• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah Imunitas Dan Penangkapan Lintas Pelayaran Kapal Perang Pada Masa Damai Ditinjau Dari Hukum Internasional.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Masalah Imunitas Dan Penangkapan Lintas Pelayaran Kapal Perang Pada Masa Damai Ditinjau Dari Hukum Internasional."

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Atje Muhjiddin Misbach. Status Hukum Perairan Kepulauan Indonelsia dan Hak Lintas Kapal Asing.Cet. Ke-1. Bandung: Penerbit Alumni, 1993.

Bakhti,  Yudha Andiwirasta.  Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan

Asing, , Alumni, Bandung, 1999   

Churchill, R.R. and Lowe, A.V. The Law of The Sea. Rev. ed. Manchester: Manchester University Press, 1992.

Colombos, John C. The Inrternational Law of The Sea, 4th Revised Ed. London: Longmans, 1959.

Dixon, M. dan McCorquodale, R. Cases and Materials on International Law. 2nd Ed. London: Blackstone Press Ltd, 1998.

G. P. H. Djatikoesomo. Hukum Internasional Bagian Perang. Jakarta: Penerbit Pemandangan, 1956.

Hasjim Fjalal. Perjuangan Indonelsia di Bidang Hukum Laut Cet. Ke-1. Bandung: Binacipta, 1979.

Institute of International Law. International Law. Moscows:

Malanczuk, Peter. Akehurst’s Modern Introduction to International Law. 7th rev. ed. London: Routledge.

Mochtar Kusumaatmadja.Konvensi-konvensi Palang Merah 1949. Cet ke-1. Bandung: Binacipta, 1979.

---. PengantarHukum Internasional. Cet. K4-4.Bandung: Binacipta, 1982.

O’Connell, D.P. International Law. 2nd . London: Stevens& Sons, 1970. --- . International Law. Vol-II. Disputes, War and Neutrality. 8th ed.

London: Longmans, 1967.

Purnadi Purbacaraka dan soerjono Soekanto. Renungan Filsafat Hukum. Cet. Ke-5. Jakarta: C.V. Rajawali, 1982.

(2)

Shaw, M.N. International Law. 3rd Ed. New York: Camridge University Press, 1995,

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. Ke-3. Jakarta: UI Press, 1995.

--- dan Purnadi Purbacaraka. Perihal Kaedah Hukum, Cet. Ke-7. Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 1981.

Starke, J.G. An Introduction to International law. London: Butterworths, 1988. Sudargo Gautama. Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional. Bandung:

Alumni, 1985.

---. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Buku I. Cet ke-7. Jakarta: Binacipta, 1988.

---. Segi-segi Hukum Pada Nasionalisasi di Indonesia. Cet. Ke-5. Bandung: P:enerbit Binacipta,

W.J.S. Poerdarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cet. Ke-5. Jakarta: PT. Balai Pustaka, 1976.

B. INTERNET

Denner, Jeffrey S. Vessel source Pollution and Public Vessels: Sovereign Immunity V. Compliance, Implications for International Environmental lav. Htt://www.law.emory,edu/EILR/Volumes/fal195/dehner. Html tanggal .05 Agustus 2010

“Maritime Environmental Protection Strategy for Enhancing Naval Operations Through Ship And Equipment Design and Management Practices”.

http://www.nato.int/structur/AC/141/dociments/D8 20for 20Publc 20Domai 20Seb 20Site.doc . tanggal 15 Agustus 2010

“National legislation – DOALOS/OLA – United Nations “.bttp://www.un.org/Depts/los/LEGISLATIONANDTREATIES/PDFFI LES 18 Agustus 2010

(3)

United States Department of The Navy. “A Handbook for Naval Operations.”

http://www.cpf.navy.mil /pages/legal/nwp 201-14/NWPCH2,htm . tanggal 02 agustus 2010

http://www.docstoc.com/docs/20860696/Jurusan-Hukum-Internasional tanggal 06 Januari 2011 

http://www.ricc.com.cn/Englishversion/library/huominae/frame.htm tanggal 04 Februari 2011

http://www.scribd.com/doc/39504492/Corfu-Channel-Case-1949 tanggal 04 Februari 2011

http://en.wikipedia.org/wiki/Soviet_submarine_S-363 tanggal 04 Februari 2011

C. KONVENSI-KONVENSI Konvensi Brussel 1926

Konvensi Hukum Laut 1982 Konvensi Hukum Laut Teritorial Konvensi Montevideo 1933 Protokol I Tambahan 1934

 

 

(4)

BAB III

KETENTUAN-KETENTUAN DALAM HUKUM INTERNASIONAL TENTANG IMUNITAS DAN PENGATURAN LINTAS PELAYARAN

KAPAL PERANG PADA MASA DAMAI

A. Pengertian Perang dan Damai

Perang terjadi antara negara pada dasarnya diawali dari pertikaian, yang kemudian akibatnya juga dirasakan oleh negara-negara lain. Oleh sebab itu masalah pertikaian yang kemudian mengakibatkan peperangan termasuk ke dalam bidang yang menjadi obyek pembahasan hukum internasional.

Hukum internasional mendefinisikan perang sebagai suatu persengketaan antara dua atau lebih negara dengan menggunakan angkatan bersenjata yang dimilikinya, yang tujuannya untuk menaklukan pihak lawan dan kemudian pihak yang memenangkan peperangan dapat menentukan syarat-syarat perdamaian menurut keinginannya.

Sejak zaman dahulu praktek-praktek negara mengenai mulainya suatu perang berlainan satu sama lain. Akan tetapi perang sebagai suatu kondisi pertikaian bersenjata antar dua atau lebih negara tersebut, dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut :

1. Melalui pernyataan perang yang dinyatakan secara formal oleh salah satu atau kedua belah pihak yang bertikai;

2. Melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata, baik oleh satu atau sekelompok negara secara bersama-sama terhadap negara yang menjadi pihak lawan dengan menunjukan maksudnya dalam bentuk

 

(5)

sikap-sikap permusuhan atau tanpa maksud tersebut namun oleh negara lawan dianggap sebagai tindakan perang;

3. Melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata kedua belah pihak yang bertikai yang dapat dianggap cukup serius untuk melahirkan status perang, meskipun kedua belah pihak tersebut menyanggah adanya maksud yang bersifat permusuhan.

Sementara itu sebab-sebab terjadinya perang dipengaruhi oleh banyak hal. Masalah persatuan nasional atau keutuhan wilayah suatu negara dan kemerdekaan, persaingan antar dua negara, timbulnya cita-cita nasional suatu negara tertentu, usaha memperluas agama atau ideologi, sengketa wilayah, persaingan ekonomi antar negara dan masih banyak faktor-faktor lain yang apat menjadi sebab terjadinya perang.57

Tujuan perang itu sendri adalah ditentukan oleh sebab atau sebab terjadinya perang. Antara tujuan perang harus dibedakan dengan maksud perang. Maksud perang adalah selalu sama; munundukan lawan dengan kekerasan tetap tujuan perang selalu berbeda-beda. Di samping itu, perang juga merupakan alat kelanjutan dari suatu kebijaksanaan dan pada umumnya merupakan sanksi terakhir hukum internasional, bahwa perang dilakukan tidak sebagai tujuan, namun sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu mempertahankan kekuasaan hukum (“rule of law”).58

Sementara itu mengenai pengertian atau definisi damai, kurang mendapat perhatian yang seharusnya dari banyak sarjana, berbeda dengan lawan katanya       

57

G. P. H. Djatikoesomo, HukumInternasional Bagian Perang, Jakarta: Penerbit Pemandangan, 1965 hal. 13.

58

(6)

perang, meskipun ide mengenai keduanya telah ada sejak awal peradaban manusia. Pengertian damai dikenal dalam pengertian hukum dengan suatu keadaan dimana terjadi keserasian antara kebebasan dengan ketertiban.59

Dalam hukum internasional masalah perang diatur secara khusus ke dalam salah satu bidang hukum internasional dikenal dengan “hukum perang” atau “hukum humaniter internasional”. Hukum perang atau hukum humaniter internasional ini terdiri atas sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan dan mengenai prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya perang60, atau dengan kata lain hukum perang atau hukum humaniter internasional pada hakekatnya mengatur mengenai sebagai berikut: 61

a. Jus ad bellum, yakni hukum tentang perang; mengatur dalam hal

bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata. b. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang.

Hukum ini dibagi dua,yaitu:

1. Yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini biasanya disebut: Hague Laws

2. Yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut dengan Geneva Laws

      

59

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Filsafat Hukum, Cet ke-5. Jakarta: C.V. Rajawali, 1982 hal. 16.

