S
E K O L A H
P A
S
C
A S A R JA
NA
PENGARUH PERILAKU IBU TENTANG HYGIENE DAN
SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP KECACINGAN
ANAK DI KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN
SAMOSIR 2008
PROPOSAL
OLEH :
IN A CH RIS TIN MALAU
047012009 / AKK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PENGARUH PERILAKU IBU, SANITASI LINGKUNGAN DAN KARAKTERISTIK ANAK
TERHADAP KECACINGAN ANAK DI KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR 2008
Nama Mahasiswa : Ina Christin Malau Nomor Pokok : 047012009
Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Menyetujui Komisi Pembimbing :
(Prof. dr. Azhar Tanjung, Sp.PD-KP-KAI, Sp.MK) (Ir. Indra Chahaya, MSi) Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada
Tanggal : 27 November 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Azhar Tanjung, Sp. PD-KP-KAI, Sp.MK
1. Ir. Indra Chahaya, MSi
2. drh. Rasmaliah, M.Kes
PENGARUH PERILAKU IBU, SANITASI LINGKUNGAN DAN KARAKTERISTIK ANAK TERHADAP KECACINGAN ANAK
DI KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR 2008
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) Dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Pada Sekolah Pacasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh :
INA CHRISTIN MALAU
047012009/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2008
PERNYATAAN
PENGARUH PERILAKU IBU, SANITASI LINGKUNGAN DAN KARAKTERISTIK ANAK TERHADAP KECACINGAN ANAK
DI KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR 2008
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, November 2008
ABSTRACT
One of the health problems in Indonesia is the high prevalence rate of helminthes (70%-90%) and most of sufferers are the school-age children, especially those of primary schools and coming from the impoverished family. The prevalence of helminthes can happen from poor environmental sanitation, poor self hygiene and direct contact with feces.
This observational study with cross sectional design is aimed to analyze the influence of mothers’ behaviour (knowledge, attitude, action), environmental sanitation and children characteristic toward helminthes in Simanindo subdistrict Samosir district. The population for this study is all mothers having primary school age children in Simanindo subdistrict. The samples are 125 mothers selected through simple random sampling technique. The data are collected through questionnaire-based interviews to find out environmental sanitation data and feces laboratory examination to find out the prevalence rate helminthes. Statistical analysis is done by using Chi-square and logistic regression test.
The result of the study shows that prevalence rate of helminthes in Ambarita village is the highest as 25 persons (53.19%), compared to other villages such as Tuk Tuk village is 23 persons (47.97%) and Simarmata village is 5 persons (16.66%). Statistically, there is no significant relationship between children’s age (p=0.63>0.05) and children’s sex (p=0.73>0.05) and helminthes in children. The most dominant variable which influence between mothers’ behaviour, environmental sanitation and children characteristic toward helminthes in children is variable the cleanliness of the house (p=0.00<0.05) and Exp value (B) of 2.070.
It is suggested that Health Service of Samosir District to socialize the information, to implement periodical extension based on local human resources and culture, to make use of health cadres (prominent leaders) about helminthes to mothers through posters, newspaper, radios, and extension, environmental management to keep the epidemiologic surveillance activity going well. Giving helminthes medicine twice a year and suggest the head of Health Service to provide community water close/toilet in every village of Simanindo subdistrict. It is expected that every mother keeps her house, children and environmental sanitation clean.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul ”Pengaruh
Perilaku Ibu, Sanitasi Lingkungan, dan Karakteristik Anak terhadap Kecacingan Anak
di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir 2008”.
Penulisan ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk
menyelasaikan pendidikan Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
Dengan rahmatNya serta ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, sebagai Ketua Program Studi Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Ibu Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, MSi, sebagai Sekretaris Program Studi
Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
Bapak Prof. dr. Azhar Tanjung, Sp.PD-KP-KAI, Sp.MK, selaku Ketua Komisi
Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan
dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga
Ibu Ir. Indra Cahaya, MSi, selaku Anggota Komisi Pembimbing dengan penuh
perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk
membimbing penulis mulai dari proposal sampai tesis selesai.
Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes, dan Ibu Ir. Evinaria, M.Kes, sebagai Komisi
Penguji atau Pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi
kesempurnaan penulisan tesis ini.
Bapak Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir beserta staf yang telah banyak
membantu dan memberi dukungan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan
pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Sekolah
Pascasarjana Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.
Ucapan terima kasih yang tulus kepada keluarga besar Ayahanda Drs. T. P.
Malau dan Ibunda D. Gultom, keluarga besar Bapak mertua (alm) S. Manurung, Ibu
mertua D. Marpaung, yang telah membantu dan memberikan dorongan moril,
material serta doa selama penulis menjalani pendidikan.
Teristimewa buat suami tercinta dan tersayang K. Manurung, yang penuh
perhatian, pengertian, kesabaran, pengorbanan dan doa serta memotivasi dan
memberikan dukungan moril agar bisa menyelesaikan pendidikan ini.
Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan
kritikan yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini
dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang
kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, November 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Ina Christin Malau, lahir pada tanggal 11 Oktober 1979 di Medan, anak ke
empat dari lima bersaudara dari pasangan Ayahanda Dr. T.P Malau dan Ibunda D.
Gultom.
Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di R.K.
Budi Luhur Medan selesai tahun 1992, Sekolah Menengah Pertama Santo Thomas 1
Medan selesai tahun 1995, Sekolah Menegah Atas Santo Thomas 2 Medan selesai
tahun 1998, Akademi Keperawatan Departemen Kesehatan RI Medan selesai tahun
2001, Sarjana Keperawatan dan Profesi Keperawatan (Ners) Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Mutiara Indonsia Medan selesai tahun 2004.
Pengangkatan sebagai Direktur Akademi Keperawatan Teladan Bahagia
Medan sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang. Pada tahun 2004 s/d 2008 ditunjuk
sebagai dosen Akper Teladan Bahagia Medan.
Pada tanggal 8 Juni 2007, penulis menikah dengan saudara K. Manurung.
