• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyerangan Israel Terhadap Palestina Ditinjau Dari Perspektif Kejahatan Kemanusiaan Dalam Kerangka Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penyerangan Israel Terhadap Palestina Ditinjau Dari Perspektif Kejahatan Kemanusiaan Dalam Kerangka Hukum Internasional"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU/MAKALAH

Ahmad Gaus AF, Komaruddin Hidayat (ed). Pasing Over: Melintasi Batas Agama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998.

Al Fandi, Safuan, Jihad: Makna dan Keutamaannya dalam Sudut Panndang Islam, Sendang Ilmu, Solo, 2003.

Armstong, Karen, The Battle of God, Terjemah: Satrio Wahono, dkk. Berperang Demi Tuhan, Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, Serambi, Jakarta, 2000.

---, Islam: A Short History, Alih Bahasa: Funky Kusnaendy Timur. Islam Sejarah Singkat. Yogyakarta, 2003.

Basayib, Hamid, Perspektif Sejarah Hubungan Islam dan Yahudi, dalam: Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed). Pasing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998.

Bassiouni, M. Cherif, Crimes against humanity, Oxford Press, 1998.

Fatah, Rohadi, Abdul, Sosiologi Agama. Titian Kencana Mandiri, Jakarta, 2004. Findley, Paul, Diplomasi Munafik Ala Yahudi, Mengungkap Fakta Hubungan

AS-Israel (terj.)Mizan, Bandung, 1995.

Ghani, Meutia, Analisis Sosial Relasi Etno-Religius di Indonesia, Buletin: Kebebasan. No: IV/2007, 2007.

Haekal, Muhammad Husein, Sejarah Hidup Muhammad. (Terjemah: Ali Audah), Tintamas, Jakarta,1982.

(2)

Haryomataram, GPH, Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988.

---, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984.

Hitti, Philips K., History of the Arabs. (terjemah: R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi. S. Riyadi, Serambi, Jakarta, 2002.

Holsti, K. J., Politik Nasional, Kerangka untuk Analisis. Rajawali Perss, Jakarta, 1988.

ICRC (International Committee of The Red Cross), Protocol Additional to the Geneva Convention, 1949, Geneva, 1977.

---, Pengantar Hukum Humaniter, Miamata Print, Jakarta, 1999.

Irwansyah, Teologi Islam tentang Agama-agama, Buletin Multikultural Edisi IV/November 2008.

Johnson, James, Turner, The Holy War Idea in Western and Islamic Tradtion, Terjemah: Perang Suci Atas Nama Tuhan: Dalam Tradisi Barat dan Islam. Mizan, Bandung, 1997.

Kusumaatmadja, Mochtar, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979.

---, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1980.

---, Konvensi-Konvensi Jenewa 1949. Bina Cipta, Bandung, 1984.

(3)

Mandji, Irshad, The Truble with Islam Today: A Wake Up Call for Honesty and Change, Terjemah: Herlina Permata Sari. Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini. Jakarta: Nun Publisher, 2008.

Nasution, Harun, Teologi Islam:Aliran-Aliran Sejarah Analisa, dan Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986.

Oberschall, A, Theories of Social Conflict, Annual Review of Sociology. Vol. 4. 1978. Prince, Derk, The Last World on the Midle East, Terjemah: Timur Tengah, Ungkapan

Nubuat, Gandum Mas, Malang, 1982.

Prince, Derk, The Last World on the Midle East, Terjemah: Timur Tengah, Ungkapan Nubuat, Gandum Mas, Malang, 1982.

Raliby, Osman, Kamus Internasiona, Bulan Bintang, Jakarta, 1982.

Robertson, Geiffrey QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002.

Safari, et.al, Mengapa Mereka Mebunuh Syaik Ahmad Yasin, Aufa Press, Bogor, 2005.

Santoso, M. Jodi, Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana, Harian Tempo, 27 Oktober 2003.

Shihab, Alwi Islam Inklusive: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan, Bandung, 1999.

Sihbudi, Riza, Timur Tengah, Dunia Islam dan Hegemoni Amerika, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1993.

(4)

Suprapto, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku, PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Utomo, Anif Punto dan Hery Sucipto, Irak Pasca Invasi: AS, Minyak dan Berakhirnya Pan Arab, Global Mahardika Netama, Jakarta, 2003.

Vattel, dikutip oleh Michael J. Bazyler, Re-ezamining the Doctrine of Humanitarian Intervention, Stanford International Law Journal, 1987.

Voll, John Obert, Islam Continuity and Change in the Modern World, Terjemah: Ajat Sudrajat. Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan Dunia Modern. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997.

B. INTERNET

Amerika Prioritaskan Diplomasi daripada Operasi Militer, diakses dari situs :

Cassesse, Antonio Self Detemination of People, Cambrige University Press, 1995, hal. 27-33, diakses dari situs : Diakses dari situs :

Diakses di blog penulis: El-Muhtaz, Majda, Israel dan Kejahatan Kemanusiaan, diakses dari situs :

(5)

Flower, Jerry, Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan bagi Generasi Mendatang, diakses dari situs :

Heriyanto, Dodik Setiawan Nur, Efektifitas Peran Dewan Keamanan PBB dalam

Konflik Israel-Palestina, diakses dari situs :

http://id.wikipedia.org.com, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Strategi Permainan Obama dalam Konflik Israel-Palestina, diakses dari situs :

Diakses dari situs :

C. SURAT KABAR

Kuncahyono, Trias, Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, Jakarta, 2008, Harian Kompas.

(6)

BAB III

KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI KEJAHATAN INTERNASIONAL A. Tinjauan Umum mengenai Kejahatan Internasional

Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971.

Jean Pictet : “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.”70

Geza Herzeg menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : “ Part of the rule of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different.”71

Di dalam Hukum Humaniter khususnya Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 kejahatan-kejahatan internasional terutama kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) terjadi apabila tindakan tertentu yang dilarang dilakukan sebagai bagian dari serangan skala luas atau sistematik terhadap penduduk sipil. Penduduk sipil yang dimaksud adalah kelompok sipil apapun. Kelompok ini termasuk, misalnya, kelompok yang mempunyai kaitan ideologi, politik

70

GPH Haryomataram, Op.cit.

71

(7)

atau budaya dan jenis kelamin, termasuk kelompok sipil yang menyuarakan kebebasan atau mendukung resistensi terhadap pendudukan. Tindakan yang dilarang termasuk: pembunuhan, pembinasaan (termasuk dengan tidak memberikan makanan), perbudakan; deportasi atau pemindahan paksa penduduk, kerja paksa, pemenjaraan, penyiksaan; perkosaan, memberikan hukuman karena alasan politik, ras, atau agama; penghilangan paksa; dan tindakan tidak manusiawi lainnya “yang memiliki sifat yang sama yangsecara sengaja menimbulkan penderitaan yang mendalam, atau luka berat baik fisik maupunmental atau kesehatan fisik”. Tindakan yang dilarang ini dilakukan sebagai bagian dari seranganskala luas atau sistematis terhadap penduduk sipil. “Skala luas” artinya skala besar baikserangannyamaupun jumlah penduduk yang menjadi sasaran, sementara kata “sistematis” artinya tindakan yang sifatnya terorganisir dan tidak mungkin terjadi secara acak72

Menurut International Criminal Court sebuah serangan dianggap “berskala luas” apabila serangan itu berupa tindakan yang sering dilakukan dan berskala besar, yang dilakukan secara kolektif secara sungguh-sungguh dan ditujukan kepada korban dalam jumlah banyak. International Criminal Court mendefinisikan

.

Selanjutnya di dalam Konvensi Jenewa 1949 dikenal juga istilah kejahatan perang. Dua kategori kejahatan perang berlaku dalam konteks konflik bersenjata internasional, seperti konflik antara pasukan bersenjata Indonesia dan gerakan pembebasan nasional Timor-Lesteantara tahun 1975 dan 1999.

Kategori pertama adalah “pelanggaran berat” Konvensi Jenewa, adalah : Suatu “pelanggaran berat” terjadi apabila tindakan kejahatan tertentu dilakukan terhadap orang yang lemah, misalnya orang yang terluka, orang yang sakit, tawanan perang dan penduduk sipil.

(8)

kata “sistematik” sebagai “tindakan terorganisir, yang mengikuti pola tetap, yang berasal dari kebijakan umum dan melibatkan sumber daya umum dan swasta yang besar harus ada unsur rencana atau kebijakan yang sudah ditetapkan. Rencana atau kebijakan tersebut tidak harus dinyatakan secara formal; Rencana atau kebijakan tersebut bisa dirunut dari kenyataan di lapangan, termasuk “skala tindakan kekerasan yang dilakukan.” Baik Indonesia dan Portugal meratifikasi Konvensi Jenewa tahun 1949 dan Protokol Tambahan I, tentang :

a. Pembunuhan, disengaja, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, secara sengaja

menyebabkan penderitaan yang mendalam atau luka parah baik fisik maupun kesehatan

b. Penghancuran besar-besaran dan perampasan harta benda yang tidak terkait dengan

keperluan militer dan dilakukan secara tidak sah dan semena-mena

c. Memaksa tawanan perang atau penduduk sipil untuk bertugas di pasukan musuh d. Secara sengaja menolak memberikan hak atas pengadilan yang tidak berat sebelah

kepada tawanan perang atau penduduk sipil

e. Deportasi atau pemindahan yang tidak sah atau pembatasan kebebasan penduduk sipil secara tidak sah; dan memperlakukan penduduk sipil sebagai sandera.

