskah peraturan yang telah ditetapkan tidak sejalan dengan apa yang telah

diatur oleh Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang- undangan.

Berbenturan dengan diberlakukannya pidana di dalam peraturan Desa Muslim Padang ini, Pasal 200 ayat (1) Undang- undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan, “Dalam pemerintahan daerah Kabupaten/kota dibentuk pemerintahan Desa yang terdiri dari pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintahan Desa merupakan satuan terkecil penyelenggara Negara yang memiliki otoritas membentuk peraturan perundang-undangan. Meski demikian, terdapat seperangkat batasan kewenangan tentang hal-hal apa saja yang bisa dimuat dalam peraturan Desa, misalnya peraturan Desa tidak boleh memuat aturan pidana”.10

Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan penulis tersebut di

atas mengenai peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten

Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk, maka

dalam hal ini penulis akan mengkaji dan menganalisa lebih dalam lagi mengenai

pidana cambuk yang terdapat dalam Perdes tersebut melalui kajian Hukum Pidana

Islam dan hukum positif terkait lainnya. Sehubungan dengan hal di atas menarik

10

Wahiduddin Adams dan Ismail Hasani, Ilmu Perundang- undangan, Buku Daras (tidak

(23)

7

perhatian penulis untuk menyusun skripsi yang berjudul : ”KAJIAN YURIDIS

TENTANG PIDANA CAMBUK DALAM PERATURAN DESA (PERDES) MUSLIM PADANG KECAMATAN GANTARANG KABUPATEN BULUKUMBA.”

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Dari uraian di atas kiranya dapat ditemukan suatu permasalahan yang cukup penting untuk dikaji lebih mendalam sehingga dapat ditemukan titik terang mengenai permasalahan yang akan dikaji.

Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini

penulis membatasi, meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Hukuman cambuk yang penulis maksud, adalah pidana cambuk yang

diberlakukan dalam Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang

Kabupaten Bulukumba.

2. Hukum Islam yang penulis maksud, adalah kajian hukum Pidana Islam yang

membahas tentang hukum cambuk khususnya pidana cambuk yang

diberlakukan dalam Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang

Kabupaten Bulukumba.

3. Hukum positif yang penulis maksud, adalah hukum positif yang terkait dalam

pembahasan mengenai pembentukan Perdes ini.

(24)

Beralih dari pembahasan dan pembatasan yang telah diuraikan penulis di atas,

maka penulis memformulasikan permasalahan dalam perumusan masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah doktrin hukum pidana Islam tentang cambuk?

2. Bagaimanakah konsep pelaksanaan hukum cambuk dalam Peraturan Desa

Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05

Tahun 2006 ?

3. Bagaimanakah pandangan Hukum Pidana Islam dan hukum positif tentang

pelaksanaan hukum cambuk yang didasarkan pada Perdes tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan doktrin hukum pidana Islam mengenai eksistensi pidana cambuk.

2. Mengetahui dan menjelaskan pandangan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif mengenai pidana cambuk yang di berlakukan di Desa Muslim Padang berdasarkan Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk.

3. Untuk mengetahui dan menjelaskan konsep pelaksanaan pidana cambuk yang diberlakukan di Desa Muslim Padang tesebut.

(25)

9

4. Untuk menguji relevansi naskah Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Nomor 05 Tahun 2006 dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan.

D. Tinjauan Pustaka

Sehubungan dengan judul skripsi yang penulis buat, sejauh pengamatan penulis belum ada peneliti lain yang meneliti dan menganalisa subjek penelitian menganai Pidana Cambuk Dalam Perdes Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006, namun data yang penulis dapatkan hanya mengenai ruang lingkup daerah Sulawesi Selatan yang pembahasannyapun tidak ada sangkutpautnya dengan penulisan penulis pada skripsi ini.

Adapun sebagai tinjauan pustaka dari penelitian ini sebagai berikut :

- Sosialisasi Anak Petani Muslim Etnis Bugis Sulawesi Selatan (Studi Kasus Pengasuhan Anak di Desa Bontu Sunggu Kabupaten Bulukumba), oleh Ambo Sakka.11

- Pasang Ri Kajang (kajian Tentang Akomodasi Islam Dengan Budaya Lokal Di Sulawesi Selatan), oleh Samiang Katu.12

11

Disertasi, Mahasiswa Pasaca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. NIM : 288 PK 23 Tahun 1410 H/1990 M.

12

Disertasi, Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. NIM : 397 – KI – 052 Tahun 1999.

(26)

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data kualitatif. Adapun data kualitatif yang dimaksud adalah ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang- orang (subyek itu sendiri)13 yang kemudian dari informasi yang didapat, menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian.14 Penelitian ini juga menggunakan tipe penelitian hukum normatif doktriner yaitu, penelitian yang menggunakan objek kajianya adalah bahan- bahan hukum primer yang terdiri dari perundang- undangan, catatan- catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang- undangan dan putusan hakim dalam hal ini adalah Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukmba Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Hukuman Cambuk.15

Karena penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, maka penulis menjadikan penelitian ini menjadi sebuah kajian yang bersifat yuridis normatif. Yaitu mengkaji suatu pembentukkan peraturan perundang-undangan yang ada dengan kajian hukum Islam dan hukum positif. Bedanya dengan penelitian yang bersifat empiris/ sosiologis yaitu bahawa dalam penelitian empiris objek penelitiannya adalah norma-norma hukum di lapangan dengan sumber data yang diperoleh tidak langsung

13

Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. alih bahasa-Arif FurchanCet- 1. (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), h. 21.

14Consuelo G. Sevilla, at. all, Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia (Jakarta: UI- PRESS, 2006), h. 71.

15Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Cet, ke- 4. (Jakarta: Kencana Media Group,

(27)

11

dari sumbernya. Begitupun tehnik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi lapangan dengan metode analisis datanya menggunakan metode kuantitatif atau statistik.16

Adapun yang dimaksud dengan kajian yuridis normatif ini adalah; sumber data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini bahan hukum primer yaitu perundang- undangan, catatan- catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang- undangan. Sedangkan bahan- bahan sekundernya sendiri terdiri dari buku- buku, majalah- majalah, dan situs website yang objek kajiannya mengenai hukum pidana Islam yang berkaitan dengan hukum cambuk serta buku- buku yang terkait dengan sumber buku primer yang dijadikan buku rujukan dalam penelitian ini. Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumenter, di mana bahan-bahan penelitian yang didapat melalui dokumen eksternal berisi bahan- bahan informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga sosial, misalnya majalah, buletin, pernyataan, dan berita yang disiarkan kepada media massa.17

Tehnik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu pemahaman tentang gejala atau peristiwa yang terdapat dalam Peraturan Desa (PERDES) Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan yang berkaitan dengan hukum cambuk yang diterapkan.

16

Tomi Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Atmajaya,

2007), h. 28.

17 Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. Cet, ke- 18. (Bandung: Remaja Rosda

(28)

Sedangkan metode pembahasan hasil analisis adalah metode komparatif atau perbandingan. Di mana melalui kedua kajian hukum antara hukum Islam dan Hukum Positif, dapat ditarik kesimpulan kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan cara-cara pengaturan yang sama pula dan kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasana dan sejarah itu menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.18

E. Sistematika Penulisan

Untuk mencapai sasaran seperti yang diharapkan, maka sistematika pembahasan ini dibagi menjadi lima bab. Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut:

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari:

Pertama, latar belakang masalah (yang mengurai topik bahasan mengenai pemberitaan seputar hukum-hukum di Indonesia khususnya mengenai pidana cambuk dan hukum-hukum positif lainya dari media massa dan sumber lainnya. Kedua, pembatasan dan perumusan masalah; Dalam tema ini penulis membatasi dan merumuskan cakupan

18

Sunaryati Hartono, Kapita Selecta Perbandingan Hukum. Dikutip dari Jhonny Ibrahim,

Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Ed-rev. Cet. Ke-4 (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 313.

(29)

13

hasil penelitian yang kemudian penulis uraikan agar lebih memperjelas serta mempermudah penelitian, dan Ketiga, sistematika penulisan; Dalam hal ini sistematika penulisan yang dibuat oleh penulis merujuk kepada pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

BAB II Doktrin Hukum Pidana Islam Tentang Hukum Cambuk. Yang terdiri dari tiga sub bab. Pertama, pengertian pidana cambuk dan dasar hukumnya; dalam point ini penulis menguraikan pembahasan mengenai pengertian pidana dan cambuk oleh para pakar hukum dibidangnya serta menguraikan dasar-dasar hukumnnya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kedua, Pidana Cambuk Dalam Konsep Maslahah; dalam tema ini penulis memberikan pengertian mengenai “mashlahah” yang dihimpun dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjanawan yang ahli dibidangnya. Ketiga, Pidana Cambuk, al-Tsawabit dan Mutaghayyirat-nya; dalam pembahsan ini penulis menguraikan pengertian dan penjelasan suatu ketetapan dan perubahan (yang dapat berubah) hukum yang terdapat dalam sebuah kajian hukum Islam.

(30)

dipidana dalam Perdes Muslim Padang. Ketiga, Kriteria Hudud dan Ta’zir dalam Perdes Muslim Padang; dalam pembahasan point ini penulis mengambil sedikit kesimpulan dari temuan beberapa pelarangan yang terdapat dalam Perdes di atas dan mengkajinya dengan hukum pidana Islam.

BAB IV Pandangan Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif tentang pelaksaan pidana cambuk yang didasarkan pada Peraturan Desa Muslim Padang; pada bab ini penulis menguraikan dan memperjelas penelitian yang didapat sehingga mempermudah penulis untuk mendapatkan hasil penelitian.

(31)

BAB II

DOKTRIN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG PIDANA CAMBUK

A. Pengertian Pidana Cambuk dan Dasar Hukumnya.

Sebelum penulis memaparkan lebih lanjut mengenai sub tema ini, penulis memberikan sebuah pengertian dari kata atau istilah “pidana” dalam kata “pidana

cambuk” agar pembahasan ini menjadi lebih mudah untuk difahami.

Menurut Jimly Asshiddiqie, penggunaan istilah “pidana” difahami sebagai

sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama, kadang-kadang juga dipergunakan istilah

“hukuman”, yang berasal dari kata “hukum”, dan seakar dengan kata “menghukum”

dan “penghukuman” yang mempunyai ruang lingkup lebih luas dan tidak terbatas

kepada pengertian hukum pidana saja.1Lebih lanjut penulis akan menggunakan istilah

“pidana” ini pada pembahasan berikutnya.

Beralih dari pengertian di atas, cambuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah alat pelecut yang berupa jalinan tali dari serat tumbuh- tumbuhan, benang,

atau kulit yang diikat pada sebuah tangkai (dipakai untuk menghalau atau untuk

melecut binatang).2

1 Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Cet. ke- 2. (Bandung:

Angkasa, 1996), h. 15.

2

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Cet. ke- 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 147.

(32)

Adapun pengertian cambuk (hukum cambuk) menurut Rusjdi Ali

Muhammad3 adalah sebat atau dera dalam bahasa arab disebut jald berasal dari kata

jalada yang berarti memukul dikulit atau memukul dengan cambuk yang terbuat dari kulit. Hukum cambuk atau dera ditetapkan untuk memerangi segala faktor

(psikologis) yang mendorong dilakukannya tindak pidana dengan menggunakan

faktor yang dapat menolak dan mencegah dilakukannya tindak pidana.4

Dasar Hukum Pidana Cambuk

Pidana cambuk atau dera disebutkan dengan jelas dalam al-Qur’an yaitu :

Artinya :

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.(Q.S an-Nur; 2)5

3 Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam Di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi; Menurut Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Cet-1. Logos Wacana Ilmu, 2003.

4

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III. PT Kharisma Ilmu. h. 42.

