• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Perilaku Ibu Tentang Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Terhadap Kecacingan Anak Di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Perilaku Ibu Tentang Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan Terhadap Kecacingan Anak Di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir 2008"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

S

E K O L A H

P A

S

C

A S A R JA

NA

PENGARUH PERILAKU IBU TENTANG HYGIENE DAN

SANITASI LINGKUNGAN TERHADAP KECACINGAN

ANAK DI KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN

SAMOSIR 2008

PROPOSAL

OLEH :

IN A CH RIS TIN MALAU

047012009 / AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Judul Tesis : PENGARUH PERILAKU IBU, SANITASI LINGKUNGAN DAN KARAKTERISTIK ANAK

TERHADAP KECACINGAN ANAK DI KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR 2008

Nama Mahasiswa : Ina Christin Malau Nomor Pokok : 047012009

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(Prof. dr. Azhar Tanjung, Sp.PD-KP-KAI, Sp.MK) (Ir. Indra Chahaya, MSi) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(3)

Telah diuji pada

Tanggal : 27 November 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Azhar Tanjung, Sp. PD-KP-KAI, Sp.MK

1. Ir. Indra Chahaya, MSi

2. drh. Rasmaliah, M.Kes

(4)

PENGARUH PERILAKU IBU, SANITASI LINGKUNGAN DAN KARAKTERISTIK ANAK TERHADAP KECACINGAN ANAK

DI KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR 2008

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) Dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Pada Sekolah Pacasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh :

INA CHRISTIN MALAU

047012009/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH PERILAKU IBU, SANITASI LINGKUNGAN DAN KARAKTERISTIK ANAK TERHADAP KECACINGAN ANAK

DI KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR 2008

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, November 2008

(6)

ABSTRACT

One of the health problems in Indonesia is the high prevalence rate of helminthes (70%-90%) and most of sufferers are the school-age children, especially those of primary schools and coming from the impoverished family. The prevalence of helminthes can happen from poor environmental sanitation, poor self hygiene and direct contact with feces.

This observational study with cross sectional design is aimed to analyze the influence of mothers’ behaviour (knowledge, attitude, action), environmental sanitation and children characteristic toward helminthes in Simanindo subdistrict Samosir district. The population for this study is all mothers having primary school age children in Simanindo subdistrict. The samples are 125 mothers selected through simple random sampling technique. The data are collected through questionnaire-based interviews to find out environmental sanitation data and feces laboratory examination to find out the prevalence rate helminthes. Statistical analysis is done by using Chi-square and logistic regression test.

The result of the study shows that prevalence rate of helminthes in Ambarita village is the highest as 25 persons (53.19%), compared to other villages such as Tuk Tuk village is 23 persons (47.97%) and Simarmata village is 5 persons (16.66%). Statistically, there is no significant relationship between children’s age (p=0.63>0.05) and children’s sex (p=0.73>0.05) and helminthes in children. The most dominant variable which influence between mothers’ behaviour, environmental sanitation and children characteristic toward helminthes in children is variable the cleanliness of the house (p=0.00<0.05) and Exp value (B) of 2.070.

It is suggested that Health Service of Samosir District to socialize the information, to implement periodical extension based on local human resources and culture, to make use of health cadres (prominent leaders) about helminthes to mothers through posters, newspaper, radios, and extension, environmental management to keep the epidemiologic surveillance activity going well. Giving helminthes medicine twice a year and suggest the head of Health Service to provide community water close/toilet in every village of Simanindo subdistrict. It is expected that every mother keeps her house, children and environmental sanitation clean.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan

rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul ”Pengaruh

Perilaku Ibu, Sanitasi Lingkungan, dan Karakteristik Anak terhadap Kecacingan Anak

di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir 2008”.

Penulisan ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk

menyelasaikan pendidikan Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara.

Dengan rahmatNya serta ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, sebagai Ketua Program Studi Administrasi

dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Ibu Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, MSi, sebagai Sekretaris Program Studi

Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara.

Bapak Prof. dr. Azhar Tanjung, Sp.PD-KP-KAI, Sp.MK, selaku Ketua Komisi

Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan

dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga

(8)

Ibu Ir. Indra Cahaya, MSi, selaku Anggota Komisi Pembimbing dengan penuh

perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk

membimbing penulis mulai dari proposal sampai tesis selesai.

Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes, dan Ibu Ir. Evinaria, M.Kes, sebagai Komisi

Penguji atau Pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi

kesempurnaan penulisan tesis ini.

Bapak Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir beserta staf yang telah banyak

membantu dan memberi dukungan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan

pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Sekolah

Pascasarjana Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.

Ucapan terima kasih yang tulus kepada keluarga besar Ayahanda Drs. T. P.

Malau dan Ibunda D. Gultom, keluarga besar Bapak mertua (alm) S. Manurung, Ibu

mertua D. Marpaung, yang telah membantu dan memberikan dorongan moril,

material serta doa selama penulis menjalani pendidikan.

Teristimewa buat suami tercinta dan tersayang K. Manurung, yang penuh

perhatian, pengertian, kesabaran, pengorbanan dan doa serta memotivasi dan

memberikan dukungan moril agar bisa menyelesaikan pendidikan ini.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan

kritikan yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini

dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang

kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, November 2008

Penulis

(9)

RIWAYAT HIDUP

Ina Christin Malau, lahir pada tanggal 11 Oktober 1979 di Medan, anak ke

empat dari lima bersaudara dari pasangan Ayahanda Dr. T.P Malau dan Ibunda D.

Gultom.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di R.K.

Budi Luhur Medan selesai tahun 1992, Sekolah Menengah Pertama Santo Thomas 1

Medan selesai tahun 1995, Sekolah Menegah Atas Santo Thomas 2 Medan selesai

tahun 1998, Akademi Keperawatan Departemen Kesehatan RI Medan selesai tahun

2001, Sarjana Keperawatan dan Profesi Keperawatan (Ners) Sekolah Tinggi Ilmu

Kesehatan Mutiara Indonsia Medan selesai tahun 2004.

Pengangkatan sebagai Direktur Akademi Keperawatan Teladan Bahagia

Medan sejak tahun 2004 sampai dengan sekarang. Pada tahun 2004 s/d 2008 ditunjuk

sebagai dosen Akper Teladan Bahagia Medan.

Pada tanggal 8 Juni 2007, penulis menikah dengan saudara K. Manurung.

Pada tahun 2004 penulis sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Konsentrasi

(10)

DAFTAR ISI

2.2. Pengertian dan Ruang Lingkup Sanitasi Lingkungan... 18

(11)

Variabel Dependen………... 74

4.5. Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen.. ... 79

BAB 5 PEMBAHASAN... 81

5.1. Pengaruh Perilaku Ibu terhadap Kecacingan... 81

5.2. Variabel yang berpengaruh antara Perilaku Ibu, Sanitasi Lingkungan dan Kebersihan Anak terhadap Kecacingan Anak .... 88

5.3. Keterbatasan Penelitian... 90

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 91

6.1. Kesimpulan ... 91

6.2. Saran ... 92

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Beberapa Jenis dan Agent Penyakit Bawaan Air... 21

2. Jumlah Unit Sampel Pada Setiap Puskesmas berdasarkan

Proporsi Kepala Keluarga... 49

3. Hasil Analisa Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian... 50

4. Aspek Pengukuran Variabel Independent dan Variabel Dependent... 52

5. Jenis dan Jumlah Tenaga Pelayanan Kesehatan di

Kecamatan Simanindo Tahun 2007... 60

6. Distribusi Penderita Kecacingan di Kecamatan Simanindo Menurut

Waktu Penemuan Kasus Tahun 2007... 61

7. Distribusi Responden Menurut Karakteristik Responden (Ibu)

di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 62

8. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang

Kecacingan Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 63

9. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap tentang Kecacingan

di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 64

10. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan tentang

Kecacingan di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 65

11. Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku tentang Kecacingan

di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir Tahun 2008... 66

12. Distribusi Responden Berdasarkan Kebersihan Anak

di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 67

13. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Anak

di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 68

14. Hasil Observasi Ketersediaan Jamban di Kecamatan

Simanindo Tahun 2008... 68

15. Hasil Observasi Sumber Air Bersih di Kecamatan

Simanindo Tahun 2008... 69

16. Hasil Observasi Pembuangan Sampah di Kecamatan

(13)