Pada tahun 2004 penulis sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Konsentrasi
DAFTAR ISI
2.2. Pengertian dan Ruang Lingkup Sanitasi Lingkungan... 18
Variabel Dependen………... 74
4.5. Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen.. ... 79
BAB 5 PEMBAHASAN... 81
5.1. Pengaruh Perilaku Ibu terhadap Kecacingan... 81
5.2. Variabel yang berpengaruh antara Perilaku Ibu, Sanitasi Lingkungan dan Kebersihan Anak terhadap Kecacingan Anak .... 88
5.3. Keterbatasan Penelitian... 90
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 91
6.1. Kesimpulan ... 91
6.2. Saran ... 92
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Beberapa Jenis dan Agent Penyakit Bawaan Air... 21
2. Jumlah Unit Sampel Pada Setiap Puskesmas berdasarkan
Proporsi Kepala Keluarga... 49
3. Hasil Analisa Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian... 50
4. Aspek Pengukuran Variabel Independent dan Variabel Dependent... 52
5. Jenis dan Jumlah Tenaga Pelayanan Kesehatan di
Kecamatan Simanindo Tahun 2007... 60
6. Distribusi Penderita Kecacingan di Kecamatan Simanindo Menurut
Waktu Penemuan Kasus Tahun 2007... 61
7. Distribusi Responden Menurut Karakteristik Responden (Ibu)
di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 62
8. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang
Kecacingan Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 63
9. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap tentang Kecacingan
di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 64
10. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan tentang
Kecacingan di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 65
11. Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku tentang Kecacingan
di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir Tahun 2008... 66
12. Distribusi Responden Berdasarkan Kebersihan Anak
di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 67
13. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Anak
di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 68
14. Hasil Observasi Ketersediaan Jamban di Kecamatan
Simanindo Tahun 2008... 68
15. Hasil Observasi Sumber Air Bersih di Kecamatan
Simanindo Tahun 2008... 69
16. Hasil Observasi Pembuangan Sampah di Kecamatan
17. Hasil Observasi Pembuangan Air Limbah di Kecamatan
Simanindo Tahun 2008... 71
18. Hasil Observasi Rumah di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 72
19. Distribusi Responden Berdasarkan Sanitasi Lingkungan di
Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 73
20. Distribusi Prevalens Rate Kecacingan Anak di Kecamatan
Simanindo Tahun 2008... 73
21. Hasil Pemeriksaan Kecacingan Anak Responden di Kecamatan
Simanindo Tahun 2008... 74
22. Analisis Bivariat Antara Perilaku Ibu terhadap Kecacingan Pada Anak
di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 75
23. Analisis Bivariat Antara Sanitasi Lingkungan terhadap Kecacingan di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 77
24. Analisis Bivariat Karakteristik dan kebersihan Anak terhadap
Kecacingan di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 78
25. Analisis Multivariat Regresi Logistik antara Variabel Sikap,
Pembuangan Sampah, Saluran Pembuangan Air Limbah, Kebersihan Rumah, Kebersihan Anak terhadap Kecacingan Anak
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Model Perencanaan PRECEDE-PROCEED... 44
2. Teori Alasan Berperilaku...…. 45
3. Kerangka Konsep Pengaruh Perilaku Ibu, Sanitasi Lingkungan
dan Karakteristik Anak terhadap Kecacingan Anak di Kecamatan
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuisioner... 99
2. Daftar Check list Observasi Sanitasi Lingkungan Responden di Kecamatan Simanindo 2008... 103
3. Cara Pemeriksaan Tinja dan Gambar Telur Cacing... 106
4. Rekapitulasi Hasil Pemeriksaan Survey Kecacingan di Kecamatan Simanindo... 107
5. Hasil Validitas dan Reliabilitas... 113
6. Output Analisa Univariat... 115
7. Hasil Analisa Bivariat (Chi – Square)... 117
8. Hasil Analisa Multivariat (Logistic Regression)... 126
9. Surat Izin Penelitian dari Direktur Pascasarjana USU... 131
10. Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir... 132
11. Surat Keterangan Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir... 133
12. Surat Izin Penelitian dari Kepala Puskesmas Ambarita... 134
ABSTRACT
One of the health problems in Indonesia is the high prevalence rate of helminthes (70%-90%) and most of sufferers are the school-age children, especially those of primary schools and coming from the impoverished family. The prevalence of helminthes can happen from poor environmental sanitation, poor self hygiene and direct contact with feces.
This observational study with cross sectional design is aimed to analyze the influence of mothers’ behaviour (knowledge, attitude, action), environmental sanitation and children characteristic toward helminthes in Simanindo subdistrict Samosir district. The population for this study is all mothers having primary school age children in Simanindo subdistrict. The samples are 125 mothers selected through simple random sampling technique. The data are collected through questionnaire-based interviews to find out environmental sanitation data and feces laboratory examination to find out the prevalence rate helminthes. Statistical analysis is done by using Chi-square and logistic regression test.
The result of the study shows that prevalence rate of helminthes in Ambarita village is the highest as 25 persons (53.19%), compared to other villages such as Tuk Tuk village is 23 persons (47.97%) and Simarmata village is 5 persons (16.66%). Statistically, there is no significant relationship between children’s age (p=0.63>0.05) and children’s sex (p=0.73>0.05) and helminthes in children. The most dominant variable which influence between mothers’ behaviour, environmental sanitation and children characteristic toward helminthes in children is variable the cleanliness of the house (p=0.00<0.05) and Exp value (B) of 2.070.
It is suggested that Health Service of Samosir District to socialize the information, to implement periodical extension based on local human resources and culture, to make use of health cadres (prominent leaders) about helminthes to mothers through posters, newspaper, radios, and extension, environmental management to keep the epidemiologic surveillance activity going well. Giving helminthes medicine twice a year and suggest the head of Health Service to provide community water close/toilet in every village of Simanindo subdistrict. It is expected that every mother keeps her house, children and environmental sanitation clean.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi
pembangunan kesehatan, yaitu memelihara kesehatan yang bermutu (promotif),
menjaga kesehatan (preventif), mengobati (kuratif) dan rehabilitatif yang merata dan
terjangkau. Berdasarkan UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, pasal 32
menyatakan bahwa upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan,
diantaranya adalah pencegahan dan penyembuhan terhadap kecacingan.
Sesuai dengan berlakunya UU No.25/1999 tentang pelayanan kesehatan secara
keseluruhan dan merata terwujud dengan berhasilnya pemerintah menyediakan sarana
dan prasarana pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan terhadap
kecacingan melalui pemberian obat cacing setiap 6 bulan sekali dan pembuatan MCK
(Mandi, Cuci, Kakus) yang sehat dan teratur, serta pendidikan kesehatan tentang
hygiene dan sanitasi lingkungan. Pelayanan kesehatan ini pun belum merata di
masyarakat sehingga prevalensi kecacingan belum menurun secara signifikan (Depkes
RI, 2001). Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No. 424/MENKES/SK/VI/2006
diharapkan di Indonesia angka prevalensi kecacingan < 10% dalam rangka menuju
Indonesia Sehat 2010.
Penyebaran kecacingan melalui kontak dengan tinja. Tinja yang mengandung
banyak telur bisa terbawa angin, banjir, nyamuk, lalat yang menempel di setiap
tempat seperti makanan, sayuran mentah, buah-buahan, air limbah rumah, debu dan
lain-lain. Berbagai tempat akan tercemar dengan telur cacing bila keadaan sanitasi
air limbah, tidak ada tersedianya jamban sehingga masyarakat punya kebiasaan buang
air besar di sembarangan tempat (Nevi, 2006).
Menurut data WHO dalam Nevi (2006), seperempat penduduk dunia terinfeksi
kecacingan kronis. Diperkirakan 1,4 milyar orang kecacingan Ascaris lumbricoides
(cacing gelang), 1 milyar orang oleh Trichuris trichiura (cacing cambuk) dan 1,3
milyar orang kecacingan Ancylostoma duodenale (cacing tambang). Sebagian besar
penderita kecacingan tinggal di negara-negara beriklim tropis seperti Indonesia.
Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia tergolong cukup tinggi, yaitu 70%-90%
dan sebagian besar yang menjadi korban adalah anak-anak usia sekolah, terutama
sekolah dasar dan golongan penduduk yang kurang mampu.
Tingginya prevalensi kecacingan belum dianggap suatu masalah kesehatan
yang penting, padahal kerugian yang ditimbulkannya sangat besar. Dari sisi
kesehatan, kecacingan menyebabkan kekurangan gizi, anemia, pertumbuhan,
gangguan kognitif anak, kecerdasan dan produktifitas penderitanya karena
menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga
menurunkan kualitas sumber daya manusia (Nevi, 2006).