(9)

pada tahun 1975, kejahatan perang terdiri dari pelanggaran yang paling berat seperti yang tertuang dalam Penjelasan Umum Pasal 3 Konvensi Jenewa atau dalam hukum dan kebiasaan perang73

73

ICRC (International Committee of The Red Cross), Protocol Additional to the Geneva

.

Selanjutnya di dalam Pasal Umum 3 termasuk tindak kejahatan terhadap orang yang tidak ikut terlibat dalam perseteruan, seperti anggota pasukan bersenjata yang elah meletakkan senjata atau yang sakit, terluka atau dalam tahanan. Tindak kejahatan demikian meliputi pembunuhan, kekerasan terhadap orang, mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan; melakukan tindakan terkait dengan martabat orang, khususnya perlakuan yang mempermalukan atau merendahkan; menjadikan sandera; dan memutuskan hukuman dan melaksanakan eksekusi tanpa proses hukum yang layak.

(10)

Dalam konvensi tersebut Pasal 49 dan 50 juga dimasukkan beberapa pengaturan mengenai tindakan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran. Dalam Pasal 49 dinyatakan peserta agung berjanji menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan salah satu di antara pelanggaran berat (grave breaches) dalam konvensi. Dengan kewajiban, mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan pelanggaran berat atau segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan konvensi.

Dalam Pasal 50 dinyatakan pelanggaran tersebut meliputi perbuatan apabila dilakukan terhadap orang atau milik yang dilindungi konvensi, pembunuhan disengaja, penganiayaan atau perlakuan tak berperikemanusiaan, termasuk percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, serta penghancuran yang luas dan tindakan perampasan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan melawan hukum dan semena-mena.

B. Kejahatan Kemanusiaan sebagai Kejahatan Internasional

(11)

serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut secara langsung ditujukan pada penduduk sipil, yaitu berupa :

a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan;

d Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

f. Penyiksaan;

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

i. Penghilangan orang secara paksa; atau j. Kejahatan apartheid.

(12)

kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan kebijakan organisasi untuk pelaku diluar negara. Sedangkan istilah meluas juga merujuk pada sistematik, hal ini untuk membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau targetnya acak. Korban dimana memiliki kateristik tertentu misalnya agama, ideologi, politik, ras, etnis, atau gender74

Sementara, definisi dari kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan sendiri adalah "tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari sebuah penyerangan yang luas dan sistematik yang terjadi secara langsung terhadap populasi sipil". Terdapat 11 bentuk kejahatan yang dikualifikasi sebagai crimes against humanity, antara lain : (1) pembunuhan, (2) penghancuran yang sengaja terhadap sarana-sarana vital bagi kelangsungan hidup, misalnya yang bisa mengakibatkan kelaparan dan bahaya penyakit, (3) pemaksaan terhadap masyarakat sipil untuk berpindah dari area yang mereka diami secara sah, (4) penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisikal maupun mental, (5) penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, (6)

.

Kejahatan terhadap Kemanusiaan (crimes against humanit) adalah satu dari empat "kejahatan-kejahatan internasional" (international crimes), di samping The Crime of Genocide, War Crimes dan The Crime of Aggression. International Crimes sendiri didefinisikan sebagai kejahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya, tidak satu pun pelakunya boleh menikmati imunitas dari jabatannya; dan tidak ada yuridiksi dari satu negara tempat kejahatan itu terjadi bisa digunakan untuk mencegah proses peradilan oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain, international crimes ini menganut asas universal juridiction.

74

(13)

kekerasan seksual dan (7) penghilangan paksa (diakibatkan penculikan atau penahanan sewenang-wenang)75

Pembahasan lebih lanjut mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanit) yang dimuat di dalam Pasal 7 Statuta Roma adalah menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang menimbulkan penderitaan besar dan tak perlu terjadi, yaitu pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan bentuk lain dari pelecahan seksual, perbudakan, penyiksaan dan pengasingan. Yang menjijikkan adalah bahwa kejahatan itu dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis (yang melibatkan banyak pihak) dan ditujukan pada setiap penduduk…..mengikuti atau mendorong kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan serangan semacam itu

.

76

Definisi ini dianggap terlalu sempit oleh LSM, yang lebih menyukai arti yang lebih luas sebagaimana disarankan oleh Komisi Hukum Internasional, yaitu ‘setiap aksi yang tak berprikemanusiaan, yang dihasut atau dipimpin oleh pemerintah atau organisasi atau kelompok’. Para delegasi di Roma bertindak benar ketika menentang definisi semacam itu. Sebab, definisi itu akan mendorong pengadilan internasional juga mengadili para antek dan prajurit. Definisi itu setidaknya menjamin bahwa ICC harus membatasi diri hanya pada kejahatan-kejahatan yang paling berbahaya, yang dilakukan secara sistematis keteimbang yang dilakukan secara spontan, serta mengikuti kebijakan yang disusun baik oleh aparat negara (seperti kepolisian atau tentara) maupun oleh suatu entitas organisasi untuk membedakan dirinya dari kelompok kriminal biasa. Definisi di dalam Pasal 7 ayat (1) menjelaskan bahwa suatu tuntutan dapat dibuat atas suatu aksi tunggal (salah satu atau lebih dri beberapa

.

75

(14)

perbuatan) sepanjang diketahui oleh terdakwa sebagai bagian dari rangkaian perbuatan yang melibatkan berbagai tindakan kekejaman terhadap warga sipil.

Namun sejauh mana entitas yang melakukan kejahatan tersebut harus “terorganisir” sehingga anggota-anggotanya dapat menjadi subyek penahanan. Tidak ada persyaratan bahwa hal tersebut harus berkaitan dengan kekuasaan, sehingga sebuah kekuatan oposisi dalam perjuangannya meraih kemerdekaan dapat memenuhi kualifikasi. Demikian juga halnya dengan kelompok teroris, jika terorganisir dalam skala seperti yang dipimpin oleh Osama Bin Laden, yang melatih ribuan pengikutnya dan bertanggung jawab atas pemboman kedutaan besar Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania serta gedung WTC tahun 2001 yang lalu. Pemboman itu merenggut nyawa ribuan warga sipil. Berbagai aksi terhadap pembunuhan ini merupakan bagian dari serangan sistematis terhadap populasi warga sipil, yang merupakan kelanjutan dari kebijakan organisasi untuk melakukan serangan-serangan seperti itu. Dalam bahasa sehari-hari hal ini disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).

(15)

pemimpin Kartel lainnya karena intimidasi mereka terhadap pengadilan setempat) telah memberikan contoh kasus yang tepat untuk dipindahkan ke pengadilan internasional77

Sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti disebutkan dalam Pasal 7 Statuta Roma yang hanya benar-benar cocok jika didakwakan pada pimpinan politik atau militer. Ini disebabkan karena prajurit dan pembantu sipil mungkin

.

Termasuk diantara aksi-aksi di bawah ini, jika dilaksanakan secara sistematis dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah ‘penghilangan orang secara paksa’, didefinisikan sebagai penahanan atau penculikan orang-orang oleh/atau dengan persetujuan negara atau organisasi politik, yang diikuti oleh penolakan untuk menyatakan pengetahuan tentang keberadaan atau nasib korban. Tindakan ini disetujui dengan maksud untuk menjauhkan mereka dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang lama. Rumusan yang janggal ini (kebanyakan tindakan ini telah menghilangkan orang-orang untuk selamanya, melalui eksekusi secara rahasia) ditujukan untuk menggambarkan tingkah laku dari sejumah pemerintah di Amerika Selatan yang telah mengizinkan ‘pasukan kematian’ beroperasi bersama dengan militer, dan tidak berusaha untuk melacak jejak para korbannya. Definisi ersebut akan memberatkan mereka yang termasuk dalam pasukan tersebut, atau departemen-departemen dan kantor-kantor pemerintah yang menutup-nutupi aktifitas tersebut. Apartheid dikategorikan kembali sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun definisinya lebih hati-hati dibandingkan dengan yang tercantum dalam Konvensi Apartheid. Selanjutnya, kejahatan ini membutuhkan tindakan kejahatan yang tidak berprikemanusiaan dengan tujuan untuk memelihara hegemoni dari rejim melalui penindasan rasional secara sistematik.

(16)

melakukannya tanpa maksud untuk bertindak tidak berprikemanusiaan. Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa adalah satu contoh, dimana tujuan para pembuat kebijakan itu (tetapi tidak selalu menjadi tujuan mereka yang menjalankan perintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut di lapangan) adalah untuk melanggar hukum internasional.