5

(33)

17

Ketentuan pidana cambuk bagi pelaku zina yang disebutkan dalam ayat

al-Quran di atas juga diperkuat dengan hadits Nabi SAW yang berbunyi:

ْ ﱠﺳو

ْﻴ

ﷲا

ﻰﱠ

ﷲا

لﻮﺳر

لﺎﻗ

ْﺖ ﺎ ا

ْ

ةدﺎ

ْ

و

"

اْوﺬ

,

اْوﺬ

.

ﷲا

ْﺪﻗ

ﻼْﻴ ﺳ

ﱠ ﻬ

.

ْ ﺮ او

ﺔﺋﺎ

ﺪْ

ْﻴﺜ ﺎ

ْﻴﺜ او

ﺔ ﺳ

ْ و

ﺔﺋﺎ

ﺪْ

ﺮْﻜ ﺎ

ﺮْﻜ ا

) .

اور

(

Artinya :

“Dari Ubadah bin Tsamit berkata, bahwa Rasulullah bersabda: Ambilah dariku! Ambilah dariku! Allah telah mebuka jalan bagi perempuan- perempuan itu. Perawan dengan perawan dicambuk seratus kali dan diusir dari kampung selama satu tahun. Dan mereka yang sudah menikah dengan yang sudah menikah dicambuk seratus kali dan dirajam.” (H.R. Muslim: 1690)6

Firman Allah SWT mengenai pidana cambuk juga terdapat dalam ayat al-Qur’an

yang berbunyi:

Artinya :

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S An-Nur; 4)7

Dasar pidana cambuk juga disebutkan dalam Hadits Nabi SAW yaitu:

6

Imam Abu al- Husein Muslim Ibnu Hajaj, Shahih Muslim, (Kairo: Daru Ihya Kutub al-‘Arabi), Jilid 3, h.1312.

7

(34)

ﺪﻗ

ا

، ﺳو

ﷲا

ا

نأ

ﻚ ﺎ

ا

ﻴ ﺪ ﺮ

ﺪ ﻓ

ﺮ ا

بﺮ

ﻴ ﺎ ﺛ

دوﺪ ا

أ

ﺮ ا

لﺎ ﻓ

سﺎ ا

رﺎﺸﺘﺳا

نﺎآ

ﺎ ﻓ

ﺮﻜ

ﻮ أ

ﻓو

لﺎﻗ

ﻴ رأ

ﺮ ﺎﻓ

Artinya :

“Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda: Kepada Nabi dihadapkan seorang laki-laki yang telah minum arak. Nabi mencambuknya dengan dua pelapah kurma sebanyak empat puluh kali. Anas berkata: Abu Bakar berbuat yang sama. Tatkala Umar menjadi Khalifah, Umar bermusyawarah dengan para sahabat, maka Aburrahman ibnu A’uf berkata: Hukuman had yang paling rendah delapan puluh (80) kali. Maka Umar pun menetapkan cambukan sebanyak delapan puluh (80) kali.” (H.R Muslim)8

B. Pidana Cambuk Dalam Timbangan Konsep Maslahah

Pada pembahasan sebelumnya penulis sudah memaparkan mengenai

pengertian dan dasar hukum pidana cambuk. Dalam point ini penulis akan membahas

mengenai “Pidana Cambuk Dalam Timbangan Konsep Maslahah”.

Menurut Louis Ma’luf9, secara etimologis term ”Maslahah” berasal dari akar

kata salaha - yasluhu - salahan – suluhan – salahiyah, yang artinya, sesuatu yang mendorong kepada kebaikan atau kelayakan; atau bisa juga diartikan sebagai sesuatu

yang mendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi

dirinya dan bagi kelompoknya. Ahmad Warson Munawwir10, mengartikan kata

“maslahah” sebagai faedah, kepentingan, kemanfaatan, kemaslahatan. Dari sudut

8

Shahih Muslim, Terjemah Hadits Shahih Muslim. (Jakarata: Bumi Restu, 1984), Cet. Ke- 1 Jilid III. Hadits:1684. h. 253.

9

Louis Ma’luf, Kamus Munjid, (Beirut: Dar al- Masyriq, 1977), h. 528.

10

(35)

19

pandang ilmu sharaf (morfologi), kata “maslahah” satu wazan (pola) dan makna

dengan kata manfa’ah. Kedua kata ini “maslahah dan manfa’ah” telah di

Indonesiakan menjadi “maslahat dan manfaat”.11 Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia disebutkan maslahat artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah

dan guna. Sedangkan kata “kemaslahatan” berarti kegunaan, kebaikan, manfaat,

kepentingan. Sedangkan “manfaat” dalam kamus tersebut, diartikan dengan: guna,

faedah. Kata “manfaat” juga diartikan sebagai kebalikan atau lawan kata “mudharat”

yang beratri rugi atau buruk.12

Amir Syarifuddin menyimpulkan bahwa maslahah adalah sesuatu yang

dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan

keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan

hukum.13

Abdul Manan juga menambahkan, maslahat itu adalah sesuatu yang tidak

ditunjukkan oleh dalil tertentu yang membenarkan dan membatalkannya dan maslahat

itu juga adalah sejalan dengan indakan syara’ dan tujuan hukum syara’, yaitu

memelihara agama, jiwa, akal, harta benda, dan keturunan atau kehormatan.14

11

Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 101.

12

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 634.

13

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh; Jilid 2. Cet. Ke- 5, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 345.

14

(36)

Selanjunya, menurut Asmawi, dalam disertasinya menyebutkan bahwa

“maslahat” itu mencakup 2 (dua) unsur yang padu dan holistik, yakni ﺮﻀ ا /ﺪ ﺎ ا

ﻓﺎ ا

/

ءردو ﺎ ا yang mengandung arti “mewujudkan sesuatu yang

bermanfaat/baik atau yang membawa kemanfaatan/kebaikan, dan mencegah serta

menghilangkan sesuatu yang negatif-destruktif atau yang membawa

kerusakan/mudarat, di mana hal ini semua tetap dalam kerangka arahan al-Qur’an dan

Hadits.15

Menurut hemat penulis, dari beberapa pendapat yang dekemukakan di atas

dapat disimpulkan bahwa maslahat atau kemslahatan, yaitu sesuatu yang dapat

mendatangkan kebaikan, kesejahteraan, keamanan, ketenteraman dan menolak yang

dapat mendatangkan kerugian, keburukan, atau kerusakan sejalan dengan baik

menurut manusia dan baik pula menurut sang pencipta.