Salah satu hasil pemantauan pengawasan lingkungan permukiman terhadap
kualitas tanah permukaan di Indonesia, menunjukkan bahwa sebesar 53,06% tanah
permukaan di lingkungan permukiman positif ditemukan adanya telur cacing gelang
(Hasyimi, 2001).
Penelitian yang dilakukan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat dari
Amerika, IRD (International Relief and Development) pada tahun 2004, terhadap
1805 murid anak Sekolah Dasar di Kab. Kebumen, menemukan angka prevalensi
kecacingan 82,60% (1491 murid). Penelitian lain di Kab. Temanggung (2004)
Menurut kedua penelitian ini ada tiga jenis cacing yang dominan yaitu cacing gelang,
cacing cambuk dan cacing tambang (Dinas Kesehatan Prop. Jateng, Profil Kesehatan,
2003).
Dalam laporan hasil survei prevalensi kecacingan pada 10 propinsi 2004,
Sumatera Utara menduduki peringkat ke-3 (60,4%) dalam hal kecacingan (Ditjend
PPM-PL, 2004).
Di propinsi Sumatera Utara (2004) angka prevalensi kecacingan kurang lebih
73%, dan pada tahun 2005 angka prevalensi cacing gelang 56,6% (236 orang), cacing
cambuk 39,56% (165 orang) dan cacing tambang (3,9%) (11 orang) (Data P2ML
Propinsi Sumatera Utara).
Pada tahun 2005, Dinas P2ML (Pemberantasan Penyakit Menular Lingkungan)
Sumatera Utara juga melakukan survei kecacingan, tetapi belum juga menunjukkan
penurunan yang signifikan, dapat di lihat dari data surveilans terhadap 1000
responden tentang hasil positif kecacingan dengan peringkat sebagai berikut yaitu
untuk Kabupaten Tapanuli Selatan, angka prevalensi cacing gelang 70,06% (103
orang), cacing tambang 25,17% (37 orang), cacing cambuk 4,76% (7 orang) dan
daerah Tapanuli Utara, angka prevalensi cacing gelang 70% (105 orang), cacing
tambang 17,85% (25 orang), caing cambuk 7,14% (10 orang).
Pada tahun 2005, Dinas Kesehatan Samosir melakukan pemeriksaan tinja di 8
Kecamatan terhadap 1000 responden menunjukkan angka prevalensi cacing gelang
70,3% (703 orang), cacing tambang 12,4% (124 orang), cacing cambuk 10,5% (105
orang) dan penelitian kedua dilakukan di Kecamatan Simanindo desa Ambarita oleh
dokter Jhonson dari LSM Jepang menemukan 4 orang anak SD Negeri yang terinfeksi
cacing pita. Di antara keempat jenis cacing tersebut, cacing gelang merupakan jumlah
Dinas Kesehatan Samosir (2007), melakukan pemeriksaan tinja di 40 Sekolah
Dasar yang ada di 8 (delapan) Kecamatan Kabupaten Samosir menunjukkan
Kecamatan Simanindo yang paling tinggi, dari 529 responden ditemukan angka
prevalensi cacing gelang 66,91% (354 orang), cacing cambuk 1,32% (7 orang),
cacing pita 2,45% (13 orang).
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Maret
2008 di sekolah dasar negeri Kecamatan Simanindo terhadap 265 murid yang
dijumpai, sebagian besar murid tidak menggunakan sepatu saat bermain di halaman
sekolah, bermain kelereng di tanah, tidak mencuci tangannya sebelum dan sesudah
bermain, sebagian besar murid jajan di luar sekolah yang hidangan makanannya tidak
bersih. Ada juga murid buang air besar di sembarangan tempat dan tidak mencuci
tangan sebelum dan sesudah buang air besar dan buang air kecil sehingga
mengakibatkan kecacingan pada anak tersebut.
Melihat penampilan fisik murid, sebagian besar pakaiannya kurang bersih,
kuku tangan dan kaki yang panjang dan hitam. Keadaan ini disebabkan dari
kurangnya perhatian ibu terhadap kebersihan anaknya sendiri.
Di Kecamatan Simanindo para ibu ditemukan jarang masak sayuran, air dan
daging sampai masak. Perilaku ibu seperti cara memelihara kebersihan rumah,
kebersihan makanan, kebersihan per orangan (merawat kebersihan tangan,jari dan
kuku, kebersihan gigi dan mulut, kebersihan rambut), dan praktik psikososial adalah
faktor penting yang berpengaruh terhadap proses tumbuh-kembang anak. Demikian
pula faktor lingkungan seperti ketersediaan air bersih di dalam rumah dan
pengetahuan ibu (Anwar, 2000).
Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes
sebagian besar responden (90,6%) tidak memiliki jamban, perilaku ibu (pengetahuan,
sikap, tindakan), umur, ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan dalam
peningkatan angka prevalensi kecacingan pada anak. Kejadian cacing gelang dan
cacing cambuk dapat dihubungkan dengan status sosial ekonomi dan tingkat
pendidikan ibu yang lebih rendah serta status ibu yang bekerja di Kecamatan Ampana
Kota Kabupaten Poso. Infestasi cacing gelang dapat dihubungkan dengan penurunan
kemampuan verbal, penurunan kemampuan Aritmatika-Matematika dikaitkan dengan
menurunnya frekuensi belajar yang tidak teratur.
Mengacu hasil pengamatan, data-data yang didapat dari Dinas Kesehatan
Kecamatan Simanindo dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di berbagai
tempat, maka perlu dilakukan tentang pengaruh perilaku ibu, sanitasi lingkungan dan
kebersihananak terhadap kecacingan di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan angka prevalensi kecacingan di Kecamatan Simanindo dari data
Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir yaitu 70,7%, hasil survei sanitasi lingkungan,
perilaku ibu dan kebersihan anak, menunjukkan kurangnya kebersihan pada anak dan
sanitasi lingkungan. Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka
permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh perilaku ibu (sikap,
pengetahuan, tindakan), sanitasi lingkungan, karakteristik anak yang berkaitan dengan
kecacingan anak di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh perilaku ibu (sikap, pengetahuan,tindakan),
sanitasi lingkungan dan karakteristik anak terhadap kecacingan anak di Kecamatan
1.4. Hipotesis
Berdasarkan tujuan penelitian maka hipotesa dalam penelitian ini adalah : Ada
pengaruh yang signifikan antara perilaku ibu (pengetahuan, sikap, tindakan), sanitasi
lingkungan dan karakteristik anak terhadap kecacingan anak di Kecamatan Simanindo
Kabupaten Samosir 2008.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan kepada Dinas Kesehatan
Samosir membuat kebijakan dalam merencanakan program kesehatan baik
dalam penyuluhan kesehatan maupun penyediaan obat cacing untuk
menurunkan angka prevalensi kecacingan.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi ibu dalam
memberikan bimbingan tentang pengetahuan, sikap untuk meningkatkan
perilaku sehat terhadap kesehatan anaknya dan menciptakan sanitasi
lingkungan yang bersih untuk mencegah kecacingan.
3. Agar dapat menjadi referensi untuk penelitian lanjutan bagi peneliti-peneliti
yang ingin melakukan penelitian tentang penyakit kecacingan sehingga dapat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Kecacingan
Manusia merupakan hospes defenitif beberapa nematoda usus (cacing perut),
yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing perut
terdapat sejumlah species yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths).
Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides),
cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus), cacing cambuk
(Trichuris trichiura) dan cacing pita (Taeniasis) (Behrman, 2000).
2.1.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Dalam Behrman (2000) dikatakan bahwa manusia merupakan satu-satunya
hospes cacing gelang. Cacing ini berwarna putih atau merah. Cacing jantan berukuran
10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus
halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari
telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi.
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk
infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia,
akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus
menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan dialirkan ke jantung lalu mengikuti
aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu melalui dinding
alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui bronchiolus dan
broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan
menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak
tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 1998).
2.1.1.1. Gejala Klinik dan Diagnosis
Menurut Mansjoer (2000), gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa
biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti
mual, nafsu makan berkurang, diare, dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada
anak-anak dapat terjadi gangguan penerapan makanan. Keadaan yang serius, bila
cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus.
Gejala kecacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan
penyakit-penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk. Anak yang
menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar berkurang.
Pada anak-anak yang menderita cacing gelang, perutnya nampak buncit
karena jumlah cacing dan kembung perut, biasanya mata pucat, kotor seperti sakit
mata, dan seperti ada batuk dan pilek. Perut sering sakit, diare, nafsu makan kurang.
Anak masih dapat berjalan, sekolah dan bekerja sehingga sering kali anak tidak
merasa sakit dan terjadi salah pengobatan.
Gejala klinik yang tidak khas, perlu diadakan pemeriksaan tinja untuk
membuat diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam
tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan
beratnya infeksi.
2.1.1.2. Epidemiologi
Cacing gelang, infeksi yang ditularkan melalui tanah, tergantung pada
penyebaran telur ke dalam keadaan lingkungan yang cocok untuk pematangannya.
Defekasi di tempat sembarangan dan menggunakan pupuk manusia merupakan
cacing gelang. Penyebaran kecacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di
perkotaan. Penularan cacing gelang dapat terjadi musiman atau sepanjang tahun
(Behrman, 2000).
Hasil survei kecacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada tahun
1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk semua umur
berkisar antara 40%-60% ( Depkes, 2004). Telur cacing gelang berkembang sangat
baik pada tanah liat yang mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25°- 30°C.
Pada kondisi ini telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam
waktu 2-3 minggu (Onggowaluyo, 2002).
Infeksi cacing gelang terjadi bila telur infektif masuk melalui makanan atau
minuman yang masuk ke mulut dan melalui tangan yang kotor (tercemar tanah
dengan telur cacing). Intensitas dan prevalensi kecacingan meningkat pada anak-anak
dan remaja. Puncak intensitas terjadi antara umur 5-10 tahun. Perilaku seseorang
sangat penting peranannya. Intensitas dan prevalensi yang tinggi pada anak
disebabkan oleh kebiasaan memasukkan jari-jari tangan yang kotor ke dalam mulut.
(Watkins dan Pollitt dalam Poespoprodjo dan Sadjimin, 2000).
2.1.1.3. Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau massal pada masyarakat.
Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat
Piperasin, Pyrantel pamoate, Albendazole atau Mebendazole.
Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa
persyaratan, yaitu :
a. Mudah diterima di masyarakat.
b. Mempunyai efek samping yang minimum.
d. Harganya murah (terjangkau).
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menciptakan sanitasi lingkungan yang
bersih yaitu menyediakan fasilitas pembuangan sampah dan air limbah. Keluarga
yang pekerjaannya petani harus menggunakan sarung tangan apabila menggunakan
pupuk dari kotoran manusia atau hewan (Insley, 2005).
2.1.2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Dalam Mansjoer (2000) dikatakan bahwa manusia merupakan hospes cacing
cambuk. Cacing dewasa berwarna merah muda, cacing betina panjangnya sekitar 5
cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dengan
bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur yang dibuahi
dikelurkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang (berisi larva dan infektif)
dalam waktu 3-6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh.
Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia
(hospes), kemudian larva akan keluar dari telur dan masuk ke dalam usus halus
sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon
asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing
dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari.
2.1.2.1. Gejala Klinik dan Diagnosis
Perkembangan larva cacing cambuk didalam usus biasanya tidak
memberikan gejala klinik yang berarti walaupun dalam sebagian masa
perkembangannya larva memasuki mukosa intestinum tenue. Gejala pada infeksi
ringan dan sedang anak gugup, susah tidur, nafsu makan menurun, biasanya di jumpai
nyeri epigastric, muntah, kontipasi, perut kembung. Pada infeksi berat di jumpai
penurunan berat badan,. Pada infeksi sangat berat bisa terjadi prolapsus rekti akibat
mengejannya penderita sewaktu defekasi. Gejala ini terjadi apabila cacing tersebar
diseluruh kolon dan rektum. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja
(Manjoer, 2000).
2.1.2.2. Epidemiologi
Penyebaran geografis cacing cambuk sama dengan cacing gelang sehingga
sering kali kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes.
Frekuensinya di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, frekuensinya antara
30%-90%. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anak-anak. Faktor yang terpenting
dalam penyebaran cacing cambuk adalah kontaminasi tanah dengan tinja yang
mengandung telur cacing cambuk. Telur berkembang baik pada tanah liat, lembab dan
teduh dengan suhu optimal ± 30°C. Infeksi cacing cambuk terjadi bila telur yang
infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman yang tercemar atau
melalui tangan yang kotor.
Di daerah hiperentemik, infeksi dapat dicegah dengan pengobatan,
pembuatan MCK (mandi, cuci dan kakus) yang sehat dan teratur, penyuluhan
pendidikan tentang hygiene dan sanitasi pada masyarakat (Onggowaluyo, 2002).
2.1.2.3. Pengobatan
Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing
cambuk adalah Albendazole/Mebendazole dan Oksantel pamoate untuk melemahkan
dan menghancurkan perkembangbiakan cacing di usus.
Kebersihan diri dan sanitasi lingkungan dapat mencegah terjadinya
2.1.3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale & Necator americanus)
Dalam Mansjoer (2000) dikatakan bahwa hospes parasit cacing tambang
adalah manusia, bentuk cacing dewasa kecil, silindris. Cacing dewasa hidup di rongga
usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan
9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm,
cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di
dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai
berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur
tersebut menetas menjadi larva rabditiform.
Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat
menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus
kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus
pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut
tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi
bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan.
2.1.3.1. Gejala Klinik dan Diagnosis
Gejala klinik dapat ditimbulkan cacing dewasa atau larvanya. Bila larva
infektif menembus kulit dapat terjadi gatal-gatal. Cacing tambang dewasa yang
mengisap darah penderita akan menimbulkan kekurangan darah sampai 0,1 cc per
hari, sedangkan seekor cacing tambang dewasa dapat menimbulkan kekurangan darah
sampai 0,34 cc per hari. Akibat anemi tersebut maka penderita tampak pucat. Berat
nutrisi penderita. Gejala ini disebabkan cacing tambang hidup dalam rongga usus
halus tapi melekat dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah.
Di negara-negara tropis umumnya sumber ferrum dalam makanan berupa
sayur-sayuran dan buah-buahan, hal ini menyebabkan absorpsi ferrum kurang
dibandingkan dengan absorpsi dari sumber produk hewani (Behrman, 2000).