Kejahatan “penindasan” didefinisikan sebagai pencabutan hak-hak dasar dengan sengaja dan keji yang bertentangan dengan hukum internasional, yang dilakukan terhadap kelompok yang diidentifikasikan berdasarkan politik, ras atau budaya. Kejahatan ini bisa didakwakan bagi para pemimpin yang melakukan ‘pembersihan etnis’ yang tidak jauh berbeda dengan genoside. Ini juga berlaku bagi mereka yang membantu tindakan tersebut. Para supir Ford Falcons yang digunakan oleh “pasukan kematian” di Argentina, dokter-dokter yang hadir untuk mengatur penyiksaan atas tindakan “subversif” di pusat-pusat yang didirikan oleh Pinochet, hakim-hakim yang memberikan instruksi politik untuk menolak permintaan habeas corpus, dan lain sebagainya. Pengetahuan terdakwa bahwa tindakan yang dituduhkan kepadanya mempunyai hubungan suatu kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan (seperti genoside atau penyiksaan atau kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya) merupakan unsur yang paling mendasar dalam tindakan kejahatan penindasan. Setelah mengetahui hal itu, tak akan ada maaf bagi para algojo yang menyalahgunakan profesinya dan memberikan bantuan dalam bentuk kekerasan.

(17)

C. Yurisdiksi Pengadilan Internasional terhadap Pelaku Kejahatan Internasional

Mekanisme yang paling cepat untuk menggerakkan kekuatan menyelidiki dan mengadili kejahatan internasional dinyatakan dalam Pasal 13 (b), dimana suatu “situasi” ditunjukkan kepada jaksa penuntut oleh Dewan Keamanan PBB yang bertindak menurut Bab VII Piagam PBB. Inilah metode yang digunakan pada Pengadilan Den Haag dan Arusha, yaitu melalui resolusi yang menyatakan bahwa situasi di Yugoslavia dan Rwanda mengancam perdamaian dunia. PBB tidak perlu lagi membentuk pengadilan ad-hoc, ketika sudah ada kesepakatan negara-negara superpower atas kebutuhan untuk menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan, yangdilakukan pada masa damai atau perang, oleh atau di wilayah negara manapun (baik negara pihak ataupun bukan negara pihak dari statuta). Dewan keamanan kemudian akan menyerahkan masalah itu kepada jaksa di ICC. Tindakan tersebut secara otomatis menarik yurisdiksi pengadilan atas kasus-kasus yang dipilih oleh jaksa untuk dibuatkan tuntutannya.

(18)

mengharapkan negara-negara yang dipimpin orang-orang semacam itu akan meratifikasi Statuta Roma.78

Selanjutnya, dewasa ini isu mengenai terorisme sangat berkembang di dunia internasional, Dua tahun masa war of terrorism yang dimotori Amerika Serikat masih belum menyentuh akar pemasalahan. Yang tersisa kini kedukaan para keluarga korban dan ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan tindak pidana terorisme. Menolak terorisme adalah wajib tetapi menyelesaikan akar permasalahan merupakan kunci utama dari sikap penolakan terhadap terorisme. Amerika Serikat hanya mengejar pelaku teror tetapi belum pernah memberi jawaban secara resmi dan lengkap terhadap tuntutan dan motivasi para teroris (baca Osama bin Laden). Kelangsungan hidup International Criminal Court akan lebih bergantung pada tingkat keahlian dan pengalaman hakim-hakim dan jaksa-jaksa ketimbang dari Statutanya. Sistem penunjukan Internasional cenderung ragu untuk tidak mengindahkan Pemerintah atau mereka yang bertanggung jawab kepada negara. Seringkali tidak ada orang-orang yang benar-benar independen dengan pemikiran dan imajinasi yang baik. Tapi, salah satu alasan utama mengapa Pengadilan Nuremburg berhasil adalah karena hakim-hakim dari Inggris, Prancis dan Amerika telah berpengalaman sebagai Pembela Kriminal, selain juga sebagai jaksa penuntut. Dari pengalaman inilah berekmang ras keadilan yang mendorong proses penuntutan di pengadilan tersebut. Jadi, yang dibutuhkan International Criminal Court adalah suatu sistem penunjukan yang independen dari pemerintahan-pemerintahan, dan satu perangkat kualifikasi berdasarkan suatu statuta yang memberikan bobot kepada mereka yang mempunyai karakteristik karir yaitu pernah melakukan pekerjaan pembelaan kriminal.

78

(19)

Mengurai, mengidentifikasi, dan menyelesaikan akar permasalahan merupakan sikap penolakan terhadap terorisme yang paling penting untuk mencegah terjadinya terorisme di masa mendatang. Terorisme bukan problem lokal tetapi problem internaional, Playground-nya berskala international. Terorisme dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan targetnya pun siapa saja. Terorisme bukan problem Amerika semata tatapi manjadi masalah seluruh umat manusia.

Dalam sistem peradilan pidana internasional, tindak pidana teroris manjadi materi diskusi yang cukup menarik. Hampir semua ahli hukum pidana dan kriminolog mengatakan bahwa tindak pidana terorisme merupakan extraordinary crime dan proses peradilannya pun berbeda dengan tindak pidana biasa. Karena sifatnya yang extraordinary crime inilah hampir semua negara mengunakan undang-undang khusus dalam menanggulangi tindak pidana terorisme. Akan tetapi, Kent Roach (Canada), Adnan Buyung Nasution dan beberapa ahli hukum pidana dan HAM (antara lain, Koalisi Untuk Keselamatan Masyarakat Sipil) menolak pandangan demikian. Bagii mereka, terorisme merupakan tindak pidana biasa dan penangganannyapun cukup dengan aturan perundang-undang yang berlaku bagi tindak pidana lainnya. Dalam kontek sistem peradilan pidana cukup dengan ketentuan KUHP dan KUHAP saja tidak perlu menggunakan UU Antiteroris atau yang lainnya seperti ISA (Internal scurity act).79

Namun demikian, tidak dapat disanggah bahwa tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagia mala per se bukan termasuk mala prohibita. Hal ini karena terorisme merupakan crime against concience, menjadi jahat bukan karena dilarang oleh undang-undang tetapi karena pada dasarnya terorisme merupakan tindakan tercela. Walaupun terorisme dianggap sebagai extraordinary crime dan crime against

79

(20)

humanity, terorisme bukan merupakan tindak pidana dalam yuridiksi International Criminal Court. Amerika Serikat dengan tegas menolak usulan beberapa negara yang menghendaki tindak pidana terorisme sebagai tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi ICC. Dengan tidak masuknya terorisme maka menurut Art. 5 Rome Statute of the international Criminal Court (Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional) hanya empat tindak pidana yang dianggap sebagai tindak pidana paling serius, yaitu : (1) genocida; (2) tindak pidana terhadap kemanusian; (3) tindak pidana perang; dan (4) agresi. Sampai sekarang, Amerika Serikat belum menandatangani International criminal court. Pada hal dukungan Amerika Serikat sangat dibutuhkan dalam upaya dunia internasional untuk segera pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Di sinilah mulai muncul anggapan negatif atas ambivalensi Amerika Serikat dalam upaya penanganan terorisme. Pada sisi lain Amerika Serikat menolak terorisme masuk dalam yuridiksi International Criminal Court dan sampai sekarang belum menandatangai ICC pda sisi lain Amerika Serikat, melalui pernyataan resmi George W. Bush tanggal 11 Oktober 2001, terorisme sebagai Sebuah Serangan Terhadap Peradaban Dunia.80

Ambivalensi sikap Amerika juga tercermin dalam law enforcement. Amerika Serikat telah melanggar prinsip-prinsip perlindungan HAM dalam criminal justice process terhadap pelaku terorisme. Sikap ini berbeda dengan upaya perlindungan HAM dalam administrasi peradilan pidana (protection of human right in criminal justice administration) di mana Amerika Serikat sebagai pendukung utamanya. Bahkan konsep perlindungan HAM dalam sistem peradilan Pidana (criminal Justice system) yang berkembang di Amerika Serikat telah menjadi kiblat bagi negara-negara berkembang. Akan tetapi, administrasi peradilan pidana yang telah dibangun selama

80

(21)

berabad-abad tersebut sama sekali tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana terorisme. Amerika Serikat telah berhasil membangun sistem peradilan pidana yang kondusif bagi perlindungan tersangka pelaku tindak pidana di negaranya tetapi gagal mengembangankan sistem peradilan pidana internasional.

Catatan terpenting yang dapat dicermati selama dua tahun masa war of terrorism adalah Amerika Serikat telah memutar “jarum jam” administrasi peradilan pidana. Kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat telah menghancurkan bangunan konsep dan praktik peradilan pidana yang memberikan perlindungan hak tersangka yang dibangun sejak berabad-abad tahun yang lalu. Amerika Serikat telah membawa kembali dunia peradilan pidana ke abad 13 di mana metode yang digunakan dalam administrasi peradilan pidana adalah iquisitorial method ketika pertama kali muncul dalam sejarah peradilan pidana.

