ABSTRAK
KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA OTENTIK
DALAM UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh
ACHMAD DEFYUDI
Pembangunan di bidang pendidikan merupakan bidang yang paling strategis dalam pembangunan nasional, para pihak yang terlibat wajib mempedomani dan mengikuti aturan-aturan yang telah ditentukan oleh Pemerintah. Permasalahan hukum di bidang pendidikan sangat dirasakan kurang mendapat perhatian khususnya tindak pidana pemalsuan akta otentik yang terjadi di sekolah TS merupakan kejahatan di bidang pendidikan yang merugikan masyarakat dan pihak tertentu. Penulis mengkaji tentang proses penanganan tindak pidana pemalsuan akta otentik dalam Undang-Undang sistem pendidikan Nasional yang mengalami kendala dalam penyelesaian proses penyidikan disebabkan terbatasnya saksi yang mengetahui secara langsung peristiwa pemalsuan tersebut sehingga menjadi kendala dalam penyelesaian proses penyidikan.
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, dimulai dengan menganalisis ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan permasalahan. Metode ini digunakan karena pokok permasalahan yang diteliti mengenai ketentuan yang mengatur tindak pidana pemalsuan akta otentik berupa izin pendirian sekolah yang dilakukan oleh oknum Kepala Sekolah SW namun sekolah TS masih terus beroperasional tanpa ada tindakan apapun dari pemerintah.
Tindak pidana pemalsuan akta otentik yang terjadi di bidang pendidikan mengalami kendala dalam penyelesaian berkas perkara akibat dari pemahaman yang berbeda antara penyidik dan penuntut umum dalam menerapkan pemahaman tentang tindak pidana akta otentik berupa izin pendirian sekolah yang terjadi di SMK TS, sehingga belum adanya kepastian hukum mengakibatkan proses penyelenggaraan pendidikan masih tetap berlangsung walaupun terindikasi dalam pelaksanaannya tidak memiliki perizinan yang syah dari pemerintah.
Perlu adanya pemahaman yang sama terhadap kasus tindak pidana pemalsuan akta otentik oleh penyidik dan penuntut umum sehingga dapat memberikan kepastian hukum dan tidak terkesan pemerintah membiarkan proses ilegal di dunia pendidikan yang dapat mengakibatkan kerugian banyak pihak khususnya peserta didik, wali murid dan pihak lain yang dirugikan akibat peristiwa hukum tersebut.
KAJIAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA OTENTIK
DALAM UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh
ACHMAD DEFYUDI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM
Pada
Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 01 Desember 1972
sebagai anak pertama dari 7 bersaudara 2 pasangan Drs. Hi. HANAFI ARIF,
MSC dan Nyonya MARIANA HANAFI.
Jenjang Pendidikan Formal yang telah dilalui dimulai pada tahun 1980 di Sekolah
Taman Kanak-Kanak Persit Kartika Chandra Kirana Bandar Lampung, kemudian
melanjutkan ke Sekolah Dasar Persit Kartika Chandra Kirana Bandar Lampung,
meneruskan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama di SMP Xaverius
Tanjung Karang penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas
SMA Muhammadiyah 1 Jogjakarta pada tahun 1990, kemudian penulis
melanjutkan pendidikan di Universitas Jayabaya Jakarta Fakultas Ilmu Sosial
Politik pada tahun 1993 dan Universitas Tulang Bawang Fakultas Hukum Jurusan
Ilmu-ilmu Hukum pada tahun 2004. Kemudian penulis memasuki jenjang S2 di
Program Pasca Sarjana Magister Hukum Unila pada tahun 2012 dengan Program
MOTO
JANGAN MENUNGGU KEBAHAGIAN DATANG
BARU BERSYUKUR, TAPI BERSYUKURLAH
MAKA KAMU AKAN MERASAKAN
Kupersembahkan Tesis ini kepada :
Orangtuaku tercinta Bapak Drs. Hi. HANAFI ARIF, MSC dan Ibunda
MARIYANA yang dengan penuh pengorbanan telah membesarkan, mendidik
dengan penuh cinta dan kasih sayang senantiasa mendoakan dalam setiap sujud
dan tahajud untuk keberhasilanku.
Istriku tersayang ADELINA MARIYA LIBERTI, S.E dan anak-anakku,
SHINTIA, RAHMA, ANANDA, RAFFI dan ANDINI yang selalu memberi
semangat dan inspirasi dalam mengisi hari-hariku menjadi lebih bermakna.
Adik-adikku HENI SEPTIANA, S.E, A. KURNIAWAN, A.Md, A. ISKANDAR,
S.H, YOSEF ZIKRILLAH, S.T, YOSI RAHMATULLAH, A.Md dan LELI
GUTIANI, S.Sas yang terus memberikan motivasi untuk lebih dapat mengisi
waktu untuk menjadi lebih baik.
Sahabat-sahabatku yang terbaik selalu memberikan dorongan demi
i
A. Tinjauan terhadap Sistem Pendidikan Nasional ... 15
B. Bentuk-Bentuk Tidak Pidana di Bidang Pendidikan Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ... 18
C. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik 20 D. Tindak Pidana di bidang Pendidikan ... 33
E. Tinjauan tentang Pembuktian ... 38
BAB III METODE PENELITIAN ... 41
A. Kajian Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik Negara dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ... 45
ii
BAB V PENUTUP ... 70
A. Simpulan ... 70
B. Saran ... 72
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum dapat menjadi sarana menjamin terwujudnya masyarakat Indonesia yang
tertib, teratur dan aman, karena produk hukum disusun dan dirumuskan untuk
kepentingan warga negara secara umum, faktor yang harus dijadikan pedoman
dalam negara hukum adanya jaminan akan hak-hak asasi manusia dan warga
negara yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat ciri
penting suatu pemerintahan dan kehidupan masyarakat yang berdasarkan hukum
(rule of law) terjaminnya perlindungan secara konstitusional atas jaminan hak-hak individu termasuk hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang
layak dalam arti luas.
Fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sekarang ini terkesan
mengesampingkan hukum untuk pemenuhan keinginan perseorangan dan ambisi,
manusia cinderung menggunakan cara singkat dalam menyelesaikan
permasalahan hukum tanpa mempertimbangkan dampak yang akan timbul,
seharusnya secara rasional manusia harus menggunakan akal dalam pemahaman
2 Tindak pidana pemalsuan akta otentik yang dilakukan oleh oknum Kepala
Sekolah SW berupa izin operasional pendirian sekolah TS yang dijadikan dasar
penyelenggaraan pendidikan formal merupakan suatu kejahatan yang memiliki
motivasi dan latar belakang sehingga oknum Kepala Sekolah SW tersebut
melakukan tindak pidana penipuan yang dapat merugikan masyarakat luas. Pihak
Penyidik telah melakukan upaya-upaya untuk pembuktian terhadap tindak pidana
pemalsuan akta otentik yang diduga dilakukan oleh Oknum Kepala Sekolah SW
mulai pada tahun 2011 hingga bulan Mei 2014 belum juga dapat menyelesaikan
pemberkasan terkendala banyaknya pendapat penuntut umum yang menuntut
penyidik untuk dapat membuktikan peristiwa tindak pidana pemalsuan tersebut
mulai dari minimnya keterangan saksi yang melihat langsung, tidak terdapat alat
yang digunakan untuk melakukan pemalsuan, perbedaan pendapat hukum antara
penyidik dan penuntut umum tentang kadaluarsa suatu tindak pidana dan adanya
upaya hukum perdata oleh orang yang berhak terhadap izin yang dipalsukan yang
saat ini masih menunggu putusan Mahkamah Agung, sehingga hal-hal tersebut
diatas pihak Jaksa Penuntut umum terus menuntut penyidik untuk lebih optimal
dalam penyelesaian berkas perkara secara formal diberikan P19 yang berulang
hingga lima kali, hal inilah yang menjadi kendala tidak terselesaiknya
pemberkasan tindak pidana pemalsuan akta otentik yang dipergunakan sebagai
dasar penyelenggaraan pendidikan formal yang hingga saat ini masih tetap
berlangsung bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
System Pendidikan Nasional.
Pengertian tentang kejahatan merupakan termonologis dari apa yang ada dalam
3 dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan diatur dalam buku II
tentang misdrijf dan pelanggaran diatur dalam buku III tentang overtredingen.
Karena negara kita adalah negara hukum, maka setiap perbuatan masyarakat dan
aparat negara harus berdasarkan ketentuan dan hukum yang berlaku, bagi mereka
yang melakukan perbuatan melanggar hukum wajib diproses dengan prosedur
atau tata cara penyelesaian secara sah menurut hukum.1 Adanya tindak pidana
pemalsuan akta otentik berupa surat izin pendirian sekolah secara nyata diancam
dengan hukuman pidana, maka proses penanganan tindak pidana pemalsuan surat
izin secara umum berlaku ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan Nasional yang mengatur pertanggungjawaban korporasi atau
corporate liability atau badan hukum secara pidana.
Tulisan ini, akan mengkaji secara hukum tentang tindak pidana pemalsuan akta
otentik berupa izin pendirian sekolah. Adanya perubahan yang tidak sesuai
dengan aslinya yang dilakukan oleh oknum Kepala Sekolah terhadap izin
operasional pendirian sekolah dengan cara menghapus atau merubah tulisan yang
berada dalam izin tersebut yang emula bertuliskan diberikan izin kepada Yayasan
Pendidikan Pubian Ragom lampung dirubah menjadi diberikan kepada Yayasan
Pubian Ragon Pusat Tingkat I Lampung menggunakan tipe-x. tindak pidana
pemalsuan tersebut diatur pada BAB XII Buku II Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), pada Pasal 264.
1
4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional telah
mengatur korporasi atau badan hukum dalam bentuk yayasan yang dapat
menaungi juga sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam peyelenggaraan
pendidikan formal dianggap sebagai subjek hukum, yang berarti lembaga
penyelenggara atau yayasan yang menyelenggarakan pendidikan formal yang
dalam peyelenggaraan pendidikan formal tersebut harus bertanggung jawab secara
hukum terhadap segala bentuk kegiatan dalam peyelenggaran pendidikan
sekaligus akibat yang muncul dari tindak pidana pemalsuan terhadap izin
pendirian sekolah swasta yang dilakukan oleh Oknum Kepala Sekolah yang
ditunjuk oleh badan hukum dapat pula dijatuhkan sanksi pidana (corporate
liability), kejahatan tersebut dapat dipandang sebagai kejahatan korporasi (corporate crime) yang dalamnya terdapat suatu delik kesalahan (mens rea) serta
perbuatan (actus reus) yang nyata-nyata merupakan perbuatan melawan hukum
yang dapat merugikan peserta didik, masyarakat, pemerintah dan pihak lain yang
berhak atas izin syah yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
Namun ironisnya keberadaan sekolah swasta tersebut tetap menyelenggarakan
proses pendidikan tanpa dilengkapi dengan izin operasional yang syah dari
pemerintah sehingga terkesan adanya pembiaran oleh pemerintah yang dapat
mengakibatkan kerugian bagi peserta didik dan masyarakat luas akibat dari
penyelenggaraan pendidikan yang tidak memiliki legalitas.
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka penulis akan melakukan
5 Pidana Pemalsuan Akta Otentik dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka dikemukakan rumusan permasalahan sebagai
berikut:
a. Bagaimanakah kajian hukum tentang tindak pidana pemalsuan akta
otentik ?
b. Apakah faktor-faktor yang menghambat penyidik dalam melakukan
penyidikan terhadap pemalsuan akta otentik dalam Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional?
2. Ruang Lingkup
Substansi penelitian ini berdasarkan materi adalah Hukum Pidana dan
pembahasan lebih memfokuskan atau membatasi penelitian dan hasil
penelitian tentang kajian hukum terhadap bentuk tidak pidana di bidang
pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Tempat atau lokasi penelitian dilakukan di Kota Bandar Lampung pada
Subdit 2 Dit Krimum Polda Lampung serta lokasi-lokasi yang dapat
6
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab masalah penelitian diatas, yakni :
1. Mengkaji secara hukum tentang Tindak Pidana pemalsuan akta otentik dalam
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Mengkaji faktor-faktor yang menghambat Polri dalam melakukan penyidikan
terhadap pemalsuan akta otentik dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Sementara hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk sebagai masukan
(input) dan sumbangan pemikiran bagi pengembangan pembangunan hukum di
Indonesia, khususnya penegakan hukum guna mendukung pelaksanaan
pembangunan di bidang pendidikan pada sistem pendidikan nasional yaitu
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Kegunaan Praktis
Sementara hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi praktisi hukum
atau bagi penegak hukum sebagai rekomendasi, motivasi bagi pelaksanaan
pengawasan dan penegakan hukum di bidang pendidikan sekaligus dapat
dipergunakan dalam rangka tercapainya atau terselenggaranya pencegahan,
penanganan dan penanggulangan tindak pidana di bidang pendidikan yang akan
7 kewibawaan pemerintah, aparaturnya, merusak sendi-sendi penegakan hukum dan
merugikan masyarakat dengan memperhatikan pada nilai nilai keutuhan legalitas
dalam sistem pendidikan nasional.
E. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Negara Indonesia merupakan suatu bangsa, kehidupan masyarakat dikendalikan
oleh hukum dasar yang dikenal dengan nama undang-undang dasar atau
konstitusi, yaitu hukum dasar tertulis yang menjadi pangkal gerak, dasar orientasi
dari perjalanan kehidupan suatu masyarakat, secara tegas di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Indonesia berdasarkan atas hukum
(rechtstaat), Indonesia telah memilih negara hukum sebagai bentuk negara, yang berarti bahwa setiap tindakan dan akibat yang dilakukan oleh setiap individu harus
didasarkan atas hukum dan diselesaikan menurut aturan hukum yang dianut.