17. Hasil Observasi Pembuangan Air Limbah di Kecamatan

Simanindo Tahun 2008... 71

18. Hasil Observasi Rumah di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 72

19. Distribusi Responden Berdasarkan Sanitasi Lingkungan di

Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 73

20. Distribusi Prevalens Rate Kecacingan Anak di Kecamatan

Simanindo Tahun 2008... 73

21. Hasil Pemeriksaan Kecacingan Anak Responden di Kecamatan

Simanindo Tahun 2008... 74

22. Analisis Bivariat Antara Perilaku Ibu terhadap Kecacingan Pada Anak

di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 75

23. Analisis Bivariat Antara Sanitasi Lingkungan terhadap Kecacingan di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 77

24. Analisis Bivariat Karakteristik dan kebersihan Anak terhadap

Kecacingan di Kecamatan Simanindo Tahun 2008... 78

25. Analisis Multivariat Regresi Logistik antara Variabel Sikap,

Pembuangan Sampah, Saluran Pembuangan Air Limbah, Kebersihan Rumah, Kebersihan Anak terhadap Kecacingan Anak

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Model Perencanaan PRECEDE-PROCEED... 44

2. Teori Alasan Berperilaku...…. 45

3. Kerangka Konsep Pengaruh Perilaku Ibu, Sanitasi Lingkungan

dan Karakteristik Anak terhadap Kecacingan Anak di Kecamatan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuisioner... 99

2. Daftar Check list Observasi Sanitasi Lingkungan Responden di Kecamatan Simanindo 2008... 103

3. Cara Pemeriksaan Tinja dan Gambar Telur Cacing... 106

4. Rekapitulasi Hasil Pemeriksaan Survey Kecacingan di Kecamatan Simanindo... 107

5. Hasil Validitas dan Reliabilitas... 113

6. Output Analisa Univariat... 115

7. Hasil Analisa Bivariat (Chi – Square)... 117

8. Hasil Analisa Multivariat (Logistic Regression)... 126

9. Surat Izin Penelitian dari Direktur Pascasarjana USU... 131

10. Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir... 132

11. Surat Keterangan Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir... 133

12. Surat Izin Penelitian dari Kepala Puskesmas Ambarita... 134

(16)

ABSTRACT

One of the health problems in Indonesia is the high prevalence rate of helminthes (70%-90%) and most of sufferers are the school-age children, especially those of primary schools and coming from the impoverished family. The prevalence of helminthes can happen from poor environmental sanitation, poor self hygiene and direct contact with feces.

This observational study with cross sectional design is aimed to analyze the influence of mothers’ behaviour (knowledge, attitude, action), environmental sanitation and children characteristic toward helminthes in Simanindo subdistrict Samosir district. The population for this study is all mothers having primary school age children in Simanindo subdistrict. The samples are 125 mothers selected through simple random sampling technique. The data are collected through questionnaire-based interviews to find out environmental sanitation data and feces laboratory examination to find out the prevalence rate helminthes. Statistical analysis is done by using Chi-square and logistic regression test.

The result of the study shows that prevalence rate of helminthes in Ambarita village is the highest as 25 persons (53.19%), compared to other villages such as Tuk Tuk village is 23 persons (47.97%) and Simarmata village is 5 persons (16.66%). Statistically, there is no significant relationship between children’s age (p=0.63>0.05) and children’s sex (p=0.73>0.05) and helminthes in children. The most dominant variable which influence between mothers’ behaviour, environmental sanitation and children characteristic toward helminthes in children is variable the cleanliness of the house (p=0.00<0.05) and Exp value (B) of 2.070.

It is suggested that Health Service of Samosir District to socialize the information, to implement periodical extension based on local human resources and culture, to make use of health cadres (prominent leaders) about helminthes to mothers through posters, newspaper, radios, and extension, environmental management to keep the epidemiologic surveillance activity going well. Giving helminthes medicine twice a year and suggest the head of Health Service to provide community water close/toilet in every village of Simanindo subdistrict. It is expected that every mother keeps her house, children and environmental sanitation clean.

(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mewujudkan misi Indonesia sehat 2010 maka ditetapkan empat misi

pembangunan kesehatan, yaitu memelihara kesehatan yang bermutu (promotif),

menjaga kesehatan (preventif), mengobati (kuratif) dan rehabilitatif yang merata dan

terjangkau. Berdasarkan UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, pasal 32

menyatakan bahwa upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan,

diantaranya adalah pencegahan dan penyembuhan terhadap kecacingan.

Sesuai dengan berlakunya UU No.25/1999 tentang pelayanan kesehatan secara

keseluruhan dan merata terwujud dengan berhasilnya pemerintah menyediakan sarana

dan prasarana pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kesehatan terhadap

kecacingan melalui pemberian obat cacing setiap 6 bulan sekali dan pembuatan MCK

(Mandi, Cuci, Kakus) yang sehat dan teratur, serta pendidikan kesehatan tentang

hygiene dan sanitasi lingkungan. Pelayanan kesehatan ini pun belum merata di

masyarakat sehingga prevalensi kecacingan belum menurun secara signifikan (Depkes

RI, 2001). Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan No. 424/MENKES/SK/VI/2006

diharapkan di Indonesia angka prevalensi kecacingan < 10% dalam rangka menuju

Indonesia Sehat 2010.

Penyebaran kecacingan melalui kontak dengan tinja. Tinja yang mengandung

banyak telur bisa terbawa angin, banjir, nyamuk, lalat yang menempel di setiap

tempat seperti makanan, sayuran mentah, buah-buahan, air limbah rumah, debu dan

lain-lain. Berbagai tempat akan tercemar dengan telur cacing bila keadaan sanitasi

(18)

air limbah, tidak ada tersedianya jamban sehingga masyarakat punya kebiasaan buang

air besar di sembarangan tempat (Nevi, 2006).

Menurut data WHO dalam Nevi (2006), seperempat penduduk dunia terinfeksi

kecacingan kronis. Diperkirakan 1,4 milyar orang kecacingan Ascaris lumbricoides

(cacing gelang), 1 milyar orang oleh Trichuris trichiura (cacing cambuk) dan 1,3

milyar orang kecacingan Ancylostoma duodenale (cacing tambang). Sebagian besar

penderita kecacingan tinggal di negara-negara beriklim tropis seperti Indonesia.

Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia tergolong cukup tinggi, yaitu 70%-90%

dan sebagian besar yang menjadi korban adalah anak-anak usia sekolah, terutama

sekolah dasar dan golongan penduduk yang kurang mampu.

Tingginya prevalensi kecacingan belum dianggap suatu masalah kesehatan

yang penting, padahal kerugian yang ditimbulkannya sangat besar. Dari sisi

kesehatan, kecacingan menyebabkan kekurangan gizi, anemia, pertumbuhan,

gangguan kognitif anak, kecerdasan dan produktifitas penderitanya karena

menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga

menurunkan kualitas sumber daya manusia (Nevi, 2006).

Salah satu hasil pemantauan pengawasan lingkungan permukiman terhadap

kualitas tanah permukaan di Indonesia, menunjukkan bahwa sebesar 53,06% tanah

permukaan di lingkungan permukiman positif ditemukan adanya telur cacing gelang

(Hasyimi, 2001).