(22)

Guntanamo, proses penyidikan yang rahasia, dan menghilangkan hak-hak dasar seorang tersangka lainnya telah dihilangkan.81

D. Mekanisme Penegakan Hukum Internasional terhadap Kejahatan Kemanusiaan

1). Mahkamah Ad Hoc Kejahatan Internasional

Dalam sejarah ada dikenal 2 (dua) mahkamah yang mengadili Penjahat Perang Dunia II, yaitu Mahkamah Tokoy dan Mahkamah Nuremberg. Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Jepang, sedangkan mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi, Jerman.

Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg (Nuremberg Charter) atau biasa juga disebut dengan nama Piagam London (London Charter). Sejak terbentuknya, mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada dua puluh empat tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah Nuremberg ini, yaitu :

1. kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace). 2. kejahatan perang (crimes war)

3. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity).

Di samping memberikan penjelasan terminologi dari tiga bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari mahkamah Nuremberg. Berdasarkan Pasal 6 Piagam Nuremberg ditegaskan bahwa tanggung jawab individual dari pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud. Ini berarti pelaku kejahatan-kejahatan tersebut tidak dapat berdalih bahwa perbuatannya tersebut untuk kepentingan atau karena perintah negara. Dengan

81

(23)

demikian, setiap pelaku ketiga kejahatan tersebut di atas tidak dapat kemudian dengan menggunakan dalih tanggung jawab negara.

Mahkamah Penjahata Perang Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Nama resmi dari mahkamah ini adalah International Military Tribunal for the Far East. Berbeda dengan mahkamah Nuremberg yang dibentuk Treaty yang disusun oleh beberapa negara, Tokyo Tribunal dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas MacArthur. Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg.

Sama halnya dengan mahkamah Nuremberg, mahkamah Tokyo juga mempunyai yurisdiksi terhadap 3 (tiga) kejahatan, yaitu : 82

Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak negara gagal membawa mereka yang bertanggung-jawab atas genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang ke pengadilan. Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional (Statuta Roma) akan membantu penanganan masalah ini dengan 1. kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace).

2. kejahatan perang (crimes war)

3. kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity).

Di dalam Piagam Mahkamah Tokyo dikatakan bahwa alasan tindakan negara (Act of State) dan perintah atasan tidak dapat dijadikan dasar untuk membebaskan tanggung jawab si pelaku, tetapi hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengurangi hukumannya. Hal yang sama juga diterapkan jika si pelaku melakukan tindakan tersebut dalam kapasitasnya sebagai pejabat resmi.

82

(24)

membentuk Pengadilan Pidana Internasional yang permanen bagi para pelaku kejahatan untuk diadili dan membantu para korban, ketika negara tidak mampu atau tidak ingin melakukannnya. Keberhasilan ini akan bergantung pada meluasnya ratifikasi atas Statuta Roma.

Berdasarkan peraturan umum, peradilan harus dilaksanakan di tempat terjadinya kejahatan selama peradilan tersebut bukan beradilan yang curang dan tidak adil, dan tidak memberlakukan hukuman mati. Peradilan seringkali dirasa lebih efisien dan sangat berpengaruh ketika terjadi di tempat di mana bukti banyak ditemukan, tertuduh dan sebagian besar korban dan saksi tinggal dan menetap dan pihak-pihat tersebut mengenal sistem hukum dan bahasa setempat dengan baik. Namun, di banyak kasus, peradilan yang memenuhi standar hampir tidak pernah mungkin dilaksanakan di negara di mana kejahatan terjadi. Hukum yang mengatur kejahatan demikian mungkin tidak ada atau sistem hukum telah runtuh. Mungkin negara tersebut tidak memiliki sumber daya untuk peradilan yang demikian atau tidak mampu memberikan perlindungan bagi para tersangka, korban, saksi atau pihak lain yang terlibat pengadilan. Jaksa Penuntut mungkin tidak memiliki kemauan politik untuk melakukan penyelidikan. Mereka juga mungkin dihalang-halangi untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan oleh lembaga eksekutif, karena beberapa dai mereka mungkin terlibat atau oleh aturan-aturan amnesti, permberian maaf dan langkah-langkah yang menyerupai berujung pada impunitas.

(25)

atau ketika negara di mana kejahatan terjadi mengekstradisi para tersangka. Yuridiksi universal juga membantu mengisi kekosongan Statuta Roma dengan mengizinkan mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma yang akan dibawa ke pengadilan. Namun, jumlah kasus tersebut sepertinya masih akan terbatas pada masa-masa yang akan datang.

Mengapa pengadilan Ad Hoc atas kejahatan internasional tidak langsung dibentuk saat dibutuhkan? Lebih dari setengah abad sejak Nuremberg dan Tokyo, Dewan Keamanan PBB hanya membentuk dua pengadilan kejahatan internasional ad hoc. Meskipun Pengadilan Kejahatan Internasional bagi bekas Yugoslavia yang dibentuk pada tahun 1993 dan Pengadilan Kejahatan Internasional bagi Rwanda, yang dibentuk pada tahun 1994 telah cukup efektif, dimana mayoritas dari mereka yang sudah diketahui terlibat dan mereka dengan kasus-kasus yang akan disidangkan sudah ditahan, keduanya masih terbatas pada kejahatan yang dilakukan di dua wilayah tertentu dan dalam dua peristiwa tertentu saja. Sejak tahun 1993, Dewan Keamanan gagal membentuk pengadilan ad hoc serupa untuk peristiwa berat lain, seperti di Kamboja, Chechnya, Timor Timur, Guatemala, Irak, Liberia, Sierra Leone dan Somalia. Keterlambatan ini sebagian disebabkan oleh mahalnya pembentukan lembaga-lembaga baru dan kurangnya keinginan politik.

(26)

para Jaksa Penuntut tidak lagi bergantung pada sumber-sumber dari Dewan Keamanan PBB. Dibandingkan dengan pengadilan nasional, ICC akan dapat “bersuara” lebih keras atas nama seluruh masyarakat internasional. Hampir dua pertiga negara anggota PBB memutuskan untuk mengadopsi Statuta Roma pada tahun 1998, dan yang lain kemungkinan akan meratifikasinya dalam waktu dekat.

Meskipun anggara tahunan International Criminal Court mencapai $100 juta, jumlah tersebut masih lebih kecil dibandingkan biaya yang dihabiskan oleh negara-negara yang melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan biasa di seluruh dunia. Terlebih lagi, karena International Criminal Court bisa mencegah terjadinya kejahatan seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang untuk terjadi lagi di masa datang, maka International Criminal Court jauh lebih banyak menghemat kemungkinan pengeluaran-pengeluaran tersebut.

(27)

2). Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)

Pada malam tanggal 17 Juli 1998, sebuah statuta untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) akhirnya mencapai tahap penentuan di hadapan Konferensi Diplomatik PBB di Roma, yang telah berlangsung sejak 15 Juni 1998. Dengan hasil penghitungan suara dimana 120 diantaranya mendukung, 7 menentang, dan 21 abstain, para peserta menyetujui statuta yang akan membentuk sebuah pengadilan bagi tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional : genocide (pemusnahan etnis/suku bangsa), crime against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), dan war crime (kejahatan perang)83

.

Sesuatu yang bersejarah baru saja hadir. Namun, bagi para aktivis hak asasi manusia di Amerika Serikat, kegembiraan yang hadir karena satu langkah maju bagi upaya meniadakan impunity ini, sedikit ternoda karena negara mereka bersama-sama dengan China dan Irak justru menentang disahkannya Statuta itu. Statuta ini belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya, sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun. Bahkan, setelah mahkamah ini terbentuk, beberapa hambatan-hambatan yurisdiksional akan membatasi efektivitasnya pada tahun-tahun awal.

(28)

Berikut ini kita lihat beberapa hal yang berkaitan dengan keberadaan dan eksistensi Mahkamah Internasional, antara lain 84

Mahkamah ini merupakan pengadilan yang permanen yang berkedudukan di Hague (Pasal 3 ayat 1). Hanya menangani tindak kejahatan yang terjadi setelah diberlakukannya Statuta Roma ini (Pasal 24). Karena Mahkamah ini diberlakukan atas dasar statuta multilateral, maka ia tidak menjadi bagian atau organ dari PBB, meskipun kedua organisasi ini akan mempunyai hubungan yang formal (Pasal 2). Lebih jauh lagi, Dewan Keamanan akan mempunyai peran yang penting dalam operasional Mahkamah ini atas dasar kewenangannya untuk memprakarsai suatu penyelidikan (Pasal 13 dan 16)

: 1. Struktur Mahkamah

85

Pada awalnya, Mahkamah terdiri dari 18 orang hakim yang bertugas selama sembilan tahun tanpa dapat dipilih kembali. Para hakim dipilih berdasarkan dua pertiga suara Majelis Negara Pihak, yang terdiri atas negara-negara yang telah meratifikasi statuta ini (Pasal 36 ayat 6 dan 9). Paling tidak separuh dari para hakim tersebut memiliki kompetensi di bidang hukum pidana dan acara pidana, sementara paling tidak lima lainnya mempunyai kompetensi di bidang hukum internasional, misalnya saja hukum humaniter internasional, dan hukum HAM internasional (Pasal 36 ayat 5). Orang-orang ini haruslah memiliki pengalaman praktek yang luas dalam penuntutan atau penyidangan kasus-kasus pidana (Pasal 42 ayat 3). Jaksa akan

.