Hukum merupakan sarana utama yang disepakati sebagai sarana untuk mengatur
kehidupan berbangsa maupun bernegara, bahkan hukum diposisikan sebagai
sarana perubahan sosial (Agen of change law as a tool of social enginering)
sebagai sarana pembangunan dan sarana untuk mengatur kehidupan masyarakat,
hak-hak individu sebagai agen perubahan dalam pembangunan. Kemampuan
hukum untuk menyelenggarakan fungsinya ditentukan oleh kemampuan
komponen-komponen sistemnya, baik secara otonom maupun dalam kerangka
sistem sebagai suatu keseluruhan. Lemahnya salah satu komponen sistem akan
8 berlangsung dalam keadaan tidak stabil maka hukum sebagai suatu sistem akan
sangat sulit untuk mewujudkan tujuan-tujuannya.
Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling
terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Demikian pula
dengan fungsi dari pendidikan nasioanal mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, terdapat nilai nilai
substansi dari perkembangan peradaban budaya bangsa yang bermartabat.
Proses pembangunan di bidang pendidikan keikutsertaan masyarakat atau peran
serta masyarakat dalam sistem pendidikan formal hanya dapat selenggarakan oleh
badan hukum atau yayasan atau coprorate yang telah mendapatkan izin yang syah
dari pemerintah pusat maupun daerah sehingga legalitas peyelenggaran, legitimasi
setiap kompetensi, sertifikasi dan ijasah yang dihasilkan dapat benar-benar syah
memiliki kekuatan hukum yang dikeluarkan oleh lembaga atau badan hukum
berbentuk yayasan yang memilki hak dan tidak melawan hukum sesuai bunyi
Pasal Pasal 71 Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasioanal yakni “Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin
Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 Ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana
9 Secara tegas dinyatakan dalam Pasal 71 Undang-Undang No 20 Tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasioanal bahwa Badan hukum sebagai salah satu
subyek hukum, menurut Erman Rajagukguk dapat digolongkan dalam dua bagian
besar yaitu :
a. Pertama : Badan hukum dianggap sebagai wujud yang nyata, memiliki panca
indra sendiri seperti manusia, akibatnya badan hukum itu disamakan dengan
orang atau manusia.
b. Kedua : badan hukum dianggap tidak berwujud (abstrak) namun dibelakang
badan hukum tersebut terdiri dari manusia-manusia maka kalau badan hukum
yang membuat kesalahan maka kesalahan itu adalah meruapakan kesalahan
manusia yang berdiri di belakang badan hukum itu secara bersama-sama.2
Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai
subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggung jawaban pidana namun
korporasi mulai didisposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan
ditetapkannya Undang-Undang No 7/Drt/1955 tentang pengusutan, penuntutan
dan peradilan tindak pidana ekonomi, yang kemudian kejahatan koporasi juga
diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan
rumusan yang berbeda-beda mengenai korporasi, termasuk pengertian badan
hukum, yayasan, perkumpulan, perserikatan yang diatur oleh Undang-Undang No
20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional.
Secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan
dengan moral kemanusiaan (amoral), merugikan masyarakat, sosial sifatnya dan
melanggar hukum serta undang-undang Perumusan Pasal-Pasal Kitab
2
10 Undang Hukum Pidana (KUHP) jelas tercantum bahwa kejahatan adalah semua
bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan KUHP dan
undang-undang di luar KUHP, seperti perundang–undangan sistem pendidikan
nasioanl juga merumuskan macam macam perbuatan sebagai bentuk kejahatan,
yang diancam hukuman pidana. Selanjutnya semua tingkah laku siapa yang
melanggarnya dikenai sanksi pidana, maka larangan-larangan dan negara itu
tercantum pada undang-undang dan peraturan pemerintah, baik Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah.
Menurut Muladi secara sosiologis kejahatan adalah semua bentuk ucapan,
perbuatan, tingkah laku, yang secara ekonomis, politis dan sosial-psikologis
sangat merugikan masyarakat, melanggar norma norma susila, dan menyerang
keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang,
maupun yang belum tercantum di dalam undang-undang pidana.3
Tingkah laku manusia yang jahat, ammoral, dan anti sosial itu banyak
menimbulkan reaksi kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat, dan
jelas sangat merugikan masyarakat umum, oleh karena itu kejahatan tersebut
tersebut harus diberantas, karena tidak sesuai dengan norma hukum yang harus
ditegakkan dan tidak boleh dibiarkan berkembang, demi ketertiban, keamanan,
kepastian hukum dan perlindungan hak-hak individu.
Surat merupakan suatu lembaran yang diatasnya terdapat tulisan yang terdiri dari
kalimat dan huruf termasuk angka yang mengandung atau berisi buah pikiran atau
makna tertentu, yang dapat berupa tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik,
3
11 printer komputer, dengan mesin cetakan dan dengan alat dan cara apa pun.
Membuat surat palsu (membuat palsu sebuah surat) adalah membuat sebuah surat
yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu dapat diartikan tidak benar atau
bertentangan dengan yang sebenarnya, pemalsuan surat dapat berupa :
a. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau
bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu yang demikian disebut
dengan pemalsuan intelektual.
b. Membuat sebuah surat yang seolah- olah surat itu berasal dari orang lain
selain pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan
pemalsuan materil. Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada
asalnya atau si pembuat surat. Isi dan asalnya surat yang tidak benar dari si
pembuat surat palsu, dapat juga tanda tangannya yang tidak benar. Hal ini
dapat terjadi dalam hal misalnya :
1) Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada orangnya,
seperti orang yang telah meninggal dunia atau secara fiktif
(dikarang-karang).
2) Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan
persetujuannya ataupun tidak Tanda tangan yang dimaksud disini adalah
termasuk juga tanda tangan dengan menggunakan cap/stempel tanda
tangan. Hal ini terdapat dalam aresst HR (12-2-1920) yang menyatakan
bahwa disamakan dengan menandatangani suatu surat ialah membubuhkan
stempel tanda tangannya.
Perbuatan memalsu akta otentik adalah perbuatan mengubah dengan cara
12 sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi akta semula. Tidak
penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar ataukah tidak atau
bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu
dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsu akta otentik telah terjadi,
sedangkan orang yang tidak berhak itu adalah orang yang tidak memiliki hak
secara hukum atau dengan cara melawan hukum.