Dalam hal ini pidana cambuk yang diterapkan dalam hukum Islam,

merupakan suatu konsep yang memandang bahwa penetapan atau penerapan hukum

cambuk bagi pelaku jarimah yang telah disebutkan penulis di atas merupakan

tindakan pembatasan atas perbuatan yang nantinya akan menimbulkan kerusakan

dimuka bumi ini. Selain itu pidana cambuk yang diterapkan dalam hukum pidana

15

(37)

21

Islam ini bertujuan untuk pencegahan (ﺮ ﺰ اوعدﺮ ا), perbaikan dan pendidikan (ﺮ دﺄﺘ او

حﻼ ﻻا).16

Adapun sisi kemaslahatan hukum pidana Islam dalam hal ini pidana cambuk

antaranya adalah:

a) Bagi pezina, adalah untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit,

mencegah terjadinya perselisihan yang mengakibatkan pembunuhan, dan

mencegah terjadinya keruntuhan rumah tangga dan harta kekayaan.

b) Bagi peminum minuman beralkohol dan yang mengandung zat aditif lainnya

adalah untuk mencegah timbulnya berbagai tindak kejahatan, karena

hilangnya akal sehat ketika pada diri manusia yang meminum-minuman

tersebut. Pelarangan alkohol ini disebabkan karena semua peneliti sepakat

bahwa mengkonsumsi alkohol akan berdampak negatif terhadap moral dan

spiritual orang yang mengkonsumsinya baik sedikit maupun banyak sehingga

efesiensi manusia apapun kegiatan yang mereka lakukan akan rusak

karenanya.17

c) Bagi orang yang menuduh zina (qadzaf), agar ia dapat menjaga dan

memelihara kehormatan umat muslim lainnya yang ia tuduh.18

16

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam; Fiqh Jinayah. Cet. I (Jakarata: Sinar Grafika, 2004), h. 137-138.

17

M. Arief Hakim, Bahaya Narkoba, Alkohol; Cara Islam Mencegah, Mengatasi, dan Melawan. Cet. 1, (Bandung: Nuansa, 2004), h. 107.

(38)

d) Bagi pelaku judi/perjudian, agar harta yang ia gunakan tidak disia-siakan

dengan jalan yang dapat mendatangkan kemafsadatan. Menurut Azis

Syamsuddin,19 aktivitas perjudian akan menimbulkan dampak negatif,

misalnya orang yang berjudi akan menghabiskan waktu dengan berkhayal,

mengabaikan kelurga dan anak-isteri serta pekerjaannya. Dan, bila demikian

kondisinya, orang itu akan kehilangan kesadaran untuk mau bekerja keras

serta kehilangan rasa kepeduliannya terhadap orang lain.

e) Bagi pelaku penganiayaan, agar ia dapat menghormati dan saling menyayangi

satu sama lain karena setiap manusia mempunyai hak untuk hidup tenteram,

damai bahagia, sejahtera lahir dan batin.20 Topo Santoso21 mengatakan, dalam

Islam-pun melarang berbuat aniaya seperti tercantum dalam ayat Al-Qur’an

Surat An- Nisa ayat 30, yang berbunyi;

Artinya:

19

Azis Syamsuddin, Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian: Menuju Pembangunan Hukum Masyarakat Adil dan Makmur, Cet. I, (Jakarta; 2007), h. 98.

20

Mansyur Effendi dan Taufani S. Evandari, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-kham (Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, Cet. ke-1, Ed. Rev. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007). Lihat, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM.

21

Topo Santoso, Perlindungan HAM Dalam Hukum Pidana Islam,

(39)

23

“Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

C. Pidana Cambuk; Aspek al-Tsawabit dan Mutaghayyirat-nya.

Dalam doktrin hukum pidana Islam terdapat dua aspek doktrin yaitu,

diantaranya adalah aspek at-tsawabit yang bersifat qath’iy (pasti) dan aspek

al-mutaghayyirot yang bersifat zhanniy (relatif).22

Kata al-Tsawabit berasal dari bahsa Arab, isim fa’il kata ﺮﻴﻐﺘ ﻻ ﺖ ﺎﺛ yang

berarti tetap tidak berubah.23 Sedangkan kata تاﺮﻴﻐﺘ berasal dari ﺮﻴﻐ yang berarti

mengubah/mengganti24, اﺮﻴﻐﺘ (yang berubah).25 Sedangakan istilah dari kedua kata

tersebut yaitu adalah (hal-hal baku yang bersifat tetap dan permanen) adalah

masalah-masalah ushul (prinsip) di dalam ajaran Islam (al-tsawabit), dan mutaghayyirat

22

Asmawi, Catatan Perkuliahan, Kapita Selekta Hukum Pidana Islam, Semester VII, Prodi Jinayah Siyasah, Jurusan Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syahid Jakarta. 05 Oktober 2009.

23

Ali Mutahar, Kamus Muthahar; Arab-Indonesia, Cet. 1. (Jakarta: Hikam, 2005), h. 372.

24

Ibid, h. 804.

25

(40)

Tsawabit adalah masalah-masalah prinsip yang berdalil ﻄﻗ (mutlak dan

pasti), baik تﻮ ﺜ ا ﻄﻗ (kehujjahannya mutlak dan pasti serta tidak diperselisihkan

diantara para ulama), maupun ﺔ ﻻﺪ اﻰﻴ ﻄﻗ (makna dan pengertiannya mutlak, pasti dan

tidak diperdebatkan di antara para ulama Ahlussunnah Waljama’ah). Adapun

Mutaghayyirat adalah masalah-masalah furu’ yang berdalil zhanniy (tidak mutlak dan

pasti, serta multi interpretasi), baik dalam hal tsubut (kehujjahan)-nya, dilalah

(kandungan makna dan pengertian)-nya, maupun kedua-duanya.