84

Jerry Flower, Mahkamah Pidana Internasional, Keadilan bagi Generasi Mendatang, Rights. Ia turut berpartisipasi dalam Konferensi Diplomatik di Roma.

85

(29)

bertindak atas penyerahan dari Negara Pihak atau Dewan Keamanan, dan dapat juga berinisiatif melakukan penyelidikan atas kehendak sendiri (propio motu).

Prinsip yang mendasar dari Statuta Roma ini adalah bahwa ICC “merupakan pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional” (Pasal 1). Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan sistem nasional, kecuali jika sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan diambil alih menjadi dibawah yurisdiksi Mahkamah (Pasal 17).

Meskipun Mahkamah mempunyai standar tersendiri untuk menilai sebuah peradilan nasional, Statuta yang ada juga memungkinkan tertuduh atau negara yang bersangkutan untuk menentang campur tangan Mahkamah (Pasal 18 dan 19). Standar untuk menentukan “ketidakbersediaan” untuk menyelidiki atau menyidangkan sangatlah tinggi. Misalnya, keputusan nasional yang diambil dengan tujuan melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab kriminal (Pasal 17 ayat 2.a). Seperti halnya untuk menentukan ketidakmampuan memerlukan apa yang disebut sebagai “keruntuhan menyeluruh atau sebagian besar dari sistem pengadilan nasionalnya” (Pasal 17 ayat 3). Prinsip komplementaritas menggarisbawahi bahwa Mahkamah tidak dimaksudkan untuk menggantikan sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menyediakan sebuah alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena sistem peradilan yang independen dan efektif tidak tersedia.

2. Hal-Hal Yang Dapat ditanganai oleh Mahkamah

(30)

kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Statuta juga menyatakan bahwa Mahkamah akan mempunyai yurisdiksi atas agresi, setelah Mahkamah menegaskan batasan-batasan tindak kejahatan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika Mahkamah menjalankan yurisdiksinya. Ada kesepakatan universal bahwa genocide haruslah disertakan, dengan pengertian sebagaimana yang tercantum pada Konvensi Genocide 1948. Sementara, bentuk-bentuk kejahatan yang lain sempat mengundang perdebatan dan sedikit kontroversi.

3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan

Hasil terpenting dalam Konferensi Roma adalah kodifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7) dalam perjanjian multilateral yang pertama sejak Piagam Nuremberg. Mahkamah akan memiliki yurisdiksi atas kejahatan tersebut, baik yang dilakukan oleh negara maupun aktor non-negara. Memang ada desakan dari beberapa negara untuk membatasi kewenangan Mahkamah atas kejahatan terhadap kejahatan yang terjadi saat berlangsungnya konflik bersenjata. Hukum kebiasaan internasional, kenyataannya tidak memandatkan hal ini, dan hanya membahas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di masa damai. Kesepakatan akhir memutuskan bahwa Mahkamah tetap memiliki kewenangan atas kejahatan terhadap kemanusiaan baik yang terjadi di masa damai maupun di tengah konflik bersenjata.

(31)

bagi Mahkamah, yang hanya bisa menangani kasus dimana ditemukan bukti bahwa yang terjadi merupakan kebijakan yang direncanakan. Mereka lebih lanjut menegaskan bahwa rangkaian aksi yang meluas yang berupa pembunuhan dan pembasmian sudah cukup untuk mendukung yurisdiksi Mahkamah.

(32)

bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional.

4. Kejahatan Perang

(33)

merupakan bagian dari suatu rencana atau bagian dari suatu pelaksanaan yang luas sifatnya, dengan mereka yang menginginkan tidak adanya prasyarat sama sekali. Kata “sebagai suatu bagian” dianggap membatasi yurisdiksi Mahkamah, namun juga memberi jalan pada Mahkamah untuk melakukan suatu tindakan jika keadaan memungkinkan, meskipun tidak ada bukti bahwa ada rencana atau ada pelaksanaan kejahatan perang berskala luas.

Kekecewaan timbul ketika Statuta mencantumkan bahwa perintah atasan dapat digunakan sebagai pembelaan atas tuduhan kejahatan perang. Jika Nuremberg memang benar-benar berarti, ialah bahwa kalimat “saya cuma mengikuti perintah” tidak bisa dijadikan sebuah alasan untuk melakukan kejahatan perang. Bahkan Statuta Pengadilan bagi Yugoslavia dan Rwanda menyatakan dengan tegas bahwa perintah atasan tidak dapat membebaskan seorang individu dari tanggung jawabnya.

Di bawah Statuta Roma, sayangnya, seorang tertuduh dapat menghindar dari tanggung jawab pidananya dengan menunjukkan bahwa ia terikat oleh kewajiban hukum untuk mematuhi perintah, yang ia tidak tahu bahwa perintah tersebut sebenarnya melanggar hukum atau perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum (Pasal 33). Statuta Roma ini justru menyimpang dari Piagam Nuremberg dan statuta-statuta pendirian Peradilan HAM internasional yang pernah ada, dengan membuatnya semakin sulit untuk menerapkan atau menghadirkan tanggung jawab seorang atasan secara pidana atas kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah (Pasal 28).

(34)

berinisiatif melakukan suatu penyelidikan atas mosinya sendiri86. Salah satu yang paling kuat menentang kewenangan Dewan Keamanan ini adalah India, yang berargumen bahwa Dewan Keamanan hendaknya tidak mempunyai peranan apapun dalam operasional Mahkamah. Dalam penjelasannya ketika memberikan suara menentang, India menambahkan bahwa “pemberian peran kepada Dewan Keamanan yang tercantum dalam Statuta melanggar hukum internasional.” Dewan Keamanan juga mempunyai wewenang untuk menunda penyelidikan atau penuntutan sampai selama dua belas bulan dan dapat diperbaharui kembali (Pasal 16)87

Sebagaimana yang diketahui bersama, bahwa yurisdiksi pengadilan kejahatan internasional terdiri dari empat jenis kejahatan, yaitu genoside, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan “agresi”. Namun, belum ada akan ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepatan tentang definisinya. Empat kategori kejahatan ini didefinisikan sebagai “kejahatan paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan pengujian dari ‘keseriusan’

.

3). Proses Persidangan dalam Pengadilan Kejahatan Internasional

86

Statuta Roma mengijinkan Dewan Keamanan merujuk atau meneruskan sebuah keadaan atau situasi (dimana satu atau lebih kejahatan yang tampak telah dilakukan) kepada Mahkamah, saat memainkan peran sebagaimana yang disebutkan pada Bab VII Piagam PBB (Pasal 13.b).

87

(35)

tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus actual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan.

Bagaimanapun, pengadilan tak akan dapat mencapai tujuannya apabila targetnya terbatas para prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya (walaupun kejam) adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang menghasut atau melakukan kejahatan seperti yang didefinisikan dalam Statuta Roma. Kejahatan-kejahatan dalam yurisdiksi ICC tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, genoside yang sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada tindakan-tindakan yang pada waktu damai diklasifikasikan oleh Pengadilan Tingkat Banding dalam kasus Tadic, tak ada alasan yang tepat mengapa tindakan negara dalam keadaan perang harus dinilai dengan cara yang berbeda dengan yang berlaku dalam konflik internal negara88

Perbedaan menurut hukum ini telah terlalu lama ada dalam Pengadilan Den Haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan ICC. Sulit untuk dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yurisdiksi hanya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan pada masa perang, saat perang internal negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai. Orang-orang yang bertanggung jawab atas pola meluas dari kekejaman yang dilakukan oleh negara (melalui politisi atau kepolisian atau militernya) atau oleh organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah kekuasaannya, juga harus dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak tergantung pada persoalan teknis karakterisasi legal dari latar belakang konflik

.

89

Di bawah Statuta Roma, Dewan Keamanan dapat merujuk sebuah situasi yang melibatkan wilayah atau bangsa dari suatu negara yang menjadi Pihak dalam

.