Dewasa ini bentuk-bentuk kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan
perkembangan peradaban yang terjadi dimasyarakat, kejahatan bukanlah sebagai
suatu variabel yang berdiri sendiri atau dengan begitu saja jatuh dari langit,
semakin maju dan berkembang peradaban umat manusia, akan semakin mewarnai
bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul kepermukaan, dengan kata lain
kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu dari perilaku menyimpang
yang selalu ada dan melekat pada setiap kehidupan masyarakat. Setiap orang atau
individu yang melakukan kejahatan disebut pelaku harus mendapatkan hukuman
yang setimpal dengan kejahatan yang dilakukannya.
2. Konseptual
a. Pendidikan itu adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sedangkan fungsi Pendidikan nasional itu sendiri yaitu mengembangkan
13
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
b. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum oleh subjek hukum
dan atas perbuatan tersebut terdiri atas unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur
objektif. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si
pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku yaitu segala sesuatu yang
terkandung didalam hatinya, sedangkan yang dimaksud unsur-unsur objektif
itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan dapat dilihat adanya
kesengajaan atau ketidaksengajaan, maksud, dan terencana.
c. Tindak Pidana Pemalsuan adalah berupa kejahatan yang didalamnya
mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas suatu (objek), yang
sesuatu tampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya
bertentangan dengan yang sebenarnya.
d. Tindak Pidana Pendidikan merupakan suatu sikap yang dilakukan dengan
sengaja maupun tidak sengaja dalam bidang pendidikan berkaitan dengan
kejahatan maupun pelanggaran dengan segala motif dan tujuannya yang dapat
dilakukan siapa saja baik oleh pihak peyelenggara pendidikan, tenaga
pengajar, peserta didik bahkan pemerintah selaku penanggungjawab
14
e. Akta Otentik menurut hukum adalah suatu akta yang didalam bentuk
ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan terhadap Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman, melalui Sistem pendidikan nasional terdiri dari
komponen-komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, mengatur peraan masyarakat atau pihak non
pemerintah dalam peyelenggaraan pendidikan seperti yang tertuang dalam Pasal
67-71 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Di dalam tulisan ini akan menggambarkan pengertian dan penggolongan
tindak pidana pendidikan.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
16 negara yang demokratis serta bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, sebagai satu kesatuan yang
sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna., sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat,
dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan
kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran, dengan mengembangkan
budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat dan
memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan dalam suatu sistem.
Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling
terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam
peyelenggaraannya Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki kewajiban
dan hak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan
pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,
serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga
negara tanpa diskriminasi, wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
dengan lima belas tahun mengacu pada Standar nasional pendidikan terdiri atas
17 prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala demikian pila Standar nasional
pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Pemeritah sebagai penanggung jawab peyelenggaraan pendidikan secara nasional
terdapat peran masyarakat yang berperan sebagai lembaga penyelenggara
pendidikan formal dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan,
kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan, masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan
pengguna hasil pendidikan dan ketentuan mengenai peran serta masyarakat.
Pendirian satuan pendidikan oleh masyarakat dalam setiap satuan pendidikan
formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dan syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi
pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi,
serta manajemen dan proses pendidikan serta pemerintah atau Pemerintah Daerah
memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Peran serta masyarakat di bidang Pendidikan pemerintah memiliki kewajiban
melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan
jenis pendidikan melalui tahapan evaluasi, akreditasi dan kompetensi yang diatur
18
B. Bentuk-Bentuk Tidak Pidana di Bidang Pendidikan Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Eksistensi pendidikan yang penuh dengan nilai-nilai positif (kebaikan) bukan
berarti akan terlepas dari pengaruh nilai-nilai negatif (kejahatan/tercela). Dunia
pendidikan bukanlah dunia tanpa atau bebas cela. Sama halnya dengan
bidang-bidang kehidupan lainnya, bidang-bidang pendidikan memiliki kecenderungan yang sama
besarnya untuk terjadinya berbagai bentuk perbuatan tercela/penyimpangan.
Sebagai salah satu bidang kehidupan yang memegang peranan penting dalam
peningkatan kualitas intelektual dan moral suatu bangsa, pendidikan dewasa ini
telah mengalami kegagalan yang cukup signifikan. Kondisi pendidikan tidak lagi
menggambarkan pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang senantiasa
mengedepankan moralitas di dalam pelaksanaannya.
Tindak pidana di bidang pendidikan adalah tindak pidana yang terjadi pada bidang
pendidikan. Eksistensi tindak pidana ini diibaratkan seperti fenomena gunung es
(iceberg phenomenon). Artinya, fenomena ini banyak terjadi di masyarakat, namun seringkali terabaikan, tertutup oleh asumsi-asumsi publik bahwa
pendidikan merupakan bidang yang tanpa cela dan bebas dari pengaruh berbagai
tindakan negatif, sehingga setiap tindakan tersebut seringkali dibenarkan dengan
alasan-alasan yang nampak rasional, seperti alasan kedisiplinan.
Asumsi publik yang keliru mengenai bidang pendidikan tersebut mengakibatkan
penanganan berbagai penyimpangan di bidang pendidikan yang pada hakikatnya
19 dinyatakan sebagai pelanggaran kode etik saja, penanganan tindak pidana tersebut
jarang diselesaikan melalui jalur hukum atau tidak sampai diputus di pengadilan
(litigasi), melainkan diselesaikan secara kelembagaan, misalnya penyelesaian
kekeluargaan di sekolah ataupun di PGRI jika pelakunya adalah Guru yang berada
dalam naungan PGRI.
Dewasa ini, trend jenis-jenis tindak pidana di bidang pendidikan yang terjadi di
Indonesia tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Jenis-jenis tindak
pidana tersebut, pada prinsipnya merupakan tindak pidana yang konvensional,
yang menjadi kekhususan di sini adalah bidang yang disimpangi adalah
pendidikan, dan pelakunya sebagian besar adalah pihak-pihak yang terlibat dalam
proses pendidikan ataupun yang memanfaatkan jasa pendidikan.
Berbagai pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada lingkungan pendidikan
tersebut diatas merupakan gambaran bahwa pendidikan sangat memerlukan
perlindungan hukum untuk meminimalisasi pelanggaran tersebut. Salah satu
perlindungan hukum yang sudah berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun dalam
undang-undang ini secara implisit tidak menyebutkan perumusan delik,
perumusan kualifikasi delik, dan unsur delik yang benar-benar merupakan
perbuatan melanggar hukum di bidang pendidikan. Undang-undang ini hanya
mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang diancam pidana, yakni pada BAB XX
20 Ditinjau dari kualifikasi deliknya, terdapat 10 (sepuluh) kategori tindak pidana di
bidang pendidikan yang dapat penulis identifikasi berdasarkan KUHP dan
undang-undang di luar KUHP, yakni :
C. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Surat
1. Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Berbagai istilah untuk tindak pidana (mencakup kejahatan dan pelanggaran),
antara lain delict (delik), perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan yang
boleh dihukum, pelanggaran pidana Criminal act, dan sebagainya.