Dari pengertian di atas, penulis mengkaitkan dengan ayat dan hadits yang

menetapkan ketentuan hukum cambuk seperti yang sudah penulis sebutkan

sebelumnya27 merupakan salah satu ketetapan yang tidak bisa dirubah lagi, yaitu

pidana cambuk bagi pelanggar kejahatan menurut hukum pidana Islam. Ketentuan

pidana cambuk yang sudah ditetapkan merupakan ketentuan yang sudah pasti dan

tidak bisa digantikan dengan ketentuan lain.

... Artinya:

26

Ahmad Mudzoffar Jufri, Urgensi Fiqih Tsawabit dan Mutaghayyirat. http://konsultasisyariah.net/content/view/81/126/. (Artikel ini diakses pada 10 Maret 2010)

27

(41)

25

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera... (Q.S An-Nur; ayat 2)

Kata “fajlidu” dan “ةﺪ ﺔﺋﺎ ” serta “ﺎ ﻬ اﺬ ﺪﻬﺸﻴ و(persaksikanlah oleh orang banyak) pada ayat di atas merupakan perintah (ketetapan hukum) mencambuk

sebanyak seratus kali terhadap orang yang telah melakukan zina baik laki-laki

maupun perempuan dan dilaksanakan dimuka umum. Hal ini merupakan salah satu

ketetapan (tsawabit) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh siapapun dan tidak akan

berubah selama-lamanya. Mengutip dari pendapat Ibnu Hazam, menyatakan bahwa;

“Sesugguhnya apa yang telah tetap itu, akan tetap selama-lamanya, untuk setiap waktu, setiap tempat dan setiap keadaan, sampai ada nash lain yang datang menggesernya, sebagai hukum pada waktu lain, tempat yang lain, dan kesempatan yang lain pula”.28

Adapun mutaghayyirot dari ketentuan pidana cambuk dan pelaksanaannya di atas adalah cara dan bagaimana cambuk itu dilakukan bisa saja berbeda dan dapat

pula berubah tergantung pada ijtihad yang digunakan. Mushthafa Az-arqa’i dalam

pembahasannya mengatakan, “Diantara yang telah ditetapkan dalam fiqh syari’ah

adalah perubahan keadaan dan waktu berpengaruh besar terhadap hukum-hukum

syar’i yang bersifat ijtihadiyah”.29

28

Busthami Muhammad Sa’id, Gerakan Pembaruan Agama: Antara Moderenisme dan Tajdiduddin, Judul Asli, Mafhum Tajdidudd lin. Cet. I, (Kuwait, Darud-Da’wah, 1405 H/1984 M). Penerbit Edisi Indonesia (Bekasi: PT Wacanalazuardi, 1995), h. 296.

(42)

Mutaghayyirot dalam konteks pidana cambuk banyak kita dapati dalam suatu pelaksanaan dan tatacara yang digunakan. Misalnya alat yang digunakan nabi

Muhammad SAW untuk mencambuk adalah pelepah pohon kurma30. Hal ini

didasarkan atas hadits Rasulullah saw:

“Kepada Nabi Didatangkan seseorang yang telah meminum khamar. Lalu Rasulullah saw. menderanya dengan dua pelapah kurma sebanyak 40 kali dera” (H.R Ahmad bin Hambal, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi dari Anas bin

Malik).

Di lain hal, ada beberapa ketentuan lain yang tatacara dan alat yang digunakan

dalam melaksanakan hukum cambuk menggunakan rotan yang mempunyai ketentuan

khusus seperti yang terdapat pada qanun Aceh.

Menurut Abul A’laa Al-Maududi alat yang dipakai sebagai pemukul (alat

untuk mencambuk) hendaknya berbentuk sedang, tidak terlalu besar, tidak terlalu

kecil, tidak terlalu keras, dan tidak terlalu halus. Alat pemukulnya pula tidak

diperkenankan menggunakan pemukul bercabang dua apalagi tiga.

Rasulullah saw. pernah memerintahkan menghukum dengan cambuk kepada

seseorang yang datang kepadanya kaena ia mengakui bahwa dirinya telah berzina.

Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan untuk mendatangkan alat pemukul

untuknya. Dan ketika itu didatangkannya kepada beliau sebuah pemukul yang mudah

patah dan mudah pecah. Setelah melihat pemukul itu Rasulullah saw. meminta agar

menukarnya dengan yang lebih keras dan besar. Kemudian didatangkan lagi tongkat

yang tidak begitu keras dan besar, lalu beliau menerimanya kemudian memerintahkan

30

(43)

27

agar menghukumnya. Juga pada masa Khalifah Umar bin Khattab r.a. ia memakai

alat cambuk yang begiu lunak dan tidak keras.31

Kutipan keterangan di atas, menjelaskan bahwa tidak ada ketentuan yang pasti

mengenai alat yang dipakai untuk mencambuk. Hal tersebut mengindikasikan bahwa

alat yang dipakai untuk mencambuk akan dapat berubah sesuai berubahnya zaman

dan kebutuhan akan hukum. Begitupun halnya mengenai ketentuan bagaian tubuh

mana yang harus dicambuk. Akan tetapi para ahli tafsir dan ahli kamus sepakat,

dalam melaksanakan pencambukan hendaklah hanya sampai batas permukaan kulit,

tidak sampai melukai daging32 dan tidak boleh mengenai bagian wajah dan alat

kelamin.

31

Muhammad ‘Aashim Al-Hadad, Kejamkah Hukum Islam, Terjemahan Tafsir Surat An-Nur

yang ditulis oleh Abul-A’la Al- Maududi, (Lahor: tanpa penerbit, 1959), h. 78-79.