2.1.3.2. Epidemiologi
Endemisitas kecacingan pada setiap lokasi spesifik tergantung pada
kecocokan keadaan lingkungan untuk penetasan telur dan pematangan larva. Kondisi
tanah optimal ditemukan pada banyak bagian negara tropis dan juga pada bagian
Tenggara Amerika Serikat.
Kasusnya banyak ditemukan di daerah pedesaan, khususnya pada pekerja di
daerah perkebunan yang kontak langsung dengan tanah. Penyebaran infeksi
berhubungan dengan kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai
pupuk kebun. Habitat yang cocok untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur
(misalnya humus dan pasir).
Morbiditas kecacingan di daerah endemik terutama diderita oleh anak-anak
yang umurnya lebih tua. Pada suatu penelitian setengah dari anak terinfeksi sebelum
usia 5 tahun, 90% terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas kecacingan bertambah
sampai umur 6-7 tahun, kemudian stabil (Behrman, 2000) yaitu 10 tahun. Penyebab
perbedaan distribusi umur masih belum dipahami.
Infeksi dapat dihindari dengan menggunakan alas kaki (sandal atau sepatu).
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menghindari defekasi di sembarangan
tempat (Onggowaluyo, 2002).
Obat untuk infeksi cacing tambang adalah Pyrantel pamoate (Combantrin,
Pyrantin), Mebendazole (Vermox, Vermona, Vircid), Albendazole akan melenyapkan
atau mengurangi secara bermakna beban cacing tambang.
Pencegahan atau pelenyapan infeksi kecacingan tergantung kepada sanitasi
dan kemoterapi massal.
2.1.3. Cacing Pita (Taeniasis)
Dalam Behrman (2000) dikatakan bahwa hospes parasit cacing pita adalah
manusia. Macam-macam dari cacing pita adalah cacing pita sapi (Taenia saginata),
cacing pita babi (Taenia solium), dan cacing pita ikan (Diphyllobothrium latum).
ukurannya berkisar dari 4-10 meter. Beribu-ribu segmen pipih (proglotid) membentuk
tubuh cacing dewasa. Proglotid cacing pita sapi dan babi biasanya keluar utuh dalam
tinja. Sebaliknya, proglotid cacing pita ikan sering pecah dalam usus, karena sampai 1
juta telur dapat dilepaskan perhari, telur-telur tersebut dapat diamati dalam tinja.
Cacing pita babi adalah patogen yang paling serius pada kelompok ini. Manusia
terinfeksi dengan bentuk dewasa bila mereka mengkonsumsi daging babi mentah atau
setengah masak yang mengandung kista parasit. Cacing akan melekat pada lumen
usus halus.
Cacing pita babi satu-satunya cacing pita yang skoleksnya dilengkapi dengan
kait disamping pengisap. Manusia dapat terinfeksi dengan cara menelan makanan atau
air yang terkontaminasi dengan telur-telur cacig lalu masuk ke mukosa usus dan
menyebar secara hematogen ke banyak jaringan terutama otak dan otot.
Telur cacing pita ikan menetas dalam air segar pada pemajanan terhadap
cahaya, kemudian parasit yang baru lepas tertelan pada ikan air tawar dan ikan air
tawar bermata besar sejenis ikan salmon. Konsumsi ikan mentah atau tidak dimasak
2.1.4.1. Gejala Klinik dan Diagnosis
Gejala klinik pada cacing pita sapi akan menimbulkan gatal pada anus.
Gejala yang ditimbulkan cacing pita babi akan menimbulkan gangguan neurologis,
kognitif atau gangguan kepribadian individu. Pada penderita cacing pita ikan akan
mengalami mudah lelah, demam edema dan kehilangan rasa getaran.
Pemeriksaan parasitologis tinja berguna untuk diagnosis infeksi ketiga cacing
pita tersebut (Behrman, 2000).
2.1.4.2. Epidemiologi
Cacing pita sapi dan babi tersebar di seluruh dunia. Meskipun beberapa
penyebaran dari orang ke orang telah didokumentasi di Amerika Serikat, penyebaran
ini tidak lazim. Risiko kecacingan jauh lebih tinggi di Amerika Tengah, Afrika, India,
Indonesia, dan Cina. Cacing pita ikan lebih sering dijumpai di Eropa dan Asia yang
beriklim sedang, tetapi dapat ditemukan di danau dingin pada tempat yang tinggi di
Amerika Selatan dan Afrika. Kasusnya banyak ditemukan di daerah pedesaan,
khususnya pada orang yang suka makan daging mentah atau setengah masak
(Behrman, 2000)..
Cacing pita menghisap darah dan luka-luka gigitan dilepaskan dapat
menyebabkan anemia yang lebih berat (Behrman, 2000).
2.1.4.3. Pengobatan dan Pencegahan
Obat untuk infeksi cacing pita adalah Niklosamid atau Prziquante. Pencegahan
kecacingan harus memasak daging sapi, babi dan ikan.
Perhatian terhadap kebersihan seseorang, menghindari buah-buahan dan
sayuran segar.semua anggota keluarga harus diperiksa mengenai adanya telur dan
tanda-tanda penyakit.
Lingkungan hidup adalah jumlah semua benda yang hidup dan tidak hidup
serta kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati (Sastrawijaya, 2000).
Sanitasi lingkungan adalah bagian dari ilmu kesehatan lingkungan yang
meliputi cara dan usaha individu atau masyarakat untuk mengontrol dan
mengendalikan lingkungan hidup eksternal yang berbahaya bagi kesehatan serta yang
dapat mengancam kelangsungan hidup manusia (Chandra, 2007).
Lingkungan hidup eksternal merupakan lingkungan di luar tubuh manusia
yang terdiri atas tiga komponen, antara lain (Chandra, 2007) :
1. Lingkungan fisik bersifat abiotik atau benda mati seperti air, udara, tanah,
cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi, dan lain-lain. Lingkungan fisik
ini berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan masa
serta memegang peranan penting dalam proses terjadinya penyakit pada
masyarakat.
2. Lingkungan Biologi bersifat biotik atau benda hidup, misalnya
tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain-lain yang
dapat berperan sebagai agens penyakit, vektor penyakit.
3. Lingkungan Sosial berupa kultur, adat-istiadat, kebiasaan, kepercayaan,
agama, sikap, standar dan gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan,
organisasi sosial dan politik.
2.2.1. Penyediaan Air Bersih
Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Air
dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan membersihkan kotoran yang ada
kebakaran, transportasi, dan lain-lain. Penyakit-penyakit yang menyerang manusia
dapat juga ditularkan dan disebarkan melalui air (Chandra, 2007).
Sumber daya air di bumi meliputi (Soesanto, 2001) :
1. Mata air (air tanah yang menyembul ke permukaan tanah).
2. Air tanah (air tanah tidak tertekan dan air tanah tertekan)
3. Sungai
4. Danau
5. Air laut
Untuk kepentingan masyarakat sehari-hari, persediaan air harus memenuhi
standar air minum dan tidak membahayakan kesehatan manusia.
Negara maju lebih menekankan standar kimia, sedangkan negara berkembang
lebih menekankan standar biologis. Menurut Chandra (2007) dikatakan bahwa
standar-standar untuk kelayakan air minum yang berlaku di Indonesia menurut
Permenkes RI No.01/Birhubmas/I/1975 adalah :
a. Standar fisik : suhu, warna, bau, rasa, kekeruhan.
b. Standar biologis : kuman, parasit, patogen, bakteri golongan koli (sebagai
patokan adanya pencemaran tinja).
c. Standar kimia : Ph, jumlah zat padat, dan bahan kimia lain.
d. Standar radioaktif : radioaktif yang mungkin ada dalam air (Chandra,
2007).