88

(36)

Piagam PBB, sebagaimana Dewan Keamanan juga mempunyai otoritas untuk menyelenggarakan pengadilan ad hoc tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari negara yang bersangkutan. Sebaliknya, rujukan Negara Pihak dan penyelidikan propio motu oleh Jaksa Penuntut sangatlah dibatasi dengan tegas. Jika “picu” tersebut telah ditekan, maka Mahkamah dapat melangkah maju hanya jika situasi yang ada melibatkan peristiwa yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah atau yang dilakukan oleh negara itu sendiri (Pasal 12 ayat 2). Sebuah negara dinyatakan menerima yurisdiksi Mahkamah jika ia telah meratifikasi Statuta, meskipun negara tersebut dapat menunda penerimaannya atas yurisdiksi kejahatan perang selama tujuh tahun (Pasal 124) atau dengan cara menandatangani deklarasi ad hoc yang menyatakan menerima otoritas Mahkamah (Pasal 12 ayat 1 dan 3). Banyak, atau bisa dibilang kebanyakan, negara yang di wilayahnya banyak terjadi tindak kejahatan sebagaimana yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah, atau yang warga negaranya cenderung bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan tersebut, bukanlah yang termasuk pertama-tama menandatangani Statuta Roma ini. Prakondisi berkaitan dengan wilayah dan kewarganegaraan ini mengandung arti bahwa untuk beberapa tahun tampaknya Mahkamah Pidana Internasional akan menjadi Mahkamah-nya Dewan Keamanan. Harapan kelompok pembela HAM dan pendukungnya adalah pada akhirnya bisa tercapai sebuah kesepakatan universal, yang memungkinkan Mahkamah “melayani” generasi mendatang sebagai institusi peradilan yang independen dan efektif.

(37)

negara-negara kuat lainnya, sayangnya, mengalahkan inisiatif ini, dan menghasilkan kesepakatan yang hanya sekedar mendekati. Jika mengikutsertakan kesepakatan yang hanya sekedar tersangka kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah secara signifikan akan meluaskan jangkauan Mahkamah. Dalam Statuta yang sekarang ini, Mahkamah tidak mempunyai kuasa untuk menuntut dan memproses seorang individu yang dituduh melakukan genocide yang sedang berada dalam tahanan di sebuah negara penandatangan. Ini sekaligus juga meniadakan beberapa dasar yurisdiksi yang lain. Mengikutsertakan negara dimana korban menjadi warganya, juga akan meluaskan jangkauan Mahkamah. Yang utama adalah, memberi perlindungan lebih kepada tentara penjaga perdamaian yang berasal dari negara perratifikasi yang sedang melakukan misi ke negara non perratifikasi. Mahkamah akan bisa menerapkan yurisdiksinya atas kejahatan perang yang menimpa pasukan penjaga perdamaian, walaupun terjadi di wilayah sebuah negara atau dilakukan oleh warga negara yang tidak menerima yurisdiksi Mahkamah. Ironinya, negara-negara yang paling kukuh membatasi jangkauan yurisdiksi Mahkamah justru mereka yang menyatakan perhatiannya pada hubungan antara Mahkamah dengan pasukan penjaga perdamaian internasional.

(38)

Statuta ini akhirnya, dengan prakondisi yang “ketat” untuk penerapan jurisdiksinya, merefleksikan kemunduran substansial dari jurisdiksi universal. Ini barangkali hal yang paling mengecewakan selama Konferensi.

Statuta Roma juga mengijinkan jaksa penuntut untuk menginisiasi sebuah penyelidikan atas mosinya sendiri (propio motu). Para pendukung pengadilan yang independen dan efektif merasa bahwa seorang jaksa penuntut dengan wewenang propio motu merupakan sumbangan yang esensial bagi penyerahan Dewan Keamanan dan Negara Pihak. Meskipun penyerahan semacam itu penting artinya, tapi tidak akan cukup jika pengadilan yang ada belumlah efektif dalam menghukum dan mencegah tindakan pidana internasional. Dewan Keamanan merupakan sebuah badan politis yang seringkali dilumpuhkan oleh hak veto para anggota tetapnya. Sementara para negara seringkali segan untuk mengajukan pengaduan jka berkaitan dengan kedaulatan negara lain, terutama jika bisa merusak hubungan diplomatik dan ekonomi, atau jika bisa mengundang pengaduan balasan. Konsekuensinya, jaksa penuntut yang independen sangat penting artinya jika kasus yang ditangani ada dalam situasi tindak kriminal yang sangat keji dimana kemauan politik untuk memprosesnya sangatlah kurang.

(39)

Penuntut harus menunda proses sampai masa 12 bulan dan bisa diperpanjang, jika Dewan Keamanan memintanya (Pasal 16). Terakhir, Jaksa Penuntut dibatasi hak inisiatifnya hanya pada kasus-kasus yang terjadi dalam wilayah negara yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah, atau tindakan dilakukan oleh negara tersebut90

Seperti diketahui, Amerika Serikat menentang Statuta Roma. Alasan utama yang diberikan oleh AS kenapa mereka “menentang” Statuta Roma adalah bahwa Mahkamah akan dapat menerapkan yurisdiksinya atas peristiwa yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah. AS mendesak agar Mahkamah hanya dapat menerapkan yurisdiksinya jika negara dimana tersangka adalah warganya telah menerima yurisdiksi. Dubes Scheffer mencela basis teritorial bagi yurisdiksi Mahkamah sebagai “sebuah bentuk yurisdiksi yang dipaksakan atas negara-negara yang bukan Negara Pihak” ini menurutnya,

. Berbagai sistem dan prosedur bisa dikembangkan demi penanganan informasi pengaduan yang adil dan efisien. Bahkan jika sang Jaksa Penuntut memang menerima banyak sekali pengaduan, kenyataan bahwa subyek yurisdiksi Mahkamah yang dibatasi bisa menyediakan “saringan” yang efektif yang akan menyaring limpahan pengaduan tersebut. Lebih lanjut, prakondisi yang dibutuhkan untuk menjalankan yurisdiksi Mahkamah juga berperan sebagai mekanisme penyaring. Dan terhadap bahaya “pengambilan keputusan politik”, cara paling pasti untuk menghindari hal tersebut adalah mekanisme yang ada dalam statuta : Jaksa Penuntut yang independen yang tunduk pada sudut pandang hukum, hanya menangani tindak kejahatan sebagaimana yang telah dijelaskan secara tegas dan diterima secara luas.

90

(40)

“bertentangan dengan prinsip paling mendasar dari hukum perjanjian”. Meskipun ungkapan itu bisa dibilang keras, tidak ada yang luar biasa jika sebuah negara punya kuasa untuk memutuskan bagaimana menghakimi sebuah kejahatan yang terjadi di dalam wilayahnya, terutama jika kejahatan itu termasuk diantara yang paling serius yang bisa dibayangkan. Memang kenyataannya, basis teritorial bagi yurisdiksi memang sangat kuat, bahkan lebih kuat dari kewarganegaraan. Sangat mengejutkan jika pemerintah AS mengklaim bahwa negara-negara yang berdaulat punya yurisdiksi yang terbatas di wilayah mereka sendiri91

Dewasa ini berkembang wacana di dunia internasional untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah internasl negara-negara berdaulat agar menghentikan kekejaman dan penindasan sistematis. Kewajiban tersebut dalam jangka waktu yang panjang serta meluas, diucapkan oleh Theoore Roosevelt pada

.

Kalau dianalisa lebih lanjut, ada banyak kompromi dibuat oleh negara-negara yang ikut Konferensi Roma dengan maksud menghasilkan sebuah perjanjian yang bisa mendapatkan dukungan luas. Hasil yang dicapai tidak seperti yang diharapkan oleh kelompok-kelompok pembela HAM, meskipun di beberapa bagian justru melenceng lebih jauh dari yang diharapkan oleh beberapa negara. Tapi yang jelas, Statuta Roma ini menyediakan sebuah kerangka (framework) dari keadilan internasional bagi generasi mendatang. Pengorbanan nyawa manusia dan penderitaan akibat rantai impunity akan semakin panjang jika kita tidak memberi kesempatan bagi kerangka kerja ini untuk diterapkan.

91

(41)

masa transisi abad ke-2092

Ketika ahli-ahli hukum internasional pada awal-awal abad seperti Grotius dan Vattel mencari definisi dari peperangan demi “keadilan”, mereka terus menerus memasukkan alasan penyelamatan bagi rakyat tertindas. Jika untuk berdirinya negara, tirani menjadi demikian tak tertahankan kekejamannya, setiap kekuatan asing berhak untuk menolong rakyat yang tertindas, yang meminta bantuannya

. Ia menaruh perhatian untuk menjustifikasi peperangan untuk membatasi tindakan barbar Spanyol di Panama dan Kuba, yang juga dalam rangka mengamankan kepentingan Amerika Serikat. Pada abad ke-19, terjadi intervensi sporadis oleh kekuatan Eropa terhadap kekaisaran Ottoman Turki, yang didorong oleh pembunuhan massal kaum Nasrani di Bosnia, Kreta dan Syria. Ekspedisi hukuman ini dibenarkan atas nama agama tanpa banyak masalah tentang keabsahannya.