32

(44)

A. Deskripsi Peraturan Desa Muslim Padang.1

Di bawah ini merupakan deskrpsi mengenai Pasal-Pasal yang terdapat dalam

Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor

05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk yang penulis rangkum sesuai

dengan yang tertera dalam Perdes ini. Pendeskripsiannya sebagai berikut:

Pertama, dalam Konsideran “menimbang” ini dijelaskan bahwa selain untuk mendukung pelaksanaan syari’at Islam yang dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten

Bulukumba, alasan dibentuknya Peraturan Desa Muslim Padang ini adalah untuk

menciptakan suasana aman, nyaman dan tertib serta untuk mengantisipasi adanya

perbuatan yang meresahkan masyarakat Desa Padang. Juga karena masyarakat yang

enggan berurusan dengan pihak penegak hukum.

Adapun perbuatan yang dimaksud menurut Perdes ini adalah sebagai berikut:

1. Perzinahan.2

1

Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor. 05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk, dari http://www.nusantaraonline.org/. (Di akses pada 19 Januari 2010).

2

Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 Perdes Muslim Padang Nomor. 05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk.

(45)

28

Menurut ketentuan Perdes ini bahwa “perzinahan” atau suatu perbuatan zina

adalah memasukkan alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan selayaknya

suami isteri dengan paksaan atau bujukan tanpa diikat tali pernikahan. Perbuatan zina

yang dimaksud dalam Perdes ini adalah:

- Laki-laki bujang dengan wanita perawan melakukan hubungan seksual diluar

nikah.

- Laki-laki yang sudah beristeri dengan wanita yang sudah bersuami melakukan

hubungan seksual kecuali dengan pasangan sebagaimanaa telah tercatat pada

catatan sipil maupun akta nikah.

- Mengganggu, merayu, baik perawan maupun yang telah bersuami untuk

melakukan hubungan zina.

- Laki-laki dan wanita berduaan ditempat yang sunyi yang bukan muhrimnya.

- Wanita bepergian dengan laki-laki yang bukan muhrimnya kecuali ada izin

dari orang tua atau wali.

2. Penyalahgunaan obat dan minuman yang mengandung zat aditif lainnya (orang yang menjual dan meminum minuman yang beralkohol dan zat aditif lainnya).3

Penyalahgunaan yang dimaksud dalam Perdes ini adalah sebagai berikut:

- memasukkan, menyalurkan dan mengedar minuman beralkohol dan zat aditif

lainnya di dalam Desa Muslim kecuali ada keputusan Bupati.

3

(46)

- jumlah dan jenis minuman beralkohol dan zat aditif lainnya yang boleh

diedarkan dicantumkan dalam izin sebagaimanaa yang dimaksudkan di atas.4

- tidak mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah.

- dijual dan diminum ditempat umum seperti rumah makan, wisma, warung,

kios-kios, gelanggang olahraga, gelanggang remaja, kantin, kaki lima,

terminal, stasiun, pasar cape, rumah-rumah penduduk, tempat ibadah, di

kebun, di sawah, dan tempat lainnya.

Adapun yang dimaksud orang yang meminum adalah orang yang meminum

minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan asli pertanian yang

mengandung karbonnidrat dengan cara fermentasi dan destilasi baik dengan cara

memberikan perlakukan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau

tidak, maupun diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau

dengan cara pengeceran minuman yang mengandung ethanol.

3. Perjudian5

Perjudian (judi) yang dimaksud dalam Perdes ini adalah pertaruhan antara dua

orang atau lebih dengan menggunakan alat yang pada akhirnya merugikan di satu

pihak dan menguntungkan di pihak lain.

4

Yang dimaksud adalah Pasal 4 ayat (1).

5

(47)

30

Adapun perjudian yang diatur dalam Perdes ini antara lain adalah sebagai

berikut:

- melakukan dan atau membeli kupon berhadiah dalam bentuk dan untuk judi ;

- melakukan pertaruhan judi yang pada akhirnya merugikan pihak lain;

Sedangkan pertaruhan judi sebagaimana yang dimaksud adalah:

a. Tebak hasil skor

b. Judi domino atau gaple

c. Judi kartu remi

d. Balapan liar

e. Sabung ayam

f. Lotre atau kupon putih

g. Mesin judi

h. Dan lain sebagainya yang mengandung unsur judi

4. Penganiayaan.6

Penganiayaan yang dimaksud dalam Perdes ini adalah tindakan fisik baik

dengan alat atau tanpa alat yang dapat menyebabkan orang lain merasa sakit dan

orang tersebut tidak menerima perlakuan yang ditimpakan kepada dirinya. Yang

dimaksud adalah melakukan penganiayaan terhadap orang lain baik sengaja maupun

tidak disengaja berupa pemukulan, pemasungan, dan pengurungan.

6

(48)

Kedua, dasar hukum yang menjadi acuan diberlakukannya Perdes ini anatara lain adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an dan Surah An-Nur ayat 2 serta Hadis Rasulullah Saw yang

diriwayatkan oleh Muslim tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk bagi

peminum minuman keras.

2. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah

(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara

Nomor 3495).

3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004

Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389).

4. Keputusan Presiden Nomor 96 tahun 1998 tentang Pengawasan Dan

Pengendalian Minuman Beralkohol dan Zat aditif lainnya.

5. Surat Keputusan Bupati Bulukumba No. 535/XII/2004 tanggal 7 Desember

2004 tentang Desa/Kelurahan Muslim dalam wilayah Kabupaten Bulukumba.