60

J. G. Starke, Op. Cit., hal 727.

61

(7)

Berasal dari kaedah-kaedah hukum kebiasaan, kaedah hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war), pada tahun 1899 dan 1907 kemudiandibentuk ke dalam konvensi-konvensi yang dikenal dengan Konvensi The Hague 1899 dan 1907. Konvensi Hague ini berisi pengaturan-pengaturan hukum perang darat dan laut.62

Khusus mengenai kaedah-kaedah hukum perang laut selain diatur dalam Konvensi-konvensi The Hague 1907, yaitu Konvensi Hague VI (mengatur mengenai status kapal dagang pada saat pecahnya perang), Konvensi Hague VII (mengenai perubahan kapal dagang menjadi kapal perang), Konvensi Hague VIII (mengenai penempatan ranjau laut anti kapal selam), Konvensi hague IX (mengenai pemboman laut), Konvensi Hague X, Konvensi Hague XI, dan Konvensi Hague XII (mengenai hak-hak dan kewajibgan pihak netral dalam perang laut), sebagian lagi diatur dalam Deklarasi Paris 1856 (misalnya mengenai larangan penugasan kapal-kapal dagang swasta untuk melakukan serangan), dan sebagian lainnya dalam London Rules Protokol 1936 (mengenai larangan penggunaan kapal-kapal selam terhadap kapal-kapal dagang musuh).63

Tidak seperti perang darat yang bertujuan mengalahkan musuh dan menguasai wilayah musuh, tujuan dalam perang laut tidak hanya untuk mengalahkan angkatan bersenjata musuh di laut, melainkan juga untuk melemahkan musuh dalam bidang ekonomi dengan cara menangkap kapal-kapal dagang musuh dan mengambil alih isi dari kapal-kapal dagang tersebut, bahkan

      

62

Pada tahun lahirnya, Konvensi The Hague belum meliputi ketentuan-ketentuan hukum mengenai hukum perang udara, hal ini dikarenakan pada saat itu pesawat udara belum mendapatkan peranen yang cukup signifikan dalam perang, tidak seperti sekarang ini.

63

(8)

terkadang dalam hal-hal tertentu termasuk menguasai kapal-kapal dagang pihak netral yang tujuannya negara lawannya tersebut, dengan tujuan melemahkan perekonomian musuh.64

Tidak seperti perang darat yang bertujuan mengalahkan musuh dan menguasai wilayah musuh, tujuan dalam perang laut tidak hanya untuk mengalahkan angkatan bersenjata musuh di laut, melainkan juga untuk melemahkan musuh dalam bidang ekonomi dengan cara menangkap kapal-kapal dagang musuh dan mengambil alih isi dari kapal-kapal dagang tersebut,bahkan terkadang dalam hal-hal tertentu termasuk menguasai kapal-kapal dagang pihak netral yang tujuannya ke negara lawannya tersebut, dengan tujuan melemahkan perekonomian musuh.

Dari penjelasan-penjelasan mengenai pengertian perang dan damai tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum internasional mengenal perbedaan kondisi perang dan damai. Oleh karena itu dalam hukum internasional dikenal istilah hukum internasional masa damai dan hukum internasional masa perang.

Apabila dikaitkan dengan permasalahan yang sedang penulis bahas yaitu mengenai kapal perang, maka dalam hal ini, kapal perang juga memperoleh pengaturan hukum internasional yang berbeda pada waktu masa perang dan masa damai.

      

64

(9)

B. Imunitas Kapal Perang Dalam Ketentuan-Ketentuan Hukum Internasional

B.1. Konvensi Brussel Tahun 1926

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa tidak banyak ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur secara khusus mengenai imunitas negara, terutama ketentuan mengenai imunitas kapal perang. Meskipun demikian hal tersebut tidak berarti bahwa ketentuan mengenai imunitas kapal perang tideak diatur sama sekali dalam hukum internasional.

Salah satu traktat multilateral internasional yang didalamnya terdapat ketentuan yang mengatur mengenai imunitas kapal perang adalah Konvensi Brussel tahun 1926. Konvensi dengan nama International Convention for Unification of Certain Rules Concerning the Immunities of Goverment Vessels ini ditandatangani pada tanggal 10 April 1926, di Brussel, Belgia oleh sejumlah negara. Konvensi ini dilengkapi dengan Protokol Tambahan tahun 1934.

Negara-negara yang meratifikasi dan mengaksesinya adalah Jerman, Belgia, Chili, Denmark, Eslandia, Sponyol, Estonia, Perancis, Inggris, Irlandia, India, Hungaria, Italia, Jepang, Latvia, Meksiko, Norwegia, Belanda, Polandia, Portugal, Rumania, Serbia, Kroasia, Slovenia,dan Swedia, Konvensi ini mulai berlaku pada tahun 1937.65

Konvensi Brussel tahun 1926 ini sebenarnya lebih ditujukan untukmengatur mengenai imunitas kapal dagang negara. Meskipun demikian

      

65

(10)

ketentuan mengenai imunitas kapal perang dapat ditemukan dalam pasal 3 ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut :

“ The Provisions of the two proceeding articles shall not apply to ships of war, state-owned yachts, patrol vessels, hospital ships, fleet auxiliaries, supply ships an other vessels owned or operated by a state and employed exclusively at the time when the cause of action arises on government and non-commercial service, and such ships shall not be subject to seizure, arrest or detention by anu legal rocess, nor any proceedings in rem. Nevertheless, claimantsshall have the right to proceed before appropriate courts of the state which owns or operates the ship in the following cases : (i) Claims in respect of collision or other accidents of navigation;

(ii) Claims in respect of salvage or in the nature of salvage and in

respect of general average;

(iii) Claims in respect of repairs, supplies, or other contracts relating to the ship; and the State shall not entitled to rely upon any immunity as a defence.”

Jadi menurut ketentuan pasal 3 ayat 1 tersebut di atas kapal-kapal perang memiliki imunitas terhadap gugatan-gugatan yang mungkin dilakukan terhadapnya, kecuali dalam beberapa hal berikut :

1. Dalam kaitannya dengan klaim-klaim yang berkaitan dengan tabrakan di laut dan kecelakaan yang berhubungan dengan pelayaran;

2. Yang berhubungan dengan klaim-klaim pengangkatan kapal karam dan hal-hal lain yang berkaitan dengan permasalahan tersebut;

(11)

B.2. Konvensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958

Ketentuan mengenai imuitas kapal perang dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, dapat ditemukan dalam Pasal 9 Konvensi II tentang Laut Bebas, yang berbunyi sebagai berikut :

Ships owned or operated by a state and used only on government

non-commercial service shall, on the high seas, have complete immunity from jurisdiction of any state other than the flag state.”

Yang artinya kapal yang dimiliki atau dioperasikan oleh sebuah negara dan hanya digunakan untuk melayani pemerintah non komersial di laut lepas yang memiliki kekebalan dari yuridiksi negara lain daripada negara bendera. Meskipun tidak secara khusus menyebutkan “kapal perang”, ketentuan ini menjadi dasar keberlakuan imunitas yang dimiliki oleh kapal perang di laut bebas.

Satu hal lain yang penting dari Konvensi ini yang berkaitan dengan imunitas kapal perang adalah pengaruh Konvensi Brussel 1926 terhadap ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, yakni mengenai adanya pembedaan antara kapal-kapal pemerintah/ negara untuk tujuan komersial dengan kapal-kapal pemerintah untuk tujuan non-komersial di dalam konvensi.

B.3. Marpol 73/78

(12)

konvensi ini harus dipandang sebagai satu instrumen, yaitu MARPOL 37/78, keduanya mulai berlaku pada tanggal 2 Oktober 1983.

Sebagian besar langkah teknis yang berkaitan dengan pencegahan pencemaran laut oleh kapal, diatur dalam konvensi ini dalam kelima Annex-nya, yang masing-masing mengatur:66

1. Annex I, mengenai pencegahan pencemaran oleh minyak/oil;

2. Annex II, mengenai kontrol pencemaran oleh bahan-bahan cair beracun

dalam jumlah besar (noxious liquid substances carried in bulk);

3. Annex III, berkaitan dengan pencegahan pencemaran yang diakibatkan

oleh bahan-bahan yang berbahaya yang diangkut dalam bentuk terbungkus

(harmful substances carried in packages), misalnya : Tangki-tangki dan peti-peti kemas;

4. Annex IV, mengenai pencegahan pencemaran oleh koitoran (sewage);

5. Annex V, berkaitan dengan pencegahan oleh sampah (garbage).

Ketentuan mengenai imunitas kapal perang dalam Konvensi MARPOL 73 diatur dalam pasal 3 ayat 3, yang bunyinya sebagai berikut:

“3. The present Convention shall not apply to any warship, naval auxiliary of other ships owned or operated by a state and use, for the time being only on government non-commercial service. However, each party shall ensure by adoption of appropriate measures not impairing the operations or oerational capabilities of such ships owned or operated by it, that such ships act in a manner consistent, so far as is reasonable and practicable, wiht the present Convention.”