Air dapat merupakan medium pembawa mikroorganisme patogenik yang
berbahaya bagi kesehatan. Patogen yang sering ditemukan di dalam air terutama
adalah bakteri-bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan seperti Vibrio cholerae
hepatitis, dan Entamoeba histolyca penyebab disentri amuba. Jumlah dan jenis
mikroorganisme di dalam air dipengaruhi oleh sumber air tersebut.
Tabel 1. Beberapa Jenis dan Agent Penyakit Bawaan Air
Agent Jenis Penyakit Bakteri
Sumber : Slamet, 1996
Sumur merupakan sumber utama persediaan air bersih bagi penduduk yang
tinggal di daerah pedesaan maupun perkotaan Indonesia.
Secara teknis sumur dapat dibagi menjadi 2 jenis :
1. Sumur dangkal
Sumur dangkal memiliki sumber air yang berasal dari resapan air hujan di atas
permukaan bumi terutama di daerah dataran rendah. Jenis sumur ini banyak
terdapat di Indonesia dan mudah sekali terkontaminasi air kotor yang berasal
dari kegiatan mandi-cuci-kakus.
2. Sumur dalam
Sumur dalam memiliki sumber air yang berasal dari proses purifikasi alami air
hujan oleh lapisan kulit bumi menjadi air tanah.
1. Sumur berjarak maksimal 10 meter dan terletak lebih tinggi dari sumber
pencemaran seperti kakus, kandang ternak, tempat sampah dan sebagainya.
2. Dinding sumur harus dilapisi dengan batu yang disemen. Pelapisan dinding
paling tidak sedalam 6 meter dari permukaan tanah.
3. Saluran pmbuangan air harus dibuat menyambung dengan parit agar tidak
terjadi genangan air di sekitar sumur.
4. Sumur sebaiknya ditutup dengan penutup terbuat dari batu terutama pada sumur
umum. Manfaat dari tutup sumur agar mencegah terkontaminasi air sumur dari
penyakit.
5. Sumur harus dilengkapi dengan pompa tangan/listrik. Pemakaian timba dapat
memperbesar terjadinya kontaminasi.
2.2.2. Jamban
Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan
mengumpulkan kotoran yang lazim disebut WC, sehingga kotoran atau najis tersebut
berada dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar
penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman (Heru, 1995).
Manfaat jamban untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dan
pencemaran dari kotoran manusia (Chandra, 2007).
Pembuangan tinja yang tidak saniter akan menyebabkan berbagai macam
penyakit seperti: diare, Cholera, disentri, poliomyelitis, ascariasis dan sebagainya.
Kotoran manusia merupakan buangan padat. Selain menimbulkan bau, mengotori
lingkungan juga merupakan media penularan penyakit pada masyarakat.
Perjalanan agent penyebab penyakit melalui cara transmisi seperti dari tangan,
Dimana memungkinkan tinja atau kotoran yang mengandung agent penyebab infeksi
masuk melalui saluran pencernaan Chandra, 2007).
Jamban yang sehat adalah jamban yang memenuhi syarat sebagai berikut
(Depkes RI, 1998):
a. Tidak mencemari sumber air minum (untuk ini letak lubang penampungan
kotoran paling sedikit berjarak 10 meter dari sumber air minum).
b. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.
c. Air seni, air pembersih dan penggelontor tidak mencemari tanah di
sekitarnya.
d. Mudah dibersihkan, aman digunakan, dan harus terbuat dari bahan-bahan
yang kuat dan tahan lama.
e. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna
terang.
f. Cukup penerangan dan lantai kedap air.
g. Luas ruangan cukup.
h. Ventilasi cukup baik.
i. Tersedia air dan alat pembersih.
Cara memelihara jamban sehat (Depkes RI, 1998)
a. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering.
b. Disekeliling jamban tidak ada genangan air.
c. Tidak ada sampah yang berserakan.
d. Rumah jamban dalam keadaan baik.
e. Lalat, tikus, dan kecoa tidak ada.
g. Bila ada bagian yang rusak segera diperbaiki atau diganti.
Penyakit yang ditularkan oleh tinja yaitu Ascariasis dan Trichiniaris.
2.2.3. Pengelolaan Sampah
Sampah adalah suatu bahan/benda aktivitas manusia yang tidak dipakai lagi,
tidak disenangi atau padat yang terjadi karena berhubungan dengan di buang dengan
cara-cara saniter kecuali buangan yang berasal dari tubuh manusia (Kusnoputranto,
2000).
Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat secara langsung maupun tidak
langsung. Pengaruh langsung adalah karena kontak langsung dengan sampah
misalnya sampah beracun. Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan akibat proses
pembusukan, pembakaran dan pembuangan sampah. Efek tidak langsung dapat
berupa penyakit bawaan, vektor yang berkembang biak di dalam sampah.
Mengingat efek daripada sampah terhadap kesehatan maka pengelolaan
sampah harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Tersedia tempat sampah yang dilengkapi dengan penutup.
b. Tempat sampah terbuat dari bahan yang kuat, tahan karat, permukaan bagian
dalam rata dan dilengkapi dengan penutup.
c. Tempat sampah dikosongkan setiap 1 x 24 jam atau 2/3 bagian telah terisi
penuh.
d. Jumlah dan volume tempat sampah disesuaikan dengan volume sampah yang
dihasilkan setiap kegiatan.
e. Tersedia tempat pembuangan sampah sementara yang mudah terjangkau
kendaraan pengangkut sampah dan harus dikosongkan sekurang-kurangnya
Jenis penyakit yang dapat ditularkan dari sampah yaitu cacing gelang, Salmonella
typh.
Pembuangan kotoran, air buangan dan sampah serta pemeliharaan lingkungan
juga penting dalam penanggulangan penyebaran cacingan. Hal ini dibuktikan oleh
Pasaribu (2004) di Kabupaten Karo yang menemukan 45,8% sampel tanah yang
diperiksa mengandung telur cacing gelang.
2.2.4. Pengelolaan Air Limbah
Menurut Ehless dan Steel dalam Chandra (2007), air limbah adalah cairan
buangan yang berasal dari rumah tangga, industri, dan tempat-tempat umum lainnya
dan biasanya mengandung bahan-bahan atau zat yang dapat membahayakan
kehidupan manusia serta mengganggu kelestarian lingkungan.
Sarana pembuangan air limbah yang sehat harus memenuhi persyaratan teknis sebagai
berikut :
a. Tidak mencemari sumber air bersih.
b. Tidak menimbulkan genangan air yang menjadi sarang serangga/nyamuk.
c. Tidak menimbulkan bau.
d. Tidak menimbulkan kelembaban dan pandangan yang tidak menyenangkan.
Untuk itu pengelolaan limbah harus memiliki persyaratan teknis apabila belum
ada atau tidak terjangkau oleh sistem pengelolaan limbah perkotaan. Kualitas air
limbah yang dibuang ke lingkungan harus mempunyai persyaratan baku mutu air
limbah sesuai peraturan.