Ketiga, ketentuan sanksi hukum pidana Islam, sebagaimana diatur dalam Pasal ini7 antara lain adalah sebagai berikut:

7

(49)

32

(1) Bagi pelanggar larangan pezinahan dihukum dengan pidana cambuk sebanyak

100 kali atau dilimpahkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai hukum

KUHP ;

(2) Bagi orang yang menuduh orang lain berzina tanpa disertai bukti (4 orang

saksi) dikenakan hukuman cambuk sebanyak 80 kali atau dilimpahkan

kepihak kepolisian untuk diposes sesuai hukum KUHP ;

(3) Adapun sanksi pidana Islam yang dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) dan ayat

(2)8 adalah sanksi peringatan atau teguran dan atau mendapat hukum cambuk

jika orang tua atau wali merasa keberatan, atau dilimpakan kepihak kepolisian

untuk diproses sesuai hukum KUHP ;

(4) Bagi Pelaku Judi dikenakan pidana cambuk sebanyak maksimal 40 kali atau

dilanjutkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai hukum KUHP ;

(5) Bagi penjual dan peminum minuman beralkohol dan zat aditif lainnya

dikenakan pidana cambuk sebanyak 40 kali atau dilimpahkan kepihak

kepolisian untuk diproses sesuai ketentuan hukum KUHP ;

(6) Bagi pelaku penganiayaan diberi sanksi pidana cambuk sebanyak 20 kali

cambukan ;

Pidana cambuk bagi pelaku penganiayaan dapat dihapus apabila korban

memaafkan pelaku dengan ketentuan pelaku dengan membayar uang denda.

8

(50)

Sebagaimana hasil musyawarah yang dilaksanakan pihak pemerintah desa

bersama kedua belah pihak yang berselisih atau dilanjutkan kepihak

kepolisian untuk diproses sesuai ketentuan hukum KUHP ;

Selain itu, dalam Perdes ini 9 juga diatur menganai wewenang “penyidikan”.

Di mana salah satunya tertulis bahwa yang berwenang dalam hal penyidikan bukan

hanya pejabat penyidik yang diatur oleh undang-undang saja, akan tetapi

“penyidikan” ini juga boleh dilakukan oleh Satgas atau Linmas yang ditetapkan oleh

Pemerintah Desa. Lebih lanjut, wewenang penyidikan sebagaimana dimaksud dalam

Perdes ini adalah:

- Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan

berkenaan dengan tindakan pidana atas pelanggaran Perdes agar keterangan

atau laporan tersebut lebih lengkap dan jelas.

- Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi

atas terjadinya pelanggaran Perdes tersebut.

- Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atas terjadinya

pelanggaran Perdes.

Penyidikan sebagaimana yang dimaksud di atas yaitu memberitahukan

dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut

9

Pasal 14, Perdes Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05

(51)

34

umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun

1981 tentang hukum acara pidana.

Dapat diketahui bahwa dalam Perdes ini ada beberapa ketentuan yang diatur

baik dalam segi kesamaan hukuman yang terdapat dalam ketentuan hukum Islam dan

hukum positif maupun segi kesamaan aturan yang sudah ditetapkan dalam peraturan

yang lebih umum. Selebihnya akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.

B. Jenis- jenis Perbuatan yang Dipidana Dalam Peraturan Desa Muslim Padang

Setelah penulis perhatikan secara seksama dari Naskah Peraturan Desa

Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006

Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk, didapati ada beberapa Pasal larangan dan

ketentuan hukuman dari larangan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut:

(1) Berzina dengan hukuman pidananya adalah 100 kali cambuk;

(2) Menjual dan meminum- minuman yang mengandung (khamar) yang

ketentuan hukuman pidananya adalah 40 kali cambuk;

(3) Berduaan ditempat yang sunyi dan bepergian bagi laki-laki maupun

perempuan yang bukan muhrimnya. Dikenai sanksi atau teguran dan atau

cambuk.

(4) Menuduh orang berzina tanpa ada 4 orang saksi dengan ketentuan hukuman

(52)

(5) Berjudi dengan ketentuan hukuman pidananya adalah 40 kali cambuk dan;

(6) Penganiayaan dengan ketentuan hukuman pidananya adalah 20 kali cambuk.

Dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan ketentuan pidana (sanksi

pidana) yang diatur dalam Perdes ini selalu di kaitkan dengan pelimpahan kepihak

kepolisian untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan yang berlaku jika tidak

terselesaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Perdes ini.

C. Kriteria Hudud dan Ta’zir Dalam Peraturan Desa Muslim Padang

Hukum Pidana Islam memuat beberapa aturan atau ketetapan hukum bagi

masing-masing perbuatan yang dilarang oleh nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Ada

beberapa jenis perbuatan yang dapat dipidana dalam hukum pidana Islam diantaranya

adalah hukuman hadd dan ta’zir.

Kata “hudud” adalah jamak dari bahasa arab “hadd” yang berarti pencegah,

pengekang, larangan, dan karenanya ia merupakan suatu peraturan yang bersifat

membatasi/ mencegah atau undang-undang dari Allah SWT berkenaan dengan halal

dan terlarang (haram).10

Hukman hudud atau hadd adalah suatu perbuatan pidana atau jarimah yang

hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah SWT. Disebut

sebagai hak Allah SWT, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hadd dan hak Allah

10Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam, Cet. Ke-1 (Jakarta: PT Melton

(53)

36

adalah hukum yang tidak dikhususkan untuk kaum tertentu, yang difungsikan untuk

memberikan kemanfaatan kepada kaum muslimin untuk sebagian dari mereka yang

membutuhkan kemanfaatan tersebut.11 Ciri dari hukuman hadd yaitu hukumannya

tertentu dan terbatas dalam arti bahwa hukuman tersebut telah ditentukan oleh syara’

dan tidak ada batas minimal dan maksimal. Dalam hal ini perbuatan zina, qadzaf dan

syarb al-khamar merupakan salah satu dari macam-macam perbuatan jarimah yang dikenai hukuman hadd dalam hukum pidana Islam seperti jarimah hirobah, jarimah

riddah (murtad), syariqah (pencurian), dan jarimah al-baghyu (pemberontakan) .12 Sedangkan ta’zir menurut pengertian bahasa adalah ta’dib atau memberikan pelajaran. Dalam pengertian yang umum, artinya menolak dan mencegah (Ar Rad wa

Al Man’u).13 Menurut istilah hukum syara’ adalah pencegahan dan pengajaran terhadap tindak pidana yang tidak mempunyai hukum hadd, kifrat dan

Qishas/diyat.14

ةرﺎ آ

ﻻو

ْﻴﻓ

ﱠﺪ

ْذ

ْدﺎ

Artinya:

“Ta’zir merupakan hukum disipliner karena tindak kejahatan, (namaun) tidak ada ketetapan hadd ataupun kafarat didalamnya”.15

11

Ibnu Taimiyah, Kebijaksanaan Polotik Nabi SAW. Judul Asli, As- Siyasah As-Syar’iyah Fii Islahir Raa’i war-Ra’yah. Cet. 1. (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 61.