Penelitian yang dilakukan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat dari

Amerika, IRD (International Relief and Development) pada tahun 2004, terhadap

1805 murid anak Sekolah Dasar di Kab. Kebumen, menemukan angka prevalensi

kecacingan 82,60% (1491 murid). Penelitian lain di Kab. Temanggung (2004)

(19)

Menurut kedua penelitian ini ada tiga jenis cacing yang dominan yaitu cacing gelang,

cacing cambuk dan cacing tambang (Dinas Kesehatan Prop. Jateng, Profil Kesehatan,

2003).

Dalam laporan hasil survei prevalensi kecacingan pada 10 propinsi 2004,

Sumatera Utara menduduki peringkat ke-3 (60,4%) dalam hal kecacingan (Ditjend

PPM-PL, 2004).

Di propinsi Sumatera Utara (2004) angka prevalensi kecacingan kurang lebih

73%, dan pada tahun 2005 angka prevalensi cacing gelang 56,6% (236 orang), cacing

cambuk 39,56% (165 orang) dan cacing tambang (3,9%) (11 orang) (Data P2ML

Propinsi Sumatera Utara).

Pada tahun 2005, Dinas P2ML (Pemberantasan Penyakit Menular Lingkungan)

Sumatera Utara juga melakukan survei kecacingan, tetapi belum juga menunjukkan

penurunan yang signifikan, dapat di lihat dari data surveilans terhadap 1000

responden tentang hasil positif kecacingan dengan peringkat sebagai berikut yaitu

untuk Kabupaten Tapanuli Selatan, angka prevalensi cacing gelang 70,06% (103

orang), cacing tambang 25,17% (37 orang), cacing cambuk 4,76% (7 orang) dan

daerah Tapanuli Utara, angka prevalensi cacing gelang 70% (105 orang), cacing

tambang 17,85% (25 orang), caing cambuk 7,14% (10 orang).

Pada tahun 2005, Dinas Kesehatan Samosir melakukan pemeriksaan tinja di 8

Kecamatan terhadap 1000 responden menunjukkan angka prevalensi cacing gelang

70,3% (703 orang), cacing tambang 12,4% (124 orang), cacing cambuk 10,5% (105

orang) dan penelitian kedua dilakukan di Kecamatan Simanindo desa Ambarita oleh

dokter Jhonson dari LSM Jepang menemukan 4 orang anak SD Negeri yang terinfeksi

cacing pita. Di antara keempat jenis cacing tersebut, cacing gelang merupakan jumlah

(20)

Dinas Kesehatan Samosir (2007), melakukan pemeriksaan tinja di 40 Sekolah

Dasar yang ada di 8 (delapan) Kecamatan Kabupaten Samosir menunjukkan

Kecamatan Simanindo yang paling tinggi, dari 529 responden ditemukan angka

prevalensi cacing gelang 66,91% (354 orang), cacing cambuk 1,32% (7 orang),

cacing pita 2,45% (13 orang).

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Maret

2008 di sekolah dasar negeri Kecamatan Simanindo terhadap 265 murid yang

dijumpai, sebagian besar murid tidak menggunakan sepatu saat bermain di halaman

sekolah, bermain kelereng di tanah, tidak mencuci tangannya sebelum dan sesudah

bermain, sebagian besar murid jajan di luar sekolah yang hidangan makanannya tidak

bersih. Ada juga murid buang air besar di sembarangan tempat dan tidak mencuci

tangan sebelum dan sesudah buang air besar dan buang air kecil sehingga

mengakibatkan kecacingan pada anak tersebut.

Melihat penampilan fisik murid, sebagian besar pakaiannya kurang bersih,

kuku tangan dan kaki yang panjang dan hitam. Keadaan ini disebabkan dari

kurangnya perhatian ibu terhadap kebersihan anaknya sendiri.

Di Kecamatan Simanindo para ibu ditemukan jarang masak sayuran, air dan

daging sampai masak. Perilaku ibu seperti cara memelihara kebersihan rumah,

kebersihan makanan, kebersihan per orangan (merawat kebersihan tangan,jari dan

kuku, kebersihan gigi dan mulut, kebersihan rambut), dan praktik psikososial adalah

faktor penting yang berpengaruh terhadap proses tumbuh-kembang anak. Demikian

pula faktor lingkungan seperti ketersediaan air bersih di dalam rumah dan

pengetahuan ibu (Anwar, 2000).

Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes

(21)

sebagian besar responden (90,6%) tidak memiliki jamban, perilaku ibu (pengetahuan,

sikap, tindakan), umur, ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan dalam

peningkatan angka prevalensi kecacingan pada anak. Kejadian cacing gelang dan

cacing cambuk dapat dihubungkan dengan status sosial ekonomi dan tingkat

pendidikan ibu yang lebih rendah serta status ibu yang bekerja di Kecamatan Ampana

Kota Kabupaten Poso. Infestasi cacing gelang dapat dihubungkan dengan penurunan

kemampuan verbal, penurunan kemampuan Aritmatika-Matematika dikaitkan dengan

menurunnya frekuensi belajar yang tidak teratur.

Mengacu hasil pengamatan, data-data yang didapat dari Dinas Kesehatan

Kecamatan Simanindo dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di berbagai

tempat, maka perlu dilakukan tentang pengaruh perilaku ibu, sanitasi lingkungan dan

kebersihananak terhadap kecacingan di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan angka prevalensi kecacingan di Kecamatan Simanindo dari data

Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir yaitu 70,7%, hasil survei sanitasi lingkungan,

perilaku ibu dan kebersihan anak, menunjukkan kurangnya kebersihan pada anak dan

sanitasi lingkungan. Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka

permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh perilaku ibu (sikap,

pengetahuan, tindakan), sanitasi lingkungan, karakteristik anak yang berkaitan dengan

kecacingan anak di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis pengaruh perilaku ibu (sikap, pengetahuan,tindakan),

sanitasi lingkungan dan karakteristik anak terhadap kecacingan anak di Kecamatan

(22)

1.4. Hipotesis

Berdasarkan tujuan penelitian maka hipotesa dalam penelitian ini adalah : Ada

pengaruh yang signifikan antara perilaku ibu (pengetahuan, sikap, tindakan), sanitasi

lingkungan dan karakteristik anak terhadap kecacingan anak di Kecamatan Simanindo

Kabupaten Samosir 2008.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan kepada Dinas Kesehatan

Samosir membuat kebijakan dalam merencanakan program kesehatan baik

dalam penyuluhan kesehatan maupun penyediaan obat cacing untuk

menurunkan angka prevalensi kecacingan.

2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi ibu dalam

memberikan bimbingan tentang pengetahuan, sikap untuk meningkatkan

perilaku sehat terhadap kesehatan anaknya dan menciptakan sanitasi

lingkungan yang bersih untuk mencegah kecacingan.

3. Agar dapat menjadi referensi untuk penelitian lanjutan bagi peneliti-peneliti

yang ingin melakukan penelitian tentang penyakit kecacingan sehingga dapat

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Kecacingan

Manusia merupakan hospes defenitif beberapa nematoda usus (cacing perut),

yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing perut

terdapat sejumlah species yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths).

Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides),

cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus), cacing cambuk

(Trichuris trichiura) dan cacing pita (Taeniasis) (Behrman, 2000).

2.1.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

Dalam Behrman (2000) dikatakan bahwa manusia merupakan satu-satunya

hospes cacing gelang. Cacing ini berwarna putih atau merah. Cacing jantan berukuran

10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus

halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari

telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi.

Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk

infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia,

akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus

menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan dialirkan ke jantung lalu mengikuti

aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu melalui dinding

alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui bronchiolus dan

broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan

(24)

menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak

tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 1998).