Rumah adalah tempat tinggal suatu keluarga yang dilengkapi dengan berbagai
fasilitas pendukungnya seperti sarana jalan, saluran air kotor, tempat sampah, sumber
air bersih, lampu jalan, dan lain-lain (Chandra, 2007).
Kriteria rumah yang sehat dan aman dari segi lingkungan, antara lain:
a. Memiliki sumber air bersih dan sehat serta tersedia sepanjang tahun.
b. Memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah yang baik.
c. Dapat mencegah terjadi perkembangbiakan vektor penyakit, seperti nyamuk,
lalat, tikus, dan sebagainya.
d. Letak perumahan jauh dari sumber pencemaran dengan jarak minimal 5 km,
memiliki daerah penyangga atau daerah hijau (green belt) dan bebas banjir
(Chandra, 2007).
Penelitian Damayanti seperti yang dikutip Hidayat (2002) menunjukkan
adanya hubungan yang erat antara interaksi faktor lingkungan tempat tinggal dengan
prevalensi cacing pada anak sekolah dasar. Tingginya prevalensi cacing gelang pada
anak sekolah dasar di desa dibanding dengan di kota menunjukkan adanya perbedaan
hygiene dan sanitasi lingkungan Penelitian tersebut menggambarkan bahwa adanya
infeksi ganda cacing gelang di desa lebih tinggi dibanding dengan di kota. Hal ini
menunjukkan lingkungan pedesaan merupakan faktor predisposisi untuk anak-anak
sekolah dasar di desa.
Menurut Ismid et al. (1980) seperti yang dikutip Hidayat (2002), di halaman
rumah telur cacing gelang banyak ditemukan di sekitar tumpukan sampah (55%) dan
tempat teduh di bawah pohon (33,3%). Penelitian Hadidjaja et al (1989) menunjukkan
bahwa 14-12% sampel air got yang diperiksa ternyata positip mengandung telur
jamban, pinggiran kali bahkan dekat di dalam rumah. Kepadatan penghuni dalam
rumah juga berperan terhadap penularan kecacingan.
2.3. Hygiene
2.3.1. Definisi Hygiene
Hygiene berasal dari bahasa Yunani yang artinya bersih. Kebersihan adalah
suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis. Kesehatan pribadi yang buruk pada masa tersebut akan
dapat mengganggu perkembangan kualitas sumber daya manusia.
Keadaan tangan dan kuku yang kotor serta kebiasaan-kebiasaan lain yang
salah tentang kesehatan pribadi tersebut akan dapat menimbulkan infeksi kecacingan
(Tarwoto dan Wartonah,2006).
Dalam praktiknya upaya hygiene antara lain meminum air yang sudah direbus
sampai mendidih dengan suhu 100°C selama 5 menit, mandi dua kali sehari agar
badan selalu bersih dan segar, mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang
makanan, mengambil makanan dengan alat seperti sendok atau penjepit, dan menjaga
kebersihan kuku serta memotongnya bila panjang (Azwar, 1993).
Menurut Entjang (2000), usaha kesehatan perorangan adalah daya upaya
seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri.
Usaha usaha tersebut antara lain adalah :
a. Memelihara kebersihan, hal-hal yang termasuk ke dalam usaha memelihara
kebersihan ini adalah kebersihan badan (mandi minimal 2x sehari,
menggosok gigi secara teratur, dan mencuci tangan sebelum memegang
di setrika), memelihara kebersihan rumah dan lingkungan (selalu disapu,
membuang sampah, buang air besar dan air limbah pada tempatnya).
b. Makanan sehat adalah makanan yang harus selalu dijaga kebersihannya,
bebas dari penyakit, cukup kuantitas dan kualitasnya.
c. Cara hidup yang sehat yaitu makan, tidur, bekerja dan beristirahat secara
teratur termasuk rekreasi dan menikmati hiburan pada waktunya.
d. Meningkatkan daya tahan tubuh untuk mendapatkan kekebalan terhadap
penyakit perlu mendapatkan vaksinasi, olah raga yang teratur untuk menjaga
agar badan selalu bugar.
e. Menghindari terjadinya penyakit agar selalu sehat, hindari kontak dengan
sumber penularan penyakit baik yang berasal dari penderita maupun dari
sumber lainnya, menghindari pergaulan yang tidak baik, selalu berfikir dan
berbuat baik.
f. Pemeriksaan kesehatan untuk menjaga badan agar selalu sehat, perlu
dilakukan pemeriksaan secara periodik, walaupun merasa sehat, dan segera
memeriksakan diri apabila merasa sakit.
2.3.2. Kebersihan tangan, kaki dan kuku
Tangan sangat berperan dalam penularan penyakit, khususnya penyakit yang
ditularkan melalui makanan dan minuman yang masuk ke mulut, misalnya cacingan.
Tangan kotor setelah mencebok pada waktu buang air besar atau memegang kotoran
lainnya harus dicuci dengan bersih agar terbebas dari segala bibit penyakit yang
melekat pada tangan. Mencuci tangan dengan benar berarti mencuci tangan dengan air
yang cukup dan menggunakan sabun.
Menggosok tangan hendaknya dilakukan dengan baik sehingga seluruh bagian
tangan. Pakaian yang mungkin sudah kotor jangan digunakan. Kebersihan tangan,
kaki dan kuku secara wajar penting artinya bagi manusia dalam usia berapapun.
Untuk menjaga kebersihan tangan, kaki dan kuku selalu melakukan mencuci tangan
dengan benar harus dilakukan cara-cara :
a. Membersihkan tangan sebelum makan dan setelah makan.
b. Setelah buang air besar.
c. Sebelum memasak atau menyiapkan makanan.
d. Sebelum memberikan makanan bayi dan anak-anak (sebelum memegang
makanan).
e. Sebelum menyusui.
f. Setelah memegang hewan, ternak atau benda-benda kotor lainnya.
g. Mencuci kaki sebelum tidur.
Sewaktu mencuci tangan bagian kuku hendaklah mendapatkan perhatian yang
lebih karena kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian
seseorang. Kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya
berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikroorganisme diantaranya
bakteri dan telur cacing.
Kuku jari tangan yang kotor kemungkinan terselip telur cacing akan tertelan
ketika makan. Hal ini akan lebih parah apabila tidak terbiasa mencuci tangan
memakai sabun sebelum makan, bahkan pada anak-anak yang menderita Oxyuriasis
akan mengalami auto infeksi ketika mengisap jari sewaktu tidur (Luize A, 2004 dan
Onggowaluyo, 2002).
Anak adalah individu yang unik dan bukan orang dewasa mini. Anak juga
bukan merupakan harta atau kekayaan orangtua yang dapat dinilai secara ekonomi,
melainkan masa depan bangsa yang berhak atas pelayanan kesehatan secara
individual. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan
lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri. Lingkungan yang
dimaksud bisa berupa keluarga (orangtua), pengurus panti (bila anak berada di panti
asuhan).
Perkembangan psikososial (Erikson dalam Supartini, 2004) pada anak usia 6
sampai 12 tahun adalah anak akan belajar untuk bekerja sama dan bersaing dengan
anak lainnya melalui kegiatan yang dilakukan baik dalam kegiatan akademik maupun
dalam pergaulan melalui permainan bersama. Terjadinya perubahan fisik, emosi, dan
sosial pada anak berpengaruh terhadap gambaran terhadap tubuhnya. Interaksi sosial
lebih luas dengan teman, umpan balik berupa kritik dan evaluasi dai teman atau
lingkungannya, mencerminkan penerimaan dan kelompok akan membantu anak
semakin mempunyai konsep diri positif.