Yang artinya, ketentuan konvensi ini yang berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi kapal perang, kapal bantuan,       

66

(13)

kendaraan air lainnya atau pesawat udara milik atau yang sedang dioperasikan oleh suatu negara serta digunakan, pada saai ini, hanya untuk keperluan pemerintah yang bukan bersifat komersial. Walaupun demikian, setiap negara harus menjamin dengan menetapkan tindakan-tindakan yang tepat yang tidak menghalangi operasi atau kemampuan operasional kendaraan air atau pesawat udara yang dimiliki atau dioperasikannya, bahwa kendaraan air atau pesawat udara dimaksud bertindak menurut cara yang konsisten sepanjang hal itu beralasan dan dapat dilakukan, dengan konvensi ini.

Jadi menurut ketentuan diatas, ketentuan-ketentuan dalam MARPOL 73 tidak dapat diterapkan pada kapal-kapal perang atau kapal-kapal pemerintah/negara untuk tujuan non-komersial.

B.4. Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982

Ketentuan-ketentuan mengenai mengenai imunitas kapal perang dapat ditemukan dalam beberapa pasal dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Berbeda dengan Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, yang hanya mengatur satu pasal mengenai imunitas kapal perang. Dalam Konvensi Hukum Laut Tahun 1982, imunitas kapal perang diatur dalam beberapa pasal, meliputi:

Pasal 32 Konvensi HukumLaut 1982, yang bunyi pasalnya sebagai berikut:

“ Whit such exception as are contained in subsection A and in articles 30 and 31, nothingin this Convention affects the immunities of warships and other government ships operated for non-commercial purposes.”

(14)

mengurangi kekebalan kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial.

Pasal 95 Konvensi Hukum Laut 1982, yang berbunyi :

“Warships on the high seas have complete immunity from the jurisdiction of any state other than the flag state.”

Artinya adalah, kapal perang di laut lepas memiliki kekebalan penuh terhadap yuridiksi negara manapun selain negara bendera.

Pasal 236 Konvensi Hukum Laut 1982, yang berbunyi:

“The Provisions of this Convention regarding the protection and preservation of the marine environment do not apply to any warships, naval auxiliary, other vessels or aircraft owned or operated by a state and use, for time being, only on government non-commercial service. However, each state shall ensure, by the adoption of appropriate measures not impairing operations or operational capabilities of such vessels or aircraft owned or operated by it, that such vesels or aircraft act in a manner consistent, so far as is reasonable and practicable, with this Convention.”

(15)

C. Pengaturan Lintas Pelayaran Kapal Perang Dalam Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982

Hukum laut internasional merupakan ketentuan hukum internasional yang paling besar dan terpenting bagi masyarakat dunia internasional. Hal tersebut dapat diketahui dan terefleksikan dari kayanya traktat-traktat hukum, hukum-hukum kebiasaan dan yurisprudensi-yurisprudensi yang berkaitan dengan subyek ini.67

Permasalahan yang menyangkut hukum laut begitu luas. Konvensi Hukum Laut 1982 sebagai kodifikasi hukum laut internasinal pada dasarnya berusaha memberikan pengaturan mengenai hukum laut secara komprehensif, dengan kata lain secara luas dan menyeluruh, meliputi semua obyek hukum laut, termasuk dalam hal ini ketentuan-ketentuan mengenai kapal perang.

Berkaitan dengan pengaturan lintas pelayaran kapal perang pada masa damai dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982, dibedakan pengaturannya atas lima rezim hukum sebagai berikut:68

1. Pengaturan lintas kepal perang melalui wilayah perairan pedalaman; 2. Pengaturan lintas pelayaran kapal perang melalui wilayah laut teritorial; 3. Pengaturan lintas pelayaran kapal perang melalui selat-selat internasional; 4. Pengaturan lintas pelayaran kapal perang melalui wilayah perairan laut

negara kepulauan;

5. Pengaturan lintas pelayaran kapal perang melalui laut bebas.       

67

M. Dixon dan R. McCorquodale, Cases and MNaterials on International Law, 2nd Ed., London: BlackstonePress Ltd, 1988 hal. 406.

68

(16)

C.1. Melalui Perairan Pedalaman

Sejak dahulu adalah sudah merupakan kebiasaan internasional bahwa negara pantai mempunyai yurisdiksi penuh atas perairan pedalamannya sama dengan wilayah teritorial darat dan udaranya.

Konvensi Hukum Laut tahun 1982 memberikan pengertian perairan pedalaman sebagai berikut :

“1. Except as provided in part IV, waters on the landward side of the baseline of the territorial sea form part of the internal waters of the state.”69

Dari definisi tersebut diatas, maka yang dimaksudkan dengan perairan pedalaman meliputi seluruh wilayah perairan yang berada pada sisi dalam garis pangkal (baseline) laut teritorial. Dalam hal ini teluk, muara sungai, pelabuhan dan perairan lain yang letaknya berada di sisi dalam garis pangkal (baseline) laut teritorial adalah merupakan perairan pedalaman.

Setiap kapal-kapal asing yang berada di perairan pedalaman tunduk sepenuhnya atas yurisdiksi negara pantai. Tidak ada hak lintas pelayaran kapal asing di dalamnya,dengan kata lain bagi kapal-kapal asing yang bermaksud memasuki wilayah perairan pedalaman negara lain harus terlebih dahulu mendapatkanizin dari negara pantai, dan dalam hal kapal perang asing diperlukan izin khusus dari negara pantai, kecuali dalam hal apabila suatu kapal asing tersebut dalam keadaan mengalami kesulitan atau force majeure,dalam kaitannya terhadap perrairan pedalamanyang terjadi sebagai akibatpenarikan garis pangkal

      

69

(17)

lurus sebagaimana diatur dalam pasal 7 Konvensi hukum laut 198270, dan bila diantara negara kapal perang asing dan negara pantai telah terdapat perjanjian bilateral dan multilateral.

Ketika memasuki wilayah perairan pedalaman negara lain, kapal-kapal asing menempatkan diri mereka dalam kekuasaan teritorial negara pantai. Oleh karenanya negara pantai berhak untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukumnya terhadap kapal dan orang-orang yang berada diatas kapal tersebut, pengecualian dari ketentuan-ketentuan umum ini adal;ah dalam hal kaitannya dengan imunitas negara dan imunitas diplomatik, dimana hal tersebut pada umumnya dimiliki kapal-kapal pemerintah/negara, termasuk kapal-kapal perang.71

Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 menetapkan lebar laut teritorial tersebut tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal/baseline.72 Setiap negara memiliki kedaulatan atas laut teritorialnya, sebagaimana halnya atas ruang udara diatasnya, serta dasar laut dan tanah dibawahnya,73 akan tetapi dibatasi oleh berlakunya hak lintas lintas damai (rigt of innocent passage) bagi setiap kapal-kapal asing yang merupakan hak yang dimiliki oleh setiap negara.74 Pengertian setiap kapal disini artinya tentu termasuk kapal perang.

Pengaturan lintas pelayaran melalui laut territorial dimuat dalam Section III. Section III ini terdiri atas tiga Subsection, yakni :

1. Subsection A berisi “Rules Applicable to All Ships” (pasal 17 s/d pasal 26)

      

70

Pasal 8 ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982

71

A.V. Lowe dan R.R. Churchill, Op. Cit., hal 54

72

A.M. Muhjiddin, Op. Cit., hal. 106

73

Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982

74

(18)

2. Subsection B berisi “Rules Appllicable to Merchant Ships and

Government Ships Operated for Commercial Purposes” (pasal 27 dan

pasal 28)

3. Subsection C berisi “Rules Applicable to Warships and Other Government

Ships Operated for Non-Commercial Purposes” (pasal 29 s/d pasal 32) Pembagian tersebut diatas pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembagian dalam Konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958. Namun pada Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut, perumusannya menjadi lebih jelas dan lebih luas jangkauan pengaturannya.

Pengertian dari lintas (passage) menurut Konvensi Hukum Laut 1982 adalah navigasi (pelayaran) melalui laut teritorial untuk keperluan:

a. hanya untuk melintas tanpa memasuki perairan pedalaman; b. singgah di dermaga di luar perairan pedalaman;

c. ke atau dari perairan pedalaman;

d. singgah di dermaga/fasilitas pelabuhan yang lain.75

Dihubungkan dengan definisi “lintas” yang termuat dalam pasal 14 ayat 2 dan 3 Konvensi Hukum Jenewa tahun 1958, maka definisi lintas yang diatur dalam pasal 18 tersebut lebih lua karena ada penambahan penyebutan dermaga

(roadstead) di luar perairan pedalaman untuk melengkapi perumusan-perumusan

dalam konvensi-konvensi sebelumnya.