2.1.1.1. Gejala Klinik dan Diagnosis

Menurut Mansjoer (2000), gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa

biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti

mual, nafsu makan berkurang, diare, dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada

anak-anak dapat terjadi gangguan penerapan makanan. Keadaan yang serius, bila

cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus.

Gejala kecacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan

penyakit-penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk. Anak yang

menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar berkurang.

Pada anak-anak yang menderita cacing gelang, perutnya nampak buncit

karena jumlah cacing dan kembung perut, biasanya mata pucat, kotor seperti sakit

mata, dan seperti ada batuk dan pilek. Perut sering sakit, diare, nafsu makan kurang.

Anak masih dapat berjalan, sekolah dan bekerja sehingga sering kali anak tidak

merasa sakit dan terjadi salah pengobatan.

Gejala klinik yang tidak khas, perlu diadakan pemeriksaan tinja untuk

membuat diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam

tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan

beratnya infeksi.

2.1.1.2. Epidemiologi

Cacing gelang, infeksi yang ditularkan melalui tanah, tergantung pada

penyebaran telur ke dalam keadaan lingkungan yang cocok untuk pematangannya.

Defekasi di tempat sembarangan dan menggunakan pupuk manusia merupakan

(25)

cacing gelang. Penyebaran kecacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di

perkotaan. Penularan cacing gelang dapat terjadi musiman atau sepanjang tahun

(Behrman, 2000).

Hasil survei kecacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada tahun

1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk semua umur

berkisar antara 40%-60% ( Depkes, 2004). Telur cacing gelang berkembang sangat

baik pada tanah liat yang mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25°- 30°C.

Pada kondisi ini telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam

waktu 2-3 minggu (Onggowaluyo, 2002).

Infeksi cacing gelang terjadi bila telur infektif masuk melalui makanan atau

minuman yang masuk ke mulut dan melalui tangan yang kotor (tercemar tanah

dengan telur cacing). Intensitas dan prevalensi kecacingan meningkat pada anak-anak

dan remaja. Puncak intensitas terjadi antara umur 5-10 tahun. Perilaku seseorang

sangat penting peranannya. Intensitas dan prevalensi yang tinggi pada anak

disebabkan oleh kebiasaan memasukkan jari-jari tangan yang kotor ke dalam mulut.

(Watkins dan Pollitt dalam Poespoprodjo dan Sadjimin, 2000).

2.1.1.3. Pengobatan dan Pencegahan

Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau massal pada masyarakat.

Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat

Piperasin, Pyrantel pamoate, Albendazole atau Mebendazole.

Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa

persyaratan, yaitu :

a. Mudah diterima di masyarakat.

b. Mempunyai efek samping yang minimum.

(26)

d. Harganya murah (terjangkau).

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menciptakan sanitasi lingkungan yang

bersih yaitu menyediakan fasilitas pembuangan sampah dan air limbah. Keluarga

yang pekerjaannya petani harus menggunakan sarung tangan apabila menggunakan

pupuk dari kotoran manusia atau hewan (Insley, 2005).

2.1.2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

Dalam Mansjoer (2000) dikatakan bahwa manusia merupakan hospes cacing

cambuk. Cacing dewasa berwarna merah muda, cacing betina panjangnya sekitar 5

cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dengan

bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina

diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur yang dibuahi

dikelurkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang (berisi larva dan infektif)

dalam waktu 3-6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh.

Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia

(hospes), kemudian larva akan keluar dari telur dan masuk ke dalam usus halus

sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon

asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing

dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari.

2.1.2.1. Gejala Klinik dan Diagnosis

Perkembangan larva cacing cambuk didalam usus biasanya tidak

memberikan gejala klinik yang berarti walaupun dalam sebagian masa

perkembangannya larva memasuki mukosa intestinum tenue. Gejala pada infeksi

ringan dan sedang anak gugup, susah tidur, nafsu makan menurun, biasanya di jumpai

nyeri epigastric, muntah, kontipasi, perut kembung. Pada infeksi berat di jumpai

(27)

penurunan berat badan,. Pada infeksi sangat berat bisa terjadi prolapsus rekti akibat

mengejannya penderita sewaktu defekasi. Gejala ini terjadi apabila cacing tersebar

diseluruh kolon dan rektum. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja

(Manjoer, 2000).

2.1.2.2. Epidemiologi

Penyebaran geografis cacing cambuk sama dengan cacing gelang sehingga

sering kali kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes.

Frekuensinya di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, frekuensinya antara

30%-90%. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anak-anak. Faktor yang terpenting

dalam penyebaran cacing cambuk adalah kontaminasi tanah dengan tinja yang

mengandung telur cacing cambuk. Telur berkembang baik pada tanah liat, lembab dan

teduh dengan suhu optimal ± 30°C. Infeksi cacing cambuk terjadi bila telur yang

infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman yang tercemar atau

melalui tangan yang kotor.

Di daerah hiperentemik, infeksi dapat dicegah dengan pengobatan,

pembuatan MCK (mandi, cuci dan kakus) yang sehat dan teratur, penyuluhan

pendidikan tentang hygiene dan sanitasi pada masyarakat (Onggowaluyo, 2002).

2.1.2.3. Pengobatan

Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing

cambuk adalah Albendazole/Mebendazole dan Oksantel pamoate untuk melemahkan

dan menghancurkan perkembangbiakan cacing di usus.

Kebersihan diri dan sanitasi lingkungan dapat mencegah terjadinya

(28)

2.1.3. Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale & Necator americanus)

Dalam Mansjoer (2000) dikatakan bahwa hospes parasit cacing tambang

adalah manusia, bentuk cacing dewasa kecil, silindris. Cacing dewasa hidup di rongga

usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan

9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm,

cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di

dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai

berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur

tersebut menetas menjadi larva rabditiform.

Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat

menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus

kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus

pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut

tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi

bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan.

2.1.3.1. Gejala Klinik dan Diagnosis

Gejala klinik dapat ditimbulkan cacing dewasa atau larvanya. Bila larva

infektif menembus kulit dapat terjadi gatal-gatal. Cacing tambang dewasa yang

mengisap darah penderita akan menimbulkan kekurangan darah sampai 0,1 cc per

hari, sedangkan seekor cacing tambang dewasa dapat menimbulkan kekurangan darah

sampai 0,34 cc per hari. Akibat anemi tersebut maka penderita tampak pucat. Berat

(29)

nutrisi penderita. Gejala ini disebabkan cacing tambang hidup dalam rongga usus

halus tapi melekat dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah.

Di negara-negara tropis umumnya sumber ferrum dalam makanan berupa

sayur-sayuran dan buah-buahan, hal ini menyebabkan absorpsi ferrum kurang

dibandingkan dengan absorpsi dari sumber produk hewani (Behrman, 2000).

2.1.3.2. Epidemiologi

Endemisitas kecacingan pada setiap lokasi spesifik tergantung pada

kecocokan keadaan lingkungan untuk penetasan telur dan pematangan larva. Kondisi

tanah optimal ditemukan pada banyak bagian negara tropis dan juga pada bagian

Tenggara Amerika Serikat.

Kasusnya banyak ditemukan di daerah pedesaan, khususnya pada pekerja di

daerah perkebunan yang kontak langsung dengan tanah. Penyebaran infeksi

berhubungan dengan kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai

pupuk kebun. Habitat yang cocok untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur

(misalnya humus dan pasir).

Morbiditas kecacingan di daerah endemik terutama diderita oleh anak-anak

yang umurnya lebih tua. Pada suatu penelitian setengah dari anak terinfeksi sebelum

usia 5 tahun, 90% terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas kecacingan bertambah

sampai umur 6-7 tahun, kemudian stabil (Behrman, 2000) yaitu 10 tahun. Penyebab

perbedaan distribusi umur masih belum dipahami.