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman
pidana.1 Tindak pidana adalah Perbuatan yang melanggar larangan yang diatur
oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.2 Tindak pidana adalah
istilah yang dikenal dari hukum pidana belanda, yaitu “stafbaar feit”. hukum
pidana belanda, yaitu “stafbaar feit”. Simons menerangkan bahwa stafbaar feit
adalah suatu perbuatan manusia dangan sengaja atau lalai, di mana perbuatan
tersebut diancam dengan hukuman oleh undang-undang, dan dilakukan oleh
manusia yang dapat dipertaggung jawabkan. Sedangkan Van Hamel merumuskan
stafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging), yang dirumuskan
1
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Cet. 2, Asy-Syaamil, Bandung, 2001, hlm 132
2
21
dalam waktu yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (stafwaardig)
dan dilakukan dengan kesalahan.3
Di dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, pemalsuan menurut bahasa berarti
proses, perbuatan atau cara memalsukan.4 Sedangkan surat menurut bahasa
selembaran kertas yang berisi huruf, angka atau tulisan Kejahatan mengenai
pemalsuan atau disingkat dengan istilah kejahatan pemalsuan adalah berupa
kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidak benaran atau
palsu atas suatu (objek), yang sesuatu tampak dari luar seolah-olah banar adanya,
padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya Perbuatan-perbuatan
itu dapat berupa penghapusan kalimat, kata, angka, tanda tangan, dapat berupa
penambahan dengan satu kalimat, kata atau angka, dapat berupa penggantian
kalimat, kata, angka, tanggal atau tanda tangan.
Dapat diambil garis besarnya bahwa yang dimaksud dengan kejahatan atau tindak
pidana pemalsuan surat adalah suatu perbuatan kejahatan perbuatan ini
dilakuakan, sudah ada sebuah surat di sebut surat asli. Kemudian pada surat yang
asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan cap stempel kepolisian)
dilakukan pemalsuan surat. Yang tersebut tampak dari luar seolah-olah benar
adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.
3
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cet.7, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 56
4
22
2. Dasar Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Sumber utama hukum pidana adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), yang terdiri dari tiga buku yang secara umum sistematikanya adalah
sebagai berikut :
Buku I : Mengatur peraturan-peraturan umum (algemeene bepalingen)
Buku II : Mengatur tentang kejahatan (misdrivent)
Buku III : Mengatur tentang pelanggaran (overtredingen)5
Secara umum kejahatan mengenai pemalsuan dapat kita temukan dalam buku II
KUHP yang dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu :
a. Kejahatan sumpah palsu (Bab IX KUHP).
b. Kejahatan Pemalsuan uang (Bab X KUHP).
c. Kejahatan Pemalsuan materai dan merek (Bab XI KUHP).
d. Kejahatan Pemalsuan surat (Bab XII KUHP).6
Masalah tindak pidana pemalsuan surat termasuk ke dalam kejahatan pemalsuan
surat yang diatur dalam bab XII buku ke-2 KUHP, yaitu dari Pasal 263 sampai
dengan 276, yang dapat dibedakan menjadi tujuh macam kejahatan pemalsuan
surat, yakni :
a. Pemalsuan surat pada umumnya bentuk pokok pemalsuan surat, (KUHP Pasal
263).
b. Pemalsuan surat yang diperberat, (KUHP Pasal 264).
c. Menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam akta otentik (KUHP Pasal
266).
d. Pemalsuan surat keterangan dokter (KUHP Pasal 267-268).
e. Pemalsuan surat-surat tertentu (KUHP Pasal 269,270 dan 271).
5
Prof. Satochid Kertanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah dan Pendapat Para Ahli Hukum Terkemuka Bagian 1, hlm 38
6
23
f. Pemalsuan keterangan pejabat tantang hak milik (KUHP Pasal 275).
g. Menyimpan bahan atau benda untuk pemalsuan surat (KUHP Pasal 275).7
Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat dalam
bentuk pokok (bentuk standar) yang dimuat dalam Pasal 263 Ayat (1) dan (2)
KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut:
Ayat (1)
Barang siapa yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukan sebagai bukti dari pada suatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surrat tarsebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, di pidana jika psmakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama 6 (enam tahun)
Ayat (2)
Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat
menimbulkan beragam.8
Dimaksud surat di sini adalah segala surat yang ditulis dengan tangan, dicetak,
maupun ditulis memakai mesin ketik, dan sebagainya. Membuat surat palsu yaitu
membuat surat yang isinya tidak benar atau bukan semestinya, sehingga
menunjukkan asal surat yang tidak benar. Sedangkan penggunaannya harus dapat
mendatangkan kerugian. Maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul sudah
ada, baru kemungkinan saja adanya kerugian itu sudah cukup yang dimaksud
dengan kerugian di sini tidak saja hanya meliputi kerugian materiil, akan tetapi
juga dilapangan kemasyarakatan, kesusilaan, kehorrmatan dan sebagainya.
Pengertian surat sebagaimana diungkapkan Adami Chazawi9. dalam bukunya
yang berjudul kejahatan mengenai pemalsuan adalah : “suatu lembaran kertas
yang diatasnya terdapat tulisan yang terdiri dari kalimat dan huruf termasuk angka
7Ibid
, hlm. 97
8
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm 105
24 yang mengandung berisi buah pikiran atau makna tertentu, yang dapat berupa
tulisan dengan tangan, dengan mesin ketik, printer komputer, dengan mesin
cetakan dan dengan alat dan cara apapun” Membuat surat palsu (valsheid in geserift) adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu, palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Isi dan
aslinya surat yang tidak benar dari memuat surat palsu, dapat juga tanda
tangannya yang tidak benar. Tanda tangan yang dimaksud di sini adalah termasuk
juga tanda tangan dengan menggunakan cap atau stempel tanda tangan.
Perbuatan memalsu (vervalsen) surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan
cara bagaimanapun orang-orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang
berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain atau berbeda dengan isi
semua. Perbedaan prinsip antara membuat surat palsu dengan memalsu surat
adalah dalam membuat surat palsu sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat
yang dicontoh, kemudian surat yang dibuat itu sebagian atau seluruhnya
bertentangan dengan kebenaran. Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh
sipelaku sendiri. Sedangkan memalsu surat adalah membuat surat yang
mencontohkan surat asli yang telah ada sebelumnya.
Tidak semua surat dapat menjadi obyek pemalsuan surat, melainkan terdapat pada
empat macam surat yakni :10
a. Surat yang menimbulkan suatu hak.
b. Surat yang menimbulkan suatu perikatan.
c. Surat yang menimbulkan pembebasan hutang.
25
d. Surat yang diperuntukan bukti mengenai suatu hal.