Lintas (passage) harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. Jadi tidak termasuk berhenti atau buang jauh, kecuali apabila berhenti atau buang

      

75

(19)

sauh terjadi karena mengalami keadaan bencana atau force majeure atau untuk maksud pembierian pertolongan kepada orang, kapal atau peawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau mendapat bencana.76

Menurut pasal 19 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 suatu lintas dinyatakan sebagai lintas damai, apabila lintas tersebut tidak membahayakan perdamaian, ketertiban dan keamanan dari negara pantai (not prejudicial to the peace, good order and security of the coastal state).

Tindakan-tindakan apa saja yang termasuk sebagai membahayakan perdamaian, ketertiban dan keamanan negara pantai, yang tidak terjawab dalam konvensi-konvensi sebelumnya, terjawab dan eijelaskan dalam paal 19 ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982.

Selanjutnya dalam Konvensi Hukum Laut 1982 diatur mengenai keharusan kapal selam untuk melakukan navigasi diatas permukaan air dan menunjukan benderanya.77

Disamping itu, kapal-kapal yang bertenaga nuklir/yang mengangkut nuklir atau bahan lain yang berbahaya, apabila melaksanakan hak lintas damai melalui laut territorial harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang titetapkan oleh perjanjian internasional bagi kapal demikian.78

Berbeda dengan kapal dagang/kapal pemerintah yang dipergunakan untuk tujuan dagang, dimana terhadapnya selama berada di wilayah laut territorial suatu negara berlaku yurisdiksi kriminal dan sipil dari negara pantai, maka tidak

      

76

Pasal 18 ayat (2) Konvensi Hukum Laut tahun 1982

77

Pasal 20 Konvensi Hukum laut tahun 1982

78

(20)

demikian halnya bagi kapal perang dimana yurisdiksi kriminal dan sipil tidak berlaku terhadapnya.

Apabila suatu kapal perang tidak mematuhi hukum dan peraturan yang dikeluarkan negara pantai mengenai lintas damai di wilayahnya dan mengabikan permintaan untuk mematuhinya, negara pantai dapat meminta kapal perang itu segera meninggalkan laut territorialnya dengan segera.79

Selain itu Konvensi Hukum Laut tahun 1982 juga memuat ketentun yang mengatur mengenai tanggung jawab kapal perang sebagai akibat tidak ditaatinya peraturan perundang-undangan negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial.80 Pertanggungjawaban seperti ini diperlukan untuk tetap menjaga hubungan baik antar negara dalam lingkup pergaulan internasional.

Menurut pasal 31 tersebut, bukanlah sebagai pengecualian dari imunitas sebagaimana yang tercantum dalam pasal 32 Konvensi Hukum Laut 1982, melainkan merupakan akibat hukum dari kenyataan bahwa kapal-kapal perang merupakan perangkat kedaulatan atau sebagai alat militer dan politik dari negara bendera, yang walaupun memiliki imunitas dari yurisdiksi negara pantai, akan tetapi dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak lintas damai ia tidak dapat mengelak dari keharusan mentaati peraturan negara pantai dan ketentuan-ketentuan konvensi tentang hak lintas damai terebut.

      

79

Pasal 30 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

80

(21)

C.2. Melalui Wilayah Laut Teritorial

Kapal perang untuk maksud Konvensi Hukum Laut 1982, adalah suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memamkai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira, yang diangkat oleh pemerintah Negaranya dan namanya terdaftar dinas militer yang tepat atau daftar yang serupa yang diawasi oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.

Dalam melakukan lintas damai di laut teritorial suatu Negara, apabila suatu kapal perang tidak mentaati dan tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara pantai mengani lintas damai yang disampaikan kepadanya, Negara pantai dapat menuntut kapal perang itu meninggalkan laut teritorialnya. Negara bendera memikul tanggung jawab internasional untuk setiap kerugian yang diderita Negara sebagai akibat tidak dipatuhinya peraturan perundang-undangan Negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorial yang dilakukan oleh kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non komersial (lihat pasal 30 dan 31 Konvensi Hukum Laut 1982).81

Adapun peraturan perundang-undangan yang dibuat Negara pantai sehubungan dengan lintas damai bagi kapal asing di laut teritorial sesuai dengan Konvensi ini dan hukum internasional lainnya mengenai setiap hal berikut : (a) Keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim

(b) Perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas instalasi lainnya

      

81

(22)

(c) Perlindungan kabel bawah laut (d) Konservasi kekayaan hayati laut

(e) Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan Negara pantai

(f) Pelestarian lingkungan Negara pantai dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemarannya

(g) Penelitian ilmiah kelautan dan survey hodrografy

(h) Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter Negara pantai

Dalam hal ini Negara pantai harus mengumumkan semua peraturan perundang-undangan tersebut. Dan bagi kapal asing harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan demikian dan juga semua peraturan internasional bertalian dengan pencegahan tubrukan di laut yang diterima secara umum. Bahkan apabila perlu dengan memperhatikan keselamatan pelayaran atau navigasi, kapal asing yang melakukan pelayaran di laut teritorialnya, dapat diwajibkan untuk mempergunakan alur laut dan skema pemisah lalu lintas sebagaimana yang ditetapkan dan yang harus diikuti untuk pengaturan lintas kapal (lihat pasal 21 dan 22 Konvensi Hukum Laut 1982).

(23)

manapun. Untuk keselamatan pelayaran, Negara pantai harus secepatnya mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang diketahuinya.

Selanjutnya mengenai hak perlindungan bagi keamanan Negaranya, Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlakukan untuk mencegah lintas yang tidak damai di laut teritorialnya. Negara pantai juga berhak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal ke perairan pedalaman atau ke persinggahan demikian. Tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata di antara kapal, Negara pantai dapat menangguhkan sementara pada daerah tertentu di laut teritorialnya untuk perlindungan keamanannya termasuk keperluan latihan senjata. Penangguhan ini berlaku setelah diumumkan terlebih dahulu. (Pihat pasal 25 Konvensi Hukum Laut 1982)

Di dalam pasal 26 menyatakan, tidak ada pungutan biaya yang dapat dibebankan pada kapal asing yang melakukan lintas damai di laut teritorial oleh suatu Negara pantai. Kecuali pungutan dapat dibebankan hanya untuk pembayaran khusus dan dalam pemungutan ini dibebankan tanpa diskriminasi.

C.3. Melalui Wilayah Selat-selat Internasional

Wilayah perairan yang brupa selat yang dipergunakan untuk perlayaran internasional yang terjadi karena perubahan lebar laut teritorial menjadi 12 mil, berubah statusnya menjadi berada dibawah kedaulatan negara yang berbatasan dengan selat tersebut.82

      

82

(24)

Dalam selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional di antara satu bagian laut bebas atau Zona ekonomi Eksklusif (ZEE), setiap kapal termasuk kapal perang dan pesawat udara menikmati hak lintas transit “transit passage” yang tidak dihalang-halangi (shall not be impeded).

Namun demikian jika selat tersebut terbentuk oleh suatu pulau dan daratan utama dari suatu pulau dan daratan utama dari suatu negara maka ketentuan mengenai hak lintas transit tidak berlaku. Pengecualian lainnya yakni apabila ada rute lain yang melewati laut bebas atau ZEE dengan kenyamanan yang sama dalam kaitannya dengan karakteristik hidgorafi dan pelayaran.83

Pengertian lintas transit (Transit passage) adalah kebebasan untuk melakukan pelayaran dan penerbangan semata-mata untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung, dan secepat mungkin antara satu bagian laut bebas atau ZEE ke bagian lain dari laut bebas atau ZEE. Namun demikian, hal tersebut tidak mempengaruhi lintas pelayaran yang dilakukan melewati selat dengan tujuan memasuki meninggalkan atau kembali dari negara yang berbatasan dengan selat tersebut yang tunduk kepada syarat-syarat untuk memasuki negara tersebut.84

Kewajiban dari setiap kapal atau pesawat udara yang melakukan hak lintas transit, meliputi :

1. Lewat dengan cepat melalui atau di atas selat;

2. Menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara yang berbatasan selat, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-      

83

Pasal 37 dan 38 ayat (1) Konvensi Hukum Laut tahun 1982

84

(25)

asas hukum internasional yang tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;

3. Menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus menerus langsung dan secepat mungkin dalam cara normal kecuali diperlukan karena force majeure atau karena kesulitan.

Setiap kapal dari negara asing yang melakukan lintas transit (transit passage) harus mematuhi hukum danpperaturan dari negara pantai. Jika hal terebut dilanggar, negara bendera kapal harus bertanggung jawab terhadap setiap kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan terhadap negara yang berbatasan dengan selat.85

Kewajiban dari negara-negara pantai yang berbatasan dengan selat intrnasional, yaitu :

a. Tidak menghalangi hak linta transit;

b. Memberikan pengumuman tentang adanya bahaya terhadap pelayaran di seluruh bagian selat;

c. Tidak boleh ada penangguhan lintas transit.

Hal tersebut diatas merupakan perbedaan antasra lintas transit dengan lintas damai karena dalam lintas damai diperkenankan adanya penundaan.