Infeksi dapat dihindari dengan menggunakan alas kaki (sandal atau sepatu).

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menghindari defekasi di sembarangan

tempat (Onggowaluyo, 2002).

(30)

Obat untuk infeksi cacing tambang adalah Pyrantel pamoate (Combantrin,

Pyrantin), Mebendazole (Vermox, Vermona, Vircid), Albendazole akan melenyapkan

atau mengurangi secara bermakna beban cacing tambang.

Pencegahan atau pelenyapan infeksi kecacingan tergantung kepada sanitasi

dan kemoterapi massal.

2.1.3. Cacing Pita (Taeniasis)

Dalam Behrman (2000) dikatakan bahwa hospes parasit cacing pita adalah

manusia. Macam-macam dari cacing pita adalah cacing pita sapi (Taenia saginata),

cacing pita babi (Taenia solium), dan cacing pita ikan (Diphyllobothrium latum).

ukurannya berkisar dari 4-10 meter. Beribu-ribu segmen pipih (proglotid) membentuk

tubuh cacing dewasa. Proglotid cacing pita sapi dan babi biasanya keluar utuh dalam

tinja. Sebaliknya, proglotid cacing pita ikan sering pecah dalam usus, karena sampai 1

juta telur dapat dilepaskan perhari, telur-telur tersebut dapat diamati dalam tinja.

Cacing pita babi adalah patogen yang paling serius pada kelompok ini. Manusia

terinfeksi dengan bentuk dewasa bila mereka mengkonsumsi daging babi mentah atau

setengah masak yang mengandung kista parasit. Cacing akan melekat pada lumen

usus halus.

Cacing pita babi satu-satunya cacing pita yang skoleksnya dilengkapi dengan

kait disamping pengisap. Manusia dapat terinfeksi dengan cara menelan makanan atau

air yang terkontaminasi dengan telur-telur cacig lalu masuk ke mukosa usus dan

menyebar secara hematogen ke banyak jaringan terutama otak dan otot.

Telur cacing pita ikan menetas dalam air segar pada pemajanan terhadap

cahaya, kemudian parasit yang baru lepas tertelan pada ikan air tawar dan ikan air

tawar bermata besar sejenis ikan salmon. Konsumsi ikan mentah atau tidak dimasak

(31)

2.1.4.1. Gejala Klinik dan Diagnosis

Gejala klinik pada cacing pita sapi akan menimbulkan gatal pada anus.

Gejala yang ditimbulkan cacing pita babi akan menimbulkan gangguan neurologis,

kognitif atau gangguan kepribadian individu. Pada penderita cacing pita ikan akan

mengalami mudah lelah, demam edema dan kehilangan rasa getaran.

Pemeriksaan parasitologis tinja berguna untuk diagnosis infeksi ketiga cacing

pita tersebut (Behrman, 2000).

2.1.4.2. Epidemiologi

Cacing pita sapi dan babi tersebar di seluruh dunia. Meskipun beberapa

penyebaran dari orang ke orang telah didokumentasi di Amerika Serikat, penyebaran

ini tidak lazim. Risiko kecacingan jauh lebih tinggi di Amerika Tengah, Afrika, India,

Indonesia, dan Cina. Cacing pita ikan lebih sering dijumpai di Eropa dan Asia yang

beriklim sedang, tetapi dapat ditemukan di danau dingin pada tempat yang tinggi di

Amerika Selatan dan Afrika. Kasusnya banyak ditemukan di daerah pedesaan,

khususnya pada orang yang suka makan daging mentah atau setengah masak

(Behrman, 2000)..

Cacing pita menghisap darah dan luka-luka gigitan dilepaskan dapat

menyebabkan anemia yang lebih berat (Behrman, 2000).

2.1.4.3. Pengobatan dan Pencegahan

Obat untuk infeksi cacing pita adalah Niklosamid atau Prziquante. Pencegahan

kecacingan harus memasak daging sapi, babi dan ikan.

Perhatian terhadap kebersihan seseorang, menghindari buah-buahan dan

sayuran segar.semua anggota keluarga harus diperiksa mengenai adanya telur dan

tanda-tanda penyakit.

(32)

Lingkungan hidup adalah jumlah semua benda yang hidup dan tidak hidup

serta kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati (Sastrawijaya, 2000).

Sanitasi lingkungan adalah bagian dari ilmu kesehatan lingkungan yang

meliputi cara dan usaha individu atau masyarakat untuk mengontrol dan

mengendalikan lingkungan hidup eksternal yang berbahaya bagi kesehatan serta yang

dapat mengancam kelangsungan hidup manusia (Chandra, 2007).

Lingkungan hidup eksternal merupakan lingkungan di luar tubuh manusia

yang terdiri atas tiga komponen, antara lain (Chandra, 2007) :

1. Lingkungan fisik bersifat abiotik atau benda mati seperti air, udara, tanah,

cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi, dan lain-lain. Lingkungan fisik

ini berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan masa

serta memegang peranan penting dalam proses terjadinya penyakit pada

masyarakat.

2. Lingkungan Biologi bersifat biotik atau benda hidup, misalnya

tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain-lain yang

dapat berperan sebagai agens penyakit, vektor penyakit.

3. Lingkungan Sosial berupa kultur, adat-istiadat, kebiasaan, kepercayaan,

agama, sikap, standar dan gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan,

organisasi sosial dan politik.

2.2.1. Penyediaan Air Bersih

Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Air

dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan membersihkan kotoran yang ada

(33)

kebakaran, transportasi, dan lain-lain. Penyakit-penyakit yang menyerang manusia

dapat juga ditularkan dan disebarkan melalui air (Chandra, 2007).

Sumber daya air di bumi meliputi (Soesanto, 2001) :

1. Mata air (air tanah yang menyembul ke permukaan tanah).

2. Air tanah (air tanah tidak tertekan dan air tanah tertekan)

3. Sungai

4. Danau

5. Air laut

Untuk kepentingan masyarakat sehari-hari, persediaan air harus memenuhi

standar air minum dan tidak membahayakan kesehatan manusia.

Negara maju lebih menekankan standar kimia, sedangkan negara berkembang

lebih menekankan standar biologis. Menurut Chandra (2007) dikatakan bahwa

standar-standar untuk kelayakan air minum yang berlaku di Indonesia menurut

Permenkes RI No.01/Birhubmas/I/1975 adalah :

a. Standar fisik : suhu, warna, bau, rasa, kekeruhan.

b. Standar biologis : kuman, parasit, patogen, bakteri golongan koli (sebagai

patokan adanya pencemaran tinja).

c. Standar kimia : Ph, jumlah zat padat, dan bahan kimia lain.

d. Standar radioaktif : radioaktif yang mungkin ada dalam air (Chandra,

2007).

Air dapat merupakan medium pembawa mikroorganisme patogenik yang

berbahaya bagi kesehatan. Patogen yang sering ditemukan di dalam air terutama

adalah bakteri-bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan seperti Vibrio cholerae

(34)

hepatitis, dan Entamoeba histolyca penyebab disentri amuba. Jumlah dan jenis

mikroorganisme di dalam air dipengaruhi oleh sumber air tersebut.

Tabel 1. Beberapa Jenis dan Agent Penyakit Bawaan Air

Agent Jenis Penyakit Bakteri

Sumber : Slamet, 1996

Sumur merupakan sumber utama persediaan air bersih bagi penduduk yang

tinggal di daerah pedesaan maupun perkotaan Indonesia.