Pada umumnya sebuah surat tidak melahirkan secara langsung adanya suatu hak,
melainkan hak itu timbul dari adanya perikatan hukum (perjanjian) yang tertuang
dalam surat itu, tetapi dalam surat-surat itu yang disebut surat pormil yang
langsung melahirkan suatu hak tertentu misalnya Sertifikat Hak Milik, Perizinan,
Ijazah, Cek, wesel, dan lain sebagainya.
Surat yang berisi suatu perikatan pada dasarnya adalah berupa surat yang karena
perjanjian itu melahirkan hak. Contohnya seperti pemalsuan pada surat tanda
nomor kendaraan bermotor, dimana si pemilik kendaraan wajib membayar pajak
ditiap tahunnya untuk memperpanjang ke aktifan nomor kendaraan. Ini
merupakan, melahirkannya suatu perikatan, antara pemilik kendaraan dan Negara.
Mengenai unsur “surat yang diperuntukan sebagai bukti akan adanya suatu hal”,
di dalamnya ada dua hal yang perlu dibicarakan yakni, mengenai diperuntukan
sebagai bukti, dan tentang suatu hal adalah berupa kejadian atau peristiwa tertentu
baik yang karena diadakan (misalnya perkawinan) maupun karena peristiwa alam
(misalnya kelahiran dan kematian). Peristiwa tersebut mempunyai suatu akibat
hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan bukti adalah karena sifatnya, surat itu
mempunyai kekuatan pembuktian (bewijskracht). Unsur kesalahan dalam
pemalsuan surat pada Pasal 263 Ayat (1) KUHP yakni “dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat palsu ini
seolah-olah isinya benar dan tidak palsu”. Maksud yang demikian sudah harus ada
26 Pada atau kalimat “seolah-olah isinya benar dan tidak palsu” mengandung makna
bahwa adanya orang-orang yang terpadaya dengan digunakan surat-surat tersebut,
dan surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang menganggap
surat itu asli dan tidak palsu, bisa orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang
tertentu.
Dalam unsur “jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena
pemalsuan surat” mengandung pengertian bahwa : pemakaian surat belum
dilakukan hal ini terlihat dari adanya perkataan “jika” dan karena penggunaan
pemakaian surat belum dilakukan, maka dengan sendirinya kerugian itu belum
ada, hal ini dapat terlihat dari adanya perkataan “dapat”.
Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan
kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, hanya berdasarkan pada
akibat-akibat yang dapat dipikirkan oleh orang-orang pada umumnya yang
biasanya terjadi dari adanya penggunaan surat semacam itu. Kerugian yang
dimaksud tidak saja kerugian yang bernilai atau dapat dinilai dengan uang atau
kerugian di bidang kekayaan, akan tetapi dapat juga berupa kerugian-kerugian
lainnya mempersulit pengawasan oleh Pemerintah, menutup-nutupi penggelapan
yang terjadi, pembohongan publik bahkan mengarah kepada penipuan.
Pada Ayat (2) terdapat pula unsur pemakaian surat palsu atau surat dipalsu itu
dapat menimbulkan kerugian, walaupun perihal unsur ini baik pada Ayat (1)
kemungkinan akan timbul kerugian itu adalah akibat dari pemakaian surat palsu
atau surat dipalsu, akan tetapi pemakaian surat itu belum dilakukan, karena yang
27 pada Ayat (2) pemakian surat itu sendiri sudah dilakukan, akan tetapi kerugian itu
tidak perlu nyata-nyata timbul.
Pada Ayat (1) kehendak ditunjukkan pada perbuatan memakai, tetapi perbuatan
memakainya bukan merupakan perbuatan yang dilarang, sedangkan Ayat (2)
perbuatan yang dilarang adalah memakai. Unsur “perbuatan” pada Ayat (2)
dirumuskan dalam bentuk abstrak yang dalam kejadian senyatanya memerlukan
wujud tertentu, misalnya menyerahkan, menunjukan, mengirimkan, menjual,
menukar, menawarkan dan lain sebagainya, yang wujud-wujud itu sudah harus
terjadi untuk dapat dipidananya melakukan kejahatan.
Maksud dari unsur kesalahan pada Ayat (1) yakni “dengan sengaja”. Mengandung
arti bahwa, pelaku menghendaki melakukan perbuatan memakai, ia sadar atau
insyaf bahwa surat yang ia gunakan adalah surat palsu atau surat dipalsu, atau
mengetahui bahwa penggunaan surat itu adalah seolah-olah pemakaian surat asli
dan tidak palsu, dan ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu dapat
menimbulkan kerugian. Unsur kesengajaan yang demikian itu harus dibuktikan.
Selain Pasal 263 di atas di dalam KUHP juga terdapat aturan mengenai pemalsuan
surat yang diperberat yakni yang dirumuskan dalam Pasal 264 Ayat (1) dan (2)
serta dalam Pasal 266 Ayat (1) dan (2) sebagai berikut :
Pasal 264 Ayat (1) dan (2)
Ayat (1)
Pemalsuan surat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 tahun, jika dilakuakn terhadap :
a. Akta-akta otentik
b. Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu Negara atau bagiannya ataupun
28
c. Surat sero atau surat hutang atau sertifikatsero atau hutang dari suatu
perkumpulan, yayasan, perseroan dan maskapai
d. Talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan
dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu
e. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan.
Ayat (2)
Dipidana dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam Ayat pertama, yang isinya tidak asli atau dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 266 Ayat (1) dan (2)
Ayat (1)
Barang siapa menyuruh memasukan keterangan palsu kedalam suatu akta ontentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Ayat (2)
Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakian tersebut dapat menimbulkan kerugian
Pasal 267 Ayat (1), (2 dan (3))
Ayat (1)
Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
Ayat (2)
Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam tahun
Ayat (3)
29 Pasal 268 Ayat (1) dan (2)
Ayat (1)
Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Ayat (2)
Diancam dengan dipidana yang sama, barang siapa maksud yang sama memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat itu benar dan tidak dipalsu.
Psal 269 Ayat (1) dan (2)
Ayat (1)
Barang siapa membuat surat palsu atau memalsu surat keterangan tanda kelakuan baik, kecakapan, kemiskinan, kecacatan, atau keadaan lain, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu supaya diterima dalam pekerjaan atau supaya menimbulkan kemurahan hati dan pertolongan, diancam dengan pidana penjara paling satu tahun empat bulan.
Ayat (2)
Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan yang palsu atau yang dipalsukan tersebut dalam Ayat pertama, seolah-olah surat itu sejati dan tidak dipalsukan.