Ketentuan mengenai lintas damai berlaku pula terhadap selat-selat internasional, yaitu yang menurut ketentuan pasal 38 ayat 1, dikecualikan dari pelaksanaan rezim lintas transit; atau selat internasional yang terletak antar bagian laut lepas atau suatu zona ekonomi eksklusif dan laut territorial suatu negara asing.

      

85

(26)

Namun demikian satu hal yang perlu dicatat, meskipun berlaku lintas damai melalui selata-selat demikian tersebut, tidak berarti negara pantai boleh menunda atau menghalangi lintas damai di selat internasional.

Sementara itu dalam kaitannya dengan hak lintas pelayaran kapal selam di selat-selat internasional, dikarenakan tidak adanya ketentuan yang secara jelas yang mengatur mengenai apakah kapal selam diharuskan berada di permukaan air pada saat melaksanakan lintas transit, akibatnya terdapat perbedaan penafsiran di antara negara-negara. Negara-negara maritim besar yang memiliki kepentingan atas armada lautnya agar bebas bergerak menganggap yang dimaksud “normal

mode” pada pasal 39 ayat 1 (C) adalah tidak termasuk kewajiban untuk berada

diatas lpermukaan dan menunjukkan bendara kapal, sementara negara-negara pantai beranggapan sebaliknya.

Namun demikian apabila kita merujuk pada tujuan penggunaan dari kapal selam adalah untuk pelayaran dibawah air, maka terhadap arti kata “normal

mode” tersebut, seharusnya dapat dibenarkan apabila kapal selam berlayar di

bawah air, meskipun hal tersebut harus tetap memperhatikan kondisi geografis, densitas lalu lintas dan faktor keselamatan tidak memungkinkan atau adanya ketentuan yang mengharuskannya.

C.4. Melalui Wilayah Perairan Negara Kepulauan

Yang dimaksud dengan negara kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau ebih kepulaua dan dapat mencakup pulau-pulau lain.86

Pengertian “kepulauan” itu sendiri adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan lain-lain wujud alamiah yang

      

86

(27)

hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.

Kedaulatan dari suatu negara kepulauan meliputi perairan yang tercakup dalam garis pangkal yang disebut perairan kepulauan tanpa memperhitungkan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Kedaulatan tersebut meliputi pula ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta sumber-sumber alam yang terkandung dibawahnya.87

Setiap kapal, termasuk kapal-kapal perang, menikmati hak lintas alur laut kepulauan di wilayah perairan kepulauan yang merupakan alur laut kepulauan88, dan menikmati hak lintas damai di wilayah perairan kepulauan di luar lalur laut kepulauan.89

Yang dimaksud dengan lintas alur laut kepulauan adalah pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi ini dalam cara normal semata-mata untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut bebas atau zona Ekonomi Eksklusif dan bagian laut bebas atau Zona Ekonomi Ekskusif lainnya.90

Menurut pasal 53 ayat 5 Konvensi Hukum Laut 1982 disebutkan bahwa alur laut dean rute udara harus diartikan sebagai rangkaian dari garis sumbu yang bersambungan mulai dari tempat masuk rute llintas hingga tempat ke luar. Kapal dan pesawat udara yang melakukan lintas melalui alur laut kepulauantideak boleh

      

87

Pasal 46 butir (b) Konvensi Hukum Laut tahun 1982

88

Pasal 53 ayat 2 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

89

Pasal 52 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

90

(28)

menyimpang lebih daripada 25 mil laut ke dua sisi garis sumbu demikian, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau berbang dekat ke pantai kurang dari 108 jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau perbatasan dengan alur laut tersebut.

Jadi misalnya alur laut kepulauan tersebut lebarnya 50 mil, maka kapal atau pesawat udara diperbolehkan menyimpang tidak lebih dari 15 mil ke tia sisi dari garis sumbu.

Selain menentukan alur laut, negara kepulauan juga dapat menentukan skema pemisah lalu lintas (Traffic Separation Schemes) untuk keperluan keamanan pelayaran lintas kapal, dan apabila keadaan menghendaki, setelah mengadakan pengumuman sebagaimana mestinya,dapat mengganti alur/skema pemisah lalu lintas terebut.91

Alur laut dan skema pemisah lalu lintas tersebut harus sesuai dengan peraturan internasional.92 Dalam menentukan atau mengganti skema pemisah lalu lintas, negara kepualauan harus mengajukannya kepada organisasi internasional yang berwenang.93

Apabila suatu negara kepulauan tidak menentukan alur laut atau rute penerbangan, maka hak lintas alur laut kepulauan dapat di laksanakan melalui rute yang biasa digunakan untuk pelayaran internasinal.94

Hak lintas alur laut kepulauan apabila dilihat dari substansinya pada hakekatnya identik dengan hak lintas transit yang terdapat di selat internasional.95

      

91

Pasal 53 ayat 1, 6 dan 7 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

92

Pasal 53 ayat 8 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

93

Pasal 53 ayat 9 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

94

(29)

C.5. Melalui Wilayah Laut Bebas

Laut Bebas adalah terbuka untuk semua negara, baik negara pantai atau tidak berpantai. Kebebasan laut bebas menurut Konvensi Hulum Laut 1982, meliputi :

a. kebebasan berlayar; b. kebebasan penerbangan;

c. kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut;

d. kebebasan untu membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasinal;

e. kebebasan menangkap ikan; f. kebebasan riset ilmiah.96

Namun demikian kebebasan tersebut diatas, juga dengan memperhatikan kepentingan negara lain97, dan melaksanakan kedaulatannya di laut bebas.98

Setiap kapal, termasuk kapal perang menikmati kebebasan berlayar di laut bebas99, kebebasan berlayar tersebut bagi kapal-kapal perang adalah termasuk melakukan manuver-manuver, latihan-latihan perang,uji coba senjata dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan militr lainnya di laut.100 Meskipun demikian dalam pasal 88 dijelaskan pula bahwa negara-negara dalam menikmati kebebasan laut bebasnya tersebut harus dimaksudkan untuk tujuan-tujuan damai.

       

95

Lihat Pasal 54 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

96

Pasal 87 ayat 1 Konvensi Hukum Laut thaun 1982

97

Pasal 87 ayat 2 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

98

Pasal 89 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

99

Pasal 90 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

100

(30)

Dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982 juga disebutkan mengenai sejumlah hak dan kewajiban kapal perang di laut bebas. Hak-hak tersebut antara lain meliputi : hak melakukan penyitaan karena perompakan/bajak laut101; hak melakukan pemeriksaan (right of visit)102 terhadap setiap kapal di laut bebas yang diduga terlibat dalam perompakan/bajak laut, perdagangan budak, penyiaran gelap, dan terhadap kapal tanpa kebangsaa; dan hak pengejaran seketika (hot pursuit).103 Sementara itu berkaitan dengan kewajiban kapal perang disebutkan; kewajiban setiap kapal memberikan bantuan terhadap kapal yang sedang membutuhkan pertolongan104, kewajiban berlayar dibawah satu bendera kapal105, dan kewajiban memiliki kelaian ketika kapal akan berlayar.106

Sementara itu berkaitan dengan pelaksanaan hak kebebasan berlayar bagi kapal perang tersebut,beberapa negara maritim besar (antara lain Amerika serikat, Uni Sovyet sekarang Rusia, dan Inggris) mengambil inisiatif dengan menghasilkan perjanjian bilateral mengenai pencegahan terjadinya insiden antar kapal perang dari angkatan laut masing-masing negara maritim besar tersebut, di luar laut territorial khususnya di laut bebas. Perjanjian bilateral dengan nama”The

Agreement on The Prevention of Incidents on and Over the High Seas”, antara

Amerika serikat dengan Uni Sovyet ditandangani pada tahun 1972, yang kemudian disusul dengan protokolnya pada tahun 1973. Sementara perjanjian yang sama ditandatangani antara Uni Sovyet dan Inggris pada tahun 1986.107

      

101

Pasal 107 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

102

Pasal 110 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

103

Pasal 11 ayat 5 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

104

Pasal 98 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

105

Pasal 92 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

106

Pasal 94 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

107

(31)

Perjanjian bilateral yang dikenal dengan nama INCSEA ( Incidents at Sea)

tersebut beri ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban kapal-kapal perang dan atau pesawat udara masing pihakuntuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan terjadinya tabrakan antar kapal perang dengan cara mematuhi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam “Konvensi Mengenai Pengaturan Pencegahan Tabrakan Antar Kapal di Laut tahun 1972”, dikenal dengan nama

COLREG 1972 (The International Regulations for Preventing Collisions at Sea),

(32)

BAB IV

PEMBAHASAN ATAS MASALAH IMUNITAS DAN PENGATURAN LINTAS PELAYARAN KAPAL PERANG

PADA MASA DAMAI

A. Masalah Imunitas Kapal Perang Dan Pelanggaran Terhadap Integritas Politik dan Nasional Negara Pantai

Setiap negara yang berdaulat sudah pasti tidak menginginkan integritas politik dan nasional negaranya dilanggar oleh negara lain, karena hakekat berdirinya suatu negara itu adalah untuk memiliki kedaulatan secara penuh atas seluruh wilayah beserta isinya, bebas dari kontrol negara lain.

Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang merupakan ketentuan hukum internasional yang mengatur mengenai pemanfaatan laut secara komprehensif menekankan pentingnya menghormati kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekatan politik setiap negara di dunia. Hal tersebut tercermin dalam beberapa ketentuannya yang secara tegas melarang setiap negara untuk melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara lain.

Dalam ketentuan pasal 19 ayat 2 butir a disebutkan bahwa setiap kapal dianggap melakukan lintas tidak damai apabila melakukan:

“(a) any threat or use of force against the sovereignty, territorial integrity or political independence of the caoastal state, or in any other manner in violation of the principles of international law embodied in the charter of the United Nations.”

Yang artinya, setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain

 

(33)

apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Selanjutnya dalam pasal 39 ayat 1 butir b disebutkan mengenai kewajiban setiap kapal dan pesawat udara sewaktu lintas trnsit untuk :

“(b) refrain from any threat or use of force against the sovereignty territorial integrity or political independence of state bordering the strait, or any other manner in violation in principles of international law embodied in the charter of the United National.”

Yang artinya, menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara yang berbatasan dengan selat, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas hukum internasional yang tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Hal yang sama juga berlaku dalam ketentuan pasal 54 mengenai hak lintas alur aut kepulauan dan pasal 301 mengenai penggunaan laut untuk maksud-maksud damai.

Jadi meskipun setiap kapal termasuk kapal perang memiliki hak-hak berlayar yang dilindungi oleh ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, terdapat pula kewajiban untuk menghormati integritas politik dan nasional negara pantai.

(34)

negara-negara maritim besar yang menghendaki kebebasan dan nkelancaran pelayarannya melalui wilayah perairan negara lain untuk berbagai keperluan, termasuk untuk kepentingan mobilitas armada kapal perangnya.

Sementara itu, sebagaimana telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, adalah merupakan ketentuan hukum internasional yang sejak lama telah ada yang menyatakan bahwa kapal perang memiliki imunitas/kekebalan dari proses hukum, eksekusi dan tindakan-tindakan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan yurisdiksi negara selain negara bendera kapal perang. Dalam Konvensi Hukum laut tahun 1982 ketentuan-ketentuan mengenai imunitas kapal perang tersebut tercantum dalam pasal 32, pasal 95 dan pasal 236.

Yang menjadi persoalan kemudian bagaimanakah apabila kapal perang suatu negara melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara lain yang berarti juga melakukan lintas tidak damai dan atau tidak melaksanakan kewajiban yang seharunya dilakukan pada waktu lintas transit atau lintas alur laut kepulauan. Sementara itu kapal perang memiliki imunitas, yang artinya negara yang dilanggar tentu tidak dapat melaksanakan yurisdiksi yang dimilikinya terhadap kapal perang yang melakukan pelanggaran tersebut.

(35)

lain. Artinya tindakan tersebut bisa bersifat sangat lunak, bisa juga bersifat sangat keras.

Apabila dikaitkan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh kapal perang, maka ltindakan yang sangat lunak tersebut kiranya dapat ditafsirkan dalam bentuk meminta kapal perang yang melanggar untuk segera meninggalkan perairan teritorial negara pantai108, yang dapat pula disertai dengan pernyataan protes melalui saluran diplomatik.

Ketentuan dalam pasal 30 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 tersebut pada hakekatnya adalah merupakan suatu bentuk metode konvensional yang diberikan oleh Konvensi Hukum Laut 1982 bagi negara-negara pantai untuk mengatasi masalah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal perang asing di wilayah perairan laut teritorialnya. Ketentuan ini akan akan cukup efektif untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran yang bersifat ringan seperti pelanggaran terhadap tidak dipatuhinya hukum dan peraturan negara pantai, mengenai navigasi misalnya.109

Sementara itu terhadap pelanggaran-pelanggaran yang lebih besar eskalasenya seperti pelanggaran terhadap intergritas politik dan nasional, negara lain, tentu tidak cukup dengan hanya meminta kapal perang negara yang melanggar untuk dengan segera meninggalkan wilayah negara yang dilanggar.

Menurut ketentuan hukum internasional klasik, suatu negara yang kedaulatannya dilanggar oleh negara lain dapat melakukan sejumlah tindakan bersifat non-yuridis terhadap negara yang melanggar kedaulatannya. Tindakan ini       

108

Pasal 30 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

109

(36)

dalam hukum internasional dikenal dengan hak pembelaan diri atau “self

defence”. Dalam hukum ternasional hak pembelaan diri tersebut ada meskipun

pelanggaran yang dilakukan bukan merupakan suatu serangan bersenjata/ “armed

attack” dan pelanggaran yang dilakukan tersebut tidak harus merupakan suatu

agresi, bahkan ada juga yang berpendapat bahwa hak bela diri sepenuhnya berhubungan dengan tindakan yang bertujuan menghentikan pelanggaran memasuki wilayah negara lain tanpa izin. Oleh karena itu terkait dengan hakekat/sifat pengoperasian kapal perang itu sendri, maka pertimbangan penggunaan prinsip pembelaan diri menjadi sangat terkait erat.

Aturan yang secara normal perlu dipenuhi mengenai penggunaan ketentuan hak pembelaan diri adalah adanya prinsip dasar bahwa penggunaan tindakan tersebut dilakukan atas dasar “necessary” atau keperluan, suatu kondisi yang timbul dari sebab/keadaan yang menyebabkan diperlukannya tindakan pembelaan diri dan aturan edua yang juga wajib untuk dipenuhi adalah bahwa tindakan tersebut harus dilakukan secara “proportional” atau seimbang, seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan.110

Namun demikian perlu juga diingat untuk mencegah adanya tuntutan dari negara yang ditindak setelah dilakukannya tindakan pembelaan diri, bahwa “tindakan berlebihan” telah dilakukan dan guna mencegah akibat dari tindakan tersebut menjadi konflik dalam eskalasi yang lebih besar, sebelum dilaksanakannya tindakan tersebut negara yang dilanggar kiranya wajib terlebih dahulu melakukan verifikasi apakah kapal perang tersebut memasuki wilayah

      

110

(37)

karena mengalami kesulitan atau oleh karena sebab lain. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan peringatan sebelum langkah terakhir yaitu tindakan pembelaan diri terhadap kapal perang yang diduga melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara pantai dilakukan.

Yang dimaksud dengan imunitas dalam hukum internasional adalah bahwa seseorang atau suatu obyek itu dikecualikan dari yurisdiksi pengadilan lokal dan atas segala tindakan yang dilakukan oleh pihak berwenang negara lain. Imunitas yang dimiliki oleh kapal perang bersifat absolut atau mutlak, yang artinya dengan kata lain tidak ada jelan sedikitpun untuk membawa kapal perang ke hadapan forum hakim nasional negara lain.

Akan tetapi hal tersebut tidak brarti bahwa negara yang dilanggar tidak dapat berbuat sesuatu sama sekali ketika wilayah teritorialnya dilanggar oleh sebuah kapal perang negara lain. Negara pantai yang dilanggar dapat melakukan tindakan-tindakan yang diakui oleh hukum internasional, tindakan-tindakan tersebut dapatberupa meminta kapal

(38)

pembelaan diri atau ”self defence”, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 51 Piagam PBB, apabila pelanggaran yang dilakukan dirasakan telah mengancam danelanghgar integritas politik dan nasional negara pantai.

Terhadap imunitas yang dimiliki oleh sebuah kapal perang bersandar prinsip “par in parem non habet imperium”, yang artinya tidak ada satu negara yang dapat n\mengadili negara lainnya. Dan dalam kaitannya dengan masalah pelanggaran yang dilakukan kapal perang terhadap integritas politik dan nasional negara pantai, maka pengadilan lokal negara pantai dianggap tidak pantas untuk menyelidiki apakah benar suatu kapal perang melakukan pelanggaran terhadap integritas politik dan nasional negara pantai. Selain itu pengadilan lokal negara pantai juga tidak didesain untuk mengadili permasalahan antar negara, karena masalah antar negara lebih tepat untuk diselesaikan oleh hukum internasional.

B. Masalah Imunitas Kapal Perang Berkaitan Dengan Ketentuan-ketentuan Pencemaran di Laut

Salah satu dari sumber pencemaran di laut adalah diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kapal-kapal.

(39)

jenisnya, pasti akan mencemari laut apabila mereka membuang sampahnya ke laut atau apabila kapal tersebut melepaskan secara langsung limbah kotorannya ke dalam laut tanpa diolah terlebih dahulu.