Secara teknis sumur dapat dibagi menjadi 2 jenis :

1. Sumur dangkal

Sumur dangkal memiliki sumber air yang berasal dari resapan air hujan di atas

permukaan bumi terutama di daerah dataran rendah. Jenis sumur ini banyak

terdapat di Indonesia dan mudah sekali terkontaminasi air kotor yang berasal

dari kegiatan mandi-cuci-kakus.

2. Sumur dalam

Sumur dalam memiliki sumber air yang berasal dari proses purifikasi alami air

hujan oleh lapisan kulit bumi menjadi air tanah.

(35)

1. Sumur berjarak maksimal 10 meter dan terletak lebih tinggi dari sumber

pencemaran seperti kakus, kandang ternak, tempat sampah dan sebagainya.

2. Dinding sumur harus dilapisi dengan batu yang disemen. Pelapisan dinding

paling tidak sedalam 6 meter dari permukaan tanah.

3. Saluran pmbuangan air harus dibuat menyambung dengan parit agar tidak

terjadi genangan air di sekitar sumur.

4. Sumur sebaiknya ditutup dengan penutup terbuat dari batu terutama pada sumur

umum. Manfaat dari tutup sumur agar mencegah terkontaminasi air sumur dari

penyakit.

5. Sumur harus dilengkapi dengan pompa tangan/listrik. Pemakaian timba dapat

memperbesar terjadinya kontaminasi.

2.2.2. Jamban

Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan

mengumpulkan kotoran yang lazim disebut WC, sehingga kotoran atau najis tersebut

berada dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar

penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman (Heru, 1995).

Manfaat jamban untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dan

pencemaran dari kotoran manusia (Chandra, 2007).

Pembuangan tinja yang tidak saniter akan menyebabkan berbagai macam

penyakit seperti: diare, Cholera, disentri, poliomyelitis, ascariasis dan sebagainya.

Kotoran manusia merupakan buangan padat. Selain menimbulkan bau, mengotori

lingkungan juga merupakan media penularan penyakit pada masyarakat.

Perjalanan agent penyebab penyakit melalui cara transmisi seperti dari tangan,

(36)

Dimana memungkinkan tinja atau kotoran yang mengandung agent penyebab infeksi

masuk melalui saluran pencernaan Chandra, 2007).

Jamban yang sehat adalah jamban yang memenuhi syarat sebagai berikut

(Depkes RI, 1998):

a. Tidak mencemari sumber air minum (untuk ini letak lubang penampungan

kotoran paling sedikit berjarak 10 meter dari sumber air minum).

b. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.

c. Air seni, air pembersih dan penggelontor tidak mencemari tanah di

sekitarnya.

d. Mudah dibersihkan, aman digunakan, dan harus terbuat dari bahan-bahan

yang kuat dan tahan lama.

e. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna

terang.

f. Cukup penerangan dan lantai kedap air.

g. Luas ruangan cukup.

h. Ventilasi cukup baik.

i. Tersedia air dan alat pembersih.

Cara memelihara jamban sehat (Depkes RI, 1998)

a. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering.

b. Disekeliling jamban tidak ada genangan air.

c. Tidak ada sampah yang berserakan.

d. Rumah jamban dalam keadaan baik.

e. Lalat, tikus, dan kecoa tidak ada.

(37)

g. Bila ada bagian yang rusak segera diperbaiki atau diganti.

Penyakit yang ditularkan oleh tinja yaitu Ascariasis dan Trichiniaris.

2.2.3. Pengelolaan Sampah

Sampah adalah suatu bahan/benda aktivitas manusia yang tidak dipakai lagi,

tidak disenangi atau padat yang terjadi karena berhubungan dengan di buang dengan

cara-cara saniter kecuali buangan yang berasal dari tubuh manusia (Kusnoputranto,

2000).

Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat secara langsung maupun tidak

langsung. Pengaruh langsung adalah karena kontak langsung dengan sampah

misalnya sampah beracun. Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan akibat proses

pembusukan, pembakaran dan pembuangan sampah. Efek tidak langsung dapat

berupa penyakit bawaan, vektor yang berkembang biak di dalam sampah.

Mengingat efek daripada sampah terhadap kesehatan maka pengelolaan

sampah harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

a. Tersedia tempat sampah yang dilengkapi dengan penutup.

b. Tempat sampah terbuat dari bahan yang kuat, tahan karat, permukaan bagian

dalam rata dan dilengkapi dengan penutup.

c. Tempat sampah dikosongkan setiap 1 x 24 jam atau 2/3 bagian telah terisi

penuh.

d. Jumlah dan volume tempat sampah disesuaikan dengan volume sampah yang

dihasilkan setiap kegiatan.

e. Tersedia tempat pembuangan sampah sementara yang mudah terjangkau

kendaraan pengangkut sampah dan harus dikosongkan sekurang-kurangnya

(38)

Jenis penyakit yang dapat ditularkan dari sampah yaitu cacing gelang, Salmonella

typh.

Pembuangan kotoran, air buangan dan sampah serta pemeliharaan lingkungan

juga penting dalam penanggulangan penyebaran cacingan. Hal ini dibuktikan oleh

Pasaribu (2004) di Kabupaten Karo yang menemukan 45,8% sampel tanah yang

diperiksa mengandung telur cacing gelang.

2.2.4. Pengelolaan Air Limbah

Menurut Ehless dan Steel dalam Chandra (2007), air limbah adalah cairan

buangan yang berasal dari rumah tangga, industri, dan tempat-tempat umum lainnya

dan biasanya mengandung bahan-bahan atau zat yang dapat membahayakan

kehidupan manusia serta mengganggu kelestarian lingkungan.

Sarana pembuangan air limbah yang sehat harus memenuhi persyaratan teknis sebagai

berikut :

a. Tidak mencemari sumber air bersih.

b. Tidak menimbulkan genangan air yang menjadi sarang serangga/nyamuk.

c. Tidak menimbulkan bau.

d. Tidak menimbulkan kelembaban dan pandangan yang tidak menyenangkan.

Untuk itu pengelolaan limbah harus memiliki persyaratan teknis apabila belum

ada atau tidak terjangkau oleh sistem pengelolaan limbah perkotaan. Kualitas air

limbah yang dibuang ke lingkungan harus mempunyai persyaratan baku mutu air

limbah sesuai peraturan.

(39)

Rumah adalah tempat tinggal suatu keluarga yang dilengkapi dengan berbagai

fasilitas pendukungnya seperti sarana jalan, saluran air kotor, tempat sampah, sumber

air bersih, lampu jalan, dan lain-lain (Chandra, 2007).

Kriteria rumah yang sehat dan aman dari segi lingkungan, antara lain:

a. Memiliki sumber air bersih dan sehat serta tersedia sepanjang tahun.

b. Memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah yang baik.

c. Dapat mencegah terjadi perkembangbiakan vektor penyakit, seperti nyamuk,

lalat, tikus, dan sebagainya.

d. Letak perumahan jauh dari sumber pencemaran dengan jarak minimal 5 km,

memiliki daerah penyangga atau daerah hijau (green belt) dan bebas banjir

(Chandra, 2007).

Penelitian Damayanti seperti yang dikutip Hidayat (2002) menunjukkan

adanya hubungan yang erat antara interaksi faktor lingkungan tempat tinggal dengan

prevalensi cacing pada anak sekolah dasar. Tingginya prevalensi cacing gelang pada

anak sekolah dasar di desa dibanding dengan di kota menunjukkan adanya perbedaan

hygiene dan sanitasi lingkungan Penelitian tersebut menggambarkan bahwa adanya

infeksi ganda cacing gelang di desa lebih tinggi dibanding dengan di kota. Hal ini

menunjukkan lingkungan pedesaan merupakan faktor predisposisi untuk anak-anak

sekolah dasar di desa.