Pasal 270 Ayat (1) dan (2)
Ayat (1)
Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan pas jalan atau surat penggantinya, kartu keamanan, surat perintah jalan atau surat yang diberikan menurut ketentuan undang-undang tentang pemberian izin kepada orang asing untuk masuk dan menetap di Indonesia, ataupun barangsiapa menyuruh beri surat serupa itu atas nama palsu atau nama kecil yang palsu atau dengan menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
Ayat (2)
30 Pasal 271 Ayat (1) dan (2)
Ayat (1)
Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat pengantar bagi kerbau atau sapi, atau menyuruh beri surat serupa itu atas nama palsu atau dengan menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Ayat (2)
Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang palsu atau yang dipalsukan tersebut dalam Ayat (1), seolah-olah isisnya sesuai dengan kebenaran Pasal 275 Ayat (1) dan (2).
Pasal 272 Ayat (1) dan (2)
Ayat (1)
Barangsiapa menyimpan bahan atau benda yang diketahuinya bahwa diperuntukkan untuk melakukan salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 264 No. 2-5, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Ayat (2)
Bahan-bahan dan benda-benda itu dirampas.11
Akta ontentik yaitu surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang
ditetapkan oleh undang-undang, oleh pegawai umum. Dalam hal ini dapat
dicontohkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan
Bermotor (STNK), Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), izin pendirian
sekolah, pemalsuan ijazah, sertifikasi dan kompetensi.
Menyebabkan diperberatnya pemalsuan surat pada Pasal 264 tersebut terletak
pada faktor macam surat. Surat-surat tertentu yang menjadi obyek kejahatan
adalah surat-surat yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan
kebenaran isinya. Pada surat-surat itu mempunyai derajat kebenaran yang lebih
11
31 tinggi dari pada surat-surat biasa atau surat lainnya. Dengan demikian, maka dapat
disimpulkan bahwa, rumusan Pasal 264 Ayat (2) adalah sama dengan rumusan
Pasal 263 Ayat (2) perbedaannya hanya pada jenis surat yang dipakai. Dalam
Pasal 263 Ayat (2) adalah surat pada umumnya, sedangkan Pasal 264 Ayat (2)
adalah surat-surat tertentu yang mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi
dan kepercayaan yang lebih besar dari pada surat pada umumnya. Dan
berdasarkan Pasal-Pasal tersebut menunjukan bahwa Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana merupakan dasar hukum larangan pemalsuan surat yang
merupakan hukum Lex Generalis.12
Maka hukum dibuat dan diberlakukan sebagai perlindungan kepada setiap orang
agar dapat memberikan rasa aman dari semua perbuatan yang dapat mengganggu
dan mengancamnya. Adanya sanksi dalam hukum, diharapkan dapat memberikan
perlindungan kepada setiap manusia dari berbagai gangguan tersebut. Tindak
pidana pemalsuan surat merupakan salah satu perbuatan yang dirasa mengganggu
dan merugikan, sehingga ketentuan sanksinya harus benar-benar ditegakkan.
3. Tinjauan tentang Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik
Hukum dibuat dan diberlakukan sebagai perlindungan kepada setiap orang agar
dapat memberikan rasa aman dari semua perbuatan yang dapat mengganggu dan
mengancamnya. Adanya sanksi dalam hukum, diharapkan dapat memberikan
perlindungan kepada setiap manusia dari berbagai gangguan tersebut. Tindak
pidana pemalsuan akta otentik merupakan salah satu perbuatan yang dirasa
mengganggu dan merugikan, sehingga ketentuan dan sanksinya harus benar-benar
12
32 ditegakkan. Begitu pula di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
ditemukan ketentuan sanksi pidana bagi siapa saja yang membuat akta otentik
palsu atau memalsukan akta otentik yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan
atau pelunasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada suatu hal,
atau melakukan pemalsuaan terhadap akta-akta otentik. Hal ini terdapat dalam
KUHP Pasal 264 Ayat (1) dan (2).
Pasal 274
Ayat (1)
Barangsiapa membuat palsu atau memalsukan surat keterangan seorang pejabat selaku penguasa yang sah, tantang hak milik atau hak lainnya atas sesuatu barang, dengan maksud untuk memudahkan penjualan atau penggadaiannya atau untuk menyesatkan pegawai negeri kehakiman atau kepolisian tentang aslinya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun.
Ayat (2)
Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan maksud tersebut, memakai surat keterangan itu seolah-olah sejati dan tidak dipalsukan.
Berdasarkan adanya beberapa ketentuan hukum serta sanksi yang telah diatur dan
ditetapkan dalam hukum positif. Hal ini terdapat di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) yakni Pasal 263, 264, 266, dan 274 tentang pemalsuan
surat, surat palsu atau memalsukan surat itu termasuk kedalam suatu kejahatan
atau tindak pidana yakni kejahatan mengenai pemalsuan, sehingga terdapat
pelakunya dapat diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan hukum yang telah
33
D. Tindak Pidana di Bidang Pendidikan
Tindak Pidana Pendidikan merupakan suatu sikap yang dilakukan dengan sengaja
maupun tidak sengaja dalam bidang pendidikan berkaitan dengan kejahatan
maupun pelanggaran dengan segala motif dan tujuannya yang dapat dilakukan
siapa saja baik oleh pihak peyelenggara pendidikan, tenaga pengajar, peserta didik
bahkan pemerintah selaku penanggung jawab pendidikan nasional.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 telah mengatur secara khusus tentang
peran masyarakat hal ini dapat menandakan bahwa suatu perbuatan itu adalah
salah dan dilarang, namun berdasarkan berbagai nilai, asas, sendi-sendi dan
norma-norma serta nilai kepatutan yang hidup dalarn masyarakat, bila perbuatan
tersebut terjadi dalam pendidikan, maka dapatlah dikatakan sebagai suatu tindak
pidana di bidang pendidikan.
Perbuatan atau tindakan tersebut dalam hakikat dan kenyataannya berakibat buruk
atau mendatangkan pengaruh yang buruk namun secara langsung bagi dunia
pendidikan, maka perbuatan itupun dalam hal ini sudah harusdapat
dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana pendidikan.
Tindak pidana pendidikan memang merupakan satu kesatuan, tetapi di dalamnya
terdapat lebih dari satu perbuatan yang kesemuanya bersatu dengan daya tarik
menarik antara satu sama lain dalam membentuk dan mewujudkan satuan tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang, misalnya : penipuan melalui
penyelenggaraan pendidikan formal, sejalan dengan pernyataan tersebut di atas,
34
bertindak harus selalu terikat (deterministis) pada norma-norma yang hidup atau
berlaku dalam masyarakat dan bidang kegiatan yang dilakukan, baik
norma-norma tersebut adalah norma-norma hukum maupun norma-norma-norma-norma non hukum, misalkan
norma keagamaan, norma sopan santun, norma kesusilaan, norma kepatutan dan
kebajikan, norma kehalalan dan kelayakan dan sebagainya.