93

Kesulitan muncul dalam hukum ketika korban-korban bukanlah penduduk mayoritas dari negara. Mereka hanya merupakan rakyat dari sebuah propinsi atau sekelompok ras tertentu atau keduanya. Kita bisa membayangkan betapa konyoknya sebuah tuntutan yang dibuat atas nama mereka, yang ditunjukkan dalam tuntutan

. Inilah perkembangan yang logis dari teori Locke tentang pemerintahan yang didasarkan atas persetujuan bersama. Jika para tiran dapat dijatuhkan ketika mereka menyalahgunakan kekuasaannya dan membunuh rakyat, maka rakyatnya wajib dilindungi. Dengan demikian, pemerintahan negara dapat dipandang sah memberikan ‘bantuan kemanusiaan”. Sesungguhnya jika tirani dipandang sebagai kekuatan colonial yang melakukan kekejaman yang meluas dan ditentang oleh mayoritas penduduk asli (rakyatnya), maka hak akan “bantuan kemanusiaan” merupakan hak dalam mendukung penentuan nasib sendiri.

92

Geoffrey Robertson QC, op.cit, hal. 499-500.

93

(42)

Hitler, sebagai hak untuk menginvasi Cekoslowakia untuk melindungi minoritas Jerman dari tuduhan kebrutalan bangsa Chez. Dengan dasar itu pula, Hitler menginvasi Polandia untuk menyelamatkan minoritas Jerman dari tuduhan tidak manusiawinya bangsa Polandia.

Bagaimanapun Hitler telah memberikan label buruk pada hak untuk melakukan “intervensi kemanusiaan”. Namun, kemudian terdapat preseden-preseden dari abad ke-20 yang lebih baik. Setelah Perang Dunia I, ketika hak-hak minoritas diatur oleh Liga Bangsa-Bangsa, pertanyaan tentang pemisahan diri disebut dalam dua laporan para ahl hukum yang meminta Liga menentukan hari depan kepulauan Aalan milik Finlandia. Mereka melaporkan pada tahun 1920, bahwa Liga berhak mempertimbangan tuntutan kelompok minoritas untuk memisahkan diri jika terjadi perlakukan kejam yang nyata dan berkelanjutan, yang mengakibatkan kerusakan sebagian atau seluruh penduduk sebuah negara94

Kasus kepulauan Aalan inilah yang membayangi Kosovo, tahun 1999, sebuah propinsi yang terbentuk oleh sejaran, terdiri dari 90% orang Albania muslim yang dipaksa keluar dari rumah-rumah mereka karena perlakuan yang kejam dari Milosevic terus berlanjut terhadap kekuatan Serbia yang berdaulat. Jika Kosovar (penduduk Kosovo), telah mempunyai hak untuk memisahkan diri, apakah jeritan mereka untuk meminta bantuan mewajibkan NATO untuk menanggapinya ? Ini tergantung pada apakah setiap hak untuk melakukan intervensi kemanusiaan atau hak mendukung upaya pemisahan diri dapat diperbolehkan di luar ikatan rejim hukum internasional yang dibuat oleh Piagam PBB. Pertanyaan ini juga berlaku pada setiap persetujuan internasional yang lainnya

.

95

94

Antonio Cassesse, Self Detemination of People, Cambrige University Press, 1995, hal. 27-33, dikutip di dala

. Hal mana sebenarnya di dalam Pasal 7 dari North Atlantic Treaty gugur, bahwa keanggotaan NATO tidak mempengaruhi

95

(43)

tanggung jawab utama dari Dewan Keamanan PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional.

Selanjutnya di dalam Pasal 27 Piagam PBB, memperbolehkan PBB sendiri untuk melakukan intervensi dalam masalah-masalah yang pada dasarnya berada dalam “yurisdiksi domestic dari negara-negara manapun”, namun hanya dalam rangka penerapan tindakan-tindakan penegakan oleh Dewan Keamanan yang terlebih dahulu harus “menentukan ada tidaknya ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian atau tindakan agresi lainnya”96

Untuk memenuhi “perang demi keadilan” yang diperbolehkan oleh Bab VII dari Piagam PBB, kecaman Dewan Keamanan terhadap pelaku kejahatan-kejahatan kemanusiaan tidaklah cukup. Harus adar resolusi untuk menggunakan

. Kemudian jika tindakan-tindakan dari kekerasan bersenjata masih tidak mencukupi, Dewan Keamanan dapat mengambil tindakan dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau kekuatan darat yang mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan internasional.

Argumentasi dari mereka yang melontarkan kritik-kritik pada tindakan NATO adalah bahwa organ PBB ini wewenangnya mencakup hal intervensi yang implikasinya kemudian menghilangkan setiap hak-hak untuk melakukan intervensi kemanusiaan yang didasarkan pada hukum kebiasaan, baik itu dari suatu negara atau sebuah kelompok regional, tanpa persetujuan dari Dewan Keamanan. Hal ini bertujuan untuk menambah kepercayaan mereka dan tak satupun tindakan dapat diambil di bawah pengaturan-pengaturan badan regional tanpa pemberian wewenang dari Dewan Keamanan, walaupun dalam kenyataannya hal itu merujuk pada situasi-situasi dimana PBB telah mempergunakan badan-badan regional.

(44)

kekerasan yang disetujui oleh setidaknya 9 dari 15 anggota dan tidak ada satupun dari lima anggota permanent, seperti Amerika Serikat, China, Rusia, Prancis dan Inggris yang melemparkan veto.

Hak untuk intervensi kemanusiaan muncul dalam keadaan darurat, untuk menghentikan tindakan kriminal terhadap kemanusiaan yang terus berlanjut. Tidak pernah disarankan bahwa catatan hak asasi manusia yang buruk kemudian tanpa menjustifikasi intervensi bersenjata. Pendapat International Court of Justice tentang kasus “Nicaragua” melumpuhkan hipotesa “hak melakukan intervensi ideology” yang seringkali menjustifikasi destablisasi sistem politik tertentu. Tidak diputuskan apakah sebuah kelompok regional negara-negara berhak untuk menggunakan kekerasan guna menghentikan negara lain dimana pembunuhan massal atau sebagian penduduk sedang berlangsung. Sesungguhnya International Court of Justice terus menekankan bahwa Piagam PBB tidak mencakup keseluruhan area peraturan penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional terus ada untuk hidup bersama dengan hukum perjanjian, misalnya Piagam PBB97

Apakah hak intervensi kemanusiaan benar-benar eksis dalam hukum kebiasaan menjadi isu yang dihindari oleh International Court of Justice, dua bulan setelah pemboman NATO terhadap Yugoslavia. International Court of Justice menolak permintaan Yugoslavia yang meminta adanya “tindakan sementara (provisional measure)”. International Court of Justice menyatakan keprihatian yang mendalam atas penggunaan kekerasan di Yugoslavia. Mungkin hal ini terjadi karena International Court of Justice mempunyai tanggung jawab di bawah Piagam PBB untuk membantu memelihara perdamaian dan keamanan dan situasi saat itu (pemboman) menjadi isu hukum internasional yang paling serius. Bodohnya

.

97

(45)
(46)

BAB IV

ANALISA PENYERANGAN ISRAEL TERHADAP PALESTINA

DITINJAU DARI PERSFEKTIF KEJAHATAN KEMANUSIAAN

DALAM KERANGKA HUKUM INTERNASIONAL

A. Penyerangan Israel terhadap Pelestina Menurut Hukum Humaniter Internasional.

Sejak tanggal 28 Desember lalu Israel melancarkan serangan secara Massive ke wilayah Palestina melalui serangan darat,laut dan udara dengan alasan melawan milisi Hamas yang menurut mereka mengancam kedaulatan Israel. Angka korban secara keseluruhan mencapai angka ribuan baik yang mati dan luka-luka dan mayoritas dari korban adalah anak-anak, perempuan, orang-orang jompo dan warga sipil lain yang tidak berdosa serta fasilitas-fasilitas umum seperti tempat ibadah (masjid), sekolah, bahkan rumah sakit pun tidak luput menjadi obyek sasaran. Lalu bagaimanakah Hukum Humaniter Internasional memandang konflik ini ?

Di dalam Hukum Humaniter Internasional ada suatu asas yang sangat penting yaitu asas pembedaan. Asas pembedaan ( distinction principle) adalah suatu asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu Negara yang sedang berperang atau sedang terlibat konflik bersenjata ke dalam dua golongan yakni kombatan (combatant) dan penduduk sipil (civilian), kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities) sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak ikut serta dalam permusuhan. Dalam konvensi Den Haag 1907 menyebutkan golongan atau pihak-pihak yang secara aktif dalam pertempuran (combatant) yaitu :

(47)

2). Military and voluntary corps 3). Levee en masse

Sedangkan menurut pasal 52 ayat (1) dan (2) protocol I tahun 1977 membedakan antara obyek sipil dan sasaran militer . isi dari pasal ini adalah sebagai berikut :

1). Civilian Objects shall not be the object of attack or reprisal. Civilian objects are all objects which are not military objectives as defined in paragraph 2.