Menurut Ismid et al. (1980) seperti yang dikutip Hidayat (2002), di halaman

rumah telur cacing gelang banyak ditemukan di sekitar tumpukan sampah (55%) dan

tempat teduh di bawah pohon (33,3%). Penelitian Hadidjaja et al (1989) menunjukkan

bahwa 14-12% sampel air got yang diperiksa ternyata positip mengandung telur

(40)

jamban, pinggiran kali bahkan dekat di dalam rumah. Kepadatan penghuni dalam

rumah juga berperan terhadap penularan kecacingan.

2.3. Hygiene

2.3.1. Definisi Hygiene

Hygiene berasal dari bahasa Yunani yang artinya bersih. Kebersihan adalah

suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk

kesejahteraan fisik dan psikis. Kesehatan pribadi yang buruk pada masa tersebut akan

dapat mengganggu perkembangan kualitas sumber daya manusia.

Keadaan tangan dan kuku yang kotor serta kebiasaan-kebiasaan lain yang

salah tentang kesehatan pribadi tersebut akan dapat menimbulkan infeksi kecacingan

(Tarwoto dan Wartonah,2006).

Dalam praktiknya upaya hygiene antara lain meminum air yang sudah direbus

sampai mendidih dengan suhu 100°C selama 5 menit, mandi dua kali sehari agar

badan selalu bersih dan segar, mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang

makanan, mengambil makanan dengan alat seperti sendok atau penjepit, dan menjaga

kebersihan kuku serta memotongnya bila panjang (Azwar, 1993).

Menurut Entjang (2000), usaha kesehatan perorangan adalah daya upaya

seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri.

Usaha usaha tersebut antara lain adalah :

a. Memelihara kebersihan, hal-hal yang termasuk ke dalam usaha memelihara

kebersihan ini adalah kebersihan badan (mandi minimal 2x sehari,

menggosok gigi secara teratur, dan mencuci tangan sebelum memegang

(41)

di setrika), memelihara kebersihan rumah dan lingkungan (selalu disapu,

membuang sampah, buang air besar dan air limbah pada tempatnya).

b. Makanan sehat adalah makanan yang harus selalu dijaga kebersihannya,

bebas dari penyakit, cukup kuantitas dan kualitasnya.

c. Cara hidup yang sehat yaitu makan, tidur, bekerja dan beristirahat secara

teratur termasuk rekreasi dan menikmati hiburan pada waktunya.

d. Meningkatkan daya tahan tubuh untuk mendapatkan kekebalan terhadap

penyakit perlu mendapatkan vaksinasi, olah raga yang teratur untuk menjaga

agar badan selalu bugar.

e. Menghindari terjadinya penyakit agar selalu sehat, hindari kontak dengan

sumber penularan penyakit baik yang berasal dari penderita maupun dari

sumber lainnya, menghindari pergaulan yang tidak baik, selalu berfikir dan

berbuat baik.

f. Pemeriksaan kesehatan untuk menjaga badan agar selalu sehat, perlu

dilakukan pemeriksaan secara periodik, walaupun merasa sehat, dan segera

memeriksakan diri apabila merasa sakit.

2.3.2. Kebersihan tangan, kaki dan kuku

Tangan sangat berperan dalam penularan penyakit, khususnya penyakit yang

ditularkan melalui makanan dan minuman yang masuk ke mulut, misalnya cacingan.

Tangan kotor setelah mencebok pada waktu buang air besar atau memegang kotoran

lainnya harus dicuci dengan bersih agar terbebas dari segala bibit penyakit yang

melekat pada tangan. Mencuci tangan dengan benar berarti mencuci tangan dengan air

yang cukup dan menggunakan sabun.

Menggosok tangan hendaknya dilakukan dengan baik sehingga seluruh bagian

(42)

tangan. Pakaian yang mungkin sudah kotor jangan digunakan. Kebersihan tangan,

kaki dan kuku secara wajar penting artinya bagi manusia dalam usia berapapun.

Untuk menjaga kebersihan tangan, kaki dan kuku selalu melakukan mencuci tangan

dengan benar harus dilakukan cara-cara :

a. Membersihkan tangan sebelum makan dan setelah makan.

b. Setelah buang air besar.

c. Sebelum memasak atau menyiapkan makanan.

d. Sebelum memberikan makanan bayi dan anak-anak (sebelum memegang

makanan).

e. Sebelum menyusui.

f. Setelah memegang hewan, ternak atau benda-benda kotor lainnya.

g. Mencuci kaki sebelum tidur.

Sewaktu mencuci tangan bagian kuku hendaklah mendapatkan perhatian yang

lebih karena kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian

seseorang. Kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya

berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikroorganisme diantaranya

bakteri dan telur cacing.

Kuku jari tangan yang kotor kemungkinan terselip telur cacing akan tertelan

ketika makan. Hal ini akan lebih parah apabila tidak terbiasa mencuci tangan

memakai sabun sebelum makan, bahkan pada anak-anak yang menderita Oxyuriasis

akan mengalami auto infeksi ketika mengisap jari sewaktu tidur (Luize A, 2004 dan

Onggowaluyo, 2002).

(43)

Anak adalah individu yang unik dan bukan orang dewasa mini. Anak juga

bukan merupakan harta atau kekayaan orangtua yang dapat dinilai secara ekonomi,

melainkan masa depan bangsa yang berhak atas pelayanan kesehatan secara

individual. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan

lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam

memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri. Lingkungan yang

dimaksud bisa berupa keluarga (orangtua), pengurus panti (bila anak berada di panti

asuhan).

Perkembangan psikososial (Erikson dalam Supartini, 2004) pada anak usia 6

sampai 12 tahun adalah anak akan belajar untuk bekerja sama dan bersaing dengan

anak lainnya melalui kegiatan yang dilakukan baik dalam kegiatan akademik maupun

dalam pergaulan melalui permainan bersama. Terjadinya perubahan fisik, emosi, dan

sosial pada anak berpengaruh terhadap gambaran terhadap tubuhnya. Interaksi sosial

lebih luas dengan teman, umpan balik berupa kritik dan evaluasi dai teman atau

lingkungannya, mencerminkan penerimaan dan kelompok akan membantu anak

semakin mempunyai konsep diri positif.

Anak sudah dapat berfikir konsep tentang waktu dan mengingat kejadian yang

lalu serta menyadari kegiatan yang dilakukan berulang-ulang, tetapi pemahamannya

belum mendalam, selanjutnya akan semakin berkembang di akhir usia sekolah atau

awal masa remaja (Supartini, 2004).

2.5. Dampak Kecacingan

2.5.1 Dampak Kecacingan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia

Dalam rangka mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera

lahir dan batin, pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia sehat,

(44)

adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi pula, pada

pembangunan jangka panjang kedua pembangunan kesehatan diarahkan untuk

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia.

Penyakit kecacingan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

terhadap penurunan kualitas SDM, mengingat kecacingan akan menghambat

pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak serta produktifitas kerja. Sampai saat ini,

penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia

terutama di daerah pedesaan. Sedangkan salah satu faktor yang mempengaruhi

tingginya prevalensi kecacingan adalah kebersihan pribadi (Depkes RI, 2002).

2.5.2. Dampak Kecacingan terhadap Intelektual dan Kecerdasan Anak

Secara umum, berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan mental dan prestasi

anak sekolah. Hasil penelitian Bundy tahun 1992 menunjukkan bahwa anak-anak

sekolah dasar di Jamaika yang terinfeksi cacing cambuk mengalami penurunan

kemampuan berfikir.

Penyakit ini tidak menyebabkan orang mati mendadak, akan tetapi

menyebabkan penderita semakin lemah karena kehilangan darah yang menahun

sehingga menurunkan prestasi. Di samping itu daya tahan tubuh juga menurun

sehingga dapat memperberat penyakit lainnya. (Depkes RI, 1995).