Tindak pidana pendidikan tidak begitu menjadi fokus perhatian dari alat negara
penegak hukum bahkan tidak popular, karena disebabkan kurangnya perhatian
masyarakat (kalangan teoritis maupun praktis) terhadap gejala-gejala
penyimpangan dalam dunia pendidikan yang bersifat yuridis. Masalah pendidikan
yang seringkali menjadi fokus perhatian hanyalah sekitar mahalnya biaya
pendidikan, kurikulum, penyelewengan dana bos sedangkan tindak pidana yang
difokuskan terhadap proses perizinan pendirian sekolah atau izin penyelenggaraan
pendidikan formal, syah atau tidak syahnya ijasah, sertifikasi, kompetensi dan
lain-lain kurang mendapatkan perhatian dari penyelenggara negara, yang dapat
berdampak pada rusaknya sistem pendidikan nasional dan sendi-sendi kehidupan
berbangsa.
Pengertian tindak pidana pendidikan tidak berbeda dengan pengertian tindak
pidana pada umumnya, yang membedakan hanyalah kekhususannya bidang
pendidikan, mengingat banyaknya jenis tindak pidana penclidikan ini, maka
dalam penelitian ini, penulis lebih terfokus pada pendidik dan peserta didik dan
35 Secara sederhana tindak pidana pendidikan adalah tindak pidana yang terjadi di
dunia pendidikan. Secara umum dan garis besarnya, “tindak pidana pendidikan”
dapat didefinisikan sebagai suatu sikap tindak yang :
1. Dilakukan dalam bidang pendidikan serta berbagai kaitan yang ada di
dalamnya. Artinya, sikap tindak itu dilakukan dalam bidang pendidikan serta berbagai kaitan yang ada di dalamnya, dalam hal ini dimaksudkan bahwa bidang pendidikan menjadi sasaran atau menjadi korban dari dilakukannya sikap tindak yang negatif. Sedangkan perkataan “berbagai kaitan yang ada di dalamnya” (di dalam bidang pendidikan) memberikan suatu kesan bahwa sikap tindak negatif tersebut dapat membawa pengaruh buruk yang amat besar dan luas terhadap segenap faktor, sendi-sendi clan seluk beluk primer asasi dari pendidikan yang secara langsung ataupun tidak langsung akan dirasakan oleh para anak didik;
2. Berupa kejahatan ataupun pelanggaran dengan segala tujuannya. Maksudnya
adalah bahwa sikap tindak tersebut jelas-jelas sudah merupakan suatu penyimpangan yang berwujud sebagai penyelewengan, maka akibatnya walau apa pun tujuan dan alasannya, suatu penyelewengan tetaplah penyelewengan sehingga tetap pula tidak dapat dibenarkan dan ditolerir, baik disengaja maupun tidak disengaja. Adanya kesengajaan atau tidak dimaksudkan agar dapat tercapainya kepastian hukum dalam penuntutan tanggungjawab terhadap para pelaku;
3. Pelakunya dapat siapa saja, baik ia itu seorang yang bertidak sebagai pengajar,
pengurus yayasan dan aparatur pemerintah atau seseorang yang berada diluar lembaga pendidikan formal maupun pihak-pihak lain yang sikap tindakanya baik secara langsung ataupun tidak langsung mendatangkan pengaruh yang buruk terhadap kelangsungan suatu pendidikan, baik pendidikan tersebut bersifat formal maupun non-formal;
4. Berwujud sebagai suatu kesalahan baik yang sudah diatur maupun yang belum
diatur secara yuridis dalam peraturan-peraturan hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, meskipun belum ada peraturan hukum yang menandaskan bahwa suatu perbuatan itu adalah salah dan dilarang, namun berdasarkan berbagai nilai, asas, sendi dan norma-norma kebaikan serta kepatutan yang hidup dalam masyarakat, bila perbuatan tersebut terjadi dalam bidang pendidikan, maka dapatlah dikatakan sebagai suatu tindak pidana pendidikan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat diartikan bahwa tindak pidana
pendidikan mempunyai unsur-unsur delik dan sifat melawan hukum yang sama
dengan tindak pidana pada umumnya. Tindak pidana pendidikan yang terjadi saat
36 namun pihak-pihak yang menjadi aktor dalam pendidikan yaitu: peserta didik dan
didik dirugikan secara formal maupun material.
Adapun bentuk-bentuk tindak pidana dalam bidang pendidikan seperti yang diatur
oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 dalam Pasal 67-71 adalah :
1. Pasal 67 Ayat (1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan
yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2. Pasal 68 Ayat (1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat
kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan
yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama
lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah). Ayat (2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Pasal 69 Ayat (1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat
kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ayat (2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 Ayat (2) dan Ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
4. Pasal 70 : Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan
gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
5. Pasal 71 : Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin
Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Penggolongan Tindak Pidana Pendidikan Pengaturan tindak pidana pendidikan
dengan sarana penal bagi pelaku dalam peraturan yang khusus (lex specaillis)
37 eksistensi, legitimasi, pada prinsip-prinsip kegiatan pendidikan dan pengajaran
yang harus diketahui oleh semua orang, terutama mereka yang secara langsung
aktif dalam pendidikan, alasannya karena pada hakikatnya setiap bentuk-bentuk
penyelewengan yang terjadi dalam pendidikan secara kualitatif dan kuantitatif
sangat berpengaruh bagi masyarakat dan masa depan bangsa dan negara, dengan
perkataan lain, setiap bentuk penyelewengan yang terjadi dalam pendidikan
menimbulkan resiko yang besar bila dibandingkan dengan bidang kegiatan
lainnya.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka perlu adanya suatu pengaturan secara
yuridis yang khusus (lex speciallis) untuk menjaga terjaminnya keutuhan dan
keberlangsungan sistem pendidikan dari segala bentuk penyelewengan yang akan
menjatuhkan, menghancurkan sistem pendidikan nasional, norma luhur
pendidikan bahkan merusak martabat bangsa.
Secara formal, tindak pidana pendidikan secara garis besarnya dapat digolongkan
beberapa hal, tindak pidana pendidikan yang dilakukan oleh seorang pendidik
dalam arti seorang pengajar di lembaga-lembaga pendidikan formal yang pada
prakliknya dapat berwujud berbagai bentuk perbuatan, yaitu :
1. Berbagai macam penipuan atau pengakuan palsu yang umumnya dilakukan
oleh lembaga penyelenggara pendidikan atau pengurus yayasan lembaga pendidikan yang seolah-olah kegiatan penyelenggara pendidikan formal memiliki izin yang syah mengatasnamakan lembaga resmi namun kenyataannya lembaga tersebut tidak memilki atau didasari oleh izin pendirian sekolah yang syah.
2. Penekanan nilai dengan latar belakang yang bermacam-macam, misalnya
sentimen pribadi, komersial, kelainan jiwa ataupun gabungan antara dua macam atau ketiga macam latar belakang tersebut;
3. Tindakan-tindakan yang bersifat memaksa disertai dengan intimidasi/ancaman