Sementara itu sumber pencemaran terbesar dari kegiatan-kegiatan kapal adalah berasal dari kargo yang mereka angkut. Minyak adalah komoditi yang paling umum, selain itu kargo-kargo lain yang berbahaya karena dapat mencemari laut adalah antara lain; bahan-bahan kimia, LPG cair, dan bahan-bahan radioaktif.

Ada dua ketentuan hukum internasional yang meruakansumber utama dalam rangka pengaturan masalah pencemaran laut yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal, yang pertama adalah Konvensi Hukum Laut 1982 dan yang kedua adalah International Convention for The Prevention of Pollution from Ship tahun 1973 yang lebih dikenal dengan MARPOL Convention (Marine Pollution), ketentuan ini dilengkapi dengan Protokol tahun 1978. Oleh karena itu ketentuan hukum internasional ini dikenal dengan nama MARPOL 73/78.

Namun demikian sangat disayangkan kedua ketentuan hukum internasional utama mengenai pencemaran laut oleh kegiatan kapal tersebut hanya berlaku terhadap kapal-kapal dagang dan kapal-kapal umum lainnya dan tidak terhadap kapal perang dan kapal-kapal negara lainnya.111 Hal ini dikarenakan di dalam kedua ketentuan tersebut terdapat ketentuan yang mengecualikan keberlakuannya terhadap kapal-kapal negara/pemerintah dan kapal-kapal perang. Padahal banyak survey menunjukan bahwa kapal-kapal perang dan kapal-kapal

      

111

Jeffrey S. Dehner, Vessel Source Pllution and Public Vessels; Sovereign Immunity V. Compliance, Implications for International Environmental law,

(40)

negara/ pemerintah turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan pencemaran di laut yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal.

Setidaknya sejumlah angkatan laut di dunia dengan kira-kira 771.500 orang anggota awaknya setiap tahun berlayar ldi laut, menghasilkan lebih dari 74.000 ton sampah per tahunnya. Amerika Serikat sebagai salah satu negara maritim besar di dunia yang memiliki lebih dari 2000 kapal, termasuk 600 kapal perang dengan jumlah anggota awak kira-kira 300.000 orang, pada tahun 1993, menghasilkan setidaknya lebih dari 63.356 ton sampah per tahun, hal tersebut baru terhitung hanya untuk sampah yang dibuang di perairan domestik saja.112 Ketentuan mengenai masalah perlindungan lingkungan laut diatur oleh Konvensi Hukum, Laut tahun 1982 di dalam Bab XII, khususnya Bagian 5 yang berjudul “Peraturan-peraturan Internasional dan Perundang-undangan Nasional untuk Mencegah, Mengurangi dan Mengendalikan Pencemaran Lingkungan Laut.” Bagian ini mengatur mengenai pencemaran laut yang berasal dari daratan,113 yang berasal dari kegiatan-kegiatan di kawasan dasar laut114, yang berasal dari dumping115, dan yang berasal dari kegiatan-kegiatan kapal.116

Khusus berakitan dengan perlindungan lingkungan laut dari pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal, pasal 211 Konvensi Hukum Laut 1982 menerangkan bahwa “negara-negara akan menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dan standar-standar internasional untuk mencegah, mengurangi dan

      

112

Ibid.

113

Pasal 207 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

114

Pasal 208 dan 209 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

115

Pasal 210 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

116

(41)

mengontrol pencemaran terhadap lingkungan laut yang diakibatkan oleh kegiatan-kegiatan kapal.”

Kemudian dalam beberapa pasal berikutnya dijelaskan bahwa pemaksaan pentaatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum dan standar-standar hukum internasional tersebut dilaksanakan oleh negara-negara pantai117, negara-negara pelabuhan118, dan negara-negara bendera kapal.119

Ketentuan-ketentuan yang kiranya cukup baik tersebut menjadi tidak cukup efektif dikarenakan adanya ketentuan yang mengecualikan keberlakuannya terhadap kapal perang untuk mematuhinya. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 236 yang menyatakan bahwa kapal perang dan kapal pemerintah yang digunakan untuk tujuan non-komersial, dikecualikan dari ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Meskipun dalam lanjutan bunyi kalimat pasal 236 dijelaskan mengenai jaminan negara untuk mengambil tindakan-tindakan, sepanjang beralasan dan dapat dilakukan, agar kepal perang mentaati ketentuan-ketentuan dalam konvensi.

Kedua ketentuan tersebut diatas adalah merupakan ketentuan mengenai imunitas negara. Meskipun dalam kedua ketentuan tersebut juga dilengkapi dengan klausul “itikad baik” yang menyatakan bahwa negara-negara akan menjamin untuk mengambil tindakan-tindakan, sepanjang beralasan dapat dilakukan, agar kepal perangnya mentaati ketentuan-ketentuan dalam konvensi, namun seberapa efektif klausul “itikad biaik” tersebut dapat berlaku adalah suatu       

117

Pasal 220 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

118

Pasal 218 Konvensi Hukum Laut tahun 1982

119

(42)

masalah. Apabila kita merujuk pada bunyi kalimat yang ada dalam pasal, khususnya kalimat “reasonable and practicable” yang jika diartikan “sepanjang beralasan dan dapat dilakukan” jelas ltidak memberikan petunjuk pasti mengenai seberapa besar tingkat pemaksaan yang dapat diterima.

Konsepsi imunitas negara berakar dari gagasan mengenai kedaulatan negara. Dalam konteks keberlakuan ketentuan-ketentuan hukum internasional banyak fakta menunjukan bahwa gagasan kedaulatan negara telah mengalami erosi setidaknya dalam hal-hal tertentu. Masalah kejahtan internasional, misalnya dalam kaitan tersebut gagasan kedaulatan negara telah dapat diabaikan. Contoh lainnya yang relevan, mengenai masalah huykum lingkungan internasional, kasus Troa Smelter merupakan contoh lain dari dapat diabaikannya penggunaan alasan kedaulatan negara dan menunjukan penggunaan alasan kedaulatan menjadi sesuatu gagasan yang tidak menjanjikan.

Meskipun demikian dalam konteks kepentingan-kepentingan negara atas laut dan hukum laut, persoalan kedaulatan negara menjadi sesuatu lebih rumit. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kepentingan antara negara- pantai yang menginginkan perluasan kontrol atas wilayah perairannya dan kepentingan-kepentingan negara maritim besar akan kebebasan berlayar. Selain itu apabila kita berbicara mengenai hakekat imunitas kapal perang, maka hal tersebut akan sangat terkait erat dengan kepentingan negara atas laut di bidang keamanan (security interest).

(43)

akuntabilitas, namun pada umumnya kapal perang dan kapal negara/pemerintah lainnya tetap beroperasi berdasarkan prinsip imunitas yang absolut/mutlak. Sementara itu masalah kewajibanuntuk mematuhi ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan lingkungan hidup laut adalah sesuatu yang seharunya berlaku terhadap setiap obyek hukum laut internasional.

Akan tetapi yang menjadi persoalan kemudian apakah ide-ide mengenai keamanan dalam imunitas kapal perang tersebut dapat diubah dalam rangka memaksa kapal perang mentaati ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai perlindungan lingkungan laut.

Jawabannya adalah sangatlah tidak realistis untuk memaksa kapal perang terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan tersebut, sementara diketahui adalah penting bagi kapal perang tetap mempertahankan fungsi kepentingan keamanannya.

Alasan mengapa negara-negara mengecualikan pengaturan ketentuan pasal 236 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, maupunpasal 3 ayat 3 ketentuan MARPOL 73/78 adalah karena dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam kedua konvensi tersebut, brarti negara yang meratifikai harus bersiap untuk menyesuaikan segala hal yang berkaitan dengan pengoperasian, ketahanan, pemeliharaan dan terhadap kualitas dari kapal perang, dimana hal tersebut rasanya sulit untuk dilakukan, bahkan akan membebankan, ketika kapal perang harus terbentur dengan masalah kepentingan keamanan.120

      

120

“Maritime Environmental Protection Strategy for Enhancing Neval Operations Through Ship And Equipment Design and Management Practices”,

(44)

Oleh karena itu salah satu jalan keluar yang paling tepat adalah tidak dengan menghapus imunitas yang imiliki kapal perang, akan tetapi dengan tetap mempertahankan imunitas kapal perang dalam ketentuan hukum internasional dengan memberikan wewenang mengnai pelaksanaannya pentaatan sepenuhnya kepada negara bendera kapal perang.