2.5.3. Pengaruh Kondisi Sanitasi Lingkungan terhadap Kecacingan

Salah satu masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang tidak kurang

pentingnya adalah infeksi cacing usus karena prevalensinya masih tinggi. Hal ini

dikarenakan Indonesia berada dalam posisi geografi dengan temperatur kelembaban

yang tinggi. Pengaruh lingkungan global dan semakin meningkatnya komunitas

(45)

merupakan faktor yang mempunyai andil besar terhadap penularan parasit pada

umumnya dan cacing yang hidup pada manusia khususnya, sebagai contoh :

a. Pembuangan tinja yang kurang memenuhi syarat kesehatan, misalnya : tanah

tergolong hospes perantara atau tuan rumah sementara, tempat berkembangnya

telur-telur atau larva cacing sebelum dapat menular dari seseorang ke orang lain,

yaitu larvanya yang ada di tinja menembus kulit memasuki tubuh.

b. Penyediaan air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat juga sebagai

media penularan melalui mulut menyertai makanan atau minuman yang

terkontaminasi oleh tinja yang mengandung telur cacing (Depkes RI, 2002).

2.6. Konsep Dasar Perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang

bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari

manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua mahluk hidup

mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku,

karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing (Notoadmojo,2005a).

2.6.1. Prosedur Pembentukan Perilaku

Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning menurut Skinner

dalam Notoadmojo (2005a) adalah sebagai berikut :

a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau

reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan

dibentuk.

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang

(46)

tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya

perilaku yang dimaksud.

c. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan

sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing

komponen tersebut.

d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen

yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan maka

hadiahnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku

(tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau perilaku ini sudah

terbentuk kemudian dilakukan komponen (perilaku) yang kedua, diberi hadiah

(komponen pertama tidak memerlukan hadiah lagi), demikian berulang-ulang

sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen

ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan

terbentuk.

Perilaku untuk buang air besar di sembarangan tempat dan kebiasaan tidak

memakai alas kaki mempunyai intensitas cacing tambang pada penduduk di Desa

Jagapati Bali, dengan pola transmisi kecacingan tersebut pada umumnya terjadi di

dekat rumah (Bakta, 1995). Kebiasaan buang air besar di sungai secara menetap

ternyata menyebabkan tingginya infeksi oleh ” Soil-Transmited Helminths” pada

masyarakat Sanliurfa Turkey (Ulukanligil et. Al, 2001).

2.6.2. Domain Perilaku

Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang

sangat luas. Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2007) seorang ahli psikologi

pendidikan membagi perilaku itu kedalam 3 domain (ranah / kawasan) yang terdiri

(47)

2.6.2.1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoadmojo, 2003).

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang. Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari

oleh pengetahuan. Pengetahuan yang ada pada diri manusia bertujuan untuk dapat

menjawab masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya sehari-hari dan digunakan

untuk menawarkan berbagai kemudahan bagi manusia. Dalam hal ini pengetahuan

dapat diibaratkan sebagai suatu alat yang dipakai manusia dalam menyelesaikan

persoalan yang dihadapinya.

Menurut Notoadmodjo (2003a) unsur-unsur dalam pengetahuan pada diri

manusia terdiri dari : (1) Pengertian dan pemahaman tentang apa yang dilakukan. (2)

Keyakinan dan kepercayaan tentang manfaat kebenaran dari apa yang dilakukannya.

(3) Sarana yang diperlukan untuk melakukannya. (4) Dorongan atau motivasi untuk

berbuat yang dilandasi oleh kebutuhan yang dirasakannya.

Penelitian Rogers dalam Notoadmojo (2003a) mengungkapkan bahwa

sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang

tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : a) Kesadaran dimana orang tersebut

menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). b)

Merasa tertarik terhadap stimulus atau objek tersebut, disini sikap subjek sudah mulai

timbul. c) Menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi

(48)

mulai mencoba untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh

stimulus. e) Adopsi dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa

perubahan perilaku tidak selalu melewati tahapan-tahapan tersebut diatas. Apabila

penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini dimana

didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut

akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh

pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang

menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau

responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita

sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas.

Pengetahuan tentang objek dapat diperoleh dari pengalaman, guru, orangtua,

teman, buku, dan media masa (WHO, 1992 dalam Wachidanijah, 2002). Pengetahuan

seseorang terhadap suatu objek dapat berubah dan berkembang sesuai dengan

kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi rendahnya mobilitas tentang objek

tersebut di lingkungannya.

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penularan kecacingan adalah

kurangnya pengetahuan tentang kecacingan. Penelitian Wachidanijah, (2002)

menunjukkan bahwa terdapat kecendrungan makin tinggi Pengetahuan semakin baik

perilaku dalam hubungan dengan kecacingan.

2.6.2.2 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap

(49)

Dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional

terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan

bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan

merupakan pelaksana motif tertentu.

Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan

predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan

merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi

bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu

penghayatan terhadap objek.

Dalam bagian lain Allport dalam Notoadmojo (2005a) menjelaskan bahwa

sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni : (1) Kepercayaan (keyakinan), ide

dan konsep terhadap suatu objek. (2) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional

terhadap suatu objek. (3) Kecenderungan untuk bertindak

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh.

Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi

memegang peranan penting. Menurut Berkomitz dalam Azwar (2007), sikap adalah

suatu bentuk mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak

memihak.

Suatu contoh seorang ibu telah mendengarkan penyakit kecacingan (penyebab,

akibat, pencegahan, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk

berpikir dan berusaha supaya anaknya tidak terkena penyakit kecacingan. Dalam

berpikir ini, komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut

berniat akan mengajari anaknya agar melakukan kebersihan diri, memasak makanan

Gambar

Tabel 1. Beberapa Jenis dan Agent Penyakit Bawaan Air
Gambar 2. Teori Alasan Berperilaku (Feishbein dalam Glanz. K, 2002)
Gambar 3. Kerangka   K onsep    Pengaruh  Perilaku Ibu, Sanitasi Lingkungan dan                     Karakteristik Anak Terhadap Kecacingan Anak Di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir 2008
Tabel 2. Jumlah Unit Sampel Pada setiap Puskesmas berdasarkan Proporsi Kepala                 Keluarga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Faktor lingkungan yang diteliti yaitu sumber air utama, jenis jamban, jenis lantai rumah, saluran pembuangan air limbah, dan keberadaan sampah dengan kejadian diare pada

Objek penelitian ini berupa pemeliharaan dan kondisi sanitasi yang meliputi air bersih, jamban, Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL), sarana pembuangan sampah, dan

1. Ada hubungan antara kebiasaan memakai alas kaki dengan kejadian infeksi kecacingan pada pemulung sampah usia anak sekolah dasar di tempat pembuangan akhir Antang, kota

Berdasarkan uji statistik yang dilakukan didapat hasil bahwa sanitasi yaitu kecukupan sumber air, keberadaan jamban, pembuangan sampah dan saluran pembuangan

Dalam penelitian ini, yang menjadi objek penelitian adalah fasilitas sanitasi lingkungan (tempat sampah, air bersih, jamban, dan Saluran Pembuangan Air Limbah

0% Saluran pembuangan air limbah rumah tangga terpisah dengan saluran drainase lingkungan 8 Pengelolaan Persampahan 85% Sampah domestik rumah tangga di kawasan

Faktor lingkungan yang diteliti yaitu sumber air utama, jenis jamban, jenis lantai rumah, saluran pembuangan air limbah, dan keberadaan sampah dengan kejadian diare pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sumber air, jenis jamban, kebersihan jamban, pembuangan sampah dan pengelolaan air limbah dengan kejadian diare di Desa