Anak sudah dapat berfikir konsep tentang waktu dan mengingat kejadian yang
lalu serta menyadari kegiatan yang dilakukan berulang-ulang, tetapi pemahamannya
belum mendalam, selanjutnya akan semakin berkembang di akhir usia sekolah atau
awal masa remaja (Supartini, 2004).
2.5. Dampak Kecacingan
2.5.1 Dampak Kecacingan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia
Dalam rangka mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera
lahir dan batin, pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia sehat,
adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi pula, pada
pembangunan jangka panjang kedua pembangunan kesehatan diarahkan untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia.
Penyakit kecacingan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
terhadap penurunan kualitas SDM, mengingat kecacingan akan menghambat
pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak serta produktifitas kerja. Sampai saat ini,
penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia
terutama di daerah pedesaan. Sedangkan salah satu faktor yang mempengaruhi
tingginya prevalensi kecacingan adalah kebersihan pribadi (Depkes RI, 2002).
2.5.2. Dampak Kecacingan terhadap Intelektual dan Kecerdasan Anak
Secara umum, berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan mental dan prestasi
anak sekolah. Hasil penelitian Bundy tahun 1992 menunjukkan bahwa anak-anak
sekolah dasar di Jamaika yang terinfeksi cacing cambuk mengalami penurunan
kemampuan berfikir.
Penyakit ini tidak menyebabkan orang mati mendadak, akan tetapi
menyebabkan penderita semakin lemah karena kehilangan darah yang menahun
sehingga menurunkan prestasi. Di samping itu daya tahan tubuh juga menurun
sehingga dapat memperberat penyakit lainnya. (Depkes RI, 1995).
2.5.3. Pengaruh Kondisi Sanitasi Lingkungan terhadap Kecacingan
Salah satu masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang tidak kurang
pentingnya adalah infeksi cacing usus karena prevalensinya masih tinggi. Hal ini
dikarenakan Indonesia berada dalam posisi geografi dengan temperatur kelembaban
yang tinggi. Pengaruh lingkungan global dan semakin meningkatnya komunitas
merupakan faktor yang mempunyai andil besar terhadap penularan parasit pada
umumnya dan cacing yang hidup pada manusia khususnya, sebagai contoh :
a. Pembuangan tinja yang kurang memenuhi syarat kesehatan, misalnya : tanah
tergolong hospes perantara atau tuan rumah sementara, tempat berkembangnya
telur-telur atau larva cacing sebelum dapat menular dari seseorang ke orang lain,
yaitu larvanya yang ada di tinja menembus kulit memasuki tubuh.
b. Penyediaan air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat juga sebagai
media penularan melalui mulut menyertai makanan atau minuman yang
terkontaminasi oleh tinja yang mengandung telur cacing (Depkes RI, 2002).
2.6. Konsep Dasar Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang
bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari
manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua mahluk hidup
mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku,
karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing (Notoadmojo,2005a).
2.6.1. Prosedur Pembentukan Perilaku
Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning menurut Skinner
dalam Notoadmojo (2005a) adalah sebagai berikut :
a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau
reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan
dibentuk.
b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang
tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya
perilaku yang dimaksud.
c. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan
sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing
komponen tersebut.
d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen
yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan maka
hadiahnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku
(tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau perilaku ini sudah
terbentuk kemudian dilakukan komponen (perilaku) yang kedua, diberi hadiah
(komponen pertama tidak memerlukan hadiah lagi), demikian berulang-ulang
sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen
ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan
terbentuk.
Perilaku untuk buang air besar di sembarangan tempat dan kebiasaan tidak
memakai alas kaki mempunyai intensitas cacing tambang pada penduduk di Desa
Jagapati Bali, dengan pola transmisi kecacingan tersebut pada umumnya terjadi di
dekat rumah (Bakta, 1995). Kebiasaan buang air besar di sungai secara menetap
ternyata menyebabkan tingginya infeksi oleh ” Soil-Transmited Helminths” pada
masyarakat Sanliurfa Turkey (Ulukanligil et. Al, 2001).
2.6.2. Domain Perilaku
Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas. Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2007) seorang ahli psikologi
pendidikan membagi perilaku itu kedalam 3 domain (ranah / kawasan) yang terdiri
2.6.2.1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera
manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoadmojo, 2003).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang. Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
oleh pengetahuan. Pengetahuan yang ada pada diri manusia bertujuan untuk dapat
menjawab masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya sehari-hari dan digunakan
untuk menawarkan berbagai kemudahan bagi manusia. Dalam hal ini pengetahuan
dapat diibaratkan sebagai suatu alat yang dipakai manusia dalam menyelesaikan
persoalan yang dihadapinya.
Menurut Notoadmodjo (2003a) unsur-unsur dalam pengetahuan pada diri
manusia terdiri dari : (1) Pengertian dan pemahaman tentang apa yang dilakukan. (2)
Keyakinan dan kepercayaan tentang manfaat kebenaran dari apa yang dilakukannya.
(3) Sarana yang diperlukan untuk melakukannya. (4) Dorongan atau motivasi untuk
berbuat yang dilandasi oleh kebutuhan yang dirasakannya.
Penelitian Rogers dalam Notoadmojo (2003a) mengungkapkan bahwa
sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : a) Kesadaran dimana orang tersebut
menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). b)
Merasa tertarik terhadap stimulus atau objek tersebut, disini sikap subjek sudah mulai
timbul. c) Menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
mulai mencoba untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
stimulus. e) Adopsi dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa
perubahan perilaku tidak selalu melewati tahapan-tahapan tersebut diatas. Apabila
penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini dimana
didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut
akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh
pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita
sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas.
Pengetahuan tentang objek dapat diperoleh dari pengalaman, guru, orangtua,
teman, buku, dan media masa (WHO, 1992 dalam Wachidanijah, 2002). Pengetahuan
seseorang terhadap suatu objek dapat berubah dan berkembang sesuai dengan
kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi rendahnya mobilitas tentang objek
tersebut di lingkungannya.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penularan kecacingan adalah
kurangnya pengetahuan tentang kecacingan. Penelitian Wachidanijah, (2002)
menunjukkan bahwa terdapat kecendrungan makin tinggi Pengetahuan semakin baik
perilaku dalam hubungan dengan kecacingan.
2.6.2.2 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap
Dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan
bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan
merupakan pelaksana motif tertentu.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan
merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi
bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek.
Dalam bagian lain Allport dalam Notoadmojo (2005a) menjelaskan bahwa
sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni : (1) Kepercayaan (keyakinan), ide
dan konsep terhadap suatu objek. (2) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional
terhadap suatu objek. (3) Kecenderungan untuk bertindak
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh.
Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi
memegang peranan penting. Menurut Berkomitz dalam Azwar (2007), sikap adalah
suatu bentuk mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak
memihak.
Suatu contoh seorang ibu telah mendengarkan penyakit kecacingan (penyebab,
akibat, pencegahan, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk
berpikir dan berusaha supaya anaknya tidak terkena penyakit kecacingan. Dalam
berpikir ini, komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut
berniat akan mengajari anaknya agar melakukan kebersihan diri, memasak makanan