Cara pemaksaan pentaatan ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai perlindungan lingkungan laut khususnya terhadap kapal prang seperti tersebut diatas, telah mulai banyak dilakukan oleh beberapa negara. Amerika Serikata, misalnya telah membentuk ketentuan-ketentuanhukum nasional mengenai pencemaran laut oleh kegiatan-kegiatan kapal, yang brlaku juga terhadap kapal perang, ketentuan-ketentuan tersebut adalah implementasi dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam MARPOL 73/78.121

Usaha lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan kerjasama antara negara. Beberapa negara Eropa Barat yang tergabung dalam NATO, misalnya telah membentuk suatu kelompok kerjasama, dikenal dengan Special Working Group Twelve disingkat dengan SWG/12, kelompok kerjasama ini bertujuan mengembangkan “The Environmentally Sound Ship of The Twenty-First Century”, yaitu suatu kapal yang dapat dioperasikan dalam segala macam kondisi perairan di seluruh dunia, tanpa menimbulkan dampak yang merugikan lingkungan hidup sehingga dapat mematuhi setiap ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai lingkungan hidup yang berlaku.

      

121

(45)

Tugas SWG/12 adalah untuk mempromosikan melalui p;ertukaran informasi, pengembangan kemampuan diantara negara NATO untuk mematuhi ketentuan-ketentuan dan peraturanper-peraturan hukum internasional dan nasional yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup, dan untuk membantu melalui usaha-usaha kerjasama untuk menghasilkan kapal yang ramah lingkungan. Ada tiga bidang kerja utama yang kini dilakuan SWG/12, meliputi : 1) mengerjakan perltukaran informasi dan persiapan dokumen-dokumen; 2) melakukan identifikasi terhadap peluang kerjasama di bidang teknologi; 3) melakukan koordinasi dengan organisasi-organisasi dalam NATO lainnya.122

Mengharapkan dihapuskannya status imunitas mutlak yang dimiliki oleh kapal perang sekarang ini sepertinya akan sangat sulit untukdilakukan. Hal tersebut dikarenakan masalah status imunitas kapal perang sangat berkaitan erat dengan kepentingan negara-negara di bidang keamanan, khususnya negara maritim besar. Sehingga solusi yang paling mungkin yang dapat dilakukan adalah dengan jalan memajukan kerjasama antara negara di bidang perlindungan lingkungan laut, selain dengan terus mendorong negara-negara agar terus mengimplementasikan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya, khususnya yang berkaitan dengan pencemaran yang dilakukan oleh kegiatan-kegiatan kapal terhadap kapal perang.

      

122

(46)

C. Masalah Kontraversi Hak Lintas Damai Kapal Perang Melalui Laut Teritorial

Pertanyaan mengenai apakah kapal perang memiliki hak lintas damai telah menjadi salah satu persoalanyang paling kontroversial dari pembahasan hukum laut.123 Hukum kebiasaan internasional yang merupakan salah satu sumber hukum dari hukum laut internasional tidak mengatur hal tersebut secara konsisten, demikian pula halnya praktek negara-negara dan ketentuan-ketentuan hukum nasional di tiap negara yang saling bertentangan satu sama lain.

Sumber permasalahan mengapa hal tersebut menjadi kontroversi adalah jelas, negara-negara maritim besar (salah satu diantaranya setelah perang dunia pertama adalh Amerika serikat) mengharapkan kebebasan untuk melakukan manuver kapal perangnya secara maksimal, dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingan, sementara itu di lain pihak negara-negara lain (pada umumnya negara-negara kecil dan berkembang) menolak ke madirian kapal-kapal perang asing mendekati wilayah perairan pantainya, dalam rangka melindungi kepentingan keamanan nasionalnya.124

Pembahasan atas masalah hak lintas damai kapal perang asing melalui laut teritorial telah dimulai sejak Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930, bahkan pada masa sebelumnya.

Pembahasan mengeai pembedaan antara kapal perang dan kapal-kapal lain pada umumnya, hususnya yang bekaitan dengan hak lintas damai, mulai timbul pada awal abad ke-19. Beberapa negara pada masa itu menganggap pelaksanaan       

123

R.R. Churchill dan A.V. Lowe, Op. Cit., hal. 74

124

(47)

hak lintas damai oleh kapal perang sebagai semata-mata suatu komitas/comity

atau pengejewantahan rasa hormat antar bangsa, sehingga dapat tingguhkan, dan satu-satunya konskewnsi dari penangguhan tersebut, negara pantai hanya dianggap melakukan tindakan yang tidak bersahabat. Oleh karenanya mereka menekankan perlunya izin dan atau pemberitahuan terlebih dahulu dari negara pantai sebelum kapal perang asing dapat melaksanakan hak lintas damainya tersebut. Sebaliknya sebagian negara lain memiliki pandangan bahwa kapal perang seharusnya memiliki hak lintas damai yang semestinya tidak dfibatasi, dimana dalam prakteknya pada masa damai tidak terdapat keberatan dari negara-negara mengenai hal tersebut.125 Perbedaan antara kedua kelompok negara ini terus bertahan sepanjang Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 dan untuk setrusnya. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi kpenyebab kegagalan negara-negara untuk menentukan ketentuan yang jelas mengenai masalah hak lintas damai bagi kapal perang pada masa damai.126 Meskipun demikian Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 berhasil menghasilkan suatu kompromi diantara kedua kelompok negara yang berbeda pandangan tersebut, suatu kompromi yang akan menjadi cikal bakal dari ketentuan selanjutnya mengenai hak lintas kapal perang di wilayah laut teritorial pada masa damai.

Hal tersebut dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 12 dan pasal 13 Final Act dari Konferensi Kodifikasi Mengenai Laut Tritorial, yang berbunyi :

      

125

Ibid.

126

(48)

Pasal 12 menyatakan bahwa :

“As a generalrule, a coastal state will not forbid the passage of warships in its teritorial sea and will not require a previous authorisation or notification, (although) the coastal state has teh right to regulate the conditions of such passage.”

Yang artinya, sebagian umum Negara pantai tidak akan melarang berlalunya kapal perang di laut territorial dan tidak akan memerlukan pemberitahuan sebelumnya walaupun Negara pantai memiliki hak untuk mengatur kondisi dari bagian tersebut.

Dan pasal 13 selanjutnya menerangkan :

“if a foreign warships passing through the territorial sea does not comply with the regulations of the coastal state and disregards any request for compliance which may be brought to its notice, the coastal state may require the warships to leav the territorial sea.”

Yang artinya, jika kapal perang asing melintasi laut territorial tidak sesuai dengan peraturan Negara pesisir dan mengabaikan permintaan untuk kepatuhan sebagai pemberitahuan kepada Negara pantai dapat menuntut kapal perang untuk meninggalkan laut territorial.

(49)

Setelah kasus Selat Corfu yang adalah merupakan cause celebre, dengan menggunakan kasus Selat Corfu tersebut sebagai precedent dan hasil dari Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 sebagai sumbernya, Komisi Hukum Internasional (Intrnational Law Commission), pada tahun 1954 mulai melakukan pembahasan dan perdebatan diantara para anggotanya berkaitan dengan hak lintas damai kapal perang melalui perairan laut teritorial negara asing.

Hasil yang didapat dari pembahasan Komisi Hukum Internasional pada waktu itu adalah sebagaimana tercantum dalam di dalam pasal 24 Rancangan Akhir Komisi Hukum Internasional dijelaskan ketentuan mengenai hak lintas damai kapal perang berbunyi, sebagai berikut:

“the coastal state may make the passage of warships through the teritorial sea subject to previous authorisation or notification. Normally, it shall grant innocent passage subject to obsevance of the provisions of articles 17 and 18.” (ketentuan pasal 17 dan pasal 18 tersebut berakitan dengan hak-hak perlindungan dari negara-negara pantai dan kewajiban-kewajiban kapal asing pada waktu melaksanakan hak lintas damai)

Referensi

Dokumen terkait

The Understandings bukanlah bagian dari Konvensi ENMOD, tetapi relevan dan penting dalam melakukan interpretasi terhadap Pasal I, II, III, dan VIII. Penjelasan di

Dengan tunduk pada pengaturan rejim hukum zona ekonomi eksklusif, maka sesuai dengan ketentuan pasal 56 ayat (1)(a) Konvensi Hukum Laut 1982 di perairan di atas landas kontinen

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM LAUT INTERNASIONAL (STUDI KASUS

Ketentuan Pasal 76 ayat (4) sampai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (7) menetapkan bahwa apabila landas kontinen melebihi batas jarak 200 mil laut, lebar maksimum

Sedangkan Pasal 60 ayat (1) huruf (b) dari UU Nomor 1 Tahun 2014 mengatur perlindungan hukum terhadap Nelayan Tradisional Indonesia di Laut Timor atas wilayah

Dalam penataan batas maritim dengan negara-negara tetangga tersebut, menurut Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia berhak untuk menetapkan batas-batas terluar dari

wilayah teritorial suatu negara pantai. Ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 yang mengatur tentang. pembajakan, sebenarnya mengambil alih ketentuan-ketentuan yang terdapat

Negara pantai memiliki kedaulatan penuh di laut teritorialnya, kedaulatan ini meliputi ruang udara diatasnya serta dasar laut dan tanah dibawahnya (pasal 2 konvensi hukum laut