12

Ibid, Wardi, Hukum Pidana Islam: h. x.

13Ibid, Wardii, Pengantar Dan Asas: h. 19

14

Abdul Mujieb dkk. Kamus Istilah fiqh. Cet.ke-3, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h.384.

(54)

Selain itu ta’zir merupakan hukuman atas kesalahan yang tidak diancam

hukman hadd (khusus) atau kejahatan-kejahatan yang sudah pasti ketentuan hukumannya, tetapi syarat-syaratnya tidak cukup (seperti tidak cukupnya empat

orang saksi dalam kasus pidana). Hukuman ta’zir dikhususkan pada hukuman

pemukulan, tapi dapat juga dalam bentuk lain seperti penamparan.16

Dasar hukum disyari’atkannya hukuman ta’zir berdasarkan hadits Nabi yang

diriwayatkan oleh beberapa ulama, berbunyi sebagai berikut:

ﻰﻓ

ﺳو

ﷲا

ا

نا

ﻴ أ

ﻴﻜ

ا

ﺰﻬ

ﺔ ﻬﺘ ا

)

آﺎ ا

و

ﻰ ﻬﻴ او

ﺋﺎ او

يﺬ

ﺮﺘ او

دواد

ﻮ ا

اور

(

Artinya :

“Dari Bahz ibn Hakim dari Ayahnya dari kakeknya, bahwa nabi saw menahan seserorang karena disangka melakukan kejahatan (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, dan Bahaqi, serta disahihkan oleh Hakim).

ﺳو

ﷲا

ﷲا

ﺿر

يرﺎ ﻻا

ةدﺮ

ا

لﺎﻗ

:

ﻰﻓ

ﻻا

تاﺪ

ﺮﺸ

قﻮﻓ

17

“Dari Abi Burdah Al-Anshari ra. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidak boleh dijilid di atas sepuluh kali cambuk kecuali telah ditentukan oleh Allah Ta’ala”. (Muttafaq ‘Alaih).

لﺎﻗ

ﺳو

ﷲا

ﻰ ا

نا

ﺎﻬ

ﷲا

ﻰﺿر

ﺔﺸﺋﺎ

و

:

يوذ

اﻮ ﻴﻗا

دوﺪ ا

ﻻإ

اﺮﺜ

تﺎ ﻴﻬ ا

)

ﺪ ا

اور

او

ﻬﻴ او

ﻰﺋﺎ او

دواد

(

16

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Cet. ke-6 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), h. 52.

17

(55)

38

"Dari Aisyah ra. bahwa Nabi saw bersabda: “Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud". (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi).18

Menurut hemat penulis, dari pemaparan di atas secara garis besar hukuman

hadd adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan sudah menjadi hak Allah. Sedangkan hukuman ta’zir adalah hukuman yang tidak melebihi batas

maksimal hukuman hadd. Dan ketentuan hukuman ta’zir dapat ditentukan oleh

penguasa, pemerintah (ulil amri).

Berangkat dari kesimpulan di atas, penulis mendapati cakupan kriteria hudud

dan ta’zir dalam Perdes ini antaranya sebagai berikut;

1) Larangan perbuatan zina dengan ancaman pidana cambuk sebanyak 100 kali

baik pelaku zina muhson maupun pelaku zina ghair muhson.

2) Larangan menjual dan meminum- minuman yang mengandung zat aditif

lainnya dengan ancaman pidana cambuk sebanyak 40 kali cambuk;

3) Larangan menuduh orang berzina tanpa ada 4 orang saksi dengan ancaman

pidananya sebanyak 80 kali cambuk.

Adapun yang termasuk dalam kriteria ta’zir dalam Perdes ini antaranya

sebagai berikut:

1) Larangan melakukan perbuatan mesum (laki-laki dan perempuan yang bukan

muhrim bersunyi-sunyi) serta bepergian laki-laki dengan perempuan bukan

18

(56)

muhrimnya tanpa dapat persetujuan dari orang tua atau walinya. Kedua

Referensi

Dokumen terkait

Monitoring yang dilakukan terhadap pelaksanaan rencana tindak dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu (1) monitoring yang dilakukan dengan metode kunjung lapang

maka pengaruh utama yang diberikan efek positif dari olahraga itu utamanya adalah otot, selain dari sistem metabolisme darah dalam tubuh, dimana otot menjadi bertambah

Pada dasawarsa 1980-an akasia direkomendasikan ditanam di hutan bekas tebangan atau hutan tidak produktif untuk memprakondisikan lingkungan, sehingga pada tahun- tahun berikutnya

Rangkaian dasar penguat inverting adalah seperti yang ditunjukkan pada gambar 1, dimana sinyal masukannya dibuat melalui input inverting.. Seperti tersirat pada

Penggunaan jalan tol dalam pengiriman barang mampu memberi penghematan dari segi waktu sebesar 5%, dengan komposisi kendaraan yang melewati jalan tol dan tidak adalah

(1) LPMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah Lembaga Kemasyarakatan yang membantu Pemerintah Desa dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk

Fungsi Pemerintah Desa dan BPD dalam Good Village Governance Pelatihan legal drafting Perdes sebagai upaya meningkatkan kompetensi penyusunan Peraturan Desa (Perdes) bagi

Setelah penjualan dan bagi hasil panen pertama selesai, pemilik lahan hanya mengeluarkan biaya bibit, pemeliharaan, keamanan, dan asuransi untuk periode berikutnya