2). Attack shall be limited to military objectives. In so far as objects are concerned, military objectives are limited to those objects which by their nature, location , purpose or use make an effective contribution to military action and whose total or partial destruction, capture or neutralization, in the circumstances rulling at the time offers a definite military advantage.

Ayat 1 diatas memberikan definisi tentang objek-objek secara “negatif” dengan rumusan kalimat “ obyek-obyek sipil adalah semua obyek yang bukan sasaran militer sebagaimana didefinisikan dalam ayat 2”. Sedangkan ayat 2 memberikan definisi sasaran militer dengan menggunakan kriteria :

1). Nature (sifat) , sasaran militer adalah sesuatu yang harus menghasilkan kontribusi yang efektif pada aksi militer seperti persenjataan, peralatan perang, perbentengan militer, markas militer dan sebagainya.

2). Location (tempat/lokasi), sasaran militer adalah segala obyek yang dapat bermanfaat bagi tujuan-tujuaan militer seperti jembatan atau konstruksi lainya 3). Purpose (tujuan), berkenaan dengan tujuan digunakannya suatu obyek tertentu

(48)

4). Definite military advantage ( keuntungan militer yang pasti ), berkenaan dengan tindakan yang tidak sah untuk melakukan serangan yang sifatnya memberikan keuntungan yang cukup dan tidak signifikan.

Dalam artikel 7.2 statuta Roma beberapa tindakan yang termasuk dalam kejahatan perang adalah sebagai berikut :

1). Serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil yang diartikan serangkaian tindakan (murder, extermination, enslavement) yang berkaitan dengan atau merupakan tindakan lanjut dari suatu Negara atau kebijakan organisasional untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut.

2). Pemusnahan, diartikan sebagai tindakan yang meliputi juga penerapan kondisi tertentu yang mengancam kehidupan yang secara sengaja antara lain menghambat akses terhadap makanan dan obat-obatan yang diperkirakan membawa kehancuran bagi sebagian penduduk.

3). Penindasan, diartikan sebagai penyangkalan keras secara sengaja terhadap hak-hak dasar manusia dengan cara yang bertentangan dengan hokum internasional dengan dasar identitas kelompok atau identitas kolektif.

Dalam artikel 3 Statute ICTY (International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia) menyatakan bahwa yang termasuk pelanggaran hukum dan kebiasaan perang antara lain mencakup :

1). Penghancuran kota-kota atau desa-desa sembarangan atau penghancuran yang tidak didukung kepentingan militer.

(49)

3). Perampasan, penghancuran atau perusakan secara sengaja terhadap lembaga-lembaga keagamaan, amal dan pendidikan, seni dan ilmu pengetahuan, monument-monumen bersejarah dan hasil karya seni maupun ilmu pengetahuan.

Dari uraian diatas kita bisa menilai bahwa serangan yang dilakukan Israel adalah merupakan kejahatan perang karena tindakan-tindakan yang dilakukan melanggar hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam peperangan kita bisa melihat bahwa banyak penduduk sipil (yang terdiri dari anak-anak wanita) yang bukan merupakan combatant menjadi objek sasaran Israel serta tempat ibadah dan rumah sakit yang seharusnya tidak menjadi sasaran pun menjadi sasaran perang. Selain itu juga blokade secara berkepanjangan mengakibatkan akses bantuan kemanusiaan seperti obat-obatan dan makanan tidak dapat disalurkan. Dengan kondisi yang seperti ini masyarakat sipil palestina ditekan secara terus menerus dan dicekam rasa takut akibat teror yang terus dilakukan oleh militer Israel sehingga menyebabkan pengusiran warga Palestina secara paksa bahkan akibat blokade yang dilakukan memaksa rakyat Palestina mati secara perlahan. Selain itu juga hal ini dapat digolongkan terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan yang tergolong dalam pelanggaran HAM berat. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :98

98

Majda El-Muhtaz, Israel dan Kejahatan Kemanusiaan, diakses dari situs :

1). pembunuhan; 2). pemusnahan;

(50)

3). perbudakan;

4). pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

5). perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; 6). penyiksaan;

7). perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

8). penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

9). penghilangan orang secara paksa; atau 10).kejahatan apartheid.

(51)

99

Hukum itu kepentingan, dan sepertinya inilah kata yang paling cocok diberikan untuk realitas hukum yang terjadi saat ini. Dalam bentuknya yang paling sederhanapun hukum itu membela kepentinga

agar para penjahat perang Israel beserta antek-anteknya yaitu Amerika untuk diadili di ICC (International Criminal Court). Berdasarkan artikel 5 sampai dengan 8 Statuta Roma 1998 dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ada empat kategori kejahatan internasional yang dicakup oleh ICC yaitu sebagai berikut :

1). genocide (genosida)

2). crimes against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan) 3). war crimes (kejahatan perang)

3). the crime of aggression (kejahatan agresi)

B. Penyerangan Israel terhadap Pelestina Menurut Hukum Hak Asasi Manusia.

saja dan apabila sebuah tindakan yang dengan jelas melanggar hukum akan tetapi sesuai dengan kepentingan yang berkuasa tentu saja tindakan ini tidak akan dijatuhi sanksi, begitupun sebaliknya. Beberapa saat yang lalu, Israel dengan membabibuta masih melancarkan serangannya ke wilayah Gaza, Palestina. Serangan tersebut telah menewaskan lebih dari 300 orang (hampir 400) warga sipil palestina termasuk sebagaian anak anak berusia dibawah 5 (lima) tahun dan menghancurkan ratusan bangunan termasuk fasilitas umum dan tempat-tempat ibadah.

Israel dalam serangannya ke Palestina berdalih demi mengantisipasi serangan kelompok Hamas. Akan tetapi, secara akal sehat interpretasi dari kata antisipasi bermakna defensif (bertahan). Antisipasi tidak dilakukan dengan cara membombardir

(52)

wilayah Palestina dengan Roket dan mempersiapkan lebih dari 600.000 tentara untuk invasi darat. Ini sama sekali bukan langkah antsipasi, melainkan ini adalah langkah agresi. Dalih antisipasi yang kemudian dilontarkan Israel hanya untuk memenangkan opini dunia agar melegitimasi serangannya saja. Kalau pun Israel tetap konsisten dengan steatmen awal untuk mengantisipasi serangan kelompok Hamas maka isreal telah mengehentikan serangannya saat kabar meninggalnya petinggi Hamas dalam serangan udara pada tanggal 1 januari 2009 lalu. Akan tetapi itu tidak terjadi, malah Israel lebih memilih untuk menambah jumlah pasukannya dan tetap menyerang sampai saat ini. Semakin membuktikan saja bahwa Israel memang berniat untuk membumihanguskan Palestina.

Yang lebih anehnya lagi, demonstrasi yang mengutuk serangan membabibuta Israel ke Palestina hanya muncul dari kalangan Negara dunia ketiga dan Negara-negara arab saja. Di wilayah Negara dunia pertama, demonstrasi ini muncul dari kalangan rakyat biasa. Respon para petinggi Negara dunia pertama terhadap masalah ini sangat dingin dan seakan-akan serangan ini tidak termasuk dalam kasus yang layak untuk diperbincangkan. Bukankah dengan serangan ini Israel dengan terang-terangan melakukan Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia? Dimanakah semua Negara petinggi PBB yang memiliki Hak Veto? Mangapa Amerika Serikat lebih memilih untuk bersteatmen bahwa yang salah adalah Pihak Hamas? Lalu buat apa PBB mengadakan Konfrensi Diplomatik Duta Besar Berkuasa Penuh pada tanggal 17 Juli 1998 yang melahirkan : Statuta Roma tentang Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional?

Referensi

Dokumen terkait

Pembahasan dimulai dengan memperkenalkan PHP berserta fasilitas-fasilitas yang tersedia di dalamnya kemudian memperkenalkan database MySQL yang digunakan untuk pengolahan data

Lari jarak sedang menit detik Kurang (K). Kurang

BAE akan melakukan pendepositan efek baru atas hasil exercises ke rekening KSEI setelah mendapatkan konfirmasi atas efektifnya dana dr Emiten (pendepositan dilakukan maks 2 hari

Dalam hal Hak Guna Usaha telah diterbitkan sertipikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan secara nyata dikuasai pemegang haknya, maka pihak lain yang

Teknik Panen, Penanganan Pasca Panen dan Pemasaran Ikan Hias 210 5... Muatan Peminatan

Deskripsi Hasil Kegiatan Siklus Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 5E untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis Siswa ……….. Pelaksanaan Pembelajaran

Usaha pabrik pupuk untuk mengelola lingkungan sudah sangat signifikan, salah satunya adalah den- gan dibangunnya Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), menggunakan

• BANYAK TAHAPAN DALAM PROSES SELEKSI DAN URUTANNYA BERVARIASI TIDAK HANYA PADA ORGANISASI, TETAPI JUGA PADA TIPE DAN TINGKATAN PEKERJAAN YANG AKAN DIISI , BIAYA PELAKSANAAN,